Pendekar Baju Putih Jilid 22 karya Kho Ping Hoo - Cin Po merasa girang melihat sikap gagah ini dan diapun membalas penghormatan itu. “Terima kasih bahwa totiang telah suka mengalah,” katanya dan kembali sikap ini membuat Kong Hi Tojin menjadi kagum bukan main. Seorang pemuda yang selain lihai sekali juga pandai membawa diri, tidak sombong dan amat rendah hati.
Perundingan tentang peminangan itupun dilanjutkan tanpa banyak kesulitan lagi dan akhirnya pinangan itu diterima dengan baik setelah diajukan oleh Yap Siong Kun sebagai paman Kim Sun. Pertunangan telah diikat dengan penukaran sebuah hiasan rambut dari batu permata dengan seuntai kalung milik Hui Ing ditukar dengan hiasan rambut itu. Tinggal pernikahannya saja akan dilangsungkan dalam waktu setengah tahun mendatang.
Para tamu merasa puas dan mereka pulang dengan hati senang, demikian pula pihak nyonya rumah yang ditinggalkan merasa puas dengan ikatan pertunangan yang memang sudah disetujui oleh ke dua orang muda yang berpasangan itu.
Setelah para tamu pulang, barulah Cin Po mendapatkan kesempatan untuk memperkenalkan Ciok Hwa kepada ibunya. Mereka semua tetap duduk di ruangan yang tadi, akan tetapi kini meja telah dibersihkan dan yang duduk menghadapi meja hanya mereka berempat, Sung Bi Li, Kwan Hui Ing, Cin Po dan Ciok Hwa.
“Ibu, aku perkenalkan nona ini kepadamu. Ini adalah Kui Ciok Hwa dan kami berdua sudah sepakat untuk saling berjodoh, ibu,” kata Cin Po kepada ibunya.
Sung Bi Li tersenyum girang. “Ahh! Kiranya engkau sudah mendapatkan pilihan hatimu? Bagus sekali, Cin Po! Namanya Kui Ciok Hwa? Nama yang bagus. Berapa usiamu sekarang, Ciok Hwa?”
“Usia saya sudah duapuluh tahun, bibi,” kata Ciok Hwa, tidak berani menyebut ibu, karena perjodohan mereka belum diterima dan disahkan.
“Dan siapakah orang tuamu?”
Ditanya demikian, Ciok Hwa agak tertegun. Ia merasa bahwa ayahnya adalah seorang datuk, Datuk Timur yang menjadi pembantu kerajaan Wu-yeh yang dianggap musuh, maka ia ragu untuk memperkenalkan nama ayahnya.
Melihat ini, Cin Po mendahuluinya. “Ibu, Hwa-moi ini sudah yatim piatu, tidak berayah tidak beribu lagi.”
“Ah, kasihan engkau, Ciok Hwa,” kata Bi Li, “Akan tetapi, siapa nama mendiang ayahnya?”
“Nama ayah almarhum adalah Kui Bhok....” kata Ciok Hwa lirih.
Kedua mata. Sung Bi Li agak terbelalak. “Kui Bhok? Aku seperti pernah mengenal nama itu! Kui Bhok…? Ah, Tung-hai Mo-ong juga bernama Kui Bhok, bukan?”
“Memang mendiang ayah berjuluk Tung-hai Mo-ong, bibi,” kata Ciok Hwa yang tidak dapat menahan diri untuk menyembunyikan siapa ayahnya itu. Lebih baik berterus terang, pikirnya penasaran. Bagaimanapun juga, Cin Po sudah mengenal siapa ayahnya!
Kini sepasang mata itu benar-benar terbelalak lebar. “Tung-hai Mo-ong…? Ciok Hwa, coba kau singkap cadarmu, ingin aku melihat mukamu.”
Cin Po memandang kepada kekasihnya dengan hati penuh iba, akan tetapi, dia tidak dapat mencegah dan agaknya Ciok Hwa juga tidak ragu-ragu lagi untuk membuka cadarnya. Hui Ing memandang dengan wajah penuh kekhawatiran. Cadar dibuka, seraut wajah yang penuh totol-totol hitam diangkat memandang kepada Bi Li dengan matanya yang bersinar-sinar. Terdengar Sung Bi Li menjerit dan berteriak.
“Puteri Tung-hai Mo-ong berwajah setan…! Tidak, aku tidak mau mempunyai mantu seperti ini…!”
