Pendekar Baju Putih Jilid 10 karya Kho Ping Hoo - “Kalian berdua dibawa ke perahuku dalam keadaan pingsan. Setelah mengenalmu, maka aku memerintahkan perahu cepat-cepat dibawa pulang. Ini adalah sebuah pulau kosong yang diberi nama Pulau Hiu dan menjadi tempat tinggal kami. Marilah kalian ikut aku melihat-lihat keadaan pulau ini.”
Mereka akan keluar, akan tetapi setibanya di pintu, Cin Po berkata kepada adiknya, “Ing-moi, bebaskan mereka.”
“Ah, aku sampai lupa!” Hui Ing lalu melambaikan tangan kepada tujuh orang yang berdiri dan berjongkok seperti boneka hidup itu dan berseru, “Bergeraklah kembali kalian!” Dan seketika itu tujuh orang itupun lalu dapat bergerak seperti orang-orang baru habis bangun tidur.
Mereka keluar dari kamar itu. “Ilmu apakah itu? Bagaimana engkau dapat membuat mereka semua tidak mampu bergerak, enci Hui Ing? Dan tadipun ketika engkau meneriaki aku agar jangan bergerak, hampir saja aku tidak dapat bergerak sama sekali.”
Cin Po berkata, “Ah, adikku ini memang nakal. Ia mengerti sedikit ilmu sihir.”
“Ahhh..... betapa lihainya!” Huang-hai Sian-li berseru kaget dan kagum.
Kini kakak beradik itu yang berbalik kagum. Rumah ini ternyata besar dan lengkap dengan perabot-perabot rumah yang serba indah. Dan ketika mereka tiba di luar, terdapat taman yang indah sekali, terdapat pula rumah-rumah lain di Pulau Hiu itu yang ditempati anak buah bajak. Banyak keluarga bajak yang bekerja di ladang, anak-anak bermain-main dan tampaknya sebagai sebuah perkampungan biasa dengan penduduknya yang hidup tenteram dan aman.
“Mereka itu semua anak buahmu, Sian-li? Mereka nampak seperti keluarga perkampungan biasa, bahkan penuh damai dan tenteram,” kata Cin Po kagum.
“Dahulu mereka tidak begitu. Kehidupan mereka dahulu liar dan ganas, mudah membunuh orang. Akan tetapi setelah aku yang memimpin mereka, mulailah mereka hidup sebagai keluarga-keluarga biasa. Bahkan dalam pekerjaan membajak, kami jarang sekali membunuh orang kalau bukan terpaksa, yaitu kalau ada perlawanan yang membahayakan diri kita sendiri. Aku melarang setiap anggauta membunuh orang, kecuali kalau membela diri. Mereka kini berkeluarga dan hidup tenang di pulau ini.”
“Sungguh luar biasa. Seorang gadis seperti engkau kenapa menjadi kepala bajak laut?” tanya Hui Ing sambil mencoba untuk menembus cadar itu dan melihat wajah Sian-li.
Akan tetapi ia tidak berhasil hanya melihat bentuk wajah yang elok, dengan garis-garis yang menunjukkan bahwa wajah itu indah bentuknya. Rambutnya demikian hitam dan subur. “Akupun heran sekali, Sian-li. Bagaimana engkau, selama dua tahun ini, tiba-tiba saja sudah menjadi kepala bajak laut dan tinggal, di sini?”
Mereka sudah tiba di tepi sebuah tebing. Dari situ mereka dapat melihat laut yang bebas dan luas. Di situ terdapat beberapa batang pohon yang rindang dan bangku-bangku di bawahnya. “Panjang ceritanya, twako. Mari duduklah dan aku akan bercerita.”
Mereka bertiga lalu duduk di atas bangku dan tak lama kemudian dua orang anak buah wanita datang berlari-lari sambil membawa minuman untuk mereka bertiga. Ternyata Sian-li amat dihormati dan juga agaknya disayang oleh para anak buahnya. Hal ini nampak dari sikap mereka dan pelayanan mereka. Setelah meletakkan minuman dan makanan kecil di atas meja, dua orang itu berdiri di depan kepala mereka.
“Apa yang dapat kami bantu untuk Sian-li?”
“Sudah, kalian boleh tinggalkan kami di sini, dan beritahukan kepada Tok-gan Kim-go (Buaya Emas Mata Satu) agar mulai hari ini tidak ada yang melakukan pembajakan sampai aku memberi perintah lagi. Yang melanggar akan dihukum berat!”
“Baik, Sian-li!” Kedua orang pembantu wanita itu segera mundur.
Cin Po dan Hui Ing kagum melihat cara Huang-hai Sian-li mengatur anak buahnya. Mereka lalu mendesaknya untuk segera menceritakan riwayatnya.
“Twako, setelah kita berpisah dahulu, ayah marah-marah sekali kepadaku, dan aku lalu minggat. Ternyata ayah juga tidak mengejar atau mencariku. Dalam perjalanan ini aku bertemu dengan kelompok bajak laut yang dipimpin oleh Tok-gan Kim-go. Aku mendapat pikiran untuk memimpin mereka dan aku menaklukkan mereka. Sejak itulah aku lalu menjadi pimpinan mereka dan aku mengatur kehidupan mereka sehingga tidak lagi liar dan ganas, walaupun tetap menjadi bajak laut.”
