Pendekar Baju Putih Jilid 18

Cerita silat Mandarin Pendekar Baju Putih Jilid 18 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Baju Putih Jilid 18 karya Kho Ping Hoo - Tarian Bwe Kim memang indah, indah dan lemah gemulai, seperti tarian bidadari saja layaknya. Cin Po merasa terayun, belum pernah dia melihat yang seindah itu. Apa lagi pengaruh arak membuatnya menjadi agak mabok sehingga dia terpesona dan setelah gadis itu selesai menari, dia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak bertepuk tangan memuji.

Novel Silat Mandarin Pendekar Baju Putih karya Kho Ping Hoo

Mendapat tepukan tangan Cin Po, Lu Bwe Kim dengan gaya luwes menekuk sedikit lututnya dan menghadapi Cin Po sambil berkata, “Aihh, Sung-twako, tarianku jelek, tidak pantas kau puji!”

“Ah, nona. Siapa bilang jelek? Belum pernah seumur hidupku melihat yang begitu indah!” kata Cin Po sejujurnya dan karena maklum bahwa pemuda itu tidak menjilat melainkan berkata sejujurnya, tentu saja hati Bwe Kim girang bukan main.

“Ha-ha-ha, di istana engkau akan dapat melihat hal-hal lain yang indah-indah, Cin Po,” kata Lu Tong Pi. “Selagi muda sebaiknya membuat jasa dan memperoleh kedudukan tinggi, dengan demikian berarti engkau telah memenuhi dua kewajiban. Pertama, engkau mengangkat derajat orang tuamu, dan kedua, engkau membangun dasar yang kokoh kuat untuk keturunanmu kelak.”

Mendengar ucapan ini, Cin Po mengangguk-angguk. Dia dapat merasakan kebenaran dalam ucapan menteri itu. Orang tuanya, terutama ayah kandungnya, adalah seorang laki-laki brengsek yang namanya buruk dan tercemar.

Kalau orang mengetahui bahwa dia adalah anak Ban Koan, tentu dia akan ikut dikutuk orang. Untuk membersihkan nama keluarga itu, memang jalan satu-satunya membuat jasa dan nama besar, barulah noda yang melekat pada keluarganya dapat terhapus.

Juga, dia akan dapat membahagiakan ibunya kalau dia memperoleh kedudukan baik di kerajaan. Ibunya yang sejak muda menderita sengsara. Dia harus dapat membahagiakannya dan mengangkatnya menjadi seorang wanita yang dihormati dan dimuliakan orang!

Dan selain itu, dia akan dapat menarik wanita yang dicintanya, yaitu Ciok Hwa, ke tempat yang tinggi pula. Dan anak-anaknya kelak juga akan menjadi orang-orang yang dihormati. Benar Lu-taijin. Berbakti kepada orang tua dan memberi landasan yang kuat bagi anak-anak cucunya kelak!

“Akan tetapi, paman, saya tidak memiliki kepandaian apapun. Bagaimana saya akan dapat menghambakan diri kepada Sribaginda Kaisar?” Cin Po bertanya.

Pembesar itu telah minta kepadanya untuk menyebut paman kepada pembesar itu, suatu kehormatan yang membuat Cin Po merasa rikuh juga. Bahkan Bwe Kim minta agar dia menyebut adik, akan tetapi lidahnya masih sering menolak dan dia menyebut nona kepada gadis bangsawan itu.

“Ha-ha-ha,” Lu Tong Pi yang sudah setengah mabok itu tertawa. “engkau bilang tidak mempunyai kepandaian apapun? Kiraku di istana tidak ada seorangpun panglima yang dapat menandingi kepandaianmu, Cin Po. Kalau menurut aku, engkau pantas menjadi seorang panglima!”

“Panglima…” Cin Po teringat ketika dia menjadi perwira rendahan di Khi-tan dan dia merasa ngeri kalau membayangkan betapa dia akan mengepalai lebih banyak tentara lagi. Bagaimana kalau tentara bawahannya itu juga jahat seperti tentara Khi-tan?

“Ya, mengapa tidak? Jangan khawatir, akulah yang akan menghadap dan melapor kepada Yang Mulia Kaisar!”

Demikianlah, malam itu Cin Po tidur di sebuah kamar yang indah dan pembaringan yang lunak, sedemikian lunak dan bersih indahnya kamar itu sehingga membuat dia tidak dapat tidur nyenyak!


Pada keesokan harinya Cin Po mengenakan pakaian serba putih yang baru, dibuatkan oleh Menteri Lu karena sang menteri menghendaki dia memakai pakaian yang pantas kalau menghadap Kaisar, akan tetapi Cin Po minta agar pakaian itu berwarna putih.

“Engkau selalu berpakaian putih, Cin Po?”

“Benar, paman. Sejak kecil saya berpakaian serba putih.”

“Bagus, kalau begitu aku akan memperkenalkanmu, sebagai Pek I Tai-hiap (Pendekar Besar Baju putih).”

“Ah, mana aku berani, paman,” kata Chin Po merendah.

“Kalau engkau diangkat menjadi panglima, aku akan mengusulkan agar engkau diperkenankan pula memakai pakaian putih agar engkau disebut Panglima Baju Putih,” menteri itu berkelakar.

Ketika mereka sedang tertawa-tawa dan siap hendak berangkat, muncullah Lu Bwe Kim. Gadis itu nampak cerah dan cantik jelita di pagi itu. “Wah, engkau gagah sekali mengenakan pakaian itu, twako!” kata Bwe Kim, dan sikapnya sudah akrab dan bebas memuji biarpun di depan ayahnya. Agaknya ayah dan anak ini merasa berhutang budi benar kepada Cin Po sehingga sikap mereka demikian ramah dan akrab.

