Pendekar Baju Putih Jilid 19 karya Kho Ping Hoo - Bwe Kim menundukkan mukanya dan sejenak ia memejamkan matanya dan menahan napas untuk menelan semua kekecewaannya. Sejenak kemudian, ia membuka matanya kembali dan memandang kepada pemuda itu.
“Terima kasih, twako, atas kejujuranmu. Aku percaya bahwa apa yang kau katakan itu semuanya benar, dan maafkan ayahku. Aku yang akan memberitahu ayahku bahwa engkau sudah bertunangan agar ayah menghilangkan kehendaknya yang tidak pada tempatnya itu.”
“Terima kasih, Kim-moi.”
Pada saat itu, datang seorang pengawal memberi tahu bahwa Cin Po dipanggil ke istana sekarang juga. Mendengar ini, Cin Po lalu mengenakan pakaian panglimanya yang serba putih, dan berangkatlah dia ke istana.
Setibanya di depan kaisar, ternyata di situ kaisar dihadap para Menteri dan panglima. Cin Po diberi tahu bahwa menurut berita laporan para penyelidik, terjadi lagi kerusuhan di perbatasan Wu-yeh dengan munculnya pasukan Wu-yeh yang agak besar jumlahnya, bukan saja melanggar tapal batas akan tetapi juga membikin kacau daerah itu.
Dan Cin Po mendapat tugas lagi untuk mengusir dan membasmi para pengacau dari Wu-yeh itu. Setelah mendapatkan pasukan tentara, Cin Po segera berangkat melaksanakan tugasnya.
Pasukan yang dipimpin Cin Po tiba diperbatasan dan segera dia mencari pasukan Wu-yeh yang dikabarkan membuat kerusuhan itu. Setelah bertemu, dia terkejut melihat bahwa pasukan Wu-yeh yang besarnya lebih dari seratus orang itu dipimpin oleh Tung-hai Mo-ong dan puterinya, Ciok Hwa!
Tentu saja Cin Po tidak menghendaki pertempuran dengan kekasihnya itu, maka dia tidak memerintahkan pasukannya untuk menyerbu, melainkan menahan pasukannya dan dia sendiri lalu maju menemui Tung-hai Mo-ong dan puterinya.
Setelah bertemu, Cin Po cepat memberi hormat kepada Tung-hai Mo-ong. “Kiranya Paman Kui Bhok yang berada di sini,” katanya setelah memberi hormat. “Dan engkau, Hwa-moi.”
“Dan engkau di sini membawa pasukan mau apa?” bentak Tung-hai Mo-ong. “Mau membasmi kami?”
“Sribaginda mendengar bahwa di perbatasan terjadi kerusuhan dan beliau memerintahkan aku untuk memadamkan kerusuhan itu. Aku tidak percaya bahwa engkau dan adik Ciok Hwa yang mengadakan kerusuhan, paman. Karena itu, kuharap dengan hormat dan sangat agar paman menarik mundur pasukan dan tidak melanggar wilayah Sung sehingga tidak sampai terjadi bentrokan. Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan paman, apa lagi dengan adik Ciok Hwa,” katanya sambil memandang kepada wajah yang tertutup cadar hitam itu.
“Kembalilah, Cin Po. Aku akan menjaga agar anak buah kami tidak akan melakukan kerusuhan apapun. Katakan kepada kaisarmu bahwa kerusuhan sudah tidak ada lagi.”
“Akan tetapi…”
“Twako, aku yang menanggung akan kebenaran janji ayah,” kata Ciok Hwa dan mendengar ini, Cin Po menjadi lega hatinya.
“Baiklah, aku akan menarik mundur kembali pasukanku dan melapor ke kota raja.”
Cin Po membedal kudanya kembali kepada pasukannya dan dia memerintahkan pasukannya untuk mundur dan kembali ke kota raja. Di antara pasukannya itu terdapat kaki tangan Kok-su dan melihat betapa Cin Po bergaul demikian akrabnya dengan pimpinan pasukan Wu-yeh, cepat dia melapor kepada atasannya setelah tiba di istana.
Cin Po sedang beristirahat di rumah gedung Menteri Lu, siap untuk menghadap dan memberi laporan kepada kaisar ketika tiba-tiba Menteri Lu datang berlari-lari. “Wah celaka, Cin Po!”
“Kenapa, paman?”
“Celaka, kaisar memerintahkan panglima untuk menangkapmu!”
Tentu saja Cin Po terkejut sekali sehingga dia bangkit dari tempat duduknya. “Akan tetapi kenapa paman?”
“Ada anak buah pasukan melapor bahwa engkau bergaul akrab dengan pimpinan Pasukan Wu-yeh. Celaka, cepat kau pergi, engkau sudah dituduh mata-mata musuh, pemberontak. Cepat pergi sebelum mereka datang!”
Mendengar ini, Cin Po segera lari ke kamarnya, membawa buntalan pakaian lamanya dan diapun pergi meninggalkan gedung itu, bahkan langsung keluar dari kota raja. Setelah keluar dari kota raja, Cin Po teringat kepada kekasihnya dan diapun segera lari ke arah perbatasan untuk menemui kekasihnya. Akan tetapi ternyata pasukan Wu-yeh yang dipimpin Tung-hai Mo-ong itu sudah meninggalkan perbatasan, agaknya sudah kembali ke wilayah Wu-yeh. Maka Cin Po lalu hendak menyusul ke Wu-yeh.
Pada suatu hari, selagi dia berjalan seorang diri melalui jalan yang sunyi, dia melihat serombongan orang menunggang kuda. Karena khawatir bahwa dia akan dikenal orang dan terjadi keributan, Cin Po menyelinap ke balik rumput alang-alang dan mengintai.
Alangkah kaget dan herannya ketika dia mengenal See-thian Tok-ong berada di antara rombongan lima orang itu. Sungguh aneh dan mengherankan, pikirnya, See-thian Tok-ong adalah seorang datuk dari kerajaan Hou-han, bagaimana kini tahu-tahu berada di daerah Wu-yeh?
