Pendekar Baju Putih Jilid 08 karya Kho Ping Hoo - “Omitohud! Luar biasa sekali pengalamanmu, Cin Po,” kata Lauw In Nikouw. “Dalam waktu delapan tahun ini, engkau sudah bertemu dengan Pat-jiu Pak-sian, datuk utara, lalu See-thian Tok-ong datuk barat, dan Nam-san Sianjin untuk selatan, kemudian terakhir bertemu dengan Tung-hai Mo-ong datuk timur. Bukan main!”
“Lalu bagaimana, koko? Datuk Timur itu menolongmu? Baik benar dia!”
“Ekornya yang tidak baik, Ing-moi. Setelah membantuku membasmi perampok, dia lalu hendak menjodohkan aku dengan puterinya. Aku tidak mau dan dia memaksaku. Kami berkelahi dan aku kalah, tertawan. Untung aku kemudian dibebaskan oleh puterinya dan dapat melarikan diri, lalu menuju ke sini!”
“Puterinya itu kau tolak dan ia masih menolongmu dan membebaskanmu? Ah, baik sekali hatinya!” seru Kwan Hui Ing memuji.
“Memang, baik sekali hatinya,” kata Cin Po mengenang, dengan suara sungguh-sungguh.
“Ia begitu baik, kenapa engkau menolaknya, koko? Apakah ia cantik?”
“Cantik juga.”
“Cantik mana dibandingkan aku?”
“Ah, masih cantik engkau, Ing-moi!” Cin Po tersenyum.
“Kalau ia cantik dan begitu baik, kenapa engkau tidak mau dijodohkan dengannya, koko?”
“Eh, Ing-moi. Aku pergi meninggalkan rumah untuk mempelajari ilmu, bukan untuk mencari jodoh. Bagaimana di luar pengetahuan ibu aku berani berjodoh dengan seorang gadis.”
“Dia bicara benar,” kata Sung Bi Li. “Dia memang tidak boleh menikah dulu, masih banyak tugas menantinya, dan dia harus melaksanakan dulu tugas itu.”
“Oh, ya. Lebih dulu memberi hajaran kepada pengkhianat Ban Koan dan membersihkan Thian-san-pang, lalu membasmi Tok-coa-pang, bukan?” kata Hui Ing.
“Benar, ibu,” kata Cin Po. “Thian-san-pang harus dibersihkan dan pengkhianat Ban Koan itu perlu diberi hajaran. Juga Tok-coa-pang yang telah mengakibatkan kematian kakek guru Tiong Gi Cinjin dan banyak murid Thian-san-pang harus dibasmi.”
Bi Li bersikap sungguh-sungguh, memandang kepada puteranya dan berkata dengan tegas. “Cin Po, sudah lupakah engkau akan pesanku dulu itu? Lebih dulu setelah engkau memiliki kepandaian, engkau harus membalas atas kematian ayahmu!”
“Aku tidak pernah melupakan hal itu ibu.”
“Masih ingat nama pembunuh ayahmu itu?”
“Masih, nama julukannya Hek-siauw Siucai, bukan?”
“Dan masih ingat engkau, siapa dia, dari kelompok mana?”
“Dia adalah seorang di antara Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga Sungai Kuning).”
“Bagus, nah engkau harus lebih dulu pergi mencarinya di sepanjang Sungai Kuning. Setelah berhasil membunuhnya, barulah kita bicarakan tentang Thian-san-pang dan Tok-coa-pang.”
“Eh, eh, apa artinya ini ibu?” tiba-tiba Hui Ing bertanya, kepada Bi Li. “Setiap kali aku bertanya tentang ayah, ibu tidak mau, memberitahu. Sekarang, baru aku tahu bahwa mendiang ayah dibunuh orang dan ibu minta kepada koko, untuk membalasnya. Kenapa ibu tidak pernah menceritakan kepadaku?”
Bi Li memandang kepada Lauw In Nikouw, dan seolah bertanya. Nikouw tua ini hanya berkata lirih, “Omitohud…!” dan ia memberi isyarat dengan anggukan kepala. Lalu nikouw itu yang berkata lembut kepada Hui Ing.
“Hui Ing, kini setelah Cin Po pulang dan engkau sudah cukup dewasa, tibalah saatnya untuk kau ketahui rahasia tentang dirimu yang selama ini kami tutupi. Ketahuilah, anak yang baik, sebetulnya engkau bukanlah puteri kandung dari ibumu ini.”
Hui Ing terbelalak dan wajahnya menjadi pucat. “Apa.... bagaimana…?” katanya gagap.
Bi Li mendekati dan merangkul Hui Ing. “Biarpun benar demikian, aku amat sayang kepadamu, Hui Ing. Kuanggap engkau puteriku sendiri karena sejak kecil engkau kurawat, dan engkau minum air susu dari dadaku. Aku yang membesarkanmu. Akan tetapi sesungguhnya memang engkau bukan anak kandungku. Engkau adalah anak kandung dari Suhu Tiong Gi Cinjin.”
“Ahhhh…!” Demikian kaget dan heran rasa hati Hui Ing, sehingga ia tidak dapat berkata-kata sambil tetap dirangkul oleh Bi Li.
