Pendekar Cengeng Jilid 01

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar Cengeng Jilid 01

Pendekar Cengeng Jilid 01

DARI dalam rumah tembok model kuno terdengar suara tangis mengguguk, diselingi rintihan memanggil manggil nama orang yang sudah sudah menjadi mayat. Sampai seakan suara orang yang menangis itu tak terdengar lagi karena sudah sehari semalam ia terus-menerus menangis, tanpa memperdulikan orang yang melayat.

Pendekar Cengeng karya Kho Ping Hoo

Semenjak jaman dulu, rakyat sudah mengenal kesadaran bergotong royong sehingga ada pepatah. "Tangis dan tawa lebih cepat terdengar oleh tetangga dekat daripada keluarga jauh."

Rumah itu tempat tinggal keluarga Yu dan yang meninggal dunia adalah kakek Yu. Bukan orang biasa melainkan pendekar tua Yu Tiang Sin yang selama puluhan tahun telah terkenal di dunia silat, jagoan atau penjahat manakah tidak mengenal nama julukan Yu-kiam-sian (Dewa Pedang Yu)!

Bukan hanya terkenal sebagai seorang pendekar pedang yang selalu membela kebenaran dan keadilan, tetapi juga Yu Tiang Sin terkenal sebagai seorang yang anti kepada pemerintah penjajah.

Pada masa itu seluruh Tiongkok dikuasai bangsa Goan, yaitu kerajaan bangsa Mongol yang dipelopori Jenghis Khan yang terkenal sampai di Eropa. Akan tetapi setelah bangsa Mongol dipimpin Kaisar Kubilai Khan cucu Jenghis Khan barulah dinasti Goan berdiri dan seluruh Tiongkok dikuasai.

Rakyat yang menderita akibat penyerbuan tentara Mongol, sampai puluhan tahun tertindas, menaruh dendam dan membenci kaum penjajah ini. Akan tetapi disamping orang-orang berjiwa pahlawan seperti pendekar tua Yu, banyak pula bermunculan penjahat pangkhianat bangsa yang tak segan-segan menjual negara dan tanah air demi kedudukan, kemuliaan dan kekayaan.

Puluhan tahun lamanya pendekar Yu tiada hentinya berusaha untuk membela rakyat tertindas dengan caranya sendiri, yaitu memusuhi para pembesar penjajah atau boneka boneka penjajah, juga raja muda yang bermunculan di dusun dusun.

Entah berapa banyaknya pengkhianat-pengkhianat yang setelah menjadi pembesar lalu menghina dan menindas bangsa sendiri dibunuh oleh Yu kiam sian. Banyak pula hartawan hartawan yang kikir dan jahat tewas di ujung pedang pendekar ini.

Hartawan hartawan yang menjadi raja muda di dusun dusun memang banyak sekali yang jahat. Mereka mengandalkan kekayaannya, menindas si miskin dan si lemah, merampas anak bini orang, dan di samping mereka memelihara tukang-tukang pukul, juga dengan jalan monyogok pembesar-pembesar setempat mereka dapat memperalat para pembesar itu.

Sepak terjang Yu Tiang Sin ini tentu saja membuat ia dicintai rakyat yang tertindas dan disegani serta dihormati orang-orang gagah, akan tetapi ditakuti dan dibenci orang-orang dari golongan hitam, setelah berusia tujuh puluh tahun kakek Yu mengundurkan diri dan hidup tenang serta damai di dusun Ki l-bun di lembah Sungai Huai.

Di sini ia hidup bersama tiga orang anak dan tujuh orang cucunya, karena semua mantu dan cucunya mempelajari ilmu silat, maka keluarga Yu ini terkenal sebagai keluarga yang kuat dan disegani.

Ketika Dewa Pedang itu meninggal karena usia tua, semua keluarganya berkabung dan berduka. Akan tetapi yang paling berduka dan tak hentinya menangis dan memanggil manggil adalah cucunya yang paling bungsu.

Cucu ini bernama Yu Lee dan sejak kecil memang menjadi cucu kesayangan kakeknya. Karena menurnpahkun kasih sayang ini, anak itupun membalas cinta kasih yang melebihi ayah bundanya sendiri. Di saat kakeknya meninggal, Yu Lee baru berusia delapan tahun tahun dan biarpun semua orang menghiburnya, ia tidak mau berhenti menangisi mayat kakeknya.

Rumah itu sudah diberi tanda berkabung dengan kertas dan kain putih. Jenazah kakek Yu telah dimasukkan peti mati dan ditaruh di ruangan depan. Di meja sembahyang yang berdiri di depan peti mati, di samping lilin dan asap dupa serta hio mengebul mernenuhi ruangan. Tiga orang putera dan dua arang cucunya yang sudah berusia belasan tahun, menjaga peti mati untuk mewakili kakek Yu dalam membalas penghormatan pengunjung yang berlayat.

Keluarga perempuan setelah menjalankan "upacara berkabung" dengan jerit tangis sedih di depan peti mati, lalu masuk ke dalam untuk membantu di dapur mengeluarkan hidangan bagi mereka yang berlayat.

Yang amat mengharukan adalah Yu Lee. Ia tetap saja menjaga peti mati, biarpun ia dihardik ayahnya sehingga tak bisa menangis keras, tetapi masih bercucuran air mata dan terisak isak, matanya merah memandang peti mati, tangannya mengelus elus peti dan bibirnya bergetak gerak, seakan akan berbicara dengan kakeknya yang berada di dalam peti!

Sebagai seorang bekas pendekar terkenal tentu saja banyak sahabat yang datang untuk mamberikan penghormatan terakhir pada jenazah kakek Yu. Hilir mudik orang yang datang dan yang pergi, sehingga putera-putera dan cucu menjadi sibuk sekali membalas penghormatan para tetamu.

Pada hari ketika, pagi pagi sekali telah datang seorang tetamu. Sepagi itu hanya Yu Lee yang sudah mendekam di dekat peti mati itu. Ayah dan saudara saudaranya segera keluar menyambut tamu itu. Akan tetapi tamu yang datang kali ini sikapnya luar biasa dan tidak seperti tamu-tamu yang lain. Dia sudah tua, sedikitnya enam puluh tahun usianya.

Pakaiannya kasar dan sederhana, di punggungnya terdapat sebuah guci arak berbentuk bulat dengan leher panjang dan mulut tersumbat kain kuning, di pinggang kiri tergantung sebatang pedang yang gagang dan sarungnya sudah tua dan buruk. Melihat pakaian pendeta dan rambutnya yang digelung dan diikat pita kuning, tentu dia seorang tosu (pendeta Agama To) pengembara.

Tubuhnya kurus kering, mukanya pucat kehijauan dan berbentuk panjang, matanya sipit sekali seakan selalu terpejam. Keadaannya sesungguhnya sangat menyelihkan, tidak sedikitpun membayangkan semangat dan keriangan hidup.

Akan tetapi anehnya mulut kecil yang ompong itu selalu tersenyum dan karena bagian lain dari mukanya tidak memancarkan keriangan maka senyumnya ini tidak seperti senyum lagi, lebih patut kalau dikatakan menyeringai dan mengejek. Begitu masuk pekarangan rumah keluarga Yu yang sedang berkabung terdengar ia bernyanyi nyanyi diseling suara terkekeh kekeh.

