Pendekar Baju Putih Jilid 17 karya Kho Ping Hoo - Hui Ing mengangkat mukanya memandang wajah ibunya. “Ibu, dia….. dia sudah yatim piatu. Gurunya, ketua Kun-lun-pai menjadi pengganti orang tuanya.”
“Hemm…” Bi Li memandang gadis itu dengan kasihan. Pemuda itu ternyata sama dengan Hui Ing, tidak mempunyai ayah bunda lagi. “Kalau begitu, aku akan merasa terhormat sekali kalau pimpinan Kun-lun-pai suka datang ke sini dan membicarakan urusan perjodohanmu denganku.”
“Ah, ibu…!” Hui Ing merangkul ibunya dengan malu-malu.
Bi Li tersenyum, akan tetapi sekali ini kedua matanya basah. Ia terharu sekali dan baru ia teringat bahwa Hui ing telah menjadi seorang gadis dewasa, bukan kanak-kanak lagi. “Sudahlah, beritahu kepadanya agar dia memberitahukan guru-gurunya. Tidak baik kalau terlalu lama dia tinggal di sini, tentu hanya akan menimbulkan omongan yang tidak baik.”
“Baik, ibu.”
Gadis itu lalu keluar dan mencari Yang Kim Sun. Ia menemukan Kim Sun sedang duduk di dalam taman bunga. Ditemuinya pemuda itu. “Sun-ko…!”
“Ah. Ing-moi, engkau mencari aku?”
“Benar, Sun-ko. Eh… tadi ibu sudah bicara denganku tentang dirimu.”
“Tentang diriku?”
“Ya, dan ibu… ibu agaknya setuju dengan hubungan kita.”
“Bagus! Aku girang sekali mendengarnya, Ing-moi!”
“Akan tetapi ibuku minta agar pimpinan Kun-lun-pai segera datang ke sini menemui ibu untuk membicarakan tentang kita.”
“Tentang kita?”
“Maksudku tentang perjodohan kita.”
“Kalau begitu, aku akan segera pulang ke Kun-lun-pai dan menyampaikannya kepada suhu. Ing-moi.”
“Memang begitulah yang paling baik, Sun-ko.”
Sejenak mereka saling pandang dengan sinar mata penuh pernyataan hati masing-masing, Hari itu juga Kim Sun berpamit untuk pulang ke Kun-lun-san dan kepergiannya diantar Hui Ing sampai di luar perkampungan Thian-san-pang.
Lahirnya kerajaan Sung merupakan peristiwa yang luar biasa. Seperti diketahui, kerajaan Sung berdiri dan sebagai kaisar pertamanya adalah jenderal Cao Kuang Yin (960-976). Akan tetapi sesungguhnya, bukanlah kehendak dia untuk menjadi kaisar yang berjuluk Sung Thai Cu, kaisar pertama dari kerajaan Sung.
Pada waktu itu, yang memegang pemerintahan adalah kerajaan Chou. Kaisar Chou terakhir sakit keras dalam tahun 959 dan sebagai penggantinya diangkatlah puteranya, seorang pangeran yang masih kanak-kanak. Jenderal Cao Kuang Yin sendiri pada waktn itu (tahun 959) dikirim oleh pemerintah ke utara untuk memerangi bangsa Khi-tan di utara.
Di luar pengetahuan Jenderal Cao Kuang Yin, para panglima dan perwira bawahannya merasa tidak senang dengan pengangkatan seorang kaisar baru yang masih kanak-kanak yang diwakili oleh walinya, yaitu ibunya sendiri, permaisuri yang kini menjadi Ibu Suri setelah pangeran kecil itu menjadi kaisar.
Apa artinya seorang kaisar kecil dan diwakili oleh seorang wanita? Tentu tidak akan mampu mengurus pemerintahan dan kelak tidak akan dapat menghargai jasa-jasa para panglima dan perwira yang maju perang.
Demikianlah, ketika malam hari Jenderal Cao Kuang Yin mengaso dalam tendanya, para panglima itu dengan pedang di tangan, memasuki tendanya, memaksanya untuk mengenakan pakaian kuning, yaitu pakaian kaisar, dan mengangkatnya menjadi kaisar secara paksa?
Tentu saja Jenderal Cao Kuang Yin terkejut bukan main. Akan tetapi para panglima itu memaksanya dengan pedang di tangan. Dia lalu berkata, “Baiklah, aku akan mengabulkan permintaan kalian dengan syarat bahwa kalian semua harus tunduk dan menaati semua perintahku. Kalau kalian tidak mau berjanji demikian, biar dipaksapun aku tidak akan menerima pengangkatan kaisar ini."
Para panglimanya setuju. Barulah Jenderal Cao Kuang Yin memberi perintah, “Kita memasuki kota raja, akan tetapi aku melarang kalian mendatangkan kekacauan. Semua warga istana tidak boleh dibunuh, juga para pembesar dan pejabat istana tidak boleh diganggu, kecuali tentu saja kalau mereka melawan. Kalau mereka semua sudah menyerah, tidak boleh mengganggu keadaan kota raja, agar tetap tenang dan aman. Aku tidak menghendaki kekerasan dan keributan dalam pergantian kekuasaan ini. Kalian semua setuju?”
Semua panglima setuju. Demikianlah, Cao Kuang Yin membawa pasukannya ke kota raja dan terjadilah perebutan kekuasaan tanpa pertumpahan darah. Ibu Suri menyerah dan tidak melakukan perlawanan. Setelah disahkan menjadi Kaisar Sung Thai Cu, kaisar pertama dari kerajaan baru Sung, Sung Thai Cu membuat gerakan-gerakan yang cerdik sekali.
