Pendekar Baju Putih Jilid 16 karya Kho Ping Hoo - Tentu saja Cin Po menjadi bingung. Dia bukan seorang pemuda yang singkat pandangan. Dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan siucai itu. Akan tetapi bagaimana lagi? Dia harus memenuhi perintah ibunya. Bagaimanapun juga, dia tidak mungkin dapat meragukan kata-kata ibunya. Mungkinkah ibunya berbohong? Tidak mungkin! Maka dia lalu melangkah mundur.
“Hek-siauw Siucai, apapun yang kau katakan, aku tetap akan menantangmu. Bagaimanapun juga, aku lebih percaya kepada ucapan ibuku yang memesan dengan keras agar aku membunuhmu demi membalas kematian ayahku!”
Mendengar ucapan itu, Tang Giok yang pendek gendut itu melompat dari tempat duduknya. “Orang muda, kalau engkau tidak mau mendengarkan kata-kata adikku yang cukup beralasan, berarti engkau hendak mencari perkara.”
“Su-ko, biarlah aku menghadapinya sendiri,” kata Hek-siauw Siucai Bhe Koan Sui. “Bagaimanapun aku juga sudah curiga kepadanya. Dia mengenal baik Pat-jiu Pak-sian dan dia mampu menghentikan serangan orang-orang Khi-tan. Aku kini bahkan mencurigainya bahwa dia adalah seorang mata-mata Khi-tan yang bertugas menyelidiki kita dan kini hanya berdalih kosong hendak membalas dendam kematian ayahnya.
“Mana mungkin orang membalas dendam kematian ayahnya yang tidak diketahui siapa namanya? Sung Cin Po, kalau engkau menghendaki kematianku, mari majulah!” Berkata demikian, Hek-siauw Siucai lalu melompat ke depan dan melintangkan sulingnya di depan dada, siap untuk bertanding.
Cin Po menjadi semakin ragu mendengar itu semua, akan tetapi dia serba salah. Setelah kini bertemu orang yang dicari-cari, mana mungkin pembalasan dendam tidak dilanjutkan, dan apa nanti jawabannya kepada ibunya kalau dia pulang?
Diapun tidak berani memandang rendah lawan. Biarpun dia merasa yakin bahwa dengan tangan kosongpun dia akan mampu menang, namun untuk menghormati lawan dia lalu menghunus pedangnya. Nampak sinar putih kemerahan berkelebat ketika pedang Yang-kiam dicabutnya.
Hek-siauw Siucai tidak menjadi gentar melihat pedang pusaka ampuh ini. “Sung Cin Po, engkau yang menantangku, maka mulailah!”
Cin Po mengelebatkan pedangnya menyerang dengan tusukan. Bhe Koan Sui mengelak dan membalas serangan itu dengan sulingnya. Ternyata suling itu digerakkan seperti pedang karena dia memang memainkan Go-bi-kiam-sut yang hebat.
Sulingnya menjadi gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara mengaung-ngaung ketika dipakai menyerang. Akan tetapi tentu saja bagi Cin Po yang sudah memiliki kesaktian, gerakan siucai itu nampak masih terlampau lamban. Dia lalu mengimbangi dengan pedangnya yang menjadi gulungan sinar putih kemerahan.
“Trang-trangg-trangg…!!” Ketika pedang bertemu suling berulang kali, Hek-siauw Siucai berjungkir balik ke belakang karena dia terdorong oleh tenaga raksasa yang membuatnya terlempar ke belakang.
Selagi lawan berjungkir balik ke belakang, Cin Po mengejar dan berseru, “Hek-siauw Siucai, rasakan pembalasanku!”
“Traanggg…!” Pedangnya ditangkis oleh pedang di tangan Tang Giok.
“Engkau mau membunuh adikku? Harus melampaui mayatku lebih dulu!” katanya dan dia menyerang dengan pedangnya.
Gerakannya juga dahsyat sekali karena ilmu pedangnya Go-bi-kiam-sut digerakkan secara hebat. Tiga orang kakak yang lain juga sudah mencabut pedang dan kini mereka semua mengepung Cin Po.
“Orang muda, kalau benar engkau mata-mata Khi-tan, terpaksa kami akan mengeroyokmu! Engkau musuh kami dan setiap orang mata-mata Khi-tan harus mati di tangan kami!”
Setelah berkata demikian lima orang itu serentak maju mengeroyok! Hek-siauw Siucai tidak percaya bahwa pemuda itu hendak membalas dendam, dan yakin bahwa dia tentu mata-mata Khi-tan, mungkin sekutu Pat-jiu Pak-sian yang lihai. Oleh karena itu, diapun tidak raga-ragu lagi untuk mengeroyok karena mata-mata Khi-tan adalah musuh yang harus dibunuh!
Terjadilah perkelahian yang amat seru. Setelah dikeroyok lima barulah keadaannya agak seimbang. Lima orang Huang-ho Ngo-liong itu terkejut bukan main. Mereka berlima maju bersama, namun tetap saja mereka tidak mampu mendesak, pemuda itu memiliki gerakan yang luar biasa sekali.
Ilmu silatnya tinggi dan gerakannya seperti seekor burung saja. Apa lagi pedangnya demikian hebat sehingga dalam beberapa gebrakan saja pedang Tang Giok dan pedang Ji Siok yang berani beradu secara langsung telah patah menjadi dua potong!
