Pendekar Baju Putih Jilid 15 karya Kho Ping Hoo - Sejenak kedua orang tua ini saling berhadapan saling berpandangan. Kalau saja saat itu dia tidak membutuhkan tenaga Yok-sian, tentu sudah dipukulnya mati tabib yang keras kepala itu. Akan tetapi dia tahu bahwa tabib itu juga seorang tokoh kang-ouw yang aneh dan keras hati.
Kalau dia membunuh Yok-sian, tentu dia akan berhadapan dengan banyak tokoh kang-ouw yang marah kepadanya dan juga, dia tidak akan dapat mengharapkan pertolongan tabib itu. Pula, gadis yang akan ditolong tabib itu adalah puteri Tung-hai Mo-ong. Tidak enak kalau sampai penyerangan muridnya itu akan menewaskan puteri Tung-hai Mo-ong, hanya akan membuat dia bermusuhan dengan Datuk Timur itu.
“Baiklah, obati ia cepat!” katanya sambil menghela napas panjang, lalu dia berkelebat lenyap dari situ.
“Ah, Suhu memang aneh,” Kam Song Kui mengomel. “Gadis setan seperti itu untuk apa dibiarkan hidup? Kalau aku, sebaiknya dipukul mati agar kelak tidak menimbulkan bencana!”
Tabib itu memandang dengan mata marah kepada pemuda itu. “Orang muda yang kejam, tinggalkan kami sendiri, tak sudi aku, pekerjaanku ditonton olehmu!” Biarpun Yok-sian seorang tabib yang lemah saja, namun sikap dan suaranya mengandung wibawa besar. Pemuda itu menggerakkan pundaknya.
“Kutinggalkan juga, engkau akan mampu pergi ke mana?” Dia lalu ngeloyor pergi meninggalkan tabib itu.
Setelah guru dan murid itu meninggalkannya, Yok-sian lulu memeriksa Ciok Hwa. Jarum-jarum itu menancap di kedua pipi dan di dahinya, dan ada sebatang lagi menancap di lehernya. Untung tidak masuk ke dalam daging. Dengan hati-hati Yok-sian mencabuti jarum-jarum itu dan bekas tusukan jarum nampak biru menghitam. Setelah membuang jarum-jarum itu, tabib Dewa itu memeriksa kembali muka dan leher yang terluka tadi.
“Hemm, racun ular! Sedikitnya ada lima macam racun ular terkandung dalam jarum itu. Keji! Sungguh keji sekali!”
Dia mengeluarkan obat bubuk, mencampurnya dengan arak lalu mengoles dan menekan-nekankan pada luka jarum tadi. Kemudian dia mengeluarkan jarum-jarum emas dan perak dan mulailah dia mengobati gadis itu dengan tusukan jarum pada beberapa tempat di wajahnya dan di lehernya.
Setelah membiarkan jarum-jarum untuk sementara menancap di wajah dan leher itu, Yok-sian lalu mengeluarkan alat-alat masak obat dari saku bajunya yang lebar, dia pun mengeluarkan obat bubuk dan memasaknya.
“Obat menjadi racun dan racun menjadi obat, itu sudah menjadi kehendak Thian! Orang yang berwatak baik selalu mendapatkan pertolongan, itupun sudah menjadi kehendak Thian!” demikian katanya lirih.
Ciok Hwa merintih lirih. Yok Sian mendekatinya dan ketika gadis itu membuka matanya, ia berkata lembut. “Nona, jangan bergerak, wajah dan lehermu penuh dengan jarum. Aku sedang berusaha mengobatimu, maka tetap rebah sajalah dan jangan banyak bergerak!”
Ciok Hwa menahan diri untuk tidak bergerak. Ia menggerak-gerakkan biji matanya untuk memandang ke sana sini, akan tetapi di situ sunyi saja, hanya ada mereka berdua. “Paman, di manakah mereka?”
“Mereka sudah pergi, guru dan murid iblis itu, walaupun mereka tidak pergi jauh dan sewaktu-waktu dapat muncul,” kata Yok-sian bersungut-sungut. “Akan tetapi jangan khawatir, aku bersumpah bahwa kalau mereka mengganggumu lagi, aku tidak akan sudi memenuhi permintaan mereka yang kecil sekalipun.”
“Paman, parahkah lukaku? Aku tadi terkena senjata rahasia, bukan? Beracun?”
“Ya, senjata rahasia jarum. Keji sekali. Beracun amat jahat. Kalau tidak diobati secepatnya, dalam waktu beberapa jam saja engkau tentu akan tewas dengan tubuh hangus. Racun ular itu jahat sekali!”
“Terima kasih, paman. Engkau telah menyelamatkan nyawaku.”
“Tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan pengorbananmu untukku, nona. Engkau berusaha menolongku dan engkau menderita begini justeru karena aku. Engkau puteri Tung-hai Mo-ong, siapakah namamu tadi, nona?”
“Namaku Kui Ciok Hwa, paman.”
“Baik, takkan kulupakan nama itu. Percayalah, pertolonganmu kepadaku tidak akan sia-sia, nona.”
“Engkau seorang yang baik hati sekali, paman.”
“Itu mereka datang. Cepat tutupi mukamu lagi dengan cadarmu, dari pada engkau menjadi bahan olok-olok mereka yang keji.”
Ciok Hwa menutupkan cadarnya yang tadi disingkapkan secara paksa oleh See-thian Tok-ong. Guru dan murid iblis itu datang dan mereka melihat betapa Ciok Hwa sudah sembuh kembali.
“Ha-ha, kepandaianmu hebat, Yok-sian. Engkau dapat menyembuhkan gadis itu dalam waktu singkat. Tentu engkau akan dapat menyembuhkan orang kami yang sedang sakit berat. Nona, buka cadarmu, aku ingin bicara denganmu. Tidak enak bicara dengan orang yang menyembunyikan wajahnya di balik kerudung!” kata See-thian Tok-ong.
