Pendekar Baju Putih Jilid 11

Novel silat Mandarin, Pendekar Baju Putih Jilid 11 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Baju Putih Jilid 11 karya Kho Ping Hoo - Komura yang berjuluk Samurai Hitam itu lalu menggerakkan samurainya untuk menangkis dan kedua orang itu segera terlibat dalam pertandingan senjata yang amat seru dan menegangkan. Gerakan Samurai Hitam itupun cepat bukan main, akan tetapi dia masih kalah cepat oleh Hui Ing.

Novel Silat Mandarin Pendekar Baju Putih karya Kho Ping Hoo

Namun, setidaknya Komura dapat melindungi diri sendiri dengan putaran samurainya sehingga pedang di tangan Hui Ing yang menyambar-nyambar itu selalu bertemu dengan tangkisan Samurai Hitam. Tiba-tiba, setelah lewat limapuluh jurus, Hui Ing mengeluarkan bentakan yang mengandung getaran hebat sehingga mendebarkan hati Komura.

Karena terkejut dan jantungnya tergetar hebat, gerakan Komura menjadi agak lamban dan kesempatan itu dipergunakan oleh Hui Ing untuk membabatkan pedangnya ke arah kepala Komura. Dan tiba-tiba saja Komura merasa kepalanya dingin dan ketika dirabanya, rambutnya yang digelung ke atas itu telah lenyap dan tak lama kemudian nampaklah rambut itu runtuh berhamburan!

Tentu saja Komura terkejut bukan main, mukanya pucat dan matanya terbelalak. Ini merupakan kekalahan besar yang harus ditelan dan diakuinya. Dia maklum bahwa kalau gadis yang amat lihai itu menghendaki, bukan rambutnya yang melayang jatuh, melainkan kepalanya! Akan tetapi diapun yakin bahwa kekalahannya bukan karena ilmu pedang melainkan oleh bentakan melengking yang mengejutkan hatinya tadi.

“Aku mengaku kalah!” katanya gagah dengan suara yang lemas sambil menyimpan samurai hitamnya.

Kini tinggal si mata sipit. Dia melangkah maju dihadapi Cin Po. “Nona muda itu memiliki ilmu yang mujijat. Akan tetapi akupun memiliki ilmu yang sama mujijatnya. Nah, dengarlah!”

Tiba-tiba si mata sipit mengeluarkan suara tawa yang demikian menggema sehingga suara itu menggetarkan jantung semua orang. Bahkan kini banyak anak buah Pulau Hiu ikut pula tertawa.

Huang-hai Sian-li cepat duduk bersila dan mengerahkan sin-kangnya karena ia maklum bahwa suara tawa itu merupakan serangan dengan menggunakan khi-kang yang amat kuat. Ia yang tidak diserang langsung saja merasakan daya kekuatan yang terkandung dalam tawa itu, apa lagi Cin Po dan Hui Ing yang berhadapan dengan si mata sipit dan diserang langsung itu.

Akan tetapi ke dua orang muda ini telah digembleng oleh Bu Beng Lojin, mereka dapat menolak kekuatan yang menyerang mereka, bahkan mereka ikut tertawa bukan karena terseret melainkan menertawakan si mata sipit.

“Ha-ha-ha, tertawalah terus, sobat. Tertawa itu sehat, bukan? Nah, tertawalah terus!” kata Cin Po sambil mengerahkan kekuatan sihirnya dan si mata sipit terkejut setengah mati karena tidak mampu menghentikan tawanya!

Pada hal tawa itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khi-kang, kalau terus begitu bisa dia kehabisan tenaga! Maka dia menyimpan tenaga khi-kangnya, akan tetapi tawanya masih terus saja tidak dapat dihentikan, terpingkal-pingkal!

Kini daya serang tawanya tidak ada, maka mereka yang ikut tertawa, kini berhenti tertawa dan yang tertawa tinggal si mata sipit seorang diri! Melihat ini, teman-temannya menjadi terheran-heran dan si muka hitam menepuk pundaknya sambil membentak, “Hinaka-san, kenapa tertawa terus?”

Barulah Hinaka sadar dan dengan sendirinya tawanya terhenti. Dia memandang kepada Cin Po dengan mata mencorong karena dia teringat bahwa pemuda ini yang tadi menyuruhnya tertawa dan dia lalu tertawa tiada hentinya. Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki ilmu sihir seperti yang dimiliki gadis itu, dan dipermalukan di depan banyak orang itu, dia menjadi marah sekali.

“Orang muda, siapakah namamu? Aku Hinaka tidak biasa bertempur dengan seorang yang tanpa nama.”

“Hinaka, namaku adalah Sung Cin Po,” jawab pemuda itu dengan sikap tenang sekali biarpun si mata sipit sudah mencabut samurainya yang berkilauan putih.

“Bagus, Sung Cin Po. Keluarkan senjatamu!” Dia mengelebatkan samurainya dan ujung sehelai ranting pohon di situ melayang jatuh disambar sinar samurainya.

“Twako, pakailah pedangku ini!” kata pula Huang-hai Sian-li setelah tadi menerima kembali pedangnya dari Hui Ing.

