Pendekar Baju Putih Jilid 14 karya Kho Ping Hoo - Tentu saja Kim Sun dan Hui Ing terkejut setengah mati, Hui Ing lalu menarik tangan Kim Sun, diajak menyingkir. Kim Sun yang tangannya dipegang dan ditarik, merasa betapa jantungnya berdebar tidak karuan. Gadis ini sungguh ramah dan akrab bukan main. Menarik-narik tangannya seolah mereka telah menjadi sahabat selama bertahun-tahun!
“Kita harus bertindak sesuatu,” bisik Hui Ing setelah mereka jauh dari orang-orang itu.
“Tentu, akan tetapi bagaimana?”
“Aku ada akal. Aku akan menggantikan seorang di antara tiga orang gadis itu.”
“Aihh, itu berbahaya sekali, Ing-moi!”
“Tidak ada bahaya. Bukankah ada engkau di sini yang mengamati dan menjaga? Aku ingin bertemu dengan siluman yang minta korban tiga orang gadis itu.”
“Apakah tidak lebih baik kalau kita memperingatkan mereka dan mencegah agar mereka tidak mengorbankan para gadis itu?”
“Kurasa percuma saja, twako. Lihat, kepala dusun ikut pula memimpin. Agaknya mereka semua sudah percaya benar akan tahyul itu. Nah, kau harus mendahului aku bertindak. Keluarlah dan kau culik gadis di joli terakhir. Bawa ia pergi dari sini dan sementara orang-orang ribut, aku akan menggantikannya di dalam joli.”
“Akan tetapi mereka akan melihat perbedaan antara engkau dan gadis itu!”
“Percayalah kepadaku. Bukankah tadipun engkau melihat aku seperti seekor kijang emas?”
Wajah Kim Sun menjadi kemerahan. “Kau pergunakan sihir?”
Hui Ing mengangguk dan mereka lalu berbisik-bisik mengatur siasat. Kebetulan sekali di jalan tikungan, pemikul joli gadis terakhir agak ketinggalan di belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim Sun. Dia melompat ke depan, menotok berturut-turut empat pemikul joli sehingga mereka menjadi lemas tak mampu bergerak. Kim Sun membuka joli dan menotok pula gadis itu, lalu memondongnya dari situ.
Hui Ing melihat dengan jelas wajah gadis itu, kemudian dengan gerakan seperti seekor burung ia sudah berada di dalam joli itu setelah membebaskan totokan pada empat orang pemikul joli. Empat orang itu mampu bergerak lagi dan mereka terheran-heran lalu menyingkap tirai joli untuk melihat apakah gadis yang dipikulnya masih ada.
Setelah mendapat kenyataan bahwa gadis itu masih berada di dalam joli, mereka berempat segera memikulnya dan setengah berlari-lari mengejar kawan-kawan mereka karena mereka menjadi ketakutan! Kim Sun mengajak gadis itu ke sebuah rumah dusun yang terpencil, berkata kepada tuan rumah yang menjadi kebingungan,
“Paman dan bibi, harap sembunyikan dulu gadis ini. Aku sedang mengurus dan akan membereskan siluman yang mengganggu kalian!”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat dia lenyap dari depan suami isteri itu yang menjadi ketakutan dan mereka mengajak gadis yang tadinya hendak dikorbankan kepada siluman itu ke dalam. Gadis itu hanya dapat menerangkan bahwa tiba-tiba ia diculik dari dalam joli dan tentu saja diam-diam ia merasa girang karena seperti para gadis lain, ia terpaksa saja mau dijadikan korban karena takut kalau seluruh keluarga dusun dibasmi.
Iring-iringan itu diterima oleh Thian Beng Seng-cu di lereng bukit dekat sumur yang kini sudah dibangun, diberi meja untuk sembahyang. Lalu semua barang dan makanan diturunkan, juga tiga orang gadis dusun itu disuruh turun dan disuruh berdiri di belakang meja sembahyang. Kemudian sembahyangan itu dilakukan oleh Thian Beng Seng-cu yang diam-diam merasa girang sekali melihat banyaknya benda berharga dan terutama melihat tiga orang gadis yang cantik manis itu.
Setelah selesai sembahyang, dengan suara nyaring dia memerintahkan untuk memasukkan benda-benda dan makanan korban itu ke dalam lubang sumur. Hui Ing diam-diam memperhatikan tosu itu dan ketika makanan dan benda-benda itu dimasukkan ke dalam lubang sumur, ia sudah dapat menduga apa yang terjadi. Ia berani bertaruh bahwa di bawah sumur itu ada kawan si tosu yang menyambut makanan dan benda-benda berharga itu. Ada segulung kain, ada perhiasan dan guci-guci arak dan makanan lain.
Setelah semua benda itu habis, kini tiba giliran tiga orang gadis itu dan si tosu berkata, “Mereka ini adalah calon-calon pelayan Dewa Harimau Putih, maka tidak boleh disentuh tangan lain. Seperti biasa, pinto sendiri yang akan menghaturkannya kepada beliau!”
