Pendekar Baju Putih Jilid 13 karya Kho Ping Hoo - Haiiiittt…!” Coa Siauw Kui menyerang lebih dulu, disusul kakaknya yang menyerang dari sisi lain. Cin Po mengelebatkan pedangnya ke kanan kiri.
“Cringgg…! Tranggg…!!” Kembali kedua orang saudara itu terkejut karena mereka merasa betapa senjata mereka terpental dan tangan kanan mereka tergetar hebat, tanda bahwa pemuda itu memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya. Mereka lalu menyerang lagi dengan tenaga sepenuhnya, akan tetapi dengan mudah, Cin Po berloncatan ke sana sini, mengelak dan kadang menangkis.
Pada saat itu, Hui Ing seperti terbang meloncat dengan pedang Im-kiam telah terhunus dan begitu pedangnya menyambar menyerang Coa Siauw Kui, orang kedua dari Tok-coa-pang ini terkejut sekali dan cepat menangkis.
“Cringggg…!!” Kembali goloknya terpental dan tangannya tergetar hebat. Gadis yang baru muncul ini ternyata juga lihai bukan main dan memiliki pedang yang bersinar putih dan bergulung-gulung seperti seekor naga bermain-main di angkasa.
Dia mencoba untuk memutar goloknya lebih hebat, akan tetapi kemana pun goloknya menyambar, tubuh gadis itu lebih dulu berkelebat lenyap atau goloknya ditangkis pedang itu dan gadis itu membalas dengan serangan bertubi-tubi yang membuat dia kewalahan.
Padahal, ilmu pedang gadis itu adalah Thian-san-kiam-sut yang telah dikenalnya! Bagaimana mungkin Thian-san-kiam-sut dimainkan seperti itu? Demikian cepat, demikian mengandung tenaga mujijat dan sukar dibendung?
“Haitttt…!” Tiba-tiba dia menekan alat rahasia pada gagang goloknya dan beberapa batang jarum beracun menyambar ke arah Hui Ing.
Akan tetapi gadis ini tiba-tiba lenyap dan jarum-jarum itu tidak mengenai sasaran. Dan tahu-tahu gadis itu menyerang dari atas, pedangnya menyambar dan biarpun Siauw Kui berusaha untuk membuang diri ke belakang dia terlambat dan mukanya terbabat Im-kiam sehingga muka itu terbelah dari telinga ke telinga! Tentu saja orangnya jatuh tersungkur dan tewas seketika.
Ketika Hui Ing menoleh. ternyata Cin Po juga sudah mendesak lawannya. Coa Ta Kui kini hanya main mundur saja dan mencari kesempatan untuk melarikan diri. Dia merasa takut sekali, apa lagi melihat adiknya tewas karena dia tahu bahwa dia tidak akan menang melawan pemuda baju putih itu. Ketika mendapat kesempatan, dia meloncat untuk lari.
“Berhenti!” terdengar bentakan di belakangnya dan seketika ke dua kakinya seperti berubah menjadi batu tak dapat digerakkan. Ketika dia menoleh, dia hanya melihat gadis cantik itu menggerakkan pedangnya dan sekali sabet saja lehernya putus dan kepalanya menggelinding lepas dari tubuhnya!
Cin Po menoleh ke arah Ban Koan yang berdiri pucat. Semua anak buahnya sudah tak dapat melakukan perlawanan selain terluka juga agaknya ketakutan dan ke dua orang pimpinan Tok-coa-pang yang dia andalkan itu telah tewas dalam waktu singkat!
Kini, Cin Po melangkah menghampirinya dan dia menjadi pucat, terbelalak dan tidak mempunyai tenaga dan keberanian untuk melawan. Kalau ke dua pimpinan Tok-coa-pang itu saja tewas dalam waktu singkat, apa lagi dia. Dia mundur-mundur dengan ketakutan. Cin Po memandangnya dengan mata mencorong.
“Ban Koan, apa yang hendak kau katakan sekarang? Engkau mengkhianati Thian-san-pang, engkau membunuh su-kong Tiong Gi Cinjin, engkau membunuh pula nenek Lauw In Nikouw, engkau membunuhi banyak anggauta Thian-san-pang yang setia…”
“Dan dia telah memenjarakan ibu selama dua tahun lebih!” kata Hui Ing. “Koko, kita butakan matanya, buntungi kaki tangannya dan biarkan dia hidup seperti binatang tak berdaya agar tahu kesengsaraan yang telah dia berikan kepada orang-orang lain!”
Ban Koan menjadi semakin pucat dan dia terus mundur menuju ke rumah besar. Kemudian dia menjadi nekad. Dia menghunus pedangnya dan berteriak nyaring, “Locianpwe, tolonglah saya…!”
Berkata demikian, dia menerjang Cin Po dengan dahsyat. Akan tetapi sebuah tendangan kaki Cin Po membuat pedangnya terlempar dan dia jatuh terjengkang dan terpental sampai jauh. Pada saat itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang yang tinggi besar bersorban. Tanpa banyak cakap lagi, orang itu menyambar tubuh Ban Koan dan melarikan diri seperti terbang cepatnya meninggalkan tempat itu.
