Pendekar Baju Putih Jilid 09

Cerita silat Mandarin Pendekar Baju Putih Jilid 09 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Baju Putih Jilid 09 karya Kho Ping Hoo - Sang waktu berjalan dengan amat cepatnya sehingga dua tahun telah lewat sejak Cin Po dan Hui Ing berlatih ilmu dari kakek aneh itu. Kakek itu memang aneh. Ketika pada suatu hari Cin Po dan Hui Ing bertanya siapa sebenarnya nama kakek itu, dia hanya terkekeh dan menjawab,

Novel Silat Mandarin Pendekar Baju Putih karya Kho Ping Hoo

“Aku ini seorang yang sudah tua dan tidak mempunyai nama, kenapa tanya-tanya soal nama? Aku tidak mempunyai nama.”

Setelah terkekeh lagi, dia menyambung, “Apa sih artinya nama? Betapa baik atau buruknya pun sebuah nama, itu tidak menunjukkan kenyataan atau keadaan yang diberi nama itu.”

“Kalau begitu, Suhu ini Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama)!” kata Cin Po.

“Heh-heh-heh, biarpun artinya Orang Tua Tanpa Nama, kalau sudah disebut, menjadi nama juga. Ha-ha, terserah, diberi nama apapun, tidak akan mengubah keadaan diriku yang sebenarnya.”

“Kalau boleh teecu bertanya, sebenarnya Suhu ini siapakah dan berasal dari mana?”

“Sudahlah tidak perlu ditanyakan hal itu, aku sendiripun sudah lupa dari mana aku berasal dan siapakah diriku ini. Yang terpenting bagi kalian adalah bahwa selama hidup ini kalian berlakulah benar. Ambillah jalan benar di manapun kalian berada, karena hanya jika kalian dapat melalui jalan kebenaran maka hidup kalian di dunia tidak akan sia-sia.”

“Akan tetapi Suhu,” kata Cin Po. “Apakah kebenaran itu? Semua orang selalu mengatakan bahwa dia bertindak demi kebenaran. Kalau ada dua pihak bermusuhan, keduanya tentu akan mengaku bahwa pihak mereka yang benar. Kebenaran diperebutkan oleh semua orang, sesungguhnya apa yang disebut kebenaran itu, Suhu? Ini penting bagi teecu berdua karena tadi Suhu menasihatkan agar teecu berdua bertindak melalui jalan kebenaran, sehingga sudah semestinya kalau teecu mengerti apa yang dinamakan kebenaran itu.”

“Kebenaran tidak bisa diperebutkan, kalau bisa diperebutkan itu bukan kebenaran lagi namanya. Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang ada manfaatnya bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Kalau hanya baik bagi diri sendiri akan tetapi tidak baik bagi orang lain, itu bukan kebenaran namanya.

“Perbuatan menuruti nafsu sudah tentu tidak benar, satu-satunya perbuatan benar adalah perbuatan yang dituntun oleh kekuasan Tuhan. Dan untuk memperoleh tuntunan itu, kalian haruslah menyerah dengan sepenuh hatimu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Barulah perbuatanmu akan benar.

“Ingat benar, kalau dibalik perbuatan itu ada pamrih demi kepentingan atau kesenangan diri pribadi, maka perbuatan itu pasti mengandung ketidak-benaran. Nah, sudah cukup aku bicara tentang kebenaran, selanjutnya, serahkan saja kepada Tuhan yang pasti akan memberi bimbinganNya kepada kalian. Tuhan pasti memberi bimbingan kepada hati yang benar-benar baik dan bersih.”

“Terima kasih atas nasihat Suhu dan teecu berdua pasti akan menaatinya sekuat mungkin,” kata Cin Po.

“Suhu, teecu ingin sekali bertanya tentang sesuatu,” kata Hui Ing. “Ayah dan ibu kandung teecu dibunuh orang. Kalau teecu membalas dendam dan membunuh orang itu, apakah perbuatan teecu itu tidak benar?”

“Dendam kebencian merupakan racun bagi hati dan pikiran. Buanglah jauh-jauh dendam kebencian itu. Seorang yang pernah melakukan kejahatan belum tentu selamanya dia jahat. Mungkin dia telah sadar dan berobat dan kemudian menjadi orang yang baik. Kalau engkau hendak menentang seseorang, tentanglah kejahatannya. Menentang kejahatan memang menjadi tugas kalian, akan tetapi penentangan itu bukan berdasarkan dendam pribadi, melainkan berdasar menyelamatkan banyak orang dari pada kejahatan orang itu. Mengertikah kalian?”

“Teecu mengerti, Suhu,” kata Hui Ing.

“Teecu mengerti, Suhu,” kata pula Cin Po yang juga teringat akan dendam yang ditanamkan sejak dia kecil oleh ibu kandungnya terhadap musuh besar yang telah membunuh ayah kandungnya.

Kini dia merasa lega. Dia akan mencari orang itu dan kalau mendapatkan orang itu jahat, dia akan menentangnya dan kalau perlu membunuhnya karena kejahatannya, bukan karena dia hendak membalaskan kematian ayahnya.