Cin Po juga merasa kaget dan heran, lalu dia berkata, “Kini baru aku mengerti mengapa ibu hanya menyuruh aku yang memakai pakaian berkabung, akan tetapi Ing-moi tidak. Kiranya Ing-moi bukan adik kandungku dan ia puteri mendiang su-kong Tiong Gi Cinjin!”
“Dan ibu kandungku siapa, ibu? Di mana ia sekarang?” tanya Hui Ing dengan suara gemetar.
Bi Li merangkul gadis itu dengan kasih sayang, “Ibu kandungmu meninggal ketika melahirkanmu,” Hui Ing terisak dalam rangkulan Bi Li. “Sebulan sebelum engkau lahir, Thian-san-pang diserang oleh orang-orang Tok-coa-pang dan dalam pertempuran itu, ibu kandungmu terkena senjata rahasia. Ia menjadi sakit-sakitan dan ketika melahirkanmu, ia meninggal. Akan tetapi engkau selamat dan selanjutnya, ayahmu, yaitu mendiang suhu menyerahkan engkau kepadaku untuk kurawat. Ketika itu Cin Po baru berusia setahun.”
Hui Ing nampak marah sekali. “Ah, jadi ayah dan ibu kandungku semua mati di tangan orang-orang Tok-coa-pang! Aku harus menuntut balas!”
“Bersabarlah, Hui Ing. Mereka itu lihai sekali. Tunggulah sampai Cin Po menuntut balas kematian ayahnya, setelah itu baru kita akan membantunya membasmi Tok-coa-pang dan membersihkan Thian-san-pang,” kata Bi Li membujuk.
“Ibu benar, Ing-moi. Akulah kelak yang akan membalaskan kematian orang tua kandungmu. Ah, siapa kira bahwa kita bukanlah saudara kandung! Begitu banyak rahasia menyelimuti kehidupan kita. Ibu, masih ada satu hal lagi yang ingin sekali kuketahui. Siapakah nama mendiang ayah kandungku?”
Bi Li menghela napas panjang. “Itu memang kurahasiakan, Cin Po. Tunggu, kalau kelak engkau sudah berhasil membunuh musuh besar kita, baru akan kuberitahu kepadamu siapa namanya!”
Cin Po mengerutkan alisnya. “Ibu bermarga Sung, kenapa aku juga bermarga Sung? Tidak mungkin ayah kandungku bermarga Sung.”
“Karena nama ayahmu masih kurahasiakan, maka untuk sementara engkau kuberi nama margaku. Tidak usah banyak bertanya, lakukan balas dendam itu dan engkau kelak akan mengetahui semuanya.”
Sejak tadi Lauw In Nikouw hanya mendengarkan saja dan kadang ia menghela napas, menyebut nama Buddha dan menggeleng kepala. Kini Hui Ing menangis dalam rangkulan Bi Li.
“Kalau begitu aku sudah yatim piatu! Ahhh, ayah dan ibu kandungku telah mati, aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi…” Gadis itu menangis sedih.
“Hushh, engkau masih mempunyai aku. Bukankah selama ini aku telah menjadi pengganti ibumu yang menyayangimu?”
“Dan engkau masih mempunyai kakak seperti aku, Ing-moi. Jangan berduka.”
“Omitohud, akulah menjadi anggauta keluarga satu-satunya bagimu, Hui Ing. Karena aku adalah adik kandung ayahmu.”
“Nenek…!” Hui Ing kini merangkul orang yang biasanya disebut nenek akan tetapi ternyata adalah bibinya itu.
Setelah bermalam di dalam kuil itu selama tiga hari, pada hari ke empatnya Cin Po berpamit dari ibunya, nenek gurunya dan juga dari Hui Ing untuk mulai dengan tugasnya, yaitu mencari musuh besar pembunuh ayahnya yang berjuluk Hek-siauw Siu-cai (Sasterawan Suling Hitam).
Hui Ing mengantarkan Cin Po sampai di luar dusun Bi-ciu. Setelah tiba di luar dusun, Cin Po berkata, “Sudahlah Ing-moi, sampai di sini saja engkau mengantarku. Kembalilah dan aku pesan kepadamu, ingat baik-baik. Jangan sekali-kali engkau mencoba untuk seorang diri membalas dendam kematian ayah dan ibu kandungmu. Tunggu sampai aku kembali. Mereka itu jahat dan berbahaya sekali dan engkau bukanlah lawannya, Ing-moi.”
Hui Ing sudah dapat memulihkan keadaan hatinya yang terguncang mendengar akan riwayatnya itu. Kini ia memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam. Pemuda itu bukan kakak kandungnya, bukan apa-apanya, melainkan orang lain!
Semenjak ia mengetahui bahwa Cin Po orang lain, terjadi perubahan di dalam hatinya. Kini ia memandang Cin Po dengan sinar mata yang lain. Perasaan kagumnya, sayangnya tidak lagi kagum dan sayang seorang adik kepada kakaknya, melainkan kagum dan sayang seorang gadis dewasa terhadap seorang pemuda!
Perubahan ini mengguncangkan perasaannya, membingungkannya sehingga ketika mereka hendak berpisah itu, ada perasaan sedih di hati gadis itu. “Selamat jalan, koko.” Akhirnya ia berkata. “Dan jangan engkau melupakan aku…”
“Aih, engkau ini aneh-aneh, Ing-moi. Bagaimana mungkin aku dapat melupakanmu. Nah, selamat tinggal dan jaga ibu baik-baik.”