“Kejar……!” seru Hui Ing dan bersama Cin Po ia mengejar keluar kampung Thian-san-pang. Akan tetapi, orang tinggi besar bersorban itu telah lenyap.
“Percuma dikejar juga. Orang itu memiliki ilmu yang amat tinggi. Dia adalah See-thian Tok-ong. Entah bagaimana iblis tua itu dapat berada di sini,” kata Cin Po. “Biarlah, lain kali masih ada kesempatan untuk mencarinya dan membunuhnya. Mari kita temui ibu!”
Mereka lalu kembali dan melihat ibu mereka berdiri tegak dan semua anggauta Thian-san-pang menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu sambil beramai-ramai minta ampun.
“Ibu…!” kata Cin Po yang segera memberi hormat.
“Cin Po, dan engkau Hui Ing, kalian lama sekali baru pulang. Akan tetapi syukur belum terlambat. Aku nyaris tewas dalam kurungan jahanam Ban Koan itu. Akan tetapi bagaimana dia dapat meloloskan diri? Siapakah orang tinggi besar bersorban yang melarikannya tadi?”
“Dia adalah datuk besar dari Hou-han, namanya See-thian Tok-ong, ibu. Akan tetapi, kelak kami pasti akan dapat mencari Ban Koan dan membunuhnya.”
“Baik, biar sekarang kuurus dulu orang-orang sesat ini?” Bi Li menuding ke arah empat puluh orang lebih yang berlutut menghadapnya itu. “Heii, kalian orang-orang sesat. Kalau sekarang aku menggunakan pedang membunuh kalian semua, hal itu kiranya sudah sepatutnya. Kalian telah melakukan penyelewengan menuruti semua kehendak Ban Koan si pengkhianat!”
Seorang anggauta tertua segera maju berlutut mewakili teman-temannya. “Ampunkan kami, toanio. Kami tidak berdaya. Kalau kami menentang kehendak Ban Koan, tentu kami sudah dibunuh seperti teman-teman yang lain. Sungguh, kami tidak senang melakukan semua perintahnya, akan tetapi kami terpaksa. Mohon ampun, toanio!”
“Hemm, aku bisa mengampuni kalian kalau kalian membuktikan bahwa kalian benar-benar bertaubat. Sekarang, pimpinan Tok-coa-pang telah tewas. Bagaimana kalau kalian kami pimpin untuk menyerbu Tok-coa-pang, membasmi perkumpulan itu. Setuju dan beranikah kalian?”
“Kami setuju dan berani, toanio!” sorak mereka.
“Nah, Cin Po dan Hui Ing. Setelah kalian pulang dan memiliki kepandaian, jangan kepalang. Membasmi ular harus sampai ke telur-telurnya. Mari kita serang Tok-coa-pang dan membasmi perkumpulan jahat itu!”
“Baik, ibu!”
Berbondong-bondong mereka lalu pergi ke Tok-coa-pang yang perkampungannya tidak tidak begitu jauh letaknya dari situ. Setelah berkumpul semua, ternyata ada limapuluh orang lebih anggauta Thian-san-pang lama. Sedangkan para anggauta baru, dengan sendirinya menjadi ketakutan dan sudah melarikan diri entah ke mana. Limapuluh tiga orang anggauta Thian-san-pang dipimpin oleh Cin Po dan Hui Ing bersama Bi Li menyerbu ke perkampungan Tok-coa-pang.
“Ingat baik-baik, serang bagian kaki mereka atau muka mereka. Jangan serang tubuh atas mereka yang terlindung baju kebal,” kata Bi Li memperingatkan para anggauta Thian-san-pang.
Sebelum rombongan itu tiba di perkampungan Tok-coa-pang, sudah ada anggauta yang tadi melarikan diri dari Thian-san-pang, memberi kabar bahwa kedua orang ketua mereka telah tewas di Thian-san-pang. Maka ketika penyerbuan itu tiba, para anak buah Tok-coa-pang menjadi panik karena mereka tidak mempunyai pimpinan. Mereka melakukan perlawanan dengan kacau balau dan banyak di antara mereka yang tewas di tangan Hui Ing dan Cin Po.
Juga Bi Li mengamuk dengan pedangnya, agaknya wanita ini hendak membalaskan semua sakit hatinya pada para anggauta Tok-coa-pang. Setelah pertempuran yang berat sebelah ini, akhirnya sisa para anggauta Tok-coa-pang melarikan diri dan banyak di antara mereka yang tewas.
Bi Li menyuruh bakar sarang mereka dan membebaskan para tawanan yang dipenjarakan oleh orang-orang Tok-coa-pang. Banyak gadis yang diculik mereka dan para gadis itu lalu disuruh pulang ke dusun masing-masing.
Dan biarpun Bi Li tadi mengatakan untuk membasmi ular sampai ke telur-telurnya, ketika melihat keluarga para anggauta, isteri dan anak-anak mereka, tetap saja ia menjadi tidak tega. Dan membiarkan mereka melarikan diri tanpa diganggu.
Dengan kemenangan, rombongan Thian-san-pang kembali ke Thian-san dan mulai saat itu, Bi Li mengetrapkan lagi larangan-larangan dan peraturan-peraturan ketat dengan ancaman siapa yang berani melanggar akan menerima hukuman seberat-beratnya.