Demikian pula dengan Hui Ing. Di dalam hatinya, tadinya gadis ini mendendam kepada Ban Koan dan Tok-coa-pang. Setelah mendengar pesan kakek itu, iapun merasa lega. Kalau Ban Koan masih jahat, tentu akan dibasminya, demikian pula dengan Tok-coa-pang. Akan tetapi kalau Ban Koan sudah bertobat dan menjadi orang baik tidak ada alasan baginya untuk membunuhnya.

“Bagus, yang terpenting adalah pengertian kalian tentang tugas hidup karena kalian dijelmakan menjadi manusia tidaklah sia-sia. Tuhan menghendaki agar manusia melakukan kebaikan dan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bagi manusia lain. Sekarang kalian telah mempelajari ilmu. Ingat, ilmu itu tiada batasnya. Jangan sekali-kali menganggap bahwa setelah mempelajari ilmu dariku, kalian lalu merasa yang paling pandai. Sama sekali tidak.

“Kepandaian yang dapat dimiliki manusia hanyalah sekelumit, dan Yang Maha Pandai hanyalah Tuhan. Dari Tuhan semuanya datang, kita ini hanyalah alat belaka, maka jadilah alat yang baik, jadilah alat yang berguna! Janganlah sekali-kali suka mengunggulkan diri. Makin rendah hati, kalian akan menjadi lebih waspada dan semakin dekat dengan kekuasaan Tuhan. Yang tinggi hati dan sombong, sekali waktu pasti akan jatuh dan menyadari bahwa segala kekuasaan, kepandaian dan segalanya adalah milik Tuhan.

“Sekarang kalian boleh melanjutkan perjalanan ke mana kalian suka. Akan tetapi ada sedikit pesanku. Belasan tahun yang lalu, aku memiliki sepasang pedang, yaitu Im Yang Siang-kiam (Sepasang Pedang Langit Bumi) Pedang itu dicuri orang dan kini dia bersembunyi di Pulau Iblis, di Lautan Kuning. Kalau kalian dapat merampas sepasang pedang itu baik sekali, untuk kalian seorang sebatang. Kalau dibiarkan berada dalam tangan orang yang sesat jalan, sepasang pedang itu dapat dipergunakan untuk kejahatan, dan hal itu sungguh sayang sekali. Nah, sekarang kalian boleh pergi.”

“Suhu hendak ke mana?” tanya Hui Ing.

Kakek itu tersenyum. “Manusia tidak akan dapat melepaskan diri dari maut. Selama tinggal di dalam badan yang terdiri dari daging, tulang dan kulit ini, pasti badan ini akan rusak, sakit dan mati. Akan tetapi sebelum kematian tiba, aku ingin pergi ke Atap Dunia.”

“Suhu maksudkan pergi ke Pegunungan Himalaya?” tanya Cin Po.

“Engkau sudah mengerti. Nah, aku mau pergi sekarang. Ingat semua pesanku kalau kalian ingin selamat dan berbahagia dalam kehidupan kalian.” Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan dan melambaikan tangannya, lalu dia berkelebat dan lenyap dari depan guha itu.

Cin Po dan Hui Ing menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah guru mereka pergi dan keduanya berbisik mengucapkan selamat jalan. Sejenak mereka berlutut seperti patung, mengingat segala kebaikan guru itu dan segala ilmu yang telah mereka pelajari selama dua tahun itu.

“Ing-moi...!” Akhirnya Cin Po yang menegur terlebih dahulu.

Hui Ing menoleh dan Cin Po melihat betapa kedua mata adiknya itu basah dan agak kemerahan.

“Engkau menangis?”

“Aku terharu, koko. Suhu begitu baik kepada kita, dan sudah dua tahun ini kita hidup bersamanya, menerima gemblengan darinya. Sekarang, tiba-tiba suhu pergi meninggalkan kita, bagaimana hatiku tidak menjadi sedih? Semangatku seakan-akan pergi mengikuti suhu.”

Cin Po menghela napas panjang. Betapa pada dasarnya setiap orang manusia ini selain merasa sendirian, kesepian dan mudah sekali hati ini melekat kepada siapa saja dan apa saja. Dia sendiri pun tidak ada bedanya, maka diapun berkata,

“Aku mengerti bagaimana perasaanmu Ing-moi. Akan tetapi kita semua harus berani menghadapi kenyataan bahwa setiap pertemuan tentu diakhiri dengan perpisahan. Tidak ada yang abadi dalam kehidupan ini Ing-moi, dan kita harus selalu siap menghadapi segala perubahan yang tiba menimpa diri kita. Biarlah kita mengikuti suhu dengan perasaan terima kasih kita, dan untuk memberi ujud kepada rasa terima kasih kita itu, kita harus memenuhi semua harapan dan nasihatnya. Tidakkah kau pikir begitu?”

“Engkau benar, koko. Sekarangpun aku sudah mengalihkan perhatianku, membayangkan betapa akan senangnya hati ibu dan nenek, kalau melihat kita kembali ke Ban-hok-si setelah dua tahun pergi tanpa pamit.”

“Akan tetapi, Ing-moi. Ingat akan pesan suhu. Bukankah kita harus merampas kembali Im-yang Siang-kiam milik suhu yang dicuri orang itu?”