Dia tidak membasmi keluarga raja yang lama, bahkan memberi kedudukan yang tidak penting kepada mereka sehingga tidak ada yang mendendam kepadanya. Dia menukar-nukar jabatan di antara para pejabat lama, memberikan kedudukan yang penting kepada orang-orang kepercayaannya.
Setelah semua diaturnya, dia masih kurang puas. Bagaimanapun juga, dia menjadi kaisar atas desakan bahkan paksaan para panglima bawahannya, maka hatinya masih tidak enak kalau memikirkan mereka. Kelompok panglima ini tentu dapat saja pada suatu hari mengangkat seorang kaisar lain untuk menggantikannya!
Pada suatu hari, baru beberapa bulan setelah dia menjadi kaisar, dia mengundang semua panglima yang terlibat dalam pemaksaan dia menjadi kaisar dahulu, dan menjamu mereka makan minum sampai mereka itu mabok dan berada dalam suasana gembira.
Kaisar lalu berkata kepada mereka, “Kami tidak dapat tidur nyenyak di malam hari.”
“Apakah yang menjadi sebabnya, Yang Mulia?” tanya para panglima itu.
“Kalianlah penyebabnya,” jawab Kaisar. “Mudah saja dimengerti. Siapakah di antara kalian yang tidak merasa iri akan kedudukanku sebagai kaisar?”
Para panglima itu memberi hormat dengan membungkuk dalam dan mereka membantah. “Mengapa Yang Mulia berkata demikian? Paduka telah menjadi Kaisar yang sah, siapa yang masih mempunyai niat-niat buruk terhadap paduka?”
Kaisar tersenyum dan berkata lagi, “Kami sama sekali tidak pernah ragu akan kesetiaan kalian. Akan tetapi apabila pada suatu hari seorang di antara kalian tiba-tiba dibangunkan di waktu pagi dan dipaksa untuk mengenakan pakaian kuning, biarpun kalian tidak menghendakinya, bagaimanakah dia akan dapat menolak mengadakan pemberontakan seperti yang telah kalian lakukan kepadaku?”
Para panglima itu mengatakan bahwa tidak seorangpun di antara mereka yang cukup dikagumi dan disayang untuk mendapatkan kesempatan seperti itu dan mereka memohon kepada Kaisar untuk mengambil langkah-langkah yang bijaksana untuk mencegah terjadinya kemungkinan yang dikhawatirkan itu. Setelah Kaisar dapat memberi isyarat akan apa yang dikhawatirkan itu, diapun berkata dengan nada suara bersungguh-sungguh.
“Kehidupan manusia tidaklah lama. Kebahagiaan adalah kalau orang memiliki harta benda dan sarana untuk menikmati hidup ini dan dapat mewariskan keadaan yang membahagiakan itu kepada anak cucunya. Kalau kalian, panglima-panglimaku, mau meninggalkan kedudukan kalian sebagai panglima, hidup di kampung halaman, memilih tanah yang subur dan baik, dan selanjutnya hidup berkecukupan penuh damai dan kebahagiaan di antara keluarga kalian sampai kalian mengakhiri hidup dalam usia tua, bukankah itu jauh lebih baik dari pada hidup penuh bahaya dan serba tidak menentu? Sehingga tidak akan tersisa kecurigaan dan keraguan antara raja dan para pejabatnya, dan kita dapat saling melibatkan keluarga dalam ikatan-ikatan pernikahan sehingga di antara kita akan terdapat ikatan keluarga dan persahabatan yang kekal.”
Para panglima itu mengerti akan maksud kaisar dan mereka segera memenuhi kehendak kaisar karena merekapun ingin menikmati hidup serba berkecukupan di dalam keluarga mereka, tinggal di kampung halaman dengan senang dan tenang.
Demikianlah, Kaisar Sung Thai Cu dapat melenyapkan keraguan dan kekhawatiran dari dalam hatinya. Dia mengangkat panglima-panglima baru dan merasa terhindar dari ancaman para panglima yang dulu memaksanya menjadi kaisar.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, banyak raja-raja muda yang tunduk dan mengakui kekuasaan kerajaan Sung yang berhasil menyatukan daerah-daerah yang tadinya berdiri sendiri-sendiri itu. Yang masih menunjukkan sikap menentang, dengan mudah ditundukkan. Akan tetapi ada empat kerajaan yang tetap tidak dapat ditundukkan, bahkan empat kerajaan ini seringkali merupakan ancaman bagi kerajaan Sung.
Mereka itu adalah kerajaan Khi-tan di utara, di Ce-kiang sebelah tenggara sepanjang pantai ada kerajaan Wu-yeh, di Shan-si ada kerajaan Han atau Hou-han dan di selatan sebelah barat terdapat kerajaan Nan-cao. Empat kerajaan inilah yang belum dapat ditundukkan.
Sung Thai Cu tidak mengangkat seorang di antara puteranya yang masih kecil-kecil menjadi putera mahkota, melainkan mengangkat adiknya sendiri. Hal ini adalah atas permintaan Ibu Suri, seorang wanita yang amat cerdik.
Ketika wanita ini menderita sakit keras, sebelum meninggal dunia ia memanggil Kaisar Sung Thai Cu, lalu bertanya, “Tahukah engkau mengapa engkau bisa mendapatkan kedudukan sebagai kaisar ini?”
Sebagai seorang anak yang berbakti, kaisar menjawab, “Semua ini berkat kebijaksanaan ibu dan nenek-moyang…”
“Sama sekali tidak! Bukan aku, bukan pula nenek moyangmu yang menyebabkannya. Satu-satunya alasan mengapa engkau hari ini dapat duduk di singgasana adalah karena kaisar kerajaan Chou telah begitu bodoh untuk mengangkat seorang anak kecil menjadi penggantinya. Kalau sekarang engkau mewariskan kerajaan kepada seorang anak kecil, nasib yang sama mungkin akan menimpa kerajaan kita seperti yang dialami kerajaan Chou.”