“Selamat jalan, jaga dirimu baik-baik, koko.”
Cin Po pergi, setelah agak jauh membalikkan tubuhnya. Gadis itu masih berdiri di sana memandangnya. Dia melambaikan tangannya, dibalas oleh lambaian tangan Hui Ing, akan tetapi jaraknya terlampau jauh kini bagi Cin Po untuk dapat melihat betapa butir-butir air mata menuruni kedua pipi gadis itu.
Cin Po sama sekali tidak tahu bahwa kemenangannya atas tujuh orang Tok-coa-pang ketika dia membantu Hui Ing menjadi perhatian Tok-coa-pang. Perkumpulan Tok-coa-pang adalah perkumputan sesat yang tidak segan melakukan segala macam kejahatan.
Perkumpulan ini didirikan oleh dua orang kakak beradik she Coa. Nama mereka tidak dikenal dan orang hanya mengenal mereka sebagai Coa Ta Kui (Iblis Besar Ular) sebagai ketua dan Coa Siauw Kui (Iblis Kecil Ular) sebagai wakil ketua. She mereka memang dapat diartikan ular.
Mereka berdua memiliki ilmu silat yang tinggi, terutama sekali ahli dalam urusan ular dan penggunaan racun ular. Mereka dahulunya memang pernah menjadi pawang ular dan berdagang ular-ular berbisa, yang bisanya banyak dibutuhkan untuk pengobatan dan dagingnya dimakan sebagai makanan penguat tubuh.
Setelah mendirikan perkumpulan, mereka memberi nama perkumpulan mereka Tok-coa-pang (perkumpulan Ular Berbisa). Yang terkenal dengan Tok-coa-pang adalah karena mereka semua mengenakan baju yang kebal senjata, dan mereka itu rata-rata pandai silat, dan pandai mempergunakan bisa ular yang mereka oleskan pada senjata rahasia dan senjata golok mereka sehingga sekali saja lawan tergores senjata mereka, lawan itu akan mengalami keracunan bisa ular yang amat berbahaya.
Karena sifatnya yang jahat, maka perkumpulan Tok-coa-pang ini terkenal di dunia persilatan sebagai pekumpulan sesat, dan semua perkumpulan para pendekar yang termasuk golongan putih tidak mau bergaul dengan mereka. Bahkan para pendekar memusuhi mereka. Oleh karena itu, ketika Ban Koan yang mengobati Coa Siauw Kwi yang terluka, membuka pintu untuk melakukan hubungan. Uluran tangan Ban Koan ini disambut dengan gembira oleh Coa Ta Kui.
Mereka lalu bersekutu dan persekutuan ini berhasil merebut kekuasaan atas Thian-san-pang sehingga kini Thian-san-pang diketuai oleh Ban Koan yang telah menjadi tokoh Tok-coa-pang. Melalui Thian-san-pang, Coa Ta Kui hendak memperluas pengaruhnya ke dunia kang-ouw.
Coa Ta Kui dan adiknya, Coa Siauw Kwi masih murid keponakan dari See-thian Tok-ong, dan tentu saja mereka itu mempunyai hubungan dengan See-thian Tok-ong yang bekerja untuk pemerintah kerajaan Hou-han. Melalui Tok-coa-pang, mereka itu hendak mempengaruhi golongan kang-ouw agar kelak mau membantu Hou-han yang berambisi untuk menalukkan kerajaan Sung!
Demikianlah, Tok-coa-pang dan Thian-san-pang telah menjadi sekutu dan merupakan jaringan luar demi kepentingan kerajaan Hou-han yang berkedudukan di Shan-si. Mereka merupakan jaringan mata-mata yang bertugas membujuk para orang di dunia kang-ouw untuk memusuhi kerajaan Sung, dan juga bertugas untuk membikin kacau dalam daerah kerajaan Sung dengan berbagai kejahatan.
Setelah Cin Po mengalahkan tujuh orang Tok-coa-pang, segera orang-orang itu melapor kepada ketua mereka betapa muncul seorang pemuda yang amat lihai, yang mengalahkan mereka bertujuh dengan tangan kosong belaka.
Tentu saja hal ini menjadi perhatian para pimpinan dan mereka memasang mata-mata sehingga akhirnya Ban Koan yang ikut pula mengambil bagian dalam penyelidikan ini tahu bahwa pemuda yang amat lihai itu bukan lain adalah Cin Po yang dulu bersama Pat-jiu Pak-sian pernah datang dan menghajarnya.
Mendengar bahwa pemuda lihai itu adalah murid Pat-jiu Pak-sian, Coa Ta Kui dan Coa Siauw Kwi segera mengajak Ban Koan untuk menghadap See-thian Tok-ong yang kebetulan sedang datang berkunjung ke Tok-coa-pang.
See-thian Tok-ong memang seringkali datang berkunjung untuk mengadakan hubungan dengan dua orang murid keponakannya itu dan melihat perkembangan jaringan mata-mata yang telah dipasang di wilayah kerajaan Sung melalui perkumpulan Thian-san-pang yang dikenal sebagai perkumpulan orang gagah oleh dunia kang-ouw.
