Pendekar Baju Putih Jilid 12

Novel silat Mandarin, Pendekar Baju Putih Jilid 12 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Baju Putih Jilid 12 karya Kho Ping Hoo - Kakek itu kurus kering, pakaiannya kedodoran, mukanya seperti tengkorak dan hanya matanya saja yang mencorong dan bergerak liar seperti mata orang gila. Rambutnya awut-awutan dan kakek itu sukar ditaksir usianya, namun jelas bahwa dia tentu sudah berusia lanjut, mungkin tujuhpuluh tahun lebih. Dia tertawa-tawa seperti orang gila sambil memandang ke arah Hui Ing.

Novel Silat Mandarin Pendekar Baju Putih karya Kho Ping Hoo

“Wah, wah, seorang gadis cilik dapat memusnahkan makhluk yang kuciptakan. He, heh, anak perempuan kecil, engkau mau apakah datang ke tempat ini?”

Sekarang Cin Po yang maju. Dia merangkap kedua tangan depan dada, kemudian berkata dengan sikap hormat. “Locianpwe, kami berdua menerima perintah dari Suhu kami untuk datang ke pulau ini dan mencari kembali Im-yang Siang-kiam. Tidak tahu apakah locianpwe mengetahui di mana Im-yang Siang-kiam itu?"

“Ha-ha-ha, siapakah gurumu itu? Hayo katakan, siapa gurumu yang menyuruh kalian mencari Im-yang Siang-kiam?”

Hui Ing cepat menjawab. “Guru kami tidak bernama, karena itu kami menyebutnya Bu Beng Lojin! Kalau engkau mengetahui, lekas beritahukan kepada kami. Jangan-jangan engkaulah pencuri pedang itu, kakek tua!”

“Ha-ha-ha, aku Bhok Seng Cun tidak pernah berbohong. Aku tidak takut mengakui bahwa memang akulah yang mencuri pedang itu dari Orang Tua Tanpa Nama. Aku yang melarikannya darinya. Dan sekarang dia menyuruh kalian berdua datang untuk mendapatkan kembali? Ha-ha, apakah kalian orang-orang muda sudah bosan hidup? Pergilah, pergilah, jangan membuat aku marah karena kalau aku marah kalian pasti akan hancur lebur!”

“Kakek Bhok Seng Cun, kami harap engkau suka menyadari bahwa mencuri itu merupakan perbuatan yang buruk sekali. Suhu kami telah bersikap sabar dan membiarkan engkau melarikan pedang itu dan sekarang mengutus kami untuk minta kembali pedang itu darimu. Kami menaati perintah Suhu, biar bagaimanapun, kami tidak akan takut dan mundur sebelum engkau mengembalikan pedang itu kepada kami. Karena itu, orang tua yang baik, kalau engkau tidak ingin melihat dilawan oleh orang-orang muda yang pantas menjadi cucumu, harap kembalikan Im-yang Siang-kiam kepada kami!”

“Ha-ha-ha, kalian orang-orang muda berani bicara besar! Lihat, Im-yang Siang- kiam!” katanya sambil memasukkan tangan ke balik jubahnya yang terlalu besar untuknya itu dan di lain saat, dia telah memegang sepasang pedang yang mengeluarkan cahaya berkilauan. Yang sebatang mempunyai sinar putih dan yang sebatang lagi agak kemerahan.

Melihat pedang itu, Cin Po dan Hui Ing menjadi kagum. Itulah pedang yang harus mereka rampas dan oleh Bu Beng Lojin telah diberikan kepada mereka. Mereka harus merampasnya, bukan karena ingin memiliki pedang yang hebat itu, melainkan demi menaati pesan guru mereka!

“Kakek Bhok Seng Cun, serahkan pedang itu kepada kami!” kata Hui Ing dengan nyaring.

“Ha-ha, siapakah kalian ini berani memaksaku untuk menyerahkan pedang? Hayo katakan siapa nama kalian agar aku tidak membunuh orang-orang tanpa nama!”

“Aku bernama Sung Cin Po dan ini adikku bernama Kwan Hui Ing! Orang tua, alangkah malunya menyimpan pedang curian, sebaiknya berikan kepada yang berhak!” kata Cin Po.

“Sung Cin Po dan Kwan Hui Ing, kalian bertemu dengan aku orang tua, tidak lekas berlutut menanti apa lagi! Hayo kalian cepat berlutut!” katanya dan menudingkan ke dua pedangnya ke arah dua orang muda itu.

Dan tanpa dapat dicegah lagi, tiba-tiba saja Cin Po dan Hui Ing menjatuhkan diri berlutut! Kakek itu tertawa bergelak akan tetapi di tengah-tengah tawanya dia berhenti karena melihat dua orang muda itu telah melompat bangun kembali. Kiranya sihirnya hanya sebentar saja mempengaruhi ke dua orang muda itu.

Tiba-tiba dia tertawa bergelak, suara tawanya demikian hebat sehingga para anak buah bajak jatuh bergulingan, sedangkan Huang-hai Sian-li sendiri cepat duduk bersila mengerahkan khi-kang untuk menahan suara tawa yang seperti ujung pedang menusuk-nusuk ke dua telinganya. Akan tetapi Cin Po dan Hui Ing tidak terpengaruh sama sekali.

Kakek itu lalu menggerakkan pedang, mulutnya berkemak kemik dan menudingkan kedua pedangnya ke depan. Seketika muncul dua ekor naga yang menyerbu ke arah dua orang muda itu. Melihat ini, Huang-hai Sian-li gemetar dan khawatir sekali akan keselamatan Hui Ing dan Cin Po. Akan tetapi, kedua orang muda itu kembali mengambil tanah dan sekali sambit, dun ekor naga jadi-jadian itupun runtuh dan lenyap.