Demikianlah, setelah diingatkan oleh ibunya yang bijaksana, Kaisar Sung Thai Cu mengangkat adiknya menjadi pangeran mahkota dan dalam tahun 976, dia wafat digantikan oleh adiknya sendiri yang berjuluk Sung That Cung. Kaisar Sung That Cung (976-1004) melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh kakaknya dan pada saat ini, dia baru setahun menggantikan kakaknya.
Cin Po meninggalkan Thian-san-pang dengan berlari cepat. Hatinya merasa berduka sekali setelah dia mengetahui bahwa dia adalah putera Ban Koan. Ban Koan ayah kandungnya akan tetapi ayah kandung macam apa. Dia dilahirkan ibunya sebagai hasil pemerkosaan Ban Koan atas diri ibu kandungnya. Dia adalah seorang anak haram.
Lebih dari itu, dia dilahirkan dari seorang ibu yang tidak menghendaki kelahirannya. Akibat perkosaan! Dari anak yang lahir dari perbuatan jahat sejahat-jahatnya. Dan ayahnya adalah seorang penjahat besar, seorang pengkhianat dan telah banyak melakukan kejahatan!
Cin Po menangis sambil berlari cepat. Dia merasa rendah diri. Dia tidak menyalahkan ibunya kalau hendak mengadu dia dengan ayah kandungnya sendiri. Memang ayahnya, yang kemudian ternyata adalah Ban Koan, sepantasnya dibunuh. Manusia itu amat jahat dan dia adalah anaknya, darah dagingnya!
Pukulan batin ini terlalu hebat baginya. Sampai tidak kuat dia menanggungnya dan dalam keadaan yang sengsara itu teringatlah dia akan kekasihnya. “Ciok Hwa... Hwa-moi…!”
Dia merintih dalam hatinya. Hanya Ciok Hwa yang akan dapat menghiburnya dan mendapat kenyataan siapa dirinya, dia merasa lebih lega. Sudah sepatutnya dia berjodoh dengan Ciok Hwa. Bukan saja Ciok Hwa berwajah buruk sekali, akan tetapi juga Ciok Hwa adalah puteri seorang datuk sesat, Tung-hai Mo-ong yang juga jahat. Ayah mereka sama-sama jahat jadi mereka sudah cocok kalau menjadi suami isteri.
“Ciok Hwa…!” Dia mengeluh dan kakinya membawanya lari menuju ke tempat tinggal Ciok Hwa. Dia harus pergi ke Pulau Hiu, mengunjungi Ciok Hwa karena dalam keadaan seperti itu dia merasa rindu sekali kepada gadis yang baginya memiliki watak yang paling bijaksana dan paling baik itu.
Dia membeli perahu kecil di pantai dan mendayung perahu itu menuju ke Pulau Hiu. Baru setengah pelayaran menuju ke Pulau itu, mendadak bermunculan perahu-perahu hitam dan dia telah dikepung. Cin Po mengenal mereka dan berdiri di perahunya, melambaikan tangan.
“Haiiiii, antarkan aku ke Pulau Hiu. Aku ingin bertemu Huang-hai Sian-li…?” teriaknya.
Mereka itu memang benar anak buah pulau Hiu. Mereka juga mengenal Cin Po dan seorang di antara mereka, yaitu Tok-gan Kim-go, moloncat ke atas perahu Cin Po dan memberi hormat. “Kiranya Sung-taihiap yang datang. Akan tetapi, kalau tai-hiap datang hendak mengunjungi Huang-hai Sian-li, kedatangan tai-hiap terlambat.”
Cin Po terkejut! “Terlambat? Apa maksudmu?”
“Huang-hai Sian-li telah sebulan yang lalu meninggalkan kami, tai-hiap. Ia menyerahkan pimpinan bajak laut kepada saya, dan ia tidak akan kembali ke sini lagi. Akan tetapi selama ini, kami menjalankan tugas sesuai dengan pesan Sian-li dan tidak pernah kami melanggarnya.”
Cin Po merasa kecewa bukan main. “Kim-go, tahukah engkau ke mana ia pergi?”
“Sian-li tidak memberitahu, hanya mengatakan hendak pulang ke kampung halamannya!”
“Ah, kalau begitu tentu pulang ke tempat tinggal ayahnya. Baik aku akan menyusulnya ke sana!” katanya dan merekapun berpisah. Cin Po mendayung kembali perahunya ke pantai.
Dia tahu ke mana harus pergi karena pernah dia berkunjung ke rumah Tung-hai Mo-ong di daerah Wu-yeh, di sepanjang pantai laut Timur di Propinsi Ce-kiang. Pada suatu pagi tibalah Cin Po di perbatasan antara kerajaan Wu-yeh dan kerajaan Sung. Ketika dia sedang berjalan di padang rnmput, dari jauh dia melihat sebuah pertempuran.
Sekelompok pasukan kerajaan Sung bertempur melawan sekelompok pasukan kerajaan Wu-yeh. Mengingat bahwa tempat pertempuran itu masih termasuk wilayah Sung, lebih dari sepuluh lie dari tapal batas, maka jelas bahwa pasukan Wu-yeh itu yang melanggar perbatasan.
Sebetulnya Cin Po tidak tertarik oleh perang, biarpun dia termasuk orang yang tinggal di daerah kerajaan Sung, namun belum pernah terpikirkan olehnya untuk membantu kerajaan Sung menghadapi kerajaan lain. Baginya, kerajaan manapun juga bangsanya adalah satu, kecuali bangsa Khi-tan yang merupakan bangsa Mancu.