Dengan suara dingin Ciok Hwa berkata, “Aku sudah mengeluarkan ucapan bahwa siapa yang membuka cadarku akan kubuntungi tangannya. Aku tidak sudi membukanya dan kalau hendak membukanya, harus melalui mayatku!”
“Ha-ha-ha, masih bicara besar. Kau kira aku takut kepada ayahmu, Si Datuk Timur tua bangka? Hayo buka cadarmu!”
“Tidak sudi!”
“Suhu, lebih baik biarkan saja jangan dibuka. Aku menjadi ngeri dan takut melihat wajahnya yang seperti setan!” kata Kam Song Kui dan ucapan ini dirasakan lebih menusuk perasaan hati Ciok Hwa, maka ia diam-diam berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau ada kesempatan dan saatnya tiba, ia akan membunuh pemuda tampan bersuling baja disepuh perak itu.
“Ha-ha-ha, engkau benar juga. Nah, nona buruk rupa, kaukatakan kepada ayahmu bahwa melihat mukanya, aku masih mengampunimu. Akan tetapi kalau engkau berani lagi menentangku, aku tidak akan mengampunimu lagi. Yok-sian, mari kita pergi!”
Yok-sian mengambil obat yang dimasaknya tadi, menyerahkan mangkok obat kepada Ciok Hwa. “Nona, minumlah obat ini dan engkau akan sembuh sama sekali!”
Ciok Hwa tidak membantah dan minum obat dalam mangkok itu. Rasanya sepat dan pahit, akan tetapi baunya sedap. Diminumnya habis semua obat itu dan ia mengembalikan mangkoknya kepada Yok-sian sambil mengucapkan terima kasih.
Yok-sian membenahi alat-alatnya dan memasukkan kembali ke dalam saku jubahnya yang longgar. Kemudian dia bangkit berdiri, “Nona, jagalah dirimu baik-baik dan cepatlah pulang ke rumah orang tuamu.”
Setelah berkata demikian, baru dia menghadapi See-thian Tok-ong dan berkata, “Tok-ong, aku sudah siap berangkat.”
Guru dan murid itu lalu mengawal si tabib pergi dari situ. Ciok Hwa merasa tubuhnya masih agak lemah, maka iapun duduk bersila di situ sambil menghimpun tenaga murni. Ia merasa betapa obat itu mulai meresap ke dalam tubuhnya dan terasa gatal-gatal pada muka dan lehernya. Akan tetapi ia menahannya dan tidak menggaruknya, tetapi ia merasa gatalnya berkurang dan tubuhnya menjadi segar kembali.
Ia menemukan pedangnya yang tadi terpental, lalu membawa pedangnya dan melanjutkan perjalanan. Di sepanjang perjalanan Ciok Hwa tidak pernah menanggalkan cadarnya dan kalau terpaksa memperkenalkan namanya, ia selalu menggunakan nama Huang-hai Sian-li!
Kerajaan Sung yang dipimpin oleh bekas Jenderal Cao Kuang Yin yang kini bergelar Kaisar Sung Thai Cu memang dapat dikatakan mengalami kemajuan setelah jaman Lima Wangsa (907-960). Pada tahun 960 itu Jenderal Cao Kuang Yin oleh para tentara dan pengikutnya diangkat menjadi Kaisar.
Dan berturut-turut dia memimpin pasukannya untuk menundukkan kembali daerah-daerah yang dulunya menjadi daerah Kerajaan Tang dan kini melepaskan diri berdiri sendiri, dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Sung yang semakin luas. Akan tetapi, betapapun juga, kejayaan Kerajaan Sung tidak dapat menyamai kebesaran kerajaan yang lalu, yaitu Kerajaan Tang.
Pada masa kerajaan Tang, kerajaan ini mampu mempersatukan seluruh wilayah Cina pedalaman. Sedangkan kerajaan Sung tidak dapat mencapai kejayaan seperti itu. Ada empat daerah besar yang tidak dapat dikuasainya, terutama sekali daerah Mancuria Selatan dan Ho-peh serta daerah Timur Laut yang dikuasai sepenuhnya oleh bangsa Khi-tan yang menamakan dirinya dinasti Liao. Dan di daerah Yunan terdapat Kerajaan Nan-cao.
Masih ada lagi dua kerajaan lain yang selalu mengganggu, yaitu kerajaan Hou-han di Shan-si dan kerajaan Wu-yeh di sebelah Tenggara. Empat buah kerajaan ini bukan saja tidak mau tunduk, bahkan mereka seringkali mengacau di perbatasan, dan berusaha memperluas wilayah mereka dengan menyerbu ke daerah Sung.
Sejak jaman dahulu sampai pada jaman kerajaan Tang, pemerintah yang berkuasa selalu menujukan perhatian mereka ke arah utara dan barat. Bahaya terbesar dianggap datang dari utara dan barat, maka pertahanan Tembok Besar selalu diperkuat dan lalu lintas perdagangan juga ramai melalui jalan melalui Tibet ke Dunia Barat, India, Turki dan lain-lain.
Akan tetapi semenjak kerajaan Sung, keadaannya menjadi lain. Kerajaan Sung tidak mampu bertahan di utara dan barat, dan lebih memperhatikan daerah selatan. Mulailah terjadi perdagangan dengan negara-negara di selatan, di seberang lautan. Kalau dahulu perdagangan utama melalui Mongolia, Sin-kiang, Tibet menuju ke Iran dan ke Timur Tengah, atau membelok ke India, kini lebih banyak perdagangan dilakukan melalui lautan, ke negara-negara di selatan.
