Pendekar Baju Putih Jilid 21

Cerita silat Mandarin Pendekar Baju Jilid 21 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Baju Putih Jilid 21 karya Kho Ping Hoo - Cin Po tidak berani memandang ringan dan diapun mencabut Yang-kiam. Dia menggerakkan pedangnya dengan ilmu pedang yang sama dan setelah lewat belasan jurus, suatu ketika kedua pedang bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, ujung pedang kakek itu menjadi patah! Kakek itu meloncat ke belakang dengan muka pucat! Patahnya pedang dalam hal ilmu adu pedang dapat dianggap sebagai kekalahan!

Novel Silat Mandarin Pendekar Baju Putih karya Kho Ping Hoo

Melihat ini, Nam-san Sianjin meloncat maju. “Cin Po, apakah engkau juga akan melawan aku, gurumu yang telah mengajarkan ilmu kepadamu selama tiga tahun dengan sungguh hati?” bentaknya.

Cin Po sungguh merasa tidak enak sekali! Gurunya yang kedua ini memang amat menyayangnya, demikian pula sucinya, Souw Mei Ling, selama tiga tahun hidup bersamanya seperti seorang adik yang menyayangnya. Dan sekarang dia harus berhadapan sebagai musuh dengan mereka! Diapun memberi hormat kepada Nam-san Sianjin, lalu berkata dengan suara mengandung penyesalan.

“Suhu, sungguh, saya sama sekali tidak berani melawan Suhu. Maka harap suhu suka kembali saja ke Nan-cao dan kita tidak saling berhadapan sebagai musuh. Biarlah lain kali saya datang berkunjung untuk menghaturkan terima kasih dan hormatku kepada Suhu!”

“Cin Po, mengingat akan hubungan kita dahulu, kuharap engkau suka pergi meninggalkan tempat ini dan jangan membicarakan pertemuan ini dengan siapapun juga. Kalau engkau tidak mau, berarti engkau menantangku dan terpaksa kita harus bertanding.”

“Maaf, suhu. Saya terpaksa akan menangkap Kok-su Lauw-thian Seng-cu dan membawanya kepada Sribaginda Kaisar untuk diadili. Harap Suhu tidak mencampuri, ini urusan dalam kerajaan Sung!”

“Anak keras kepala! Engkau hendak durhaka terhadap gurumu?”

“Apa boleh buat, Suhu. Bukan saya yang memaksa, melainkan Suhu sendiri.”

“Bagus, sambutlah tongkatku ini!” Nam-san Sianjin bergerak dengan cepat luar biasa. Dia adalah seorang ahli ginkang yang memiliki, gerakan cepat seperti terbang, dan tongkatnya sudah menyambar dengan cepat bagaikan kilat melakukan serangan totokan ke arah tigabelas jalan darah di sebelah depan tubuh Cin Po secara bertubi.

Akan tetapi Cin Po tentu saja mengenal baik serangan ini dan sudah memutar pedangnya seperti kitiran. Sinar pedang itu bergulung-gulung membentuk perisai sehingga semua totokan tertahan dan tidak dapat menembus gulungan sinar pedang itu.

Nam-san Sianjin menjadi penasaran dan dia lalu memainkan Hai-liong Sin-tung (Tongkat Sakti Naga Lautan) yang amat dahsyat. Akan tetapi semua serangannya itu kandas dalam gulungan sinar pedang, bahkan ketika Cin Po membalas, dia menjadi terdesak hebat dan hanya main mundur sambil memutar tongkat melindungi tubuhnya dari gulungan sinar pedang yang menekan dan menindih itu.

Melihat betapa Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin kalau maju satu lawan satu tidak mampu mengalahkan Cin Po, Kok-su menjadi terkejut sekali. Dia memang sudah tahu bahwa pemuda itu lihai, akan tetapi tidak menyangka sama sekali bahwa pemuda itu mampu menandingi kedua orang datuk itu yang pernah menjadi gurunya!

Timbul kekhawatirannya, maka dengan seruan yang menyeramkan kakek yang pandai ilmu sihir ini lalu mencabut pedangnya dan membantu Nam-san Sianjin. Melihat ini, karena khawatir pula rencananya akan gagal, Pat-jiu Pak-sian tanpa malu-malu lagi juga terjun ke dalam pertempuran dan mengoroyok bekas muridnya sendiri!

Melihat ini, Ciok Hwa menjadi marah. “Orang-orang tua pengecut!” bentaknya dan dengan pedangnya, ia nekat maju hendak membantu kekasihnya, akan tetapi Souw Mei Ling, Kim Pak Hun dan Kam Song Kui sudah maju menyambutnya sehingga kembali Ciok Hwa dikeroyok tiga!

Kini keadaan Cin Po terdesak hebat. Betapapun pandainya, kalau harus melawan tiga orang datuk yang amat lihai itu sekaligus, tentu saja dia tidak mampu dan kini pedang Yang-kiam yang ampuh itu hanya dipergunakan sebagai perisai diri, diputar sehingga gulungan sinar itu melindungi tubuhnya dari serangan tiga orang kakek sakti itu.