Dia menjadi curiga sekali dan diam-diam Cin Po mempergunakan kepandaiannya membayangi lima orang yang lewat dengan cepatnya di jalan itu. Tidak sukar bagi Cin Po yang berilmu tinggi untuk membayangi lima orang penunggang kuda itu.
Ketika rombongan itu tiba di sebuah lapangan rumput di lereng bukit dalam sebuah hutan, mereka berhenti dan seorang anggauta rombongan membunyikan peluit seperti memberi isyarat rahasia. Tak lama kemudian terdengar suara peluit lain yang menjawab dan muncullah tujuh orang dari lereng sebelah atas.
Mereka ini tidak berkuda dan ketika mereka sudah mendatangi tempat itu, Cin Po yang bersembunyi dan mengintai tak jauh dari situ terkejut mengenal bahwa yang muncul adalah rombongan orang yang dipimpin oleh Tung-hai Mo-ong! Tentu saja dia merasa tidak enak sekali, akan tetapi hatinya merasa agak lega bahwa Ciok Hwa tidak ikut dalam rombongan itu.
Dia menyusup makin dekat untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Dia tahu dari sikap mereka, bahwa pertemuan ini memang sudah direncanakan dan agaknya mereka hendak merundingkan sesuatu. Wakil dari kerajaan Hou-han hendak berunding dengan wakil dari kerajaan Wu-yeh! See-thian Tok-ong tertawa bergelak ketika dia melihat Tung-hai Mo-ong.
“Ha-ha-ha, ternyata Tung-hai Mo-ong masih merupakan seorang datuk yang memegang janji. Ini pertanda bahwa kerajaan Wu-yeh memang pantas untuk dijadikan sekutu kerajaan Hou-han. Nah, kami dari Hou-han sudah berani datang menyusup ke dalam wilayah Wu-yeh, sekarang pesan apa yang akan kau sampaikan dari rajamu untuk kami teruskan kepada raja kami, Tung-hai Mo-ong?”
Tung-hai Mo-ong yang kurus kering itu bersikap tenang dan berwibawa, nampaknya tidak mau kalah dengan sikap See-thian Tok-ong. Bagaimanapun juga tingkat mereka berdua adalah seimbang, maka tidak ada yang perlu merendahkan diri di antara mereka.
“See-thian Tok-ong, bagus sekali engkau sudah datang. Kami memang merupakan orang-orang yang selalu memegang janji. Persekutuan di antara kita sudah disetujui oleh kedua orang raja kita, tinggal pelaksanaan tugas kita saja yang harus dipenuhi. Pihakmu berjanji untuk menghubungi sutemu di kerajaan Sung, bagaimana beritanya? Kami telah siap dengan pasukan kami di perbatasan, dan sewaktu-waktu usaha pembunuhan kaisar Sung Thai Cung itu berhasil, kami segera akan bergerak menyerbu Sung dari arah timur. Dan bagaimana dengan persiapanmu?”
“Beres, kami juga sudah mempersiapkan pasukan besar di perbatasan dan begitu usaha pembunuhan itu berhasil, kami juga akan segera bergerak!”
“Kalau begitu, harap siap dengan pembawa berita tentang usaha pembunuhan itu kepada kami. Kami siap menanti datangnya berita baik itu.”
“Ha-ha, jangan khawatir, Tung-hai Mo-ong. Kami telah mempersiapkan segalanya. Dan usaha pembunuhan itu pasti berhasil karena yang melakukannya adalah orang dalam istana sendiri.”
“Bagus, kita menyerang dari kedua pihak selagi istana dalam keadaan kacau karena kematian kaisarnya, sudah pasti usaha kita sekali ini akan dapat menghancurkan kekuasaan Sung!”
“Memang demikian, dan raja kita masing-masing tentu akan memegang teguh perjanjian untuk membagi kerajaan Sung menjadi dua, masing-masing menjadi wilayah kita berdua.”
Cin Po demikian terkejut dan khawatir mendengar percakapan itu sehingga dia membuat gerakan yang terdengar oleh dua orang datuk yang lihai itu. Ke dua orang datuk itu cepat menengok dan segera mereka seperti berlomba melompat ke balik semak di mana Cin Po bersembunyi. Akan tetapi, Cin Po juga sudah mendapat kembali ketenangannya, maka begitu ke dua orang itu melompat ke arahnya, diapun melompat melarikan diri.
“Cin Po…!”
Dia mendengar Tung-hai Mo-ong berteriak memanggil, akan tetapi dia terus berlari cepat meninggalkan tempat itu. Dia telah ketahuan ayah kekasihnya, akan tetapi dia tidak perduli. Bagaimana pun juga Tung-hai Mo-ong telah bersekutu dengan pihak Hou-han dan merencanakan pembunuhan atas diri kaisar Sung Thai Cung.
Biarpun dengan perasaan tidak enak karena dia tahu saat itu dia menjadi orang buruan, akan tetapi Cin Po tidak mungkin dapat mendiamkan saja kaisar terancam bahaya maut. Dia harus memperingatkan kaisar akan bahaya maut yang mengancam. Akan tetapi bagaimana? Begitu muncul di istana dia tentu akan ditangkap karena dia telah dianggap sebagai mata-mata musuh, sebagai pengkhianat yang bersekutu dengan Wu-yeh!
Dengan menggunakan kepandaiannya yang telah mencapai tingkat tinggi, tanpa banyak kesukaran Cin Po mampu melewati pagar tembok kota yang menjadi benteng itu dan akhirnya dia dapat menyeludup ke dalam kota raja. Cepat dia menyelinap dari rumah ke rumah dan akhirnya dia dapat melompati pagar tembok rumah Menteri Kebudayaan Lu Tong Pi. Kebetulan Menteri itu berada di rumah dan dia sampai melompat saking kagetnya melihat betapa tiba-tiba Cin Po muncul di dalam ruangan itu.