“Wah, pakaian serba putih mana bisa membuat orang kelihatan gagah, nona?”

“Twako, sudah berapa kali aku bilang. Kita ini sudah seperti keluarga sendiri, setidak-tidaknya seperti sahabat-sahabat baik, kenapa engkau masih sungkan-sungkan dan menyebut nona kepadaku. Apakah engkau tidak mau menyebut adik kepadaku?”

“Bukan begitu, non..... ah, siauw-moi, hanya aku merasa kurang pantas....”

“Siapa bilang tidak pantas? Kalau engkau tidak menyebutku adik dan tetap menyebut nona, akupun akan menyebut tai-hiap kepadamu.”

“Maafkan aku. Baiklah, Kim-moi (adik Kim)…!”

“Nah, begitu kan lebih enak?”

Gadis itu tertawa, ayahnyapun tertawa dan Cin Po ikut tersenyum, akan tetapi senyumnya penuh rasa sungkan. Keluarga ini demikian baik kepadanya, dan dia merasa rikuh bukan main. Mereka lalu berangkat, diantar Bwe Kim sampai ke beranda depan. Ketika mereka tiba di istana, Cin Po merasa rikuh dan sungkan sekali.

Berdebar jantungnya melihat segala kemegahan, kebesaran dan kemewahan di istana. Segalanya serba besar. Bahkan pintu-pintunya pun besar seperti pintu raksasa, dicat indah dan di mana-mana terdapat hiasan, hiasan dinding yang serbaneka dan berharga.

Para pengawal istana berjaga dengan pakaian mereka yang indah pula, apa lagi setelah tiba di sebelah dalam di mana penjagaan dilakukan oleh pasukan pengawal Kim-i-wi (Pasukan Baju Emas) sungguh mereka itu nampak gagah dan berwibawa.

Memasuki bangunan yang serba megah besar dan mewah itu Cin Po merasa betapa dirinya kecil tak berarti. Maka jantungnya berdegup tegang ketika akhirnya pasukan pengawal menyambut dan mengantarkan mereka ke ruangan persidangan di mana kaisar menerima para menteri dan panglimanya.

Ruangan itu luas sekali. Sudah banyak pembesar yang hadir ingin menghadap Kaisar dengan laporan-laporan mereka, dan singgasana masih nampak kosong. Akan tetapi singgasana yang kosong itu agaknya mempunyai pengaruh kekuasaan yang mendalam karena semua pejabat menghadap ke arah kursi kebesaran itu dengan sikap hormat, walaupun mereka berdiri dan bercakap-cakap dengan suara bisik-bisik.

Menteri Lu Tong Pi disambut rekan-rekannya dan Cin Po terpaksa berdiri di pinggiran, tidak berani mencampuri mereka dan Menteri Lu agaknya juga belum ingin memperkenalkan penolongnya kepada mereka sebelum dia memperkenalkan kepada Kaisar. Suara thai-kam (sida-sida) yang meninggi nyaring mengumumkan bahwa Yang Mulia Kaisar telah tiba.

Semua orang berdiam diri dan ketika Kaisar muncul diiringkan serombongan thai-kam dan pengawal pribadi, semua orang menjatuhkan diri berlutut menghadap kaisar dan berseru dengan suara nyaring dan serempak, “Ban-swe... ban-ban-swe (Hidup selaksa tahun)!”

Cin Po memang sudah diberi keterangan lebih dulu oleh Menteri Lu bagaimana harus bersikap kalau menghadap kaisar, maka dia pun sudah berlutut bersama yang lain di belakang Menteri Lu dan menyerukan pujian panjang umur itu sebagai penghormatan. Dari balik bola matanya karena kepalanya menunduk tidak berani diangkat seperti pesan Menteri Lu, Cin Po melirik untuk memandang ke arah Kaisar.

Seorang laki-laki yang agak gemuk dengan wajah kemerahan dan mata tajam bersinar-sinar, mulut tersenyum mengejek, berusia kurang lebih empatpuluh tahun dan pakaiannya serba gemerlapan, kini mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata dengan suaranya yang agak parau.

“Kalian bangkitlah!”

“Terima kasih, Yang Mulia!” kata mereka serempak dan kini semua orang bangkit berdiri sambil menundukkan kepala menghadap Kaisar. Di hadapan Kaisar semua orang harus menundukkan mukanya, tidak ada yang diperbolehkan mengangkat muka menatap wajah kaisar, kecuali mereka diajak bicara.

Kemudian, sesuai dengan daftar yang dibacakan oleh seorang thai-kam, seorang demi seorang mereka yang datang membawa laporan diperkenankan maju dan berlutut menyampaikan laporannya. Seorang pembantu lain, juga seorang thai-kam, siap untuk mencatat semua pelaporan para pejabat tinggi itu. Ketika tiba giliran menteri Kebudayaan Lu Tong Pi dipanggil untuk maju, Menteri itu memandang Cin Po kemudian melangkah maju dan menjatuhkan dirinya berlutut di hadapan kaisar.