Keadaan Cin Po maupun Ciok Hwa dalam keadaan gawat. Sama saja seperti halnya Cin Po, Ciok Hwa terdesak hebat dan ia terancam roboh di tangan tiga orang lawannya. Dalam keadaan yang amat gawat itu, tiba-tiba terdengar seruan lembut,

“Siancai…! Orang-orang tua tidak tahu diri, mengeroyok seorang muda...!” Dan nampaklah angin berpusing membawa debu dan daun-daun beterbangan dan tiga orang datuk itu terhuyung ke belakang karena terdorong oleh angin yang amat dahsyat.

“Suhu…!” Cin Po berseru dan cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan seorang kakek yang berpakaian butut namun bersih, seperti kakek pengemis tua renta yang bukan lain adalah Bu Beng Lojin!

“Siancai… cukup menggembirakan mendengar sepak terjangmu selama hati, Cin ini Po,” kata kakek itu sambil memandang kepada muridnya, kemudian menoleh kepada yang lain.

Tiga orang muda yang tadi mengeroyok Ciok Hwa kini juga berhenti mengeroyok dan melihat kekasihnya berlutut di depan seorang kakek tua renta, Ciok Hwa juga menjatuhkan dirinya berlutut karena bagaimanapun juga, kedatangan kakek itu tadi telah menyelamatkannya.

Kakek itu tersenyum. “Kalian bangkitlah dan jangan takut. Para datuk yang salah jalan ini tidak akan mengganggu kalian lagi.” Kemudian kakek itu menudingkan telunjuknya kepada Pat-jiu Pak-sian.

“Pat-jiu Pak-sian, selama belasan tahun tidak bertemu, aku tidak pernah mendengar engkau melakukan penyelewengan, demikian pula engkau, Nam-san Sianjin. Akan tetapi apa yang kalian lakukan hari ini sungguh membuat hati tidak enak. Pat-jiu Pak-sian adalah seorang warga Khi-tan dan Nam-san Sianjin seorang warga Nan-cao, kenapa hari ini berada diwilayah Sung dan mengeroyok orang-orang muda? Apakah kalian tidak mempunyai rasa malu lagi?”

“Orang tua, sejak dahulu engkau tidak pernah memperkenalkan nama, kenapa sekarang mencampuri urusan kami?” kata Pat-jiu Pak-sian namun suaranya terdengar menghormat dan halus. “Aku melakukan ini demi membela negara Khi-tan, apa salahnya?”

“Aku juga berurusan dengan bekas muridku dan aku membela Nan-cao, apakah engkau hendak menyalahkan aku, pengemis tua?” tanya Nam-san Sianjin, akan tetapi diapun nampak jerih. Dahulu, belasan tahun yang lalu, baik Pak-sian maupun Nam-san Sianjin pernah bertemu dan merasakan kesaktian kakek itu, maka kini merekapun menjadi jerih.

“Siancai...! Alasan yang dicari-cari. Kalau kalian memang begitu cinta kepada negara, kenapa kalian tidak berdiam di negara masing-masing dan mengatur ketentraman dalam negara kalian? Dengan memerangi kejahatan, kalian akan berjasa membuat negara masing-masing tenteram, damai dan makmur. Bukan dengan jalan bersekongkol dengan Kok-su negara Sung untuk menjatuhkan kerajaan Sung.

“Sekarang kalau kalian melanjutkan hendak menjatuhkan negara Sung dengan cara licik itu, terpaksa aku yang tua harus turun tangan mencegahnya dan terserah kepada kalian, mau kembali ke negara masing-masing ataukah hendak mencoba-coba aku orang tua?”

Sungguh aneh sekali. Datuk-datuk seperti Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin kini menjadi kemerahan mukanya dan mereka nampak gentar. Tadi saja ketika kakek sakti itu muncul, mereka sudah merasakan dorongan angin yang membuat mereka terhuyung, dan maklumlah mereka bahwa mereka sama sekali bukan tandingan kakek yang sakti itu.

“Hemm, Cin Po, bagaimanapun juga, engkau yang pernah menjadi muridku ternyata tidak mengecewakan!” kata Pat-jiu Pak-sian. “Sekarang tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku akan kembali ke Khi-tan!” Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar kakek itu meninggalkan tempat itu.

“Pak Hun, Mei Ling, mari kita pulang. Tidak ada urusan lagi di negara Sung!” kata pula Nam-san Sianjin dan diapun melangkah pergi. Kim Pak Hun segera mengikuti gurunya.

Akan tetapi Souw Mei Ling memandang kepada Cin Po. “Sute, selamat berpisah!” katanya.

Cin Po berseru. Bagaimanapun juga, sucinya ini tetap baik. Kalau tadi mengeroyoknya, adalah karena terpaksa. “Selamat jalan, suci, jaga dirimu baik-baik!” katanya.

Mereka semua pergi, tinggal Kam Song Kui yang masih berada di situ. Akan tetapi tentu saja diapun sudah kehilangan semangat untuk melawan. “Sung Cin Po, lain kali aku akan membuat perhitungan denganmu atas kematian suhu!” Setelah berkata demikian, Si Suling Baja ini lalu meloncat pergi dari situ. Kini tinggal Kok-su Lauw-thian Seng-cu seorang.

“Lauw-thian Seng-cu, engkau seharusnya malu,” kata Bu Beng Lojin. “Engkau sudah mendapat kedudukan dan kemakmuran di kerajaan Sung, namun engkau tiada henti-hentinya mengkhianatinya. Engkau agaknya sudah tidak dapat mengubah jalan hidupmu yang sesat, Lauw-thian Seng-cu.