Dia lalu menghampiri seorang gadis yang wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya gemetaran, lalu memondongnya dan memasukkannya ke dalam lubang sumur. Terdengar gadis itu menjerit, lalu sunyi. Gadis kedua diperlakukan sama dan ketika tiba giliran Hui Ing, gadis ini merasa betapa ketika memondongnya, jari tangan tosu itu mencubit pinggulnya!
Iapun terpaksa diam saja dan ketika tubuhnya dilepaskan meluncur turun ke dalam lubang sumur, ia sudah siap dengan gin-kangnya untuk menjaga segala kemungkinan. Kalau dugaannya salah dan ia akan terjatuh ke dalam sumur, ia sudah siap untuk turun dengan ringan agar jangan sampai terluka.
“Wuuutttt…!” Tubuhnya diterima sebuah jaring yang lunak dan mengertilah Hui Ing bahwa dugaannya tidak keliru. Ia melihat barang-barang dan makanan, juga ke dua orang gadis tadi sudah berada di sebuah ruangan yang luas di bawah tanah.
“Wah, yang ini cantik sekali!” kata orang berwajah bopeng ketika dia membantu Hui Ing keluar dari dalam jaring.
“Jangan sentuh dia sebelum twako datang. Kau akan mendapat marah besar. Seperti biasa, twako yang akan memilih lebih dulu baru yang dua orang untuk kita,” kata yang bermuka codet.
Dapat dibayangkan kemarahan Hui Ing mendengar percakapan itu dan kini sudah jelas semua baginya. Dua orang ini adalah kaki tangan tosu yang di atas itu dan semua ini hanyalah tipuan belaka. Orang-orang dusun itu ditipu karena ketahyulan mereka. Entah berapa banyak sudah benda-benda berharga diserahkan kepada komplotan penipu ini dan berapa banyak gadis yang menjadi korban!
Kalau menurutkan dorongan hatinya, ingin ia menghajar kedua orang itu seketika itu jnga, akan tetapi karena mereka agaknya takut kepada twako mereka dan tidak berbuat kurang ajar, maka Hui Ing juga menahan kesabarannya, hendak menanti sampai twako itu datang. Iapun saling rangkul dengan dua orang gadis lainnya, pura-pura ketakutan.
Sementara itu, setelah melihat Hui Ing dan dua orang gadis lain dilepaskan ke dalam lubang sumur, Kim Sun lalu melompat ke atas tanah tinggi di dekat meja sembahyang. Dia menghadapi para orang dusun yang berlutut di bawah dan berseru,
“Saudara-saudara sekalian! Kalian telah tertipu! Tidak ada siluman, tidak ada dewa yang minta korban. Semua ini adalah tipuan belaka!”
“Bukan tipuan!” terdengar jawaban lurah dari bawah. “Kami melihat sendiri Dewa Harimau Putih mengamuk, membunuhi orang ketika kami tidak melaksanakan permintaan beliau.”
“Hemm, pembunuhan setiap kali dapat terjadi, dilakukan orang-orang jahat!”
“Pemuda jahanam, berani engkau menghina Dewa Harimau Putih!” Terdengar bentakan nyaring dan ketika Kim Sun membalikkan tubuhnya, tosu tinggi besar bermuka singa itu sudah menyerangnya dengan cengkeraman tangannya yang berbentuk cakar setan. Kim Sun mengelak dengan cepat.
“Tosu palsu, tentu engkau yang menipu mereka ini!” bentaknya dan diapun balas menyerang dengan pukulan tangan kanan.
“Dukkk!” Tosu itu menangkis dan ternyata dia memiliki tenaga yang kuat sehingga pukulan tangan Kim Sun terpental. Keduanya memiliki tenaga yang berimbang dan tosu itu lalu mencabut sebatang golok besar yang disembunyikan di balik meja sembahyang.
Melihat tosu itu mencabut golok besar, Kim Sun juga mencabut pedangnya dan segera terjadi perkelahian yang seru di antara mereka. Meja sembahyang terlanggar senjata mereka menjadi roboh.
Tentu saja para penduduk dusun yang melihat perkelahian itu menjadi bingung. Mereka belum percaya sepenuhnya kepada pemuda itu, akan tetapi mereka juga tidak mau membantu tosu yang betapapun juga sudah membuat mereka semua menjadi miskin karena tosu itu sebagai penghubung Harimau Putih telah menguras harta kekayaan mereka. Mereka hanya menonton saja.
Sementara itu, di bawah sumur, dua orang itu agaknya mulai tidak sabar. Tiga orang gadis itu demikian cantik-cantik dan segar, membuat air liur mereka menetes-netes.
“Ji-ko (kakak kedua), twako sudah mengatakan bahwa puteri lurah ini untuknya. Tentu dia akan memilih puteri lurah yang berpakaian biru ini. Nah, sekarang yang dua orang untuk kita! Boleh kaupilih dulu yang mana. Bagiku sama saja, keduanya sama cantik dan molek!” Dua orang itu mulai mendekati Hui Ing dan gadis yang berbaju hijau.
Melihat ini Hui Ing tidak mampu menahan kemarahannya lagi. “Hei kalian berdua, kalau hendak memilih kami, hayo kalian berkelahi dulu. Siapa menang boleh mendapatkan aku!”