Kemudian, ia mengajak Hui Ing dan Cin Po untuk bicara di dalam. Rumah mereka masih utuh dan mereka membuangi barang milik Ban Koan, membolehkan anak isteri Ban Koan meninggalkan tempat itu sambil membawa semua barang mereka yang berharga.
“Ibu, keluarga Ban Koan itu kelak hanya akan menjadi penyakit bagi kita!” celah Hui Ing.
“Habis, apakah kita tega membunuhi orang-orang yang tidak bersalah sama sekali? Kalau anak-anaknya kelak menjadi jahat seperti bapaknya, sudah menjadi tugas kalian untuk membasminya. Akan tetapi mudah-mudahan tidak demikian. Ibu-ibu mereka bukan orang jahat dan tentu akan membimbing anak-anak mereka menjadi orang yang berguna.”
Setelah membereskan semuanya, barulah mereka mendapat kesempatan untuk bercakap-cakap menghilangkan rindu. “Hui Ing, engkau menjadi penyebab kematian bibimu dan membuat aku dipenjara sampai dua tahun lebih. Sebetulnya, apa yang terjadi denganmu dan ke mana saja engkau selama ini pergi?”
“Ketika aku mengantar koko pergi sampai ke luar dusun dan ingin kembali, tiba-tiba aku ditangkap penjahat, ibu. Yang menangkapku bukan lain adalah datuk yang tadi menyelamatkan Ban Koan beserta muridnya.
“Mereka lihai sekali dan aku ditangkap, lalu dijadikan umpan untuk memancing datangnya koko. Kami berdua ditangkap dan nyaris celaka. See-thian Tok-ong itu memang mempunyai hubungan dengan Tok-coa-pang maka tidak mengherankan kalau tadi dia menyelamatkan Ban Koan.
“Ketika kami terancam bahaya itu, kami ditolong seorang sakti yang tidak kami ketahui namanya, hanya kami sebut sebagai Orang Tua Tanpa Nama saja. Dan kami dijadikan muridnya selama dua tahun.
“Demikianlah, ibu, maka selama dua tahun ini kami tidak pulang. Setelah kami tamat belajar, kami memenuhi pesan Suhu untuk mencari sepasang pedangnya yang dicuri penjahat. Dan kami berhasil menemukan pedang itu, ibu.
“Barulah kami pulang ke sini, sama sekali tidak mengira bahwa bibi Lauw In Nikouw telah tewas dan ibu dijadikan tawanan si jahanam Ban Koan.”
Bi Li menghela napas panjang. Dia girang bahwa Ban Koan tidak mati di tangan puteranya, karena bagaimanapun juga, Ban Koan mencintanya dan biarpun ia dijadikan tawanan, akan tetapi selalu diperlakukan dengan baik. Biarlah lain waktu Ban Koan akan dapat terbunuh oleh Hui Ing yang lebih berhak membalas dendam atas kematian ayah kandung dan bibinya.
“Cin Po, bagaimana dengan pembalasan dendam alas kematian ayah kandungmu?”
“Maaf, ibu. Karena ketika dalam perjalanan mencari mereka aku seperti juga Ing-moi menjadi murid Bu Beng Lojin, kemudian mencari sepasang pedang Suhu. Setelah itu langsung ke sini maka aku belum melaksanakannya!”
Bi Li mengerutkan alisnya. “Hemm, kalau begitu sebaiknya cepat kau cari musuh besar kita itu. Setelah engkau membunuh dia, barulah engkau dapat melepaskan pakaianmu berkabung. Carilah Hek-siauw Siu-cai itu sampai dapat, Cin Po. Hui Ing jangan ikut, karena ia harus membantuku membenahi Thian-san-pang.”
“Baiklah, ibu. Besok aku akan berangkat.”
“Bagus, memang lebih cepat lebih baik.”
Para penduduk di dusun-dusun sekitar Bukit Harimau menjadi gempar. Selama beberapa bulan ini muncul siluman yang mengganggu penduduk, membunuh atau menculik wanita muda. Siluman itu tidak meninggalkan jejak sama sekali dan setiap orang yang dibunuh, nampak bekas-bekas cakaran seperti dicakar oleh kuku harimau.
Tak lama kemudian muncul desas desus bahwa semua itu dilakukan oleh siluman harimau yang menjadi penghuni bukit Harimau. Memang, bukit itu walaupun dinamakan Bukit Harimau, tak seorangpun penduduk pernah melihat ada harimau di situ.
Maka desas-desus itu tentu saja termakan oleh akal pikiran penduduk yang masih tahyul. Kiranya bukit itu disebut Bukit Harimau karena memang ada “penghuni” nya, yaitu Siluman Harimau!
Kemudian muncul seorang tosu yang rambutnya panjang riap-riapan dan yang mukanya seperti singa, penuh brewok, dan tubuhnya tinggi besar seperti raksasa. Tosu ini begitu muncul di pedusunan sekitar Bukit Harimau, lalu mengatakan dengan suara lantang.
“Siancai……! Di sini penuh dengan hawa siluman! Kalau siluman harimau ini tidak dibikin senang hatinya, dalam waktu setahun saja seluruh penduduk di sini akan habis diterkamnya!”