Baru sekali ini Ban Koan bertemu dengan See-thian Tok-ong. Dia memberi hormat dengan kagum sekali melihat seorang kakek yang berusia enampuluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar seperti raksasa, bermuka hitam menyeramkan dan kepalanya bersorban. Ban Koan sendiri kini telah menjadi seorang yang usianya sudah empatpuluh tahun lebih, tubuhnya kini menjadi agak gendut dan mata nya menjadi semakin sipit.
Dia telah menikah dengan seorang murid Thian-san-pang sendiri, akan tetapi sampai sekarang belum juga mempunyai keturunan. Karena itu, maka dia mengambil dua orang selir yang masing-masing memberikan seorang putera dan seorang puteri kepadanya, yang kini telah berusia sekitar sepuluh tahun.
Coa Ta Kui juga seorang yang bertubuh tinggi besar, usianya sebaya dengan Ban Koan, wajahnya seperti seekor singa, penuh brewok di seputar wajahnya, membuat wajah itu nampak menyeramkan. Adapun Coa Siauw Kwi bertubuh tinggi kurus, amat berbeda dengan kakaknya, karena Coa Siauw Kwi berwajah bersih tanpa kumis tanpa jenggot. Setelah menerima mereka bertiga, dengan tenang See-thian Tok-ong mendengarkan laporan Coa Ta Kui.
“Supek, di Thian-san ini telah muncul seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan agaknya dia merupakan ancaman bagi kita, karena menurut kererangan Ban Koan, pemuda itu adalah murid Pat-jiu Pak-sian.”
“Hemm, betulkah?” tanya See-thian Tok-ong dengan sikapnya yang acuh sambil menoleh kepada Ban Koan.
“Betul, locianpwe, saya mengenal betul anak itu yang berkunjung kepada ibunya di kuil Ban-hok-si. Dia dahulu tinggal pula di Thian-san-pang karena ibunya adalah sumoi saya sendiri.”
“Hemm, berapa usianya?”
“Sekitar sembilanbelas tahun.”
Datuk Barat itu tertarik. “Nanti dulu, murid Pat-jiu Pak-sian, usianya sembilanbelas tahun, tubuhnya tinggi besar? Kira-kira tiga-empat tahun yang lalu... hemm, ya, mungkin sekali dia!”
“Tepat sekali, tubuhnya tinggi besar, dan namanya Cin Po, Sung Cin Po,” kata Ban Koan yang tentu saja mengetahui bahwa Cin Po adalah anaknya sendiri!
“Bagus! Aku amat membutuhkan pemuda itu. Kita atur supaya dapat menangkap dia!” See-thian Tok-ong lalu memberi perintah dan petunjuk kepada dua orang murid keponakannya dan Ban Koan.
Siasat lalu diatur dan segala gerak-gerik dari mereka yang tinggal di Ban-hok-si telah diamat-amati oleh orang-orang Tok-coa-pang. Karena itu, kepergian Cin Po tentu saja juga diketahui, bahkan ketika Hui Ing mengantar Cin Po sampai keluar dusun, para mata-mata itupun melihatnya.
Ketika bayangan Cin Po sudah tidak nampak lagi, barulah Hui Ing membalikkan tubuhnya dan hendak kembali ke kuil, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat lima orang telah berdiri di belakangnya. Dan seorang di antara mereka adalah Ban Koan yang masih dikenalnya biarpun sudah bertahun-tahun ia tidak melihat orang itu.
Ia memandang kepada orang itu dengan mata bersinar penuh kemarahan. Inilah orangnya yang mengkhianati ketua Thian-san-pang, mengkhianati ayah kandungnya dan bahkan karena orang ini bersekutu dengan Tok-coa-pang maka ayah dan ibu kandungnya sampai tewas! Inilah musuh besarnya!
Ban Koan tersenyum ramah memandang kepada Hui Ing, “Eh, engkau Hui Ing, bukan? Engkau yang dirawat oleh sumoi Bi Li! Lupakah engkau kepadaku, Hui Ing? Aku adalah supekmu sendiri, Ban Koan.”
“Aku tahu siapa engkau! Engkau adalah pengkhianat busuk dari Thian-san-pang! Engkau yang telah menjual Thian-san-pang kepada orang-orang jahat. Engkau mengkhianati ketua Thian-san-pang, mengkhianati guru sendiri dan membunuh banyak anggauta Thian-san-pang. Engkau adalah manusia yang licik dan busuk!”
Setelah berkata demikian, mengingat bahwa orang ini yang mengakibatkan kematian ayah dan ibu kandungnya, Hui Ing sudah mencabut pedangnya dan menyerang kalang kabut menggunakan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Ban Koan terkejut, tidak mengira gadis itu akan sedemikian marahnya dan menyerangnya. Dia menduga bahwa gadis ini tentu telah mengetahui rahasia tentang dirinya, bahwa ia bukan puteri kandung Bi Li melainkan puteri kandung mendiang Tiong Gi Cinjin maka menuduhnya seperti itu.
Ia cepat mengelak dan herloncatan ke sana sini untuk menghindarkan diri dari serangan Hui Ing, bahkan lalu menghunus pedangnya untuk membuat perlawanan. Biarpun dalam hal ilmu pedang Thian-san-kiam-sut dia lebih matang dari kemahiran Hui Ing, akan tetapi karena gadis itu hendak membalas dendam dan nekat sekali sehingga serangan-serangannya amat berbahaya. Ban Koan lalu memberi isyarat kepada empat orang kawannya dari Tok-coa-pang untuk mengeroyok.