Begitu mendengar ucapan Hui Ing yang disertai dengan gerakan jari-jari tangan itu, ke dua orang itu lalu mulai saling gebuk dan tonjok.
“Hei, kenapa engkau memukulku?”
“Kau juga menjotosku!”
Mereka berdua kini bertinju dan bergulat, saling serang dengan serunya di dalam ruangan itu. Akhirnya, seorang di antara mereka terpukul roboh, yaitu si muka bopeng dan tidak dapat bangkit kembali, agaknya pingsan. Dan si muka codet yang mendapatkan kemenangan itu menghampiri Hui Ing, untuk segera roboh kembali ketika Hui Ing meluncurkan kakinya menendang ke arah dadanya.
“Enci, jangan takut. Engkau tinggal dulu di sini, aku akan keluar untuk menangkap tosu siluman itu!” Hui Ing lalu membungkus tubuh kedua orang itu dengan jaring, lalu ia merayap naik melalui lubang sumur sambil membawa tali jaring yang panjang dan kuat.
Semua orang dusun terkejut bukan main ketika dari dalam sumur tiba-tiba muncul seorang gadis cantik yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Gadis itu melompat begitu saja dari dalam sumur, kemudian menarik sebuah tali yang panjang dan perlahan-lahan dari dalam sumur itu keluar segulung jaring di dalam mana terdapat dua orang yang setengah pingsan!
Sementara itu, Thian Beng Seng-cu yang melihat munculnya seorang gadis asing yang membawa keluar pula dua orang pembantunya yang nampaknya ditawan, menjadi heran, terkejut dan juga panik.
“Orang muda, berlututlah engkau!” bentaknya dan mengangkat golok ke atas sambil berkemak-kemik. Sungguh aneh, Kim Sun yang tadi sudah mulai mendesak lawan dengan ilmu pedangnya, tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut.
“Sun-ko, jangan berlutut! Bangkit!” teriak Hui Ing dan Kim Sun seperti diguyur air dingin, segera menyadari keadaannya yang tidak wajar itu maka dari keadaan berlutut dia menyerang dengan gerakan jurus Tit-ci-thian-lam (Menuding ke Arah Selatan).
Serangan tiba-tiba ini membuat si tosu terkejut dan cepat menangkis dengan goloknya. Dia terus main mundur dan mencari kesempatan untuk melarikan diri. Kesempatan itu tiba ketika tangan kirinya menyebar jarum ke arah Kim Sun. Pemuda ini memutar pedangnya menangkis sehingga jarum-jarum itu runtuh semua. Dan ketika dia memandang, tosu itu sudah melompat jauh dan melarikan diri.
“Heii, Thian Beng Seng-cu, engkau hendak lari ke mana? Kembalilah ke sini!” teriak Hui Ing.
Sungguh aneh bukan main. Tosu yang sudah mulai lari agak jauh itu, tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan lari kembali ke situ! Dia terbelalak heran dan setelah tiba di depan Hui Ing, dia menyabetkan goloknya.
Akan tetapi Hui Ing berteriak, “Lepaskan golok!”
Seperti di luar kehendaknya, tosu itu melepaskan goloknya dan Kim Sun sudah menotoknya dari belakang. Tosu itu roboh lemas dan tidak mampu bergerak lagi.
Kini Hui Ing menghadapi semua orang. “Saudara saudara, kalian semua telah tertipu oleh komplotan tiga orang ini. Siluman Harimau Putih tidak pernah ada. Yang ada adalah tiga siluman berujud manusia ini, yang menipu kalian. Semua benda dan gadis yang dilemparkan ke dalam sumur itu diterima oleh kedua orang pembantu tosu gadungan ini dengan jaring.
“Mereka mengumpulkan kekayaan di perut bukit, dan bersenang-senang dengan gadis-gadis yang dipaksa melayani mereka. Dan agaknya tosu ini mengerti sedikit ilmu sihir untuk membius gadis-gadis itu sehingga mereka tidak tahu apa yang terjadi. Sekarang terserah kalian bagaimana? Apakah masih percaya kepada siluman harimau putih?”
Orang-orang itu menjadi marah dan berteriak-teriak untuk menuntut balas, kemudian, didahului oleh lurah mereka, mereka menyerbu dan memukuli dua orang pembantu tosu dan tosu itu sendiri. Kim Sun dan Hui Ing tersenyum dan cepat pergi dari situ, tidak akan mencampurinya lagi.
Tosu itu dan dua orang pembantunya tidak diampuni oleh penduduk dusun. Mereka dihajar sampai mati. Kemudian para penduduk itu menuruni sumur dengan tali dan menemukan gadis yang selamat di dalam sumur, juga menemukan semua harta yang sudah dikumpulknn oleh tiga orang komplotan yang sudah siap hendak meninggalkan tempat itu membawa tiga orang gadis dan harta. Dua orang gadis itu lalu diselamatkan melalui lobang rahasia yang ditemukan oleh orang-orang dusun.