Lain tamu, setelah berhadapan dengan meja sembahyang dan peti mati lantas menyalakan hio dan bersembahyang sebagai penghormatan terakhir, namun tosu ini malah berdiri memandang peti mati dengan matanya yang sipit berkedip kedip. Kemudian terdengar suara tertawanya bergelak.

“Ha ha ha, Yu-loheng (kakak tua Yu). Kau benar benar enak sekali pergi menuju kebebasan derita hidup. Tinggalkan julukan yang kosong melompong, terbebas urusan dunia yang serba palsu. Yu loheng di waktu hidup berjuluk Dewa Pedang. Ha, ha, ha, bukankah itu nama kosong belaka? Kalau dewa tentunya tidak mengenal mati hidup, dan pedangmu…. ha ha ha, mana pedangmu? Biarpun masih ada, tak ada gunanya lagi. Kau senang Yu loheng sayangnya sebelum pergi tidak pamit lebih dahulu kepadaku.”

Anak cucu kakek Yu memandang tosu itu dengan muka membayangkan kemarahan. Kakek yang mereka hormati telah meninggal, janazahnya masih berada di dalam. Bagaimana sekarang tosu ini berani terang terangan menghina dengan kata kata aneh?

Hanya Yu Lee yang tidak merasa heran bahkan tangisnya makin menjadi. Ia seolah olah membayangkan bahwa tosu itu bercakap cakap dengan kakeknya, seolah olah mendengar suara dan ketawa kakeknya. Akan tetapi, kalau ia memandang peti mati, teringatlah ia bahwa kakeknya yang tercinta telah meninggalkannya.

"Hai bocah! Kau tentunya cucu Yu loheng. Kenapa menangis? Bocah cengeng kau! Masa dengan terbebas dari hukuman kau sambut dengan tangis? Bodoh! Cengeng!" Tosu itu mendelik memarahi Yu Lee kemudian memukul mukulkan tongkat di atas lantai dan bersenandung. Yang ia nyanyikan sama sekali bukan doa untuk yang mati, dan lagunya malah bernada gembira.

“Manusia hidup lunak dan lemas, kalau mati menjadi kaku dan keras. Segala mahluk dan tanaman hidup lunak dan lemas, kalau mati menjadi kering dan getas (mudah patah). Kaku dan keras adalah kematian, lunak dan lemas adalah teman kehidupan.”

Tosu itu berhenti menyanyi dan tertawa lagi terbahak bahak, menurunkan guci araknya. berkata nyaring. "Yu lo heng, silakan minum arak!"

Dia menggerakkan guci araknya dan dari dalam guci yang mulutnya sudah terbuka itu memercik arak yang berbau harum. Kemudian tosu itu mendekatkan mulut guci itu ke mulutnya dan terdengar suara menggelogok ketika arak yang berwarna merah masuk ke mulutnya.

Kemudian ia menyimpan kembali guci araknya dan tanpa dipersilakan ia telah duduk di atas sebuah bangku. Tiga orang putera kakek Yu ini memiliki kepandaian silat yang tinggi namun mereka belum pernah bertemu dengan tosu ini.

Dalam hati mereka marah sekali, namun karena sikap tosu ini tidak memusuhi jenazah ayah mereka, bahkan kata katanyapun membayangkan bahwa ia adalah sahabat kakek Yu. Mereka tidak mengutarakan isi hatinya. Hanya mereka tidak tahu bagaimana harus menyebut tamu aneh ini.

Orang lain berlayat untuk berbela sungkawa, akan terapi tosu ini datang seolah oleh hendak memberi selamat atas kematian kakek Yu bahkan mengajak si peti untuk minum arak. Di dunia ini mana ada aturan macam ini.

Namun tiba-tiba Yu Lee bangkit dari bawah peti mati di mana tadi ia berlutut, kemudian menghampiri tosu itu dan sambil terisak isak, "Orang tua, kakekku sudah tidak dapat menyambutmut... ia sudah mati.” Sampai di sini tak tahan lagi ia menangis terisak isak.

"He, bocah menyebalkan! Bocah cengeng! Siapa bilang Yu loheng mati? Apa kau tahu benar?”

Yu Lee lupa akan kedukaannya, lupa akan tangisnya. Ia menengadah memandang wajah tosu yang duduk di kursi itu.

Si tosu terkejut. Anak ini wajahnya simpatik, berbentuk bulat seperti bulan purnama, putih bersih. Sepasang matanya yang kini merah karena terlalu banyak menangis itu lebar dan bening. Sinarnya tajam penuh kejujuran dan kemurnian.

“Orang tua, kakekku sudah mati. Benar-benar mati. Ia tak menjawab pertanyaanku dan tidak bernapas lagi. Kalau tidak mati masa dimasukkan peti mati?” Saking herannya terhadap sikap dan ucapan tosu itu Yu Lee sampai lupa akan kesedihannya.

"Ha, ha, ha, bocah cengeng! Kau seperti yang tahu saja! Apa itu mati? Apa itu hidup? Sebelum hidup dari mana? Sesudah mati ke mana?”

Sudah tentu bocah berusia delapan tahun itu akan terlongo kebingungan mendengar pertanyaan yang tidak mungkin terjawab oleh orang pandai sekalipun.

"Locianpwe, harap maafkan puteraku yang bodoh ini berani bersikap kurang ajar. Mohon tanya, siapakah locianpwe yang terhormat?"

Yu Kai, ayah Yu lee dan sambil menarik tangan puteranya ia menjura penuh hormat kepada tosu itu. Yu Kai adalah putera sulung kakek Yu, seorang berusia empat puluh lima tahun yang pendiam.

Tosu itu sejenak memandang Yu Kai, tiba-tiba tangannya bergerak ke depan, jari telunjuknya menotok ke arah jalan darah di dada Yu Kai. Gerakan ini biarpun dilakukan sambil duduk, namun cepatnya bukan main dan sebelum jari itu menyentuh dada, angin pukulannya sudah menyambar dan Yu Kai merasakan dadanya dingin sekali. Sebagai putera pendekar, teutu saja Yu Kai berkepandaian cukup tinggi.

Karena ia maklum bahwa totokan ini mematikan dan tidak dapat ditangkis, ia cepat menekuk tubuh ke belakang tanpa merobah kedudukan kedua kakinya. Kalau meloncat ia takkan dapat menghindarkan totokan itu. Dengan menggerakkan tubuh melengkung ke belakang, barulah ia dapat menghindarkan bahaya.

Setelah tubuh atasnya terhindar dari serangan, baru kedua kakinya menekan lantai dan tubuhnva mencelat ke belakang berjungkir balik membuat salto dua kali dan kakinya menginjak lantai lagi dengan ringan.

“Ha, ha, ha, tua bangka Yu, alangkah kikirnya. Mempunyai kepandaian kalau tidak ditinggalkan kepada anak cucu atau murid, untuk apa kau bawa pergi ke lubang kubur? Kau terkenal sebagai Dewa Padang, namun puteramu hanya begini saja kepandaiannya, sungguh memalukan.... memalukan!”

Sementara itu Yu Kai marah bukan main mendengar ejekan ini namun ia maklum bahwa tosu ini mengejek bukan untuk menyombong. Dalam segebrakan tadi, kalau tosu ini menghendaki, nyawanya pasti sudah menyusul ayahnya. Biarpun ia sudah mengelak dengan gerak Siluman Naga Berjungkir Balik, sebuah gerakan yang sukar dan hebat, namun masih kalah cepat oleh si tosu aneh.