Akan tetapi Cin Po tersenyum menoleh kepadanya, “Tidak perlu memakai pedang, Sian-li,” katanya dan diapun lalu memungut ujung ranting yang tadi melayang turun karena disambar sinar pedang samurai si mata sipit. Ujung ranting itu panjang seperti lengan dan besarnya hanya sejari kelingking, pantasnya senjata seperti itu hanya untuk memukul anjing.

“Hinaka, senjataku ini sudah cukup. Majulah!” katanya sambil membuangi daun yang menempel pada ranting itu.

Tentu saja Hinaka menjadi marah sekali karena terlalu dipandang rendah oleh lawannya. Akan tetapi diam-diam diapun merasa girang karena dengan senjata seperti itu, tidak mungkin pemuda itu dapat menandingi samurainya.

“Baik, engkau sendiri yang memilih ranting itu sebagai senjata. Agaknya engkau sudah bosan hidup!” katanya sambil mengangkat samurainya tinggi-tinggi di atas kepalanya lalu dia lari maju menyerang sambil berteriak lantang, “Haiiiiikkkk…!!”

“Wuuut, singgg….!” Samurai itu menyambar luput karena Cin Po, sudah melangkah ke samping dan memutar tubuhnya.

Hinaka mengejarnya dengan mengelebatkan samurainya membalik. Samurai itu membuat gerakan melengkung di atas kepalanya dan sudah menyambar lagi ke arah tubuh Cin Po. Gerakan si mata sipit ini memang cepat sekali dan tidak terduga datangnya.

Akan tetapi sekali ini, yang dihadapinya adalah seorang pemuda yang bukan saja mahir Thian-san-kiam-sut, melainkan sudah mendapat gemblengan dari Pat-jiu Pak-sian dan menguasai Pat-jiu-sin-kun dan Hui-sin-kiam-sut, juga sudah menerima gemblengan dari Nam San Sianjin dengan ilmu Tiam-hiat-tung dan Coan-hong-hui. Lebih dari itu, semua ilmu ini telah disempurnakan ketika dia menjadi murid Bu Beng Lojin, bahkan juga sudah menguasai Ngo-heng-sin-kun.

Dengan ilmu Coan-hong-hui (Terbang Menembus Angin), dengan mudah saja dia dapat mengelakkan semua serangan samurai bersinar putih itu, bahkan ketika pedang itu menyambar pinggangnya, dia meloncat ke atas dan turun di atas punggung samurai! Sejenak dia menginjak samurai itu, lalu melompat ke atas lagi dan berjungkir balik ketika samurai menyambar-nyambar. Hinaka merasa seperti dipermainkan seekor burung wallet yang gesit sekali.

Setelah belasan jurus lewat dengan menyambar-nyambarnya samurai yang selalu dielakkan Cin Po, kini Cin Po membalas. Dia bersilat dengan Tiam-hiat-tung (Tongkat Penotok Jalan Darah), dan rantingnya itu meluncur ke sana sini mengejar tubuh Hinaka dengan mencari jalan darahnya.

Hinaka terkejut sekali karena dia merasa betapa ranting itu menyambar dengan kekuatan dahsyat mendatangkan angin! Dia mencoba untuk menggunakan samurainya menangkis dan membabat putus ranting itu, akan tetapi ranting itu bergerak cepat sekali sehingga tangkisannya tidak pernah mengena.

Setelah menyerang berulang kali dengan totokan rantingnya, dan selalu meleset atau tertangkis pedang, akhirnya Cin Po berhasil menotok pundak si mata sipit itu dengan ujung rantingnya.

“Tukk!” Si mata sipit terhuyung ke belakang, akan tetapi tidak roboh! Tahulah Cin Po bahwa Hinaka ini memiliki tubuh yang kebal, maka dia lalu mengubah gerakannya. Kini memainkan Hui-sin-kiam-sut. Yang membuat rantingnya seperti seekor ular terbang yang menyambar-nyambar ganas sekali dan berulang kali mengarah kedua mata lawan! Hinaka terkejut dan seketika dia terdesak mundur. Gerakan ranting lawannya sedemikian cepatnya sehingga dia tidak sempat untuk membalas sama sekali.

Pada saat itu, melihat Hinaka terdesak, ketua bajak Tengkorak Putih lalu memberi aba-aba kepada anak buahnya. Menyeranglah anak buah bajak laut Tengkorak Putih itu, menyerbu ke arah anak buah Pulau Hiu. Melihat ini, Huang-hai Sian-li dan Hui Ing mengamuk.

Biarpun jumlah para penyerbu itu jauh lebih besar, akan tetapi dengan adanya dua orang wanita itu, mereka menjadi kocar-kacir. Kepala bajak laut Tengkorak Putih dan tiga orang temannya juga sudah maju, mereka dihadapi Hui Ing, Sian-li dan Tok-gan Kim-go.

Melihat pihak musuh yang bertindak curang dan tidak memegang janji, Cin Po menjadi marah. Rantingnya bergerak cepat dan sekali ini, leher Hinaka tertotok yang membuatnya sejenak menjadi kaku.Saat itu dipergunakan oleh Cin Po untuk menendangnya sehingga dia roboh terjengkang.