Akan tetapi sekali ini perhatiannya tertarik oleh adanya sebuah kereta yang indah. Kereta itu dilindungi oleh belasan orang pengawal yang berilmu tinggi. Dengan pedang mereka, belasan orang pengawal itu melindungi mereka dari serangan para perajurit Wu-yeh dan kepandaian para pengawal ini memang cukup tinggi sehingga usaha para perajurit Wu-yeh tidak ada yang berhasil. Perlahan-lahan pasukan Wu-yeh terpukul mundur.
Tiba-tiba muncul seorang kakek tinggi kurus yang mukanya meruncing seperti muka tikus dengan kumis dan jenggot jarang. Seorang kakek berwajah buruk dan nampak berpenyakitan dengan rambutnya yang tipis botak. Akan tetapi begitu dia memasuki pertempuran membantu pasukan Wu-yeh, tentara Sung menjadi kocar-kacir! Bahkan para pengawal yang menjaga kereta itu kini kewalahan menghadapi kakek itu.
Cin Po segera mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Tung-hai Mo-ong Kui Bhok, ayah Kui Ciok Hwa! Sejenak Cin Po menjadi bimbang ragu. Kakek itu adalah calon mertuanya yang dia harapkan akan menerima pinangannya. Akan tetapi sekarang kakek itu menyerang pasukan Sung.
Bagaimana dia dapat mendiamkannya saja? Entah siapa yang berada di dalam kereta itu, akan tetapi jelas agaknya keselamatan orang dalam kereta itu terancam dan melihat keretanya yang indah, jelas bahwa dia tentu seorang yang berkedudukan tinggi di istana kerajaan Sung! Bagaimanapun juga, dia harus menolong dan menyelamatkannya, akan tetapi kalau dia melakukan hal itu, berarti dia harus bentrok melawan ayah Ciok Hwa.
Cin Po tidak lama bersangsi. Pemuda ini telah menerima gemblengan Bu Beng Lojin, sudah segera dapat memutuskan mana yang harus dia lakukan dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang tidak baik. Kalau dia mendiamkan saja pembesar kerajaan Sung itu terancam bahaya, maka perbuatannya itu sungguh tidak benar.
Biarpun dia tidak memegang jabatan dan terang-terangan membantu kerajaan Sung, akan tetapi dia adalah warga Sung dan sudah menjadi kewajibannya untuk membantu Sung menghadapi kerajaan lain. Apa lagi kalau di pihak sana terdapat seorang sakti seperti Tung-hai Mo-ong. Kalau dibiarkannya saja, tentu pasukan Sung itu, berikut orang dalam kereta, akan dibasmi habis oleh Tung-hai Mo-ong.
Biarpun para pengawal itu memegang pedang dan kakek itu bertangan kosong, namun dalam beberapa gebrakan saja para pengawal itu roboh satu demi satu. Setiap sambaran tangannya merupakan jurus maut dan tidak dapat dielakkan atau ditangkis oleh para pengawal itu. Mereka menjadi kocar-kacir dan keadaan pasukan Sung kini terdesak hebat karena pasukan Wu-yeh mendapat angin setelah Tung-hai Mo-ong datang membantu mereka.
Sekali meloncat Cin Po sudah berada di depan kakek itu dan pada saat itu Tung-hai Mo-ong sedang melancarkan pukulan jarak jauh kepada para pengawal yang terdesak hebat. Cin Po mengangkat tangannya menangkis.
“Dukkk...!” Dua tangan bertemu dan kakek itu terdorong ke belakang dua langkah. Dia terkejut sekali dan memandang dengan penuh perhatian. Dia melihat seorang pemuda berpakaian putih berdiri di depannya. Segera dia mengenal Cin Po dan matanya terbelalak marah.
Pemuda ini yang menolak menjadi mantunya, bahkan yang kemudian berhasil melarikan diri atas bantuan puterinya. Dia memarahi puterinya yang kemudian bahkan menghilang dan baru saja kembali kepadanya. Kini pemuda ini muncul lagi menentangnya dan membela orang-orang Sung!
“Sung Cin Po, kau… kau berani melawanku?” bentaknya marah.
“Maaf, locianpwe. Bukan maksudku untuk melawanmu, akan tetapi aku harus melindungi pasukan kerajaan Sung karena aku warga negaranya. Harap locianpwe suka memandang mukaku dan tidak melanjutkan pertempuran. Bukankah tempat ini termasuk wilayah Sung dan pasukan Wu-yeh itu yang melanggar perbatasan?” Dalam hatinya pemuda itu berteriak pada si kakek bahwa dia tidak ingin bermusuhan dengan ayah gadis yang dicintanya!
“Sung Cin Po, baru mengingat urusan lama saja aku harus membunuhmu, apalagi sekarang setelah engkau berani menentangku.”
“Locianpwe, urusan lama sudah tidak ada lagi antara kita. Ketahuilah bahwa adik Ciok Hwa dan aku sudah bersepakat untuk berjodoh.”
“Ha-ha-ha, enak saja. Sekarang kalau hendak berjodoh dengan anakku, siapapun juga harus lebih dulu dapat mengalahkan aku!”
Mendengar ini, Cin Po mendapat pikiran yang baik. “Kalau begitu, marilah kita bertanding berdua saja, locianpwe, dan kita tarik mundur semua pasukan yang bertempur. Biarlah pertandingan antara kita saja yang menentukan kalah menang!”