Batu penutup guha didorong beramai-ramai dan ketahuanlah sekarang semua rahasia “Siluman Harimau Putih” itu. Gadis ketiga ditemukan orang di rumah penduduk dusun dalam keadaan selamat sehingga semua orang menjadi senang sekali. Akan tetapi ketika mereka mencarinya, dua orang gadis dan pemuda yang menolong mereka membongkar kejahatan tiga komplotan itu sudah lenyap entah ke mana!
Pesta besar-besaran diadakan oleh orang-orang dusun itu. Adapun mayat tiga orang penjahat itu tidak dikuburkan, melainkan dimasukkan ke dalam sumur itu yang kemudian ditutup batu-batu sehingga menjadi kuburan batu.
Sementara itu, Yang Kim Sun dan Kwan Hui Ing sudah lari jauh dari Bukit Harimau. Mereka baru berhenti setelah tiba di sebuah hutan yang lebat. Mereka duduk mengaso di bawah pohon, duduk di atas batu yang banyak terdapat di tempat itu.
Sejenak mereka saling pandang dan Kim Sun berkata dengan suara memuji. "Wah, sungguh senang sekali aku dapat bekerja sama denganmu, Ing-moi. Engkau memiliki ilmu kepandaian hebat sekali sehingga dengan mudah kita dapat menundukkan komplotan jahat yang mengacau di pedusunan itu.”
“Jangan terlalu memuji, Sun-ko. Makin tinggi dipuji, akan makin sakit kalau sampai jatuh. Kepandaianku biasa saja, kalau bertemu lawan yang lebih pandai, tentu aku akan kalah. Eh, bagaimana engkau dapat muncul di sini begini tiba-tiba, Sun-ko? Engkau hendak pergi ke mana dan dari manakah?”
“Begini, Ing-moi. Setelah menyerahkan kembali kitab-kitab yang dicuri oleh Bhok Seng Cun itu kepada para pimpinan Kun-lun-pai, aku lalu merantau lagi. Tanpa tujuan, hanya untuk melihat-lihat daerah yang indah dan juga untuk mempergunakan ilmu yang selama ini kupelajari, menegakkan keadilan dan kebenaran, menentang kejahatan.”
“Wah, engkau memang seorang pendekar budiman dan aku kagum sekali, Sun-ko!”
“Nah-nah, kini engkau sudah berbalik memujiku, membuat aku malu saja. Dan engkau hendak ke manakah, Ing-moi!”
“Aku sedang melaksanakan tugas, mencari seorang jahat pengkhianat Thian-san-pang yang bernama Ban Koan. Apakah engkau mengetahui atau mungkin mendengar di mana dia berada, Sun-ko?”
“Mendengar namanyapun baru sekarang, Ing-moi. Kalau engkau tidak tahu dia berada di mana, bagaimana engkau hendak mencarinya?”
“Dalam pertemuan terakhir, dia ditolong dan dibawa lari oleh datuk See-thian Tok-ong. Nah, maksudku aku hendak mencari di kediaman datuk itu, di Bukit Menjangan.”
“Maksudmu di Bukit Menjangan yang berada dalam wilayah Hou-han? Aku mengenal daerah itu, Ing-moi. Kalau engkau tidak berkeberatan melakukan perjalanan bersamaku, aku mau menjadi penunjuk jalan.”
Hui Ing merasa girang sekali. Ia memang sudah tertarik kepada pemuda ini sejak pertemuan mereka yang pertama kali di Pulau Iblis. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan berwatak baik, seorang pendekar sejati dari Kun-lun-pai.
Bertemu pemuda ini merupakan hiburan besar baginya dari rasa nyeri di hatinya karena melihat Cin Po mencinta seorang gadis lain yang cacat mukanya, nyeri hatinya karena Cin Po menganggap ia sebagai adik sendiri yang patut disayang akan tetapi tidak patut dicinta sebagai seorang gadis!
“Ah, terima kasih sekali, Sun-ko. Aku memang belum tahu jalan ke sana, apa lagi termasuk wilayah Hou-han yang belum pernah kukunjungi.”
“Jadi engkau tidak menolak melakukan perjalanan bersamaku, Ing-moi?” Kim Sun bersorak gembira dalam hati. “Aku akan menunjukkan kepadamu, dan akan menunjukkan pula tempat-tempat lain yang indah dari kerajaan Hou-han. Akan tetapi, aku agak khawatir, Ing-moi.”
“Apa yang kau khawatirkan?”
“See-thian Tok-ong adalah seorang datuk yang sakti. Ilmu kepandaiannya hebat sekali dan terutama sekali, dia adalah seorang penasihat yang dihormati oleh Kaisar Hou-han. Karena itu, kalau orang buruan itu itu dilindungi olehnya, kurasa akan sukar sekali untuk dapat menemukannya. Andaikata dapat dttemukan juga amat berbahaya kalau harus menentang See-thian Tok-ong.”
“Jangan takut, Sun-ko. See-thian Tok-ong tidak berhak mencampuri urusan Thian-san-pang. Urusanku dengan Ban Koan adalah urusan dalam Thian-san-pang. Kalau dia berkeras melindungi, apa boleh buat, aku akan melawannya!”