Lu Tong Pi masih terhitung paman luar dari Kaisar Sung Thai Cung, maka tentu saja dia merupakan seorang pembesar yang terpandang dan dihormati semua rekannya. Akan tetapi dia menjadi menteri bukan karena dia masih paman kaisar, karena sebelum Kaisar Sung Thai Cung naik tahta, Lu Tong Pi sudah lama menjadi seorang pejabat tinggi. Dia menjadi pejabat tinggi karena kepandaiannya, dan keahliannya tentang sastera, maka dia diangkat menjadi Menteri Kebudayaan.

Ketika Kaisar memandang kepada Menteri Lu, kaisar tersenyum dan berkata ramah, “Ah, engkau sudah pulang, Paman Menteri Lu? Bagaimana kabarnya di kampung halamanmu?”

“Terima kasih, Yang Mulia. Semua dalam keadaan sehat dan selamat.”

“Bagus! Dan bagaimana dengan penyelidikanmu tentang keadaan di perbatasan timur?”

“Setelah mengunjungi kampung halaman, dalam perjalanan pulang hamba sengaja mengambil jalan di sepanjang perbatasan. Dan ternyata banyak sekali pelanggaran perbatasan dilakukan oleh pasukan Wu-yeh. Menurut keterangan para penduduk di dekat perbatasan, hampir setiap hari pasukan Wu-yeh melanggar wilayah Song dan membikin kacau. Bahkan hamba sendiri dihadang oleh pasukan Wu-yeh dan mereka menyerang pasukan pengawal yang mengiringkan hamba.”

“Hemm,...! Bagaimana kesudahannya? Pasukan pengawalmu menang, bukan?” kata kaisar, tertarik.

“Mula-mula memang demikian, Yang Mulia. Pasukan hamba dapat memukul mundur mereka, akan tetapi lalu muncul seorang kakek yang sakti dan kakek ini yang membuat pasukan hamba kocar kacir. Untunglah muncul seorang pendekar muda yang gagah perkasa, dan pendekar inilah yang menyelamatkan hamba sekeluarga dan dia mampu mengalahkan kakek sakti yang kemudian dikenal oleh pendekar itu sebagai Tung-hai Mo-ong!”

Semua pembesar, terutama para panglimanya, terkejut mendengar disebutnya nama ini, nama yang sudah terkenal sebagai datuk sesat dari timur yang berilmu tinggi.

“Aha, bagus sekali. Siapakah pendekar itu dan di mana dia?” tanya kaisar dan semua orang juga ingin mengetahui siapakah pendekar muda yang dapat mengalahkan Tung-hai Mo-ong.

“Hamba sudah mengajaknya menghadap di sini, Yang Mulia. Kalau paduka menghendaki, akan hamba suruh maju menghadap.”

“Ya, panggil dia ke sini, kami ingin melihatnya.”

Menteri Lu lalu memberi isyarat ke belakang kepada Cin Po. Pemuda ini melangkah maju dan segera menjatuhkan dirinya berlutut menghadap Kaisar di samping Menteri Lu.

“Inilah Yang Mulia. Inilah pendekar muda yang telah menyelamatkan hamba, inilah Pendekar Baju Putih.”

Kaisar mengamati wajah Cin Po yang menunduk. “Pendekar muda, coba angkat mukamu, ingin kami melihatmu.”

Dengan hati berdebar tegang Cin Po mengangkat sedikit mukanya tanpa berani memandang kepada kaisar sehingga kaisar dapat melihat wajahnya yang tampan gagah.

“Siapakah namamu?” tanya kaisar dengan suara senang.

“Hamba bernama Sung Cin Po, Yang Mulia.”

“Engkau murid dari perguruan manakah?”

Inilah saatnya untuk mengangkat nama ibunya sebagai ketua Thian-san-pang, mengangkat nama perkumpulan itu. “Hamba murid Thian-san-pang, Yang Mulia!”

Sribaginda Kaisar mengangguk-angguk lalu berkata kepada Menteri Lu, “Lanjutkan, ceritamu, Paman Menteri Lu.”

“Setelah pasukan Wu-yeh dapat dipukul mundur, hamba mengajak Sung Cin Po untuk menghadap paduka, bukan untuk menonjolkan jasanya melainkan untuk mengusulkan kepada paduka bahwa dia pantas sekali untuk diangkat menjadi seorang panglima. Mohon paduka ketahui bahwa pihak Wu-yeh selalu melakukan pelanggaran dan keadaan mereka kuat sekali.

“Bahkan hamba mendengar desas-desus bahwa pihak Wu-yeh sedang melakukan pendekatan untuk bersekutu dengan pihak Hou-han. Karena itu, perlu sekali seorang panglima yang pandai untuk melakukan penyelidikan dan kalau memang benar demikian, menghancurkan persekutuan itu sebelum merepotkan pihak kita!”

“Dan paman mengusulkan agar Sung Cin Po ini melakukan tugas itu?”

“Benar demikianlah, Yang Mulia. Hamba kira hanya dia yang sanggup memikul tugas yang amat penting itu.”

Pada saat itu, seorang kakek berusia kurang lebih enampuluh tahun yang pakaiannya seperti sasterawan melangkah maju dan berlutut kepada kaisar. “Mohon beribu ampun. Yang Mulia, kalau hamba hendak memberi pandangan tentang pengusulan pengangkatan panglima oleh Menteri Kebudayaan Lu.”

“Bicaralah, Kok-su,” kata kaisar.

Orang itu ternyata adalah Kok-su (Guru Negara) yang tugasnya sebagai penasehat kaisar dan dia bernama Lauw Thian Seng-cu, yang dahulu sebelum menjadi Kok-su adalah seorang tosu yang pandai ilmu perbintangan, ilmu silat dan ilmu sihir. Dia menjadi penasehat karena memang orangnya pandai dan ahli dalam segala hal sehingga kaisar amat percaya kepadanya.