Cin Po lalu membantu Hui Ing yang dikeroyok dua oleh Komura dan Yamoto sehingga dalam beberapa jurus saja kedua orang Jepang itu sudah roboh tersungkur. Keadaan anak buah bajak laut Tengkorak Putih menjadi semakin panik dan akhirnya mereka semua melarikan diri sambil menyeret teman-teman yang terluka.

Huang-hai Sian-li dan anak buahnya mengejar sampai musuh melarikan diri ke dalam tiga perahu besar dan berlayar meninggalkan Pulau Hiu dengan menderita kekalahan besar. “Mudah-mudahan mereka akan jera untuk mengganggu kami lagi!” kata Sian-li dengan gembira. “Terima kasih, toako dan engkau, juga Enci Hui Ing.”

Huang-hai Sian-li lalu mengadakan pesta besar untuk merayakan kemenangan itu. Beberapa kali ia mengangkat cawan arak untuk menghormati ke dua orang tamunya dan melihat sikap yang demikian ramah dan mesra dari Huang-hai Sian-li, Hui Ing seringkali mengerutkan alisnya.

Setelah pesta selesai, Cin Po dapat menukar bajunya yang dipinjamkan kepadanya itu dengan bajunya sendiri yang sudah kering. Dia lalu mendapat kesempatan bicara berdua dengan Hui Ing.

“Sian-li itu baik sekali, koko. Tidak pantas ia menjadi kepala bajak laut,” kata Hui Ing.

“Biarpun menjadi kepala bajak laut, akan tetapi ia menggunakan peraturan yang keras melarang anak buahnya menggunakan kekejaman terhadap para korbannya.”

“Engkau agaknya sudah mengenal baik padanya, koko.”

“Memang aku sudah mengenalnya dengan baik sekali. Lupakah kau, Ing-moi? Aku sudah memberitahu kepadamu bahwa ia adalah puteri Tung-hai Mo-ong!”

“Kalau begitu, mengapa?”

“Aih, benar saja engkau sudah lupa. Bukankah aku dahulu sudah bercerita kepadamu betapa aku ditawan oleh Tung-hai Mo-ong dan nyawaku terancam karena dia hendak memaksaku menjadi mantunya?”

Hui Ing terbelalak. Baru sekarang ia teringat. “Aihh.... jadi Sian-li itulah puteri Tung-hai Mo-ong yang hendak dikawinkan denganmu, koko?”

“Begitulah. Aku tidak setuju dan Tung-hai Mo-ong merobohkanku, menawanku dan membelenggu kakiku, dan Sian-li itulah yang membebaskan aku. Kemudian, menurut ceritanya tadi, ayahnya marah kepadanya karena membebaskanku dan kemarahan ayahnya itu membuat ia minggat sehingga menjadi kepala bajak laut di sini.”

“Ahhh…… ohhh….. ahhhh…….”

“Heii, kenapa engkau ber ah-oh-ah seperti itu?”

“Aku sungguh heran sekali, koko. Heran setengah mati. Sian-li adalah seorang gadis yang luar biasa, lihai pandai dan cantik seperti bidadari!”

“Kenapa engkau tahu ia cantik seperti bidadari? Bagaimana engkau tahu, kalau ia bercadar terus?”

“Dari suaranya, dari bentuk mukanya, dan bentuk tubuhnya, warna kulitnya, aku yakin ia seorang gadis yang luar biasa cantiknya, akan tetapi engkau menolak untuk menjadi jodohnya!”

“Ingat Ing-moi. Ketika itu aku baru berusia sembilanbelas tahun, masih remaja, masih belum memikirkan perjodohan sama sekali. Bahkan sekarangpun tidak.”

“Akan tetapi ia kelihatannya amat memperhatikanmu, koko. Kelihatan begitu mesra. Hal ini dapat kutangkap dari cara ia berbicara kepadamu.”

“Sudahlah, Ing-moi. Jangan bicarakan urusan itu lagi. Yang terpenting bagi kita, Sian-li mau mengantar kita ke Pulau Iblis mencari siang-kiam seperti yang dipesan oleh suhu itu.”

Akan tetapi diam-diam Hui Ing masih merasa penasaran sekali. Biarpun Cin Po tidak memperlihatkan bahwa pemuda itu cinta kepada Sian-li, hanya bersikap akrab, namun ia tidak dapat salah lihat atau salah dengar. Gadis berkerudung itu pasti mencinta kakak angkatnya. Pasti! Maka, ia belum puas kalau belum mendengar sendiri hal itu dari Sian-li.

Ketika ia mendapat kesempatan bertemu berdua saja dengan Sian-li, di taman yang indah belakang rumah besar itu, ia langsung saja bicara tentang kakaknya kepada ketua bajak laut Pulau Hiu itu. “Sian-li, bagaimana pendapatmu tentang kakakku, Cin Po?”

Sian-li memandang dari balik kerudungnya, sepasang mata yang bersinar tajam. “Apa… maksudmu, enci Ing?” tanyanya.

“Aku pernah mendengar dari kakakku itu bahwa.... ayahmu pernah hendak mengambil koko sebagai mantu. Tentu akan dijodohkan denganmu, bukan?”