“Twako…!!” Bwe Kim berseru dengan girang dan juga kaget melihat betapa pemuda itu kembali tanpa diduga-duga.
“Cin Po, apa yang kau lakukan di sini? Bukankah engkau sudah keluar dari kota raja…?” Menteri Lu bertanya dengan khawatir sekali, sambil menutupkan pintu ruangan itu agar jangan ada penjaga yang melihat pemuda itu.
“Paman Lu, terpaksa saya kembali ke sini karena ada sesuatu yang amat gawat. Nyawa Sribaginda Kaisar terancam bahaya maut dan aku menghendaki agar paman yang memperingatkan baginda!”
Wajah Menteri Lu menjadi pucat. “Apa.... apa yang terjadi?”
Cin Po lalu menceritakan apa yang didengarnya dari percakapan para wakil Hou-han dan Wu-yeh dan mengadakan persekutuan untuk membunuh Sung Thai Cung dan menjatuhkan kerajaan Sung.
“Tung-hai Mo-ong adalah wakil dari kerajaan Wu-yeh dan dia telah menyebut-nyebut soal sute dari See-thian Tok-ong wakil Hou-han. Entah siapa yang dimaksudkan dengan sutenya yang agaknya bekerja di sini.”
“Wah, kalau begitu bisa gawat! Bagaimana harus dijaga keselamatan Sribaginda Kaisar kalau pembunuhnya adalah orang dalam istana sendiri? Cin Po, engkau menanti dulu di sini! Aku akan segera menghadap Sribaginda dan akan kuceritakan terus terang segala apa yang engkau dengar itu. Dengan demikian, selain namamu akan dibersihkan dari fitnah bahwa engkau mata-mata musuh, juga mungkin sekali Sribaginda Kaisar akan mempercayamu untuk melakukan penjagaan di istana sebagai pengawal pribadinya.”
“Memang sebaiknya begitu, paman. Kalau tidak dijaga dengan ketat, keselamatan Sribaginda amat terancam. Aku mengenal orang-orang seperti Tung-hai Mo-ong dan See-thian Tok-ong. Mereka adalah orang-orang yang amat berbahaya dan tentu sute dari See-thian Tok-ong yang sudah menyeludup di dalam istana Sung itu amat lihai pula.”
Demikianlah, bergegas Menteri Kebudayaan Lu pergi menghadap kaisar dan mohon bicara empat mata dengan kaisar Sung Thai Cung. Tidak sembarangan pejabat dapat memohon bicara empat mata dengan Sribaginda, akan tetapi karena Menteri Kebudayaan Lu Tong Pi masih terhitung paman sendiri dari Kaisar, maka Kaisar segera memenuhi permintaannya itu.
“Ada apakah paman Lu? Sikapmu begini penuh rahasia,” kata Sribaginda kaisar sambil tersenyum ramah.
“Ini memang merupakan rahasia besar, Yang Mulia. Rahasia besar yang mengancam keselamatan paduka, juga keselamatan kerajaan Sung yang terancam kehancuran.”
“Heii, paman! Apa yang kau maksudkan?”
“Tentu paduka masih ingat kepada Sung Cin Po, bukan?”
“Ah, pemuda yang menjadi mata-mata musuh dan pengkhianat itu?”
“Sama sekali tidak, Yang Mulia. Semua itu hanya fitnah belaka. Dan sekarang Cin Po membuktikan bahwa dia adalah seorang hamba yang setia. Dia kembali ke kota raja membawa berita yang teramat penting. Dia melihat utusan-utusan dari Hou-han dan Wu-yeh mengadakan pertemuan dan mereka mengadakan persekutuan busuk untuk membunuh paduka dan setelah usaha jahat itu berhasil, pasukan mereka yang sudah siap di perbatasan akan segera menyerbu.”
Kaisar terbelalak, wajahnya menjadi agak pucat. “Ceritakan yang jelas, Paman. Apa yang telah terjadi?”
Lu Tong Pi lalu mengulang apa yang didengarnya dari Cin Po dan menambahkan, “Kalau benar yang akan melaksanakan pembunuhan itu sute dari See-thian Tok-ong dan orangnya sudah berada di dalam istana, maka hal ini sungguh berbahaya sekali, Yang Mulia. Harus ada seorang yang sakti selalu melindungi paduka untuk menjaga kalau-kalau setiap saat pembunuh itu akan turun tangan.”
“Hemm, pengawalku sudah cukup banyak, tentu mereka akan mampu menangkap pembunuh itu!” kata kaisar, namun tetap saja suaranya agak gemetar karena ketakutan.
“Yang mulia, bagaimana kalau Cin Po dipekerjakan di sini untuk menjadi pengawal pribadi paduka. Kita semua telah menyaksikan kelihaiannya.”
“Ah, bagaimana kalau dia benar-benar mata-mata musuh dan pengkhianat?”
“Hamba yang menanggung, Yang Mulia. Kalau dia berlaku khianat biarlah kepala hamba menjadi tanggungan. Dahulu dikabarkan dia bersekutu dengan Tung-hai Mo-ong, hal itu fitnah belaka. Buktinya kini dia malah membawa berita tentang ancaman Tung-hai Mo-ong dan See-thian Tok-ong. Percayalah, Yang Mulia. Apakah Yang Mulia masih menyangsikan kesaksian hamba?”
Setelah berpikir sejenak, Sribaginda Kaisar mengangguk. “Baiklah, panggil Cin Po ke sini dan biar dia menjadi pengawal pribadiku yang bertugas menjaga keselamatanku dan sedapat mungkin menangkap pembunuh yang kabarnya menyusup ke istana.”
Menteri Lu Tong Pi bergegas pulang dan membawa kabar gembira ini kepada Cin Po. Akan tetapi bagi Cin Po, kabar ini tidaklah terlalu menggembirakan. Tugasnya itu teramat berat. Kalau benar sute dari See-thian Tok-ong yang hendak melakukan pembunuhan, hal itu berbahaya sekali karena sang sute itu tentu lihai bukan main, dan sulitnya, dia tidak tahu siapa sute itu maka dia harus melakukan penjagaan dengan waspada sekali.