Mendengar ucapan tosu ini, semua orang menjadi gempar dan segera tosu itu diajak berkunjung ke rumah kepala dusun. Pada masa itu penduduk dusun masih amat percaya akan tahyul, percaya akan setan dan siluman yang suka mengganggu penduduk, dan percaya kepada bangsa pendeta yang katanya pandai mengusir siluman!
Dan penampilan tosu ini memang mengesankan sekali. Tubuhnya tinggi besar, mukanya seperti singa, matanya mencorong seperti mata naga, dan suaranya juga lantang seperti guntur.
“Totiang yang budiman,” kata kepala dusun. “Kami memang menderita selama beberapa bulan ini. Banyak penduduk yang tewas seperti bekas dicakar dan digigit harimau, dan ada pula wanita yang lenyap digondolnya. Akan tetapi tak seorangpun pernah melihat bayangannya.”
“Tentu saja. Mana bisa melihat bayangan siluman? Dan yang digondol wanita tentu karena dagingnya lebih lunak.”
“Mohon pertolongan totiang agar siluman itu dapat dilenyapkan!” kata kepala dusun dan dia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan tosu itu, diturut oleh para penduduk dusun yang percaya benar kepadanya.
“Aih, mana bisa dilenyapkan? Para siluman tidak mungkin dilawan dengan kekerasan, paling-paling bisa diajak berdamai agar tidak mengganggu. Kalau kalian semua mau memberikan korban apa saja agar dia tidak mengganggu, pinto mau menjadi penghubung dan pinto akan mencoba mengadakan hubungan dengan dia.”
Karena sudah ketakutan kalau-kalau dalam setahun semua orang dibasmi habis oleh siluman, orang-orang itu tentu saja menyatakan setuju. Dengan diikuti dari belakang, dalam jarak agak jauh oleh para penduduk di lima buah dusun di sekitar bukit itu, sang pertapa lalu mendaki bukit dengan rambut terurai, membawa pedang yang ditempeli hu (surat jimat) dan membaca mantera di sepanjang jalan.
Di dekat puncak dia berhenti dan memutar tubuhnya, berkata kepada semua orang yang mengikutinya, “Sudah dapat! Sudah ada hubungan! Dia tinggal di dalam sumur di puncak!”
Kemudian dia melanjutkan perjalanannya, dan mantera yang dibacanya lebih gencar lagi. Semua orang ketakutan dan mengikuti dengan tubuh gemetar. Semua orang tahu bahwa di puncak memang terdapat sebuah lubang, akan tetapi tidak berair dan tak seorangpun berani menuruni lubang yang tidak diketahui berapa dalamnya itu. Memang dari dulu terdapat desas desus bahwa lubang itu adalah bekas lubang ular naga yang tentu saja dianggap keramat!
Tadi sebelum berangkat, tosu itu minta disediakan segala keperluan bersembahyang dengan segala macam korban, dari babi panggang, ayam dan bebek panggang, roti dan kuih, juga buah-buahan. Setelah tiba di dekat lubang atau sumur itu, dia berhenti dan memberi isyarat agar alat-alat sembahyang itu dipersiapkan di dekat lubang.
Kemudian dia menyalakan hio (dupa) dan mulailah bersembahyang sambil berdoa dan berjalan mengitari lubang. Para penduduk berlutut agak jauh dari situ, tidak ada yang herani mendekat, seolah-olah takut kalau sewaktu-waktu siluman itu akan keluar dari lubang dan menerkam mereka.
Setelah bersembahyang beberapa lamanya, tosu itu lalu melempar-lemparkan hidangan yang menjadi korban itu ke dalam lubang, sampai habis semua hidangan itu. Barulah dia menghadapi semua orang dan berkata,
“Percayalah, untuk seminggu ini, tidak akan ada gangguan. Harimau Putih telah menjanjikan kepada pinto. Akan tetapi kalian terus berjanji bahwa sewaktu-waktu dia membutuhkan apa-apa, kalian harus memberikannya. Baik dia meminta tebusan, makan, atau bahkan emas, atau kalau sewaktu-waktu membutuhkan seorang gadis yang dipilihnya, kalian harus merelakannya. Kalau tidak tentu dusun-dusun di sini akan dibasminya.”
“Baik, totiang. Kami berjanji, asalkan penghuni dusun kami tidak mendapat gangguan!” kata kepala dusun mewakili para penghuni dusun.
Mereka turun dari bukit itu dan sang tosu lalu dijamu dengan penuh kehormatan. Dia dianggap sebagai penolong oleh rakyat di situ. Dan diapun memperkenalkan diri dengan nama Thian Beng Seng-cu! Kepala dusun segera memberikan sebuah kamar di rumahnya untuk sang tosu yang mengaku dukun pandai itu. Dan benar saja, semenjak hari itu, selama seminggu tidak pernah ada gangguan dari “siluman harimau putih” seperti telah dijanjikan kepada tosu itu.