“Sekarang tinggal engkau memilih satu di antara dua. Engkau meninggalkan kedudukanmu sebagai Kok-su dan kembali ke tempat asalmu di barat, atau engkau akan ditangkap Cin Po dan dibawa menghadap Kaisar untuk menerima hukumanmu.”

Lauw-thian Seng-cu memandang marah. “Pengemis tua! Aku tidak ada urusan denganmu, kenapa engkau usil? Kalau Cin Po hendak menangkap dan melaporkan aku, coba suruh dia lakukan kalau dapat! Lebih baik aku mati dari pada menuruti dua macam permintaanmu itu!”

“Siancai…! Cin Po, engkau telah berjanji akan setia kepada Kaisar. Laksanakanlah kesetiaanmu dan tangkaplah pengkhianat besar ini!”

“Haiiiittt…!” Lauw-thian Seng-cu sudah mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya mencakar tanah dan sekali lempar ke udara, muncullah seekor naga hitam yang besar yang akan menubruk ke arah Cin Po.

“Siancai…!” Bu Beng Lojin berseru dan dia menarik tangan Ciok Hwa untuk mundur, membiarkan Cin Po menghadapi naga itu. Ciok Hwa khawatir sekali akan keselamatan kekasihnya, akan tetapi ia melihat Cin Po dengan tenang mengambil segenggam tanah dan menimpuk ke arah naga itu.

“Asal dari tanah kembali kepada tanah!” bentak Cin Po dan begitu naga itu tertimpuk tanah, maka kembalilah dia kepada asalnya yaitu segenggam tanah dan jatuh berhamburan. Bu Beng Lojin tersenyum melihat kemahiran muridnya akan tetapi Lauw Thian Seng-cu menjadi semakin marah.

“Sambutlah!” Teriaknya dan begitu kedua tangannya bergerak, meluncurlah empat buah hui-to (pisau terbang) menyambar ke arah tubuh Cin Po.

Pemuda ini tidak menjadi gugup, dengan tenangnya dia meloncat, berjungkir balik dan begitu kedua tangannya menyambar, dia telah menangkap gagang empat pisau itu dan sambil melompat turun dia menyambitkan pisau-pisau itu kepada pemiliknya.

Lauw Thian Seng-cu menangkis pisau-pisaunya sendiri sehingga runtuh semua dan dia lalu menerjang dengan pedangnya, menyerang dengan dahsyat karena dia tahu bahwa kalau dia tidak dapat membunuh pemuda itu, maka dia sendiri yang akan celaka, terbunuh atau dihukum mati oleh kaisar. Kenekadan dan kemarahannya membuat tenaganya bertambah besar, akan tetapi kewaspadaannya berkurang.

Cin Po menggunakan ilmu meringankan tubuh Coan-hong-hui (Terbang Menembus Angin) untuk menghindarkan semua serangan itu, dan kalau mendapat kesempatan dia membalas. Namun lawannya juga cukup pandai sehingga tidak mudah dirobohkan.

Keduanya kini terlibat dalam pertandingan mati-matian yang hebat sekali sehingga Ciok Hwa yang menonton kekasihnya bertanding itu merasa khawatir juga. Gadis ini mengenal orang sakti dan kakek itu memang sakti, ilmu pedangnya yang dari Tibet itu seperti ilmu pedang para pendeta Lhama.

Juga kadang-kadang dia mengeluarkan geraman yang menggetarkan hati, tentu menggunakan kekuatan sihir untuk menyerang Cin Po. Akan tetapi pemuda ini sudah siap siaga dan selalu dapat menolak kekuatan sihir yang melanda dirinya.

Pedang mereka berputar semakin cepat dan lenyaplah bentuk pedangnya, yang nampak hanya dua gulungan sinar pedang. Sinar pedang Yang-kiam lebih cemerlang dan makin lama sinar pedang Cin Po semakin mendesak dan menindih, tanda bahwa dia mulai dapat mendesak lawannya.

Memang Lauw Thian Seng-cu mulai merasa terdesak hebat. Dia sudah tua dan tenaganya berkurang, juga pernapasannya tidaklah sekuat dahulu. Kalau lawannya yang masih muda masih segar, dia sudah mulai loyo dan gerakan pedangnya sudah kurang cepat dan kurang kuat.

“Lauw Thian Seng-cu, menyerahlah engkau untuk kubawa menghadap Sribaginda Kaisar!” bentak Cin Po sambil mendesak dengan tusukan bertubi- tubi yang membuat lawannya terhuyung ke belakang dan main mundur.

“Lebih baik mati!” bentak Lauw Thian Seng-cu. Dia sudah lelah sekali karena mereka bertanding sudah lebih dari duaratus jurus lebih dan kini dia mencari jalan keluar untuk melarikan diri. Ketika dia terhuyung mundur itu, tiba-tiba saja dia melontarkan pedangnya dengan kekuatan sepenuhnya ke arah lawan lalu membalikkan tubuh hendak lari dari situ. Cin Po menangkis pedang yang dilontarkan ke arahnya itu.

Tangkisannya demikian kuatnya, membuat pedang Lauw Thian Seng-cu itu meluncur balik dan tanpa dapat dicegah lagi pedang itu mengenai punggung Lauw Thian Seng-cu, menusuk dan menembus sampai keluar dari dada! Lauw Thian seng-cu mengeluarkan teriakan mengerikan dan robohlah dia, tewas seketika oleh pedangnya sendiri.