Begitu berada di istana dan diberi kekuasaan untuk mengatur pasukan pengawal pribadi, Cin Po lalu membagi tugas kepada semua pengawal, diperintahkan untuk melakukan pengawalan ketat siang malam dan selalu waspada terhadap semua petugas dalam istana tanpa kecuali.
Dia sendiri hampir tidak pernah jauh dari kaisar, kecuali di waktu kaisar beristirahat dan tidur, dia berjaga di luar kamar. Karena dia harus bertugas secara rahasia maka Cin Po dalam tugas ini menyamar sebagai tentara pengawal biasa, berpakaian seperti pengawal pula agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Yang tahu bahwa dia merupakan pengawal rahasia hanyalah para anggauta pengawal dan kaisar sendiri. Bahkan para thai-kam tidak diberitahu dan ini adalah kehendak Cin Po yang tentu saja juga mencurigai kalau-kalau pembunuh itu adalah seorang di antara para thai-kam!
Demikian hati-hati dan waspada Cin Po dalam penjagaannya sehingga setiap makanan atau minuman yang disuguhkan kepada kaisar harus lebih dulu melalui pemeriksaannya! Tidak akan mungkin kaisar dibunuh dengan racun melalui minuman atau makanan karena kaisar sendiri juga sudah tahu bahwa dia tidak boleh menyentuh makanan atau minuman sebelum diperiksa oleh Cin Po.
Sudah tiga hari tiga malam tidak pernah terjadi sesuatu. Cin Po yakin bahwa pembunuh pasti akan segera turun tangan dengan nekat karena jalan untuk membunuh melalui racun tidak mungkin dilakukan. Pada hari keempat akan diadakan persidangan dan sejak kaisar keluar dari peraduan, Cin Po sudah mengawalnya, selalu siap tak jauh dari kaisar.
Kaisar sudah berdandan dan siap untuk menuju ke balai persidangan. Yang mengantarkan kaisar seperti biasa adalah serombongan thai-kam dan pengawal. Baru saja sampai di tempat persidangan, tiba-tiba seorang thai-kam tersandung kakinya dan terjatuh.
Tentu saja semua orang, termasuk kaisar, menengok untuk melihat thai-kam yang terjerembab ini. Dan pada saat itu seorang anggauta pengawal mencabut pedang dan meloncat, dengan cepat sekali menyerang kaisar dengan sebuah tusukan ke arah dadanya!
Cin Po tentu saja terkejut, tidak menduga bahwa pembunuh itu adalah seorang di antara anak buahnya sendiri. Namun dia telah waspada, tubuhnya berkelebat dan dengan tangan telanjang, dia menepis dengan tenaga sepenuhnya, tenaga Ngo-heng-sin-kun.
“Plakk… Cappp…..!” Pedang yang ditepis dengan tenaga sin-kang amat kuatnya itu membalik dan menusuk dada pemegangnya sendiri sehingga dia mengeluarkan teriakan dan roboh terjengkang.
Thai-kam yang terjerembab tadi tiba-tiba menghunus sebatang pisau belati dan dengan nekat diapun meloncat dan hendak menancapkan pisaunya di punggung kaisar! Akan tetapi Cin Po sudah waspada dan sekali kakinya menendang, tubuh thai-kam itu terlempar ke bawah anak tangga.
Melihat ini, semua pembesar yang berada di situ menjadi terkejut dan sekali lompat, Kok-su sudah mendekati thai-kam yang ditendang jatuh itu dan tangannya bergerak ke arah kepala thai-kam itu. “Krekkk!” Kepala itu retak dan thai-kam itu tewas seketika!
Cin Po cepat mendekati penyerang tadi, dan mendapat kenyataan bahwa penyerang itupun sudah tewas oleh pedangnya sendiri yang menembus jantungnya! Suasana menjadi ribut, akan tetapi Kok-su dapat menenangkan keadaan dan persidangan dilanjutkan setelah kedua mayat penyerang itu disingkirkan. Tentu saja kaisar membicarakan tentang penyerangan itu di dalam sidang.
Akan tetapi siapa yang hendak dipersalahkan? Kedua pelakunya itu telah tewas dan tidak dapat menceritakan apa-apa. Diam-diam Cin Po merasa mendongkol sekali. Tadi dia sudah merobohkan thai-kam itu tanpa membunuhnya, sengaja untuk menangkapnya hidup-hidup agar dapat ditanyai dan diperiksa.
Siapa kira Kok-su begitu cepat turun tangan membunuhnya sehingga tidak ada lagi saksi yang dapat dimintai keterangan. Baik pengawal maupun thai-kam itu adalah pekerja-pekerja lama maka semua orang merasa heran mengapa mereka itu tiba-tiba saja dapat menjadi pembunuh!
Tentu saja Cin Po berjasa besar. Bukan saja dia telah menyelamatkan nyawa kaisar, akan tetapi jasa dengan gagalnya pembunuhan itu, pasukan Hou-han dan Wu-yeh tidak jadi menyerang walaupun pihak Sung juga sudah siap siaga menjaga kalau-kalau mereka melakukan penyerangan.
Setelah kaisar memperkenalkan pengawal yang menyelamatkan nyawanya itu, barulah semua orang mengenalnya sebagai Cin Po yang pernah dituduh sebagai pengkhianat dan menjadi orang buronan! Kaisar hendak mengangkatnya kembali sebagai panglima, namun sambil berlutut Cin Po menghaturkan terima kasih.
“Hamba bersumpah untuk setia terhadap kerajaan Sung dan akan hamba bantu sekuat tenaga kalau kerajaan membutuhkan tenaga hamba. Akan tetapi ampunkan hamba, Yang Mulia, hamba tidak ingin terikat oleh suatu kedudukan. Hamba mohon diperkenankan untuk tetap bebas, akan tetapi hamba siap menghadap sewaktu-waktu tenaga hamba dibutuhkan untuk negara.”