“Ah, enci Ing…..!” Sian-li terlejut sekali, tidak menyangka bahwa Hui Ing tahu akan hal itu, hal yang membuat hatinya terasa nyeri sampai sekarang. Bahkan sampai ia menjadi kepala bajak laut adalah gara-gara ikatan jodoh yang terputus itu! “Aku…… aku tidak mengerti mengapa engkau menanyakan soal itu kepadaku.”

“Aku ingin sekali tahu, adik Sian-li. Kakakku menolak dijodohkan denganmu karena memang dia belum memikirkan tentang perjodohan pada waktu itu. Akan tetapi engkau yang ditolak, engkau malah membebaskannya. Dan engkau malah bercekcok dengan ayahmu sehingga engkau melarikan diri dan menjadi kepala bajak laut di sini. Kemudian, engkau bahkan menyelamatkan kami dari kematian tenggelam. Sian-li, engkau tentu… amat mencinta kakak Cin Po, bukan?”

“Aih, enci Ing, kenapa engkau bicara tentang itu? Bicaralah tentang lain hal!”

“Tidak, adik Sian-li, aku ingin kepastian. Aku yakin bahwa engkau melakukan itu karena engkau mencinta kakak Cin Po. Dan sampai kinipun engkau masih mencintanya, hal ini dapat kudengar dari ucapanmu kalau bicara dengannya, dari sikap dan sinar matamu yang seolah menembus cadarmu. Engkau mencinta kakak Cin Po, bukan?”

“Enci Ing, kau… kau cemburu kepadaku?”

Hui Ing terkejut sekali. Wajahnya berubah kemerahan. Bagaimana gadis berkerudung itu dapat menduga demikian tepat? Seolah menyerang dengan tusukan pedang yang menembus jantungnya. Akan tetapi ia mencoba untuk mengelak.

“Ihh, aku adalah adiknya!” katanya seperti membantah suara hatinya sendiri.

“Bukan, enci Ing. Kalau engkau adiknya, tentu engkau juga bermarga Sung seperti dia. Akan tetapi margamu Kwan, hal itu saja sudah membuktikan bahwa engkau bukan apa-apanya, mungkin hanya adik seperguruan. Dan aku dapat melihat jelas bahwa engkau amat mencintanya, enci Ing. Karena itu engkau cemburu kepadaku.”

“Ngawur! Kakak Cin Po mencintamu, adik Sian-li. Dahulu, dua tahun yang lalu mungkin dia belum memikirkan perjodohan. Akan tetapi sekarang, hemm, dia tentu mencintamu. Engkau begini bijaksana, pandai dan cantik jelita. Aku yakin dia pasti mencintaimu!”

“Enci Ing, harap jangan khawatir. Engkau keliru kalau mencemburuiku. Aku tidak patut kau cemburui, karena… karena…” Tiba-tiba ia membuka kerudungnya dan berkata, “Lihatlah sendiri!”

Hui Ing memandang dan matanya terbelalak, mukanya berubah agak pucat. Hanya sebentar kerudung itu menutup kembali.

“Kau lihat sendiri. Mungkinkah orang seperti aku ada yang mencintai? Mungkinkah?” Suara itu mengandung kegetiran dan kesedihan.

Sejenak Hui Ing tidak mampu bicara. Perasaan iba yang sangat besar menyelinap di hatinya dan iapun lalu merangkul Sian-li, “Adik Sian-li, ah, maafkan aku… percayalah, yang pasti aku mencintamu, adik Sian-li!”

Sian-li menghela napas panjang dan menepuk-nepuk pundak Hui Ing, “Enci Ing, engkau memang pantas kalau berjodoh dengan twako Cin Po. Kalian memang cocok sekali, sama-sama lihai, dan sudah lama melakukan perjalanan hidup berdua. Dan engkau baik sekali, enci Ing, aku mengiri atas keberuntunganmu.”

“Jangan menyangka yang bukan-bukan, adik Sian-li. Terus terang saja, aku memang amat mencinta koko, akan tetapi kadang terasa betapa hatiku bimbang ragu. Kadang aku menganggap dan mencintainya seperti seorang adik kepada kakaknya, dan terkadang…” Ia tidak mampu melanjutkan.

“Hal itu adalah karena sudah lama kalian berkumpul sebagai kakak beradik. Akan tetapi kalau memang dia mencintaimu seperti seorang pria mencinta wanita…”

“Ah, aku tidak tahu, adik Sian-li. Aku tidak tahu dan aku kadang merasa bingung sendiri!”

Kembali Sian-li menghela napas panjang. “Cinta memang aneh, dan ganjilnya, lebih banyak mendatangkan tangis dari pada tawa. Akan tetapi aku memujikan engkau akan berbabagia dalam cintamu, enci Ing.”

“Aku juga mendoakan semoga engkau akan dapat sembuh dari penyakit yang menodai wajahmu, adikku. Kalau wajahmu bersih dari noda itu, engkau akan menjadi wanita tercantik di dunia ini dan semua pemuda tentu akan bertekuk lutut di bawah telapak kakimu!”