Dikeroyok lima, tentu saja Hui Ing terdesak hebat. Baru melawan Ban Koan saja, kalau orang itu menghendaki kematiannya, tentu ia akan kalah. Selain ilmu pedangnya kalah matang, juga Ban Koan telah mempelajari ilmu dari Tok-coa-pang bahkan telah mengenakan baju kebal di bawah bajunya yang biasa.
Kini, dikeroyok lima sebentar saja Hui Ing terdesak hebat. Kemudian, saat ia terdesak itu, sebuah totokan tangan Ban Koan mengenai pundaknya dan iapun roboh lemas. Ban Koan menyuruh seorang kawannya untuk cepat memanggul tubuh yang lemas itu dan mereka pergi dengan cepat.
Sementara itu, Cin Po yang berangkat meninggalkan Thian-san, hendak memulai dengan tugasnya mencari musuh besarnya, baru berjalan kira-kira empat lie jauhnya, tiba-tiba ada seorang mendahuluinya dan menghadang perjalanannya.
“Berhenti dulu. Engkau yang bernama Sung Cin Po, bukan?”
Cin Po merasa heran karena dia tidak mengenal orang kurus yang gerakannya gesit itu. “Benar, aku bernama Sung Cin Po. Siapa engkau dan ada urusan apakah menghadangku?”
“Sung Cin Po, kalau engkau tidak ingin melihat gadis yang bernama Hui Ing itu tewas, kau ikutilah aku!”
Orang itu lalu berlari dengan cepat, kembali ke arah Thian-san. Tentu saja Cin Po menjadi terkejut sekali. Biarpun orang itu larinya cepat sekali, dengan beberapa lompatan saja dia sudah dapat menyusulnya dan tangannya mencengkeram arah pundak orang itu. Si kurus itu hendak mengelak, akan tetapi sia-sia saja. Pundaknya sudah kena dicengkeram oleh Cin Po dan dia mengeluh kesakitan.
“Hayo katakan, apa artinya ini!” bentak Cin Po.
“Ampun, aku hanya disuruh menjadi penunjuk jalan agar engkau dapat menemukan gadis bernama Hui Ing yang telah ditawan.”
Cin Po terkejut. “Kalau begitu cepat bawa aku ke sana!”
Orang itu dilepaskan dan orang itu berlari secepatnya menuju ke sebuah hutan di kaki gunung Thian-san. Cin Po, dengan hati gelisah, mengikuti di belakangnya. Setelah tiba di tengah hutan yang lebat, orang itu menyusup ke dalam semak belukar dan berkata, “Sudah sampai!”
Cin Po tidak memperdulikannya lagi karena perhatiannya tertuju kepada Hui Ing yang dia lihat terbelenggu pada sebatang pohon. “Hui Ing.....!” teriaknya.
“Koko, jangan mendekat, engkau nanti terjebak. Orang-orang Tok-coa-pang bersekongkol dengan Ban Koan menawan aku.” Hui Ing berteriak-teriak ketika melihat munculnya Cin Po.
Akan tetapi Cin Po tidak takut dan dia melangkah maju. Tiba-tiba dari balik pohon besar itu muncul dua orang dan tentu saja dia terkejut sekali karena melihat bahwa dua orang itu bukan lain adalah See-thian Tok-ong dan muridnya yang bernama Kam Song Kui! Dari arah belakangnya terdengar gerakan orang dan ketika menengok, ternyata dia telah dikepung oleh belasan orang anggauta Tok-coa-pang!
“See-thian Tok-ong, apa artinya ini?” bentak Cin Po marah.
See-thian Tok-ong bergelak-gelak. “Ha-ha-ha-ha, akhirnya engkau muncul juga!”
Tahulah Cin Po bahwa Hui Ing ditawan hanya untuk memancing dia datang, maka teriaknya, “See-thian Tok-ong, bebaskan Hui Ing. Ia tidak bersalah apa-apa, jangan ganggu ia!”
“Suhu, jangan bebaskan. Aku menginginkan gadis itu!” tiba-tiba Kam Song Kui yang tampan dan berpakaiaa mewah itu berkata.
Mendengat ini, See-thian Tok-ong tertawa lagi. “Ha-ha-ha, memang sudah tiba waktunya engkau mengambil isteri dan kalau engkau menyukai gadis itu, baik sekali.”
Cin Po menjadi khawatir bukan main, dan Hui Ing berteriak, “Aku tidak sudi menjadi isterimu, keparat busuk!”
“See-thian Tok-ong, engkau seorang datuk dari barat yang terkenal, mengapa tidak malu melakukan perbuatan yang pengecut, menghina orang-orang muda? Kalau engkau tidak membebaskan Hui Ing, aku akan melawanmu!”
“Biarkan aku menghajar dan menangkap orang kurang ajar ini untukmu, suhu!” kata Kam Song Kui sambil mencabut sulingnya yang seperti perak.
Suling terbuat dari baja yang baik berwarna hitam, akan tetapi disepuh perak sehingga nampak putih mengkilap. Karena sulingnya menggunakan julukan yang gagah, yaitu Kang-siauw Taihiap (Pendekar Besar Suling Baja).