“Baik!” teriak Tung-hai Mo-ong yang memandang rendah pemuda itu. Dia pernah merobohkan Cin Po tanpa banyak kesukaran, maka tantangan itu diterimanya dengan hati besar. Dia lalu meneriaki pasukan Wu-yeh agar mundur dan menghentikan pertempuran. Kedua pihak kini tidak lagi bertempur, melainkan menjadi penonton ketika dua jagoan tua dan muda itu saling berhadapan.
Bahkan dari tirai kereta itu mengintai dua pasang mata dengan penuh ketegangan dan kekhawatiran. Sepasang mata seorang laki-laki setengah tua dan sepasang mata seorang gadis cantik jelita bermata bintang. Mereka adalah ayah dan anak, seorang pejabat tinggi yang datang bersama puterinya di tempat itu sehabis pulang mengunjungi kampung halaman dengan pengawalan ketat.
Tung-hai Mo-ong adalah datuk yang jarang sekali mempergunakan senjata tajam biarpun di dalam ilmu pukulannya yang ampuh kadang menyembunyikan jarum-jarum beracun yang menyambar bersama pukulannya. Kini menghadapi Cin Po yang dipandangnya rendah, diapun tidak menggunakan senjata, dan kedua tangannya sudah diangkat ke atas kepala dan membentuk cakar. Itulah pembukaan dari ilmu silat Toat-beng-sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa).
Melihat orang yang diharapkannya menjadi ayah mertuanya itu menghadapinya tanpa senjata, Cin Po juga segan menggunakan Yang-kiam yang tergantung di punggungnya. Diapun bertangan kosong dan memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. “Locianpwe, aku sudah siap, mulailah!”
“Ha-ha-ho-ho, orang muda. Kalau aku yang mulai menyerangmu, aku akan ditertawakan orang sedunia. Engkau yang muda mulailah!” tantang Tung-hai Mo-ong, bersikap gagah-gagahan karena disaksikan demikian banyaknya orang.
“Locianpwe, lihat seranganku!” Cin Po mulai menyerang, dengan tamparan perlahan saja, akan tetapi tamparan itu mendatangkan angin pukulan yang hebat sehingga membuat rambut tipis di kepala kakek itu berkibar.
Tung-hai Mo-ong terkejut. Tak disangkanya pemuda itu demikian hebat tenaga dalamnya, maka diapun cepat menggerakkan tangannya menangkis dan sekalian menangkap pergelangan tangan lawan. Cin Po tidak mau tangannya ditangkap, maka dia menarik kembali tangannya dan tangan kirinya kini menyambar dengan totokan ke arah dada.
Tung-hai Mo-ong mengelak dengan memutar tubuhnya lalu memukul dari atas ke arah kepala Cin Po dengan jurus “Siok-lui-kek-teng” (Petir Menyambar di Atas Kepala), sebuah serangan yang dahsyat sekali apa lagi yang melakukan itu Tung-hai Mo-ong yang memiliki tenaga sakti amat kuat sehingga baru hawa pukulannya sudah cukup ampuh untuk melukai dalam kepala lawan.
Namun Cin Po menghindarkan diri dengan loncatan Lo-wan-teng-ki (Monyet Tua Melompati Cabang) sehingga kepalanya terhindar dari sambaran tangan lawan. Cin Po maklum akan hebatnya ilmu silat lawan, maka diapun tidak membuang waktu lagi, segera memainkan Ngo-heng-sin-kun yang dipelajarinya dari kakek Bu-beng Lojin.
Dan menghadapi ilmu silat sakti ini, Tung-hai Mo-ong gelagapan. Belum pernah selama hidupnya dia menghadapi ilmu silat seperti ini yang mengandung bermacam tenaga. Kadang keras, kadang lunak, kadang panas, dan kadang dingin. Dan hebatnya, semua serangannya kandas dalam ilmu silat pemuda itu! Tentu saja Tung-hai Mo-ong menjadi penasaran sekali. Tidak mungkin dalam waktu kurang lebih dua tahun saja pemuda ini telah menguasai ilmu yang mampu menandinginya!
Dia lalu memainkan Toat-beng-sin-ciang yang paling ampuh sambil mengerahkan tenaganya dan bersilat dengan hati-hati sekali. Namun, pemuda itu dapat menghindarkan diri dengan baik melalui elakan atau tangkisan yang demikian kuatnya sehingga tiap kali lengan mereka bertemu, Datuk Timur itu terhuyung ke belakang.
Semua anak buah pasukan, baik dari tentara Sung maupun Wu-yeh, menonton pertandingan itu dengan hati tegang. Pasukan Wu-yeh sudah mengenal Tung-hai Mo-ong dan mereka sudah merasa yakin bahwa datuk mereka itu pasti akan keluar sebagai pemenang.
Tidak demikian dengan pasukan Sung. Mereka sama sekali tidak mengenal siapa pemuda baju putih itu, maka biarpun pemuda itu mewakili mereka, mereka masih ragu dan kini menonton dengan hati diliputi penuh ketegangan dan kekhawatiran. Mereka maklum bahwa kalau pemuda itu kalah, tentu mereka akan diserang oleh pasukan Wu-yeh dan dengan adanya kakek itu pihak mereka tentu akan hancur.
Pembesar yang berada di dalam kereta juga menonton dengan hati tegang, demikian pula puterinya. Pembesar itu bernama Lu Tong Pi, berpangkat Menteri Kebudayaan dan puterinya bernama Lu Bwe Kim, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita.
Mereka berdua baru saja berkunjung kekampung halaman Lu Tong Pi, hanya berdua saja, karena ibu gadis itu sudah meninggal dunia ketika dara ini berusia sepuluh tahun. Sebagai seorang Menteri, Lu Tong Pi dikawal ketat oleh pasukan keamanan.