Kembali kakek itu menggerak-gerakkan Im-yang Siang-kiam dan berkemak kemik, kini dari udara datang kilat menyambar-nyambar disertai suara bergemuruh menyambar ke arah mereka semua. Para anak buah bajak menjerit-jerit dan mereka jatuh berpelantingan. Huang-hai Sian-li sendiri tubuhnya berguncang ketika kilat-kilat itu menyambarnya.

Akan tetapi Cin Po dan Hui Ing menggerak-gerakkan tangan lalu telunjuknya menuding ke atas dan seketika kilat-kilat itupun berhenti dan lenyap. Akan tetapi di antara anak buah bajak laut itu banyak yang babak belur dan bahkan ada pula yang tewas saking ketakutan!

Melihat ini, marahlah Cin Po. “Bhok Seng Cun, engkau membunuhi orang yang tidak bersalah, dosamu sungguh besar dan kami mewakili suhu untuk memberi hukuman kepadamu!”

Setelah berkata demikian, Cin Po lalu memukul dari jarak jauh dengan dorongan ke dua tangannya. Ada angin keras menyambar ke arah kakek itu yang melompat dari atas punggung harimau. Kemudian kakek itu berteriak aneh dan sang harimau besar agaknya mengerti akan perintah itu karena tiba-tiba saja dia menubruk ke arah Cin Po sambil menggereng keras.

Melihat ini, Cin Po mengelak ke samping sambil mencabut pedang yang diberikan oleh Sian-li tadi. Begitu tubuh harimau itu menyambar lewat, pedangnya bergerak seperti kilat menusuk dada harimau. Pedang itu menembus jantung dan sang harimau menggereng, kemudian jatuh berkelojotan dan tewas seketika.

Kini kakek itu yang menjadi marah sekali. “Jahat, jahat sekali engkau, orang muda.”

“Tidak lebih jahat dari engkau, kakek Bhok Seng Cun.”

“Apa kejahatanku? Selama puluhan tahun aku melayani orang tua itu, aku selalu patuh dan setia. Akan tetapi dia membatasi diri dalam mengajarkan ilmu kepadaku. Maka aku lalu minggat membawa siang-kiam ini, sebagai upah atas pelayananku selama puluhan tahun, apa itu salah? Aku tinggal mengasingkan diri di sini, tidak mengganggu siapapun juga, kalian malah datang mengganggu. Kalau membunuh beberapa dari orang-orangmu, apa itu salah?”

“Kamipun datang bukan untuk mengganggumu, melainkan untuk memenuhi perintah Suhu mengambil kembali siang-kiam itu. Engkau tidak mau menyerahkan secara baik-baik, bahkan menyerang kami. Harimaumu buas dan dapat membunuh orang, maka terpaksa aku membunuhnya! Engkau mengatakan telah melayani suhu selama puluhan tahun, akan tetapi buktinya engkau mendapatkan ilmu yang tinggi, apakah itu bukan merupakan imbalan yang cukup? Akan tetapi engkau memilih jalan sesat, mencuri pedang. Maka, sebelum terlambat, kembalikanlah Im-yang Siang-kiam kepada kami!”

“Oho-ho, tidak semudah itu, orang muda! Kaukira setelah engkau mampu memunahkan ilmu sihirku dan membunuh tungganganku, engkau dapat menangkan aku? Nah, majulah kalian!” tantangnya sambil memegang sepasang pedang itu menyilang di depan dadanya.

“Kakek Bhok Seng Cun, engkau masih belum mengaku salah, memang sepatutnya orang macam engkau dihajar!” bentak Hui Ing dan gadis ini sudah menyerang dengan pedangnya.

Melihat Hui Ing sudah bergerak menyerang, Cin Po membantunya dan menyerang dengan gerakan kilat. Kakek itu mengelebatkan kedua pedangnya.

“Trang-tranggg…!”

Cin Po dan Hui Ing terkejut bukan main karena pedang mereka patah bagian ujungnya. Akan tetapi mereka tidak menjadi gentar, lalu menyerang lagi dengan pedang buntung ujungnya itu, dan sekali ini karena maklum bahwa lawan memegang sepasang pedang yang ampuh, mereka tidak mau mengadu pedang mereka.

Dengan gerakan yang lincah dan ringan cepat bukan main, kedua kakak beradik itu segera dapat mendesak lawannya. Ternyata dalam hal ilmu pedang, kakek itu tidak mampu menghadapi mereka berdua.

Memang dia memiliki ilmu pedang yang baik sekali, akan tetapi mungkin karena usianya, gerakannya jauh kalah cepat dibandingkan Hui Ing dan Cin Po sehingga kini dia terpaksa hanya mengelak dan memutar sepasang pedangnya untuk melindungi tubuhnya. Setelah lewat limapuluh jurus, napasnya sudah mulai memburu.

Melihat bahwa kalau dilanjutkan dia akan kalah, kakek itu lalu mengeluarkan bentakan nyaring yang mengandung kekuatan sihir. Kakak beradik ini dapat menahan serangan ini, akan tetapi terpaksa mereka berhenti menyerang untuk menahan serangan suara itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh kakek itu untuk meloncat dan lari ke tengah pulau.