Penolakan terhadap anugerah kaisar dapat dikenakan hukuman karena dianggap tidak taat. Akan tetapi kaisar yang baru saja diselamatkan nyawanya oleh Cin Po itu tidak menjadi marah dan kaisar bahkan menyetujui dan memberi surat kuasa kepada Cin Po sebagai seorang kepercayaan kaisar yang harus diterima dengan kehormatan oleh semua pejabat pemerintah! Juga pemuda itu menerima hadiah sekantung emas dari kaisar, yang diterima dengan pernyataan terima kasih.
Kesetiaan Cin Po terhadap pemerintah kerajaan Sung adalah kesetiaan yang tulus. Dia bekerja tanpa pamrih memperoleh imbalan jasa. Seorang pejuang yang berpamrih memperoleh imbalan bagi jasanya, pada hakekatnya bukanlah seorang pejuang karena dia mempergunakan perjuangannya hanya sebagai cara untuk mendapatkan sesuatu.
Segala macam bentuk perbuatan baik di dunia ini bukan lagi merupakan kebaikan kalau perbuatan itu dilakukan dengan pamrih apapun juga. Pamrih dipuji, pamrih dibalas imbalan, pamrih mendapatkan sorga, pamrih mendapatkan uang, pamrih dijauhkan dari kesengsaraan. Segala macam pamrih ini sebenarnya sama saja. Apa bedanya antara pamrih mendapatkan uang atau kedudukan dengan pamrih mendapatkan sorga?
Tidak ada bedanya. Keduanya dianggap akan mendatangkan kesenangan. Pamrih selalu bertujuan memperoleh kesenangan, melalui pujian, melalui uang, kedudukan, sorga, beban dosa dan segala macam cara untuk memperoleh kesenangan.
Perbuatan itu baru benar, bukan baik, kalau dilakukan dengan wajar, timbul dari dasar hati, tanpa pamrih, tidak memandang perbuatan itu sebagai baik buruk. Hasil atau akibat setiap perbuatan itu pasti ada, seperti orang menanamkan sesuatu, pasti akan bertunas, berbunga dan berbuah.
Tuhan Maha Adil, hukum sebab akibat akan berjalan terus, berputar terus, seperti berputarnya bumi dan alam semesta. Akan tetapi perbuatan yang mengandung pamrih adalah perbuatan palsu. Kebaikan berpamrih adalah kebaikan palsu dan tentu buahnyapun palsu.
Kita sudah terbiasa melihat keluar, tidak melihat ke dalam. Seorang yang menyumbangkan uang satu juta disanjung-sanjung, disebut-sebut, sedangkan orang yang menyumbang seribu tidak disinggung-singgung, lewat begitu saja. Padahal, apakah penyumbang sejuta itu lebih dermawan dari pada penyumbang seribu? Belum tentu!
Kalau penyumbang sejuta itu memiliki harta seratus juta, maka sumbangannya itu tidak berarti. Sebaliknya kalau penyumbang seribu itu hanya memiliki uang dua ribu, maka dialah penyumbang yang dermawan!
Orang biasa melihat lahirnya, tidak menjenguk batinnya. Jauh lebih benar menjadi penyumbang seribu dengan hati rela dan tanpa pamrih apapun dari pada menjadi penyumbang sejuta dengan pamrih agar dipuji sebagai dermawan, agar diperhatikan orang, agar masuk koran, agar kelak mendapatkan sorga dan sebagainya. Palsu semua ini, dan yang palsu itu kotor, yang palsu itu berdosa!
Cin Po tidak lama tinggal di rumah Menteri Lu Tong Pi. Setelah dua hari tinggal di situ, dia lalu pamit dan sekali ini, tidak terasa terlalu berat bagi Bwe Kim. Semenjak gadis ini mendengar dari Cin Po bahwa pemuda itu sudah mempunyai tunangan, gadis itu menghibur diri sendiri dan menganggap bahwa pemuda yang amat dikaguminya itu bukanlah jodohnya.
Cin Po melakukan perjalanan ke timur, memasuki wilayah Wu-yeh untuk mencari kekasihnya, Ciok Hwa. Dia menduga bahwa Ciok Hwa tentu berada di Pulau Hiu dan tidak mengikuti ayahnya yang bekerja demi kepentingan pemerintah kerajaan Wu-yeh. Dan hal ini menyenangkan hatinya.
Cin Po menyewa sebuah perahu dan seorang diri berlayar menuju ke Pulau Hiu. Dia sama sekali tidak tahu bahwa sejak dia memasuki wilayah Wu-yeh, telah ada mata-mata musuh yang melihatnya dan diam-diam membayanginya. Karena itu, ketika memasuki perahu dan meluncurkan perahunya, ada perahu lain, sebuah perahu besar, yang juga meluncur dan mengikutinya. Dan di atas perahu besar ini terdapat dua orang yang amat marah kepadanya, yaitu See-thian Tok-ong dan Tung-hai Mo-ong.
Kedua orang datuk ini mendengar bahwa yang menggagalkan usaha mereka mombunuh kaisar adalah Cin Po. Maka, ketika mendengar dari penyelidik bahwa pemuda itu memasuki wilayah Wu-yeh, mereka berdua sendiri turun tangan membayangi dengan perahu.
Setelah tiba dekat Pulau Hiu, Cin Po yang sedang melamun dan merasa gembira melihat pulau itu sudah nampak sebagai sebuah titik hitam, tiba-tiba terkejut melihat sebuah perahu besar hampir menabraknya. Dia bangkit berdiri dan menegur tukang perahu.
“Hei…..!” akan tetapi tegurannya tidak dilanjutkan ketika dia melihat See-thian Tok-ong dan Tung-hai Mo-ong menjenguk keluar dari perahu besar itu.
“Cin Po, engkau terlalu mencampuri urusan kami. Sekarang engkau harus mati di tangan kami!” bentak Tung-hai Mo-ong dengan marah.