Buktinya baju bagian dadanya, tepat di jalan darah yan goat hiat telah berlubang sebesar ujung jari. Jelas bahwa tosu itu hanya mengujinya. Namun sungguh keterlaluan tosu itu, menguji sambil menghina. Sesabar sabarnya Yu Kai, karena baru berduka dan berkabung, kini dihina orang, darahnya mendidih dan memberi tanda dengan matanya pada dua orang adiknya untuk mengusir tosu ini.

Para tetangga yang sudah berdatangan melihat pula kejadian tadi. Mereka menjadi gelisah dan makin banyaklah tetangga yang berdatangan sambil berbisik bisik.

"Hei, kakek tua!” Tiba-tiba Yu Lee sebelum dapat dicegah ayahnya sudah meloncat maju dan membusungkan dada di depan tosu ini. "Kau berani menghina ayahku? Orang gagah macam apa kau ini? Setelah kakekku tak ada, baru kau berani bikin ribut. Kalau kakekku masih hidup, sekali bergerak kau tentu roboh...."

Tiba-tiba anak itu menangis, karena kalimatnya yang terakhir ini mengingatkan ia kembali bahwa kakeknya sudah mati!

Tosu itu sejenak memandang kagum, lalu tertawa. "Ha ha ha, engkau mewarisi kegagahan kakekmu, sayang kau cengeng! Yu kiam Sian mana mau bertanding denganku? Siauw-bin-mo (Setan Tertawa) Hap Tojin adalah sahabat baiknya, ha ha ha!"

Mendengar disebutnya nama Hap Tojin yang berjuluk Siauw bin mo, Yu Kai dan adik-adiknya terkejut sekali. Nama ini adalah nama seorang tokoh di dunia kang ouw. Ayah mereka pernah bercerita bahwa Siauw bin-mo Hap Tojin adalah teman seperjuangannya. Seorang pendekar yang lihai. Dan karena sepak terjangnya membasmi orang-orang jahat selalu dilakukan dengan tertawa-tawa kaum penjahat memberinya julukan Siauw bin mo atau Setan Tertawa.

Pada saat itu terdengar suara ketukan keras. Ketukan berirama yang datang dari luar pekarangan. Keras sekali ketukan itu seperti ketukan sebuah martil besar pada besi landasan. Semua orang menengok keluar dan tampaklah seorang hwesio (pendeta Buddha) bertubuh pendek gemuk, perutnya bulat seperti gentong, kepalanya yang bundar itu gundul kelimis.

Tubuh atasnya telanjang hingga tampak sebagian perutnya yang besar dan buah dadanya yang bergantung. Tubuh bawahnya terbungkus kain yang berwarna kuning. Hwesio ini memegang sebatang tongkat dan suara ketukan nyaring itu adalah suara tongkat yang memukul tanah berbatu. Begitu masuk pekarangan hwesio itu menggerutu tetapi suaranya nyaring dan parau.

"Mengapa ada suara gelak tawa, mengapa orang dapat bergembira sedangkan dunia ini selalu terbakar? Kenapa kau tidak cari pelita, wahai engkau yang berselubung kegelapan?” Apa yang ia ucapkan dengan nada nyanyian itu adalah sebuah ayat dari kitab suci "Dhamma Pada" kitab Agana Buddha.

"Ha ha ha, Tho tee-kong (Malaikat Bumi)! Kalau semua manusia ini pemurung seperti engkau, matahari dan bulan menjadi gelap sinarnya! Ha ha ha!" si tosu mengejek.

Kembali Yu Kai dan adik adiknya terkejut memandang hwesio gundul itu. Nama julukan Tho tee-kong sudah lama mereka dengar dan baru kali ini melihat orangnya. Menurut penuturan mendiang ayahnya. Tho tee-kong ini bernama Liong Losu, hwesio perantau yang berilmu tinggi.

Karena bentuk tubuh dan kelihaiannya maka dunia persilatan memberi julukan Malaikat Bumi. Seperti juga Siauw bin-mo, Hap Tojin hwesio ini adalah bekas teman seperjuangannya ayah mereka.

Hwesio itu memandang kepada sitosu lalu menggeleng gelengkan kepala dan keningnya berkerut. Kemudian ia berkata. "Omitohud! Hap to-yu (sababat Hap) sejak dahulu masih juga belum mendapatkan jalan terang!" Setelah berkata hwesio ini lalu menghampiri meja sembahyang dan menjura dengan hormat ke arah peti mati.

Perbuatan ini segera, dibalas oleh Yu Kai dan adik adiknya. Dengan suara nyaring tapi parau hwesio ini berkata, "Yu sicu (orang gagah Yu), sungguh menyedihkan sekali orang gagah dan baik seperti sicu meninggalkan dunia yang masih sangat membutuhkannya. Terlalu banyak orang jahat di dunia ini sampai penuh berdesak-desakan. Alangkah sukarnya mencari orang baik seperti sicu. Dunia amat kehilangan dengan meninggalnya sicu.... omitohud!”

Mendengar ucapan hwesio ini Yu Lee kembali menangis mengguguk sambil memeluk peti mati kongkongnya. “Kongkong! Kenapa kongkong mati sebelum aku kuat menggantikan kongkong menjadi orang yang berguna?” demikian anak ini berkata sambil menangis.

Liong Losu mengangkat muka memandang. Matanya bersinar kagum memandang kepada Yu Lee. Ia mengangguk. "Siauw kongcu (tuan kecil) ini betulkah cucu Yu sicu?”

Yu Kai maju memberi hormat, "Betul dugaan losuhu, Lee-ji (anak Lee) ini adalah cucu yang bungsu. Dan putera tecu (saya murid) yang bungsu."

Liong Losu mengangguk angguk. "Siauw kongcu anak baik, kecil-kecil sudah mengenal kebaktian dan kegagahan.”

"Gagah berbakti apa?” Tiba-tiba Siauw bin-mo Hap Tojin tertawa mengejek. “Dia bocah cengeng, dengan yang tua bangka Tho tee-kong Liong Losu bocah ini benar-besar cocok. Keduanya tukang mengeluh dan menangis, menjemukan benar? Di dunia ini mana ada orang jahat?

"Semua orang baik, hanya karena bodoh maka menyeleweng dari kebenaran. Kalau sudah sadar tentu kembali ke jalan yang benar. Yang jahat bukan orangnya tetapi penggodanya. Lempar semua penggodanya maka manusia takkan tergoda, takkan ada kejahatan. Buang semua emas, takkan ada lagi maling emas.

"Setelah hidup, mengapa banyak mengeluh? Kalau dengan menangis atau tertawa keadaan tidak bisa berubah, mengapa tidak memilih tertawa. Dengan tertawa menyambut yang baik tentu akan terasa lebih nikmat. Dan dengan tertawa menyambut yang jelek, tentu akan berkurang penderitaannya. Bagi seorang laki laki air mata lebih mahal daripada darah. Kau mau apa lagi Tho tee kong tua bangka gundul? Ha ha ha!"

"Omitohud! To yu (sahabat) tersesat jauh sekali. Sayang, sungguh sayang. Siapa bilang hidup adalah kesenangan? Hidup adalah sengsara, karena siapa terlahir, tentu akan mengalami segala macam penderitaan, kepahitan hidup, kekecewaan, kedukaan, sakit dan mati. Yang dapat mengatasi kematian dan kelahiran barulah bahagia. To yu tertawa, hal itu hanyalah palsu belaka sebagai kedok untuk menyembunyikan penderitaan yang sebenarnya. Mengapa berpura-pura tertawa kalau bathin menangis?”