“Ampun, Sribaginda. Di dalam peraturan istana disebutkan bahwa setiap pengangkatan pejabat atau panglima baru haruslah melalui ujian. Hal ini untuk mencegah terjadinya pengangkatan orang yang tidak cakap dan tidak cocok untuk jabatannya.”

“Akan tetapi Sung Cin Po yang berjuluk Pendekar Baju Putih ini sudah menolong Paman Menteri Lu dan kepandaiannya dalam ilmu silat tinggi,” bantah Kaisar.

“Bagaimanapun juga, paduka belum menyaksikan sendiri, bukan? Bukannya hamba tidak percaya akan keterangan Lu-taijin, akan tetapi mengingat bahwa Lu-taijin adalah seorang ahli bun (sastera) sedangkan kedudukan panglima bertalian dengan keahlian bu (silat) maka penilaian Lu-taijin bukan penilaian seorang ahli.”

Kaisar mengangguk-angguk. “Hemm, paman menteri Lu. Keterangan Kok-su tadi memang masuk diakal.”

Diam-diam Lu Tong Pi mendongkol akan tetapi cepat dia memberi hormat kepada kaisar. “Tentu saja sebaiknya diuji agar paduka dapat menyaksikannya sendiri.”

“Bagus, setelah selesai persidangan ini, nanti kami akan menyaksikan ujian itu di lian-bu-thia (ruangan silat)!” kata kaisar gembira dan Menteri Lu beserta Cin Po diperbolehkan mundur untuk memberi tempat kepada para menteri lain yang hendak memberi laporan mereka.

Setelah persidangan selesai, kaisar lalu dikawal pergi ke lian-bu-thia. Kaisar naik di panggung dan duduk di kursi kebesaran yang berada dipanggung, siap untuk menonton ujian pertandingan yang akan diatur oleh Kok-su sendiri karena pengangkatan panglima ini bukan panglima pasukan di luar istana, melainkan panglima penyelidik yang berada di bawah kekuasaan panglima pengawal istana. Dan Kok-su adalah seorang pejabat yang tertinggi di istana setelah kaisar, maka tentu saja dia boleh melakukan ujian ini untuk memilih panglima yang sudah sepatutnya dipercaya oleh kaisar.

“Engkau berhati-hatilah, Cin Po. Kok-su adalah seorang yang banyak akalnya,” pesan Lu Tong Pi sebelum pemuda itu memasuki ruangan ujian silat itu.

Para menteri yang menonton disediakan ruangan di samping ruangan itu sehingga ruangan itu tidak terganggu kehadiran orang lain. Semua orang, termasuk kaisar, melihat Cin Po memasuki ruangan itu dan di sudut ruangan itu duduklah Kok-su Lauw Thian Seng-cu.

Lauw Thian Seng-cu lalu menghadap kaisar dan memberi hormat, bertanya, “Apakah hamba sudah boleh memulai, Yang Mulia?”

Kaisar memberi tanda dengan tangannya dan Lauw Thian Seng-cu memberi isyarat ke pintu tembusan sebelah dalam. Dari pintu itu lalu keluarlah seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa. Dan melihat munculnya orang ini, semua yang hadir terkejut. Terutama sekali menteri Lu Tong Pi. Dia terkejut sekali, tidak menyangka bahwa Lauw Thian Seng-cu akan memilih orang ini untuk menguji kepandaian silat Cin Po.

Orang itu adalah jagoan istana yang paling tangguh, bernama Un Liong Tek. Menurut kabar, belum pernah jagoan ini kalah oleh siapapun juga, karena itu diapun tidak pernah diajukan untuk menguji seseorang karena tentu akan kalah dan gagal. Akan tetapi mengapa sekali ini Lauw Thian Seng-cu justeru memilih dia untuk menghadapi Cin Po?

Akan tetapi sudah terlambat untuk mencegah. Un Liong Tek yang tubuhnya seperti orang utan itu sudah memberi hormat kepada kaisar dan kaisar menganggukkan kepalanya. Kaisar juga tahu akan kehebatan Un Liong Tek, maka dia menjadi gembira sekali, ingin menyaksikan pertandingan yang menegangkan. Mampukah Pendekar Baju Putih menandingi raksasa yang menjadi kebanggaan istana ini?

Dengan suara lantang, Lauw Thian Seng-cu berkata kepada Un Liong Tek yang sudah berpangkat panglima pasukan pengawal dalam istana itu. “Un-ciangkun, engkau terpilih menjadi orang yang harus menguji ilmu kepandaian silat calon panglima ini. Dia bernama Sung Cin Po. Kalian boleh saling serang, tidak boleh menggunakan senjata apapun dan tidak usah bersungkan-sungkan karena pertandingan ini harus sungguh-sungguh untuk menilai sampai di mana kepandaian calon ini.

“Sung Cin Po, kalau engkau ingin lulus dalam ujian ini, engkau harus mampu menandingi Un-ciangkun. Dan ingatlah kalian berdua bahwa kalau ada yang terluka dalam pertandingan, itu sudah menjadi resiko pertandingan ujian. Nah, mulailah!”

Cin Po merasa tidak enak kalau harus menyerang lebih dulu. Dia adalah pihak yang diuji, maka dia akan menyerahkan kepada pengujinya untuk mulai lebih dulu. Karena dia melihat orang tinggi besar itupun hanya memasang kuda-kuda dan memandang kepadanya, seolah menanti dia menyerang lebih dulu, diapun berkata dengan sikap hormat.