Akan tetapi tidak ada yang mengetahuinya betapa pada malam hari tosu itu lolos dari dalam kamarnya, menggunakan jalan melalui atap dengan gerakan yang ringan sekali seperti terbang saja dan seorang diri pada malam hari itu dia pergi ke lereng bukit itu. Ada sebuah batu besar sekali yang didorongnya tergeser, lalu dia masuk di guha yang berada di balik batu, lalu menggeser batu itu menutupi guha.
Guha itu ternyata sebuah lorong yang panjang dan akhirnya dia tiba di ruangan yang luas di perut bukit. Dan di situ terdapat dua orang lain yang tampangnya seperti tampang penjahat. Melihat tosu itu masuk, mereka tertawa bergelak dan tiga orang itu lalu berpesta pora dengan barang-barang yang tadi dikorbankan dan dilempar ke dalam sumur.
Kiranya lubang itu menembus ruangan ini yang sengaja dibuat oleh mereka bertiga selama beberapa bulan, dan di dasar lubang itu mereka pasangi jaring sehingga apa saja yang dilempar dari atas lubang itu mendarat dengan lunak di dalam jaring.
“Ha-ha-ha, toako. Kalau begini terus kita akan menjadi gemuk! Usaha kita selama berbulan-bulan mulai memperlihatkan hasilnya!” kata seorang yang mukanya bopeng.
“Tunggu saja nanti kalau mereka sudah melemparkan segala macam perhiasan dan barang berharga, dan melemparkan gadis-gadis tercantik dari dusun, ha-ha-ha!” Mereka bertiga tertawa bergelak.
“Akan tetapi bagaimana dengan tiga orang gadis itu yang sudah beberapa lama kita sekap di sini? Lama-lama kita menjadi bosan juga…..!” kata yang bercodet pada dahinya.
“Ah, jangan khawatir, akan datang yang baru dan tidak perlu lagi kita harus menculik. Merekalah yang mengantarkan untuk kita, ha-ha-ha!” kata tosu yang ternyata adalah tosu palsu itu.
Setelah makan minum dengan puas, tosu itu lalu menyuruh temannya mengeluarkan tiga orang gadis yang disekap di dalam kamar dan yang selama beberapa bulan ini semenjak mereka diculik menjadi permainan mereka.
Tiga orang gadis itu pucat-pucat dan kurus-kurus, keluar dari kamar dengan sikap takut-takut. Orang yang mengaku bernama Thian Beng Seng-cu lalu memasuki kamar dan menyuruh gadis itu satu demi satu masuk ke dalam kamar.
Seorang gadis berbaju hijau memasuki kamar dengan langkah perlahan, sikapnya takut-takut. Selama ini ia menjadi semacam boneka hidup yang mandah saja dipermainkan tiga orang pria itu sesuka hati mereka.
“Hei, nona manis, berbaringlah di sini!” kata tosu palsu itu.
Si gadis tidak membantah lalu merebahkan dirinya. Tosu itu yang berdiri di tepi pembaringan lalu memandangnya dengan mata mencorong, lalu berkata dengan suara yang mengandung kekuatan sihir. “Engkau mengantuk dan ingin sekali tidur. Tidurlah, pejamkan matamu. Satu, dua, tiga…!” perlahan-lahan gadis ini memejamkan ke dua matanya.
“Engkau tidur dengan enak dan tidak ingat apa-apa lagi. Nanti kalau engkau sudah sadar, engkau tidak ingat apa-apa lagi, yang teringat olehmu hanya bahwa engkau menjadi pelayan si Harimau Putih!” Berulang-ulang tosu itu menanamkan ingatan ini kepada orang yang disihirnya.
“Sekarang bangkitlah, engkau masih belum sadar dan berlututlah di sana,” kata tosu itu.
Dengan mata masih terpejam, gadis itu lalu bangkit, turun dari pembaringan dan berlutut di sudut kamar itu. Gadis kedua yang berbaju merah disuruh masuk dan kembali disihirlah gadis itu oleh Thian Beng Seng-cu sehingga iapun dibekali ingatan bahwa selama ini ia dijadikan pelayan oleh Si Harimau Putih! Setelah itu iapun disuruh berlutut seperti gadis pertama.
Setelah menyihir gadis ke tiga, tosu itu lalu memerintahkan mereka untuk mengikutinya, melalui lorong dan tiba di luar guha di mana batu penutup disingkirkan. Setelah itu, dia berkata kepada mereka yang masih berada dalam kekuasaan sihirnya.
“Sebentar lagi kalian akan sadar kembali, akan tetapi kalian telah melupakan semua yang terjadi dengan diri kalian, hanya satu yang kalian ingat, yaitu bahwa kalian selama ini menjadi pelayan dari Si Harimau Putih di dalam bukit Harimau! Nah, sadar dan pergilah kalian!”
Setelah melambaikan tangan ke arah mereka, tosu itu lalu cepat menyelinap ke dalam guha sehingga tidak tampak oleh tiga orang gadis itu. Tiga orang gadis dusun itu seperti orang baru terbangun dari tidur. Mereka nampak nanar dan bingung sekali, tidak saling mengenal akan tetapi tahu-tahu mereka berada di tempat yang sama, di lereng bukit.
“Di mana aku…?”
“Ahh, kenapa aku di sini?”
“Aku… ingin pulang…!”