Cin Po tidak mau memperpanjang perkelahian itu. Dia hanya ingin membunuh Hek-siauw Siucai seperti yang dipesan ibunya dan dia tidak mau membunuhi orang-orang gagah yang patriotik itu. Maka, dia lalu mengerahkan khi-kang dan kekuatan sihirnya, lalu membentak dengan suara nyaring sekali. Lima orang itu seketika lumpuh dan roboh bergelimpangan! Tentu saja mereka terkejut setengah mati menghadapi serangan melalui bentakan aneh itu.
“Hek-siauw Siucai, pilihlah. Engkau ingin membunuh diri sendiri atau terpaksa harus aku yang membunuhmu?”
Empat orang kakaknya berlutut dan menghadap Cin Po. “Kalau hendak membunuh, bunuhlah kami semua! Kami yakin bahwa adik kami tidak bersalah. Kalau memang dia bersalah, tidak usah engkau datang menghukumnya, kami sendiri yang akan menghukum. Kami berpantang melakukan segala bentuk kejahatan! Kami sudah kalah, mau bunuh cepatlah bunuh, kami tidak takut mati!”
Hek-siauw Siucai bangkit berdiri. “Ke empat koko, jangan berbuat bodoh. Dia menghendaki kematianku, biarlah aku mati di depannya agar dia tidak mengganggu kalian lagi. Aku sudah kalah dan aku layak mati!” Berkata demikian, Hek-siauw Siucai menggerakkan sulingnya menghantam kepalanya sendiri.
“Tranggg......!!” Suling itu terlepas dari tangannya, mencelat entah ke mana. Ternyata suling itu tadi ditangkis oleh Cin Po! Melihat sikap mereka, Cin Po semakin ragu bahwa Hek-siauw Siucai memang bersalah.
Dia harus tanya lagi kepada ibunya dengan jelas. Kelak masih belum terlambat mencarinya untuk membunuhnya setelah ibunya memberi penjelasan. Dia harus tahu siapa nama ayahnya dan bagaimana ayahnya sampai terbunuh oleh Hek-siauw Siucai.
“Orang muda, kenapa engkau lakukan itu?” tanya Hek-siauw Siucai dengan heran dan juga penasaran. “Jangan mengira aku pengecut dan penakut. Biarlah aku mati agar ke empat kakakku tidak kauganggu lagi. Apakah engkau hendak menghinaku dengan mencegah aku membunuh diri?”
Cin Po menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Sikap kalian yang gagah perkasa meragukan hatiku dan aku akan bertanya lagi kepada ibuku. Kalau sudah yakin, barulah aku akan mencarimu lagi!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Cin Yo lenyap dari depan mereka.
“Orang muda yang sakti!” kata Tang Giok.
Ouwyang Koan memandang kepada adiknya yang termuda. “Ngo-te, sesungguhnya apakah yang telah kau lakukan terhadap ibunya atau ayahnya? Aku melihat pemuda itu seorang yang gagah perkasa dan kiranya tidak mungkin dia menjadi mata-mata Khi-tan.”
“Toako, yang kuceritakan tadi adalah benar. Aku berani bersumpah. Apakah toako juga percaya bahwa aku telah membunuh orang tanpa berani bertanggung jawab? Ketika aku bertemu ibu kandung pemuda itu, ia masih gadis. Bagaimana aku tahu-tahu didakwa telah membunuh suami gadis itu yang sama sekali aku tidak kenal? Dan yang amat mencurigakan, bagaimana pemuda itu sendiri tidak mengetahui nama ayah kandungnya? Aku yakin terdapat rahasia yang aneh dalam urusan ini.”
“Kita berharap saja dia akan mendapatkan keterangan yang benar sehingga dia tidak akan mencari kita lagi. Ilmu kepandaiannya sungguh hebat dan dia memiliki tenaga mujijat untuk mengalahkan kita. Kita sama sekali bukan lawan pemuda aneh itu,” kata pula Ouwyang Koan.
“Kita tidak perlu takut, toako. Yang penting, aku tidak bersalah. Soal mati hidup adalah permainan kita sehari-hari, bukan? Tidak mengapa mati, asal mati tidak dalam kesalahan, melainkan dalam kebenaran,” kata Hek-siauw Siucai dengan sikap yang gagah.
Para kakaknya mengangguk membenarkan. Mereka adalah pejuang-pejuang membela rakyat dan dalam setiap pertempuran melawan pasukan Khi-tan, mereka selalu mempertaruhkan nyawa.
Dengan keberanian luar biasa Hui Ing akhirnya tiba juga di lereng Bukit Menjangan. Pada hal, sepanjang jalan dara ini mendengar keterangan bahwa bukit itu keramat dan ditakuti semua orang. Di puncak bukit terdapat serombongan orang yang galak dan berilmu tinggi. Yang Kim Sun yang melakukan perjalanan bersamanya, menyatakan kekhawatirannya.
“Sun-ko, See-thian Tok-ong itu lihai bukan main. Kukira sebaiknya engkau menanti di lereng ini, biar aku saja yang menemuinya. Jadi, aku tidak perlu harus melindungimu kalau ada bahaya mengancam. Percayalah kepadaku, dia sakti dan ahli sihir.”
Kim Sun menurut dan menanti di lereng itu. Hui Ing tidak memperdulikan peringatan penduduk dusun itu. Mereka boleh jadi takut kepada See-thian Tok-ong, akan tetapi ia justeru ingin bertemu dengan datuk itu. Ia melangkah dengan waspada karena tahu bahwa ia telah memasuki daerah kekuasaan datuk itu.