“Ciangkun, silakan mulai, saya sudah siap.”

“Lihat serangan!” panglima itu membentak dan dia sudah menerjang ke depan seperti seekor biruang. Gerakannya cepat sekali dan dari kedua tangannya menyambar angin pukulan yang kuat.

Melihat sifat serangan, Cin Po tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang mengandalkan tenaga otot dalam penyerangannya dan bahwa orang ini memiliki tenaga besar sekali. Dengan sigapnya dia mengelak ke kiri. Akan tetapi, cepat sekali tubuh penyerangnya juga sudah membelok ke kiri dan melanjutkan serangan pertama yang luput tadi. Kembali Cin Po mengelak mundur sehingga serangan kedua itupun tidak mengenai tubuhnya.

Un Liong Tek menjadi penasaran sekali. Gerakan pemuda itu demikian lincah dan dia merasa dipermainkan. Dia mengeluarkan suara geraman di kerongkongan dan kini dia menyerang dengan ilmu silat yang dahsyat, yang datangnya seperti ombak bergulung-gulung. Itulah ilmu silat Lo-hai-kun-hoat (Ilmu Silat Pengacau Lautan) yang hebat. Bukan hanya kedua tangan yang menghantam secara bergantian dan bertubi-tubi, akan tetapi juga kedua kakinya berselang-seling mengirim tendangan. Dan setiap pukulan atau tendangan dilakukan dengan amat kuatnya.

Sampai belasan jam lamanya Cin Po berhasil mengelak dengan loncatan ke sana sini, akan tetapi karena serangan itu bertubi-tubi datangnya, akhirnya dia harus menangkis juga. Dan inilah yang dikehendaki oleh lawannya.

Un Liong Tek segera mengetahui bahwa pemuda itu memiliki kelincahan sehingga sukar dipukul, maka dia mainkan Lo-hai-kun-hoat untuk mendesak dan memaksa lawannya untuk menangkis. Kalau lawan menangkis, tentu mereka harus mengadu tenaga dan dia yakin bahwa pemuda itu tentu akan terpental dan roboh.

Cin Po mengangkat kedua lengannya untuk menangkis kedua tangan lawan yang menghantamnya dari atas ke bawah. Dua pasang lengan bertemu di udara.

“Dessss…!” Akibatnya bukan Cin Po yang terpental dan roboh, melainkan tubuh Un Liong Tek yang terhuyung ke belakang. Tentu saja panglima tinggi besar itu terkejut setengah mati.

Tadi ketika memukul dia telah mengerahkan hampir seluruh tenaganya dan dia yakin bahwa jarang ada orang yang mampu menangkis pukulannya itu tanpa terpental atau terdorong ke belakang. Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak goyah, bahkan dia sendiri yang terhuyung ke belakang karena merasa ada tenaga yang bukan main kuatnya keluar dari tangkisan pemuda itu dan mendorongnya.

Dari rasa kaget dan heran, Un Liong Tek kini menjadi penasaran dan marah. Tentu saja dia tidak berani memperlihatkan kemarahannya karena di situ hadir banyak pejabat tinggi, bahkan kaisar sendiri menonton adu kepandaian ini. Dia hanya mengatupkan gigi kuat-kuat dan menyerang lagi, sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya dan juga mengeluarkan seluruh kepandaiannya.

Kembali Cin Po mengelak dan pemuda ini merasa penasaran juga. Dia tadi sudah mengalah, kalau dia mau tangkisan itu dapat membuat lawannya terjengkang. Namun dia membatasi tenaganya sehingga Un Liong Tek yang ditangkisnya itu hanya terhuyung ke belakang. Penguji itu tidak mau mengaku kalah malah sebaliknya kini menyerang mati-matian.

Selagi dia mengelak ke sana sini, tiba-tiba telinganya mendengar suara yang berada dekat sekali dengan telinganya, seolah ada orang berbisik kepadanya. “Sung Cin Po, engkau kehilangan tenagamu, hayo engkau menjatuhkan diri berlutut!”

Suara itu mengandung daya yang kuat dan dia merasa seakan-akan lututnya harus ditekuk. Dia segera menyadari bahwa ini merupakan serangan dengan ilmu sihir. Ketika dia memandang, ternyata Lauw Thian Seng-cu yang tadi duduk kini telah berdiri dan kakek itulah yang menyerangnya! Dia menjadi penasaran sekali.

Kenapa kakek itu harus bertindak curang dan menyerangnya, hendak memaksanya agar kalah dalam ujian ini? Dia lalu mengerahkan kekuatan sihirnya seperti yang dipelajarinya dari Bu Beng Lojin dan menuding ke arah kakek itu. “Engkau yang jatuh berlutut!” katanya dengan pengerahan khi-kang sehingga dia hanya berbisik dan yang mendengar suaranya hanya kakek itu.

Sementara itu, pukulan Un Liong Tek datang menyambar. Dia menangkap lengan itu dengan tangannya, memutar sekaligus membanting. Tak dapat dihindari lagi, lengan Un Liong Tek terputar dan tubuhnya terbanting keras, hampir berbareng dengan jatuhnya tubuh Lauw Thian Seng-cu yang berlutut!