Cin Po tertegun. Gerakan menangkis dan mengembalikan pedang itu sama sekali tidak disengajanya. Dia hanya menangkis dengan pengerahan tenaga saja, sama sekali tidak mengira bahwa pedang itu akan meluncur balik dan membunuh pemiliknya sendiri.

“Siancai...!” Lauw Thian Seng-cu sudah memetik buah dari ulahnya sendiri!” kata Bu Beng Lojin dan mendengar ucapan gurunya ini, barulah Cin Po merasa lega karena tidak dipersalahkan.

Dia lalu menghadap kakek sakti itu sambil menggandeng tangan Ciok Hwa yang menjadi girang bukan main melihat kekasihnya keluar sebagai pemenang. “Suhu, teecu perkenalkan nona ini bernama Kui Ciok Hwa dan ia adalah puteri Tung-hai Mo-ong. Suhu, Ciok Hwa dan teecu sudah saling berjanji untuk saling berjodoh, dan teecu mohon doa restu dari suhu.”

Kakek itu tertawa ramah. “Nona, mengapa engkau menyembunyikan mukamu di balik cadar? Singkaplah, aku ingin melihat mukamu.”

Cin Po terkejut sekali dan hendak melarang karena khawatir kalau gurunya akan tidak setuju dengan perjodoban itu setelah melihat wajah yang cacat dari Ciok Hwa. Akan tetapi dia tidak sempat melarang karena Ciok Hwa dengan cepat sudah menyingkap cadarnya. Dia melihat muka yang penuh totol-totol hitam itu, akan tetapi hanya sebentar karena gadis itu sudah menutupkan lagi cadarnya.

Dan dia merasa heran, juga kagum dan berterima kasih kepada gurunya karena gurunya sama sekali tidak kelihatan terkejut atau jijik, malah gurunya tertawa seperti orang merasa kegelian, lalu berkata,

“Ciok Hwa, engkau memang sudah sepantasnya menjadi isteri Cin Po karena kulihat engkau berbeda dari ayahmu. Nah, aku mendoakan semoga kelak kalian menjadi suami isteri yang baik.

“Cin Po, kau urus jenazah Lauw Thian Seng-cu ini. Sebelum pergi, kuburlah jenazahnya kemudian laporkan segalanya kepada Sribaginda Kaisar. Untuk mencegah agar Sribaginda Kaisar tidak ragu lagi kepadamu dan percaya akan ceritamu, ambil pedang itu dan perlihatkan kepadanya bahwa pedang itu adalah milik Lauw Thian Seng-cu. Cabutlah pedang itu!”

Cin Po mencabut pedang yang menancap di punggung kakek yang tewas itu dan ternyata pedang itu mempunyai ukiran bunga teratai sebagai tanda bahwa Lauw Thian Seng-cu dahulunya adalah seorang tokoh dari perkumpulan Lhama Teratai Biru, yaitu golongan Lhama yang menjadi orang-orang buruan pemerintah Tibet sendiri karena tindakan mereka yang menyeleweng dari kebenaran. Nah, aku hendak melanjutkan perjalanan. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Bu Beng Lojin telah lenyap dari situ.

Cin Po menjatuhkan dirinya berlutut ke arah perginya kakek itu diturut pula oleh Ciok Hwa yang merasa gembira bukan main melihat guru kekasihnya menyetujui perjodohan mereka. Cin Po lalu mengubur jenazah Lauw Thian Seng-cu. Ketika dia memasuki rumah itu, ternyata kusir dan para pembantu Lauw Thian Seng-cu sudah melarikan diri, meninggalkan rumah itu kosong.

Cin Po lalu menggeledah rumah itu, menemukan surat-surat penting yang menjadi bukti lebih lanjut tentang persekutuan antara Lauw Thian Seng-cu dengan pemerintah Khi-tan dan Nan-cao. Semua bukti surat ini dia bawa untuk diperlihatkan kepada kaisar. Barulah dia mendapat kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Ciok Hwa.

“Hwa-moi, aku mempunyai berita yang buruk bagimu dan yang sejak tadi kusimpan saja karena aku menanti saat baik agar engkau tenang lebih dulu.”

Ciok Hwa memandang kepada Cin Po dan suaranya terdengar tegang ketika ia bertanya, “Berita mengenai ayahku?”

Cin Po memegang kedua tangan kekasihnya dan berkata dengan suara tegas, “Tenangkan hatimu, Hwa-moi. Benar, berita mengenai ayahmu. Ayahmu telah tewas dan akulah yang menguburkan jenazahnya.”

“Ahhh...!” Gadis itu terisak menangis, Cin Po membiarkannya saja menangis karena pada saat seperti itu, menangis merupakan obat terbaik bagi orang yang dikejutkan oleh berita duka. Setelah tangis itu mereda, dia lalu menceritakan tentang kematian Tung-hai Mo-ong.

“Aku dapatkan ayahmu terluka parah. Banyak sekali luka di tubuhnya dan semua itu akibat pertempuran dalam perang. Mungkin karena terlalu banyak yang dilawannya, akhirnya dia menderita luka parah. Dia dapat melarikan diri akan tetapi luka-lukanya membuat dia roboh. Aku melihatnya dan memondongnya pergi, berusaha mengobatinya akan tetapi percuma. Dia meninggal dunia karena luka-lukanya.”