Tiha-tiba terdengar suara suitan bersambung-sambung dan segera dibalas oleh suitan dari arah lain. Tahu-tahu Hui Ing telah terkepung. Ia memilih padang rumput yang luas agar mendapatkan tempat yang leluasa kalau sampai terjadi pengeroyokan nanti dan ia berdiri menanti.
Tidak lama kemudian, dari segala penjuru bermunculan orang-orang yang berpakaian hitam mengepungnya. Jumlah mereka ada tujuhbelas orang. Dan mereka semua memegang senjata tajam, dengan sikap mengancam memperkecil lingkaran mereka mengepung Hui Ing.
“Siapakah engkau, nona? Memasuki wilayah kami tanpa ijin!” bentak seorang di antara mereka.
Dengan sikap tenang Hui Ing memandang ke sekeliling, memutar tubuhnya dengan tangan menuding ke arah mereka semua. “Apakah kalian tidak dapat melihat? Aku adalah seorang gadis berkepala harimau!”
Terdengar gadis itu mengeluarkan suara auman seperti harimau dan tujuhbelas orang itu mundur dengan mata terbelalak ketakutan. “Siluman…!” Mereka berseru dan hendak lari karena mereka melihat bahwa Hui Ing benar-benar menjadi seorang gadis yang berkepala harimau!
“Jangan lari!” Terdengar bentakan dan muncullah Kang-siauw Tai-hiap Kam Song Kui, murid See-thian Tok-ong.
Bentaknya mengandung khi-kang kuat sehingga Hui Ing melepaskan kekuatan sihirnya. Di antara para pengepung itu terdapat bekas anak buah Tok-coa-pang dan kini ada yang mengenal Hui Ing lalu berseru nyaring.
“Ia adalah gadis yang telah membunuh Tok-coa Pang-cu berdua!”
Kam Song Kui juga teringat. Gadis ini bersama Sung Cin Po pernah ditawan oleh gurunya, akan tetapi kemudian tertolong secara aneh oleh angin berpusing. Mendengar gadis ini yang telah membunuh kakak beradik Coa, ketua dan wakil ketua Tok-coa-pang, Kam Song Kui memberi perintah. “Tangkap gadis ini!!”
Dia sendiri sudah menerjang maju dengan suling bajanya. Hui Ing menangkis dan mengamuk, karena tujuhbelas anak buah itupun agaknya hendak berlomba untuk menangkapnya. Hui Ing mencabut pedang Im-kiam dan pedang itu mengeluarkan sinar putih seperti perak yang bergulung-gulung seperti seekor naga putih mengamuk.
“Ada apa ribut-ribut ini?” terdengar bentakan dan muncullah See-thian Tok-ong bersama Ban Koan. Melihat munculnya dua orang ini, Hui Ing juga berteriak. “Tahan senjata! Aku ingin bicara dengan See-thian Tok-ong!”
See-thian Tok-ong memberi isyarat agar orang-orangnya menghentikan pengeroyokan. Dia memandang dengan senyum mengejek, sedangkan Ban Koan memandang dengan wajah ketakutan.
“Nona muda, engkau hendak bicara apakah denganku?” tanya See-thian Tok-ong.
Biarpun menghadapi datuk barat yang ia tahu amat sakti, Hui Ing tidak menjadi gentar. Dengan berani ia menentang sinar mata orang tinggi besar bermuka hitam dan bersorban itu, dan dari pertemuan sinar mata ini saja ia tahu bahwa datuk inipun memiliki kekuatan mujijat dari ilmu hitam, yang amat berwibawa dan mempunyai pengaruh yang tidak wajar. Namun, ia mengangkat mukanya dan berkata dengan suara lantang dan dingin.
“See-thian Tok-ong, engkau adalah seorang datuk dari barat dan selamanya tidak mempunyai urusan dengan Thian-san-pang. Aku adalah Kwan Hui Ing, puteri mendiang ketua Thian-san-pang. Kini aku datang untuk menangkap Ban Koan karena dia adalah seorang murid Thian-san-pang yang murtad, seorang pengkhianat keji. Aku mengharap engkau orang tua tidak akan mencampuri urusan dalam Thian-san-pang dan membiarkan aku menangkap Ban Koan ini!” Ia menudingkan telunjuknya kepada Ban Koan yang menjadi pucat.
“Suhu, gadis ini yang telah membunuh kakak beradik Coa dari Tok-coa-pang!” tiba-tiba Kam Song Kui berkata kepada gurunya.
Mendengar ini, alis yang tebal dan panjang itu berkerut, dan dia bertanya dengan suara dalam. “Benarkah, engkau telah membunuh ketua dan wakil ketua Tok-coa-pang, nona?”
“Benar, karena mereka bersekongkol dengan Ban Koan dan merampas Thian-san-pang!” jawab Hui Ing dengan berani.
“Hemm, kedua orang kakak beradik Coa adalah sahabat kami, engkau telah membunuh mereka. Maka aku tidak dapat mengampunimu dan engkau sudah selayaknya dibunuh!”
Akan tetapi sebelum See-thian Tok-ong turun tangan, Ban Koan sudah mendekatinya. “Locianpwe, harap jangan bunuh ia, akan tetapi tawan saja. Dengan ia menjadi tawanan kita, kita dapat memaksa mereka menyerahkan kembali Thian-san-pang!”