Terdengar tepuk tangan dari Kaisar Sung Thai Cung dan para pejabat tinggi juga ikut bertepuk tangan memuji kemenangan Cin Po. Un Liong Tek yang terkejut sekali karena tiba-tiba saja dia terbanting roboh, segera berlutut ke arah kaisar dan mengundurkan diri dekat Kok-su.

Kaisar mengangkat tangan dan semua yang bertepuk tangan berhenti bertepuk. Terdengar suara kaisar yang merasa heran. “Kok-su, kenapa engkau tadi tiba-tiba saja berlutut?”

Semua orang melihat ini dan semua orang juga merasa heran. Wajah Lauw Thian Seng-cu menjadi merah. Dia sendiri heran setengah mati melihat betapa kekuatan sihirnya membalik dan dia seolah memerintahkan diri sendiri untuk berlutut! “Hamba… hamba tadi saking tegangnya bangkit dan hampir lupa bahwa paduka hadir di sini, maka setelah teringat hamba lalu berlutut memberi hormat kepada paduka.”

Kaisar mengangguk-angguk dan hanya Cin Po seoranglah yang tahu persis mengapa Kok-su itu tiba-tiba berlutut tadi. Diam-diam Cin Po waspada dan berhati-hati karena dia menemukan seorang yang berbahaya sekali dalam diri Kok-su itu.

“Sung Cin Po!” kata kaisar dengan nada suara gembira, “Engkau telah lulus ujian dan kami menerima usul Paman Menteri Lu Tong Pi. Engkau kami angkat menjadi seorang panglima penyelidik yang bertugas menyelidiki daerah perbatasan dengan kerajaan-kerajaan lain dan mengamankannya. Kalau membutuhkan pasukan, engkau boleh minta bantuan panglima pasukan keamanan kota raja.”

Cin Po yang sudah lebih dulu menerima keterangan dari menteri Lu, segera menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih. Demikianlah, Cin Po diangkat menjadi panglima penyelidik, diperbolehkan minta pasukan berapa saja untuk membantu dalam tugasnya. Dan untuk sementara Kaisar memenuhi permintaan Menteri Lu agar panglima muda baru itu diperbolehkan tinggal di rumahnya.

Cin Po juga menerima tanda pangkat yang diperlukan dalam tugasnya untuk memperkenalkan diri kepada para pejabat daerah. Dengan girang Menteri Lu membawa Cin Po pulang. Ketika mendengar tentang pengangkatan Cin Po sebagai panglima penyelidik Lu Bwe Kim menjadi girang sekali dan gadis ini cepat memberi selamat.

“Selamat atas pengangkatan itu, twako. Engkau memang tepat sekali untuk menjadi seorang panglima besar sekalipun!” kata gadis itu sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai pemberian selamat.

Cin Po cepat membalas. “Terima kasih, Kim-moi. Sebetulnya semua ini adalah atas jasa dan bantuan ayahmu. Tanpa bantuan Paman Lu, mana mungkin aku menjadi panglima!”

“Aih, Cin Po, kenapa berkata begitu? Biarpun aku yang membawamu ke istana, kalau engkau tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi tentu tidak akan berhasil. Bayangkan saja kalau engkau tadi gagal dan kalah! Hatiku sudah berdebar penuh ketegangan dan kekhawatiran karena kalau engkau gagal tentu aku ikut menjadi bahan ejekan dan tertawaan.”

“Paman Lu, saya melihat sikap Kok-su itu seolah tidak percaya dan tidak suka kepada paman, benarkah penglihatan saya itu? Dan kalau benar mengapa dan siapakah dia?”

Lu Tong Pi menarik napas panjang. “Memang penglihatanmu benar, Cin Po. Aku pernah bentrok dengan Kok-su Lauw Thian Seng-cu yang hendak mencampuri urusan kebudayaan yang menjadi wewenangku.”

“Dia seorang yang berbahaya, paman. Agaknya dia pandai ilmu silat dan ilmu sihir.”

“Memang akupun mendengar bahwa dia ahli ilmu silat dan sihir. Sungguh keadaannya mencurigakan dan mengkhawatirkan melihat betapa kekuasaannya semakin besar dan Kaisar berada di dalam pengaruhnya.”

Kekuasaan memang dapat memabokkan orang. Semua orang berebutan kekuasaan, semua orang berambisi dan menganggap bahwa ambisi atau cita-cita itu sesuatu yang amat baik, yang mendorong orang untuk maju dan berhasil dalam tujuannya.

Pada hal, tujuanlah yang seringkali menyeret manusia ke arah penyelewengan. Tujuan menghalalkan segala cara. Orang terlalu mengejar tujuan sehingga membuta terhadap cara yang dipergunakannya untuk mencapai tujuan itu.

Tujuan menjadi kaya mendorong orang melakukan penipuan, curang dalam perdagangan, korupsi dalam jabatan, bahkan mencuri dan merampok. Tujuan untuk memperoleh kedudukan membuat orang lupa diri dan saling berebutan kekuasaan dengan berbagai tipu muslihat untuk menjatuhkan dan mengalahkan lawan.

Tujuan dikejar-kejar, dinamakan dengan istilah muluk seperti cita-cita dan sebagainya. Pada hal, tujuan ini bukan lain hanyalah keinginan untuk menjadi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kesenangan, akan membuat keadaannya lebih baik dan lebih menyenangkan dari pada keadaannya sekarang. Dan keinginan untuk senang adalah ulah dan gejolak nafsu yang menyeret manusia.