“Apakah kita tidak pulang saja lebih dulu agar ibu tidak menjadi gelisah, koko?”

“Kupikir lebih baik kita pergi mencari pedang itu lebih dulu, Ing-moi. Kalau kita pulang lebih dulu, tentu ibu dan nenek tidak akan memperkenankan kita pergi lagi. Sudah kepalang kita meninggalkan mereka setelah kita berhasil merampas pedang, baru kita kembali. Atau engkau saja kembali lebih dulu, dan aku yang berusaha merampas pedang?”

“Tidak, koko! Bukankah ini merupakan tugas kita berdua karena pedang itu untuk kita berdua? Marilah, aku menurut bagaimana sebaiknya kau yang menentukan saja.”

Mereka lalu meninggalkan Pek-liong-san, menuruni bukit itu dan melakukan perjalanan menuju ke timur, ke Lautan Kuning.


Kita menengok dulu keadaan Bi Li dan Liauw In Nikouw di Ban-hok-si. Mereka sama sekali tidak menduga ada peristiwa buruk menimpa Hui Ing ketika seorang penduduk dusun berlari-larian menemui mereka dengan muka pucat dan napas terengah-engah.

“Celaka, toanio……, celaka….. nona Hui Ing…..!”

Sung Bi Li memegang pundak orang itu dan mengguncangnya. “Ada apakah, paman? Apa yang terjadi dengan Hui Ing? Tenangkan hatimu dan ceritakan yang jelas.”

Lauw In Nikouw mengambilkan air teh untuk diminumkan orang itu. Setelah minum, barulah orang itu agak tenang sedikit. “Saya baru saja lewat di luar pintu gerbang dusun kita. Saya melihat nona Hui Ing berkelahi melawan lima orang, kemudian nona Hui Ing roboh dan dipanggul oleh seorang di antara mereka, dibawa lari.”

“Celaka!” Sung Bi Li berlari masuk mengambil pedangnya dan ia segera berlari keluar dari dusun itu untuk melakukan pengejaran. Memang ia melihat bekas tapak kaki orang-orang berkelahi di situ, akan tetapi tidak nampak lagi bayangan lima orang yang menculik Hui Ing.

Ia lalu teringat kepada Thian-san-pang. Siapa lagi kalau bukan mereka atau Tok-coa-pang yang menculik Hui Ing? Ia sudah mendengar desas-desus bahwa orang-orang Thian-san-pang dan Tok-coa-pang seringkali melakukan penculikan, terhadap gadis-gadis dusun.

Ia lalu pulang dan mengajak Lauw In Nikouw pergi ke Thian-san-pang. Kalau ia tidak berhasil membujuk Ban Koan, mungkin Lauw In Nikouw akan berhasil agar Ban Koan menyelidiki anak buahnya dan membebaskan Hui Ing kalau benar diculik oleh mereka.

Dua orang wanita itu bergegas naik ke lereng Pegunungan Thian-san, langsung menuju ke markas Thian-san-pang. Para anggauta Thian-san-pang yang lama tentu saja mengenal mereka dan tidak ada yang berani mengganggu ketika Sung Bi Li dan Lauw In Nikouw memasuki pintu gerbang perkampungan itu. Seorang anggauta lalu memberi laporan kepada Ban Koan tentang kunjungan ini.

Ban Koan bergegas keluar dan menyambut mereka. Begitu melihat Bi Li, jantungnya masih berdebar. Ah, setelah sekian tahun tidak bertemu sumoinya itu, ternyata hatinya masih terguncang begitu bertemu. Dia masih mencintai sumoinya itu!

“Aih, kiranya engkau, sumoi. Dan Su-kouw (bibi guru) juga datang berkunjung. Selamat datang dan mari silakan masuk!”

“Tidak usah masuk, suheng. Kita bicara di sini saja!” kata Bi Li dengan ketus dan dingin.

Ban Koan menarik napas panjang. “Engkau masih tidak berubah, sumoi. Baiklah, ada keperluan apakah engkau mencari aku? Apa yang dapat kulakukan untukmu, sumoi?”

“Suheng, bebaskan sekarang juga, Hui Ing!” teriak Bi Li dengan marah.

“Sumoi, apa maksudmu?” Ban Koan pura-pura kaget, pada hal tentu saja dia tahu apa yang telah terjadi dengan Hui Ing yang telah ditolong oleh angin berputar yang aneh.

“Suheng, tidak usah berpura-pura. Hui Ing diculik oleh lima orang pria. Siapa lagi mereka itu kalau bukan engkau atau anak buahmu? Cepat perintahkan anak buahmu untuk membebaskan Hui Ing atau aku akan mengadu nyawa denganmu!”

“Sabarlah, sumoi. Sungguh mati aku tidak tahu di mana Hui Ing berada.”

“Bohong……!” teriak Bi Li.

“Ban Koan, harap jangan mencari keributan dan bebaskanlah Hui Ing, kalau benar ditawan oleh orang-orangmu,” Lauw In Nikouw membujuk dengan sauaranya yang lembut.