Kalau negara Tang menghimpun pasukan besar untuk membendung bahaya dari utara dan barat, kerajaan Sung mengambil jalan yang lebih murah, walaupun ini merendahkan martabat kerajaan. Kerajaan Sung, untuk menjaga agar jangan ada bahaya serangan dari utara dan barat, tidak segan-segan untuk “menyogok” berupa upeti kepada kerajaan Khi-tan yang terkuat pada masa itu.
Memang harus diakui bahwa membayar upeti ini jauh lebih murah dibandingkan kalau harus memelihara tentara yang kuat untuk menjaga keamanan di utara dan barat, akan tetapi dengan mengirim upeti, berarti kerajaan Sung kehilangan kehormatan dan kebesarannya. Sungguh besar bedanya dengan jaman kerajaan Cin, Han maupun Tang.
Sikap yang diambil kerajaan Sung ini membuat banyak pendekar yang berjiwa patriot menjadi penasaran dan marah. Mereka menganggap kaisar terlampau lemah. Kaisar hanya bersenang-senang, tidak mau bersikap keras terhadap musuh yang merongrong, bahkan menyogok dengan upeti besar. Kaisar sendiri hanya bersenang-senang di istana dan kekuasaan sebagian besar dipegang oleh para Thai-kam yang hanya pandai menjadi penjilat akan tetapi tidak becus mengurus negara dengan baik.
Rasa penasaran dan marah ini memunculkan banyak pendekar yang menghimpun kekuatan sendiri untuk melawan bangsa Khi-tan, Hou-han, Wu-yeh dan Nan-cao dengan cara mereka sendiri. Mereka seringkali menyerang pasukan ke empat negara ini di perbatasan dengan cara perang gerilya.
Kalau musuh mengerahkan tenaga dengan pasukan besar mereka melarikan diri, kalau musuh lengah maka pasukan-pasukan musuh itu diserang secara mendadak. Sedikit banyak ini merupakan rong-rongan bagi pemerintah-pemerintah itu dan mereka tidak dapat menyalahkan kerajaan Sung karena penyerang itu bukan pasukan Sung, melainkan gerombolan yang mereka namakan “perampok dan penjahat”.
Di sepanjang sungai Huang-ho terdapat gorombolan gerilya seperti itu yang selalu merongrong pasukan Khi-tan di sepanjang perbatasan. Pasukan kecil yang hanya terdiri dari sekitar seratus orang ini dipimpin oleh Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga Sungai Kuning) dan gerombolan inilah yang membuat pasukan Khi-tan tidak berani dalam kelompok kecil melakukan penjagaan di perbatasan selatan bagi mereka.
Sudah terlalu sering pasukan yang kurang dari seratus orang jumlahnya disergap dan sebagian dari mereka dibunuh. Bahkan dari seratus orangpun gerombolan itu berani menggempur karena mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, apa lagi kelima orang pemimpin mereka!
Huang-ho Ngo-liong sejak belasan tahun yang lalu telah terkenal sebagai lima orang jagoan di dunia kang-ouw yang berilmu tinggi. Seorang di antara mereka sudah kita kenal baik, yaitu Hek-siauw Siucai, pria tampan berusia tigapuluh tahun yang dahulu, sekitar sepuluh tahun yang lalu, pernah datang ke Thian-san-pang dan bertanding melawan Sung Bi Li.
Hek-siauw Siucai yang begitu lihai saja adalah orang kelima. Apa lagi orang yang pertama sampai dengan yang keempat, yang menjadi kakak-kakak seperguruan Hek-siauw Siucai. Orang pertama dari mereka disebut Toa-liong (Naga tertua) bernama Ouwyang Koan. Yang kedua disebut Ji-liong (Naga kedua) bernama Ji Siok.
Ketiga disebut Sam-liong (Naga ketiga) bernama Bang Kiu It. Yang keempat disebut Su-liong (Naga keempat) bernama Tang Giok dan yang kelima adalah Hek-siauw Siucai itulah yang disebut Ngo-liong (Naga kelima) dan bernama Bhe Koan Sui. Lima orang ini adalah murid-murid Go-bi-pai yang sudah mencapai tingkat tinggi dan mereka semua berjiwa pendekar patriot.
Karena mereka adalah kawula kerajaan Sung, tentu saja yang mereka bela adalah kerajaan Sung, walaupun di dalam hati mereka itu merasa penasaran dan tidak senang melihat kaisar tidak memperhatikan pertahanan negara dan hanya bersenang-senang saja. Pada suatu hari ke lima saudara ini berkumpul dan bercakap-cakap membicarakan keadaan.
“Sungguh menyebalkan sekali. Pemerintah kita sama sekali tidak mengacuhkan bahwa para penduduknya di perbatasan utara ini mengalami gangguan dari bangsa Khi-tan!”
“Kaisar hanya bersenang-senang saja dan memerintahkan Menteri Keuangan untuk mengirim upeti besar-besaran kepada Khi-tan. Ini sungguh merupakan pukulan besar kepada perasaan para patriot,” kata Ji-liong menyambung ucapan Toa-liong.
“Sungguh amat mengherankan,” kata Ngo-liong atau Hek-siauw Siucai Bhe Koan Sui yang termuda dan tampan. Usianya sekitar empatpuluh tahun sedangkan kakak-kakaknya beberapa tahun lebih tua dan Toa-liong sendiri yang tertua berusia limapuluh tahun.
“Kalau diingat bahwa Kaisar Sung Thai Cu dahulunya adalah seorang panglima besar bernama Cao Kuang Yin yang pantang menyerah, bahkan berhasil menundukkan banyak daerah sehingga akhirnya dia dapat mempersatukan semua daerah dan mendirikan kerajaan Sung. Kenapa sekarang dia menjadi seorang lemah yang hanya mengejar kesenangan dan menyerahkan urusan pemerintahan kepada para Thai-kam?”