Yang terpenting bukanlah tujuannya, melainkan caranya. Hasil dari pada cara itu tidak terpisah dari caranya sendiri karena hasil hanya merupakan akibat dari cara yang ditempuhnya. Kalau cara itu baik, tentu akibat atau hasilnya baik pula. Mungkinkah mengharapkan suatu hasil yang baik kalau caranya tidak benar?”

“Kalau begitu, sebaiknya paman berhati-hati menghadapi Kok-su itu. Terus terang saja, Paman Lu, tadi ketika saya menghadapi ujian, diam-diam Kok-su itu membantu dengan kekuatan sihirnya untuk membuat saya kalah. Masih untung saya dapat mengatasinya sehingga saya dapat keluar sebagai pemenang.”

Menteri Lu terkejut sekali. “Ahh, aku melihat hal yang ganjil tadi. Tiba-tiba saja Kok-su itu berlutut dan hampir berbareng dengan itu, engkaupun mengalahkan Un-ciangkun.”

“Benar, paman. Dia mendorongku dengan kekuatan sihir agar saya jatuh berlutut, akan tetapi masih untung saya dapat menangkis serangan gelapnya itu.”

“Sungguh licik dan curang. Karena itu, engkau harus berhati-hati terhadap orang itu, Cin Po. Siapa tahu, dia masih merasa penasaran karena selain engkau telah mengalahkan Un-ciangkun, juga engkau mampu menangkis serangan sihirnya.”

Setelah menteri itu pergi untuk mengurus pekerjaannya, Cin Po ditinggal berdua dengan Lu Bwe Kim. Gadis ini memandang dengan matanya yang indah, penuh kagum.

“Twako, engkau memang hebat. Kau tahu, Un-ciangkun itu terkenal sebagai jagoan nomor satu di istana dan engkau telah dapat mengalahkannya dengan mudah. Sungguh aku kagum sekali dan aku merasa amat girang bahwa engkau kini telah menjadi seorang panglima.”

“Engkau baik sekali, Kim-moi. Dan sekarang, maafkan aku. Aku hendak menghadap panglima pasukan keamanan karena setelah Sribaginda mengangkatku, aku harus segera melaksanakan tugas. Aku akan berunding dengannya dan minta disediakan pasukan untuk membuat pembersihan di sepanjang tapal batas dengan kerajaan Wu-yeh.”

“Baiklah, twako. Selamat bekerja dan berhati-hatilah. Aku akan menunggumu pulang dengan berhasil dan selamat,” kata gadis itu dan pandang matanya membuat jantung Cin Po berdebar tegang karena dari kata-kata dan pandang mata gadis itu dia dapat menangkap isyarat cinta!


Cin Po membawa seratus orang pasukan dan pergilah dia ke perbatasan. Setiap melihat pasukan Wu-yeh yang melanggar wilayah Sung, segera diserangnya pasukan itu dan dalam setiap pertempuran, Cin Po mengamuk sehingga pasukan musuh menjadi kocar-kacir.

Dalam waktu sebulan lebih Cin Po mengadakan pembersihan di tapal batas dan dia sendiri tidak mengijinkan pasukannya melanggar perbatasan, hanya menyerang kalau melihat pasukan musuh melanggar perbatasan. Ada kalanya dia bertemu dengan pasukan yang lebih besar jumlahnya sehingga dalam pertempuran itu diapun kehilangan banyak anak buah.

Walaupun akhirnya pasukannya keluar sebagai pemenang, akan tetapi banyak anak buahnya yang terluka atau tewas. Terpaksa dia minta bantuan tambahan tenaga dari panglima yang berjaga di benteng dekat perbatasan.

Perang antara manusia memang merupakan puncak dari keganasan nafsu. Dalam perang, nyawa manusia tidak ada harganya lagi. Manusia berbunuh-bunuhan dengan bebas. Dalam keadaan biasa, membunuh seorang manusia merupakan dosa dan dianggap sebagai kejahatan, dan akan dihukum oleh peraturan pemerintah yang manapun juga.

Akan tetapi dalam perang, manusia boleh membunuh sebanyak-banyaknya. Lebih banyak dia membunuh, lebih hebat dan dikagumilah dia, dianggap sebagai seorang pahlawan yang pantas dihormati. Perang dengan dalih apapun, merupakan bentuk kekerasan dan kekejaman yang berada di puncaknya. Dan kalau ada dua pihak saling bermusuhan, saling berperang, sudah pasti mereka itu masing-masing mempunyai alasan tersendiri yang membenarkan tindakannya itu.

Padahal, yang bermusuhan itu hanyalah mereka yang mengatur perang, yang sebagian besar biasanya malah tidak ikut dalam pertempuran. Yang bertempur, yakni para pasukan, para perajurit, babkan tidak tahu apa-apa. Tahunya hanya saling bunuh-membunuh atau dibunuh.

Untuk itu mereka mungkin dibayar, mungkin digerakkan oleh bujukan dan propaganda. Ada yang mengatakan bahwa perang perlu diadakan untuk memperoleh kedamaian! Betapa menggelikan dan menyedihkan. Damai melalui perang!

Tentu merupakan damai paksaan, damai karena takut, bukan damai karena persahabatan. Yang kalah tentu takut dan menurut saja kehendak yang menang, dan nampaknya ada kedamaian karena yang kalah tidak berani berkutik.

Akan tetapi jauh di lubuk hati yang kalah tentu terdapat dendam dan sekali waktu kalau terdapat kesempatan, yang kalah tentu akan membalas dendam dan menebus kekalahannya. Dan perang berlarut-larut tiada hentinya.