Mereka bertiga lalu menuruni lereng itu seperti orang yang baru sembuh dari sakit, kurus pucat dan pening. Tak lama kemudian, mereka bertemu dengan beberapa orang penghuni dusun dan tentu saja para penghuni itu terkejut mengenal mereka sebagai para gadis yang selama ini lenyap diculik siluman!
Ketika gadis-gadis itu dihujani pertanyaan, apa yang mereka dapat katakan hanyalah, “Aku telah menjadi pelayan Sang Harimau Putih di dalam Bukit Harimau!”
Hanya itu saja yang dapat mereka katakan sehingga para penduduk dusun menjadi semakin percaya kepada sang tosu bahwa benar-benar siluman harimau putih yang telah mengganggu mereka selama ini. Dan mereka juga bergembira bahwa gadis-gadis yang diculik itu telah dipulangkan, walaupun dalam keadaan yang menyedihkan, kurus pucat dan lemah seperti orang berpenyakitan.
Sejenak Thian Beng Seng-cu menjadi perantara hubungan masyarakat lima buah dusun itu dengan sang siluman harimau putih. Segala permintaannya dipenuhi dan semua benda yang dimintanya dimasukkan ke dalam sumur. Dan pada suatu hari, Thian Beng Seng-cu berkata kepada kepala dusun.
“Chung-cu, semalam aku mendapat perintah dari Harimau Putih bahwa besok harus dikorbankan seorang gadis untuknya. Dan gadis itu harus seperti yang dipilihnya, tidak boleh yang lain!” katanya dengan suara sungguh-sungguh.
Sang lurah terkejut. Korban gadis? Kalau makanan atau benda sih masih mudah, akan tetapi seorang gadis? Akan tetapi bagaimana kalau gadis itu tidak mau?”
“Kenapa tidak mau? Gadis itu hanya dijadikan pelayan untuk sementara waktu, kalau sudah tiba saatnya akan dikembalikan dalam keadaan selamat. Ia harus mau, atau seisi dusun akan ditumpasnya!”
“Ya…. ya.... benar juga. Akan tetapi siapakan gadis yang dipilihnya itu?”
“Ada tiga orang gadis, dua orang gadis dari dusun ini dan seorang lagi dari dusun seberang sungai.”
“Dari dusun sini dua orang? Ah, siapakah mereka?”
“Hemm, menurut pesan dalam perintahnya, yang seorang adalah puterimu yang bungsu, Chung-cu, dan yang kedua adalah anak perempuan si A-cun yang rumahnya di dekat batu besar itu.”
Lurah itu terbelalak dan mukanya menjadi pucat. “Tolonglah, totiang, tolonglah beritahukan Sang Harimau Putih agar jangan puteriku yang dijadikan pelayan, diganti dengan wanita lain saja.”
“Tidak bisa, Chung-cu aku tidak berani. Bagaimana kalau marah dan mengamuk. Pula, anakmu tidak apa-apa, hanya menjadi pelayan dan akan dikembalikan kelak kalau tiba masanya.”
Biarpun dengan hati berat sekali, terpaksa lurah itu membujuk anak bungsunya yang paling cantik di antara saudara-saudaranya, berusia enambelas tahun, untuk rela menjadi pelayan siluman Hariman Putih, sebagai tumbal agar seisi dusun tidak dibasmi oleh siluman itu.
Demikian pula dengan gadis-gadis lainnya, dibujuk oleh para orang tua masing-masing, dan oleh lurah mereka, agar mau menjadi korban karena mereka hanya akan menjadi pelayan selama beberapa waktu dan akan dipulangkan kembali kelak. Karena takut, para gadis itupun akhirnya hanya dapat menangis.
Malam itu, ketika tiga orang gadis bertangisan dengan orang tua mereka, Thian Beng Seng-cu berpesta pora dengan dua orang pembantunya. Sebetulnya mereka adalah tiga sekawan yang biasa melakukan kejahatan.
Ketika melihat keadaan di Bukit Harimau dan segala ketahyulan itu, mereka lalu mengatur siasat untuk mencari kesenangan dengan cara yang paling mudah. Mereka menggali terowongan sampai ke guha dalam tanah dan menembus sumur itu dan diaturlah segala sesuatunya oleh Thian Beng Seng-cu, nama baru yang diambil pemimpin tiga sekawan yang jahat itu.
“Twako, engkau enak-enak tinggal di rumah lurah dan dihormati, akan tetapi kami berdua yang tidak enak sekali harus tinggal di tempat sunyi ini,” kata si codet.
“Benar, twako. Aku sudah tidak betah tinggal di sini lebih lama lagi,” kata si muka bopeng.
“Ha-ha, bersabarlah sebentar lagi. Emas dan perhiasan kita sudah memperoleh cukup banyak untuk modal hidup dan besok pagi kita akan diberi tiga orang gadis yang molek dan cantik. Puteri lurah itu untukku, dan yang dua orang untuk kalian. Setelah tiga orang gadis itu diantarkan kepada kita, barulah kita boleh menghilang dari sini, membawa gadis-gadis itu menjadi isteri kita dan kita dapat hidup serba kecukupan. Ha-ha-ha!”
“Benarkah, twako? Wah, aku girang sekali,” kata si codet.