Tiba-tiba dari dalam pulau itu muncul seorang pemuda berpakaian serba hijau dan pemuda itu membawa sebatang pedang. “Siluman Tua, engkau hendak lari ke mana?” bentaknya dan diapun menyerang kakek itu dengan pedangnya yang mengeluarkan sinar terang.

Kakek itu terpaksa menangkis dan pedang pemuda itu tidak patah, dan mereka lalu bertanding dengan seru. Ternyata pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat pula. Pedangnya bergerak dengan indahnya bagaikan seekor naga bermain di angkasa. Dari gerakan ini Cin Po mengenal bahwa ilmu pedang itu tentulah ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat yang terkenal indah dan berbahaya.

Karena tertahan oleh pemuda itu, sebentar saja Cin Po dan Hui Ing sudah sampai di tempat itu dan merekapun menerjang kakek itu yang kini dikeroyok oleh tiga orang muda yang lihai. Tidak kuatlah kakek itu dan dia pun melarikan diri lagi setelah mengeluarkan bentakan nyaring.

Kalau Hui Ing dan Cin Po hanya tertahan sebentar penyerangan mereka menghadapi bentakan itu, adalah si pemuda yang terhuyung ke belakang. Agaknya ia tidak tahan menghadapi bentakan yang mengandung kekuatan sihir ini.

Cin Po dan Hui Ing mengejar lagi dan kini larinya kakek itu menuju ke sebuah tebing yang tinggi. Dan nampaknya kakek itu sudah kehabisan napas dipakai berlari mendaki tebing sehingga larinya semakin lambat. Setelah tiba di tepi tebing pantai laut itu, dia berhenti dan ketika membalikkan tubuhnya, dia melihat betapa dua orang muda yang lihai itu telah tiba di depannya. Marahlah dia.

“Kalian menghendaki siang-kiam ini? Nah, terimalah!” Dengan sisa tenaganya, dia melontarkan pedang itu.

Pedang itu bagaikan anak panah meluncur ke arah Cin Po dan Hui Ing. Bagi orang lain, serangan ini dapat merupakan serangan maut karena pedang yang meluncur seperti anak panah itu memang berbahaya sekali. Namun, Hui Ing dan Cin Po telah memiliki kepandaian yang hebat. Mereka miringkan tubuh dan ketika pedang meluncur lewat dekat tubuh, mereka menyambar dengan tangan dan pedang itu dapat mereka tangkap!

Melihat ini, kakek itu terbelalak. Tak disangkanya bahwa pemuda dan gadis itu telah menerima ilmu dari orang sakti itu, melebihi yang diterimanya. Habislah harapannya dan dia sambil berteriak menyeramkan meloncat dari atas tebing, menuju ke bawah.

Cin Po dan Hui Ing lari ke tepi tebing dan melongok ke bawah. Tubuh kakek itu terhempas di bawah sana, diterima oleh batu-batu karang lalu disambar ombak lautan dan lenyap. Mereka menghela napas panjang, diam-diam menyesali nasib kakek itu yang begitu menyedihkan.

Pada saat itu, pemuda baju hijau itu sudah tiba di situ dan dari bawah nampak Huang-hai Sian-li berlari-larian naik. Sian-li lalu menghampiri Cin Po dan berkata dengan girang, “Twako, engkau selamat! Syukurlah!”

“Akupun selamat, adik Sian-li!” kata Hui Ing mengejek. “Ah, aku girang sekali kalian dapat menundukkan iblis itu.”

“Berkat bantuan saudara ini,” kata Cin Po yang lalu memberi hormat kepada pemuda itu!

Pemuda baju hijau itupun membalas penghormatan mereka. “Bantuanku tidak berarti. Kepandaian ji-wi amat hebat sehingga tanpa bantuanku yang tidak berarti, siluman tua itu pasti dapat ditundukkan!”

“Im-yang Siang-kiam itu telah dapat kalian rampas, twako?” tanya Sian-li sambil memandang pedang di tangan Cin Po dan Hui Ing.

“Kakek itu pada saat terakhir melontarkan pedang untuk menyerang kami, dan untung kami dapat menangkapnya,” kata Cin Po.

“Dan dia agaknya seperti sudah diatur saja, dia melontarkan Im-kiam kepadaku dan Yang-kiam kepada koko, sesuai dengan yang dikehendaki guru kami.” Mereka mengamati pedang-pedang itu dan menjadi kagum sekali.

Pemuda baju hijau itu memberi hormat lagi. “Aku merasa kagum sekali atas ilmu kepandaian ji-wi, bolehkah aku mengetahui nama ji-wi yang mulia? Dan juga nona yang baru datang ini? Aku sendiri bernama Yang Kim Sun.”

“Aku bernama Sung Cin Po, ini adikku Kwan Hui Ing dan ini adalah ketua bajak laut pulau Hiu bernama Huang-hai Sian-li.”

“Ah, aku sudah mendengar tentang bajak laut Pulau Hiu yang merupakan bajak laut yang berjiwa gagah dan tidak kejam seperti para bajak lainnya,” kata Yang Kim Sun sambil memandang kepada Sian-li dengan kagum akan tetapi juga heran mengapa wajah gadis yang memiliki bentuk tubuh sempurna itu ditutupi cadar hitam.

“Akan tetapi mengapa engkau dapat berada di Pulau Iblis ini, saudara Yang?” tanya Cin Po sambil memandang wajah pemuda ini.

Seorang pemuda yang tampan, pikirnya. Usianya sekitar duapuluh tiga tahun, rambutnya hitam digelung ke atas dan diberi pita sutera kuning. Alis matanya seperti bentuk golok dan sepasang matanya menunjukkan kecerdasan, tajam dan lembut. Hidungnya mancung dan mulutnya amat ramah penuh senyum, dengan dagu berlekuk. Tubuhnya sedang saja namun tegap dengan dada yang bidang.