Tadinya dia memang sudah setuju kalau puterinya menikah dengan pemuda ini, apa lagi dia telah membuktikan sendiri bahwa kini ilmu kepandaian pemuda itu sudah hebat sekali. Puterinya berwajah buruk, kalau dapat menikah dengan pemuda ini, maka hal itu sudah menguntungkan sekali.
Akan tetapi ketika mendengar betapa usahanya membunuh kaisar digagalkan pemuda ini yang dulu juga telah mendengarkan percakapannya dengan See-thian Mo-ong, hatinya menjadi penuh kemarahan dan kebencian terhadap pemuda itu.
“Paman Kui, aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Kalau aku menolong Kaisar Sung Thai Cung, hal itu sudah menjadi kewajibanku karena aku adalah kawula Sung. Pula, kalau dua negara bermusuhan, sebaiknya diselesaikan melalui perang, bukan dengan tindakan curang untuk melakukan pembunuhan kepada kaisarnya. Tidak, paman Kui, aku tidak merasa bersalah dan aku tidak ingin bermusuhan denganmu!”
“Mo-ong, kenapa mesti banyak cakap dengan bocah itu? Mari kita turun tangan membunuhnya!” teriak See-thian Tok-ong dan begitu tangan kirinya bergerak, sinar hitam menyambar ke arah Cin Po.
Pemuda ini maklum bahwa Raja Racun dari Barat itu menggunakan senjata yang pasti beracun, maka diapun cepat mencabut Yang-kiam dan memutar pedang itu menangkis. Akan tetapi kedua orang kakek itu menggunakan kesempatan selagi Cin Po menangkisi senjata rahasia itu, sudah melayang turun ke arah perahu kecil itu.
Cin Po menjadi terkejut dan segera menggerakkan pedangnya untuk melindungi dirinya. Akan tetapi perahu itu terlampau kecil, kini menahan tubuh tiga orang yang sedang bertanding, tentu saja menjadi tidak kuat, lalu miring dan hampir terbalik, membuat ketiganya terlempar dan terjatuh ke dalam air!
Tung-hai Mo-ong yang ahli dalam air segera menangkap lengan rekannya dibawa meloncat ke atas perahu besar. Akan tetapi Cin Po yang maklum bahwa kalau tertawan tentu dirinya akan celaka, lalu menyelam dan membiarkan dirinya terbawa gulungan ombak lautan sehingga sebentar saja dia sudah jauh dari perahu besar dan tidak nampak lagi oleh ke dua orang musuhnya.
Tung-hai Mo-ong dan See-thian Tok-ong menganggap bahwa pemuda itu tentu telah tewas tenggelam, lalu melanjutkan perjalanannya. Cin Po bukan seorang ahli renang yang pandai. Setelah beberapa lamanya terbawa ombak, dia merasa lelah sekali. Untung dia tidak kehilangan pedangnya dan sudah menyimpan kembali pedangnya, lalu berusaha untuk tidak tenggelam dengan menggerak-gerakkan kaki tangannya.
Akan tetapi dia telah kehilangan arah, tidak tahu di mana arah Pulau Hiu yang tadi sudah agak dekat. Dia menjadi bingung dan terpaksa hanya mengikuti saja ke mana air laut yang bergelombang itu membawanya. Namun keganasan air membuat dia beberapa kali terpaksa harus menelan air laut sehingga terasa asin dan membuat kerongkongannya seperti kering.
Tiba-tiba dia melihat sebuah benda terapung tidak jauh dari tubuhnya. Betapa girangnya melihat bahwa benda itu adalah sebuah perahu terbalik. Itulah perahunya yang tadi terbalik ketika dia bertanding melawan dua orang datuk itu.
Cepat dia menggerakkan kaki tangan berenang menghampiri dan akhirnya dia dapat meraih perahu itu. Dia lalu membalikkan perahu itu dan duduk di dalamnya. Akan tetapi dia sudah kehilangan dayung.
Dan ketika dia melihat ke sekelilingnya, Pulau Hiu tidak nampak lagi. Bahkan daratan besar nampak jauh sekali, hanya merupakan garis menghitam dari situ. Betapapun juga, ini sudah merupakan petunjuk dan dia lalu menggerakkan perahu sedapatnya, menggunakan lengannya sebagai dayung menuju ke garis hitam itu.
Entah berapa lama dia akan mencapai pantai karena setiap kali perahunya terdorong dan terbawa ombak. Tenaga kedua tangannya untuk mendayung hampir tidak ada artinya. Cin Po merasa cemas juga. Tiba-tiba nampak sebuah perahu hitam meluncur cepat. Cin Po merasa khawatir, mengira bahwa penumpang perahu itu musuh-musuhnya dan di atas air itu dia merasa tidak berdaya.
Ilmu silatnya tidak banyak menolong kalau perahunya terguling. Akan tetapi setelah perahu mendekat, hampir dia bersorak saking girangnya. Penumpang perahu itu adalah Ciok Hwa, kekasihnya!
“Hwa-moi…!” Serunya girang bukan main.
Akan tetapi gadis yang memakai cadar menutupi mukanya itu tidak menyambutnya dengan seruan girang. “Twako, mengapa engkau selalu membuat ayahku marah kepadamu?” ia malah menegur.
“Akan tetapi aku…”
“Sudahlah, cepat pindah ke perahu ini. Akan kuantarkan engkau ke pantai,” kata Ciok Hwa, suaranya terdengar seperti seorang yang berduka.
Memang gadis ini merasa berduka. Ayahnya marah bukan main kepadanya, marah karena Cin Po telah menggagalkan rencana ayahnya yang membela kepentingan kerajaan Wu-yeh. Ayahnya memaki-maki Cin Po dan melarang ia berhubungan lagi dengan pemuda itu, apalagi berjodoh!
“Hwa-moi, kalau ayahmu marah kepadaku, itu sama sekali bukan karena salahku, bukan karena aku memusuhinya.” Cin Po mencoba untuk menghibur hati kekasihnya yang nampak murung dari sikapnya yang diam saja sambil mendayung perahunya.