“Su-kouw, saya sama sekali tidak tahu, di mana adanya Hui Ing. Bagaimana harus membebaskannya?”

“Suheng Ban Koan! Ingat, kalau engkau berkeras tidak mau menyelidiki anak buahmu dan membebaskan Hui Ing, aku akan menyiarkan ke seluruh pelosok agar dunia kang-ouw mengetahui akan pengkhianatanmu, dan bahwa Thian-san-pang kau ajak menyeleweng dan bersekutu dengan Tok-coa-pang!”

“Sumoi, jangan marah dulu. Engkau sudah hafal akan keadaan di perkampungan kita ini. Nah, kenapa tidak kau selidiki dan geledah sendiri apakah Hui Ing berada di sini?”

“Baik, aku akan mengadakan penggeledahan!” kata Bi Li dan ia lalu melangkah masuk diikuti oleh Louw In Nikouw. Ban Koan mengikuti pula dari belakang. Bi Li menggeledah ke dalam rumah, tidak memperdulikan keluarga Ban Koan yang menjadi terkejut. Ia tentu menuju ke belakang dan kini bagian belakang rumah itu telah dijadikan tempat tahanan oleh Ban Koan.

Bi Li menggeledah tempat ini, memasuki setiap tahanan dan mencari-cari. Ketika ia memasuki sebuah kamar tahanan besar yang kosong, tiba-tiba dari luar Ban Koan menutupkan pintu tahanan itu dan menguncinya. Bi Li terkejut sekali, melompat ke pintu itu dan mendorong-dorongnya sekuat tenaga. Akan tetapi pintu itu terbuat dari besi, kokoh kuat dan tidak dapat terbuka.

“Ban Koan, apa yang kaul akukan ini? Lepaskan aku, cepat!” Bi Li mencabut pedangnya dan mengamuk kalang kabut membacoki pintu, akan tetapi hanya mengeluarkan suara berkerontangan, tidak mampu membuka pintu itu.

“Bi Li, engkau tenang-tenanglah tinggal di sini, engkau akan diperlakukan dengan baik. Ingat, aku tetap sayang padamu, Bi Li, hanya engkaulah yang tidak tahu dicinta orang.”

“Bebaskan aku, Ban Koan, lepaskan aku!”

“Dan membiarkan engkau berteriak-teriak di dunia kang-ouw memburuk-burukkan Thian-san-pang? Tidak, Bi Li, kau tinggal dulu di sini untuk sementara.”

Lauw In Nikouw menjadi marah. “Omitohud....! Mengapa engkau berubah menjadi jahat begini, Ban Koan? Ingat, Bi Li adalah sumoimu sendiri dan Hui Ing adalah murid keponakanmu. Aku sendiri yang akan menyiarkan di dunia kang-ouw kalau engkau tidak segera membebaskan Bi Li dan Hui Ing!”

“Ah, Su-kouw sudah tua. Jangan ikut-ikut urusan ini, pergi saja sana bersembahyang di kuilmu!” kata Ban Koan yang menjadi marah dan dia menggunakan tangannya mendorong tubuh nenek itu agar pergi keluar.

Didorong oleh tangan yang kuat itu, Lauw In Nikouw terpental keras dan menabrak dinding kuat-kuat. Nenek itu mengeluh dan tubuhnya terkulai lemas, kepalanya berdarah. Ban Koan terkejut. Dia telah lupa bahwa nenek ini adalah seorang yang lemah. Dorongannya tadi terlampau kuat dan nenek itu menabrak dinding, kepalanya terbentur dinding dan kini ia terkulai dengan kepala retak. Ban Koan cepat berjongkok dan memeriksa, kaget juga melihat nenek itu sudah tewas!

“Ban Koan, engkau.... engkau telah membunuh Su-kouw……! Ah, keparat, Ban Koan, engkau membunuh Su-kouw……!” Bi Li berteriak, teriak dan mengguncang-guncang pintu kamar tahanan.

“Ia tidak mati, aku akan mengobatinya,” kata Ban Koan berbohong dan dia memondong tubuh tubuh nenek itu keluar dari situ, menutupkan pintu yang menyambung ke arah tempat tahanan itu sehingga dia tidak mendengar lagi teriakan dan makian Bi Li.

Setibanya di luar, Ban Koan menyuruh anak buahnya menyediakan peti mati dan kereta. Setelah meletakkan jenazah nenek itu ke dalam peti mati, dia menyuruh anak buahnya mendorong kereta dorong menuruni lereng. Dia sendiri yang mengantar jenazah itu ke kuil Ban-hok-si. Dan dia mengatakan kepada para nikouw di situ bahwa Lauw In Nikouw menderita kecelakaan, terjatuh ketika hendak mengunjungi Thian-san-pang.

Para nikouw menyambut dan mengurus pemakaman jenazah itu sebaik-baiknya. Mereka tidak berani banyak bicara lagi karena mereka semua sudah tahu bahwa Ban Koan adalah ketua Thian-san-pang dan penguasa daerah itu.