Perdebatan antara dua orang aneh ini makin menjadi. Karena yang mereka bicarakan adalah urusan kematian dan amat mendalam maka Yu Kai dan adik adiknya tak berani mencampuri percakapan mereka. Karena itu mereka menabiarkan saja dua orang tua itu berbantahan. Dan mereka sibuk menyambut tamu tamu lain yang berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Yu Tiang Sin.

Ketika melihat datangnya seorang pengemis tua di antara para tamu, Yu Kai segera menyambutnya sebab mengira pengemis ini seorang tokoh besar persilatan yang mengenal ayahnya. Akan tetapi kakek pengemis ini tidak menghampiri meja sembahyang melainkan segera duduk di atas tanah dan menundukkan muka sambil menggaruk-garuk punggungnya.

Kepala pengemis itu tertutup sebuah topi lebar yang butut sehingga mukanya tersembunyi di baik topi lobar itu. Rambutnya sudah putih semua, tubuhnya kurus kering dan pakaiannya penuh tambalan sobekan di sana sini memperlihatkan kulit yang keriput dan tulang yang menonjol. Sepatu rumput yang menutupi kedua kakinya juga sudah butut.

Sewaktu berjalan masuk tadi ia dibantu oleh tongkatnya yang terbuat dari bambu dan kini tongkatnya melintang di pangkuannya. Keadaannya jelas membayangkan bahwa ia seorang pengemis yang hidupnya sangat sengsara dan agaknya sering menderita kelaparan.

Tak ada hal yang aneh dan mencurigakan pada diri kakek ini hingga para tamu tidak ada yang memperhatikannya. Melihat sikap pengemis itu Yu Kai pun akhirnya menganggap dia bukan tamu melainkan seorang pengemis biasa, maka dia tak memperhatikannya lagi.

Tidak demikian dengan Siauw bin mo Hap Tojin dan Liong Losu. Karena pengemis itu berjongkok di dekat meja mereka, keduanya memandangnya dan menghentikan perbantahan mereka lalu Hap Tojin menegurnya.

"Eh, lokai (pengemis tua), orang mengemis sepatutnya mendatangi orang yang sedang merayakan perkawinan dan bukan orang yang berkabung! Di tempat kematian ini mana ada makanan lebih?” Tosu itu tertawa-tawa sehingga banyak tamu yang mungerutkan kening. Tertawa-tawa di waktu melayat benar benar merupakan perbuatan yang tak sopan.

Sebaliknya Liong Losu melihat pengemis ini seraya berkata, “Nah kau lihatlah baik-baik, to-yu. Seperti pengemis ini, bukankah ia menderita dalam hidup? Sudah tua bangka dan berpenyakitan, masih menderita kelaparan dan hidup terhina sebagai pengemis. Tidak kasihankah kau melihat penderitaan manusia ini?”

"Menderita apa? Dia senang! Lebih senang dari orang lain. Dia tua, apa kau kira orang muda lebih senang dari pada orang tua. Dia miskin, apa kau kira orang kaya lebih senang dari pada orang miskin? Dia kurus, apa kau kira orang gemuk seperti kau ini lebih senang dari pada orang kurus?”

Kembali dua orang ini berbantahan, tanpa menghiraukan lagi kepada si pengemis tua itu. Tiba-tiba pengemis itu menarik napas panjang dan berkata. "Apakah itu baik? Apakah itu jahat? Manusia tidak baik, juga tidak jahat. Kebaikan yang dipuji orang bukan kebaikan lagi. Kejahatan yang dicela orang belum tentu kejahatan. Siapa menciptakan baik dan jahat? Orang! Siapa menciptakan susah dan senang? Orang. Semua itu sebetulnya tidak ada. Adanya karena dipaksakan orang, oleh orang yang memang suka mengada-ada! Semua kosong kelihatannya berisi akan tetapi kosong. Yang kosong sebetulnya penuh isi. Aneh tapi tidak aneh. Benar tapi salah juga! Heh..."

Pengemis itu menghela napas lagi. Lalu bangkit dan jalan perlahan dibantu tongkatnya. Setelah berdiri baru tampak mukanya. Muka tua yang keriputan, muka yang terlalu tua untuk hidup. Usianya sudah seratus tahun lebih.

Tosu dan hwesio itu saling pandang. Sebagai dua orang ahli kebatinan, mereka mendengar ucapan pengemis tadi seperti halilintar menggelegar di angkasa. Mereka sekaligus tunduk, takluk merasa terkalahkan. Keduanya segera berdiri hendak menyusul, akan tetapi ketika memandang keluar kakek itu sudah lenyap, seakan akan ditelan bumi. Keduanya menghela napas. Siauw bin-mo yang sadar lebih dahulu berkata sambil tertawa.

"Dalam segebrakan kita runtuh, ha ha ha! Dapatkah kau menduga, siapa dia?”

Hwesio gendut itu menggelengkan kepala. "Pinceng (aku) tidak tahu. Akan tetapi sinar matanya.... hebat!"

Makin siang makin banyak tamu yang datang berlayat kepada jenazah kakek Yu. Akan tetapi setelah lewat tengah hari tamu-tamu mulai meninggalkan tempat itu dan setelah senja rumah itu menjadi sepi. Anehnya tosu dan hwesio itu masih saja bercakap cakap. Diam-diam para pelayan merasa mendongkol. Sudah dua kali mereka menyuguhkan hidangan pada dua pendeta ini.

Yang paling menjemukan adalah si hwesio yang tidak pantang makan daging dan arak. Tetapi Yu Kai dan adik-adiknya maklum bahwa kedua pendeta ini adalah orang yang berilmu, mereka tetap bersikap hormat sambil menduga-duga mengapa kedua orang ini tetap berada di situ? Mereka mulai gelisah dan menduga pasti akan terjadi sesuatu, maka mereka bersiap siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Orang-orang mulai menyalakan lampu, malam itu malam terakhir menjaga peti mati, karena besok pagi peti mati itu akan diberangkatkan ke kubur. Setelah melakukan upacara sembahyang Yu Kai dan adikadiknya menjaga peti mati. Karena khawatir kalau anak anak mereka sakit, Yu Kai memaksa anak anak masuk dan mengaso di dalam rumah.

Yu Lee yang takut kepada ayahnya terpaksa juga meninggalkan peti mati sambil menengok peti mati itu beberapa kali. Kini yang menjaga peti mati hanya Yu Kai dan adik adiknya serta tosu dan hwesio yang duduk menghadapi meja hidangan dan arak.

Tak lama kemudian berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu di depan peti mati telah berdiri dua orang. Yang seorang berumur lima puluhan, bermuka kuning bertubuh tinggi besar. Di punggungnya tampak sebatang golok besar, Orang kedua seorang wanita, usianya empat puluh tahun, dimukanya yang putih dan cantik itu tampak goresan pedang, dari pipi kanan sampai ke dagu sehingga muka yang cantik itu tampak menyeramkan. Wanita cantik ini membawa sebatang pedang di pinggang kirinya.