“Bagus kalau begitu. Akupun mulai khawatir kalau-kalau ada yang curiga dan memeriksa sumur. Bisa celaka kita!”
“Hemm, takut apa? Andaikata ada yang mengetahui akal kita, orang-orang dusun itu akan dapat berbuat apa terhadap kita?” kata si tosu palsu dengan sikap sombong.
Dan ini bukan kesombongan kosong. Dua orang temannya juga merupakan tukang-tukang pukul yang lihai dan dia sendiri, selain ilmu silatnya lebih tinggi dari pada ketiga orang temannya, juga dia memiliki ilmu sihir yang dapat mengalahkan lawan-lawannya tanpa menggerakkan kaki tangan! Apa yang perlu ditakuti menghadapi orang-orang dusun yang bodoh itu?
Akan tetapi, mereka bertiga tidak tahu bahwa ada bahaya besar mengancam mereka. Bahaya yang datangnya dari dua orang. Pertama, bahaya besar itu datangnya dari seorang gadis bernama Hui Ing!
Seperti kita ketahui, Hui Ing tinggal di Thian-san-pang bersama ibu angkatnya. Dengan bantuan Hui Ing, maka Thian-san-pang dapat ditegakkan kembali sebagai sebuah perkumpulan orang gagah. Beberapa orang anak buah yang sudah terlanjur sesat melakukan pelanggaran dihukum berat oleh Bi Li, dilenyapkan kepandaiannya sehingga mereka menjadi penderita cacat.
Setelah itu, tidak ada lagi yang berani bermain gila dan semua anak buah menjadi patuh seperti dahulu lagi. Banyak pula anggauta Thian-san-pang yang ketika Ban Koan berkuasa melarikan diri, kini berdatangan dan masuk menjadi anggauta kembali setelah mendengar bahwa yang menjadi ketua sekarang adalah Sung Bi Li. Maka, dalam waktu beberapa bulan saja Thian-san-pang menjadi kuat lagi dan anak buahnya lebih dari seratus orang!
Setelah Thian-san-pang menjadi kuat kembali, Bi Li menjadi ketuanya, Hui Ing pada suatu hari berpamit kepada ibunya. “Ibu, aku ingin pergi dari sini!” “Eh? Pergi ke manakah, Hui Ing?”
“Ibu tentu mengetahui bahwa yang membunuh ayah kandungku dan bibiku adalah Ban Koan dan kini dia masih berkeliaran. Aku akan mencarinya dan membalaskan dendam kematian ayah dan bibi. Hatiku tidak akan merasa tenteram sebelum niat itu tercapai, ibu.”
“Hemm, niatmu itu baik-baik saja. Akan tetapi ke mana engkau akan mencarinya. Dia telah dibawa pergi oleh See-thian Tok-ong dan kakek itu lihai bukan main.”
“Aku tidak takut, ibu. Kalau See-thian Tok-ong melindunginya, aku akan menggempurnya. Aku pernah mendengar dari koko Cin Po bahwa See-thian Tok-ong tinggal di Bukit Menjangan, di daerah Hou-han. Aku akan mencari ke sana.”
Demikianlah, Hui Ing berangkat untuk mencari musuh besar itu. Dan dalam perjalanan menuju Hou-han inilah ia tiba di kaki Bukit Harimau itu. Pada suatu pagi, selagi ia berjalan melalui hutan di kaki Bukit Harimau, ada sesuatu yang membuatnya menengok dan ia melihat berkelebatnya orang yang membayanginya. Tentu saja ia menjadi mendongkol dan ingin mempermainkan orang yang membayanginya itu.
Ia berlari cepat dan ketika diam-diam menengok ke belakang, orang itupun berlari cepat. Hemm, orang itu memiliki kepandaian ilmu berlari cepat pula. Ia menjadi curiga dan cepat ia menyelinap, lalu meloncat dengan ringannya ke atas pohon, bersembunyi di balik daun pohon yang rimbun. Tak lama kemudian, orang itu lewat di bawahnya dan ketika melihat orang itu, Hui Ing terbelalak girang. Orang itu bukan lain adalah Yang Kim Sun, murid Kun-lun-pai itu?
Memang benar, pemuda yang membayanginya itu adalah Yang Kim Sun. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kim Sun berhasil mendapatkan kembali tiga buah kitab Kun-lun-pai dari tangan Bhok Seng Cun di Pulau Iblis dan setelah dia mengantarkan kitab-kitab itu ke Kun-lun-pai yang diterima penuh rasa syukur dan girang oleh para pimpinan, dia lalu pergi merantau.
Yang Kim Sun adalah seorang pemuda yatim piatu dan yang menjadi pengganti orang tuanya adalah ketua Kun-lun-pai, maka setelah menyerahkan kitab, dia lalu merantau sebagai seorang pendekar yang menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan.
Ketika tiba di daerah Bukit Harimau itu, dia mendengar desas-desus akan adanya Siluman Harimau Putih yang kabarnya mengganggu para penduduk dusun di sekitar bukit itu, maka dia lalu mengambil keputusan untuk singgah dan melakukan penyelidikan.