Demikianlah, Sung Bi Li menjadi tahanan dalam Thian-san-pang dan biarpun dia bebas tidak terbelenggu, namun ia tidak dapat meninggalkan ruangan tahanan itu, di mana ia ditahan dan dijaga ketat siang malam. Bi Li menjadi putus asa dan harapan satu-satunya, hanyalah Cin Po. Ia tidak tahu bagaimana nasib Hui Ing, akan tetapi ia tahu benar bahwa Cin Po bebas di luar.

Tentu sekali waktu Cin Po akan pulang ke kuil Ban-hok-si dan mendengar dari para nikouw bahwa Lauw In Nikouw telah tewas sedangkan ia setelah pergi ke Thian-san-pang tidak kembali lagi. Pasti Cin Po akan mencarinya ke Thian-san-pang.

Kalau tidak mempunyai gantungan harapan ini, mungkin Bi Li telah membunuh diri! Setiap kali mengingat akan nasib Hui Ing yang dikabarkan tertawan oleh orang-orang jahat, hati Bi Li menjadi risau sekali. Ia tidak tahu bagaimana keadaan Hui Ing, dan ia hanya dapat berdoa semoga gadis itu terlepas dari bencana.


Sekarang kita tinggalkan Bi Li yang sudah dua tahun menjadi kurus karena memikirkan Hui Ing yang lenyap dan Cin Po yang tak kunjung pulang, dan mari kita ikuti perjalanan Hui Ing dan Cin Po yang melakukan perjalanan menuju ke Lautan Kuning untuk mencari pedang Im-yang Siang-kiam milik Bu Beng Lojin yang lenyap dicuri orang. Mereka melakukan perjalanan dengan cepat dan pada suatu hari mereka tiba di tepi Lautan Kuning.

Mereka mencari pantai yang terdapat dusun nelayan dan memasuki dusun itu. Mereka tidak tahu di mana letaknya pulau yang dimaksudkan guru mereka. Pulau yang agaknya menjadi tempat tinggal pencuri pedang itu.

Pula, mereka berdua asing dengan lautan. Andaikata tahu letaknya pulau itupun, bagaimana mereka akan mampu mencarinya Mereka tidak biasa berlayar, apalagi mengemudikan perahu melalui lautan yang bergelombang dahsyat itu. Baru melihatnya saja mereka sudah merasa ngeri.

Mereka mulai bertanya-tanya kepada para nelayan, kalau-kalau ada yang mengetahui di mana adanya Pulau Iblis dan kalau-kalau ada yang dapat mengantar mereka ke sana. Akan tetapi para nelayan itu menggeleng kepala. Tidak seorangpun mengetahui di mana adanya Pulau Iblis itu.

“Aku tahu di mana Pulau Iblis itu…!” Tiba-tiba seorang nelayan berkata.

Cin Po dan Hui Ing menjadi girang sekali dan mereka memandang kepada nelayan itu. Yang bicara itu seorang nelayan yang kulitnya terbakar sinar matahari sampai menghitam, usianya sekitar empatpuluh tahun dan tubuhnya kokoh kekar nampak kuat sekali.

Bukan hanya Cin Po dan Hui Ing yang memandang orang itu, juga para nelayan lain, akan tetapi para nelayan itu agaknya tidak mengenal nelayan ini.

“Sobat, benarkah engkau mengetahui di mana adanya Pulau Iblis itu?”

Nelayan itu mengangguk. “Aku seorang nelayan pendatang dari pantai sebelah selatan. Aku pernah mencari ikan di dekat sebuah pulau yang nampaknya kosong dan para nelayan lain menyebutnya Pulau Iblis. Pulau itu kelihatan menyeramkan, apalagi dengan nama itu, sehingga tidak ada seorangpun berani mendarat di sana.”

“Sobat, dapatkah engkau mengantar kami ke sana? Berapapun biayanya akan kami bayar!” kata Hui Ing penuh semangat karena tidak menyangka demikian mudahnya mereka akan mendapatkan keterangan tentang pulau itu.

“Jauhkah pulau itu dari sini?” tanya Cin Po.

“Pulau itu cukup jauh dari sini sehingga tidak tampak dari sini. Pula, pulau itu kecil saja. Untuk mengantar kalian ke sana? Wah, tidak semudah itu, kecuali tentu saja kalau kalian mempunyai cukup emas untuk membayarku!”

Mendengar ini, Hui Ing mengerutkan alisnya dan ia lalu mengeluarkan sehelai saputangan dari bajunya. “Apakah emas sebegini sudah cukup untuk membayarmu, sobat?” katanya dan dalam suaranya terkandung getaran aneh.

Nelayan itu memandang dan matanya terbelalak karena dalam buntalan saputangan itu dia melihat emas berkilauan yang amat banyak.

“Ing-moi……!” Cin Po mengeluarkan seruan yang nadanya menegur dan sambil tersenyum Hui Ing lalu mengantungi lagi saputangannya.

Nelayan itu berseri-seri wajahnya dan dia berkali-kali mengangguk. “Sudah cukup, lebih dari cukup. Nah, mari kita segera berangkat, pelayaran ke Pulau Iblis memakan waktu setengah hari! Itu, di sana perahuku, silakan naik!”