“Sungguh penasaran sekali!” kata Su-liong Tang Giok yang pendek gendut. “Bagaimana seseorang dapat begitu berubah? Kalau dulunya seorang pejuang gagah perkasa, sekarang berubah menjadi boneka yang tidak malu-malu mengirim upeti kepada bangsa Khi-tan?”
“Tidak ada yang aneh,” kata Sam-liong Bang Kiu-It yang bertubuh tinggi kurus. “Seseorang memang dapat saja berubah karena keadaan. Dulu seorang pejuang ketika keadaannya masih miskin, akan tetapi begitu menduduki pangkat tinggi dan merasakan kenikmatan harta dan kemuliaan, maka menjadi lupa diri dan tenggelam ke dalam kesenangan.
“Apanya yang aneh? Hal itu hanya menunjukkan bahwa dia seorang yang pada dasarnya lemah. Seorang yang kuat tidak akan berubah, dalam keadaan dan kedudukan bagaimana jugapun.”
“Sam-te benar,” kata Ji-liong Ji Siok yang mukanya brewok. “Memang harta benda dan kedudukan dapat membuat orang menjadi lupa diri.”
“Akan tetapi hal ini sungguh merugikan bangsa kita,” kata Toa-liong Ouwyang Koan yang bertubuh tinggi besar. “Kaisar selemah itu sebaiknya diganti saja!”
“Aih, toako, ucapanmu itu sungguh berbahaya kalau terdengar orang lain. Bisa-bisa kita ini dicap sebagai pemberontak!” kata Ngo-liong.
“Pemberontak? Huh, kita melakukan lebih banyak dari pada kaisar sendiri. Kita sudah mempertaruhkan nyawa untuk melindungi rakyat di perbatasan, untuk menghalau pasukan Khi-tan yang berani melewati perbatasan dan membikin kacau di daerah Sung! Bukan kita yang pemberontak, melainkan kaisar sendiri yang pengkhianat bangsa, membiarkan bangsanya sengsara hanya karena ingin hidup bersenang seorang diri saja!” Selagi mereka bercakap-cakap, pintu diketuk dari luar.
“Masuk!” kata Toa-liong dengan suara berwibawa.
Pintu dibuka dari luar dan seorang anggauta kelompok mereka masuk, lalu melapor. “Tai-hiap, di luar dusun Hek-bun terdapat serombongan tentara Khi-tan yang agaknya hendak mengacau. Jumlah mereka kurang lebih tigapuluh orang!”
Karena yang mengacau hanya tigapuluh orang saja, Toa-liong lalu memerintahkan kepada adiknya yang paling muda. “Ngo-liong, kau bawa teman sebanyak empatpuluh orang dan basmi mereka!”
“Baik, toako!” kata Hek-siauw Siucai, orang termuda itu yang selalu berpakaian seperti seorang sasterawan dan membawa suling yang diselipkan di ikat pinggangnya. Dia lalu keluar dan tak lama kemudian berangkatlah Ngo-liong bersama empatpuluh orang anak buahnya melakukan perjalanan cepat menuju ke dusun Hek-bun seperti yang dilaporkan anak buah tadi.
Setelah tiba di dusun itu benar saja mereka melihat segerombolan pasukan Khi-tan memasuki dusun itu. Penduduk dusun itu sudah menjadi ketakutan sekali karena biasanya para pasukan Khi-tan itu suka bertindak sewenang-wenang, merampasi hewan ternak dan juga menculik wanita-wanita muda.
Melihat ini, Ngo-liong lalu membentak keras, “Perampok-perampok Khi-tan keparat! Serbu…!”
Dan anak buahnya segera menyerbu. Para perajurit Khitan ketika melihat serombongan orang gagah itu, segera melakukan perlawanan gigih dan terjadilah pertempuran di dusun itu.
Sementara itu, secara kebetulan sekali Cin Po yang sedang mencari musuh besarnya di sepanjang lembah Sungai Kuning, hari itu tiba di dekat dusun. Melihat keributan itu dan melihat pula penduduk banyak yang lari mengungsi keluar dusun, dia segera bertanya kepada mereka apa yang sedang terjadi.
“Segerombolan perajurit Khi-tan sedang mengacau di dusun kami dan sekarang sedang dihadapi para pendekar Lembah Huang-ho.” Memang pasukan yang dipimpin Ngo-liong itu oleh para penduduk dikenal sebagai “Para pendekar Lembah Huang-ho”.
Mendengar ini, tentu saja Cin Po tertarik sekali. “Siapakah para pendekar Lembah Huang-ho itu?” tanyanya.
Orang dusun itu memandang Cin Po dengan heran. Pemuda berpakaian serba putih ini tentu datang dari jauh maka tidak mengenal para pendekar Lembah Huang-ho yang namanya sudah terkenal di seluruh daerah itu sebagai pembela rakyat dari gangguan para perajurit Khi-tan.
“Mereka adalah orang-orang gagah yang selalu membela rakyat yang diganggu oleh pasukan Khi-tan yang menyeberangi perbatasan. Sudahlah, kami akan menjauhkan diri mengungsi ke tempat yang lebih aman.” Orang itu pergi tergesa-gesa dan Cin Po segera lari ke arah dusun itu untuk melihat keadaan.
Segera dia melihat sebuah pertempuran yang ramai dan seru sekali antara orang-orang berpakaian perajurit Khi-tan dan orang-orang berpakaian preman. Dia melihat betapa para perajurit Khi-tan itu terdesak oleh orang-orang yang berpakaian ringkas seperti orang-orang ahli silat itu. Dan memang rata-rata mereka yang disebut para pendekar Lembah Huang-ho itu pandai sekali memainkan senjata dengan gerakan silat yang cukup lumayan.
Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang kakek yang berkepala botak dan tubuhnya sedang saja akan tetapi matanya menyeramkan, mencorong seperti mata harimau, hidungnya pesek dan mulutnya besar, kedua telinganya seperti telinga gajah. Begitu muncul, kakek ini mendorong-dorongkan kedua tangannya dan para orang gagah itu jatuh bergelimpangan.
Seorang pemimpin mereka yang berpakaian sasterawan dan gagah perkasa menyerang kakek itu dengan senjata sulingnya, gerakannya gesit dan juga bertenaga. Akan tetapi kakek itu dengan mudahnya mengelak lalu balas menyerang. Terjadi perkelahian di antara mereka berdua, namun jelas bahwa kakek itu jauh lebih lihai sehingga belum sampai duapuluh jurus, pemegang suling itu telah terpental jauh.
Melihat kakek itu, Cin Po terkejut sekali karena mengenalnya sebagai Pat-jiu Pak-sian, datuk utara yang memang berpihak kepada Khi-tan itu. Bahkan dia sendiri pernah dibujuk gurunya itu untuk menjadi perwira Khi-tan dan kemudian dia melarikan diri setelah membunuh para perajurit Khi-tan yang berbuat jahat kepada rakyat jelata, merampok dan memperkosa.
Karena takut menjadi orang buruan pemerintah Khi-tan, juga takut kepada gurunya yang tentu akan marah sekali, maka dia melarikan diri. Siapa kira kini dia bertemu dengan guru pertamanya itu di sini, dan gurunya membela para perajurit Khi-tan yang sedang merampoki rakyat. Dia harus membela orang-orang gagah Lembah Huang-ho itu, kalau tidak, mereka semua akan tewas bertanding melawan Pat-jiu Pak-sian.
Cepat dia melompat ke dekat sasterawan yang roboh tadi. “Cepat, bawa orang-orangmu lari, aku yang akan menghadapi kakek itu. Kalian bukan lawannya!” katanya.
Agaknya sasterawan yang bukan lain adalah Hek-siauw Siucai atau Ngo-liong Bhe Koan Sui itu mengerti benar apa yang dimaksudkan Cin Po. Dia tadi sudah merasakan sendiri kehebatan kakek itu. Memang kelompoknya adalah kelompok gerilya, dan selalu bergerak seperti pasukan gerilya, kalau pihak musuh terlalu kuat mereka melarikan diri kemudian menyerang kalau musuh lengah.
Dia lalu bersuit keras, memberi tanda kepada anak buahnya dan mereka segera melarikan diri, terpaksa meninggalkan beberapa orang yang sudah tewas dan membawa kawan-kawan yang terluka.
Pat-jiu Pak-sian tercengang, ketika tiba-tiba dia berhadapan dengan Cin Po. Para perajurit Khi-tan yang merasa mendapat kemenangan karena dibantu kakek sakti itu, memperlihatkan kegagahan mereka dengan mencoba-coba mengejar para pendekar yang melarikan diri. Akan tetapi ini hanya untuk berlagak saja.
“Kau…??” bentak Pat-jiu Pak-sian dan teringatlah dia betapa murid yang tadinya amat disayangnya sebagai pengganti puteranya yang tewas ini pernah membunuhi banyak perajurit lalu melarikan diri.
“Engkau pengkhianat dan pemberontak!” kembali dia membentak dan siap untuk menyerang. “Engkau malah membantu para pemberontak yang menyerang pasukan kami?”
“Tidak, Suhu. Aku tidak termasuk golongan mereka. Akan tetapi aku memang menentang pasukan Khi-tan kalau pasukan itu melakukan perbuatan jahat!” katanya gagah.
“Hemm, engkau dahulu juga membunuh banyak perajurit Khi-tan lalu melarikan diri tanpa pamit kepadaku! Murid macam apa engkau ini? Ditolong bahkan membalas mencemarkan nama baikku sehingga aku mendapat teguran dari Raja?”
“Maaf, Suhu. Ketika aku menjadi perwira Khi-tan, Suhu tidak mengajarkan aku untuk merampok dan memperkosa wanita. Karena melihat para perajurit Khi-tan itu melakukan perampokan, pembunuhan dan perkosaan, maka aku menjadi marah dan membunuh mereka. Demikian pula sekarang, para perajurit ini mengganggu rakyat dan orang-orang gagah tadi membela rakyat. Seharusnya perbuatan mereka itu patut dihargai dan perbuatan pasukan Khi-tan patut dicela.”
“Apakah engkau tidak mengerti bahwa orang boleh bertindak apa saja terhadap musuh negara?” bantah Pat-jiu Pak-sian marah.
“Akan tetapi, suhu. Kerajaan Sung tidak menjadi musuh kerajaan Khi-tan. Bukankah kedua kerajaan itu bersahabat? Tidak semestinya pasukan Khi-tan melanggar perbatasan dan menyerang penduduk dusun di perbatasan yang termasuk wilayah Sung.”
“Bocah pengkhianat, kau tahu apa?” kata kakek itu dan diapun menyerang Cin Po dengan ganas.
Cin Po merasa menyesal sekali tidak dapat menyadarkan orang tua itu. Betapapun juga, nyawanya pernah ditolong oleh Pat-jiu Pak-sian, dan bahkan dia pernah digembleng selama tiga tahun dengan tekun. Tentu saja dia tidak ingin bermusuhan dengan orang yang telah pernah menyelamatkan nyawanya itu.