“Aih, engkau bisa saja, enci. Sudahlah, mari kita bicarakan urusan lain. Nah, itu dia orang yang kita bicarakan muncul.”

Cin Po memasuki taman itu dan melihat ke dua orang gadis itu sedang bercakap-cakap maka segera dia menghampiri. “Eh, Ing-moi, kiranya engkau berada di sini? Kebetulan sekali, aku juga sedang mencarimu, Sian-li!”

“Hemm, kenapa engkau mencari adik Sian-li?” tanya Hui Ing.

“Ingin menanyakan tentang Pulau Iblis. Kapan kita dapat berangkat ke sana?”

“Oya, Sian-li, siapakah yang akan dapat mengantar kami ke pulau itu? Kami ingin segera mengunjunginya!”

Sian-li menghela napas. “Sebetulnya aku khawatir sekali melihat kalian hendak mengunjungi tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi aku telah menyaksikan sendiri kelihaian kalian, maka aku menjadi berani. Aku sendirilah bersama beberapa orang pembantuku yang akan mengantar kalian ke sana.

“Akan tetapi sebelum kita berangkat, bolehkah aku mengetahui apa keperluan kalian pergi ke tempat yang mengerikan itu? Kalau tidak untuk keperluan yang teramat penting, mengapa tempat seperti itu dikunjungi?”

Hui Ing bertukar pandang mata dengan Cin Po dan gadis itu berkata. “Koko, tidak ada buruknya kalau kita memberi tahu Sian-li, bagaimanapun juga ia adalah sahabat kita yang baik, bukan?”

Cin Po mengangguk. “Terus terang saja, Sian-li, kami memenuhi permintaan Suhu kami untuk mencari kembali pedang Suhu kami yang dicuri orang. Pencurinya berada di pulau Iblis itulah.”

“Ahhh…! Sudah kuduga dan kucurigai bahwa yang beraksi sebagai iblis itupun manusia juga. Tentu manusia yang sakti. Kalian harus berhati-hati sekali!”

“Demi memenuhi permintaan suhu, kami tentu saja akan berani menghadapi bahaya apapun!” kata Hui Ing.

“Aku tertarik sekali. Aku sendiri yang akan memimpin para pembantuku mengantar kalian ke sana. Kita menggunakan perahu kami yang terbaik!”

“Lalu kapan kita akan berangkat?” tanya Hui Ing.

“Biarpun perjalanan menuju ke pulau itu hanya makan waktu seperempat hari, akan tetapi sebaiknya kalau kita berangkat pagi-pagi sekali besok, agar kita tiba di sana, setelah matahari cerah.”

“Bagus! Aku sudah lama ingin sekali melihat lagi munculnya matahari pagi dari permukaan laut!” kata Hui Ing gembira.

Ia pernah satu kali melihat munculnya matahari pagi di permukaan laut dan ingin sekali menikmati kembali pemandangan yang hebat itu. Berbeda jauh pemandangannya antara munculnya matahari dari permukaan laut dengan munculnya matahari dari balik puncak gunung yang sudah seringkali dilihatnya.

Malam itu mereka berkemas. Hui Ing dan Cin Po dalam kamar masing-masing melakukan samadhi untuk menghimpun tenaga murni karena besok mereka akan melakukan tugas penting yang mungkin sekali mengandung bahaya.


Cin Po tetah selesai bersamadhi dan hendak tidur. Akan tetapi entah mengapa dia merasa gelisah. Mungkin karena hawa udara agak panas malam itu. Dia harus mendapatkan hawa segar. Maka, dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara, dia membuka pintu jendelanya.

Bau harum semerbak menerpa hidungnya. Daun jendela terbuka, hawa masuk dari taman membawa keharuman aneka bunga. Hal ini menimbulkan semangat baginya. Dia melihat beberapa lampu gantung di taman.

Sebaiknya mencari kesegaran dan kesejukan dalam taman, pikirnya. Dengan gerakan ringan, setelah mengenakan sepatunya, dia melompat keluar melalui jendela kamarnya dan berjalan-jalan dalam taman itu. Setelah tiba di tengah taman, tiba-tiba dia menahan kakinya. Ada suara orang terisak di dalam taman!

Berindap-indap dia menghampiri dan dalam keremangan cahaya lampu gantung dia melihat bahwa yang menangis itu adalah Kui Ciok Hwa atau Huang-hai Sian-li! Gadis itu duduk di atas bangku dekat kolam ikan dan menangis terisak-isak. Begitu sedih tangisnya sehingga Cin Po tidak berani bernapas keras, hanya mengintai dari balik batang pohon besar yang tumbuh di situ.

“Cin Po ahhh…… twako Cin Po.......” Gadis itu mengeluh dan menangis sesenggukkan.

Tentu saja dia terkejut sekali. Gadis itu menangis karena dia! Dan teringatlah dia akan peristiwa dua tahun yang lalu. Dia hendak dijodohkan dengan gadis ini dan karena dia menolak, dia dihajar dan ditawan oleh Tung-hai Mo-ong. Akan tetapi gadis ini membebaskannya, dengan berkorban diri dimarahi ayahnya! Dan ketika berpisah, gadis ini ingin dianggap sebagai seorang sahabat baik!