Perahu itu ternyata sedikit lebih besar dari pada perahu-perahu nelayan yang berada di tempat itu, dilengkapi pula dengan layar. Dengan girang Cin Po dan Hui Ing naik ke perahu dan duduk di dalamnya. Nelayan itu mendayung perahunya ke tengah, setelah terlepas dari ombak yang menghempas ke pantai dia lalu memasang layar.

Cin Po berbisik. “Engkau tidak seharusnya melakukan itu, Ing-moi.”

“Hanya untuk main-main, koko. Agar dia mau mengantar kita dan juga untuk menguji apakah ilmuku sudah cukup kuat,” kata Hui Ing sambil tersenyum manis.

Cin Po menghela napas. Tadi Hui Ing telah memperlihatkan sihirnya sehingga saputangan kosong itu kelihatan banyak emasnya oleh nelayan itu. Dan ternyata ilmu sihir Hui Ing sudah cukup kuat sehingga nelayan itu terpengaruh.

“Aku masih memiliki beberapa buah perhiasan, koko. Tentu aku akan membayarnya,” kata pula Hui Ing yang takut kalau Cin Po mengira ia hendak menipu dengan ilmu sihirnya.

Cin Po tersenyum. “Aku tahu dan percaya, Ing-moi, hanya ilmu itu tidak seharusnya dipakai untuk main-main. Akan tetapi sudahlah, pelayaran ini membuat aku ngeri. Lihat, gelombangnya begitu besar. Aku merasa seperti tidak berdaya sama sekali di antara gelombang samudera ini, Ing-moi.”

“Apakah engkau tidak bisa berenang, koko?”

“Berenang sih bisa, sekadar tidak tenggelam. Dan engkau?”

“Di dekat kuil terdapat telaga kecil dan aku suka bermain-main dan mandi di sana. Aku pun hanya dapat berenang sekadar tidak tenggelam.”

“Itupun sudah cukup untuk membesarkan hati.”

“Jangan khawatir, koko. Tukang perahu kita ini agaknya seorang nelayan yang berpengalaman berlayar, tentu perahu ini aman.”

Memang nelayan itu nampaknya amat mahir mengemudikan perahu di antara gelombang. Perahu meluncur dengan lajunya dan layar mengembang. Perahu semakin ke tengah dan akhirnya daratan yang mereka tadi tinggalkan hanya nampak seperti sebuah garis hitam yang kecil, menandakan bahwa mereta sudah jauh berada di tengah samudera.

Setelah berlayar kurang lebih dua jam lamanya dan mereka sudah berada amat jauh dari pantai yang kini sudah tidak nampak lagi, tiba-tiba dari depan nampak sebuah perahu yang besar dengan bendera berwarna hitam. Setelah dekat baru nampak bahwa selain perahu besar itu, terdapat pula lima buah perahu kecil seperti perahu yang dikemudikan nelayan itu.

Mula-mula Cin Po dan Hui Ing tidak menaruh curiga. Mengira bahwa perahu-perahu itupun perahu nelayan dan yang besar itu perahu saudagar yang lewat. Akan tetapi ketika perahu-perahu kecil itu melakukan gerakan mengepung perahu nelayan, mereka mulai menjadi curiga. Dan nelayan itupun menggulung layarnya dan melempar sauh untuk menghentikan perahunya.

“Kalian telah terkepung!” Tiba-tiba nelayan yang membawa mereka tadi bangkit berdiri dan berkata dengan suara garang. “Cepat serahkan semua emas dan bawaan kalian kalau kalian ingin selamat!”

Barulah Cin Po dan Hui Ing menyadari bahwa mereka telah terjebak dan yang mereka tumpangi adalah perahu bajak yang kini membawa mereka kepada teman-temannya yang sudah mengepung. Di setiap perahu kecil itu terdapat tiga orang bajak, sehingga jumlah mereka ada belasan orang, belum lagi yang berada di perahu besar berbendera hitam itu!

“Heii, engkau ini kiranya pembajak, ya?” bentak Hui Ing. “Kami tidak mempunyai apa-apa, kenapa kalian hendak membajak kami?”

“Jangan bohong, nona. Serahkan emas tadi dan juga semua perhiasan yang kaumiliki berikut buntalan itu, dan engkau juga, orang muda!”

“Bagaimana kalau tidak kami berikan?” kata Hui Ing.

“Kalau tidak kalian berikan, terpaksa kami akan melemparkan kalian ke lautan!”

“Jahanam busuk, aku akan memberikan apa-apa kepadamu kecuali ini!” kata Hui Ing dan kakinya mencuat dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan mata sehingga bajak laut itu tak dapat menghindar lagi. Perutnya kena ditendang kaki Hui Ing dan tubuhnya terlempar keluar dari dalam perahu, tercebur ke dalam lautan!

Para bajak laut marah melihat ini. Beberapa orang berloncatan dari perahu-perahu kecil ke atas perahu yang ditumpangi Cin Po dan Hui Ing. Kedua orang muda ini sudah siap dan berdiri di atas perahunya.

Setiap ada orang dari perahu-perahu kecil itu meloncat ke perahu mereka, mereka sambut dengan tamparan atau tendangan dan para bajak laut itu terlempar dan tercebur ke dalam air! Gerakan Cin Po dan Hui Ing demikian cepatnya sehingga para bajak laut tidak ada yang dapat bertahan ketika disambut serangan. Sebentar saja sudah delapan orang bajak laut yang tercebur ke dalam air.