“Ceritanya agak panjang,” kata Kim Sun. “Aku adalah seorang murid Kun-lun-pai. Beberapa tahun yang lalu, iblis yang bernama Bhok Seng Cun itu pernah datang bertamu ke Kun-lun-pai dan diterima dengan penuh kehormatan dan keramahan oleh para pimpinan Kun-lun-pai, bahkan diberi kesempatan menginap sebagaimana layaknya seorang tamu agung dari dunia kang-ouw. Akan tetapi ternyata dia telah menyalah-gunakan keramahan pihak kami. Pada suatu hari dia menghilang dan bersama dia hilang pula beberapa buah kitab pusaka pelajaran ilmu silat Kun-lun-pai yang penting.”

“Ihh, dasar pencuri, sampai tua pencuri juga!” kata Hui Ing. “Kami mencarinya juga untuk mengambil kembali pedang ini yang dia curi dari Suhu kami!”

Kim Sun tersenyum dan memandang kagum. “Dan nona sudah begitu lihai untuk dapat merampasnya kembali. Aku, setelah menyelesaikan pelajaran ilmu silatku, mendapat tugas dari para pemimpin Kun-lun-pai untuk menyelidiki di mana adanya kakek Bhok Seng Cun itu.

“Dalam perantauanku yang sudah berjalan setahun lebih akhirnya aku tiba di pantai daratan sana dan aku mendengar tentang adanya Pulau Iblis yang mencurigakan itu. Aku tertarik walaupun ketika itu aku tidak menghubungkannya dengan Bhok Seng Cun. Aku hanya tertarik untuk mengetahui apa yang terdapat di pulau penuh rahasia ini.

“Aku membeli sebuah perahu dan mencari sendiri pulau ini setelah mendapat petunjuk dari seorang nelayan. Akhirnya aku dapat juga mendarat di pulau ini.”

“Wah, engkau seorang pemberani, saudara Yang!” kata pula Hui Ing kagum. Ia sendiri tadi merasa berdiri bulu tengkuknya karena keseraman tempat itu.

Kim Sun tersenyum, girang dengan pujian itu. “Aku tidak tahu bahwa Bhok Seng Cun berada di sini. Tiba-tiba dia muncul dan setelah aku tahu bahwa dia adalah Bhok Seng Cun, lalu kuminta kitab-kitab itu.”

“Hemm, mana dia mau memberikan?” kata Cin Po.

“Bukan saja dia tidak mau menyerahkan, bahkan dia menyerangku. Dalam hal ilmu pedang, aku masih sanggup melayaninya. Akan tetapi iblis itu menggunakan ilmu hitam, ilmu sihir dan aku tidak berdaya.

“Aku lalu ditangkapnya, dibawa ke guhanya dan diikat kaki tanganku. Ketika mendengar teriakan tantangan, dia pergi keluar meninggalkan aku, dan aku lalu berusaha untuk melepaskan ikatan kaki tanganku.

“Akhirnya aku berhasil. Kuambil pedangku dan aku lalu mengejar keluar dan melihat dia hendak melarikan diri maka aku lalu menyerangnya.”

“Wah, hebat pengalamanmu, saudara Yang,” kata Cin Po. “Dan sudah berhasilkah engkau menemukan kembali kitab-kitab itu?”

“Aku belum sempat mencarinya, karena tadi begitu terbebas dari ikatan, aku langsung mengejar keluar.”

“Kalau begitu, mari kita mencarinya di guha tempat tinggalnya!”

Empat orang itu lalu menuju ke tengah pulau dan di sana memang terdapat sebuah guha besar. Setelah mencari ke dalam guha, akhirnya Yang Kim Sun menemukan tiga buah kitab milik Kun-lun-pai yang dicarinya itu. Dia merasa girang sekali dan cepat menyimpan kitab itu.

“Sungguh aneh manusia itu,” kata Huang-hai Sian-li, “Hidupnya menyendiri, bersembunyi di tempat ini, usianya sudah begitu lanjut, lalu untuk apa dia mencuri pedang dan kitab-kitab itu? Apakah hanya untuk menemaninya sampai dia mati di sini?”

Cin Po menghela napas panjang. “Sukar diduga isi hati orang-orang kang-ouw yang aneh. Akan tetapi sungguh sayang sekali bahwa dia mengakhiri hidupnya secara demikian menyedihkan. Bahkan jenazahnyapun tidak dapat kita urus dan makamkan sebagaimana mestinya.”

Mereka lalu kembali ke perahu besar. Yang Kim Sun ikut pula karena setelah dia cari-cari, perahunya yang kecil sudah tidak ada, terbawa hanyut ombak samudera. Mereka semua pergi ke pulau Hiu, dan bermalam satu malam di sarang bajak laut itu. Malam itu, kembali Huang-hai Sian-li Kui Ciok Hwa mengadakan pertemuan dengan Cin Po di dalam taman.

“Twako, apakah engkau harus pergi juga besok?”

“Benar, Hwa-moi. Aku harus pergi karena masih banyak tugas yang harus kuselesaikan, seperti yang telah kuceritakan padamu. Membersihkan Thian-san-pang dan juga mencari musuh besar pembunuh ayah kandungku.”

“Setelah itu?”

“Setelah itu aku akan mencari ayahmu, dan aku akan meminangmu, Hwa-moi.”