Dengan gerakan yang gesit sekali dia mengelak dari serangan bekas gurunya. Melihat pukulan tangan kirinya dielakkan dengan mudah, Pat-jiu Pak-sian menjadi semakin marah dan dia lalu bersilat dengan ilmu Pat-jiu-sin-kun.
Sebagai orang yang merangkai ilmu itu, tentu saja gerakannya hebat bukan main. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa setelah mendapat gemblengan dari Bu Beng Lojin, Cin Po dapat memainkan Pat-jiu-sin-kun bahkan lebih hebat darinya!
Namun, Cin Po tidak mau melakukan ini. Dia tidak ingin mengalahkan bekas gurunya dengan ilmu gurunya sendiri, juga dengan ilmu lain. Sekali ini dia harus membalas budi gurunya itu dengan tidak melukai atau bahkan mengalahkannya.
Diam-diam dia lalu mengerahkan ilmu sihirnya dan mengenangkan wajah Hok Jin, yaitu putera Pat-jiu Pak-sian yang meninggal dunia karena sakit, wajah yang mirip dengan wajahnya sendiri itu. Kemudian sambil menudingkan telunjuknya kepada Pat-jiu Pak-sian, dia berkata, “Ayah, apakah ayah tega untuk membunuh putera sendiri?”
Seketika Pat-jiu Pak-sian menahan serangannya, terbelalak memandang Cin Po yang tiba-tiba dalam pandang matanya berubah menjadi puteranya yang telah tewas, dan dia lalu menangis sejadi-jadinya. “Hok Jin… ah, Hok Jin...!”
Cin Po melambaikan tangannya dan dalam pandangan gurunya, dia telah berubah lagi menjadi sedia kala. Pat-jiu Pak-sian terbelalak dan memandang Cin Po dengan terheran-heran. “Suhu, maafkanlah saya dan harap suhu jangan membiarkan para perajurit Khi-tan itu mengganggu rakyat jelata!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat diapun lenyap dari pandang mata kakek itu.
Pat-jiu Pak-sian masih tercengang dan sekarang mengertilah dia bahwa tadi dia dipengaruhi sihir oleh bekas muridnya itu. Dan teringat dia betapa tadi murid itu dengan mudah menghindarkan diri dari semua serangannya. Muridnya telah menjadi seorang yang amat pandai, bahkan kuat sekali dengan ilmu sihirnya. Dia berkelebat begitu saja lenyap dari depannya dan untuk dapat melakukan hal seperti ini di depan matanya, belum tentu ada keduanya.
Dia menghela napas lalu memanggil para perwira pasukan itu dan melarang mereka melanjutkan niat mereka mengganggu penduduk dan meminta mereka untuk kembali ke daerah Khi-tan.
Cin Po yang melarikan diri dari depan Pat-jiu Pak-sian, tiba-tiba berhadapan dengan puluhan orang yang dinamakan orang-orang gagah Lembah Huang-ho itu. Dia menahan kakinya dan memandang. Dia melihat pria berusia empatpuluh tahun yang gagah tadi, yang berpakaian seperti sasterawan sehingga menimbulkan rasa hormat di hatinya. Dia tidak tahu bahwa pria itu memandangnya dengan penuh kecurigaan.
Pria itu adalah Hek-siauw Siucai Bhe Koan Sui. Tadi ketika terjadi pertandingan antara Cin Po dan Pat-jiu Pak-sian, Bhe Koan Sui ini sempat mengintai dan dia merasa heran sekali mengapa pemuda yang telah menolong dia dan kawan-kawannya itu menyebut Suhu kepada Pat-jiu Pak-sian.
Dia tahu benar siapa Pat-jiu Pak-sian. Seorang datuk utara yang berpihak kepada Khi-tan. Kenapa pemuda itu menolong mereka kalau dia murid Pat-jiu Pak-sian? Maka, kini dia memandang penuh curiga walaupun tadi jelas pemuda itu telah menyelamatkan mereka.
Bhe Koan Sui mengangkat ke dua tangan memberi hormat kepada Cin Po, diikuti semua anggautanya. “Kami semua menghaturkan terima kasih atas pertolongan sicu,” katanya sambil memandang tajam.
“Ah, tidak perlu dibicarakan hal itu. Aku hanya menyuruh kalian mundur karena kakek itu hebat bukan main ilmu kepandaiannya dan kalau dilanjutkan tentu kalian semua akan tewas di tangannya.”
“Kau maksudkan Pat-jiu Pak-sian, sicu? Dan bagaimana sicu sendiri dapat terbebas dari tangannya?”
“Aku… sempat melarikan diri,” kata Cin Po yang tentu saja segan menceritakan bahwa dia pernah menjadi murid datuk itu.
“Sicu, mari silakan sicu singgah di tempat kami. Para pimpinan kami tentu akan senang sekali bertemu dengan sicu dan kita dapat membicarakan urusan perjuangan ini.”
Sebetulnya Cin Po tidak tertarik dengan urusan perjuangan yang tidak dimengertinya, akan tetapi dia pikir bahwa orang-orang ini mungkin saja tahu di mana adanya musuh besarnya. Maka dia menggunakan kesempatan ini untuk bertemu dan berkenalan dengan mereka.
Dia mengangguk dan mengikuti orang-orang itu menuju ke perkampungan mereka yang terletak di tepi Sungai Kuning. Mereka tinggal di situ bersama seluruh keluarga mereka, maka tempat itu menjadi sebuah perkampungan besar. Rumah pimpinan mereka yang lima orang itu berada di tengah-tengah perkampungan, merupakan rumah besar karena Huang-ho Ngo-liong juga tinggal bersama isteri-isteri dan anak-anak mereka di tempat ini.