Begitu tiba di depan peti, kedua orang ini memandang peti mati dengan mata beringas. Yang lelaki berkata, suaranya menyeramkan. “Yu Tiang Sin, kami berjanji sepuluh tahun akan mengadakan perhitungan. Malam ini tepat sepuluh tahun. Siapa kira kau tidak menepati janji dan telah mati. Hendak kulihat apakah kau benar-benar mampus ataukah hanya berpura-pura mati karena takut akan pembalasan kami?”

Setelah berkata demikian laki laki muka kuning ini melangkah maju. Tangan kanannya bergerak hendak memegang peti mati.

Yu Kai dan adik-adiknya yang menjaga peti mati dan tadinya sudah bersiap siap hendak membalas penghormatan orang mendadak menjadi terkejut mendengar ucapan itu. Yu Kai segera melompat berdiri diikuti kedua orang adiknya dan berkata, "Tahan dulu! Siapapun tidak boleh mengganggu peti ayahku!”

Laki-laki muka kuning ini menahan tangannya lalu memandang kepada Yu Kai dan adik adiknya. Dua orang adik Yo Kai bernama Yu Liang berusia empat puluh tahun dan Yu Goan tiga puluh tahun. Seperti Yu Kai mereka juga telah menerima gemblengan ilmu silat tinggi dari ayahnya. Akan tetapi, karena kurang berbakat, maka ilmu silatnya tidak sebaik Yu Kai yang berwatak pendiam.

"Hemm, kalian ini tentunya putera si tua Yu bukan? Bagus, ayah harimau anaknya harimau pula. Tetapi kami bukan orang yang suka menggangau harimau, kecuali harimau yang pernah mencakar kami. Aku mau melihat muka Yu Tiang Sin tidak perduli kau membolehkan atau tidak!" Setelah berkata si muka kuning melanjutkan gerakan tangannya ke arah peti mati.

"Manusia jahat jangan kurang ajar!" tiba-tiba Yu Goan tidak dapat menahan sabarnya lagi. Ia menerjang ke arah lambung kiri si muka kuning itu. Hebat sekali pukulan ini dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam yang dahsyat, mengarah bagian lemah tubuh lawan.

“Bagus Yu Liang Sin, bukan aku yang menghina orang muda, tapi anakmu yang menyerangku!" si muka kuning berkata sambil menangkis dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya tergerak terus ke arah peti mati.

Terdengar suara keras, dan berbareng dengan terbongkarnya tutup peti mati, tubuh Yu Goan terlempar sampai tiga meter dan roboh di atas lantai. Yu Kai terkejut. Kemarahannya meluap. Orang telah menghina ayahnya. Jenazah yang sudah tiga hari tiga malam itu tercium bau tidak sedap.

Dia maklum betapa lihai lawan ketika menangkis serangan Yu Goan, dengan gerakan sedikit membetot, Yu Goan sudah terlempar jauh, dan berbareng dengan itu tangan kanan si muka kuning itu sekali memukul dengan jari terbuka sudah dapat membongkar tutup peti mati yang rapat dan amat kokoh kuat itu. Dapat dibayangkan berapa hebat tenaga dalam si muka kuning ini.

Namun Yu Kai tidak sembrono seperti adiknya. Ia cepat melangkah maju dan bertanya, "Siapakah tuan berdua yang tidak berpribudi ini? Dan apa dosa mendiang ayah kami sehingga setelah meninggal dunia masih mengalami penghinaan tuan?”

Si muka kuning mendengus. Sikap Yu Kai membuat ia tidak berani memandang rendah. Setetah memandang dengan penuh selidik, lalu berkata. "Aku adalah Kim-to (Golok Emas) Cia Koan Hok, dan dia isteriku Bi-kiam (Pedang Cantik) Souw Kwat Si. Sepuluh tahun yang lalu ayahmu telah mencampari urusan kami yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia, sehingga melukai kami berdua. Sayang. kiranya ayahmu telah benar-benar mampus dan rnenyiarkan bau busuk!”

“Keparat! Tutup mulutmu,” bentak Yu Liang yang marah sekali. Tetapi tiba-tiba terdengar desir angin menyambar, Yu Liang cepat mengelak. Dan sebatang piauw (pisau rahasia) menyambar di atas kepalanya.

"Perempuan keparat!” Ia memaki sambil menerjang penyerangnya tadi.

Bi kiam Souw Kwat Si tersenyum mengejek dan menangkis. Begitu kedua tangan bertemu secara aneh jari tangan nyonya itu sudah menotok jalan darah di pergelangan tangan. Yu Liang terkejut, ia berusaha mengelak dan menarik kembali lengannya. Untung ia bisa bergerak cepat sehingga lengannya tidak tertotok secara tepat, hanya kesemutan saja. Terlambat sedikit saja tentu tangannya akan lumpuh.

"Hi hi hi, kau terkejut?” tanya si nyonya sambil tersenyum lebar. Kalau saja tidak ada guratan bekas luka dari pipi ke dagu tentu senyum itu akan kelihatan manis. Pandangannya tajam penuh arti, mata seorang perempuan genit!

Memang di antaaa saudara saudaranya, Yu Liang adalah yang paling tampan. Mukanya bundar, alisnya tebal, hidungnya mancung. Jauh lebih tampan dibanding dengan si muka kuning.

“Sayang ayah dulu tidak menggurat lehermu sampai putus!" bentak Yu Liang marah. Ia mulai dapat menduga mengapa wanita ini bermusuhan dengan ayahnya. Jelas wanita ini bukan orang baik baik. Sambil membentak ia menerjang dengan pukulan bertubi tubi, namun sambil tertawa perempuan ini mengelak dengan gerakan lincah sekali.

Melihat adiknya sudah bertanding melawan musuh, Yu Kai juga tidak tinggal diam dan berseru. "Ayah sudah meninggal tetapi masih ada puteranya yang tidak akan mundur melawan penjahat!"

“Bagus!' Kim-to Cia Koan Hok miringkan tubuh menghindarkan pukulan Yu Kai yang meluncur ke arah dadanya dan pada detik berikutnya ia balas menusuk ke arah iga lawan.

Yu Kai terkejut, sodokan jari itu bukan main main, karena itu adalah jurus Dewa Menunjuk Jalan, yaitu menggunakan dua buah jari menutuk jalan darah yan goat biat di bawah ketiaknya. Cepat cepat dia menurunkan pangkal lengannya, rnenggunakan siku memapaki tangan lawan sambil memukulkan tangan kiri ke pelipis kanan lawan.

"Eh, kau boleh juga!" Si muka kuning berseru merendahkan tubuh lalu mengirim tendangan secara tiba-tiba.

Diserang seperti ini, Yu Kai meloncat mundur, namun lawannya mendesak terus dengan gerakan Lian hoan twi yaitu ilmu tendangan bertubi tubi dengan kedua kaki bergantian. Ia segera mundur dengan langkah Tui po lian hoan (Mengundurkan Kaki Berantai ) sambil menungkis dan berusaha menangkap kaki lawan. Dengan demikian keadaan menjadi berbalik.

Biarpun kelihatannya menyerang namun bahaya berada di pihak si penyerang. Karena sekali saja kakinya tertangkap, celakalah ia. Si Golok Emas ternyata lihai sekali karena ia segera merobah gerakan kakinya dengan serangan pukulan sehingga Yu Kai repot untuk menangkisnya. Setiap kali lengannya menangkis, ia merasa tubuhnya tergetar dan lengannya nyeri, pertanda bahwa ia masih kalah tenaga.