“Tidak memusuhi akan tetapi selalu menantangnya. Ayah marah sekali kepadamu karena semua rencananya gagal karena engkau, demikian kata ayah.”
“Hwa-moi, tahukah engkau dalam hal apa aku menggagalkan rencana ayahmu?”
“Aku tidak tahu, dan tidak ingin tahu. Aku hanya menghendaki agar engkau tidak menantang ayahku, twako. Bagaimana mungkin ayah dapat engkau selalu menentangnya dan membuat ayah marah dan benci kepadamu?”
“Aku tidak menentang kepribadian ayahmu, akan tetapi apa yang dia rencanakan itu, tentu saja aku harus menentangnya. Dia bersekutu dengan See-thian Tok-ong dari Hou-han untuk membunuh Kaisar Sung Thai Cung. Melihat kenyataan ini, tentu saja aku mencegahnya. Aku adalah kawula Sung, melihat kaisarnya akan dibunuh, apakah aku harus berdiam diri saja!”
“Ahhh... ayah tidak bicara tentang itu kepadaku!”
“Tentu saja. Itu merupakan rahasia besar. Agaknya kerajaan Wu-yeh bersekutu dengan Hou-han dan merencanakan untuk membunuh kaisar Sung kemudian dalam keadaan kacau itu mereka berdua akan mengerahkan pasukan untuk menggempur kerajaan Sung. Itulah sebabnya maka aku menggagalkan usaha pembunuhan itu, Hwa-moi. Salahkah aku?”
Ciok Hwa menghentikan gerakan dayungnya sehingga perahu itu berhenti, terapung-apung di atas air lautan. Ia menghela napas dan menundukkan mukanya. “Aku bingung, twako. Kalau mendengarkan keteranganmu, aku memang tidak dapat menyalahkanmu. Akan tetapi ayah juga membela Wu-yeh, kami kawula Wu-yeh. Aih, perang memang amat jahat, twako. Aku membenci perang!”
“Akupun membencinya, Hwa-moi. Akan tetapi kita tidak berdaya, kita terlibat. Kau tahu, Hwa-moi, kaisar Sung hendak memberikan kedudukan panglima kepadaku, akan tetapi kutolak. Aku tidak mau terlibat langsung, aku tidak ingin perang, kalau tidak terpaksa sekali. Bagaimana, Hwa-moi, dapatkah engkau memaafkan aku bahwa, aku telah mengecewakan hati ayahmu?”
Mendengar ini, Ciok Hwa malah menangis di balik cadarnya. Suara tangisnya jelas terdengar, isak tertahan dan ke dua pundaknya bergoyang-goyang.
“Hwa-moi kau kenapakah?”
“Ayah telah marah sekali, dia memutuskan agar aku tidak lagi mengadakan hubungan denganmu, twako, atau dia tidak akan mengakuiku sebagai anak lagi. Akan tetapi aku... aku....”
Cin Po merangkul dan kini meledaklah, tangis Ciok Hwa di dada kekasihnya. “Hwa-moi, tenangkanlah hatimu. Percayalah, aku cinta padamu seorang dan aku bersumpah tidak akan menikah dengan wanita lain kecuali engkau!”
Hiburan ini menenangkan hati Ciok Hwa dan kini Cin Po yang menggantikannya mendayung perahu sampai mereka tiba di tepi pantai. Keduanya, melompat ke darat dan Cin Po menarik perahu itu ke darat. Akan tetapi baru saja mereka mendarat, secara tiba-tiba muncul Tung-hai Mo-ong dan See-thian Tok-ong.
“Bocah setan, engkau masih belum tewas?” bentak See-thian Tok-ong yang terkejut juga melihat Cin Po Masih hidup.
“Ciok Hwa, apa yang kau lakukan ini? Aku sudah melarangmu!” bentak Tung-hai Mo-ong.
“Ayah, aku... aku cinta padanya....” Ciok Hwa membuat pengakuan yang membuat ayahnya semakin marah akan tetapi pengakuan itu mendatangkan rasa bangga dan girang di dalam hati Cin Po.
“Anak durhaka....” Tung-hai Mo-ong lalu menampar kearah muka Ciok Hwa yang bercadar.
“Dukkk…..” Lengan datuk itu bertemu dengan lengan Cin Po yang sudah menangkis pukulan itu karena dia melihat kekasihnya sama sekali tidak berusaha mengelak.
Tangan Tung-hai Mo-ong terpental ketika ditangkis pemuda itu dan dia menjadi semakin marah. Sementara itu, See-thian Tok-ong juga sudah marah dan dia menyerang Cin Po dengan pukulan yang beracun. Namun Cin Po sekarang bukanlah Cin Po dahulu yang pernah dipukulnya roboh. Dengan mudah Cin Po mengelak dari pukulan itu dan ketika pukulan kedua melayang, pemuda itu menggerakkan tangan menangkis sambil mengerahkan sin-kangnya.
“Desss…!” Dan akibat pertemuan dua tenaga itu, See-thian Tok-ong terhuyung ke belakang. Datuk ini terkejut dan juga marah sekali, bersama Tung-hai Mo-ong dia lalu maju lagi dan tanpa malu-malu ke duanya mengeroyok pemuda yang lihai itu!
Cin Po menggunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini sambil mencari kesempatan untuk membalas. Akan tetapi dia mendengar teriakan kekasihnya.
“Twako, jangan lawan ayahku. Mengalah dan pergilah, twako!”
Mendengar suara kekasihnya yang demikian lemah mengandung tangis, Cin Po tidak tega dan diapun melompat jauh ke belakang lalu berkelebat lenyap, melarikan diri dari tempat itu. Terdengar suaranya dari jauh disertai pengerahan khi-kang, “Selamat berpisah, Hwa-moi!”
Dua orang datuk itu tidak melakukan pengejaran. Agaknya mereka maklum bahwa mereka tidak akan mungkin dapat mengejar dan menyusul pemuda yang memiliki ilmu meringankan tubuh sedemikian hebatnya.