See-thian Tok-ong mengangguk-angguk dan tertawa bergelak. “Nona, mulai sekarang engkau menjadi tawananku. Menyerah dan berlututlah engkau nona muda!” Setelah berkata demikian, tangannya membuat gerakan. memerintah dan sinar matanya mencorong menatap wajah Hui Ing.
Akan tetapi, diam-diam Hui Ing juga sudah mengerahkan tenaga sihirnya menolak pengaruh yang keluar dari pandang mata, suara dan gerakan tangan kakek tinggi besar itu. “See-thian Tok-ong, aku tidak akan menyerah, apa lagi berlutut kepadamu!”
See-thian Tok-ong terkejut bukan main. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan bentakan nyaring. Diserang dengan tenaga sihir seperti ini, lawan biasanya akan merasa lumpuh dan roboh. Akan tetapi gadis itu berdiri tegak, matanya mencorong, bahkan ia melintangkan Im-kiam di depan dadanya dengan sikap menantang.
Sekarang maklumlah See-thian Tok-ong bahwa gadis itu memang memiliki kekebalan terhadap pengaruh sihirnya, maka dia menjadi penasaran dan juga malu. Diambilnya pedang melengkung yang menempel di punggungnya dan diapun menggereng sambil menerjang ke arah Hui Ing dengan gerakan seperti angin puyuh. Hui Ing menggerakkan pedang Im-kiam untuk menangkis dan balas menyerang.
Akan tetapi dalam hal ilmu pedang, biarpun ilmu pedang Thian-san-kiam-sut yang dimainkannya telah disempurnakan dengan petunjuk Bu-beng Lo-jin, tetap saja dara itu masih belum mampu menandingi See-thian Tok-ong yang sudah banyak pengalaman dan yang memiliki sin-kang amat kuat itu. Apa lagi ke dua tangannya dapat mulur sehingga beberapa kali Hui Ing terkejut karena tidak mengira bahwa pedang itu dapat menjadi panjang karena tangan yang mulur.
Betapapun juga, dengan gigihnya ia membela diri dan dapat menahan desakan kakek itu sampai limapuluh jurus. Akhirnya, tangan kiri See-thian Tok-ong mulur dan dapat mencengkeram pundak Hui Ing, lalu menotoknya dan gadis itu roboh terguling.
Ban Koan yang sudah siap cepat meringkus dan membelenggu kedua tangannya dengan kuat sekali. Dia merasa girang bukan main karena telah mendapatkan jalan untuk merampas kembali Thian-san-pang dari tangan Sung Bi Li, yaitu dengan menjadikan gadis ini sebagai sandera!
Dia tahu benar akan sifat mata keranjang Kam Song Kui, maka karena tidak ingin gagal mendapatkan kembali kedudukannya sebagai ketua Thian-san-pang, dia sendiri yang menjaga agar gadis itu tidak diganggu oleh murid See-thian Tok-ong itu.
Tak lama kemudian, berangkatlah Ban Koan, See-thian Tok-ong dan Kam Song Kui menuju ke Thian-san, membawa Hui Ing sebagai tawanan. Mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa perjalanan mereka dibayangi seseorang, dan orang itu bukan lain adalah Yang Kim Sun.
Pemuda ini terkejut melihat Hui Ing menjadi tawanan, akan tetapi dia seorang yang cerdik, tidak nekat mencoba untuk menyerang mereka. Dia tahu bahwa kalau Hui Ing saja tertawan, apa lagi dia. Maka, dia hanya membayangi saja dari jauh.
Sung Bi Li menyambut puteranya dengan kecewa dan marah. “Apa katamu? Engkau sudah berhadapan dengan Hek-siauw Siucai dan tidak membunuhnya? Bagaimanakah engkau ini? Aku bersusah payah mendidikmu hanya dengan satu tujuan ini, yaitu membunuh musuh besar itu. Dan sekarang engkau mengatakan bahwa engkau tidak dapat membunuhnya?”
Sung Bi Li berkata gemas, wajahnya berubah merah. Sudah duapuluh tahun ia menanti saat yang dinanti-nanti ini, yaitu mendengar bahwa puteranya telah dapat membunuh musuh besarnya, dan apa kenyataannya?
“Harap ibu suka menenangkan hati, ibu. Dengarkanlah dulu penjelasanku,” kata Cin Po dengan lembut. “Sama sekali aku tidak bermaksud untuk tidak mentaati perintah ibu, sama sekali tidak bermaksud untuk mengecewakan hati ibu. Akan tetapi, ibu, setelah bertemu dengan Hek-siauw Siucai, aku menghadapi kenyataan yang mengejutkan.
“Hek-siauw Siucai dan empat orang kakaknya, yang terkenal dengan sebutan Huang-ho Ngo-liong, adalah pendekar-pendekar sejati, patriot-patriot gagah perkasa yang membela rakyat dari pengacauan orang-orang Khi-tan di perbatasan. Mereka sama sekali bukan penjahat!”
“Penjahat atau bukan, Hek-siauw Siucai telah membunuh ayahmu, dan dia harus dibalas!” bentak Bi Li yang masih kecewa.
“Justeru itulah yang membingungkan hatiku, ibu. Dia bersumpah bahwa dia tidak mengenal ayah kandungku, tidak merasa telah membunuhnya. Dan dia kulihat bukan seorang yang suka berbohong, orangnya gagah perkasa, seorang pendekar sejati.”