Sementara Yu Liang yang melawan nyonya itu segera terdesak setelah wanita itu melakukan penyerangan cepat. Gerakannya benar benar cepat seperti burung walet menyambar-nyambar. Baru belasan jurus saja Yu Liang sudah kena terpukul membuat ia terhuyung huyung.

Namun Yu Liang tidak gentar. Ia lalu menyerang lagi penuh kemarahan. Yu Goan yang tadi terbanting roboh, kini bangun dan menerjang membantu adiknya. Namun biar dikeroyok dua, Souw Kwat Si masih tertawa-tawa mengejek dan tubuhnya berkelebatan menyerang kepada kakak beradik itu.

Keributan di ruang depan ini agaknya menimbulkan panik di dalam rumah. Semua pelayan dan anak isteri tiga saudara Yu bersembunyi di dalam kamar. Biarpun mereka ini keluarga pendekar, namun mereka ini hidup tenteram dan baru kali ini mereka melawan musuh yang datang menyerang.

Tetapi Yu Lee menyelinap keluar dan berlari ke ruangan depan. Melihat peti mati terbuka ia lari mendekati dan menjenguk ke dalam peti mati. "Kong kong, ah, kong-kong... ada orang... yang mengganggu tempat tidurmu, kenapa kau tidak pukul mereka? Kong kong, kau... sudah... kau sudah mati...." anak itu menangis keras.

Kemudian ia menengok ke arah mereka yang berkelahi. Ia baru mempelajari dasar dasar ilmu silat maka tidak tahu bagaimana keadaan ayah dan kedua pamannya. Hatinya ingin membantu namun ia dimarahi ayahnya. Kemudian ia berlari masuk dan tak lama kemudian kembali sambil membawa tiga batang pedang.

“Ayah, paman! Mari gunakan pedang memukul penjahat!" teriaknya.

Memang Yu Kai dan kedua adiknya sudah terdesak, maka teriakan ini mengingatkan mereka. Juga teriakan anak itu menarik perhatian kedua orang lawan sehingga ketiganya mendapat kesempatan mundur.

"Lee masuklah!” seru Yu Kai setelah menerima pedangnya. Kemudian bersama adik adiknya ia sudah meloncat maju lagi menghadapi lawan.

Kim to Cia Koan Hok tertawa lalu menghunus goloknya yang mengeluarkan sinar menyilaukan. Itulah Kim to golok emas yang membuat namanya terkenal. Sepuluh tahun yang lalu Kim to Cia Koan Hok terkenal sebagai seorang perampok yang ganas, disamping isterinya Bi kiam Souw Kwat Si yang memiliki ilmu kepandaian setingkat dengan suaminya. Akan tetapi semenjak suami isteri ini roboh di tangan Yu kiam-sian, mereka menghilang dari dunia kang ouw tidak mendengar lagi nama mereka.

Melihat suaminya menghunus golok emasnya, Bi kiam Souw Kwat Si tertawa. Suara ketawanya merdu. “Eh eh, untuk menghajar anak-anak ini perlukah menggunakan senjata?”

Akan tetapi tiba-tiba wanita ini meloncat ke samping, menghindarkan diri dari serangan pedang yang gerakannya cepat dan kuat. Ia terkejut melihat serangan Yu Kai ini dan ia tahu bahwa menghadapi pedang lawan ini, ia tidak boleh main main, cepat tangan kanannya tergerak dan "sring!" sebatang pedang sudah berada di tangannya.

Mendiang Yu Tiang Sin terkenal karena ilmu pedangnya sehingga ia mendapat julukan Dewa Pedang. Sayang bahwa ketiga puteranya kurang berbakat hingga belum dapat mewarisi seluruh kepandaiannya. Apa lagi ilmu pedangnya yang luar biasa amat sukar dipelajari, putera-puteranya belum dapat menguasai sepersepuluh bagian ilmu ini. Ilmu pedang yang mengangkat nama Yu Tiang Sin ini disebut Ngo-heng-lian hoan-kiam.

Ilmu pedang ini berdasarkan Ngo-heng yaitu lima unsur yang saling menghidupkan dan saling mematikan (api air kayu logam tanah) maka di dalamnya mengandung perobaban perobanan yang tidak terduga, dan penggunaan tenagapun berselang saling tenaga Yang kang (tenaga kasar) dan Im kang (tenaga lemas).

Sipat inilah yang membuat Ngo-heng-lian-hoan-kiam sukar dipelajari, dan hanya dapat dipelajari oleh orang yang sudah tinggi tenaga lweekangnya, semua terdiri dari seratus tujuh puluh duajurus, dibagi dalam tiga tingkat. Tiga orang putera Dewa Padang itu hanya menguasai dua puluh jurus saja, tingkat pertamapun belum habis.

Namun setelah mereka memegang pedang ternyata keampuhan ilmu pedang Ngo heng tian hoan kiam mengagumkan. Tiga batang pedang itu mengeluarkan angin yang keras dan begitu menerjang maju, suami isteri itu terhuyung ke belakang!

Sayang sekali ketiga saudara yang mempunyai ilmu pedang hebat itu belum mempunyai tingkat selanjutnya, hingga mereka hanya mampu mendesak tanpa mampu memperoleh kemenangan. Karena pada dasarnya mereka memang kalah tenaga dan kalah pangalaman. Setelah suami itu bertahan puluhan jurus, mereka bertiga mulai terdesak!

"Ha ha ha! Begitu sajakah ilmu pedang anak anaknya si Dewa Pedang? Kalau sungguh tak tahu malu si tua bangka she Yu berani menggunakan julukan Dewa Pedang!" seru Kim to Cia Koan Hok yang telah menyelami tingkat kepandaian lawan. Iapun lalu menggelakkan kimto sambil mengerahkan tenaga, membabat pedang Yu Liang.

"Trang!" Pedang Yu Liang terlempar dan berbareng dengan itu pedang Yu Goan pun terlempar oleh pedang Bi kiam Souw Kwat Si, Tidak hanya di situ gerakan suami isteri ini. Golok dan pedang berkelebat dan Yu Liang bersama adiknya roboh dengan pundak dan paha terluka. Untung mereka masih bisa berkelit, kalau tidak tentu binasa. Lukanya tidak berat namun cukup membuat mereka tidak bisa melawan lagi.

Yu Kai menggigit bibir dan memutar pedang cepat sekali. Sedikitpun ia tidak mundur meskipun suami isteri itu bukan tandingannya. Ketika pedangnya meluncur dengan lingkaran besar, dari kanan kini golok emas dan pedang lawannya mengurung kemudian menjepit. Ia masih berusaha mengerahkan tenaga ke tangannya lalu menggetarkan pedang supaya terlepas.

Namun sia sia bahkan terdengar suara "krek!" dan tahu tahu pedangnya patah menjadi dua, ia hendak meloncat mundur namun terlambat, karena pedang wanita itu telah menyambarnya, sehingga pakaian dan kulit di pangkal lengan kirinya terbabat sedikit. Darah keluar dan tubuh Yu Kai terhuyung huyung ke belakang.