Para pimpinan pejuang itu sudah mendengar betapa pasukan mereka terancam dengan munculnya Pat-jiu Pak-sian akan tetapi lalu muncul pula seorang pemuda gagah perkasa yang menyelamatkan mereka. Maka, begitu mendengar bahwa pemuda itu ikut datang berkunjung bersama Bhe Koan Sui, empat orang pemimpin yang lain segera keluar dari rumah untuk menyambut.
“Kami adalah pemimpin para pejuang, sicu,” kata Bhe Koan Sui memperkenalkan, “Ini adalah kakak kami tertua bernama Ouwyang Koan dan ini kakak kedua bernama Ji Siok, kakak ketiga bernama Bang Kiu It, kakak keempat bernama Tang Giok dan aku sendiri saudara kelima bernama Bhe Koan Sui.”
Cin Po lalu memberi hormat kepada mereka semua dan dia dipersilakan masuk. Mereka memberi hormat kepadanya dengan suguhan arak, kemudian Ouwyang Koan bertanya dengan sikap yang menghormat.
“Tidak tahu, siapakah nama besar sicu?”
“Nama saya Sung Cin Po, paman.”
“Sicu masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang hebat menurut cerita para anak buah, sungguh mengagumkan sekali!” kata pula Ji Siok orang kedua.
“Ah, sama sekali tidak. Hanya kebetulan saja saya sudah mengenal Pat-jiu Pak-sian dan dapat saya bujuk agar tidak menyerang para pendekar. Akan tetapi kalau saya sendiri tidak cepat-cepat melarikan diri, mungkin saya juga akan celaka di tangannya. Datuk Utara itu adalah seorang yang sakti,” kata Cin Po merendah.
Hidangan lalu dikeluarkan dan Cin Po dijamu makan minum oleh ke lima saudara itu. Sambil makan minum Cin Po mendengarkan penuturan mereka mengapa mereka membentuk kelompok yang memusuhi pasukan Khi-tan.
“Sungguh sangat disesalkan bahwa kerajaan Sung begitu lemah,” kata Ouwyang Koan antara lain, “Bukan saja kerajaan Sung memperlihatkan kelemahannya untuk mengirim upeti sebagai tanda persahabatan kepada kerajaan Khi-tan, akan tetapi pemerintah juga menutup mata dan telinga, seolah tidak tahu betapa pasukan Khi-tan seringkali melanggar perbatasan dan mengganggu rakyat yang tinggal di perbatasan.
Melihat hal ini, kami merasa penasaran. Untuk melindungi rakyat tidak dapat diandalkan bantuan pemerintah, maka kami menghimpun saudara-saudara yang berjiwa patriot untuk mengadakan perlawanan setiap kali pasukan Khi-tan melanggar dan mengganggu rakyat.”
Mau tidak mau Cin Po merasa kagum bukan main. Ternyata dia berhadapan dengan orang-orang yang berjiwa pendekar patriot dan dia merasa malu kepada diri sendiri. Apa yang dia lakukannya untuk rakyat? Bahkan dia pernah menjadi perwira bangsa Khi-tan!
“Sungguh perbuatan yang patut dipuji. Ngo-wi (kalian berlima) adalah orang-orang gagah sejati. Saya ingin minum untuk menghargai kegagahan Ngo-wi itu!” Dia mengangkat cawan araknya dan disambut oleh lima orang itu dengan gembira.
“Sung-sicu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa. Mengapa sicu tidak bergabung saja dengan kami? Kalau ada sicu yang membantu, tentu perjuangan kami akan lebih berarti lagi! Kita melindungi rakyat, juga sekaligus menjunjung nama dan kehormatan kerajaan Sung agar jangan diinjak-injak oleh orang-orang Khi-tan!” kata Bhe Koan Sui.
“Terima kasih, paman. Kiranya belum saatnya sekarang bagi saya untuk membantu perjuangan karena saya masih mempunyai banyak urusan pribadi yang harus diselesaikan. Oya, kebetulan sekali saya bertemu dengan paman berlima. Sebetulnya kedatangan saya ke daerah ini adalah untuk mencari seorang yang sudah lama saya cari. Barangkali ngo-wi (anda berlima) dapat memberi petunjuk kepada saya ke mana saya harus mencari orang itu.”
“Ah, tentu kami akan suka sekali membantu, Sung-sicu!” kata Bhe Koan Sui dengan gembira. Agaknya dia akan merasa gembira sekali kalau dapat melakukan sesuatu untuk membantu orang muda yang gagah itu untuk membalas budi. “Siapakah nama orang yang kaucari itu?”
“Itulah sulitnya, saya sendiri tidak tahu siapa namanya, akan tetapi saya tahu bahwa dia berjuluk Hek-siauw Siucai. Apakah di antara ngo-wi ada yang mengenalnya?”
Semua orang terbelalak memandang kepada Cin Po. “Sung-sicu, tentu saja kami mengenal orang itu. Ada keperluan apakah sicu mencari dia?” tanya Bhe Koan Sui dengan suara agak gemetar.
“Saya mempunyai perhitungan yang harus diselesaikan dengan orang itu. Di mana saya dapat menemukan Hek-siauw Siucai?”
“Di sini! Akulah Hek-siauw Siucai Bhe Koan Sui!” kata sasterawan itu sambil memandang dan wajahnya sedikit pucat.
Kini Cin Po yang terbelalak dan dia bangkit dari kursinya, memandang tajam ke arah lima orang yang berhadapan dengan dia terhalang meja itu. “Ahhhh, begitukah? Kalau begitu ngo-wi ini adalah apa yang disebut Huang-ho Ngo-liong?”
“Benar sekali! Sung sicu, ada urusan apakah engkau dengan adik kami yang termuda itu?” tanya Ouwyang Koan dengan pandang mata penuh selidik.