Tung-hai Mo-ong memandang kepada puterinya. “Kembali kau ke Pulau Hiu dan awas, sekali lagi aku melihat engkau berhubungan dengan Cin Po, engkau akan kubunuh!” Setelah berkata demikian, Tung-hai Mo-ong lalu pergi dari situ bersama See-thian Tok-ong.
Ciok Hwa masih berdiri dan menangis. Hatinya terasa berat dan bingung. Di satu pihak ia tidak ingin melihat ayahnya marah dan membencinya, di lain pihak ia tidak mungkin dapat memutuskan hubungannya dengan Cin Po. Ia terlalu mencinta pemuda itu! Cintanya terhadap pemuda itu amat besar dan tulus ikhlas.
Hal ini bukan saja karena ia merasa suka dan kagum kepada pemuda itu, karena ketampanannya, karena kesederhanaannya, karena kebaikan budinya, atau karena ilmu kepandaiannya, melainkan terutama sekali karena cinta pemuda itu kepadanya!
Ciok Hwa merasa yakin sekali akan cinta kasih pemuda itu kepadanya. Ia merasa yakin bahwa ia tidak akan dapat menemukan cinta kasih seorang pemuda yang seperti itu kepadanya. Cin Po tentu benar-benar mencintanya, dan hal ini amat mengharukan hatinya.
Setiap orang pria, tua ataupun muda, akan merasa jijik dan takut melihat wajahnya yang demikian buruk. Akan tetapi Cin Po bukan jijik, bahkan pemuda itu terang-terangan menyatakan cintanya kepadanya. Cinta karena kepribadiannya, bukan karena sekadar wajah cantik. Bahkan pemuda itu baru saja bersumpah tidak akan menikah dengan wanita lain kecuali ia! Bagaimana mungkin ia akan dapat menjauhi pemuda seperti itu?
Apa yang dipikirkan Ciok Hwa memang benar. Cinta asmara antar pria dan wanita memang selalu mengandung nafsu yang mendorongnya. Karena itu, maka ketampanan dan kecantikan memegang peran penting sekali dalam cinta kasih mereka. Maka, melihat betapa Cin Po tetap mencintanya walaupun telah melihat betapa wajahnya cacat dan buruk menjijikkan, tentu saja hati Ciok Hwa merasa terharu dan iapun menumpahkan seluruh perasaan cinta kasihnya kepada pemuda itu.
Cinta kasih kita kepada orang lain selalu mengandung nafsu ingin senang sendiri. Kita boleh jadi tidak merasakan hal ini, akan tetapi kalau kita suka bercermin dan meneliti keadaan dalam hati kita sendiri, maka akan jelaslah bahwa seperti juga dalam hal-hal lain dalam kehidupan ini, nafsu juga sudah menyusup ke dalam perasaan yang kita namakan cinta itu, bahkan kita namakan cinta suci.
Kita mengaku mencinta suami, isteri, ataupun pacar. Benarkah cinta kita itu tulus dan ikhlas? Tidakkah terdapat pamrih yang besar tersembunyi di balik cinta itu? Kita mencinta, akan tetapi kita menghendaki imbalan yang lebih besar lagi. Kita ingin dia yang kita cinta itu juga mencinta kita, melayani kita, menurut kita, pendeknya menyenangkan kita. Bagaimana kalau yang kita cinta itu membenci kita, mengacuhkan kita, tidak menyenangkan hati kita? Masih akan adakah cinta kita itu?
Demikian pula dengan cinta terhadap anak. Kita menganggap cinta kita itu murni, bersih dari segala pamrih. Benarkah itu? Bagaimana kalau anak kita itu durhaka terhadap kita, tidak berbakti, bahkan membenci kita dan melawan kita? Akan tetap adakah cinta kita terhadap anak yang demikian itu?
Jangan lagi cinta terhadap seorang sahabat. Kita cinta kepada seorang sahabat karena dia baik kepada kita, karena dia menyenangkan kita, menguntungkan kita. Coba andaikata sahabat itu tidak menyenangkan, merugikan kita, masih adakah cinta kita itu?
Cinta yang hinggap di hati kita manusia hanyalah cinta nafsu. Cinta kasih yang sesungguhnya suci dan murni hanyalah cinta Tuhan kepada semua umatNya! Cintanya tak terbatas dan melimpah ruah. Tuhan adalah Cinta!
Dosa manusia tak terhitung banyaknya, setiap saat manusia membuat dosa. namun Tuhan tak pernah melepaskan cintanya terhadap diri manusia, tetap dipeliharanya, tetap dihidupkannya. Bahkan orang yang sejahat-jahatnya pun di dunia ini masih tetap menikmati karunia cintanya. Tuhan tidak pernah menginginkan sesuatu, apa lagi imbalan. Terpujilah Nama Tuhan dengan cinta kasihnya yang sejati.
Cin Po melakukan perjalanan cepat pulang ke kota raja Hang-cou, menggunakan surat kekuasaannya untuk menghadap kaisar dan setelah menghadap Kaisar Sung Thai Cung, dia melaporkan tentang penyelidikannya.
“Tidak dapat diragukan lagi, Yang Mulia. Kerajaan Wu-yeh bersekutu dengan kerajaan Hou-han dan hal ini akan merupakan bahaya besar bagi kerajaan Sung. Mereka dapat serentak menyerang dari arah timur dan selatan. Terutama sekali bangsa Wu-yeh kelihatan amat bersemangat untuk merebut kerajaan paduka.”
Mendengar laporan ini, Kaisar Sung Thai Cung segera memanggil semua menteri dan panglimanya, termasuk pula Kok-su, untuk diajak berunding. Biarpan Kok-su mengusulkan agar mengajak ke dua negara itu berdamai dengan mengirim upeti hadiah yang besar, namun sebagian besar para menteri dan panglima mengusulkan kepada kaisar bahwa sudah tiba saatnya untuk membasmi ke dua musuh yang selalu mengganggu perbatasan itu...