“Akan tetapi, bagaimana engkau dapat menundukkan mereka, adik Sian-li? Kami sendiri ketika meaghadapi mereka dalam air, juga tidak berdaya.”
Cin Po mengerti dan tertawa. “Ing-moi, engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan! Sian-li ini adalah puteri dari Tung-hai Mo-ong, datuk besar Laut Timur dan tentu saja ia memiliki keahlian bermain dalam air.”
Sian-li tersenyum di balik cadarnya. “Tidak salah dugaanmu, twako. Aku menaklukkan mereka di darat dan di air. Sebetulnya kalau di darat, dibandingkan dengan Sung-twako aku bukan apa-apa.”
“Aih, engkau merendahkan diri, adik Sian-li!” kata Hui Ing. “Aku percaya bahwa ilmu silatmu tentu lihai sekali maka engkau dapat memimpin bajak laut yang puluhan orang jumlahnya.”
“Tidak, sesungguhnya saat inipun kehidupan kami terancam sekali, dan aku khawatir tidak akan dapat mempertahankan kedudukanku, bahkan para anggautaku mungkin akan mengalami kehancuran.”
“Eh, apa yang terjadi, Sian-li?”
“Kami mempunyai musuh besar, yaitu gerombolan bajak laut Tengkorak Putih, bajak laut yang para pemimpinnya terdiri dari bangsa Jepang dan anak buahnya campuran. Mereka itu biasanya mengganas di lautan timur. Akan tetapi akhir-akhir ini mereka juga mengganas di lautan Kuning. Tindakan mereka ganas. Membunuh, memperkosa wanita. Karena itu, kami menantangnya dan beberapa kali terjadi bentrokan antara kami dan mereka.
“Akan tetapi, akhir-akhir ini mereka mengumpulkan anak buah yang jumlahnya dua-tiga kali lebih besar dari pada anak buahku, dan juga mereka mendatangkan jagoan-jagoan dari Jepang yang khusus didatangkan untuk menghancurkan kelompokku. Sudah dua kali mereka mencoba menyerang pulau ini, akan tetapi masih untung kami dapat memukulnya mundur. Aku khawatir, suatu ketika kami akan kalah kuat dan kami akan dapat dihancurkan.”
“Kalau saja kami dapat membantumu, Sian-li,” kata Hui Ing penuh semangat.
Huang-hai Sian-li tersenyum di balik cadarnya. Ia mengulurkan tangannya yang berkulit putih kemerahan dan lembut itu dan memegang tangan Hui Ing. “Enci Hui Ing, ternyata engkau seorang gadis yang amat baik, seperti kakakmu. Terima kasih, tidak usah engkau melibatkan diri dengan urusan para bajak laut. Dan kalian ini bagaimanakah dapat berperahu dengan seorang anak buah kami yang memancing korban? Ada keperluan apakah dan hendak ke manakah kalian?”
“Kami memang sedang membutuhkan perahu berikut tukang perahunya untuk mengantarkan kami ke Pulau Iblis, Sian-li!”
Sian-li terbelalak di balik cadarnya. “Pulau… Iblis…? Ada keperluan apakah kalian hendak ke pulau yang menakutkan itu?! Bahkan anak buah kamipun gentar untuk singgah di pulau hantu itu. Di sana tidak ada apa-apa, hanya dihuni oleh hantu dan iblis.”
“Hemm, engkau percaya akan hal itu, Sian-li? bukankah hantu dan iblis merupakan dongeng belaka?”
“Bukan, bukan dongeng, twako. Aku telah mengalaminya sendiri. Pernah pada suatu hari perahuku lewat dekat Pulau Iblis. Karena tertarik, aku lalu memerintahkan anak buahku untuk mendekati karena aku ingin melihat apa sebenarnya yang berada di pulau itu. Aku ingin mendarat. Akan tetapi begitu kami turun dari perahu dan mendaratkan kaki di pulau itu, mendadak terdengar suara gerengan keras yang menggetarkan tanah pulau itu dan dari jauh muncullah makhluk tinggi besar yang menyeramkan sekali.
“Kami semua ketakutan dan kembali ke dalam perahu, lalu mendayung perahu itu cepat-cepat pergi meninggalkan pulau iblis itu. Hiiih, masih meremang bulu tengkukku kalau membayangkan peristiwa yang aneh dan mengerikan itu. Bukan hanya dongeng belaka, twako.”
Akan tetapi cerita itu tidak membuat Cin Po dan Hui Ing menjadi takut. “Bagaimana pun juga, kami ingin pergi ke pulau itu, Sian-li. Dapatkah anak buahmu mengantar kami ke sana?”
“Bukan anak buahku, melainkan aku sendiri yang akan mengantar kalian ke sana,” kata Sian-li.
“Bukankah engkau ngeri dan takut untuk kembali ke sana?” tanya Cin Po.
“Kalau dengan engkau, aku tidak takut apapun juga, twako.”