“Urusan hutang nyawa bayar nyawa!” kata Cin Po, kini suaranya terdengar ketus dan marah karena dia teringat akan ibunya.
Orang di depannya ini adalah pembunuh ayahnya yang membuat dia sejak kecil mengenakan pakaian berkabung! Ibunya melarang dia mengenakan pakaian berwarna karena ini, dan sebelum dia dapat membalas dendam kematian ayahnya dia tidak boleh melepaskan perkabungannya.
“Hek-siauw Siucai, cabutlah senjatamu dan mari kita selesaikan hutang piutang nyawa ini!”
“Nanti dulu, Sung sicu. Aku tidak mengerti. Aku berhutang nyawa siapakah? Seingatku, yang pernah kubunuh hanyalah para penjahat dan aku tidak percaya bahwa engkau adalah putera seorang penjahat! Tentu saja aku berani mempertanggung-jawabkan perbuatanku! Katakan siapa ayahmu agar dapat kuingat apakah benar aku telah membunuhnya!”
Hek-siauw Siucai bersikap gagah dan sedikitpun tidak kelihatan gentar melainkan penasaran, dan pertanyaan itu membuat Cin Po bingung karena dia sendiri juga tidak tahu siapa ayahnya!
“Aku tidak dapat mengatakan siapa nama ayahku, akan tetapi ibuku yang menyuruh aku membalas dendam kepada Hek-siauw Siucai. Kalau engkau benar Hek-siauw Siucai, majulah dan mari kita selesaikan urusan ini. Aku hanya menaati perintah ibuku!” kata Cin Po sambil mendorong kursinya dan melangkah mundur mencari tempat yang luas.
“Nanti dulu, sicu. Aku bukan orang yang tidak bertanggung jawab. Sebelum kita bertanding menentukan mati hidup, aku harus tahu lebih dulu dengan siapa aku bertanding dan untuk urusan apa. Siapakah ibumu yang menyuruh engkau membunuhku itu? Mungkin aku mengenalnya!”
“ibuku bernama Sung Bi Li!”
Hek-siauw Siucai mengerutkan alisnya. “Bantulah aku. Aku tidak ingat nama itu, akan tetapi di mana ibumu tinggal?”
“Ibu adalah murid kepala dari Thian-san-pang!”
Mata sasterawan itu terbelalak, lalu dia teringat semuanya, peristiwa yang terjadi kurang lebih duapuluh satu tahun yang lalu. Ketika itu dia masih muda dan masih berwatak keras. Karena pada suatu hari dia salah paham dengan ketua Thian-san-pang maka terjadi perkelahian dan dia dikalahkan oleh ketua Thian-san-pang yang bernama Tiong Gi Cinjin. Kekalahan ini membuatnya penasaran sekali dan dia lalu berlatih keras untuk menebus kekalahannya itu.
Dan pada suatu hari, duapuluh satu tahun yang lalu, dia naik ke Thian-san untuk mencari Tiong Gi Cinjin di Thian-san-pang. Akan tetapi dia bertemu dengan Sung Bi Li, murid kepala Thian-san-pang karena Tiong Gi Cinjin kebetulan tidak berada di rumah.
“Ahhh, tentu saja aku ingat. Murid kepala Thian-san-pang itu ibumu? Ketika itu ia belum menikah. Akan tetapi mengapa ia menyuruh engkau membunuhku? Memang benar ia pernah kalah olehku, akan tetapi sungguh aneh sekali kalau hanya karena kekalahan itu, ia menyuruh puteranya membunuhku?”
“Ibu menyuruh aku membunuhmu untuk membalaskan kematian ayahku! Engkau yang membunuh ayahku, maka engkau harus menebusnya dengan nyawamu sekarang. Aku hanya menaati ibuku, maka engkau atau aku yang hari ini akan mati menyusul mendiang ayah!”
“Nanti dulu, orang muda. Ada sesuatu yang janggal di sini. Ketika aku bertemu dan bertanding dengan ibumu, ia masih belum menikah. Bagaimana mungkin aku membunuh ayahmu? Dengarlah, biar kuceritakan dari semula. Setahun sebelum aku bertemu ibumu, aku telah dikalahkan dalam pertandingan melawan Tiong Gi Cinjin, ketua Thian-san-pang. Dalam setahun aku berlatih tekun untuk membalas kekalahanku itu.”
“Ah, sikapmu itu keterlaluan, Ngo-te. Kalah dalam pertandingan adalah soal biasa,” Ouwyang Koan mencela adiknya.
“Toako, ketika itu usiaku masih muda sekali, masih belum sanggup menerima kekalahan. Nah, kulanjutkan ceritaku. Setelah berlatih dengan tekun selama setahun, pada suatu hari aku berkunjung ke Thian-san-pang untuk mencari Tiong Gi Cinjin. Akan tetapi, Tiong Gi Cinjin tidak ada, yang ada hanya murid kepalanya, yaitu ibumu.
“Sung Bi Li marah mendengar aku ingin menantang gurunya. Kami lalu bertanding. Aku tidak ingin mencelakai ibumu maka aku hanya menotoknya. Siapa kira, para murid Thian-san-pang marah dan mengepungku. Aku tidak berani melawan murid Thian-san-pang yang demikian banyaknya itu, lalu untuk menyelamatkan diri, aku menyandera ibumu.
“Dalam keadaan tertotok pingsan ibumu kularikan sampai aku terbebas dari kepungan. Aku lalu melepaskan ibumu yang pingsan itu di lereng Thian-san dan pergi meninggalkannya. Nah, hanya itulah yang terjadi. Kalau kini aku dituduh membunuh ayahmu, sungguh suatu penasaran besar apa lagi engkau tidak dapat menerangkan siapa nama ayahmu yang katanya kubunuh itu...”