Ciok Hwa mengangkat mukanya, memandang wajah kekasihnya dari balik cadarnya. “Aku percaya bahwa bukan engkau yang merobohkan dan melukainya?”

“Dugaan yang bodoh. Kalau aku yang merobohkannya mengapa aku membawanya pergi dan berusaha mengobatinya? Percayalah, Ciok Hwa, tidak mungkin aku melukai ayah dari kekasihku sendiri. Dan dia meninggalkan pesan kepadaku, bahwa dia menyetujui perjodohan kita.”

“Ah, ayah…! Aku tahu bahwa sebetulnya dia amat sayang kepadaku dan tidak membencimu. Hanya sayang dia terlibat dalam urusan kenegaraan dan perang. Aku harus membalas dendam atas kematiannya!” gadis itu mengepal tinju.

Cin Po merangkulnya. “Keliru, Hwa-moi! Engkau hendak membalas dendam kepada siapakah? Ayahmu tewas dalam perang, dan kematian dalam perang tidak perlu menimbulkan dendam. Selain kita tidak tahu siapa pembunuhnya, juga dalam perang memang selalu terjadi saling bunuh. Bagaimana dengan mereka yang terbunuh demikian banyaknya, sampai ratusan ribu orang, baik di pihak Hou-han, Wu-yeh, maupun Sung? Apakah keluarganya juga lalu menaruh dendam? Kepada siapa? Tidak akan ada habisnya kalau begitu, Hwa-moi, oleh karena itu tebarkanlah dendammu itu biar dihembus dan dibawa pergi angin. Dendam hanya akan meracuni hatimu, Hwa-moi!”

Ciok Hwa terisak. “Koko, aku ingin mengunjungi makam ayahku, ingin bersembahyang di depan makam ayahku.”

“Mudah saja, mari kita ke sana sebelum kita kembali ke Hang-cou.”

Demikianlah, Cin Po membawa Ciok Hwa ke dalam hutan di mana dia menguburkan jenazah Tung-hai Mo-ong dan di depan makam yang masih baru, yang ada tandanya batu besar sebagai pengganti nisan, Ciok Hwa menangis dan bersembahyang dengan sedih.

Kesedihan yang melanda hati gadis itu tentunya kesedihan karena mengingat akan keadaan diri sendiri. Ia tidak dapat menyedihi ayahnya karena ayahnya telah tiada dan ia tidak tahu lagi bagaimana keadaan ayahnya sesudah mati. Akan tetapi yang jelas, ia sedih karena dirinya menjadi sebatang kara, yatim piatu.

“Ayah, ayah… engkau telah pergi, bagaimana dengan diriku ini? Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi, ayah…” demikian ia meratap.

Cin Po segera merangkulnya. “Hwa-moi, tenanglah dan bagaimana engkau bisa berkata demikian di depan makam ayahmu? Siapakah aku ini, Hwa-moi? Ingatlah, engkau masih memiliki aku, dan aku yang akan menjadi pengganti ayahmu, pengganti seluruh keluargamu, aku yang akan menemanimu, melindungimu, menyayangmu…”

“Koko…!” Dan gadis ini merangkul dan menangis di dada Cin Po. Setelah bersembahyang beberapa lamanya, mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju Hang-cou, kota raja kerajaan Sung Selatan.


Kita tinggalkan dulu Cin Po dan Ciok Hwa yang sedang melakukan perjalanan menuju ke Hang-cou dan mari kita menengok keadaan di Thian-san-pang yang sudah lama kita tinggalkan.

Seperti kita ketahui, Sung Bi Li dan Kwan Hui Ing tinggal di Thian-san-pang, membangun kembali Thian-san-pang dan membersihkan kembali nama perkumpulan itu yang dicemarkan oleh perbuatan Ban Koan.

Pada suatu hari, serombongan orang yang terdiri dari tujuh orang mendaki bukit Thian-san dan berkunjung ke Thian-san-pang. Mereka itu adalah para tokoh Kun-lun-pai yang datang berkunjung.

Di antara mereka terdapat Yap Kim Sun, pemuda berpakaian hijau yang tampan dan gagah itu, bersama seorang pamannya, dan para tokoh Kun-lun-pai yang dipimpin oleh Kong Hi Tojin dan sute-sutenya. Rombongan ini bukan sekedar berkunjung untuk pesiar, melainkan terutama sekali untuk mengajukan pinangan atas diri Kwan Hui Ing untuk dijodohkan dengan Yap Kim Sun.

Paman Yap Kim Sun yang menjadi wali pemuda yang sudah tidak berayah lagi itu bernama, Yap Siong Kun. Dia sendiri tidak berani mengajukan pinangan puteri mendiang ketua Thian-san-pang, maka dia mengajak para tokoh dari Kun-lun-pai untuk menemaninya dan “memperkuat” kedudukannya.

Para tokoh Kun-lun-pai dengan senang hati memenuhi permintaannya karena Yap Kim Sun merupakan seorang murid keponakan yang baik dan yang sudah mengangkat nama besar Kun-lun-pai dengan sepak terjangnya sebagai seorang pendekar. Kong Hi Tojin adalah seorang paman guru dari Yap Kim Sun, karena pemuda ini adalah murid ketua Kun-lun-pai dan Yap Kim Sun bersama empat orang tokoh lain adalah para sute dari ketua Kun-lun-pai.