Ucapan ini demikian sungguh-sungguh dan nadanya penuh kepercayaan dan penyerahan sehingga diam-diam Hui Ing mengerutkan alisnya. Terasa benar olehnya betapa dalam suara itu terkandung kepercayaan dan kemesraan yang menjadi tanda bahwa gadis bercadar ini sebetulnya mencinta Cin Po. Perasaan hatinya menjadi tidak enak sekali, karena secara diam-diam iapun mencinta Cin Po, bukan sebagai adik!
Pada saat itu terdengar sorak sorai gemuruh. Mereka terkejut dan melihat ke arah datangnya suara, yaitu dari lautan. Dan nampaklah tiga buah perahu sedang berlayar dekat dengan Pulau Hiu itu, agaknya hendak mendarat. Dari tempat itu, dapat nampak bendera berdasar hitam dengan gambar tengkorak putih.
“Gerombolan bajak laut Tengkorak Putih!” seru Sian-li. “Mereka telah datang menyerbu lagi. Sekali ini dengan anak buah tiga perahu besar, tentu jumlahnya seratus orang lebih!”
“Jangan khawatir, kami akan membantumu, Sian-li!” kata Hui Ing.
“Mari kita menyambut ke pantai!” kata pula Cin Po. Mereka segera meninggalkan tebing itu dan berlari ke arah perkampungan di tengah pulau.
Berita tentang datangnya musuh itu sudah didengar oleh semua anggauta bajak. Mereka sudah bersiap-siap dengan senjata di tangan, anak-anak disembunyikan ke dalam rumah oleh ibu-ibu yang merasa tidak mempunyai kekuatan untuk melawan.
Akan tetapi para wanita yang mempunyai kepandaian, juga ikut bersiap dan terkumpullah kurang lebih tujuhpuluh orang laki perempuan. Ketika Sian-li tiba, mereka semua siap menerima perintah sang ketua.
“Kita semua pergi ke pantai dan menyambut mereka di sana. Jangan biarkan mereka mengacau dalam perkampungan!” kata Sian-li. Dan berlari-larianlah semua orang menuju ke pantai.
Tiga buah perahu besar berbendera tengkorak putih itu kini sudah mendekati pantai. Dari atas perahu berloncatanlah orang-orang yang berpakaian biru, dan di depan sendiri nampak lima orang yang melihat pakaian dan pedang samurai mereka mudah dikenal bahwa mereka adalah bangsa Jepang. Tubuh mereka pendek gempal dan kokoh kuat seperti batu karang.
Melihat bahwa penghuni Pulau Hiu menyambut mereka dengan pasukannya yang jumlahnya hanya separuh dari jumlah para penyerbu, lima orang Jepang itu tertawa bergelak dengan nada yang mengejek. Sian-li berdiri di depan anak buahnya, sikapnya tenang sekali. Di kanan kirinya berdiri Tok-gan Kim-go, pembantu utamanya dan Cin Po serta Hui Ing.
Lima orang Jepang itu melangkah maju dan melihat Hui Ing dan Sian-li, mereka bicara dalam bahasa Jepang lalu ke limanya tertawa bergelak-gelak. Lalu seorang di antara mereka, yang agak tinggi tubuhnya dan merupakan kepala bajak laut Tengkorak Putih, sambil bertolak pinggang lalu berkata.
“Huang-hai Sian-li, kami sudah lama mendengar tentang gerombolanmu di Pulau Hiu ini. Melihat bahwa pemimpin gerombolan Pulau Hiu hanyalah seorang wanita, maka kami usulkan agar kalian semua menyerah saja kepada kami. Kami akan menerima kalian sebagai anggauta kami dan engkau Huang-hai Sian-li dan gadis di sebelahmu itu, jadilah isteri-isteri kami. Tentu hidup kalian akan senang sekali. Tidak perlu ada pertempuran di antara kita, karena bukankah kita adalah rekan-rekan bajak laut sendiri? Lebih baik bercinta dari pada bersengketa, bukan? Ha-ha-ha-ha!” Lima orang Jepang itu tertawa-tawa dan anak buah mereka yang jumlahnya sedikitnya seratus duapuluh orang itu ikut-ikut tertawa.
“Pimpinan bajak laut Tengkorak Putih. Jangan samakan kami dengan kalian! Biarpun kami juga bajak laut, akan tetapi kami mempunyai aturan-aturan, tidak mengganas tanpa prikemanusiaan macam kalian. Kalian adalah binatang-binatang buas yang sepantasnya dibasmi. Karena itu jangan harap kami mau bergabung dengan kalian!”
“Ho-ho-ha-ha-ha, sayang kalau sampai anak buah kalian terbunuh semua. Kami juga masih dapat menampung mereka karena makin banyak anak buah semakin baik dan kuat. Karena itu dari pada pertempuran besar, marilah kita para pemimpinnya bertanding. Kalau kalian kalah melawan kami, kalian harus menyerah dan semua anak buah kalian menyerah pula tanpa pertempuran lagi. Sebaliknya kalau kami kalah, kami akan pergi dan tidak akan mengganggu kalian lagi! Bagaimana?”
Sebelum Sian-li menjawab, Hui Ing yang mendahuluinya dan gadis ini berkata lantang, “Heii, pimpinan bajak laut Tengkorak Putih! Siapa sih yang takut akan tantanganmu? Akan tetapi, kalian mengandalkan banyak orang untuk main keroyokan, ataukah hendak bertanding satu lawan satu?