Sekarang, secara kebetulan saja, mereka bertemu lagi dan kembali gadis itu telah menolongnya, menyelamatkan nyawanya dan nyawa Hui Ing! Dan kini, malam-malam di taman, gadis itu menangis dan menyebut-nyebut namanya. Cin Po terharu bukan main. Kini mengertilah dia bahwa Kui Ciok Hwa mencinta dirinya! Dan menangis karena merasa ditolak olehnya, ditolak karena wajahnya yang cacat.

“Twako Cin Po….. mengapa aku tidak mati saja……? Ah, mengapa aku harus hidup menderita begini……?”

Isak tangis yang memilukan hati itu, membuat Cin Po tidak dapat menahan dirinya lagi. Sebetulnya, dia merasa amat tertarik kepada gadis ini, kepada kepribadiannya. Entah itu perasaan cinta atau bukan, dia sendiri tidak tahu. Akan tetapi dia merasa sangat kasihan, dan ingin sekali melihat gadis itu berbahagia, tidak bersedih seperti sekarang ini.

“Ciok Hwa…!” Dia memanggil dan mendekat.

Huang-hai Sian-li tersentak kaget, berbangkit dan membalikkan tubuhnya. Ketika dia melihat bahwa yang memanggil namanya itu Cin Po yang sedang ditangisinya, tentu saja ia terkejut bukan main. Ia merasa malu dan salah tingkah.

“Kau...... kau…..?” Ia tergagap.

“Ciok Hwa, kenapa engkau menangis seorang diri di sini, malam-malam begini?”

“Aku… aku.... ah, tidak apa-apa twako……!”

Cin Po memegang kedua tangan gadis itu. Serasa begitu lembut dan halus, begitu hangat dan kedua tangan itu terasa seperti anak-anak ayam yang menggetar dalam genggamannya.

“Hwa-moi, engkau…. menangis karena aku? Tadi kudengar engkau menyebut-nyebut namaku….”

“Tidak.... tidak…. aku tidak berani… ahh, lepaskan tanganku, twako…..” Ia menangis lagi, mengguguk.

Cin Po tidak melepaskan tangan itu, bahkan merangkul pundak Huang-hai Sian-li. “Hwa-moi, katakan terus terang saja, engkau mencinta aku, bukan?”

“Ohhhh… bagaimana aku berani? Aku yang seburuk ini....”

“Engkau tidak buruk, Hwa-moi. Engkau gadis yang paling bijaksana, baik dan berhati mulia bagiku. Terus terang saja, Hwa-moi, sekarang aku berani menyatakan bahwa akupun cinta padamu.”

Ciok Hwa menjerit kecil dan melepaskan tangannya, melompat ke belakang. Ia menyingkap kerudungnya. “Lihat, lihat baik-baik, twako! Apakah engkau tidak jijik, tidak ngeri melihat wajahku yang cacat ini?”

Cin Po tersenyum. “Sama sekali tidak, Hwa-moi. Engkau memiliki batin yang cantik, dan engkau juga memiliki jasmani yang cantik jelita, hanya wajahmu cacat karena sakit, dan aku bersumpah akan mencarikan obat untuk menyembuhkan cacat di wajahmu itu. Aku cinta padamu, Ciok Hwa.” Cin Po menghampiri lagi dan merangkul.

Ciok Hwa seperti tidak percaya kepada semua itu. Ia menatap wajah Cin Po, menatap matanya, kemudian dia menjerit dan menangis di atas dada Cin Po, sesenggukan dan pundaknya terguncang-guncang.

“Ciok Hwa, demikian besar pengorbananmu demi cintamu kepadaku. Aku dapat merasakan besarnya cintamu padaku, dan aku menghargainya, aku berterima kasih sekali dan dari cintamu yang demikian besar itulah tumbuh perasaan sayang dan cinta dalam hatiku untukmu. Biarlah kelak aku akan menghadap ayahmu untuk meminangmu. Mudah-mudahan dia tidak marah lagi kepadaku dan kepadamu.”

“Twako Cin Po, ahh… twako....”

Dapat dibayangkan kebahagiaan yang terasa di dalam hati gadis itu. Baru saja ia merasa menjadi orang yang paling sengsara di dunia ini, mencintai seorang laki-laki yang tentu merasa benci dan jijik kepadanya. Dan kini, tanpa disangka-sangkanya, pemuda itu menyatakan cintanya kepadanya.

Dari orang yang paling sengsara hidupnya kini berubah menjadi orang yang paling bahagia! Betapa anehnya cinta! Dalam sekejap waktu saja dapat mengubah keadaan hati seorang manusia. Dapat mengubah neraka menjadi sorga, dari sorga berbalik menjadi neraka.

Dari jauh Hui Ing melihat ini semua. Iapun tidak dapat tidur dan keluar dari kamarnya memasuki taman mencari udara segar. Tadinya ia merasa curiga melihat seorang wanita dan seorang pria di taman, lalu ia menyusup agak mendekat dan masih sempat melihat betapa Huang-hai Sian-li menangis dalam pelukan Cin Po.