“Aku tidak takut, Ing-moi. Aku hanya memberitahu agar engkau berhati-hati. Datuk itu mempunyai banyak anak buah. Sedapat mungkin kita menghindarkan bentrokan langsung dengan dia karena kalau dia dibantu oleh pemerintah, mungkin saja kita bahkan dianggap sebagai pemberontak-pemberontak di kerajaan itu dan menjadi orang orang buruan pemerintah.”
“Baik, aku akan berhati-hati dan tidak bertindak dengan gegabah, karena engkau yang menjadi penunjuk jalan, aku akan mentaati semua pesanmu.”
Kim Sun tersenyum. “Bukan begitu, ilmu kepandaianmu jauh lebih tinggi dari pada ilmu yang kumiliki. Kita bekerja sama dan untuk menghadapi setiap persoalan kita rundingkan bersama. Setuju?”
“Akur!”
Keduanya tertawa, merasa saling cocok dan mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke wilayah kerajaan Hou-han di daerah Shan-si.
Semalam suntuk Kui Ciok Hwa atau yang oleh semua bajak laut dikenal sebagai Huang-hai Sian-li menangis di dalam kamarnya. Tidak ada seorangpun mengetahui akan kedukaan hati gadis ini. Ia merasa sengsara dan kesepian setelah Cin Po meninggalkan Pulau Hiu. Ia menjadi tidak betah lagi tinggal di situ. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah mengumpulkan semua pembantu dan para anggautanya.
“Sekarang tiba saatnya aku harus meninggalkan kalian,” katanya. Suaranya agak parau dan tidak ada yang tahu betapa sepasang mata itu merah membengkak karena terlalu banyak menangis semalam. Muka itu tetap tertutup cadar.
Betapa ingin hati para anggauta bajak laut untuk memandang wajah ketua mereka, akan tetapi tak seorangpun berani menyatakannya. Mereka telah mengetahui bahwa membuka cadar merupakan pantangan besar bagi ketuanya. Siapa berani menyingkap cadar akan kehilangan tangannya!
Begitu mendengar ucapan itu, semua orang terkejut. Juga Tok-gan Kim-go, yang dahulunya merupakan kepala bajak laut yang kemudian oleh Huang-hai Sian-li diangkat menjadi wakilnya atau pembantu utamanya, terkejut sekali.
“Sian-li, apa artinya ucapan Sian-li itu?” tanyanya heran.
“Artinya, aku akan meninggalkan kalian, meninggalkan tempat ini. Dan aku menyerahkan kepimpinan kepadamu, Tok-gan Kim-go. Akan tetapi ingat, jangan engkau membawa teman-teman melakukan kejahatan. Pakailah peraturan seperti yang telah kugariskan. Jangan membunuh sembarangan, kecuali kalau dalam pertempuran menghadapi orang yang melakukan perlawanan. Jangan membajak orang miskin. Dan pantangan yang paling besar, jangan menculik dan memperkosa wanita. Kelak, sekali waktu aku akan datang mengadakan penelitian dan kalau ada yang melanggar akan kuberi hukuman berat sekali.”
Semua anggauta bajak laut Pulau Hiu itu merasa terharu sekali. Semenjak dipimpin oleh Huang-hai Sian-li mereka memperoleh kemajuan pesat. Bahkan mereka dapat menemukan tempat tinggal di Pulau Hiu dan sebagian besar di antara mereka telah membentuk keluarga dengan berumah tangga. Sebelum itu, kehidupan mereka liar, hanya mengenal membajak lalu menghamburkan uang hasil bajakan sampai habis, membajak lagi dan demikian selanjutnya.
Akan tetapi keputusan Ciok Hwa sudah tetap. Ia harus pergi. Semenjak Cin Po menyatakan cinta kepadanya, ia menemukan kebahagiaan luar biasa, membuat hidupnya mempunyai arti yang gemilang. Akan tetapi, perpisahan dengan pemuda yang dicintanya itu, membuat ia tidak betah lagi tinggal di Pulau Hiu. Ia harus pergi, harus mencari pemuda itu. Ia, tidak kuat lagi untuk berpisah dari Cin Po.
Dengan sebuah perahu kecil Ciok Hwa meninggalkan Pulau Hiu, diantarkan oleh seluruh anggauta bajak laut sampai jauh. Baru setelah Ciok Hwa memerintahkan mereka pulang, mereka itu tidak mengantar lebih jauh. Dengan cepat perahu kecil itu meluncur menuju ke daratan. Dan Ciok Hwa seolah merasa bahwa dirinya baru saja terlepas dari pada belenggu yang amat kuat.
Barulah ia merasakan betapa menjadi ketua bajak laut itu merupakan belenggu bagi dirinya, membuat tidak dapat bebas. Kini ia merasa bebas dan lega. Setelah tiba di pantai, ia melihat seorang nelayan tua sedang menjala ikan di pantai. Ia melompat ke darat dan memanggil nelayan tua itu.
“Paman, maukah paman kuberi perahu ini?”
Tentu saja nelayan tua itu melongo, seolah tidak mengerti arti ucapan gadis itu. Dia hanya memandang, dengan sinar mata penuh pertanyaan. Ciok Hwa menjadi terharu. Tentu orang ini miskin sekali sehingga membeli sebuah perahu merupakan suatu hal yang tidak mungkin baginya. Dan kini tiba-tiba ada seorang yang sama sekali tidak dikenalnya hendak memberikan sebuah perahu yang baik kepadanya. Tentu saja dia menjadi heran dan tidak dapat berkata-kata.