“Aku berani bertaruh orang-orang macam kalian itu pengecut dan licik. Tentu mengandalkan jumlah besar untuk mengeroyok. Kami di sini ada empat orang yang akan mewakili kelompok kami bertanding. Nah, siapa di antara kalian yang akan maju! Kamipun tidak takut keroyokan!”
Ketua Tengkorak Putih tertawa mengejek. “Tidak keroyokan juga tidak mengapa. Kami di sini ada lima orang pimpinan. Nah, siapa di antara kalian berempat yang hendak maju lebih dulu?”
Si mata satu Tok-gan Kim-go lalu melangkah maju. “Akulah yang akan maju lebih dulu mewakili Pulau Hiu!” tantangnya dan diapun sudah mengeluarkan senjatanya, sepasang kapak yang besar dan berat.
Melihat ini ketua Tengkorak Putih tertawa. “Ha-ha, bagus sekali. Sudah lama aku mendengar akan kehebatan Tok-gan Kim-go. Biarlah aku sendiri yang menandinginya!”
Setelah berkata demikian, diapun mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang ruyung baja yang juga berat. Ketua Tengkorak Putih ini berusia empatpuluhan tahun dan tubuhnya yang pendek itu gempal dan kokoh sekali, otot-otot di lengannya melingkar-lingkar, juga dadanya yang terbuka itu penuh dengan otot mengembung.
“Bagus! Aku sudah siap, majulah!” bentak Tok-gan Kim-go sambil menyilangkan kapaknya. Orang Jepang itupun mengeluarkan suara gerengan hebat dan mengayun kedua ruyungnya di atas kepalanya.
“Haiiiiittt…!!” Dia menyerang dengan dahsyat sekali, suara ruyungnya ketika bergerak, menampar angin bersiutan. Tok-gan Kim-go menggerakkan kapaknya untuk menangkis.
“Trang-trang-trang-tranggg…!”
Berkali-kali ruyung bertemu kapak dan keduanya nampak seimbang dalam hal tenaga, karena ke duanya terhuyung ke belakang. Akan tetapi Tok-gan Kim-go yang sudah marah sekali itu terus menyerang balik dengan sepasang kapaknya yang menyambar-nyambar ganas seperti kapak seorang algojo yang hendak menyambar batang leher korbannya.
Terjadilah pertandingan yang hebat dan menegangkan karena semua orang tahu bahwa senjata mereka itu adalah senjata berat dan siapa yang terkena lebih dulu tentu akan tewas. Suara berdentangan sepasang senjata mereka kalau bertemu menambah tegang keadaan dan Huang-hai Sian-li memandang dengan alis berkerut. Pihak lawan memang lihai sekali, dan dia melihat betapa pembantunya itu mulai sibuk dan terdesak.
Kini, orang Jepang itu bersilat dengan cara aneh, yaitu dengan cara bergulingan dan menyerang ke arah ke dua kaki Tok-gan Kim-go. Si mata satu menjadi bingung dan dia berloncatan, sukar sekali untuk membalas serangan itu karena lawan bergulingan dan main di bawah. Melihat ini, Sian-li mengepal tinjunya karena sudah nampak bahwa pembantunya akan kalah!
Melihat ini, Hui Ing merasa tidak tega. Bukan tidak tega kepada si mata satu, melainkan tidak tega kepada Sian-li yang jelas nampak tegang dan gelisah. Maka, ia tak memandang kepada si Jepang yang bergulingan itu, dan berseru, “Silat macam apa bergulingan seperti trenggiling itu? Kalau mencium batu yang menonjol baru tahu rasa!”
Baru saja ia berkata begitu dengan pengerahan khi-kang sehingga terdengar jelas oleh orang yang sedang bergulingan, tiba-tiba orang Jepang itu mengeluh karena bibirnya benar-benar telah membentur sebongkah batu yang entah kapan sudah menonjol di situ!
“Aduhhh…!” serunya dan gerakannya menjadi kacau. Kesempatan ini dipergunakan oleh si mata satu untuk menindih ruyungnya dan tahu-tahu sebatang kapaknya telah menempel di leher lawan! Akan tetapi si mata satu menahan gerakannya dan leher itu tidak sampai terpenggal, hanya luka sedikit.
Tentu saja dengan peristiwa itu, kepala gerombolan Tengkorak Putih dinyatakan kalah. Kalau Si Mata Satu menghendaki, kepalanya sudah terpisah dari tubuhnya. Ini saja sudah membuktikan bahwa Sian-li benar-benar dipatuhi anak buahnya, yaitu tidak sembarangan membunuh orang!
Seorang Jepang yang berjenggot panjang melompat ke depan dan mencabut pedang samurainya. “Hayo siapa berani maju melawanku!” teriaknya marah karena melihat rekannya kalah. Empat orang Jepang yang lain itu adalah orang-orang undangan, jagoan-jagoan Samurai yang terkenal, kawan-kawan dari ketua Teng- korak Putih.
Melihat gerakan orang ini, ketika mencabut samurai, tahu bahwa dia memiliki kepandaian yang lebih tinggi dibandingkan Si Mata Satu, maka ia berseru, menyuruh pembantunya itu mundur disambut sorak sorai anak buahnya yang melihat pimpinannya maju. Kemudian Sian-li mencabut pedangnya dan melangkah maju.