Baik Lu Tong Pi maupun puterinya tidak pernah mempelajari ilmu silat, Menteri itu ahli sastera dan pandai menulis dan melukis, sedangkan puterinya soorang ahli tari, juga menulis sajak dan mempunyai pengertian mendalam tentang sastera. Maka, menghadapi pertandingan itu, mereka hanya menonton, tanpa mengerti siapa yang lebih unggul di antara kedua orang itu.
Akan tetapi mereka, biarpun juga tidak mengenal pemuda itu, maklum bahwa pemuda itu berpihak kepadanya dan agaknya keselamatan mereka tergantung dari pertandingan itu. Maka, tentu saja mereka berdua mengharapkan kemenangan bagi si pemuda baju putih.
“Ayah, kenapa kita tidak mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri saja?” bisik gadis itu yang juga tegang dan ketakutan seperti ayahnya.
“Ah, tidak mungkin, anakku. Itu berbahaya sekali.”
“Akan tetapi, ayah. Kalau pemuda baju putih itu kalah....”
“Paling banyak kita akan menjadi tawanan. Percayalah, orang-orang kerajaan Wu-yeh adalah bangsa Han juga, mereka tidak ganas dan liar seperti orang Khi-tan. Akan tetapi belum tentu pemuda itu kalah.”
Pertandingan antara Cin Po melawan Tung-hai Mo-ong sudah berlangsung semakin seru. Seratus jurus telah terlewat dan masih belum ada yang kelihatan terdesak. Hal ini benar-benar membuat Tung-hai Mo-ong merasa penasaran sekali. Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa Cin Po sekarang telah menjadi seorang pemuda yang demikian tangguhnya.
Bahkan dia sendiri beberapa kali sempat sibuk terdesak menghadapi ilmu silat pemuda itu yang aneh dan memiliki daya serang amat dahsyat. Dan diam-diam diapun merasa girang. Bukankah tadi pemuda ini menyatakan sudah bersepakat dengan Ciok Hwa untuk berjodoh? Alangkah bangga dan senangnya kalau dia mempunyai mantu sehebat ini!
Akan tetapi mereka bertanding di depan puluhan pasang mata. Tentu akan merendahkan martabatnya kalau sampai dia kalah. Apa lagi dalam pandangan para perajurit Wu-yeh. Dia adalah datuk di daerah Wu-yeh yang amat terkenal, sebagai datuk nomor satu. Bagaimana kalau mereka melihat dia kalah melawan seorang pemuda?
Cin Po adalah seorang pemuda yang berperasaan halus. Setelah bertanding seratus jurus lebih dia tahu bahwa kalau dia menghendaki dia akan mampu mengalahkan datuk ini. Diam-diam dia merasa girang bukan main. Gemblengan selama dua tahun oleh Bu Beng Lojin membuat dia mampu menandingi datuk timur!
Akan tetapi dia merasa tidak enak kalau harus mengalahkan ayah kekasihnya itu di depan orang banyak. Apa lagi sampai melukainya. Maka, setelah mencari akal, dia lalu mengarahkan seluruh tenaga sihirnya dan sambil mendorongkan ke dua tangannya, dia mengeluarkan suara melengking yang hebat sekali.
Itulah ilmu yang disebut Tong-te-ho-kang (Suara Sakti Getarkan Bumi), dan yang ditujukan ke arah depan. Pasukan Wu-yeh yang menonton pun diterpa suara ini banyak yang berpelantingan. Apa lagi dari ke dua tangan yang didorongkan itu timbul angin yang keras.
Tung-hai Mo-ong mencoba untuk menahan diri dengan dorongan ke dua tangannya dengan pukulan jarak jauh pula. Akan tetapi hawa pukulan yang menerjangnya itu terlampau hebat dan diapun terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung.
Biarpun tidak sampai roboh dan sama sekali tidak terluka, namun datuk ini maklum bahwa ia telah kalah. Karena itu dia berteriak keras kepada pasukan Wu-yeh untuk mundur, dan dia mendahului melompat jauh dan menghilang dari tempat itu!
Pasukan Wu-yeh tentu saja menjadi ketakutan dan kehilangan semangat untuk bertempur setelah kakek itu pergi karena tadipun sebelum dibantu kakek itu mereka sudah mulai terdesak. Apa lagi sekarang di pihak musuh terdapat pemuda baju putih yang agaknya telah mampu mengalahkan datuk timur. Mereka lalu lari berserabutan kembali ke timur, ke wilayah Wu-yeh.
Pasukan Sung merubung Cin Po dan memberi pujian kepada pemuda itu. Komandan mereka, seorang panglima pengawal segera mengajaknya menghadap Menteri Lu yang juga turun dari keretanya bersama puterinya. Biarpun dia tidak menghendaki imbalan jasa atau pujian, akan tetapi demi sopan santun, Cin Po tidak menolak ketika dihadapkan kepada Menteri Kebudayaan Lu Tong Pi. Dia merasa terkejut dan juga malu ketika melihat gadis itu. Demikian agung, damikian anggun dan cantik jelita.
Baru sekali ini dia berhadapan dengan seorang pembesar tinggi, juga dengan seorang puteri bangsawan yang memandangnya dengan mata seperti bintang yang mengaguminya! Dengan sikap hormat dia lalu mengangkat kedua tangan depan dada, lalu agak membungkuk memberi hormat kepada ayah dan anak itu.
“Tai-hiap,” kata sang komandan memperkenalkan. “Engkau berhadapan dengan Yang Mulia Menteri Kebudayaan, paduka Menteri Lu Tong Pi dan puteri beliau, nona Lu Bwe Kim.”
Diam-diam hati Cin Po terkejut juga mendengar bahwa orang dalam kereta itu adalah seorang Menteri negara. Kembali dia memberi hormat dan berkata, “Tai-jin, maafkan kalau saya bersikap kurang hormat karena tidak mengetahui.”