See-thian Tok-ong teringat bahwa pemuda ini adalah murid Pat-jiu Pak-sian dan pernah ditolong oleh Nam-san Sianjin, maka dia khawatir kalau-kalau muridnya tidak akan mampu menang. Maka dia memberi isyarat kepada murid-murid keponakannya, yaitu Coa Ta Kui dan Coa Siauw Kui, para pimpinan Tok-coa-pang untuk membantu. Ke dua orang pimpinan Tok-coa-pang ini segera menghunus golok masing-masing dan bersama Kam Song Kui, mereka sudah mengepung Cin Po.
Pemuda ini tidak membawa senjata, maka diapun cepat menyambar sebuah ranting kayu dari pohon di dekatnya. Ranting sepanjang lengannya inilah yang menjadi senjatanya. Ketika tiga orang lawannya menyerangnya, diapun memutar rantingnya, bersilat dengan ilmu Tiam-hiat-tung (Tongkat Penotok Darah) dan menggunakan gin-kangnya bergerak cepat mengirim totokan ke arah tiga orang itu.
Tiga orang lawannya cepat menangkis dan mengelak, lalu mereka pun membalas dengan serangan senjata mereka. Namun, Cin Po memiliki gerakan jauh lebih cepat dan ringan dibandingkan mereka, maka dia mampu mengelak dari sambaran senjata mereka dan balas menyerang dengan cepatnya.
See-thian Tok-ong memandang kagum. Pemuda itu ternyata benar seperti dugaannya, telah mempelajari ilmu-ilmu dari Nam-san Sianjin pula. Dia mengenal Tiam-hiat-tung itu. Dengan menggabungkan ilmu yang dipelajarinya dari Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin, pemuda itu dapat bergerak dengan lincah dan hebat.
Muridnya dan dua orang murid keponakannya akan sukar mendapatkan kemenangan kecuali kalau mereka menggunakan senjata maut beracun. Dia tidak ingin melihat pemuda itu tewas, karena dia membutuhkannya, untuk diambil darah dan sumsumnya untuk menyempurnakan ilmunya.
Melihat muridnya dan kedua orang murid keponakan itu belum juga mampu mendesak Cin Po, kakek ini lalu meloncat ke depan, berhadapan dengan Cin Po. Melihat ini, Cin Po menggerakkan rantingnya untuk menotok, akan tetapi tiba-tiba See-thian Tok-ong menudingkan telunjuknya kepada Cin Po, matanya memandang dengan sinar aneh dan terdengar dia membentak. “Orang muda, berlututlah!”
Dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang hebat. Dan Cin Po tiba-tiba merasa ada dorongan kuat untuk menjatuhkan diri berlutut. Dia mencoba melawannya dan menolak dorongan keinginan ini sehingga dia terhuyung. Dan kesempatan itu dipergunakan oleh See-thian Tok-ong tangannya yang dapat mulur panjang untuk mencengkeram pundak Cin Po dan seketika Cin Po menjadi lemas dan roboh! Cengkeraman kakek itu mengandung racun dalam kuku-kukunya, racun yang membuat lawan menjadi lemas tak berdaya lagi, seperti racun pembius.
“Tua bangka tak tahu malu! Beraninya mengeroyok!” Hui Ing yang masih terbelenggu di pohon itu memaki-maki ketika melihat Cin Po tertawan pula.
Kam Song Kui sudah cepat membelenggu kaki tangan Cin Po dan diikat pula di pohon dekat pohon di mana Hui Ing diikat. Keduanya kini terikat di pohon, tak berdaya. Ternyata pengaruh racun yang membuat lemas itu hanya sebentar, dan Cin Po sudah dapat bergerak kembali. Akan tetapi kaki tangannya terikat dan dia memandang kepada Hui Ing.
“Aku menyesal tak dapat menolongmu, Ing-moi,” katanya jujur.
“Aku yang menyesal, koko. Engkau terjebak karena mereka menangkap aku.”
Keduanya saling pandang, dan biarpun tahu bahwa mereka sudah tidak berdaya dan terancam bahaya besar, keduanya sama sekali tidak kelihatan takut. Melihat sikap gadis itu yang sedikitpun tidak takut, diam-diam Cin Po merasa girang dan bangga. Sekali lagi dia berusaha menyelamatkan Hui Ing.
“See-thian Tok-ong, sekali lagi aku minta kepadamu agar membebaskan adikku ini. Engkau sudah berhasil menangkap aku, maka bebaskanlah ia yang tidak bersalah!”
“Koko, aku tidak takut mati! Aku akan bangga dapat mati bersamamu!” teriak Hui Ing dengan lantang dan Cin Po merasa terharu sekali.
Tiba-tiba dia merasa menyesal sekali. Kalau Hui Ing bukan adiknya, kalau gadis itu tidak mengenalnya, tentu hari ini tidak sampai terjatuh ke tangan iblis tua See-thian Tok-ong.
Pada saat itu, tiba-tiba angin bertiup keras dan entah dari mana datangnya, di situ terdapat angin berpusing yang kuat sekali. Daun-daun dan debu beterbangan dan berputar cepat. Putaran angin ini bergerak maju, orang-orang yang terlanggar jatuh bergelimpangan. See-thian Tok-ong sendiri merasa heran dan dia sudah duduk bersila sambil memejamkan mata mengerahkan tenaganya.
Dari pusaran angin itu terdengar suara lembut, “See-thian Tok-ong, dari Hou-han berani mengacau di daerah Sung. Kembalilah ke asalmu!”