“Ibu…!” seru Cin Po.
Cadar itu tertutup kembali dan tubuh Ciok Hwa berkelebat keluar dari ruangan itu.
“Hwa-moi…!!” Cin Po mengejar keluar dan sampai agak jauh dari Thian-san- pang, barulah ia dapat menyusul dan ia menangkap lengan gadis itu. “Hwa-moi, kau maafkanlah ibuku… kau maafkanlah aku… mari kita kembali dan akan kubicarakan baik-baik dengan ibu.”
“Tidak, aku tidak mau kembali ke sana hanya untuk mendengar hinaan. Koko, kau turutilah ibumu, jangan berjodoh dengan aku. Aku anak seorang datuk sesat, dan wajahku seperti setan. Aku hendak kembali ke Pulau Hiu…!” kata gadis itu dengan suara terisak-isak.
“Hwa-moi…!”
Akan tetapi Ciok Hwa merenggut lepas lengannya. “Koko, jangan paksa aku atau aku akan melawanmu!” Dan ia berlari lagi secepatnya meninggalkan pemuda itu.
Cin Po maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, kalau dia memaksa keadaannya akan menjadi semakin buruk, maka dengan tubuh terasa lemas dan hati terasa kosong dia lalu kembali kepada ibunya.
Hui Ing menyongsongnya. “Mana enci Ciok Hwa, koko?” tanyanya.
Cin Po menggeleng kepalanya dan menghela napas. “Ia tidak mau kembali ke sini….”
“Lebih baik begitu, bagaimanapun juga aku tidak setuju mempunyai mantu seperti setan begitu, apa lagi ia puteri Tung-hai Mo-ong!” kata Sung Bi Li dengan nada suara masih marah.
“Ibu, apakah ibu menilai seseorang dari ayahnya? Kalau begitu, orang macam apakah aku ini? Orang macam apakah dia yang menjadi ayah kandungku? Ayahku jauh lebih jahat dari pada Tung-hai Mo-ong, ibu. Apakah ibu sudah lupa akan hal ini? Ciok Hwa memang puteri Tung-hai Mo-ong, akan tetapi ia tidak jahat seperti ayahnya dan biarpun wajahnya buruk, namun hatinya amat baik. Dan tentang ayahnya itu, mengingat aku adalah anak ayah yang lebih jahat lagi, sudah sepatutnya kalau aku berjodoh dengan puteri seorang datuk seperti mendiang Tung-hai Mo-ong.”
“Benar seperti yang dikatakan koko Cin Po, ibu. Enci Ciok Hwa itu biarpun wajahnya cacat dan buruk, namun ia seorang gadis yang gagah perkasa, berjiwa pendekar dan baik sekali. Bahkan tanpa pertolongannya, mungkin kedua orang anakmu ini sudah tewas,” Hui Ing juga membujuk ibunya.
“Tapi… tapi…” Bi Li masih mencoba membantah.
“Ibu, akulah yang menanggung bahwa enci Ciok Hwa itu seorang gadis yang bijaksana dan berhati mulia!” tambah pula Hui Ing dengan suara mantap.
Kini Sung Bi Li menangis. Ia tidak setuju bermantukan Ciok Hwa karena merasa kehormatan dan harga dirinya tersinggung. Apa akan kata orang nanti kalau melihat ia mempunyai seorang mantu yang wajahnya seperti setan, apa lagi puteri datuk Tung-hai Mo-ong? Tentang keadaan puteranya sendiri yang berayahkan Ban Koan yang jahat, ia memang berusaha melupakan aib itu, dan pula tidak ada orang lain yang mengetahuinya.
Kita sejak kecil sudah dijejali dengan penjagaan kehormatan dan harga diri ini, sehingga setelah dewasa kita melakukan apa saja untuk menjaga kehormatan dan harga diri. Dalam berpakaian, dalam tindak tanduk sehari-hari, kita tidak segan untuk berpalsu-palsu demi kehormatan dan harga diri.
Kehormatan dan harga diri sudah disatukan dalam bentuk pakaian, kedudukan, harta benda, sikap, nama dan bukan kepada pribadi orang itu sendiri sehingga setiap orang selalu berusaha ke arah peningkatan kehormatan dan harga diri. Dalam memilih mantupun, seperti Bi Li, orang condong untuk melihat keadaan dan latar belakang orang itu, bukan melihat pribadinya.