“Paman, aku sudah tidak membutuhkan lagi perahuku ini. Kalau paman mau, hendak kuberikan kepadamu,” sekali lagi Ciok Hwa berkata ramah.
Nelayan itu memandang wajah yang tertutup cadar dan baru dia menyadari bahwa orang tidak bermain-main dengannya. “Diberi perahu? Mau? Tentu saja aku mau, nona. Akan tetapi… kenapa nona memberikannya kepadaku?”
“Aku melihat paman menjala ikan di sini, tentu hasilnya kurang sekali. Kalau menggunakan perahu tentu lebih baik hasilnya untuk kehidupan keluarga paman.”
“Terima kasih, ohhh, terima kasih, nona.” Nelayan itu menghampiri dan memegangi perahu itu, mengamatinya dan nampak gembira bukan main.
Ciok Hwa lalu meninggalkannya pergi, membiarkannya menikmati miliknya yang seperti jatuh dari atas langit itu. Ia termenung sendiri dan merasa terharu. Sekelumit peristiwa yang baginya tidak berarti apa-apa, kehilangan perahu yang memang tidak dibutuhkannya lagi itu, bagi si nelayan mempunyai arti yang luar biasa besarnya. Mungkin akan mengubah keadaan hidupnya!
Tanpa ia ketahui, ketika melakukan perjalanan menuju pulang ke tempat tinggal ayahnya sambil melakukan perjalanan mencari jejak Cin Po ia tersesat memasuki daerah Sung. Daerah itu masih berbatasan dengan daerah Wu-yeh, akan tetapi ia tidak menyadari.
Pada suatu hari tibalah ia di sebuah dusun yang cukup ramai. Ketika ia sedang berjalan itu, terdengar derap kaki kuda yang banyak dan serombongan orang menunggang kuda memasuki dusun itu.
“Minggir! Minggir dan biarkan kami lewat!” Bentak seorang perwira dan ternyata rombongan terdiri dari tigapuluhan orang berkuda itu adalah pasukan kerajaan Wu-yeh. Di tengah-tengah terdapat sebuah kereta kecil yang ditumpangi seorang laki-laki tua yang nampak ketakutan. Di kanan kiri kereta dikawal oleh dua orang perwira yang nampak gagah.
Ciok Hwa tertarik sekali ketika ia melihat orang tua itu melongok keluar melalui tirai kereta yang tersingkap dan pandang mata orang laki-laki itu penuh perasaan takut. Jelas bahwa laki-laki itu merupakan orang tangkapan, atau setidaknya dia duduk di atas kereta itu dalam keadaan terpaksa. Ia tertarik sekali dan bertanya kepada seorang laki-laki setengah tua yang juga menonton iring-iringan berkuda itu.
“Paman, siapakah laki-laki tua dalam kereta itu?”
Orang itu menghela napas dan sejenak memandang gadis berkerudung dengan curiga. Akan tetapi mendengar suara yang lembut dan ramah itu dia menjawab juga. “Itu adalah Yok-sian (Dewa Obat) yang baru saja dibawa pergi oleh pasukan. Mungkin sekali ada orang penting yang sedang sakit keras dan memerlukan bantuan Yok-sian.”
Ciok Hwa tidak merasa heran. Pada waktu itu, orang-orang berpangkat kekuasaan yang tak terbatas besarnya, bahkan kuasa untuk memaksa setiap orang. Dan iapun maklum bahwa keselamatan tabib itu tentu terancam.
Biasanya, orang berkedudukan tinggi mengharuskan seorang tabib untuk menyembuhkan penyakitnya dan kalau sampai gagal, mungkin saja nyawa tabib itu menjadi taruhannya! Terbayang kembali sinar mata tabib tua itu yang seperti mata kelinci yang ketakutan, dan ia merasa kasihan sekali.
“Ke mana Yok-sian itu dibawanya, paman?”
“Ke mana lagi kalau bukan ke perbentengan pasukan Wu-yeh? Kalau ketahuan oleh pasukan Sung, tentu bakal ramai dan terjadi pertempuran hebat. Yok-sian itu adalah seorang warga negara Sung, dan dia dipaksa untuk mengobati seorang Wu-yeh.”
Mendengar ini, Ciok Hwa tertarik sekali. Ayahnya, biarpun tidak aktif sekali, adalah seorang yang dikenal baik oleh para pejabat tinggi Wu-yeh, bahkan pernah ayahnya diterima raja Wu-yeh dan menerima penghargaan karena ayahnya pernah membantu pasukan Wu-yeh memukul mundur pasukan Sung.
Dan kini pasukan Wu-yeh membawa seorang tabib ke daerahnya, pada hal daerah ini masih termasuk perbatasan Sung, sehingga keadaannya berbahaya sekali. Berpikir demikian, iapun lalu membeli seekor kuda dan menunggang kudanya mengejar pasukan yang membawa tabib tadi.