“Twako….!” gadis itu berkata lirih, terharu sekali. “Sudah yakin benarkah engkau…?”

“Tentu saja! Aku cinta padamu, Hwa-moi dan aku yakin benar akan hal ini.”

“Akan tetapi aku belum yakin, twako. Mungkin engkau tidak memperdulikan wajahku yang cacat, akan tetapi bagaimana kalau ibumu melihat aku seperti ini? Tentu beliau tidak akan sudi memiliki mantu seperti aku, dan akan ngeri melihatku.”

“Jangan berkata demikian, Hwa-moi. Ibuku seorang wanita bijaksana!”

“Aku ragu, twako. Akan tetapi, aku akan menanti di sini dengan setia. Hanya ada satu hal yang membuat aku bingung, tentang enci Hui Ing…”

“Kenapa dengannya, Hwa-moi?”

“Ketahuilah, twako. Enci Ing amat mencintamu.”

Cin Po tersenyum. “Tentu saja. Ia adalah adikku, tentu saja amat mencintaku seperti juga aku sayang dan cinta kepada adikku itu.”

“Bukan… bukan itu yang kumaksudkan. Ia mencintamu seperti seorang gadis mencinta seorang pemuda, bukan seperti adik mencinta kakaknya. Dan aku merasa seolah-olah aku merampas engkau darinya.”

“Ah, itu tidak mungkin. Biarpun kami bukan saudara sekandung, akan tetapi kami dibesarkan bersama, bahkan minum dari dada wanita yang sama. Ibu kandungku menganggap ia seperti anak kandungnya sendiri dan demikian pula Ing-moi menganggap ibu seperti ibunya sendiri. Kalau benar katamu itu, akan dapat aku mengingatkannya, Hwa-moi.”

“Bagaimanapun, hatiku merasa tidak enak kalau harus menjadi orang yang menyengsarakan hatinya. Ia begitu baik kepadaku.”

“Sudahlah, Hwa-moi, jangan berpikir yang tidak-tidak. Engkau tunggu saja aku di sini, pada suatu hari aku tentu akan membawa kabar baik dari ayahmu.”

Demikianlah, pada keesokan harinya, Huang-hai Sian-li sendiri yang mengantar Cin Po, Hui Ing, dan Kim Sun dengan perahu besarnya menuju ke daratan besar. Setelah mereka semua turun dan berpamit, sepasang mata di balik cadar itu menjadi basah air mata.

“Sampai jumpa, adik Sian-li. Percayalah, lain waktu kita pasti akan bertemu kembali!” kata Hui Ing sambil merangkul gadis berkerudung itu.

“Adik Sian-li, selamat tinggal dan jaga dirimu baik-baik,” kata Cin Po dengan suara lembut penuh perasaan.

“Terima kasih atas segala kebaikan nona kepadaku, selama aku berada di Pulau Hiu,” kata pula Kim Sun.

“Selamat jalan… selamat jalan, jaga dirimu baik-baik,” kata Ciok Hwa dan matanya tidak pernah lepas dari Cin Po sampai tiga orang itu pergi jauh. Barulah ia kembali ke perahunya dan perahu dilayarkan. Ciok Hwa memasuki bilik perahu dan menangis tanpa suara, merasa betapa hidupnya menjadi kosong dan kesepian setelah ditinggalkan Cin Po.


Setelah jauh meninggalkan pantai, Kim Sun berpamit dari ke dua orang kakak beradik itu, karena dia harus kembali ke Kun-lun-pai untuk menyerahkan kitab-kitab kepada para pimpinan Kun-lun-pai.

“Aku merasa beruntung sekali dapat berkenalan denganmu, saudara Cin Po dan juga engkau, nona Hui Ing. Aku kagum sekali kepada kalian dan akan kuceritakan kepada para pimpinan Kun-lun-pai tentang kalian. Kuharap, kelak aku akan mendapat kesempatan untuk dapat bertemu kembali dengan ji-wi (kalian).” Dia memberi hormat, dan matanya menatap wajah Hui Ing penuh kagum.

Melihat sinar mata penuh kagum itu ditujukan kepada dirinya, Hui Ing menjadi kemerahan wajahnya. “Aihh, Yang twako, engkau terlalu memuji. Engkau sendiri seorang murid Kun-lun-pai yang gagah berani, memiliki ilmu pedang yang hebat!”

“Yang twako, harap sampaikan hormat kami kepada para locianpwe di Kun-lun-pai,” kata Cin Po, menirukan adiknya menyebut twako kepada murid Kun-lun-pai itu yang dianggapnya sebagai sahabat setelah mengalami hal yang dahsyat di Pulau Iblis bersama-sama.

Tentu saja Yang Kim Sun girang sekali melihat keramahan dan keakraban mereka. “Baik, Sung-te, akan kusampaikan kepada para Suhu di sana. Dan Ing-moi, engkau sungguh baik dan ramah sekali. Nah, selamat berpisah, jaga diri kalian baik-baik.”

“Engkau juga berhati-hatilah di jalan, twako!” kata Hui Ing.

Mereka berpisah dan Cin Po melanjutkan perjalanannya bersama Hui Ing. Melihat Cin Po berjalan sambil menundukkan mukanya yang kelihatan muram, Hui Ing mengerutkan alisnya.

“Koko, engkau kenapakah?”

“Kenapa? Aku tidak apa-apa!”

“Aih, koko, jangan berbohong kepadaku. Engkau kelihatan lesu dan seperti orang bersedih. Tentu karena meninggalkan adik Sian-li itu bukan? Maksudku, adik Ciok Hwa. Bukankah ia bernama Kui Ciok Hwa?”