Kalau padam pun hanya sama seperti api dipadamkan dengan timbunan sekam. Api dalam sekam. Tidak bernyala akan tetapi membara di dalam. Seperti lahar dalam gunung berapi, sewaktu-waktu dapat meletus dan membakar.

Setelah lebih dari sebulan mengadakan pembersihan, mengusir pasukan Wu-yeh yang melanggar perbatasan dan mengacau di dusun-dusun sekitar perbatasan, Cin Po kembali ke kota raja. Dia dianggap berjasa besar dan mendapat kenaikan pangkat.

Ketika kembali ke rumah Menteri Lu, dia disambut dengan pesta. Terutama sekali Lu Bwe Kim menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Gadis ini merasa bangga sekali dan dengan terang-terangan ia memperlihatkan perasaan hatinya yang mencinta Cin Po.

Dia dengan ayah dan keluarganya yang menyambut pemuda itu dalam sebuah pesta kecil, Lu Bwe Kim mengangkat cawan arak sampai tiga kali untuk memberi selamat kepada Cin Po! Tentu saja pemuda ini menyambut dengan berterima kasih dan dengan wajah kemerahan karena penyambutan Bwe Kim kepadanya itu agak berlebihan.

“Ha-ha-ha,” Menteri Lu Tong Pi tertawa melihat sikap Cin Po yang menjadi salah tingkah itu. “Dalam keadaan begini, makan sekeluarga, kami menganggap engkau seperti anggota keluarga sendiri, Cin Po. Berapakah usiamu sekarang, Cin Po? “

“Saya berusia duapuluh satu tahun, paman,” jawab Cin Po dengan muka menunduk karena semua mata memandang kepadanya, dan dia sudah dapat menduga ke arah mana pertanyaan itu menuju.

“Duapuluh satu tahun dan sudah menjadi seorang panglima yang naik pangkat! Ah, engkau sudah sepatutnya membentuk rumah tangga dan menikah, Cin Po!”

Semua keluarga itu tersenyum dan Bwe Kim juga tersenyum malu-malu karena ayahnya memandang kepadanya penuh arti.

“Paman, saya… saya belum memikirkan tentang itu,” kata Cin Po agak tersipu karena ucapan Menteri Lu itu dikeluarkan di depan banyak orang.

Menteri Lu tertawa dan pesta itu dilanjutkan, dan pembesar itu yang melihat Cin Po tersipu tidak melanjutkan lagi pembicaraan mengenai hal itu. Setelah selesai, Menteri Lu mengatakan bahwa dia hendak ke istana mengurus pekerjaannya.

“Bwe Kim, temani kakakmu yang harus beristirahat setelah bekerja keras selama sebulan lebih,” pesannya kepada puterinya dan pesan ini saja sudah menunjukkan bahwa sang Menteri itu sudah setuju sekali kalau puterinya berhubungan erat dengan Cin Po!

Ketika mendapat kesempatan untuk bicara berdua saja, Bwe Kim memberanikan diri berkata, “Twako, harap engkau suka memaafkan ayahku tadi.”

“Eh, mengapa, Kim-moi? Apa yang harus dimaafkan?”

“Tadi ayah menyinggung-nyinggung tentang pernikahan, membuat engkau menjadi rikuh dan malu, twako.”

Wajah pemuda itu berubah merah. “Ah, sebetulnya tidak mengapa. Pertanyaan seperti itu wajar saja, dari seorang yang lebih tua kepada yang muda. Tidak perlu engkau mintakan maaf, Kim-moi?”

“Akan tetapi tahukah engkau kemana tujuan pertanyaan dan pembicaraan ayah tadi, twako?”

“Tidak, mengapa?”

Kini wajah gadis itu yang berubah kemerahan akan tetapi ia memaksakan diri menjawab juga. “Dia maksudkan… eh, ayah agaknya ingin sekali melihat engkau menjadi mantunya.”

“Ehh…!” Cin Po memandang kepada gadis itu dengan mata terbelalak. Kalau Menteri Lu ingin mengambil dia sebagai mantu, berarti dia akan dijodohkan dengan Bwe Kim!

“Aku sudah cukup mengenal watak ayah dan aku dapat menduga apa yang dikehendakinya, twako. Karena itu aku berterus terang saja dan ingin sekali aku mendengar darimu sendiri, bagaimana pendapatmu dengan kehendak ayah itu?”

Cin Po merasa tidak enak sekali. Dari sikap dan pertanyaan gadis itu, dia dapat menduga bahwa Bwe Kim agaknya setuju dengan kehendak ayahnya, berarti gadis ini “ada hati” kepadanya. Ini sama sekali tidak boleh. Dan agar gadis itu jangan terus mengharapkan dan salah duga, sebaiknya kalau dia berterus terang saja. Dia memberanikan dirinya, mengangkat muka dan memandang kepada gadis itu penuh perhatian.

“Kim-moi, aku adalah seorang yang amat berterima kasih kepadamu dan kepada ayahmu sekeluarga. Kalian begitu baik kepadaku dan tidak semestinya kalau aku mengecewakan harapan kalian. Akan tetapi dalam hal perjodohan… bukan aku tidak suka kepadamu, engkau seorang gadis yang mengagumkan, cerdik dan cantik jelita, berdarah bangsawan pula. Akan tetapi, bagaimana lagi, Kim-moi, aku terpaksa harus menyatakan tidak sanggup menerima kehendak ayahmu yang begitu berbudi, karena aku… aku sudah bertunangan dengan seorang gadis lain...”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.