Pagi hari itu, dari jauh dia melihat seorang wanita yang berlari cepat di dalam hutan. Tentu saja dia merasa curiga dan cepat diapun membayangi karena tidak mungkin kalau wanita itu orang dusun. Ilmu lari cepatnya demikian hebat. Akan tetapi tiba-tiba dia kehilangan jejak. Dia berhenti di bawah pohon besar, sama sekali tidak pernah menduga bahwa orang yang dibayangi tadi telah berada di atas pohon itu.
“Hemm, kemana ia pergi? Siluman barangkali, tiba-tiba saja menghilang!”
Dia mengomel dengan suara keras sehingga Hui Ing yang mendengarnya menjadi dongkol hatinya. Ia dianggap siluman! Maka timbul pikirannya untuk mempermainkan pemuda Kun-lun-pai itu. Ia mengerahkan kekuatan sihirnya lalu melompat turun, membuat suara dan ketika Kim Sun menengok, ia terbelalak melihat seekor kijang yang bulunya berkilauan seperti emas!
“Kijang emas…!” serunya dan segera ia menubruk untuk menangkap binatang yang langka itu. Akan tetapi kijang itu melompat dan mengelak, lalu berlari. Kim Sun mengejar akan tetapi tiba-tiba, kijang itu lenyap pula. Selagi ia celingukan, ia mendengar suara di belakangnya.
“Yang-twako, engkau mencari apakah?”
Dengan kaget dia memutar tubuh dan melihat kijang emas itu berdiri di belakangnya! Wajahnya berubah agak pucat dan mulutnya mengomel. “Engkau siluman!” Dan dia menubruk lagi untuk menangkap kijang emas yang pandai bicara itu. Tiba-tiba kijang lenyap dan di situ berdiri Hui Ing!
“Eh..... ah….. kau, nona… eh, adik Ing??”
Hui Ing tertawa kecil dan seketika lenyap lagi dan berubah menjadi kijang emas, lalu berlari lagi. Sejenak Kim Sun melongo, akan tetapi dia lalu mengejar sekali ini dapat menduga bahwa gadis yang pandai ilmu sihir itu sengaja mempermainkannya.
Karena kijang itu lenyap lagi, Kim Sun yang sudah kelelahan, lalu duduk di akar pohon dan mengomel panjang pendek. “Aih, Ing-moi, tega benar mempermainkan orang....”
Tiba-tiba Hui Ing muncul dan gadis itu berkata dengan mulut diruncingkan, “Siapa suruh engkau memaki aku siluman?”
Yang Kim Sun segera melompat berdiri dan memberi hormat kepada gadis itu. “Ing-moi, maafkan aku, seribu kali maaf karena ketika itu aku tidak tahu akan kehadiranmu dan mengira bahwa yang menggodaku itu siluman. Ini adalah karena dikabarkan bahwa tempat ini sedang diganggu oleh Siluman Harimau Putih.”
“Siluman Harimau Putih?”
“Jadi engkau belum mendengarnya, Ing-moi?”
“Aku baru saja datang dan tidak tahu apa yang terjadi di sini.”
“Kalau begitu kebetulan sekali, kita dapat melakukan penyelidikan bersama. Ketahuilah, sepanjang pendengaranku, di daerah Bukit Harimau ini muncul siluman yang suka mengganggu penduduk di dusun-dusun sekitar bukit ini. Tentu saja aku tidak percaya bahwa ada siluman mengganggu manusia, maka aku ingin menyelidiki. Ketika melihat engkau yang lenyap begitu saja dan menjadi kijang emas, tentu saja aku mengira siluman yang mengganas itu!”
“Aih, menarik sekali! Mari kita menyelidiki ke dusun di depan itu!”
“Baik, Ing-moi. Dan aku girang bukan main dapat bertemu denganmu di sini. Dan di mana adik Sung Cin Po? Mengapa dia tidak kelihatan?”
“Aku tidak datang bersama dia. Kami mengambil jalan masing-masing untuk menunaikan tugas masing-masing pula. Hayo, kita ke dusun itu!”
Mereka lalu berjalan keluar dari hutan menuju ke dusun di depan. Akan tetapi begitu tiba di luar pintu gerbang, mereka melihat penduduk dusun itu berduyun-duyun keluar dari pintu gerbang dusun. Seperti ada keramaian. Ada beberapa orang yang memikul bermacam barang.
Ada makanan untuk peralatan sembahyang, ada barang-barang dalam peti, dan ada pula tiga joli yang terisi tiga orang gadis berpakaian indah. Tentu saja mereka tertarik sekali dan mereka mengikuti dari belakang, lalu bertanya kepada seorang warga dusun yang berjalan di belakang.
“Sobat, ada apakah keramaian ini? Apa yang sedang terjadi?”
“Ah, kalian tentu pendatang dari luar daerah ini. Apakah kalian tidak tahu bahwa hari ini kami sedang mengantar korban untuk Dewa Harimau Putih?”
“Diantar ke mana?”
“Kemana lagi kalau bukan ke Bukit Harimau, seperti biasa.”
Hui Ing menjadi penasaran melihat tiga orang gadis dalam joli itu. “Dan gadis-gadis itu? Hendak dibawa ke mana?”
Orang itu berbisik. “Merekapun hendak dikorbankan kepada Dewa Harimau Putih...”