“Cukup! Apakah engkau lebih percaya dia dari pada ibumu sendiri? Dia bohong kalau mengatakan tidak mengenal, apakah dia juga berkata tidak mengenal aku?”
“Dia bertanya siapa ibu dan aku sudah memberitahukan, dan dia mengaku mengenal ibu. Bahkan dia menduga apakah ibu mendendam kepadanya karena ibu pernah dikalahkan olehnya? Setahu dia, ibu belum bersuami ketika itu. Maka, aku pulang dulu untuk minta penjelasan kepadamu, ibu. Siapakah sebenarnya nama ayahku? Ketika aku ditanya siapa ayahku, aku tidak dapat menjawab!
“Setelah aku mengetahui nama ayahku, baru aku akan kembali kepada Hek-siauw Siucai dan kutanyakan kepadanya. Siapa ayahku dan bagaimana sampai dia tewas di tangan Hek-siauw Siucai?”
Ditanya demikian, tiba-tiba Bi Li menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis. Cin Po menjadi bingung sekali, akan tetapi pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar. Seorang anggauta Thian-san-pang berlari masuk dengan muka pucat.
“Pang-cu.... ada…. ada Ban Koan datang berkunjung…!” katanya.
Mendengar ini, Bi Li menghentikan tangisnya dan bersama Cin Po ia melangkah keluar. Dan di luar ternyata telah berdiri Ban Koan dan See-thian Tok-ong bersama muridnya Kam Song Kui. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Hui Ing telah menjadi tawanan mereka!
Gadis itu diikat ke dua tangannya dan Ban Koan yang berdiri di dekatnya menempelkan sebatang pedang di leher gadis itu! Tentu saja Bi Li dan Cin Po terkejut sekali, akan tetapi melihat Hui Ing dalam ancaman maut dan di situ terdapat pula datuk sakti See-thian Tok-ong, mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
“Ban Koan, apa yang kau lakukan itu?” bentak Sung Bi Li.
Ban Koan tertawa. “Ha-ha, sumoi, kaukira aku sudah kalah? Lihat, Hui Ing sudah berada di ujung pedangku. Kembalikan Thian-san-pang kepadaku dan aku tidak akan membunuh Hui Ing. Berjanjilah bahwa engkau menyerahkan Thian-san-pang kepadaku dan selamanya tidak akan menuntut, atau kalau tidak, gadis ini akan kubunuh lebih dulu baru kemudian kalian semua akan tewas!”
Dengan adanya See-thian Tok-ong di situ, Hui Ing tidak dapat mempengaruhi Ban Koan dengan sihirnya dan ia benar-benar tidak berdaya. Diam-diam Cin Po memutar otaknya. Dia membiarkan ibunya berbantahan dengan Ban Koan. Bi Li memaki-maki Ban Koan sebagai seorang pengkhianat tak tahu malu.
Tiba-tiba Cin Po menudingkan telunjuknya ke arah See-thian Tok-ong. “See-thian Tok-ong, semua ini gara-gara engkau, dan aku akan membuat perhitungan denganmu, Ing-moi, lawanlah!”
Dan tanpa menanti lebih lanjut, Cin Po sudah menggunakan pedang Yang-kiam untuk menyerang See-thian Tok-ong. Serangannya sungguh dahsyat sekali sehingga datuk itu terpaksa mencurahkan seluruh perhatiannya, mencabut pedang melengkungnya dan menangkis. Segera ke duanya terlibat dalam pertandingan yang amat seru.
Melihat See-thian Tok-ong sudah sibuk melawan kakaknya, Hui Ing memandang kepada Ban Koan, “Ban Koan, ular di tanganmu itu menyerang dirimu sendiri. Lihat!”
Ban Koan berteriak melihat betapa pedangnya berubah menjadi ular yang kini membalik dan hendak mematuknya. Terpaksa dia melompat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Hui Ing untuk meloncat ke dekat ibunya. Bi Li menggerakkan pedangnya membabat putus ikatan tangan Hui Ing.
Akan tetapi, pada saat itu Kang-siauw Taihiap Kam Song Kui juga sudah menggerakkan suling bajanya menyerang Hui Ing yang baru saja terlepas ikatan tangannya. Serangan itu hebat sekali datangnya dan Bi Li menangkis dengan pedangnya untuk melindungi puterinya.
“Traaggg.....!” Bi Li terhuyung ke belakang dan merasa betapa tangannya seperti lumpuh. Kam Song Kui melanjutkan serangannya kepada Hui Ing yang masih kaku ke dua tangannya karena lama dibelenggu. Hui Ing terpaksa melempar tubuh kebelakang dan bergulingan untuk menghindarkan diri dari hujan serangan yang dilakukan Kam Song Kui kepadanya.
Dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba muncul Yang Kim Sun menerjang Kam Song Kui. Kam Song Kui terkejut dan cepat mengalihkan penyerangannya kepada pemuda Kun-lun-pai ini sehingga mereka bertempur dengan seru dan hebatnya.
Sementara itu, Hui Ing merasa girang melihat munculnya kawan baru itu dan ia mengurut-urut kedua pergelangan tangannya untuk melancarkan darahnya. Ia melihat betapa pedangnya Im-kiam yang tadi dipergunakan Ban Koan untuk menodongnya telah terlempar dari tangan Ban Koan yang ketakutan melihat pedang itu beruhah menjadi ular dan secepat kilat Hui Ing lalu melompat ke arah pedang yang menggeletak di atas tanah itu dan mengambilnya.