Di antara empat orang sute dari Kong Hi Tojin itu terdapat pula seorang tosu yang dahulunya sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak perempuan. Tosu ini bernama Yang Seng Cu berusia limapuluh tahun, seorang laki-laki yang jangkung kurus dan berjenggot panjang.

Yang Seng Cu ikut dalam rombongan ini dengan hati yang tidak senang karena sesungguhnya Yang Seng Cu sudah lama mengandung keinginan hatinya untuk menjodohkan anak perempuannya dengan Yap Kim Sun. Maka, kini mendengar bahwa Kim Sun hendak meminang seorang gadis puteri mendiang ketua Thian-san-pang, tentu saja hatinya merasa tidak senang.

Akan tetapi dia menyembunyikan perasaannya ini dan malah ikut pula dengan rombongan itu, tentu saja dengan niat untuk sedapat mungkin menggagalkan porjodohan antara Yap Kim Sun dan puteri Thian-san-pang itu.

Ketika rombongan tiba di Thian-san-pang, tentu saja pihak perkumpulan ini menyambutnya dengan hormat karena mereka tahu apa maksud kunjungan itu, setelah melihat Yap Kim Sun berada di antara mereka. Sung Bi Li sendiri menyambut, bersama Kwan Hui Ing, dan para tamu itu dipersilakan masuk ke ruangan besar di mana pihak Thian-san-pang menyambutnya dengan sebuah pesta.

Dalam pesta makan ini mereka berkenalan dan bergembira dan setelah pesta makan selesai, barulah Sung Bi Li dengan sikap hormat menanyakan maksud kunjungan rombongan itu kepada kepala rombongan, yaitu Kong Hi Tojin.

“Kami dari Thian-san-pang merasa menerima kehormatan besar sekali dapat menyambut kedatangan cu-wi (anda sekalian) dari Kun-lun-pai. Ada petunjuk dan maksud penting apakah kiranya yang mengantar kunjungan cu-wi ini?”

“Toanio, maafkan kalau kami bersikap lancang. Sebetulnya, kedatangan kami ini adalah karena permintaan murid keponakan kami yang bernama Yap Kim Sun, untuk mengajukan pinangan atas diri puteri toanio yang bernama Kwan Hui Ing.”

Gadis itu menjadi sedikit merah mukanya karena iapun hadir dalam pertemuan itu. Ia hanya menundukkan mukanya saja setelah tadi mengerling ke arah pemuda yang meminangnya itu.

“Nanti dulu, suheng. Sebuah pernikahan adalah sebuah peristiwa yang teramat penting, dan perjodohan haruslah diteliti benar siapa yang akan menjadi jodohnya, agar kelak kemudian hari tidak sampai menimbulkan penyesalan besar. Toanio, sebelum urusan pinangan dibicarakan lebih lanjut, maafkan saya kalau saya hendak menanyakan sesuatu kepada toanio.”

Yang bicara ini adalah Yang Seng Cu dan sikapnya cukup sopan. Sung Bi Li yang tidak menduga buruk, tentu saja tidak merasa keberatan. “Totiang, tanyakanlah apa saja kepada kami, tentu akan kami jawab dengan sejujurnya dan sejelasnya.”

“Yang ingin kami tanyakan adalah keadaan dan kedudukan Thian-san-pang. Karena kami semua pernah mendengar berita bahwa Thian-san-pang telah melakukan banyak kejahatan, bahkan kabarnya Thian-san-pang pernah bersekongkol dengan Tok-coa-pang dan dengan See-thian Tok-ong. Dengan begitu berarti Thian-san-pang telah bersekongkol dengan kerajaan Hou-han yang kini telah takluk kepada kerajaan Sung. Benarkah berita yang kami dengar itu, toanio?”

Semua orang terkejut, termasuk Yap Kim Sun. Akan tetapi ucapan itu telah dikeluarkan dan nampak betapa wajah Sung Bi Li berubah kemerahan, dan sinar kemarahan menyorot dari kedua matanya. Akan tetapi bagaimana pun juga, ia harus menjawab tuduhan yang mencemarkan nama baik Thian-san-pang itu dan ini berarti bahwa ia harus membongkar rahasia yang pernah menimpa perkumpulannya.

“Apa yang totiang dengar itu tidak kami sangkal, akan tetapi semua itu telah berlalu. Memang di Thian-san-pang pernah terjadi pengkhianatan yang dilakukan oleh seorang murid yang diam-diam membawa Thian-san-pang ke arah penyelewengan, bahkan bersekutu dengan Tok-coa-pang. Akan tetapi berkat kepandaian anak-anakku, pengkhianat telah disingkirkan sehingga kini Thian-san-pang telah kembali ke jalan yg benar.”

“Hemmm, jawaban toanio sudah cukup jelas. Akan tetapi, kami dari Kun-lun-pai bagaimana dapat mengetahui dengan pasti bahwa Thian-san-pang adalah sebuah perkumpulan yang bersih? Apa yang akan dijadikan bukti oleh toanio bahwa Thian-san-pang kini tidak menyeleweng lagi? Sebetulnya kami tidak ingin mencampuri urusan Thian-san-pang, akan tetapi kalau Kun-lun-pai hendak berbesan dengan Thian-san-pang, kami harus lebih dulu mengehui bahwa Thian-san-pang benar-benar bersih!”