Cin Po menarik napas panjang. “Terus terang saja, Ing-moi. Aku memang mengingat ia dan aku merasa amat kasihan kepadanya, juga aku merasa berdosa sekali kepadanya.”

“Eh? berdosa? Mengapa?”

“Bayangkan saja. Ia kini hidup menyendiri sebagai kepala bajak laut di Pulau Hiu, meninggalkan kehidupan biasa dengan ayahnya. Semua itu karena aku.

“Ia membebaskan aku dari tawanan ayahnya dan karena itu ayahnya menjadi marah, membuat ia terpaksa pergi dan akhirnya membawanya menjadi bajak laut. Semua itu adalah karena aku! Bagaimana hatiku tidak akan merasa berdosa kepadanya?”

“Jadi engkau mencinta padanya karena merasa kasihan dan merasa berdosa?”

“Apa..... apa maksudmu….? Mencinta....?”

“Aihh, koko, tidak usah berpura-pura. Aku sudah tahu bahwa engkau mencintanya, bukan? Pantas saja engkau menganggap aku adikmu sendiri, berkeras menganggap aku sebagai adik, ternyata engkau mencinta adik Sian-li.

“Sudahlah, aku tidak menyesal, koko, engkau berhak menentukan cintamu. Hanya yang mengherankan hatiku, kalau memang engkau mencintanya, mengapa dulu engkau menolak ketika hendak dijodohkan dengannya?”

Diam-diam Cin Po merasa terharu. Teringat dia akan peringatan Ciok Hwa bahwa Hui Ing mencintanya, bukan seperti adik, melainkan seperti seorang wanita terhadap pria. Dan baru saja Hui Ing berterus terang. Gadis yang keras hati dan jujur itu demikian jujurnya mengakui, akan tetapi tidak merasa menyesal karena dia berhak menentukan cintanya! Sungguh suatu sikap yang gagah luar biasa, bukan sikap cengeng seperti kebiasaan gadis kalau ditolak cintanya!

“Ing-moi, ah, bagaimana aku harus menerangkannya kepadamu? Dahulu, ketika dua tahun yang lalu aku dijodohkan, aku sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan. Akan tetapi setelah pertemuanku yang kedua kalinya dengannya, entah bagaimana, entah mengapa, hatiku tertarik sekali, hatiku penuh iba, penuh kagum dan penuh terima kasih.

“Baru aku menyadari betapa besar cintanya kepada diriku, maka aku tak dapat mengingkari hatiku sendiri bahwa aku mencintanya, Ing-moi. Adapun engkau sudah kukatakan bahwa aku menganggap engkau adikku sendiri, lahir batin, engkau adikku yang tersayang, tak mungkin aku memandangmu sebagai orang lain kecuali sebagai adikku yang kukenal sejak masa kanak-kanak.”

Hui Ing menyapu ke dua matanya dengan tangan, mengusir beberapa butir air matanya. “Sudah, jangan sebut-sebut aku, koko, membikin aku ingin menangis saja. Mari kita bicara tentang adik Sian-li. Tentu engkau sudah melihat wajahnya yang cacat itu, bukan?”

“Tentu saja, Ing-moi. Dan justru cacat di wajahnya itulah yang membuat aku menjadi semakin iba kepadanya, membuat aku semakin menyayangnya.”

“Akan tetapi aku memperingatkanmu, koko. Jangan anggap ringan soal wajah. Mungkin karena cintamu kepada Sian-li, engkau tidak memperdulikan cacat di wajahnya, bahkan cacat itu menimbulkan rasa iba hatimu, menambah dalam cintamu. Akan tetapi bagaimana kelak dengan perasaan ibu kalau melihat wajah calon mantunya? Dan bagaimana pula kalau ia sudah menjadi isterimu dan engkau hendak memperkenalkannya kepada orang lain? Bagaimana kalau wajah isterimu kelak menjadi bahan tertawaan orang? Aku tidak iri, koko. Sudah kuusir semua rasa cemburu dari hatiku sejak aku bicara dengan Ciok Hwa, akan tetapi aku hanya menggambarkan segala kemungkinan yang pasti akan kauhadapi kelak.”

“Aku mengerti, Ing-moi, dan terima kasih atas peringatanmu. Akan tetapi aku siap menghadapi itu semua. Aku juga akan berusaha untuk mencari obat, untuk menyembuhkan cacat di mukanya itu. Pendeknya, bagiku jelek atau baik wajah Ciok Hwa, aku tetap mencintainya.”

Hui Ing menghela napas dan tidak berkata-kata lagi. Di dalam hatinya ia memang iri atas kebabagiaan Ciok Hwa yang mendapatkan cinta begitu murni dari seorang pria yang diam-diam dicintanya. Andaikata Ciok Hwa berwajah cantik, mungkin saja ia akan merasa penasaran, akan merasa cemburu dan iri karena merasa bahwa ia dikalahkan.

Akan tetapi karena wajah Ciok Hwa demikian buruk, maka ia yakin bahwa cinta Cin Po kepada gadis itu memang luar biasa, cinta yang tidak dipengaruhi oleh wajah cantik dan menghadapi cinta seperti itu, ia rela mengalah.

Jantung mereka berdebar penuh ketegangan ketika mereka tiba di depan kuil Ban-hok-si. Kuil itu nampak sunyi saja. Mereka memasuki halaman kuil dan tiga orang nikouw yang sedang bekerja di situ, menengok dan mereka semua terbelalak, lalu menangis menyongsong kedatangan Cin Po dan Hui Ing.