Hui Ing yang melihat betapa Cin Po bertanding dengan See-thian Tok-ong yang amat sakti dan berbahaya, lalu membantu kakaknya itu karena ia melihat bahwa Yang Kim Sun agaknya mampu mengimbangi permainan suling Kam Song Kui.
Ban Koan sudah tidak terpengaruh sihir lagi. Kini dia menghadapi Bi Li. Melihat anak buah Thian-san-pang masih mengepung tempat itu, dia lalu memberi perintah, “Kawan-kawan aku datang kembali untuk memimpin kalian. Hayo tangkapi orang-orang ini!”
Akan tetapi, para anggauta Thian-san-pang tidak ada yang bergerak mentaati perintahnya, bahkan mereka memandang kepada Ban Koan dengan sinar mata penuh kebencian.
“Ban Koan, tidak perlu engkau membujuk anggauta kami, sia-sia saja. Mereka tidak mau kau bawa menyeleweng lagi. Riwayatmu sudah tamat, pengkhianat!” Bi Li lalu menyerang dengan pedangnya, menusukkan pedangnya ke arah dada Ban Koan.
Ban Koan menangkis dan meloncat ke belakang. “Sumoi, aku tidak ingin membunuhmu!” katanya, akan tetapi sebagai jawaban Bi Li menyerang lagi dengan penuh kebencian. Mereka lalu bertanding dengan hebat.
Sebetulnya, dalam hal ilmu pedang Thian-san-kiam-sut, tingkat Bi Li lebih tinggi dari pada Ban Koan. Akan tetapi sejak Ban Koan menjadi anggauta Tok-coa-pang dan mempelajari ilmu dari perkumpulan itu, juga dia memakai baju kebal senjata, maka kalau dia menghendaki, tentu dia akan dapat membuat Bi Li roboh. Akan tetapi kenyataannya dia memang tidak ingin membunuh Bi Li, bahkan melukaipun tidak. Sampai sekarang dia mencinta Bi Li!
Sebetulnya pertandingan antara See-thian Tok-ong melawan Cin Po amat seru dan seimbang. Biarpun Cin Po sudah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin, bahkan ilmu-ilmu itu menjadi sempurna setelah dia menerima petunjuk Bu Beng Lojin.
Akan tetapi yang dia lawan adalah See-thian Tok-ong seorang datuk barat yang sakti. Apa lagi See-thian Tok-ong memiliki ilmu hitam yang amat kuat, yang besar sekali pengaruhnya dalam gerakan silatnya, maka Cin Po harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk dapat mengimbangi datuk sesat itu.
Akan tetapi, begitu Hui Ing menyerbu masuk membantunya, terjadi ketidak-seimbangan dan mulailah See-thian Tok-ong terdesak. Terutama sekali ketika dua orang muda itu tidak hanya menggunakan pedang mereka mendesak, sepasang pedang Im-yang Siang-kiam yang ampuh, akan tetapi juga mereka menggunakan tangan kiri menyerang dengan Ngo-heng-sin-kun. Dari tangan kiri mereka itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat.
Ketika dalam keadaan terdesak itu tangan kiri Cin Po sempat mengenai dada See-thian Tok-ong, kakek itu terjengkang. Dia berjungkir balik beberapa kali dan setelah menginjak tanah, ternyata ujung bibirnya berdarah, tanda bahwa dia muntah darah dan sudah menderita luka dalam.
Maklum bahwa keadaan dapat berbahaya baginya, See-thian Tok-ong membanting sebuah benda yang mengakibatkan tempat itu digulung asap hitam yang tebal. See-thian Tok-ong juga melihat keadaan muridnya yang belum mampu mengalahkan lawannya, maka dia menerjang ke depan dan memegang tangan muridnya lalu diajak lari di balik asap tebal.
Tidak mungkin mengejar See-thian Tok-ong dalam keadaan seperti itu, dapat berbahaya sekali, maka Cin Po segera melompat mendekati ibunya yang masih bertanding melawan Ban Koan.
“Ibu, biarlah aku yang menghadapi pengkhianat ini!” kata Cin Po. Dia melangkah maju.
Ban Koan yang menjadi ketakutan itu terbelalak. Tak disangkanya sama sekali bahwa See-thian Tok-ong dan Kam Song Kui meninggalkannya begitu saja. Tadinya dia mengharapkan bantuan anak buah Thian-san-pang, akan tetapi anak buah itu sama sekali tidak taat lagi kepadanya. Dan setelah See-thian Tok-ong dan muridnya pergi meninggalkannya seorang diri tentu saja dia menjadi ketakutan sekali.
Habislah semua harapannya untuk berkuasa kembali di Thian-san-pang dan kini dia malah dihadapi Cin Po yang ditakutinya! Dengan nekat Ban Koan lalu menggerakkan pedangnya menyerang Cin Po. Cin Po menangkis dengan Yang-kiam.
“Trakkk....” Pedang di tangan Ban Koan patah menjadi dua potong. Ban Koan mundur-mundur dan wajahnya pucat sekali. “Tidak... jangan….! Cin Po, jangan bunuh aku…. jangan bunuh ayah kandungmu sendiri…!” katanya dalam keadaan amat ketakutan.
Mendengar ini, Cin Po mengerutkan alisnya. “Apa kau bilang? Siapa ayah kandungku?”