Bi Li menangis sesenggukan. Hui Ing dan Cin Po saling pandang dan Hui Ing yang mendesak ibunya, “Ibu, apakah ibu masih juga berkeberatan kalau koko Cin Po berjodoh dengan enci Ciok Hwa?”
“Sesukamulah… aku… aku tidak melarang, hanya... ah, sudahlah, kalau memang Cin Po mencinta gadis itu terserah, aku tidak akan mencegahnya lagi…”
“Terima kasih, ibu!” Cin Po berlutut di depan kaki ibunya.
Sepekan kemudian Cin Po meninggalkan Thian-san-pang untuk pergi menyusul Ciok Hwa ke Pulau Hiu.
Cin Po melakukan perjalanan cepat untuk menyusul Ciok Hwa ke Pulau Hiu. Setelah sekarang Wu-yeh terjatuh ke tangan kerajaan Sung, melakukan perjalanan ke daerah ini menjadi aman bagi Cin Po. Akhirnya, tanpa adanya gangguan, tibalah dia di tepi pantai dan dia membeli sebuah perahu kecil dan dengan cepat didayungnya perahu itu menuju ke Pulau Hiu.
Ketika tiba di dekat Pulau Hiu, dia melihat perahu-perahu hitam milik para bajak laut Pulau Hiu dihias dengan bunga-bunga kertas warna warni. Dia menjadi tertarik sekali dan ketika dia mendarat, suasana di pulau itupun semarak dengan hiasan di sana sini!
Seorang anggauta bajak melihat dan mengenal Cin Po, lalu menegur, “Tai-hiap baru datang?”
“Apa yang terjadi di sini? Apa artinya semua hiasan ini?”
“Kami sedang mempersiapkan sebuah pesta pernikahan, tai-hiap. Besok pagi akan diadakan perayaan pernikahan!” kata orang itu dengan nada suara gembira. “Bukankah kedatangan tai-hiap ini untuk menghadiri pesta pernikahan itu?”
Cin Po terkejut dan di luar kesadarannya dia memegang lengan orang itu sehingga yang dicengkeram lengannya mengaduh. Dia mengendurkan cengkeramannya dan bertanya, “Siapa yang menikah? Hayo katakan, siapa yang akan menikah besok pagi?!”
“Eh… eh, apa tai-hiap belum tahu? Ketua kami akan menikah dengan bekas ketua kami Si Mata Satu…” Orang itu tidak melanjutkan kata-katanya karena Cin Po sudah lenyap dari situ.
Bagaikan seorang yang kesetanan Cin Po masuk ke dalam rumah Ciok Hwa. Beberapa orang penjaga yang berada di rumah itu berusaha untuk menahannya, akan tetapi dengan menggerakkan tangan ke kanan kiri, enam orang penjaga itu roboh jungkir balik dan dia terus berlari masuk, mengejutkan Ciok Hwa yang sedang duduk melamun seorang diri di dalam kamarnya.
“Kau...??” Ciok Hwa bangkit berdiri memandang pemuda itu dari balik cadarnya.
“Hwa-moi, apa-apaan kau ini! Hendak menikah dengan Si Mata Satu!”
“Cin Po, kau tidak berhak mencampuri! Perduli apa engkau?” balas Ciok Hwa dengan suara ketus.
“Hwa-moi, engkau adalah calon isteriku. Tidak mungkin menikah dengan orang lain!”
“Tidak, ibumu telah menghinaku, telah menolakku!”
“Akan tetapi aku tidak pernah menolakmu!”
“Tidak, aku tidak dapat menjadi isterimu, ibumu telah…”
“Hwa-moi, engkau tidak mengenal ibuku. Ia bukanlah seorang wanita yang jahat dan kejam. Mungkin karena terkejut, ketika itu, ia menolakmu. Akan tetapi aku telah bicara dengannya dan ia mau menerimamu sebagai mantunya.”
“Tidak, aku tidak mau dihina lagi. Biar aku menjadi isteri Si Mata Satu, atau Si Mata Buta sekalipun, lebih tepat untukku. Engkau putera ketua Thian-san-pang yang terhormat, sedangkan aku hanya anak datuk sesat dan wajahku cacat, buruk seperti setan!”
“Hwa-moi, aku cinta padamu dan engkau mencinta aku. Aku larang engkau menikah dengan siapapun juga!” bentak Cin Po.