“Aih, tai-hiap tidak perlu bersikap sungkan. Bagaimanapun juga, tai-hiap telah menolong kami, mungkin telah menyelamatkan nyawa kami berdua. Siapakah namamu tai-hiap?”
“Nama saya Sung Cin Po, tai-jin,” jawabnya dengan lancar karena sejak semula dia tidak sudi menggunakan nama marga ayah kandungnya, yaitu marga Ban. Dia lebih suka menggunakan marga ibu kandungnya.
“Bagus, semuda ini engkau telah memiliki ilmu silat yang begitu tinggi. Engkau tidak boleh menyembunyikan diri saja, tai-hiap. Engkau dapat berbuat banyak demi negara dan bangsa.”
“Maaf, tai-jin. Saya tidak mempunyai ambisi untuk itu,” kata Cin Po merendahkan diri.
“Akan tetapi tidakkah engkau melihat betapa kerajaan-kerajaan lain merupakan ancaman bagi kerajaan kita? Marilah ikut dengan kami ke kota raja, tai-hiap dan peristiwa tadi akan kulaporkan kepada Yang Mulia Kaisar.”
“Ah, terima kasih, tai-jin. Sungguh saya tidak mengharapkan apa-apa, tidak mengharapkan imbalan jasa karena semua itu sudah saya anggap sebagai suatu kewajiban. Ijinkan saya pergi, tai-jin.”
“Nanti dulu, Sung Cin Po!”
Tiba-tiba terdengar suara merdu dan ternyata yang bicara adalah Lu Bwe Kim, puteri Menteri itu. Berdebar rasanya jantung dalam dada Cin Po ketika namanya dipanggil oleh gadis bangsawan yang cantik jelita itu. Diapun menghadapinya sambil menunduk, tidak berani menatap wajah cantik itu atau bertemu pandang dengan sepasang mata bintang itu.
“Apakah yang dapat saya perbuat untuk nona?” tanyanya, lembut.
“Sung Cin Po, perjalanan pulang ke kota raja masih jauh dan baru saja kami mengalami ancaman bahaya yang mengerikan. Biarpun telah diantarkan pasukan pengawal, buktinya tadi hampir saja kami celaka, kalau tidak ada engkau yang menolong kami, tentu kami mengalami kecelakaan.
“Karena itu, hati kami akan selalu merasa gelisah dalam perjalanan pulang ini. Engkau yang telah menolong kami, maukah engkau berbaik hati, tidak kepalang tanggung dan membantu mengawal kami sampai kami tiba di tempat tujuan, yaitu di kota raja?”
“Ah, benar seperti yang dikatakan Bwe Kim puteriku. Tai-hiap, tolonglah kami, bantulah pengawalan kami sampai ke kota raja!”
Cin Po merasa tersudut. Apa yang diucapkan gadis itu memang tepat dan tentu kelihatan pihaknya yang keterlaluan kalau menolak permintaan tolong ayah dan anak itu. Bukan hendak mencari imbalan jasa dia pergi ke kota raja, melainkan untuk mengawal mereka.
Pula, dia belum pernah melihat kota raja, hanya mendengar dari dongeng saja dan inilah kesempatan baginya untuk melihatnya. Tadi ketika Bwe Kim bicara kepadanya, gadis itu menyebut namanya saja dan terdengar demikian akrab, akan tetapi ayahnya menyebut tai-hiap, sebutan yang membuatnya rikuh sekali.
Dia menghela napas panjang. “Baiklah, tai-jin. Akan tetapi saya mohon tai-jin tidak menyebut tai-hiap kepada saya, cukup dengan menyebut nama saya saja.”
Pembesar itu tertawa. “Ha-ha-ha, engkau yang begini lihai kalau tidak disebut tai-hiap lalu siapa yang berhak atas sebutan itu? Engkau berilmu tinggi akan tetapi rendah hati, Sung Cin Po. Panglima beri seekor kuda yang baik untuk Sung Cin Po!” perintah Menteri Lu Tong Pi.
Tak lama kemudian dia bersama puterinya memasuki kereta lagi dan rombongan itu berangkat, kini ditambah dengan Cin Po yang mengawal dengan menunggang seekor kuda yang besar, yang atas permintaan menteri Lu dijalankan di dekat kereta sehingga sang menteri dapat bercakap-cakap dengan Cin Po.
Dengan ramah tamah dan akrab pembesar itu bertanya, “Cin Po, dari manakah engkau datang? Di mana tempat tinggalmu?”
“Saya datang dari Thian-san, tai-jin.”
“Ah, pegunungan Thian-san? Di sana kalau tidak salah ada sebuah perkumpulan persilatan bernama Thian-san-pang…”
“Memang dari sanalah saya datang.”
“Ah, jadi murid Thian-san-pang? Siapakah ayah bundamu, Cin Po?”
Ditanya siapa ayah bundanya, wajah Cin Po diliputi kabut. Bagaimana dia harus mengakui bahwa ayahnya adalah mendiang Ban Koan seorang yang bersifat jahat, berhati palsu, pengkhianat dan pembunuh? “Ayah saya sudah meninggal dunia, hanya tinggal ibu saya yang kini menjadi ketua Thian-san-pang.”
“Wah, pantas engkau lihai sekali! Kiranya engkau adalah putera ketua Thian-san-pang.”
Cin Po merasa gembira bahwa pembesar itu tidak bertanya lebih jauh tentang orang tuanya, agaknya pembesar itu juga melihat betapa wajahnya menjadi muram ketika ditanya tentang ayah bundanya dan pembesar ini mengira bahwa pemuda itu berduka mengenang ayahnya yang sudah tiada.