Hampir ia tidak dapat percaya akan penglihatannya sendiri. Kalau Huang-hai Sian-li jatuh cinta kepada kakaknya, ia sama sekali tidak merasa aneh. Kakaknya memang pantas untuk menjatuhkan hati gadis yang mana saja.

Akan tetapi kakaknya mencinta Huang-hai Sian-li? Rasanya tidak mungkin. Pria mana yang dapat jatuh cinta, kepada wanita yang mukanya buruk dan cacat seperti itu, menjijikkan dan mengerikan? Tidak, tidak mungkin Cin Po mencinta Sian-li, tentu hanya kasihan saja. Dan kasihan bukanlah cinta. Ia harus minta ketegasan dari Cin Po.

Ia tidak mau kehilangan pemuda yang dicintanya itu. Dengan muka merah dan mata basah Hui Ing menyelinap pergi, kembali ke dalam kamarnya akan tetapi semalam itu ia tidak dapat tidur pulas.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hui Ing sudah menemui Cin Po dan mengajak kakaknya ini bicara empat mata. Cin Po merasa heran melihat sikap adiknya tidak seperti biasa, sekali ini sikapnya demikian serius. “Ada apakah, Ing-moi?”

“Koko, katakanlah terus terang, apakah engkau menyayangku seperti aku menyayangmu, mencintaku seperti aku mencintamu?”

Tentu saja Cin Po tertegun mendengar pertanyaan yang lebih menyerupai serangan dan tuntutan itu. Dia tertawa memandang kepada gadis itu dengan mata terbelalak, merasa lucu dan berkata, “Aih, engkau semalam mimpi apakah, Ing-moi? Pagi-pagi sudah menanyakan yang aneh-aneh. Tidak usah kau tanya juga tentu engkau sudah mengerti dan yakin bahwa aku sayang dan cinta padamu. Engkau adalah adikku, mana ada kakak yang tidak sayang kepada adiknya?”

“Akan tetapi, aku bukan adikmu, koko, dan engkau bukan kakakku. Bahkan di antara kita tidak ada hubungan darah sedikitpun juga!”

“Heii, kenapa engkau berkata demikian, adikku? Ingat, kita dibesarkan dari dada yang sama! Kita dirawat sejak bayi oleh sepasang tangan ibu yang sama! Masih kurangkah itu menjadi penghubung di antara kita? Aku selalu memandangmu sebagai adikku sendiri, Ing-moi. Sukar rasanya untuk memandang demikian, karena sejak berusia kecil sekali, sejak bayi kita telah bersama-sama.”

Hati kecil Hui Ing menjerit. “Aku tidak mau menjadi adikmu!” Akan tetapi mulutnya tidak mengatakan itu dan iapun menangis.

Cin Po merasa heran dan khawatir, dihampirinya Hui Ing dan dia mengelus rambut gadis itu dengan sikap menyayang. Akan tetapi hal ini bahkan mengiris perasaan hati Hui Ing sehingga ia bangkit berdiri dan lari meninggalkan pemuda itu sambil terisak, kembali ke dalam kamarnya. Tentu saja Cin Po menjadi terheran-heran.

Dia mengerutkan alisnya dan sedikit dapat menduga apa yang menyebabkan adiknya bersikap seperti itu. Agaknya adiknya itu mencintanya seperti seorang gadis mencinta seorang pria! Akan tetapi tidak, hal itu harus dicegah! Dia sudah terlanjur memandang gadis itu seperti adiknya sendiri. Bagaimana mungkin dia mencintanya seperti seorang pria terhadap seorang wanita? Apa lagi cintanya telah diberikannya kepada Ciok Hwa, dan semalam dia telah menyatakan cintanya itu.

Diapun berkemas dan ketika bertemu dengan Hui Ing lagi, ternyata gadis itu telah pulih dan sikapnya telah biasa kembali, lincah gembira sehingga diapun terhibur dan tidak mau menyatakan sesuatu yang mengingatkan gadis itu akan percakapannya pagi tadi. Diapun bersikap pura-pura tidak pernah ada percakapan itu.

“Enci Ing, sekali ini engkau dan twako Cin Po harus memperlengkapi diri dengan sebatang pedang. Aku merasa bahwa dia yang tinggal di Pulau Iblis itu tentulah orang yang sakti sekali, maka kalian berdua harus bersiap-siap menjaga diri,” kata Huang-hai Sian-li sambil menyerahkan sebatang pedang kepada masing-masing.

Hui Ing memandang kepada kakaknya dan Cin Po mengangguk, maka mereka menerima bekal pedang itu dan mengikatkan di punggung mereka. Ketua bajak laut Pulau Hiu itu membawa anak buah pilihan sebanyak limabelas orang dan merekapun berangkatlah menggunakan perahu mereka yang paling baik.

Setelah layar dikembangkan, perahu meluncur dengan pesatnya menuju ke tengah samudera. Berbeda rasanya menumpang perahu besar dibandingkan perahu kecil ketika mereka berlayar kemarin dulu. Perahu besar tidak begitu terguncang ombak sehingga Cin Po dan Hui Ing dapat menikmati pelayaran ini.

Kurang lebih tiga jam pelayaran, akhirnya Sian-li menudingkan telunjuknya dan berkata, “Lihat! Itulah Pulau Iblis!”