“Aku yang akan menandingimu,” katanya tenang.
Lawannya tertawa. “Nona, sebaiknya nona membuka kerudung penutup muka itu agar aku dapat melihat wajah lawanku!” katanya dengan suara yang pelo karena logatnya aneh dan asing.
“Aku sudah bersumpah siapa membuka cadarku ini, dia akan mati di tanganku!” kata Sian-li dengan suara dingin dan sungguh-sungguh.
“Bagus, kalau dalam pertandingan ini engkau kalah, aku sendiri yang akan membuka cadarmu, seperti seorang pengantin pria membuka cadar dari muka isterinya. Ha-ha-ha!”
“Bersiaplah!” bentak Sian-li yang sudah memainkan pedangnya.
Orang Jepang itu melintangkan samurainya dengan kedua tangan memegangi gagang samurai yang panjang. Samurai yang melengkung itu berkilauan saking tajamnya. Karena lawan tetap diam tidak mau menyerang lebih dulu, Sian-li lalu membentak,
“Lihat pedang!” dan pedangnya sudah menusuk dengan gerakan kilat.
Akan tetapi orang Jepang itu melompat ke samping dan saat itulah samurainya menyambar dengan dahsyatnya. Kiranya dia menanti sampai lawan menyerang, baru dia mengelak sambil menggerakkan samurainya dengan ke dua tangan.
“Haiiiiittt…!!”
Melihat samurai itu menyambar dahsyat, Sian-li tidak mau menangkis, melainkan mengelak dan ia mengandalkan kelincahan gerak tubuhnya untuk meloncat dan menghindar. Sian-li mengerti bahwa kalau serangannya kurang cepat, berarti ia membuka peluang bagi lawan untuk menyerangnya dengan gerakan samurai yang amat berbahaya itu.
Maka, iapun lalu bersilat dengan cepat, menggunakan pedangnya untuk menyerang secara sambung-menyambung. Kalau dielakkan pedangnya terus mengejar ke arah mana lawan mengelak.
Dihujani serangan seperti ini, orang Jepang itu menjadi repot, tidak memiliki kesempatan sama sekali untuk balas menyerang bahkan kini kadang-kadang dia harus melindungi dirinya dengan pedang samurainya karena serangan bertubi-tubi itu kadang tidak sempat lagi dielakkannya.
Huang-hai Sian-li adalah murid datuk besar Tung-hai Mo-ong, tentu saja ia lihai bukan main. Ilmu pedangnya berdasarkan ilmu silat Toat-beng-sin-ciang (Silat Sakti Pencabut Nyawa) yang sifatnya ganas sekali.
Maka, lawannya menjadi semakin repot dan belum sampai limapuluh jurus, selagi orang itu menangkis dengan samurai yang dipegang ke dua tangannya, tangan kiri Sian-li telah mendorong ke arah dadanya dengan pukulan Toat-beng-sin-ciang yang amat lihai itu.
Dari jari tangan pukulan ini, sebetulnya dapat diisi dengan jarum-jarum halus beracun, akan tetapi, Sian-li tidak melakukan hal itu, hanya mendorong ke arah dada, itupun dengan tenaga yang dikendalikan.
“Plakk…!” Biarpun tidak sepenuh tenaga pukulan itu tetap saja membuat orang Jepang itu terjengkaug dan muntah darah. Sorak sorai anak buah pulau Hiu menyamhut kemenangan kedua ini.
Dari pihak Tengkorak Putih kini meloncat seorang Jepang yang usianya sudah limapuluh tahun. Diapun memegang sebatang samurai yang tajam melengkung. “Kepandaian ketua Pulau Hiu, Huang-hai Sian-li, sungguh mengagumkan, beranikah engkau menghadapi aku barang seratus jurus?”
Tentu saja Sian-li merasa malu kalau harus mundur, maka iapun melintangkan pedangnya dan membentak, “Siapa takut kepadamu? Majulah!”
Cin Po dan Hui Ing terlambat untuk mencegah. Dan melihat bahwa keadaan Sian-li masih segar setelah memenangkan pertandingan tadi, merekapun hanya menonton saja.
“Ha-ha-ha, kalau aku kalah dari seorang wanita, jangan sebut namaku Yamoto lagi. Aku Yamoto Si Samurai Tanpa Tanding!”
Si Jepang itu bersikap sangat congkak, menggerakkan samurainya di atas kepala dengan gerakan yang mahir sekali dan gerakan itu membuat samurainya menjadi gulungan sinar yang mengeluarkan suara berdesingan dan bersuitan!
Maklumlah Sian-li bahwa lawannya sekali ini sama sekali tidak bisa disamakan dengan yang tadi, muka iapun memasang kuda-kuda dengan sikap waspada. Yamoto ini memang lihai sekali. Begitu lawan memasang kuda-kuda, dia langsung menyerang, menggerakkan samurainya hanya dengan sebelah tangan kanan.
Memang samurainya tidak panjang seperti samurai temannya tadi dan tentu saja lebih ringan sehingga dapat dimainkan dengan sebelah tangan. Dan serangannya juga bertubi-tubi datangnya, setiap serangan mendatangkan angin dahsyat.