“Aku tidak perduli!”
“Aku akan membawamu pergi dari sini!”
“Aku tidak sudi!”
“Aku akan memaksamu!”
“Aku akan melawanmu!” teriak Ciok Hwa dan ia sudah menyerang Cin Po dengan pukulan tangannya ke arah dada pemuda itu. Cin Po tidak mengelak.
“Bukk!” pukulan mengenai dada Cin Po dan Ciok Hwa menjerit dan kaget sendiri melihat Cin Po tidak mengelak atau menangkis. Akan tetapi Cin Po sudah menggerakkan tangan menotoknya dan iapun roboh lemas dalam rangkulan Cin Po, tertotok. Cin Po memondongnya dan membawanya keluar.
Semua anggauta Pulau Hiu sudah berkumpul di luar dan Si Mata Satu sudah pula berdiri di situ. Melihat Si Mata Satu, Cin Po memandang dengan tajam.
“Engkau berani hendak menghalangi aku membawa pergi Ciok Hwa?” bentaknya dengan geram.
Si Mata Satu memberi hormat. “Tai-hiap, pernikahan ini adalah kehendak ketua kami dan aku sama sekali tidak berani membantah. Harap jangan persalahkan diriku dan kalau sekarang tai-hiap hendak membawanya, aku hanya dapat merasa bersyukur.”
Tahulah Cin Po bahwa pernikahan itu memang kehendak Ciok Hwa semata-mata untuk menghancurkan hatinya, untuk membalas penghinaan yang diterimanya dari ibunya.
“Anak bodoh kau…!” Dia mengomeli Ciok Hwa yang kini menangis di dalam pondongannya lalu Cin Po melompat dan membawa Ciok Hwa lari ke pantai. Dimasukkan tubuh gadis itu ke dalam perahunya dan didayungnya perahu itu ke tengah, disaksikan oleh Si Mata Satu dan kawan-kawannya dengan gembira.
Mereka melambaikan tangan. Si Mata Satu yang paling merasa gembira. Sebetulnya dia sendiri tidak suka untuk menikah dengan wanita yang bermuka buruk mengerikan itu, akan tetapi dia tidak berani menolak kehendak Ciok Hwa yang ditakuti. Maka, kini melihat Cin Po datang dan membawa pergi wanita itu, tentu saja pernikahannya menjadi urung dan dia bergembira sekali.
Setelah berada di perahu, Cin Po membebaskan totokannya dari tubuh Ciok Hwa. “Nah, sekarang kita berada di perahu, di atas air. Di sini aku tidak berdaya dan kalau engkau akan membunuhku, lakukanlah!” kata Cin Po kepada gadis yang masih menangis itu.
Mendengar ucapan Cin Po, Ciok Hwa menangis semakin sedih. Cin Po mendiamkannya saja, hanya mendayung perahunya tanpa berkata apa-apa lagi. “Engkau… akan membawaku ke mana?” tanya Ciok Hwa setelah reda tangisnya.
“Engkau akan kubawa lagi menghadap ibu di Thian-san-pang.”
“Aku tidak mau menerima penghinaan lagi. Lebih baik aku mati!”
“Ciok Hwa, percayalah kepadaku. Ibu telah berubah pendiriannya. Aku tanggung bahwa ia tidak akan mengeluarkan kata-kata kasar lagi. Ia telah menyadari keadaan dan tidak akan menolakmu lagi. Ketika itu ia hanya terkejut dan dalam kekagetannya itu, ia telah menyinggungmu, maafkanlah ibuku, Hwa-moi.”
Kembali Ciok Hwa terisak. “Koko….”
“Ya....?”
“Katakanlah terus terang. Apakah cintamu kepadaku itu benar-benar? Ingat, aku puteri Tung-hai Mo-ong yang pernah hendak membunuhmu dahulu. Dan lebih lagi, aku memiliki wajah yang buruk menjijikkan seperti setan. Benar-benarkah cintamu kepadaku?”
“Hwa-moi, apakah aku harus bersumpah? Aku mencinta pribadimu, mencinta kebijaksanaan dan kebaikanmu, bukan sekedar mencinta wajahmu. Wajahmu boleh bercacat, akan tetapi bagiku, pribadimu tidak bercacat!”