“Akulah ayah kandungmu, Cin Po. Engkau puteraku... maka jangan bunuh aku, Cin Po…!” Ban Koan meratap dan dia menjatuhkan diri berlutut.
“Bohong....!” Terdengar teriakan nyaring dan yang berteriak ini adalah Bi Li yang sekali meloncat sudah berada di dekat Ban Koan dan menodongkan pedangnya. “Pombohong busuk kau...!”
“Tidak, sumoi… engkau tentu tahu betapa aku amat mencintamu.... ketika engkau dibawa Hek-siauw Siucai dan ditinggalkan disemak belukar dalam keadaan pingsan itu, aku.... aku tidak dapat menahan diri….. aku menggaulimu... dan Cin Po… Cin Po ini adalah anakku, anak kandung kita, sumoi.”
“Jahanam keparat!” Wajah Bi Li menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah sekali.
“Masih belum terlambat, sumoi. Marilah kita bangun rumah tangga baru, aku… aku cinta padamu dan kita sudah mempunyai seorang putera…”
“Jahanaaaaaam….!” Pedang itu berkelebat dan putuslah leher Ban Koan, kepalanya menggelinding seperti bola, tubuhnya terjengkang dan darah muncrat-muncrat dari lehernya. Bi Li membuang pedangnya, menutupi muka dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu.
Cin Po sendiri terbelalak memandang itu semua. Dia tetap tidak mengerti. Ibunya mendidiknya sejak kecil untuk membuat dia membalas dendam atas kematian ayah kandungnya kepada Hek-siauw Siucai, dan kini tiba-tiba Ban Koan mengaku sebagai ayah kandungnya!
Dia melihat ibunya terhuyung dan hampir roboh, maka cepat dia meloncat dan tepat sekali menerima tubuh ibunya yang terguling pingsan. Cin Po lalu memondong tubuh ibunya diajak masuk diikuti oleh Hui Ing dan Yang Kim Sun yang sudah dikenalnya pula. Dalam perjalanan masuk itu Hui ing sempat bertanya kepada pemuda Kun-lun-pai itu.
“Kenapa engkau baru muncul sekarang?”
“Maafkan aku, Ing-moi. Melihat engkau ditawan See-thian Tok-ong, aku tidak berdaya. Kalau aku muncul dan berusaha menolongmu tentu akan sia-sia malah aku tentu ditangkap pula. Maka aku membayangi dan mengikuti sampai di sini, mencari-cari kesempatan untuk menolongmu.”
Hui Ing mengangguk puas. Temannya ini ternyata setia, terus mengikuti sampai ke Thian-san-pang. Memang pemuda itu benar juga. Kalau pemuda itu nekat hendak menolongnya, tentu dia tertangkap atau bahkan dibunuh oleh See-thian Tok-ong.
Cin Po merebahkan ibunya di atas pembaringan. Setelah siuman, Bi Li menangis dan mengeluh panjang pandek. Cin Po menghibur ibunya, mengatakan bahwa kini Ban Koan telah tewas, dan ibunya tidak perlu bersedih lagi.
“Aihh, engkau tidak tahu.…!” kata ibunya menangis.
Ketika itu yang berada di dalam kamar hanya Hui Ing dan Cin Po, sedangkan Yang Kim Sun yang merasa tidak enak sebagai orang luar, menunggu di ruangan depan.
“Apakah sesungguhnya yang terjadi, ibu? Aku masih belum mengerti sama sekali.”
“Dia, ayah kandungmu, Cin Po. Ayah kandungmu…. ahhh, aku sendiripun baru tahu sekarang.”
“Akan tetapi ibu selalu mengatakan bahwa ayah kandungku terbunuh oleh Hek-siauw Siucai.”
“Dengarlah ceritaku, Cin Po. Aku telah bersalah, aku telah berdosa padamu. Dengarlah ceritaku, engkau juga, Hui Ing, agar ceritaku menjadi contoh bagi kalian berdua. Duapuluh tahun lebih yang lalu, tepat seperti diceritakan Hek-siauw Siucai kepadamu, Cin Po, Hek-siauw Siucai datang ke Thian-san-pang untuk mencari kakek gurumu, yaitu mendiang Tiong Gi Cinjin.
"Mereka berdua pernah bentrok dan dalam pertandingan itu Hek-siauw Siucai dikalahkan kakek gurumu. Agaknya dia merasa penasaran dan dia datang untuk menebus kekalahannya. Akan tetapi kakek gurumu sedang tidak berada di rumah, yang ada hanya aku yang menjadi murid kepala dan sedang melatih murid-murid lain. Hek-siauw Siucai mencela ilmu silatku dan kami bertanding.
“Dia berhasil menotokku dan melihat para murid Thian-san-pang hendak mengeroyoknya, dia lalu menawanku, dan membawaku turun dari puncak untuk mencegah para murid Thian-san-pang mengejarnya. Di lereng, dia lalu meninggalkan aku di padang rumput dalam keadaan pingsan.
“Ketika aku siuman kembali dari pingsan, aku mendapatkan diriku telah ternoda. Tentu saja aku menganggap bahwa yang menodai aku adalah Hek-siauw Siucai dan aku bersumpah untuk membalas dendam kepadanya.
“Peristiwa itu membuat aku mengandung Cin Po dan lahirlah engkau! Aku lalu mendidikmu dengan cita-cita bahwa kalau engkau sudah besar, engkau akan membalaskan sakit hatiku kepada Hek-siauw Siucai dan membunuhnya!”