Sian-li mengimbanginya dengan kecepatan gerakannya. Kadang terpaksa ia menangkis dan terkejutlah Sian-li ketika tangkisan itu membuat seluruh lengan kanannya tergetar. Lawan ini memiliki tenaga yang kuat sekali! Iapun dengan hati-hati memainkan Toat-beng-kiam-sut dan membalas serangan lawan.
Pertandingan sekali ini merupakan pertandingan paling ramai dibandingkan dengan yang dua kali tadi. Sian-li harus mengerahkan seluruh tenaganya karena kalau tidak, pedangnya akan dapat terpental kalau bertemu samurai lawan. Dan lawan yang bernama Yamoto itu makin lama makin lihai saja. Setelah lewat limapuluh jurus, Sian-li terpaksa main mundur karena ia sudah tidak tahan lagi.
Ketika mundur itu, ia mendekati Hui Ing dan sekali Hui Ing menggerakkan tangan, ia sudah menarik tangan kiri Sian-li sehingga terhuyung ke belakang namun terlepas dari desakan lawan. “Heii, hendak lari ke mana kau?” Yamoto hendak menyerang lagi.
Hui Ing berdiri menghadangnya. “Huang-hai Sian-li mengaku kalah karena ia sudah terlalu lelah. Engkau licik sekali menantang orang yang sudah kelelahan. Biarlah ia dianggap kalah dan pertandingan antara ia dan engkau sudah selesai."
“Akan tetapi keadaan masih kemenangan di pihak kami, masih dua satu untuk kami. Nah, sekarang aku yang maju mewakili Pulau Hiu. Aku akan melawan siapa saja yang berani menghadapi aku.”
Yamoto tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, yang ada hanya tinggal wanita-wanita cantik. Aku sudah menang dan belum membuka cadar dari muka Huang-hai Sian-li.”
“Tidak ada perjanjian seperti itu! Itu hanya kemauanmu sendiri. Enak saja. Sudahlah, jangan banyak mulut. Kalau engkau sudah merasa lelah dan hendak mundur, mundurlah dan suruh dia yang berani melawan aku maju.”
“Ha-ha-ha, aku paling suka melawan wanita cantik. Dan engkau cantik sekali, nona. Keluarkan pedangmu atau senjatamu yang mana, hendak kulihat.”
Hui Ing mengacungkan kedua kepalan tangannya. “Inilah senjataku, dan aku akan melawanmu dengan kedua tangan kakiku saja. Untuk memukul anjing kudisan seperti engkau, tidak perlu menggunakan pedang pusaka, cukup dengan tendangan kaki saja.”
Yamoto menjadi merah mukanya. Tadinya sorak sorai anak buah Tengkorak Putih membuat dia bangga sekali, akan tetapi kini dia dipandang rendah dan dimaki-maki oleh seorang wanita. “Keparat, mulutmu lebih tajam dari pada samuraiku! Engkau bertangan kosong? Baiklah, aku akan melayanimu dengan tangan kosong pula. Ha-ha-ha, aku ingin menangkapmu dan memelukmu erat-erat!”
Dia tertawa dan semua temannya juga tertawa sehingga kini Hui Ing yang menjadi kemerahan mukanya. Matanya bersinar tajam dan ia menudingkan telunjuknya ke arah Yamoto dan membentak. “Engkau anjing kudisan bisanya memang menggonggong. Hayo menggonggonglah yang keras!”
Yamoto hendak tertawa akan tetapi sungguh aneh, sekarang yang keluar dari mulutnya adalah gonggongan menirukan suara anjing! Kawan-kawannya yang tadinya sudah siap tertawa menjadi terbelalak dan biugung. Mengapa Yamoto kini menggonggong seperti anjing?
“Heii, Yamoto. Kenapa kau?” seorang kawannya memegang pundaknya dari belakang dan mengguncangnya.
“Hahh? Kenapa…? Aku tertawa....!” katanya bingung, akan tetapi karena melihat betapa Hui Ing mentertawakannya dan semua anak buah Pulau Hiu juga tertawa sambil menuding-nuding kepadanya, dia menjadi marah sekali.
“Awas seranganku!” katanya dan diapun menubruk dengan cepat sekali bagaikan seekor biruang yang menubruk korbannya. Maksud hatinya sekali tubruk dia sudah dapat menangkap gadis yang menggemaskan itu untuk diringkus dan dipeluk kuat-kuat, agar dia dapat melampiaskan kedongkolan hatinya.
“Hemm….!” Hui Ing mengelak dengan lebih cepat lagi sehingga tubrukan itupun hanya mengenai angin belaka.
Yamoto membalik karena tadi dia melihat lawannya menyelinap ke kanan ketika mengelak dan kembali kedua tangannya yang berlengan pendek itu sudah mencengkeram untuk menangkap lengan lawan. Sekali ini dia berhasil. Dengan girang dia mencengkeram kedua lengan Hui Ing.
“Heiittt…!” Hui Ing menggeliat dan tubuhnya menjadi licin bagaikan belut sehingga tangkapan itupun terlepas lagi. Kini Hui Ing berhati-hati sekali karena tidak disangkanya bahwa ke dua tangan lawan dapat bergerak secepat itu.