Suara itu lembut namun berwibawa sekali. See-thian Tok-ong tidak menjadi gentar, bahkan dia marah sekali. Sebagai seorang datuk besar yang terkenal lihai dan juga ahli dalam ilmu hitam dan sihir, dia maklum bahwa ada orang sakti menggunakan kekuatan ilmunya untuk mendatangkan angin berputar itu.
Maka, dia lalu bangkit berdiri, menekuk kedua lututnya dan dalam keadaan setengah berjongkok itu dia mendorongkan kedua tangannya. Uap hitam mengepul dari kedua tangan itu ke arah angin berpusing yang berada di depannya.
“Wuuuttt… Desss…!!”
Hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke arah angin berputar itu dan akibatnya, tubuh See-thian Tok-ong terlempar ke belakang seperti didorong oleh tenaga yang amat kuat. Ternyata tenaga dorongannya tadi ketika bertemu dengan angin berputar, lalu kembali dan mendorongnya sendiri sampai terpental.
Melihat kenyataan ini, See-thian Tok-ong menjadi gentar. Baru sekali ini selama hidupnya dia menghadapi kenyataan pahit. Pukulannya yang amat hebat, bukan saja hebat karena tenaga sakti, akan tetapi juga pukulan ini mengandung hawa ilmu hitam yang amat kuat dan berbahaya, tertolak begitu saja oleh angin berputar itu dan membuat dia terpental jauh ke belakang!
Darah tersembur keluar dari mulutnya dan tahulah dia bahwa dia telah terluka dalam, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu pergi dari situ, diikuti dengan tergesa-gesa dan penuh rasa gentar oleh para murid dan pengikutnya.
Cin Po dan Hui Ing melihat angin berputar itu menghampiri diri mereka. Tentu saja mereka terkejut dan khawatir. Akan tetapi tiba-tiba, entah bagaimana, belenggu kaki tangan mereka putus semua dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, mereka terangkat oleh angin berputar itu dan dibawa terbang cepat!
Dalam waktu beberapa menit saja mereka telah jauh meninggalkan daerah Thian-san dan tibalah mereka di sebuah padang rumput. Angin berputar yang menyeret dan menerbangkan mereka itu masih berputar di situ, lalu tiba-tiba angin itu berhenti berputar dan tubuh mereka berdua terpelanting ke atas rumput!
Cin Po terkejut bukan main. Tadi dia sudah mengerahkan tenaga sakti sekuatnya untuk melepaskan diri dari daya tarik angin berputar itu, akan tetapi semua usahanya sia-sia. Angin berputar itu terlalu kuat sehingga dia tak mampu melepaskan diri. Dan begitu angin itu berhenti berputar, tubuhnya terpelanting seperti sehelai daun kering!
Begitu tubuhnya jatuh ke atas padang rumput sampai bergulingan. Cin Po lalu melompat bangun. Dia melihat Hui Ing juga sudah merangkak bangun dan mereka berdua memandang ke arah angin berputar tadi. Akan tetapi tidak nampak lagi angin berputar dan yang berada di situ adalah seorang kakek yang tua renta.
Kakek berambut putih, berkumis dan berjenggot putih dan panjang. Dan pakaiannya dari kain kasar penuh tambalan pula, walaupun pakaian itu bersih namun jelas itu adalah pakaian seorang pengemis! Cin Po menjadi bingung dan ragu. Apakah pengemis tua ini yang tadi mendatangkan angin berputar dan menolong dia dan Hui Ing dari tangan See-thian Tok-ong?
Hui Ing juga berdiri dan memandang bengong, ia tidak tahu harus bersikap bagaimana karena ia tidak tahu siapa pengemis tua ini, dan kemana perginya angin berputar tadi. Akan tetapi, Cin Po yang berada di sebelahnya sudah memegang tangannya dan ditariknya tangannya oleh Cin Po yang mengajak ia berlutut menghadap pengemis tua itu.
“Locianpwe telah menyelamatkan kami berdua dari tangan See-thian Tok-ong, sungguh budi locianpwe amat besar dan kami berdua menghaturkan banyak terima kasih,” kata Cin Po sambil memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, diikuti oleh Hui Ing.
Kakek yang berpakaian seperti pengemis itu tersenyum dan wajahnya nampak seperti wajah seorang kanak-kanak ketika dia tersenyum ramah, sepasang matanya yang lembut itu juga ikut tersenyum. “Siapakah kalian anak-anak muda dan kenapa kalian sampai terjatuh ke tangan See-thian Tok-ong?”
Pertanyaan ini bagi Cin Po seperti sambil lalu saja dan dia yakin bahwa tanpa diberi keteranganpun agaknya kakek ini sudah mengetahui segalanya. Akan tetapi dia menjawab juga memperkenalkan diri.
“Teecu bernama Sung Cin Po dan ini adalah adik teecu bernama Kwan Hui Ing. Kami berdua adalah cucu-cucu murid Thian-san-pang yang kini diduduki seorang pengkhianat yang bersekutu dengan Tok-coa-pang. Ketika teecu meninggalkan tempat tinggal ibu teecu, yaitu di Ban-hok-si, di tengah perjalanan teecu diberitahu bahwa kalau teecu ingin melihat adik teecu selamat, teecu harus mengikuti orang itu. Ternyata adik teecu telah ditangkap oleh See-thian Tok-ong. Teecu hendak membebaskannya, akan tetapi teecu malah tertawan pula.”