Sung Bi Li bangkit berdiri saking marahnya. Ia memandang kepada tosu itu dengan dada bergelombang. Hampir saja ia memaki tosu itu kalau saja pada saat itu tidak muncul Cin Po dan Ciok Hwa! Ketika dari luar, Cin Po mendengar, bahwa orang-orang Kun-lun-pai sedang diterima di ruangan besar. Sebagai orang dalam, dia langsung saja memasuki ruangan itu bersama Ciok Hwa.

Seperti diketahui, ke dua orang muda ini pergi ke Hang-cou dan Cin Po sendiri pergi menghadap kaisar dan menceritakan semua tentang pengkhianatan Kok-su di depan para Menteri dan panglima. Sebagai buktinya, dia membawa pedang milik Lauw Thian Seng-cu. Kaisar marah sekali mendengar ini dan memerintahkan untuk menangkap semua keluarga Kok-su untuk dihukum.

Setelah diberi ijin mengundurkan diri, Cin Po mengajak Ciok Hwa untuk pergi ke Thian-san-pang untuk diperkenalkan kepada ibunya. Demikianlah, kedatangan mereka itu tepat sekali pada waktu Thian-san-pang menerima kunjungan rombongan Kun-lun-pai dan Cin Po masih sempat mendengar ucapan Yang Seng Cu yang menuduh Thian-san-pang itu.

“Sayalah yang dapat membuktikan bahwa Thian-san-pang adalah sebuah perkumpulan yang bersih!” kata Cin Po.

Melihat puteranya datang bersama seorang wanita yang bercadar, Sung Bi Li girang sekali, “Cin Po…!” Dia lalu memperkenalkan pemuda itu kepada semua tamunya. “Harap cu-wi ketahui bahwa pemuda ini adalah anakku bernama Cin Po!”

Yap Kim Sun yang sudah mengenalnya, segera maju dan memberi hormat, “Bagaimana keadaanmu selama ini, tai-hiap? Kuharap baik-baik saja.”

Semua tokoh Kun-lun-pai heran melihat sikap Kim Sun yang demikian menghormati Cin Po. Akan tetapi, Yang Seng Cu merasa penasaran. “Orang muda, apa buktinya bahwa Thian-san-pang adalah sebuah partai yang bersih?”

“Kalau Thian-san-pang dituduh bersekongkol dengan musuh, itu adalah fitnah dan bohong belaka. Dahulu memang Thian-san-pang diselewengkan oleh seorang pengkhianat, akan tetapi kini Thian-san-pang telah benar-benar bersih. Buktinya? Lihat saya ini. Saya adalah seorang Thian-san-pang dan saya telah mengabdi kepada kaisar sehingga memperoleh kepercayaan dari Sri baginda Kaisar sendiri. Inilah buktinya!” Cin Po mengeluarkan cap dan surat kuasa yang diterimanya dari kaisar Sung Thai Cung.

Tanpa malu-malu lagi karena memang ingin menggagalkan perjodohan itu, Yang Seng Cu bangkit dan memeriksa surat kuasa dan cap itu. Kemudian dia mengembalikannya kepada Cin Po sambil tersenyum mengejek.

“Semuda ini sudah menjadi kepercayaan kaisar dan menjadi panglima penyelidik? Orang muda, sungguh luar biasa sekali dan bagaimana pinto dapat percaya bahwa engkau pantas untuk menjadi seorang panglima penyelidik dan kepercayaan kaisar sebelum pinto merasakan sendiri kehebatanmu? Kalau engkau berani, aku minta bukti dan marilah beri aku sedikit pelajaran agar membuka mataku!”

Ini merupakan sebuah tantangan halus, juga penghinaan karena sama saja dengan mengatakan bahwa Cin Po berbohong mengaku sebagai panglima penyelidik dan kepercayaan kaisar. Hui Ing yang lebih keras hatinya itu sudah bangkit berdiri dan kedua matanya mencorong marah.

“Kalian datang tidak diundang! Kenapa kalian datang hanya untuk menghina kami? Kalau kalian tidak percaya kepada kami, kenapa kalian datang?”

“Ing-moi….!” Yap Kim Sun berseru dengan suara memohon.

Cin Po segera menyabarkan hati adiknya, “Ing-moi, jangan menuruti hati yang panas! Kepala harus tetap dingin. Mereka adalah orang-orang Kun-lun-pai, sebuah perkumpulan yang amat besar dan terkenal. Sudah sepatutnya kalau mereka itu meneliti agar pilihan murid mereka tidak sampai keliru.” Lalu ia menoleh kepada Yang Seng Cu.

“Totiang, kalau totiang menghendaki untuk menguji kebenaran keteranganku bahwa aku menjadi panglima penyelidik dan kepercayaan Sribaginda Kaisar, silakan!”

Dia lalu mundur dan memilih tempat yang luas. Ruangan itu memang besar dan luas sehingga masih terdapat tempat bagi mereka untuk mengadu ilmu silat. Hui Ing sudah menghampiri Ciok Hwa dan digandengnya gadis itu, diajaknya duduk di dekatnya. Akan tetapi karena keadaan, belum sempat ia memperkenalkannya kepada ibunya.

Melihat Cin Po sudah pergi ke tempat yang luas, Yang Seng Cu bangkit dan menghampirinya. Akan tetapi Kong Hi Tojin berkata kepadanya. “Sute harap jangan membuat keributan, cukup untuk menguji saja.”