Mendengar ucapan ini, Ciok Hwa membalik dan merangkul Cin Po, menangis di dada pemuda itu. “Ah, koko... betapa aku cinta padamu.... aku… aku rela mati untukmu... aku… aku tadinya hendak membunuh diri begitu pernikahanku dirayakan.”
“Hwa-moi....!” Cin Po memeluknya erat-erat seolah tidak ingin gadis itu terlepas darinya. “Betapa bodoh engkau! Aku tidak akan melepaskanmu, biar apapun juga yang terjadi. Andaikata ibuku sungguh-sungguh tidak setuju, aku tetap akan pergi bersamamu, hidup berdua denganmu. Percayalah! Akan tetapi ibuku telah insaf dan ia menyetujui perjodohan kita.”
“Benarkah, koko?”
“Aku tidak pernah mau berbohong kepadamu, kekasihku.”
“Koko Cin Po...!”
Perahu di dayung terus dan tak lama kemudian merekapun sudah mendarat. Mereka langsung pergi ke Thian-san-pang. Karena percaya kepada kekasihnya, Ciok Hwa mau datang lagi ke Thian-san-pang walaupun jantungnya berdebar keras penuh ketegangan.
Pertama-tama yang menyambut mereka adalah Hui Ing. “Enci Ciok Hwa, syukurlah engkau mau datang kembali bersama koko! Kami girang sekali, enci!”
Kemudian Sung Bi Li keluar. Sejenak kedua orang wanita itu berdiri saling berhadapan, diam tak bergerak seperti patung. Sinar mata Ciok Hwa seolah menembus cadarnya mempelajari keadaan wajah calon ibu mertuanya. Kemudian Bi Li melangkah maju dan merangkul gadis itu. “Ciok Hwa, maafkan ibumu, nak!”
Mendengar ucapan itu, Ciok Hwa merangkul calon ibu mertuanya berbisik, “Sayalah yang mengharapkan maaf darimu, ibu…” Keduanya bertangisan dan terobatilah hati Ciok Hwa yang pernah luka di tempat ini.
Karena Ciok Hwa sudah yatim piatu, maka perjodohan dirundingkan mereka bersama. Kemudian diputuskan bahwa hari pernikahan mereka dibarengkan dengan hari pernikahan Hui Ing, dan akan dirayakan di Thian-san-pang.
Setelah tinggal beberapa hari lamanya di Thian-san-pang, Ciok Hwa berpamit dari ibu mertuanya untuk lebih dulu berkunjung ke makam ayahnya dan bersembahyang. Cin Po menemaninya dan setelah tiba di makam itu, mereka bersembahyang. Kemudian mereka duduk bercakap-cakap di depan makam.
“Kalau aku teringat akan kehidupan ayah di masa lalu dan kehidupanku sendiri, aku tidak terlalu menyalahkan ibumu kalau ia dahulu itu menolakku. Ayah adalah seorang datuk sesat dari Timur sedangkan aku? Aku pernah menjadi kepala bajak laut di Pulau Hiu. Sedangkan engkau adalah putera ketua Thian-san-pang yang terhormat!”
Ia menghela napas panjang. “Entah bagaimana engkau membujuk ibumu sehingga akhirnya ia menyetujui perjodohan kita, koko.”
Cin Po merasa bahwa sudah tiba waktunya bagi dia untuk berterus terang kepada Ciok Hwa tentang rahasia dirinya. “Mudah saja, Hwa-moi. Kaukira aku ini keturunan orang baik-baik? Mendiang ayah kandungku jauh lebih jahat dibandingkan mendiang ayahmu.”
Ciok Hwa terkejut sekali dan berseru, “Aku tidak percaya!”
“Nah, dengarlah baik-baik riwayatku. Engkau ingat ketika para tokoh Kun-lun-pai menuduh Thian-san-pang pernah menyeleweng dan bersekongkol dengan Coa-tok-pang yang jahat? Dan ibuku mengaku kepada mereka bahwa memang pernah ada seorang pengkhianat mengacau di Thian-san-pang, menguasai Thian-san-pang dan membawanya menyeleweng? Nah, pengkhianat itu adalah ayah kandungku!”
“Mana mungkin? Engkau putera ibumu yang menjadi ketua Thian-san-pang!” bantah Ciok Hwa.