Ternyata usahanya mengejar itu terlambat. Ketika ia dapat menyusulnya, telah terjadi pertempuran hebat antara pasukan Wu-yeh tadi dengan pasukan Sung yang jumlahnya jauh lebih banyak. Tigapuluh orang pasukan Wu-yeh melawan limapuluh orang tentara Sung!
Tanpa diminta, Ciok Hwa lalu terjun ke dalam pertempuran membantu pasukan Wu-yeh yang sudah terdesak itu. Begitu ia masuk dan mengamuk, pasukan Sung menjadi kocar kacir. Sepak terjang gadis berkerudung ini hebat sekali dan banyak tentara Sung jatuh bergelimpangan disambar pedang di tangan Ciok Hwa.
Seorang perwira mendekatinya. “Nona siapakah?” tanyanya dengan sikap hormat.
“Aku adalah puteri Tung-hai Mo-ong!” jawab Ciok Hwa. Kalau ia memperkenalkan namanya tentu perwira itu tidak akan tahu, akan tetapi ayahnya lebih dikenal. Dan benar saja, mendengar ini, perwira itu lalu berkata, suaranya terdengar girang.
“Kiranya lihiap yang menolong kami. Akan tetapi kuharap lihiap suka melindungi tabib itu yang amat diperlukan oleh panglima kami!”
Mendengar ini, Ciok Hwa lalu melompat dan menuju ke kereta di mana telah terjadi pertempuran di sekitar kereta. Akan tetapi, tiba-tiba ia melihat seorang pemuda tampan berpakaian mewah, melompat dan beberapa kali suling peraknya menyambar dan robohlah pengawal yang menjaga kereta, lalu pemuda itu menyingkap tirai kereta, menotok tabib tua itu dan memanggulnya dibawa lari dari tempat itu.
“Heiii, berhenti…!!” Ciok Hwa berteriak dan iapun melakukan pengejaran.
Pemuda itu melarikan Yok-sian sampai jauh dari tempat pertempuran. Larinya cepat sekali dan Ciok Hwa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melakukan pengejaran. Ia masih belum tahu siapa pemuda itu dan apa maksudnya melarikan si Tabib Dewa, maka ia hanya mengejar terus.
Setelah tiba di sebuah hutan, pemuda itu berhenti berlari dan membalikkan tubuhnya. Melihat seorang gadis berkerudung dengan bentuk tubuh yang demikian menggairahkan, pemuda itu tersenyum. Dia memang tampan dan pakaiannya rapi mewah, tangan kanan memegang sebatang suling yang berkilauan seperti perak, tangan kiri memanggul tubuh Yok-sian.
“Hemm, nona. Siapakah engkau dan apa maksudmu melakukan pengejaran kepadaku?” tanya pemuda itu yang bukan lain adalah Kang-siauw Tai-hiap (Pendekar Besar Suling Baja) Kam Song Kui, murid dari See-thian Tok-ong! Tentu saja pemuda yang tinggi hati ini memandang rendah kepada Ciok Hwa, akan tetapi karena diapun seorang yang mata keranjang, melihat bentuk tubuh gadis bercadar itu dia sudah merasa tertarik sekali.
“Tidak perduli aku siapa, lepaskan dan bebaskan Yok-sian!” kata Ciok Hwa sambil mencabut pedangnya.
“Wah, enak saja kau bicara. Susah-susah aku merampasnya, engkau suruh membebaskan. Kami amat membutuhkan bantuannya, maka dia harus pergi bersamaku dan tidak seorangpun boleh melarangnya.”
“Aku yang akan melarangnya!” bentak Ciok Hwa dan ia sudah menerjang pemuda itu dengan pedangnya.
“Trang! Trang!” Pedang bertemu suling dan Kam Song Kui terkejut setengah mati. Lengan kanannya tergetar hebat ketika dia menangkis pedang itu, berarti bahwa tenaga gadis berkerudung itu seimbang dengan tenaganya.
Karena dia memanggul tubuh Yok-sian, tentu saja gerakannya kurang leluasa dan menghadapi lawan tangguh ini, berbahayalah kalau dia memanggul tubuh Yok-sian. Karena itu dia melemparkan tubuh kakek tabib itu ke atas tanah dan kini dia melawan dengan sulingnya.
Terjadilah perkelahian hebat antara dua orang ini. Song Kui adalah murid datuk barat See-thian Tok-ong sedangkan Ciok Hwa adalah puteri datuk timur Tung-hai Mo-ong. Maka perkelahian antara mereka terjadi dengan sengit dan hebat dan seimbang.
Terdengar bunyi derap kaki kuda. Dua orang perwira Wu-yeh dan empat orang perajurit yang tadi ikut mengejar sudah tiba di situ dan mereka langsung saja membantu Ciok Hwa yang telah dikenal perwira itu sebagai puteri Tung-hai Mo-ong.
Melihat ini, Ciok Hwa merasa perlu untuk lebih dulu menyelamatkan Yok-sian. Ia lalu menghampiri orang tua yang masih menggeletak tertotok itu, membebaskan totokannya dan menggandeng tangan orang tua itu diajak berlari dari tempat itu.