Sebetulnya alasan yang diucapkan Lu Bwe Kim bahwa perjalanan jauh itu menggelisahkan dan mungkin terdapat bahaya mengancam adalah alasan belaka untuk membujuk pemuda itu agar suka mengikuti ayahnya ke kota raja. Perjalanan makin mendekati kota raja, tentu saja makin jauh dari bahaya. Kalau hanya gerombolan perampok biasa saja mana berani mengganggu kereta pembesar itu yang dikawal puluhan orang pasukan?
Maka perjalanan itu berjalan lancar. Setiap kali berhenti melewatkan malam di sebuah kota, tentu pembesar setempat menyambut rombongan Menteri Kebudayaan ini penuh penghormatan dan menjamunya. Cin Po sebagai seorang di antara para pengawal pribadi, tentu saja ikut pula dijamu. Cin Po melihat betapa penjabat daerah bersikap menjilat terhadap Menteri itu, bahkan ada yang hendak memberi sumbangan dan bekal yang berlebihan.
Dan Cin Po juga melihat betapa Lu-taijin bersikap biasa saja, sama sekali tidak congkak dan bahkan menolak pemberian sumbangan dan bekal yang berlebihan itu. Hal ini tentu saja membuat Cin Po semakin suka dan kagum kepada pejabat tinggi itu.
Selama hidupnya, baru satu kali Cin Po mengenal tentang pangkat dan kedudukan, yaitu ketika dia berusia enambelas tahun, mengikuti ujian menjadi perwira dan lulus sebagai seorang perwira kerajaan Khi-tan. Di sanapun dia melihat betapa pejabat rendahan menjilat-jilat pejabat atasan dan betapa pejabat atasan bersikap congkak terhadap bawahannya.
Kemudian dia melihat betapa pasukan merampok dan membunuh, memperkosa, maka dia lalu mengamuk, membunuhi anak buahnya sendiri yang melakukan kejahatan lalu melarikan diri. Kini dia melihat sikap yang berbeda sekali dari Lu-taijin. Bahkan para pengawalnya tidak ada yang berani bersikap kasar terhadap rakyat.
Ketika rombongan itu memasuki dusun, Lu-taijin selalu memerintahkan agar keretanya dijalankan lambat-lambat dan dia selalu membalas lambaian tangan rakyat yang menghormatinya. Juga Lu Bwe Kim bersikap ramah dan menghadiahkan senyum dan lambaian tangan kepada rakyat. Cin Po tidak merasa menyesal telah menyelamatkan keluarga Lu ini, yang ternyata memang pantas menjadi seorang pembesar.
Setelah tiba di kota raja, Cin Po tidak dapat menolak ajakan pembesar itu untuk singgah di gedungnya. Sebuah gedung yang besar, akan tetapi tidaklah terlalu mewah. Ini saja membuktikan bahwa Lu Tong Pi bukan semacam pejabat yang suka mengumpulkan uang untuk diri sendiri. Dibandingkan dengan gedung tempat tinggal Pat-jiu Pak-sian umpamanya, gedung ini masih kalah jauh.
“Sung Cin Po, besok aku akan melaporkan kepada kaisar tentang perjalananku. Ketahuilah bahwa selain pergi mengunjungi kampung halamanku, juga aku bertugas menyelidiki dan mendengar-dengar tentang keadaan di perbatasan. Maka, penyerangan terhadap rombonganku itu merupakan peristiwa penting yang perlu kulaporkan kepada kaisar.
“Karena itu, aku mengharap sekali lagi agar engkau ikut dengan aku menghadap kaisar, karena kalau tidak, kaisar tentu akan menanyakan tentang dirimu yang sudah menyelamatkan aku dan sungguh tidak enak kalau aku tidak dapat membawamu ke sana.”
Karena sikap yang baik dari Lu Tong Pi, Cin Po sudah mulai tertarik. Diapun ingin sekali melihat bagaimana macamnya istana yang pernah didengarnya dari ibunya sebagai dongeng. Menurut penuturan ibunya yang juga belum pernah melihatnya, istana adalah sebuah tempat yang luar biasa indahnya. Seperti sorga di atas bumi! Diapun mendengar bahwa Kaisar Sung Thai Cung yang sekarang bertahta adalah kaisar yang baru satu tahun dinobatkan menjadi kaisar dan kabarnya merupakan seorang kaisar yang bijaksana.
Di rumah Menteri Lu diapun diterima dengan sikap hormat sekali, bukan seperti orang bawahan, melainkan sebagai tamu yang dihormati. Dia diperkenalkan dengan para selir menteri itu yang jumlahnya ada empat orang, dengan anak-anak para selir itu yang semua menjadi kagum mendengar bahwa pemuda berbaju putih itu telah menyelamatkan nyawa sang menteri berikut nyawa puterinya dari ancaman orang-orang Wu-yeh.
Juga Lu Bwe Kim, gadis bangsawan itu, bersikap ramah dan bersahabat dengannya. Bahkan kini Bwe Kim menyebutnya “twako” sebutan yang sungguh amat menghormatinya, tanda bahwa gadis itu menganggapnya seperti seorang sahabat sendiri.
Dan malam itu diadakan sebuah pesta keluarga kecil untuk menghormati Cin Po. Dalam kesempatan ini, para selir menabuh yang-kim dan suling, dan Bwe Kim lalu menari, suguhan yang mengasyikkan dan merupakan kehormatan besar bagi Cin Po!
Sungguh Cin Po mengalami perasaan yang menggembirakan sekali, dan sedikit banyak mengusir kedukaannya yang terbawa dari Thian-san-pang, kedukaan yang timbul ketika dia mengetahui bahwa ayah kandungnya adalah Ban Koan...!