Tiba-tiba perahu di mana Cin Po dan Hui Ing berdiri itu berguncang. Dari perahu besar itu terdengar teriakan melengking suara wanita. “Jangan serang! Tenggelamkan perahu mereka itu!”

Kiranya itu merupakan perintah bagi para bajak laut. Yang masih di perahu lalu berloncatan ke dalam air, bergabung dengan mereka yang terlempar ke dalam air oleh serangan Cin Po dan Hui Ing. Ke dua orang muda ini ketika menampar atau menendang memang membatasi tenaga mereka karena mereka tidak ingin membunuh.

Dan kini mereka berada dalam bahaya besar. Perahu itu terguncang ke kanan kiri lalu terbalik tanpa dapat dicegah lagi dan dengan sendirinya tubuh Cin Po dan Hui Ing ikut terguling ke dalam air! Mereka berdua gelagapan dan mencoba berenang.

Mereka memang dapat mencegah tubuh mereka tenggelam, akan tetapi ketika para bajak itu menyerang mereka keduanya menjadi panik karena mereka sama sekali tidak biasa bertanding di dalam air. Dan dalam keadaan seperti itu tidak mungkin pula mempergunakan kekuatan sihir mereka untuk mempengaruhi para lawan.

Kembali mereka mendengar teriakan dari atas perahu besar, “Tangkap mereka, jangan sampai membunuh mereka dan bawa mereka ke sini!”

Banyak tangan menangkap kaki Hui Ing dan Cin Po lalu mereka diseret ke dalam air. Tentu saja mereka gelagapan dan sebentar saja mereka kehabisan napas, minum air dan akhinya keduanya dalam keadaan pingsan telah dibawa naik ke perahu besar berbendera hitam.

Ketika Cin Po siuman dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya berada dalam sebuah kamar yang cukup lebar. Tempat tidurnya tidak bergerak-gerak, maka tahulah dia bahwa dia tidak lagi berada di perahu. Dia memandang ke sana-sini dan melihat seorang wanita yang bertubuh menggairahkan duduk tak jauh dari tempat tidurnya.

Cin Po bangkit duduk. Pakaiannya kering dan ternyata yang dikenakan di tubuhnya itu bukan pakaiannya. Semua pakaiannya berwarna putih dan pakaian yang dipakainya itu berwarna kuning. Tentu semua pakaian dalam buntalannya basah kuyup, pikirnya.

Dia teringat betapa dia dan Hui Ing diseret ke dalam air dan tidak berdaya, akan tetapi teringat pula suara wanita yang memesan agar dia dan Hui Ing tidak dibunuh. Kini dia membalikkan tubuhnya menghadapi wanita yang pakaiannya dari sutera hitam namun wajahnya tersembunyi di balik cadar hitam itu.

Hanya nampak kulit tangan dan sebagian lehernya yang putih mulus, dan bentuk tubuh di balik pakaian ringkas itu yang sempurna benar lekuk lengkungnya! Seorang wanita yang cantik, pikir Cin Po. Mungkin pemilik suara tadi dan kalau benar demikian, wanita inilah yang menjadi kepala bajak!

Sebelum dia bicara, pintu terbuka dan masuklah seorang wanita yang pakaiannya ringkas dan serba hitam pula. “Sian-li, tamu wanita itu telah siuman, kami menunggu perintah Sian-li!”

Wanita bercadar itu lalu berkata, dan suaranya dikenal oleh Cin Po sebagai suara wanita yang tadi memerintah dari perahu besar. “Sudah kalian ganti pakaiannya yang basah?”

“Sudah, Sian-li juga sudah kami keluarkan air dari dalam perutnya.”

“Bagus, beri minum obat yang telah kuberikan tadi dan tenangkan ia, suguhkan air teh yang baik dan minta kepadanya untuk menanti sebentar.”

Wanita itu memberi hormat dan pergi meninggalkan kamar itu. Cin Po merasa heran sekali. Wanita ini disebut “sian-li” atau dewi!

Cin Po memberi hormat. “Agaknya nona yang menjadi pemimpin para bajak dan yang telah menyelamatkan kami. Siapakan nona dan mengapa menahan kami di sini? Kami orang miskin tidak mempunyai apa-apa, kalau hendak menawan, tidak akan ada yang memberi uang tebusan.”

Wanita itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa kecil dan bertata. “Aku disebut Huang-hai Sian-li dan memang aku pemimpin para bajak laut tadi. Tentu saja aku tidak menghendaki dibunuh karena kalian tadi juga tidak membunuh orang-orangku, bukan? Apa lagi setelah engkau berada di sini, tentu saja aku tidak akan membunuhmu, Sung Cin Po!”

Cin Po terkejut setengah mati. “Engkau… engkau sudah mengenal namaku?”

“Tentu saja, twako. Apakah engkau tidak mengenal suaraku?” Wanita itu mendekat dan menyingkap cadarnya.