Hui Ing terkejut sekali melihat tiga orang nikouw itu menangis megap-megap tanpa dapat bicara. Pada hal biasanya para nikouw itu berwatak tenang sekali. Ia tahu bahwa tentu terjadi hal yang hebat, maka ia dan Cin Po lalu menuntun mereka memasuki kuil.

“Nah, katakanlah apa yang telah terjadi?! Mana ibu dan Su-kouw?!”

Para nikouw itu dengan suara terputus-putus lalu bercerita betapa dua tahun yang lalu, ketika Hui Ing tidak pulang, ibunya dan Liauw In Nikouw pergi naik ke Thian-san-pang untuk mencarinya di sana. Akan tetapi, ibu mereka tidak pernah pulang lagi dan Liauw In Nikouw diantarkan oleh Ban Koan dalam keadaan tidak bernyawa lagi.

“Menurut kata Ban Koan, Lauw In Nikouw terjatuh ketika naik ke Thian-san-pang dan tewas,” kata mereka, dan mendengar ini, Hui Ing menangis. Mereka lau pergi ke makam Lauw In Nikouw, dan melakukan sembahyang.

“Si keparat Ban Koan!” kata Hui Ing. “Sekarang juga akan kudatangi dia. Siapa lagi yang membunuh Su-kouw kalau bukan dia! Dan bagaimana dengan ibu, tentu dia tahu di mana ibu!”

Melihat gadis itu hendak langsung pergi, Cin Po memegang tangannya. “Sekarang malam hampir tiba, sungguh tidak baik kalau kita berkunjung ke sana. Sebaiknya besok pagi saja kita pergi ke sana bersama-sama. Bersabarlah, Ing-moi, sampai besok pagi.”

Dibujuk oleh kakaknya, akhirnya Hui Ing setuju juga biarpun semalam itu ia gelisah tidak dapat tidur memikirkan ibunya yang kabarnya lenyap setelah mengunjungi Thian-san-pang. Ia khawatir kalau ibunya juga sudah dibunuh seperti halnya Liauw In Nikouw, adik dari ayah kandungnya itu.


Pagi hari itu di Thian-san-pang sedang diadakan pesta untuk menjamu para tamu penting yang datang berkunjung. Dua orang tamu itu bukan lain adalah dua orang saudara Coa, ketua dan wakil ketua Tok-coa-pang yang datang berkunjung. Mereka berdua, Coa Ta Kui (Setan Besar Coa) dan Coa Siauw Kui (Setan Kecil Coa) kini telah menjadi sahabat baik Ban Koan sebagai ketua Thian-san-pang.

Mereka kemarin datang bertamu, bermalam di Thian-san-pang dan sebelum mereka pergi, mereka telah dijamu dengan pesta kecil oleh Ban Koan yang amat menghormati mereka karena sebetulnya dia sendiri sudah menjadi anggauta Tok-coa-pang. Mereka tidak tahu bahwa di pintu gerbang Thian-san-pang terjadi keributan. Cin Po dan Hui Ing telah tiba di depan pintu gerbang.

Biarpun di antara para penjaga pintu gerbang terdapat anggauta lama Thian-san-pang, namun tidak ada yang mengenal Cin Po dan Hui Ing karena kedua orang itu meninggalkan Thian-san-pang ketika mereka masih kecil, Cin Po ketika itu berusia sebelas tahun dan Hui Ing sepuluh tahun.

Sikap para anggauta Thian-san-pang saja sudah membuat kedua orang muda itu mengerutkan alisnya. Melihat Hui Ing, mereka menyeringai dan ada yang bersuit-suit.

“Aih, nona manis hendak mencari siapakah?” tanya seorang di antara mereka dan di sana sini terdengar ucapan yang tidak sopan terhadap Hui Ing. Tentu saja wajah Hui Ing menjadi merah sekali.

“Panggil Ban Koan keluar menemui kami!” kata Hui Ing.

“Aih, nona manis. Ketua kami sedang menjamu tamu. Sebaiknya nona bicara di sini dengan kami saja!”

Akan tetapi ada pula anggauta yang marah mendengar gadis itu menyebut ketua mereka dengan namanya begitu saja bahkan menyuruh panggil ketua mereka dengan sikap tidak menghormat sama sekali.

“Bocah perempuan yang tidak tahu sopan. Siapakah engkau menyuruh panggil ketua kami?”

“Aih, twako, biarkan ia main-main dengan kita di sini!” kata orang lain yang disambut tawa oleh semua orang. Jumlah mereka ada belasan orang.

“Anjing keparat, kalian sudah bosan hidup!” bentak Hui Ing dan ia sudah hendak bergerak menerjang mereka akan tetapi Cin Po menahannya.

Lalu Cin Po melangkah maju dan menuding ke arah mereka semua. “Hai, kalian anjing-anjing, kenapa tidak lekas beraksi, merangkak dan mencari-cari jejak musuh? Hayo merangkak dan bersikap sebagai anjing-anjing yang baik!”

Terjadi keanehan setelah Cin Po berkata demikian. Empatbelas orang itu tak terkecuali segera berlutut lalu merangkak-rangkak, ada yang mengendus-endus seperti mencari jejak sesuatu, ada yang menyalak-nyalak, persis seperti serombongan anjing.

Ternyata Cin Po telah menggunakan sihirnya untuk menghajar mereka yang bersikap kurang sopan terhadap Hui Ing, mencegah adiknya melampiaskan kemarahannya karena kalau dia membiarkan saja, tentu semua orang itu telah tewas atau setidaknya luka-luka oleh amukan Hui Ing!