“Akan tetapi, menurut pendapat ibu, bukankah dia itu ayah kandungku?”
“Itulah, anakku. Maafkan ibumu. Saking sakit hatiku karena peristiwa itu, aku membencinya, aku membencimu pula dan aku menghendaki agar ayah anak saling berbunuhan! Itulah pembalasan dendamku!
“Akan tetapi kemudian muncul Ban Koan dengan pengakuannya! Tuhan Maha adil, aku sendiri yang membunuhnya. Bukan engkau. Engkau anak Ban Koan, biarpun aku sendiri baru mengetahuinya sekarang.”
Wajah Cin Po menjadi pucat sekali. Ingin rasanya dia menangis menggerung-gerung kalau teringat bahwa dia putera Ban Koan, manusia yang licik dan curang itu, yang berkhianat dan berwatak buruk sekali, bahkan Ban Koan yang sudah tahu bahwa dia adalah anak kandungnya pernah berusaha untuk membunuhnya dengan menendangnya ke dalam jurang! Ayah macam apa itu?
“Aih... ibu… aku akan lebih berbahagia kalau aku menjadi anak Hek-siauw Siucai....!” katanya dengan suara sedih sekali.
“Aku mengerti, anakku. Sekarang, setelah aku dapat membalas dendamku kepada orang yang bersalah, engkau tidak perlu berkabung lagi.”
“Tidak, ibu! Aku akan tetap berkabung, berkabung untuk diriku sendiri yang mempunyai ayah kandung begitu jahatnya! Ini semua gara-gara Tok-coa-pang dan See-thian Tok-ong. Ibu, aku akan mencari See-thian Tok-ong, aku akan membunuhnya sekedar untuk menebus dosa-dosa ayah kandungku yang jahat!” Setelah berkata demikian, Cin Po meloncat dengan cepat dan berkelebat lenyap dari situ.
“Cin Po…!” Ibunya berteriak memanggil sambil menangis.
Hui Ing merangkul ibunya. “Sudahlah, ibu. Koko sedang berduka sekali, percuma saja mencoba untuk menghalangi dia pergi. Ibu harus istirahat dulu.”
“Aku…. aku bersalah kepadanya, aku berdosa…”
“Sudahlah, ibu,” Hui Ing merangkul dan ibunya lalu menangis dalam pelukannya.
Dendam, dalam bentuk bagaimanapun, hanya meracuni hati sendiri. Dendam menimbulkan kebencian yang amat mendalam dan di dalam kebencian terkandung kekerasan dan kekejaman. Bi Li yang mendendam itu bahkan mendendam kepada anaknya sendiri, karena anak itu dilahirkan bukan atas kehendaknya, bahkan berlawanan dengan kehendaknya. Akan tetapi setelah anaknya besar, mulai terasa kasih sayangnya kepada anaknya sehingga dia merasa berdosa telah bermaksud mengadu anaknya dengan ayah kandung anak itu sendiri.
Bi Li jatuh sakit. Hui Ing yang merawatnya dan selama itu, Yang Kim Sun dengan setia menunggu di Thian-san-pang. Dia berada di situ sebagai tamu. Ketika Bi Li berangsur sehat kembali, Yang Kim Sun sudah tinggal di Thian-san-pang selama satu bulan. Pada suatu hari Bi Li seolah baru tahu bahwa di Thian-san-pang ada tamu, yaitu pemuda yang tempo hari membantu mereka menghadapi See-thian Tok-ong dan puteranya.
“Hui Ing, siapakah pemuda itu? Dan kenapa sampai sekarang dia masih berada di sini?” tanya Bi Li.
Mendengar pertanyaan ini, wajah Hui Ing menjadi merah sekali. Selama sebulan ini, hubungannya dengan Kim Sun menjadi semakin akrab, bahkan Kim Sun telah menyatakan perasaan hatinya yang penuh cinta kepadanya! Dan dara inipun membalas cintanya karena Hui Ing yang kehilangan Cin Po sebagai pria yang dicintanya, kini mendapatkan pengganti dalam diri Kim Sun. Ia sudah melepaskan harapannya dari Cin Po yang ia tahu mencinta Ciok Hwa yang berwajah buruk.
“Dia adalah sahabatku, ibu. Namanya Yang Kim Sun, murid Kun-lun-pai,” jawab Hui Ing sambil menundukkan mukanya.
“Bukankah dia yang datang membantu kita menghadapi See-thian Tok-ong dengan puteranya?”
“Benar, ibu. Dia yang telah menandingi Kang-siauw Tai-hiap Kam Song Kui, murid See-thian Tok-ong itu.”
“Hemm, sudah sebulan lewat, mengapa dia masih berada di sini?”
“Anu, ibu… dia melihat ibu sakit dan kakak Cin Po pergi, dia….. dia sengaja tinggal di sini untuk menemani dan menghiburku.”
“Hemmm, Hui Ing, engkau saling cinta dengan pemuda ini?”
Ditodong pertanyaan seperti itu, wajah dara itu menjadi semakin kemerahan dan ia hanya tersenyum malu-malu dan menundukkan mukanya, tangannya dengan jari-jari gemetar sibuk bermain-main dengan ujung bajunya. Melihat ini, Bi Li menahan senyumnya. “Siapakah ayah bunda pemuda itu, Hui Ing...?”