“Memang benar, dan pengkhianat itu adalah suheng dari ibuku. Mereka bukan suami isteri, akan tetapi pada suatu saat… ahh, biarlah aku berterus terang kepadamu, Ciok Hwa karena di antara suami isteri tidak boleh ada rahasia, biar engkau tahu orang macam apa calon suamimu ini.
“Pada suatu waktu, selagi ibuku pingsan, ia telah diperkosa oleh suhengnya itu. Dan akibatnya....... terlahirlah aku. Nah, sudah lega hatiku sekarang setelah menceritakannya kepadamu.”
“Ahhh, begitukah, koko? Dan siapa nama... ayah kandungmu itu?”
“Namanya Ban Koan. Aku benci nama itu, seorang pengkhianat dan penjahat kejam sekali.”
“Koko, sudah benarkah itu kalau engkau membenci ayahmu sendiri? Biarpun dia jahat akan tetapi tetap dia ayahmu. Dan mengapa engkau memakai marga Sung, bukan Ban?”
“Aku menggunakan marga ibuku.”
“Sudah benarkah itu, koko? Engkau adalah seorang yang jujur dan bijaksana, kenapa tidak berani menggunakan marga ayah kandungmu? Malu?” Ciok Hwa menegur.
Cin Po menghela napas dan menyadari kesalahannya. “Apa yang harus kulakukan, Ciok Hwa? Aku menjadi bingung mendengar teguranmu!”
“Aku tidak akan merasa puas kalau engkau tidak menggunakan nama marga ayah kandungmu, yaitu marga Ban, dan aku tidak akan tenang kalau engkau tidak mengajak aku bersembahyang di depan makam ayah kandungmu. Boleh jadi ayah kita jahat, akan tetapi mereka adalah orang tua kita, dan kini mereka telah meninggal dunia.
“Sepatutnya sebagai anak, kita harus berdoa memintakan ampun kepada Tuhan atas segala dosa mereka. Bukan malah membenci mereka!”
Cin Po merangkul kekasihnya. “Alangkah mulia hatimu, Hwa-moi. Baiklah, aku berjanji bahwa mulai saat ini nama lengkapku adalah Ban Cin Po dan nanti di Thian-san-pang engkau akan kuajak bersembahyang di depan makam ayah kandungku.”
Senang dan legalah hati Ciok Hwa, maka iapun balas merangkul pemuda itu. Kebahagiaan terasa bagi dua hati yang sepaham sependirian, dua hati yang mencinta dengan tulus, biarpun melihat cacat cela dalam diri masing-masing.
Pernikahan dua pasang mempelai itu dirayakan dengan meriah di Thian-san-pang. Bukan hanya para tokoh kang-ouw yang datang sebagai undangan, juga banyak pejabat tinggi termasuk Menteri Kebudayaan Lu Tong Pi hadir!
Setelah semua tamu bubaran, Cin Po dan Ciok Hwa berada di dalam kamar pengantin yang berbau harum dupa. Dengan lembut Cin Po menghampiri Ciok Hwa yang duduk di tepi pembaringan dan perlahan-lahan dia menyingkap cadar hitam itu.
Ditatapnya wajah isterinya yang totol-totol hitam itu tanpa jijik, bahkan dengan penuh iba dan sayang. Dia melihat air mata mengalir turun di kedua pipi, isterinya yang menundukkan mukanya dengan malu-malu. “Isteriku sayang! Kenapa menangis?”
“Aku menangis karena bahagia, suamiku, karena aku kini yakin benar akan cintamu kepadaku…”
Cin Po merangkul. “Apakah selama ini engkau belum yakin?”
“Siapa bisa yakin, koko? Bagaimana mungkin seorang pria akan dapat mencinta seorang gadis yang mukanya cacat…”
“Husssshhh, tidak usah menyebutkan lagi hal itu. Aku cinta padamu, moi-moi!”
Dan Cin Po lalu mendekatkan mukanya, menciumi muka yang totol-totol hitam itu. Setelah dia melepaskan isterinya, Ciok Hwa memandang kepadanya sambil tertawa geli. Sudah tentu saja Cin Po menjadi terheran dan mengerutkan alisnya. “Kenapa engkau tertawa geli, isteriku?”
“Hi-hi-hik, lihat mukamu seperti… seperti badut! Sungguh lucu…!”