Sejenak Cin Po menjadi bengong melihat wajah yang penuh benjolan itu. Cadar itu segera tertutup kembali. “Kau… eh, nona… Ciok Hwa……!” katanya gagap, karena sama sekali tidak menyangka bahwa kepala bajak laut itu adalah Kui Ciok Hwa, puteri dari Tung-hai Mo-ong yang dulu hendak dinikahkan dengan dia!

“Ah, siapa kira, sudah dua kali engkau yang menyelamatkan nyawaku, Ciok Hwa!”

“Ssttt, semua orang mengenalku sebagai Huang-hai Sian-li, karena itu jangan menyebut aku selain dengan nama itu, twako. Dan jangan mengucapkan kata-kata sungkan. Bukankah kita berdua telah menjadi sahabat sejak dulu? Ketika orang-orangku mengeroyokmu, aku tidak mengira bahwa engkaulah pemuda itu. Akan tetapi aku melihat engkau dan gadis itu tidak membunuhi anak buahku, maka akupun memerintahkan untuk menangkap kalian hidup-hidup. Setelah dibawah ke sini, barulah aku tahu bahwa pemuda itu adalah engkau. Dan siapakah gadis itu, twako? Isterimu, atau tunanganmu?”

“Ihh, Ciok… eh, Sian-li. Jangan menduga yang bukan-bukan. Sudah kukatakan bahwa dua tahun yang lalu aku belum ingin menikah, juga sekarang aku belum ada pikiran untuk itu. Gadis itu bernama Hui Ing, dan ia adalah adikku, eh, adik tiri maksudku.”

“Ah, begitukah?”

Pada saat itu, seorang anak buah laki-laki berlari masuk dan memberi hormat kepada ketuanya. “Sian-li, celaka, gadis tamu kita itu mengamuk!”

Mendengar ini, Cin Po segera lari ke pintu diikuti oleh Huang-hai Sian-li. Sian-li yang memimpin sebagai penunjuk jalan. Ternyata rumah itu cukup luas dan mereka memasuki sebuah kamar. Dan terdapatlah pemandangan yang aneh.

Hui Ing sudah duduk di atas kursi dan terdapat tujuh orang anak buah bajak laki-laki perempuan yang berdiri bagaikan boneka hidup. Begitu melihat Sian-li masuk, Hui Ing segera berseru membentak, “Berhenti dan jangan bergerak!”

Akan tetapi karena Huang-hai Sian-li memakai cadar sehingga ia tidak dapat langsung memandang mata gadis bercadar itu, maka pengaruh sihir yang dilancarkan Hui Ing hanya lemah saja mempengaruhi Huang-hai Sian-li. Biarpun demikian, kepala bajak laut ini terkejut karena seketika ia merasa tubuhnya seperti kaku tidak mampu bergerak!

Ketika Cin Po masuk, kembali Hui Ing menudingkan telunjuknya ke arah laki-laki berpakaian kuning itu. “Berlutut engkau!”

Akan tetapi pria itu tidak mau berlutut, bahkan menegurnya, “Hui Ing, kembali kau…...”

Hui Ing terkejut mengenal kakaknya. Ia lalu melompat bangun dan menghampiri kakaknya, memegang kedua tangan kakaknya. “Koko, engkau tidak apa-apa? Syukurlah. Aku sudah khawatir sekali!”

Huang-hai Sian-li sudah dapat bergerak kembali dan ia menghampiri. “Enci, maafkanlah kami. Kami tidak bermaksud buruk dengan menahanmu di sini, hanya ada kesalahpahaman di antara kita. Sung-twako ini adalah seorang sahabatku yang baik.”

Hui Ing memandang kepada wajah bercadar, memandang dari kepala sampai ke kaki dan ia kagum sekali. Seorang wanita yang memiliki bentuk tubuh yang hebat dan kulitnya putih kemerahan. Tentu wajah tertutup cadar itu cantik bukan main. Hatinya merasa sangat tidak enak mendengar wanita itu mengakui Cin Po sebagai seorang sahabat yang baik. Lalu dipandangnya wajah kakaknya.

“Koko, siapakah ini?”

“Ing-moi, perkenalkan. Ini adalah Huang-hai Sian-li yang memimpin para bajak laut di sini. Memang anak buahnya sudah biasa melakukan pembajakan kepada siapa yang lewat di sini. Ketika tadi ia melihat kita tidak membunuhi anak buahnya, iapun memerintahkan untuk menangkap kita hidup-hidup. Setelah kita dibawa ke sini, barulah ia tahu bahwa pemuda itu adalah aku yang sudah dikenalnya.”

“Ah, begitukah?” Lalu Hui Ing melihat pakaian kering yang menempel di tubuhnya. Pakaian sutera hitam, sama dengan yang dikenakan wanita itu. “Jadi pakaian ini milikmu?” tanyanya.

“Benar, enci Hui Ing. Karena semua bekal pakaianmu basah kuyup. Aku memberi pinjam pakaianku untuk kaupakai. Tadi anak buahku yang wanita yang membantumu berganti pakaian di kamar ini. Maafkan aku.”

“Akan tetapi, Sian-li, kita berada di manakah ini? Bukankah tadi kita naik perahu lalu….”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.