“Ayah!" Sesosok bayangan kecil berkelebat dan tahu tahu Yu Lee sudah berdiri di depan orangtuaya melindungi ayahnya dan menantang suami isteti itu dengan air mata bercucuran, tetapi muka dan dadanya diangkat, sedtkitpun tidak takut. "Jangan bunuh ayahku! Hayo, kalau kau betul betul gagah, boleh bunuh aku!" teriaknya dengan nyaring.

"Huh!" Kim to Cia Koan Hok mendengus. "Aku tak butuh kepala kecilmu, yang aku butuhkan kepala Yu Tiang Sin." Ia tidak memperdulikan Yu Lee dan melangkah ke arah peti mati dengan golok di tangan. Ia agaknya hendak momenggal kepala jenazah Yu Tiang Sin dan hendak membawanya pergi.

"Tidak boleh ganggu kongkong!" Yu Lee berteriak sarnbil maju, lalu memukul perut Kim-to Cia Koan Hok.

"Lee jie mundur!" teriak Yu Kai kaget.

Namun terlambat, karena tahu-tahu kaki bekas perampok ini menendang. Tubuh Yu Lee terlempar ke atas dan masih bagus baginya, karena Kim to Cia Koan Hok yang merasa kagum melihat keberanian bocah ini tidak mau menendang untuk membunuhnya, melainkan hanya melontarkan tubuh anak itu dengan kaki.

"Omitohud!" Tiba-tiba terdengar suara menyebut nama Buddha dan sebatang tongkat bergerak menerima tubuh Yu Lee, menahannya hingga tidak sampai terbanting keras di tanah. Ternyata Tho tee-kong-tiong Losu yang menolongnya itu. Adapun si Golok Emas dengan beringas terus membacokkan goloknya ke arah leher jenazah Yu Tiang Sin.

"Trang!” Si Golok Emas terkejut sekali karena goloknya tertahan dan hampir saja terlepas dari pegangannya. Ketika melihat bahwa yang menangkis goloknya adalah seorang tosu yang memegang pedang buruk, ia cepat mundur sambil menjura dengan hormat dan berkata,

"Mohon tanya, siapakah totiang dan mengapa mencegah aku membalas sakit hati yang sudah terpendam sepuluh tahun lamanya?”

Penangkis golok itu ternyata Siauw bin-mo Hap Tojin. Mendengar pertanyaan itu ia tertawa bergelak. "Ha ha ha, bocah sombong sungguh tidak tahu diri. Dengan kepandaianmu yang cetek ini bagaimana kau berani menghina jenazah Yu Tiang Sin? Sedangkan pedang bututku inipun belum dapat menandingi Dewa Pedang. Apa lagi golokmu pemotong babi itu! Aku Siauw bin-mo paling tidak suka melihat bocah sombong!"

Kim to Cia Koan Hok tentu saja pernah mendengar nama ini, diam diam ia terkejut. Tapi ia tidak takut. Karena tahu bahwa tosu ini membela musuh besarnya. Ia lalu memutar goloknya, menyerang dengan dahsyat.

"Ha ha ha... manusia tidak tahu diri!” Hap Tojin tertawa, pedangnya berkelebat dan sekali lagi terdengar suara beradunya senjata, disusul seruan kaget Kim to Cia Koan Hok karena goloknya terlepas dari tangannya.

Dengan muka merah saking geram dan malu, ia mengambil goloknya. Dan tanpa perdulikan lawan yang mentertawakan ia kemudian menerjang lagi dengan hati-hati. Melihat lihainya tosu yang bertanding melawan suaminya. Souw Kwat Si segera meIoncat maju hendak membantu.

Akan tetapi tiba-tiba sebatang tongkat telah meluncur ke depan kakinya. Bi kiam Souw Kwat Si memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, namun karena tidak rnenyangka sama sekali, kakinya terjegal dan ia terhuyung huyung hampir jatuh. Baiknya ia cepat mematahkan dorongan ini dengan meloncat ke alas hingga dapat menguasai kembali keeimbangan tubuhnya.. Cepat ia memutar tubuh sambil rnenyabetkan pedang.

Kiranya di belakangnya berdiri seorang hwesio gendut yang tengah memandangnya. Hwesio ini menggeleng gelengkan kepala, menarik napas panjang dan berkata. “Orang sudah mati masih dicari hendak diganggu. Sungguh merupakan dosa besar. Sebelum terlambat mengapa tidak insaf dan pergi agar tidak menumpuk dosa?”

Bi-kiam Souw Kwat Si tahu bahwa hwesio gundul inipun yang tadi menghalanginya dengan tongkat panjang itu. Ia marah sekali, "Hwesio gundul! Tugasmu hanya menyembahyangkan si mati agar rohnya dapat pengampunan di akherat. Sekarang mengapa engkau ikut campur urusan kami?”

“Omitohud! Pinceng tidak mencampuri urusan kalian, hanya memberi nasehat kepada toanio (nyonya) agar jangan tersesat. Orang berdosa yang insyaf akan dosanya kemudian bertobat, itulah jalan yang baik. Akan tetapi apabila orang berdosa itu seakan akan tidak tahu dosanya dan melanjutkan kesalahannya yang dikiranya benar, aduh sangat kasihan sekali orang semacam itu.”

"Ha ha ha Tho tee-kong, apa kau mau berkhotbah?” tiba-tiba Hap Tojin yang masih melawan si Golok Emas tertawa seenaknya.

Mendengar disebutnya julukan hwesio ini nyonya itu kaget dan tahu bahwa hwesio itu bukan orang sembarangan dan rnenjadi musuh para penjahat. Maka tanpa banyak cakap lagi pedangnya berkelebat menusuk ke arah tenggorokan hwesio itu.

Tho tee-kong tidak mengelak, dan begitu pedang sudah dekat dengan lehernya, tongkatnya menotok ke depan dengan gerakan cepat sekali. Bi kiam Souw Kwat Si terkejut. Kalau ia meneruskan serangannya, tongkat lawan tentu akan lebih dulu menghantam pangkal lengannya yang memegang pedang. Terpaksa ia mengelak sambil menarik lengannya dan dari samping ia membabatkan pedangnya ke arah pinggang lawan.

Gerakan ini selain indah juga dahsyat dan berbahaya. Inilah yang disebut jurus Sin-liong tianw-wi (Naga Sakti Menyabetkan Ekor) cepat dan kuat gerakannya.

"Omitohud.... pedangmu ganas sekali!" Seru si hwesio kagum. Dari gerakan ini terbukti bahwa nyonya ini benar benar memiliki kepandaian yang tinggi.

Tidak heran kalau putera putera kakek Yu bukan lawan suami isteri ini. Karena sambaran pedang itu berbahaya. Tho tee.kong lalu menekan tongkat ke lantai dan tubuhnya loncat ke atas, di belakang tongkat.

“Trang!” pedangnya itu menghantam tongkat dan membalik. Nyonya itu kaget, telapak tangannya serasa diiris pisau. Celakanya pada saat itu, tongkat lawan menyambar ke arah kepalanya. Tongkat itu mempunyai hiasan kepala naga yang kini akan menyambar batok kepala. Nyonya muda itu mengeluarkan keringat dingin, terpaksa ia membuang diri ke atas lantai terus bergulingan.

Celaka baginya, tongkat itu terus membayangi kepalanya, hanya terpisah satu kaki jauhnya. Bi kiam Souw Kwat Si menggigit bibir mengerahkan tenaga lain membabatkan pedang ke kepala tongkat. Terdengar suara keras dan tubuhnya mencelat ke belakang. Kiranya pedangnya telah patah dua, dan bersamaan pula pada saat itu terdengar suara Siauw bin mo Hap Tojin tertawa bergelak dan berkata.