Cin Po terkejut sekali, juga khawatir karena sikap isterinya seperti seorang yang tidak waras pikirannya. Dia lalu lari ke meja dan mengambil cermin, bercermin. Dia terbelalak melihat mukanya coreng-moreng hitam, memang seperti badut. Dia terheran-heran. Bagaimana mukanya bisa coreng moreng seperti itu? Ah, baru saja dia menciumi isterinya! Kedua pipi isterinya diciuminya dan mukanya lalu coreng moreng.
Dia lalu melompat mendekati isterinya memegang wajah isterinya dengan ke dua tangan dan memaksa isterinya mengangkat muka. Totol-totol hitam itu? Dia lalu memondong isterinya ke kamar mandi dan dengan paksa dia mencuci muka isterinya dengan air, lalu membersihkannya dengan bajunya. Dan totol-totol hitam itu lenyap sama sekali. Wajah isterinya putih kemerahan, mulus tanpa cacat dan bahkan cantik jelita bagaikan bidadari! Dia terbelalak.
“Kau.... kau.... benar Ciok Hwa…?”
Ciok Hwa tersenyum dan bukan main manis dan indahnya senyum itu. “Apakah engkau sudah lupa lagi kepadaku, suamiku?”
Cin Po merangkul. Kedua matanya basah. “Engkau... engkau… sudah sembuh?”
“Sudah sejak lama! Sejak Yok-sian mengobatiku dari luka beracun, cacat di mukaku sembuh. Justeru serangan jarum beracun dari Kam Song Kui itu telah menyembuhkan cacat di mukaku, walaupun sempat membahayakan keselamatan nyawaku.”
“Akan tetapi, kenapa engkau masih menutupi mukamu dengan cadar dan memberi totol-totol hitam dengan tinta bak?”
Ciok Hwa tersenyum dan merangkul suaminya. “Engkau bodoh, tidakkah kau lihat bahwa totol-totol hitam itu tidak sama dengan keadaan mukaku yang dahulu, penuh benjolan-benjolan? Dan aku memang sengaja membiarkan engkau mengira mukaku masih tetap buruk, kalau tidak begitu, bagaimana aku dapat menguji sampai di mana besarnya cintamu kepadaku? Aku tidak ingin dicinta karena wajahku cantik.”
“Ah, engkau isteriku yang bijaksana…” Cin Po kembali menciumi wajah isterinya sampai Ciok Hwa terengah-engah. “Pantas saja Suhu Bu Beng Lojin menyetujui perjodohanku denganmu.”
“Suhumu seorang sakti yang bijaksana. Dia sudah tahu bahwa totol-totol hitam itu hanya buatan, akan tetapi dia tidak membuka rahasiaku. Aku dapat melihat ini dari pandang matanya yang penuh senyum maklum.”
Cin Po menarik isterinya keluar kamar. “Heii, mau engkau bawa ke mana aku!” teriak isterinya.
“Akan kupamerkan kepada semua orang!” kata Cin Po sambil tertawa dan seperti orang kesetanan, dia berteriak-teriak membangunkan ibunya, bahkan mengetuk-ngetuk pintu kamar Hui Ing dan suaminya, membangunkan semua orang.
“Lihat…! Lihat ini isteriku, Kui Ciok Hwa yang cantik seperti bidadari!” teriaknya kegirangan.
Hui Ing dan suaminya terkejut pintu kamarnya diketuk dan mereka keluar dari kamar. Demikian pula Sung Bi Li dan mereka semua terbelalak memandang gadis yang cantik jelita, yang digandeng Cin Po.
Hui Ing lebih dulu maju dan merangkul Ciok Hwa. “Sungguh ajaib. Engkau seorang gadis yang cantik jelita, enci. Aku merasa bangga dan girang sekali mempunyai kakak ipar sepertimu!”
Kini giliran Sung Bi Li merangkul mantunya. “Akupun bangga dan girang sekali, Ciok Hwa. Engkau mantuku yang baik…” Dan nyonya ini tidak dapat menahan air matanya.
Setelah kembali ke dalam kamar, Cin Po merangkul isterinya. “Semua orang bangga kepadamu, isteriku. Apa lagi aku!”
“Ahh, aku hanya isterimu yang jelek, bodoh dan…”
“Dan hebat!” Cin Po menutup kata-kata merendahkan diri itu dengan ciumannya.
Sampai di sini, selesailah sudah kisah Pendekar Baju Putih ini. Semoga kisah ini ada manfaatnya bagi para pembaca, dan sampai jumpa di dalam kisah yang lain.