Tosu ini tidak setuju dengan sikap sutenya, akan tetapi karena sudah terlanjur, maka diapun tidak dapat berbuat apa-apa. Dan juga dia ingin melihat sampai di mana kehebatan pemuda yang disebut tai-hiap oleh Yap Kim Sun.

Yang Seng Cu adalah seorang tosu yang mengandalkan ilmu kepandaian sendiri sehinggga dia memandang rendah orang lain. Apa lagi yang dihadapinya hanyalah seorang pemuda, maka dia lalu bertanya, “Orang muda, dengan apa engkau hendak memperlihatkan kepandaianmu? Kalau hendak mempergunakan senjata, keluarkanlah, akan pinto hadapi dengan tangan kosong saja.”

Cin Po tersenyum, sedangkan Hui Ing mengigit bibirnya. Betapa sombongnya! “Totiang, kita bukanlah musuh dan permainan ini hanya untuk menguji saja. Kenapa harus menggunakan senjata? Marilah kita main-main sebentar dengan tangan kosong saja, biar totiang lebih leluasa untuk menguji aku yang masih rendah kepandaianku.”

“Tidak perlu merendah. Mulailah!” bentak Yang Seng Cu, yang sudah memasang kuda-kuda.

“Totiang yang menantang dan hendak mengujiku. Totiang yang mulai lebih dulu. Aku telah siap diuji,” kata Cin Po dengan tenang dan semua orang mendengar ucapannya itu.

Pada saat melihat sikap pemuda itu, Kong Hi Tojin sudah merasa kagum sekali dan dia dapat menduga bahwa sutenya akan kecelik dan kalah. Namun Yang Seng Cu bahkan merasa ditantang dan sambil berseru keras diapun mulai menyerang dengan pukulan yang dahsyat sekali karena dia mempergunakan jurus Cun-lui-tong-te (Guntur Musim Semi getarkan Bumi). Baru angin pukulannya saja sudah menyambar dahsyat.

Akan tetapi dengan sikap tenang sekali dan gerakan yang ringan, tubuh Cin Po sudah mendahului pukulan itu dan menghindar bagaikan sehelai bulu ringan dihantam dengan keras. Yang Seng Cu terkejut bukan main dan terheran-heran. Bagaimana pemuda itu dapat menghindarkan diri sedemikian mudahnya, seolah-olah pukulannya yang tidak dapat menyentuh tubuh itu.

Cepat dia lalu membalikkan tubuh sambil menyerang lagi ke arah pemuda itu mengelak dan sekali ini dia menggunakan jurus Sin-liong-pai-bwe (Naga Sakti Menyabetkan Ekor), akan tetapi kembali pukulannya hanya mengenai tempat kosong belaka. Dengan memutar tubuh pula, tangannya diputar membentuk cakar dan dia menyerang terus dengan cengkeraman tangannya, dengan jurus Tai-peng-tiam-ci (Garuda Mementang Sayapnya). Sekali ini Cin Po tidak mengelak melainkan menggerakkan tangannya untuk menangkis.

“Dukkk!” Kedua lengan bertemu dan Yang Seng Cu meringis kesakitan. Dia merasa seolah lengannya bertemu dengan sepotong baja yang luar biasa kerasnya. Namun dia masih penasaran dan tidak percaya bahwa dia tidak mampu menundukkan lawan yang masih amat muda ini. Lalu dia mengeluarkan ilmu silat andalannya, yaitu Pai-san-to-hai (Menolak Gunung Menguruk Lautan). Sebuah ilmu silat yang dahsyat sekali karena setiap gerakannya disertai tenaga sin-kang yang amat kuat.

Melihat lawan yang menggunakan ilmu yang dahsyat dan keras ini, Cin Po merasa tidak senang juga. Orang ini terlalu angkuh dan juga memiliki hati yang agak kejam, tidak mau mengalah sedikit pun. Tentu saja dia tidak tahu apa yang menyebabkan Yang Seng Cu bersikap seperti itu.

“Maaf totiang!” katanya dan diapun menggunakan jurus dari ilmu silat Ngo-heng-sin-kun, menotok kedua siku lawan sehingga tiba-tiba saja Yang Seng Cu merasa betapa kedua lengannya menjadi lemas tak dapat digerakkan lagi. Akan tetapi hanya sebentar karena cepat Cin Po membebaskan lagi totokannya dengan menepuk kedua lengan itu.

Sekali ini wajah Yang Seng Cu berubah pucat sekali kemudian merah. Barulah dia maklum bahwa pemuda ini sejak tadi mengalah kepadanya dan kalau pemuda itu menghendaki, sudah sejak tadi dia dapat dirobohkan. Bagaimanapun juga, Yang Seng Cu adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang gagah perkasa dan kalau dia bersikap keras terhadap Thian-san-pang, hal itu adalah karena dia ingin menggagalkan perjodohan itu.

Kini, dia yakin bahwa Thian-san-pang memang telah bersih, bahkan seorang tokoh mudanya telah menjadi orang kepercayaan kaisar, dan panglima penyelidik. Baru menggunakan surat kuasa itu saja, kalau pemuda itu berniat jahat, dia sudah dapat ditangkap karena dianggap melawan petugas kaisar yang mempunyai surat kuasa!

“Pinto menyerah! Kepandaianmu memang luar biasa sekali, orang muda!” katanya sambil merangkap tangan depan dada memberi hormat....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.