Ketika lawan menubruk kembali, dia melompat ke atas dan tangannya menampar pundak. Seketika tubuh Yamoto tergetar dan dia terhuyung hampir roboh karena pundaknya telah tertotok oleh jari tangan Hui Ing. Sebaliknya, Hui Ing juga maklum bahwa tubuh lawannya ternyata kuat dan kebal sehingga totokannya hanya membuatnya tergetar dan terhuyung, tidak merobohkannya.
Terjadilah pertandingan yang aneh. Bagaikan seekor biruang berusaha menangkap seekor burung walet yang amat gesit. Tubrukan dan tangkapan Yamoto selalu gagal dan hanya mengenai angin, sebaliknya beberapa kali dia harus menderita karena tendangan kaki dan tamparan tangan Hui Ing.
Harus diketahui bahwa ilmu silat Hui Ing adalah ilmu silat dari Thian-san-pang, akan tetapi ilmu silat itu kini sudah menjadi sedemikian ampuh karena diperdalam dan dimatangkan oleh petunjuk Bu Beng Lojin. Apa lagi ia telah menerima pelajaran ilmu Ngo-heng-sin-kun yang merupakan dasar dari semua ilmu silat, karena dalam Ngo-heng-sin-kun (Silat Sakti Lima Unsur) terdapat sifat-sifat Ngo-heng, Swee (Air), Huo (Api), Bhok (Kayu), Kim (Logam), dan Tee (tanah).
Lima unsur pokok ini yang menjadikan segala sesuatu di dunia ini, termasuk manusia yang tubuhnya tidak terlepas dari lima unsur ini. Di samping itu, Hui Ing juga telah memiliki kekuatan sihir yang ampuh, maka tentu saja jagoan Jepang itu dapat ia permainkan.
Setelah berkali-kali terhuyung bahkan yang terakhir kalinya sebuah tamparan yang agak keras dari tangan Hui Ing mengenai lehernya membuat Yamoto terpelanting roboh. Orang Jepang itu menjadi penasaran dan marah sekali.
“Singgg…!!” Yamoto telah mencabut samurainya dan melintangkan samurai itu di depan dadanya dan tangan kirinya dengan jari-jari terpentang menunjuk ke atas kepala lurus ke atas.
“Keparat, keluarkan senjatamu!” bentaknya merasa malu sekali telah dipermainkan seorang gadis muda.
“Aku tidak perlu menggunakan senjata seperti engkau, Yamoto. Dan pula, untuk apa engkau memegang seekor ular sebagai senjata? Lihat, ular itu bisa menggigit engkau sendiri!” kata Hui Ing sambil menuding dengan telunjuknya.
Yamoto dengan sendirinya memandang kepada samurainya dan dia terbelalak. Samurai itu kini telah menjadi seekor ular yang dia pegang pada ekornya, dan ular itu kini membalik dengan moncong terbuka hendak menyerangnya! Tentu saja dia menjadi ngeri dan cepat dilepaskan “ular” itu jauh-jauh. Akan tetapi begitu tiba di atas tanah, ular itu berkerontang dan menjadi samurainya kembali.
Dia merasa heran dan menyadari dengan marah bahwa dia telah ditipu, dan gadis itu agaknya menggunakan ilmu sihir sehingga dia melihat samurainya benar-benar berubah menjadi seekor ular. Dengan marah dia lalu menyambar samurainya itu dan sebelum gadis itu sempat berbuat atau berkata sesuatu, dia sudah menyerang dengan samurainya, dengan gerakan yang dahsyat sekali.
“Heiiittt! Sayang luput, Yamoto!” ejek Hui Ing yang dapat mengelak dengan merendahkan tubuhnya sehingga samurai menyambar lewat di atas kepalanya.
Melihat betapa Hui Ing menghadapi Yamoto yang lihai sekali ilmu pedangnya itu hanya dengan tangan kosong saja, Huang-hai Sian-li menjadi khawatir sekali. Ngeri ia membayangkan gadis yang membantunya itu akan menjadi korban samurai yang tajam itu.
“Enci Hui Ing, ini pergunakan pedangku!” teriaknya. Akan tetapi Hui Ing menoleh sambil tersenyum.
“Terima kasih, Sian-li. Tidak usah. Sayang pedangmu kalau sampai kotor terkena darah anjing ini!”
“Singgg….!” Samurai itu menyambar lagi kearah pinggang Hui Ing yang sedang menoleh. Sekali terkena sambaran samurai itu, pinggang Hui Ing yang ramping itu akan dapat terbabat putus! Akan tetapi, biarpun sedang menengok, namun pendengaran Hui Ing amat tajam sehingga ketika samurai menyambar, ia sudah melompat lagi menghindarkan diri dengan gerakan ringan sekali.
Kembali terjadi adegan seperti tadi. Yamoto dengan samurainya menyerang dan menyambar-nyambar, sedangkan Hui Ing dengan gerakannya yang ringan dan amat cepat itu menghindarkan diri. Namun sekali ini Hui Ing juga maklum akan bahayanya samurai itu, maka tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara bentakan nyaring.
“Tahan… !!” Seketika gerakan samurai itu terhenti dan saat itu dipergunakan Hui Ing untuk menendang tangan yang memegang samurai, dilanjutkan dengan dorongan tangan kiri ke arah dada lawan.