Kakek itu mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Sebetulnya engkau sudah memiliki bakat yang membuat engkau tidak akan kalah menghadapi orang seperti See-thian Tok-ong itu, hanya sayang bakatmu masih terpendam dan belum digali. Aku melihat bahwa kalian berjodoh denganku, dan melihat pula bahwa belum waktunya kalian tewas, maka aku membawa kalian ke sini.”
Mendengar ini Cin Po lalu memberi hormat. “Locianpwe, kalau benar teecu berdua berbakat dan berjodoh dengan locianpwe, teecu mohon agar locianpwe sudi menerima teecu berdua sebagai murid.”
Karena yakin bahwa kakek ini adalah seorang yang luar biasa saktinya, Hui Ing mendengar ucapan kakaknya, juga ikut memberi hormat dan memohon. Kakek itu mengangguk-angguk. “Aku tidak akan menjadi guru kalian, hanya memberi sedikit petunjuk kepada kalian agar kalian dapat mematangkan ilmu yang sudah kalian miliki. Marilah kalian ikut aku!”
Kakek itu lalu melangkah pergi. Langkahnya begitu ringan seolah dia tidak, menginjak tanah, dan kedua orang muda itu cepat-cepat mengikuti. Cin Po saling pandang dengan Hui Ing dan seolah mereka dapat membaca isi hati masing-masing. Biarpun kakek itu melangkah begitu ringan dan seenaknya, namun kedua orang muda itu harus mengerahkan tenaga untuk tidak sampai tertinggal.
Dan dalam tatapan mata Hui Ing, Cin Po dapat merasakan sedikit keraguan. Tentu adiknya ingat akan ibunya. Mereka menjadi murid kakek sakti ini begitu saja dan Hui Ing mengikutinya tanpa lebih dulu memberitahu ibunya. Tentu ibunya akan menjadi cemas dan mencari-carinya. Sampai berapa lama mereka akan menerima petunjuk kakek itu?
Memang semula Hui Ing merasa khawatir karena tidak lebih dulu memberitahu ibunya. Orang tua itu tentu akan merasa gelisah sekali karena ia menghilang begitu saja tanpa pamit. Akan tetapi ketika ia teringat bahwa Cin Po berada bersamanya, hatinya menjadi tenang kembali dan gadis ini mengerahkan seluruh tenaganya untuk dapat mengimbangi tubuh kakek yang seperti meluncur terbawa angin itu.
Kakek itu membawa mereka ke sebuah bukit. Orang menyebut bukit ini Pek-liong-san (Bukit Naga Putih). Menurut dongeng kuno, katanya bukit ini pernah menjadi tempat bertapa seekor naga putih! Dan di puncak bukit itu terdapat lantai batu yang ada bekas tapak kaki naga itu!
Tentu saja kebenaran dongeng ini masih perlu dibuktikan, akan tetapi yang jelas bukit itu disebut Bukit Naga Putih. Dan karena puncak bukit itu gundul, terdiri dari tanah padas dan kapur, maka jarang ada manusia mendaki bukit yang tidak ada apa-apanya itu.
Agaknya justeru kesunyian bukit inilah yang membuat kakek itu memilih tempat ini sebagai tempat tinggalnya, yaitu di sebuah guha besar. Seperti biasa, bukit kapur selalu mempunyai banyak guha-guha. Setelah tiba di guha besar itu, kakek tadi duduk bersila dan kedua orang muda itu berlutut di depan kakinya.
“Cin Po, dan kau Hui Ing, tidak biasanya aku memberi petunjuk kepada orang-orang muda seperti kalian. Akan tetapi seperti kukatakan tadi, agaknya ada jodoh antara kalian denganku, maka aku akan memberi petunjuk kepada kalian. Akan tetapi ketahuilah bahwa ilmu yang akan kuajarkan kepada kalian mempunyai pantangan, yaitu kalau kalian pergunakan untuk kejahatan, ilmu itu akan menghancurkan kalian sendiri. Aku percaya bahwa kalian orang-orang muda yang bijaksana, maka aku berani mengajarkan kepada kalian.”
“Terima kasih sebelumnya atas segala petunjuk Suhu!” kata Cin Po gembira.
“Terima kasih, Suhu,” kata pula Hui Ing.
Demikianlah, mulai hari itu, Cin Po dan Hui Ing menerima petunjuk dari kakek itu. Selain memperdalam ilmu yang telah mereka kuasai, mereka juga menerima pelajaran ilmu silat yang diberi nama Ngo-heng-sin-kun (Ilmu Silat Lima Anasir). Di samping itu, mereka juga menerima ilmu kekuatan sihir untuk mempengaruhi pikiran lawan. Akan tetapi mereka berdua dipesan bahwa ilmu sihir ini tidak boleh dipergunakan untuk mencelakai lawan, hanya boleh untuk menjaga atau membela diri saja.
Mereka berdua selain berlatih ilmu, juga melayani keperluan kakek itu, mencuci pakaian, menyediakan makanan atau minuman. Akan tetapi kakek itu jarang sekali makan, lebih banyak berpuasa, bahkan jarang bercakap kalau bukan untuk menerangkan ilmu yang diajarkannya....