“Marilah, paman, kita lari dari tempat berbahaya ini!” kata Ciok Hwa sambil menarik tangan kakek itu untuk berlari-lari meninggalkan Song Kui yang dikeroyok enam orang itu.
Terengah-engah kakek itu setelah mereka lari agak jauh keluar dari hutan. “Berhenti dulu, nona… ah, napasku hampir putus…!” kakek itu mengeluh dan merekapun berhenti untuk mengatur pernapasan. “Nona, engkau siapakah yang telah menolongku?”
“Namaku Kui Ciok Hwa, paman, dan aku puteri Tung-hai Mo-ong,” kata Ciok Hwa terus terang.
Ternyata Tabib Dewa itu merupakan seorang tokoh kang-ouw juga dan mengenal semua datuk dan tokoh dunia kang-ouw. “Aih, kiranya puteri Tung-hai Mo-ong. Nona, engkau telah menyelamatkan aku. Sungguh aku berhutang budi kepadamu.”
“Jangan berkata demikian, paman. Pula, belum tentu aku dapat menolongmu. Engkau belum terbebas dari bahaya penculikan pemuda bersuling tadi.”
“Biarpun demikian, setidaknya engkau sudah berusaha mati-matian, ini saja sudah menunjukkan kebaikan hatimu. Sungguh tidak kusangka bahwa Tung-hai Mo-ong dapat mempunyai seorang puteri sebaik engkau.”
“Marilah kita lari lagi, paman.”
“Hem, berlari juga apa gunanya? Ketahuilah, pemuda yang membawa aku lari tadi adalah Kang-siauw Tai-hiap...”
“Kang-siauw Taihiap?”
“Murid dari See-thian Tok-ong. Kalau ada muridnya, biasanya tentu ada juga gurunya.”
“Ha ha-ha-ha, ingatanmu masih baik sekali, Yok-sian!” terdengar suara nyaring disertai tawa bergelak dan ketika keduanya menoleh, ternyata di situ telah berdiri dua orang yang bukan lain adalah See-thian Tok-ong sendiri dan muridnya, Kam Song Kui.
Tahulah Ciok Hwa bahwa tentu para perajurit Wu-yeh tadi telah tewas oleh mereka berdua ini, maka iapun menjadi nekat. Dengan pedang di tangan ia menyerang ke arah See-thian Tok-ong, tangan kanan menusuk dan tangan kiri menggunakan jurus ilmu silat Toat-beng-sin-ciang, menampar ke arah muka.
See-thian Tok-ong hanya meloncat ke kiri dan dua serangan itu luput, kemudian tangan See-thian Tok-ong menyambar ke depan. Melihat sambaran tangan ke arah mukanya ini, Ciok Hwa terkejut sekali dan cepat ia melompat ke belakang untuk mengelak. Akan tetapi lengan tangan See-thian Tok-ong mulur panjang dan di lain saat tanpa dapat dicegah lagi, Tok-ong telah menyingkap kerudung yang menutupi muka gadis itu.
Mereka bertiga, See-thian Tok-ong, Kam Song Kui, dan juga Yok-sian sendiri terkejut menyaksikan wajah yang amat buruk dari gadis itu, muka yang penuh dengan benjolan-benjolan menghitam! Terutama sekali Kam Song Kui yang tadinya sudah tergila-gila oleh bentuk tubuh dan warna kulit gadis itu, menjadi terkejut dan memandang dengan jijik.
“Ihhh, Iblis… siluman....!” teriaknya dan dari suling bajanya menyambar keluar banyak jarum beracun ke arah muka gadis itu.
Ciok Hwa yang masih tertegun kaget dan marah karena cadar hitamnya tersingkap, tidak mengira akan diserang dengan senjata rahasia ini. Ia masih mencoba untuk mengelak akan tetapi beberapa batang jarum mengenai pipi dan lehernya. Iapun roboh tak sadar diri.
Kam Song Kui melangkah maju untuk menggerakkan sulingnya dan membunuh wanita yang mukanya seperti setan itu, akan tetapi Yok-sian berseru, “Jangan bunuh! Ia puteri Tung-hai Mo-ong!”
Mendengar ini, tangan kanan See-thian Tok-ong mulur dan menangkap tangan muridnya yang memegang suling, mencegahnya untuk membunuh gadis itu. “Puteri Tung-hai Mo-ong?” tanyanya, kaget dan heran.
“Benar, ia sendiri tadi mengaku kepadaku.”
“Sudahlah, tinggalkan saja ia di sini. Yok-sian, mari engkau ikut dengan kami!” kata See-thian Tok-ong.
“Aku harus mengobati gadis ini lebih dulu dan membiarkan ia pergi dengan selamat.”
“Tidak! Membuang-buang waktu saja!” bentak See-thian Tok-ong.
Tabib itu bangkit berdiri dan tegak menantang. “See-thian Tok-ong. Engkau adalah seorang datuk besar yang hendak membawa kemauanmu sendiri. Akan tetapi aku juga Yok-sian dan aku tidak dapat dipaksa atau diancam. Kalau engkau tidak membolehkan aku mengobati gadis ini, biar aku dibunuh sekali pun, aku tidak akan sudi memenuhi permintaanmu...!”