Berdebar juga rasa hati Cin Po dan Hui Ing mendengar ini dan mereka memutar tubuh memandang ke arah yang ditunjuk. Benar saja, nampak sebuah pulau yang nampak menghitam dari tempat itu. Tidak besar dan bentuknya bundar, berdiri terpencil sendiri di tengah samudera itu.

Para anak buah jelas kelihatan ketakutan karena mereka adalah mereka yang dulu pernah bersama Huang-hai Sian-li menderita ketakutan hebat ketika mencoba untuk mendarat di pulau itu. Akan tetapi Cin Po minta kepada Sian-li dengan suara lantang, “Sian-li, harap dekatkan perahu ke pulau itu.”

Huang-hai Sian-li memberi perintah anak buahnya. “Jangan takut. Dekatkan perahu ke pulau dan pilih daratan yang landai. Kita akan mendarat!”

Biarpun ketakutan, para anak buah itu menaati perintah ketua mereka dan tak lama kemudian perahu itu telah menempel di daratan yang landai. Ternyata pulau itu cukup subur dengan pohon-pohon besar dan banyak pula batu-batuan yang besar di sana sini.

Nampaknya seperti pulau kosong karena tidak kelihatan apa-apa kecuali pohon-pohon dan batu-batu. Bahkan tidak kelihatan seekor binatang, tidak nampak seekorpun burung beterbangan di atas pulau itu.

“Seperti pulau mati saja,” kata Huang-hai Sian-li berbisik dan dari suaranya jelas bahwa gadis ini nampak gentar.

Mendengar suara ini, Cin Po memegang tangan Huang-hai Sian-li dan berkata, “Tenanglah, kita telah siap siaga menghadapi apapun juga, bukan?”

Merasa tangannya dipegang pemuda itu, Sian-li mengangguk dan nampak bersemangat. Hal ini tidak lepas dari pandang mata Hui Ing. Gadis ini menjadi tak senang dan marah, lalu melampiaskan kemarahannya dengan berteriak nyaring melengking.

“Ahooiiii…! Kalau ada penghuni Pulau Iblis ini, keluarlah menemui kami!”

Cin Po agak terkejut juga melihat kelancangan adiknya, akan tetapi dia tidak menegur karena bagaimanapun juga, mungkin teriakan adiknya itu ada gunanya untuk memancing keluar penghuni pulau. Memang lebih baik kalau penghuni pulau itu yang keluar menyambut mereka dari pada mereka memasuki daerah yang tidak dikenal dan mudah masuk perangkap.

Tidak lama mereka menanti setelah Hui Ing mengeluarkan kata-kata tadi, terdengarlah suara gerengan yang menggetarkan seluruh pulau. Anak buah bajak laut Pulau Hiu jatuh bangun melarikan diri kembali ke perahu mendengar gerengan itu.

Akan tetapi Huang-hai Sian-li meneriaki mereka agar kembali dan siap siaga. Ia sendiri agak gemetar berdiri di belakang Cin Po seolah berlindung kepada pemuda itu. Hui Ing sama sekali tidak kelihatan gentar. Ia dan Cin Po berdiri tegak menanti apa yang akan muncul setelah ada suara yang demikian nyaring menggetarkan itu.

Dan seperti pernah diceritakan Sian-li kepada mereka. Mendadak dari balik sebuah batu besar muncul seekor makhluk yang menyeramkan sekali. Makhluk itu besar dan makin membesar seperti asap hitam bergumpal-gumpal.

Nampak seperti seorang raksasa dengan mulut seperti mulut harimau dan matanya bernyala-nyala, kedua lengannya yang besar itu dikembangkan dan tangannya membentuk cakar. Sungguh mengerikan dan tidaklah mengherankan kalau semua anak buah bajak menjatuhkan diri berlutut sambil menggigil ketakutan.

Hui Ing dan Cin Po memandang tajam, sedangkan Sian-li yang ketakutan memegang tangan Cin Po dari belakang, tangannya sendiri berubah dingin.

“Tenanglah,” bisik Cin Po kepadanya dan melepaskan tangannya yang dipegang. Dia sendiri harus siap siaga maka kalau tangannya dipegang dia tidak akan leluasa bergerak.

Setelah memandang sejenak, dia dan Hui Ing maklum bahwa makhluk itu hanyalah makhluk jadi-jadian, bukan makhluk biasa hanya muncul karena kekuatan ilmu hitam belaka. Hui Ing lalu membungkuk, mengambil tanah dan melompat ke depan makhluk itu sambil menyambitnya dengan segenggam tanah.

“Yang berasal dari tanah kembali kepada tanah!” bentaknya dan ia melontarkan tanah dari tangannya dengan pengerahan tenaga sinkangnya.

“Desss….!” Asap bergumpal-gumpal ketika makhluk itu dihantam tanah dan asap itu membuyar dan tak lama kemudian lenyaplah makhluk yang menyeramkan itu!

Kemudian terdengar suara tawa, tawa terbahak-bahak seperti seorang gila tertawa, atau seperti iblis tertawa dan dari belakang pohon muncullah seorang laki-laki tua menunggang seekor harimau....!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.