Pada saat itu ada dua orang anggauta Thian-san-pang datang dari dalam. Mereka terbelalak melihat ulah empatbelas orang kawan mereka itu, dan melihat di situ ada seorang pemuda dan seorang gadis, mereka terkejut dan cepat melapor ke dalam.

Ban Koan marah sekali mendengar laporan yang tidak karuan itu. “Pang-cu, di luar terjadi hal yang mencurigakan sekali. Kawan-kawan kita merangkak-rangkak dan ada yang menggonggong seperti anjing, dan di sana terdapat seorang pemuda dan seorang wanita muda.”

Ban Koan dan dua orang tamunya merasa curiga dan merekapun segera bangkit, diikuti oleh duapuluh lebih anggauta, mereka lalu berlari keluar. Setelah tiba di pintu gerbang, Ban Koan terbelalak karena dia melihat sendiri betapa belasan orang anak buahnya itu merangkak-rangkak dan menggonggong, ada yang mengendus-endus, persis seperti anjing-anjing yang kebingungan.

“Sadarkan mereka!” katanya kepada anak buahnya.

Anak buah Thian-san-pang lalu berlari ke arah teman-teman mereka itu dan mengguncang mereka. Sedangkan Ban Koan dan dua orang ketua Tok-coa-pang berloncatan menghadapi Cin Po.

Hui Ing tidak nampak lagi karena memang gadis ini oleh Cin Po disuruh menyelinap lebih dulu memasuki perkampungan itu dan mencari di sebelah dalam kalau-kalau dapat menemukan ibu mereka.

Ban Koan berhadapan dengan Cin Po, memandang dengan mata terbelalak. Dia merasa seperti mengenal Cin Po, akan tetapi lupa lagi bilamana dan di mana. “Orang muda, siapa engkau dan apa yang kaulakukan di sini?” bentaknya.

“Ban Koan, lupakah engkau kepadaku? Aku adalah Sung Cin Po.”

Ban Koan terbelalak. Teringatlah dia ketika bocah yang ditendangnya ke dalam jurang itu muncul kembali bersama Pat-jiu Pak-sian dan menghajarnya setengah mati. Kini bocah itu kembali sebagai seorang pemuda yang berpakaian putih, bocah anak kandungnya sendiri! Dia menjadi ketakutan dan cepat memerintahkan anak buahnya.

“Tangkap dia! Bunuh dia?”

Para anak buah, apa lagi yang tadi bersikap sebagai anjing, segera menerjang dan menyerang kepada Cin Po dengan dahsyat sekali, karena mereka semua seperti srigala-srigala yang haus darah menerima perintah ketua mereka itu.

Akan tetapi Cin Po sudah siap siaga. Menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang semua memegang senjata pedang atau golok itu, dia dengan tenang menyambut mereka dengan kaki tangannya. Bukan orang-orang itu yang menyerangnya, bahkan dia yang mengamuk, membagi-bagi tendangan dan tamparan dan tubuh para pengeroyok itu jungkir balik dan berpelantingan.

Dalam waktu beberapa menit saja semua anak buah Thian-san-pang sudah roboh semua, ada yang patah tulang ada yang rontok gigi dan yang benjol-benjol kepalanya dan mulas perutnya. Mereka semua mengaduh-aduh dan menjadi jerih, senjata mereka terpental ke mana-mana dan pemuda itu sama sekali tidak pernah tersentuh senjata mereka.

Melihat kelihaian Cin Po, Coa Siauw Kui dan Coa Ta Kui yang lihai menjadi marah. Mereka berdua segera berkelebat maju dan berbareng menyerang pemuda itu. Harus diketahui bahwa ilmu kepandaian Coa Siauw Kui sudah hebat sekali, apa lagi ilmu kepandaian Coa Ta Kui yang menjadi kakaknya dan ketua Tok-coa-pang. Pukulan mereka berdua mengandung racun ular yang amat berbahaya, bahkan di balik pakaian mereka, mereka mengenakan baju kebal yang dapat menahan serangan senjata tajam sekalipun.

Cin Po menghadapi mereka dengan tenang. Dia masih ingat bahwa dua orang ini mengenakan baju yang tahan pukulan, bahkan tahan senjata tajam. Akan tetapi begitu dia mengerahkan tenaga dan kedua tangannya mendorong ke depan, dua orang kakak beradik itu terdorong dan terjengkang!

Mereka tentu akan terbanting jatuh kalau saja tidak cepat berjungkir balik ke belakang sampai tiga kali dan mereka kini memandang dengan muka pucat. Terkejut dan terheran. Kedua tangan pemuda itu tidak menyentuh mereka, akan tetapi angin pukulannya saja mampu mendorong mereka sampai terjengkang!

Maklumlah mereka bahwa mereka menghadapi seorang pemuda yang tangguh sekali maka keduanya lalu cepat menghunus golok mereka, golok beracun ular! Golok itu bentuknya seperti kepala ular dan lidahnya menjadi ujung golok, tajam dan mengeluarkan sinar hitam dan berbau amis! Sekali saja tubuh dapat ditoreh golok itu, orangnya tentu akan mati seketika keracunan.

Melihat senjata yang berbahaya itu, Cin Po tidak mau mengambil resiko dan diapun mencabut pedangnya. Pedang Yang-kiam berkilat mengeluarkan cahaya kemerahan dan begitu dia menggerakkan pedang itu, nampak gulungan sinar merah menyilaukan mata....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.