“Dessss….!!” Tubuh Yamoto terlempar kebelakang sampai bergulingan, samurainya terlepas dari pegangannya dan diapun muntah darah segar dari mulutnya dan selanjutnya dia tidak dapat melanjutkan perkelahian, dipapah oleh teman-temannya.
Kini tinggal dua orang jagoan Jepang dan mereka maju hersama. “Hayo siapa berani melawan kami!” tantang seorang di antara mereka yang matanya sipit sekali.
Hui Ing hendak maju akan tetapi dicegah Cin Po. “Ing-moi, biar yang ini aku yang menghadapi!”
Mendengar ini, Hui Ing tersenyum dan mundur ke dekat Sian-li. Sian-li menyambutnya dengan penuh kekaguman. Tak disangkanya bahwa Hui Ing ternyata hebat dan lihai sekali. Ia memegang tangan Hui Ing. “Ah, engkau lihai sekali, enci Ing. Aku sungguh amat kagum kepadamu.”
“Aih, tidak sama sekali, adik Sian-li. Bukan aku yang lihai melainkan anjing-anjing itu yang tolol. Lihat saja yang dua itu tentu akan dipermainkan oleh koko Cin Po.”
Cin Po kini sudah berhadapan dengan ke dua orang Jepang itu. Dia memandang tajam dan melihat betapa kedua orang Jepang itu sudah mencabut samurai mereka. Yang seorang memegang samurai putih dan orang kedua memegang samurai hitam.
“Kami maju berdua, hayo kalian keluarkan dua orang jagoan kalian!” kata yang memegang samurai hitam, yang mukanya agak hitam pula. Sedangkan yang bermata sipit dan memegang samurai putih, diam saja.
“Majulah kalian berdua, aku akan menandingi kalian,” kata Cin Po dengan sikapnya yang tenang.
Melihat seorang pemuda tanpa senjata berani menghadapi dan menantang mereka berdua, dua orang jagoan samurai Jepang itu menjadi penasaran dan marah sekali. Mereka adaah jagoan yang paling lihai di antara lima orang itu dan mereka maju berdua, masa akan dihadapi Cin Po seorang?
“Kami bukan golongan pengecut tukang mengeroyok!” kata yang bermata sipit. Tentu saja dia merasa malu kalau harus mengeroyok seorang pemuda.
Dia sudah merasa menjadi jagoan yang sukar menemukan tanding, dan dia maju bersama adik seperguruannya, masa hanya dihadapi seorang pemuda yang harus dikeroyoknya? Biarpun dia membantu kawannya yang menjadi bajak laut, akan tetapi dia masih memiliki watak gagah sebagai seorang pendekar. Mendengar ucapan itu, diam-diam Cin Po menghargainya dan kini Hui Ing meloncat mendekati kakaknya.
“Kalau mereka menghendaki satu lawan satu, biar aku yang maju melawan seorang di antara mereka!” katanya dan Cin Po tidak melarangnya. Dia menganggap adiknya cukup kuat untuk menghadapi lawan, akan tetapi karena dari sikap mereka, dia dapat menduga bahwa dua orang lawan ini tidaklah seperti lawan-lawan yang sudah dikalahkan, melainkan orang-orang yang menjunjung kegagahan dan karenanya tentu mempunyai kepandaian istimewa, diapun berkata kepada adiknya.
“Ing-moi, kau pergunakan pedang Sian-li!”
Hui lng percaya kepada kakaknya. Kalau kakaknya berkata demikian, tentu kakaknya tahu bahwa ia memerlukan sebatang pedang untuk menghadapi lawan itu. Maka, ketika Sian-li menyodorkan pedangnya, ia menerima pedang itu dan segera menghadapi dua orang Jepang itu.
“Nah, aku yang maju lebih dulu, Siapa yang akan melawanku?” tantangnya.
Si mata sipit menoleh kepada si muka hitam dan adik seperguruannya inilah yang maju menghadapi Hui Ing dengan samurai hitamnya. “Nona, aku sudah melihat bahwa ilmu kepandaian nona tadi cukup hebat sehingga pantaslah melawan aku. Akan tetapi lebih dulu aku ingin mengenal nama orang yang akan menjadi lawanku. Aku Komura berjuluk Samurai Hitam.”
“Namaku Kwan Hui Ing,” jawab gadis itu yang sejak diberitahu bahwa ia puteri ketua Thian-san-pang, ia lalu menggunakan nama keturunan mendiang Tiong Gi Cinjin yang bermarga Kwan.
“Bagus, nah mulailah nona,” kata si muka hitam yang bernama Komura itu.
“Baik, lihat pedang, hiaaaattt.......!” Hui Ing lalu menggerakkan pedangnya menggunakan jurus-jurus ilmu pedang Thian-san-kiam-sut.
Kalau mendiang ayahnya melihat ilmu pedang yang digerakkan puterinya itu, tentu dia akan merasa heran bukan main. Ilmu pedang itu memang Thian-san-kiam-sut, akan tetapi gerakannya sedemikian cepatnya dan mengandung tenaga yang amat dahsyat. Lenyaplah bentuk pedang itu dan yang nampak hanyalah gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar ganas sekali....