“Pergilah!" Tahu tahu tubuh Kim to Cia Koan Hok melayang dan hampir saja menimpa tubuh isterinya yang baru saja dapat menguasai keseimbangan badannya.

Seperti isterinya, si golok emas tak berdaya menghadapi lawan. Goloknya dibikin terpental oleh Siauw bin mo dan lenyap entah ke mana. Kini suami isteri itu berdiri dengan pucat. Rasa marah, malu dan duka bercampur aduk menjadi satu.

Sepuluh tahun lebih mereka melatih diri dengan tekun sehingga memperoleh kemajuan pesat. Rasa dendam disimpan di dalam hati selama sepuluh tahun. Kini mereka hanya bertemu dengan peti mati musuh besarnya, kekecewaan ini saja sudah hebat. Sekarang ditambah lagi kenyataan bahwa jerih payah mereka ini sia-sia belaka. Menghadapi dua orang sahabat musuh besarnya, mereka tidak mampu berkutik! Hati siapa takkan menjadi malu, penasaran dan berduka?

"Sudahlah!" Kim-to Cia Koan Hok membanting kakinya, lalu mengajak pergi isterinya. Mereka meloncat dan lenyap dalam kegelapan malam, Setelah mengobati luka lukanya.

Yu Kai dan adik adiknya lalu membetulkan penutup peti mati memasang paku baru. Isteri dan anak anak mereka baru berani keluar setelah musuh terusir pergi. Kemudian dipimpin oleh Yu Kai mereka berlutut di depan tosu dan hwesio itu untuk menghaturkan terima kasih.

“Maafkan bahwa teecu menyambut jiwi locianpwe (dua orang gagah) kurang hormat kiranya jiwi adalah dua orang penolong besar yang tidak saja sudah melindungi kehormatan keluarga teecu sekalian juga menolong keselamatan teecu bertiga."

"Omitohud.... tidak ada urusan tolong menolong. Yu sicu yang sudah meninggal dunia adalah sahabat baik pinceng, sehingga keluarganya sama dengan keluarga pinceng sendiri. Disamping itu perbuatan jahat memang harus dicegah. Pinceng hanya memenuhi kewajiban belaka,” jawab Tho tee kong Liong Losu yang segera mengangkat bangun tubuh Yu Kai.

"Ha ha ha.... dua ekor anjing itu apa artinya? Dikhawatirkan datangnya srigala yang lebih berbahaya. Siapa tahu? Yu Loheng dahulu di waktu hidupnya terkenal seorang yang usil tangannya, suka sekali mencampuri urusan orang lain, sehingga musuh musuhnya tidak terhitung berapa orang banyaknya. Betapapun juga karena pinto (saya) yakin dan percaya dia berada di fihak yang benar, maka pinto tidak akan tinggal diam kalau ada orang yang berani mengganggu jenazahnya."

Yu Kai kembali menghaturkan terima kasih. Setelah peti mati ditutup rapat, kembali mereka menjaga peti mati. Yu Lee menambah dupa di perapian lalu terdengar suaranya berkata perlahan, “Kongkong, sayang orang-orang jahat dapat datang setelah kau pergi! Kalau kau masih hidup dan menghajar mereka, alangkah akan senangnya aku menonton."

Bicara sampai di situ Yu Lee teringat lagi kepada kakeknya yang setiap hari mengajaknya jalan di waktu fajar menyingsing, kakek yang amat sayang kepadanya dan yang menjadi teman bermain main baginya. Tidak tertahankan lagi iapun lalu menangis.

"Heh heh, cengeeeeng!" Hap Tojin mengejek. "Bocah cengeng, kau sepatutnya menjadi murid Tho tee-kong. Sama sama cengengnya, cocok benar!”

"Siauw kongcu ini berbakti dan mengenal kasih sayang. Mengapa kau mencela to-yu?” kata si hwesio yang sudah duduk kembali menghadapi meja, menyandarkan tongkatnya yang berat di pundaknya.

“Lee-jie diamlah! Kau menangis saja tiada hentinya!” Bentak Yu Kai kepada puteranya.

Yu Lee memandang ayahnya dengan sinar mata sedih. “Ayah, kalau kongkong hidup lagi aku tidak akan menangis...."

Pada saat itu, terdengar suara melengking di udara, suara yang bernada tinggi. Seakan akan ada sesuatu terbang di angkasa lalu perlahan lahan turun dan mengitari tempat itu. Suara melengking makin nyaring seperti rintihan, Yu Lee menangis makin mengguguk seakan akan terdorong oleh suara lengking yang menyeramkan itu.

Yu Kai dan kedua adiknya saling pandang, kemudian bulu tengkuk mereka meremang karena lengkingan nyaring itu mengguncang jantungnya. Ketika mereka melirik ke arah berdirinya dua orang pendeta, keduanya sudah berhenti bercakap cakap, bahkan kini sudah duduk diam dan mengatur pernapasannya seperti orang sedang mengerahkan lweekang.

"Celaka!” Bawa masuk anak anak!" teriak Yu Kai. Dan saat itu anak-anak mereka telah roboh terguling, setelah tadi menutup telinga yang terasa ditusuk mendengar bunyi yang melengking itu.

Yu Liang dan Yu Goan sudah tidak kuat lagi mengangkat anak anaknya yang roboh terguling karena dirinya sendiri sudah menggigil. Cepat cepat mereka meniru perbuatan Yu Kai, duduk bersila sambil mengatur napas dan mengerahkan tenaga lweekangnva untuk menahan serangan hebat yang timbul dari getaran suara itu.

Namun, hampir saja mereka tidak kuat menahan dan kini mata mereka sudah bercucuran air mata, terbawa oleh lengking yang mengerikan itu. Tubuh mereka sudah bergoyang-goyang dan hampir roboh.

“Omitohud!" Tho tee-kong Liong Losu memuji nama Buddha dan kakek inipun sudah bersila sambil memeramkan mata dan mulutnya berkemak-kemik membaca doa.

“Siancai!” Sauw bin-mo Hap Tojin juga sudah bersila dan mengatur pernapasan, kemudian ia mengetuk-ngetukkan guci araknya untuk menimbulkan suara nyaring melawan lengking tangis itu.

Tapi yang mengherankan adalah Yu Lee. Bocah ini masih saja menangis dan tangisnya amat hebat tersedu-sedu dan sesenggukan. Akan tetapi ia tidak segera roboh pingsan seperti saudara saudaranya yang lain..Apa sebabnya bisa demikian?

Seperti diketahui, Yu Lee tiada hentinya menangis setelah kakek yang disayangnya itu wafat. Dia merasakan hatinya sedih bukan main dan tangisnya itu memang sudah sewajarnya. Adapun lengkingan tangis yang terdengar itu mengandung pengaruh luar biasa dan menyedihkan sekali.

Bagi mereka yang mendengartan suara lengkingan ini, langsung terserang perasaannya hingga jantungnya terasa ditusuk tusuk. Akan tetapi kesedihan Yu Lee juga merupakan kesedihan luar biasa, tidak sama dengan kesedihan manusia yang hanya lumrah. Kesedihannya ini membuat anak itu lupa akan segala galanya.

Seluruh perasaannya tercurah di dalam kedukaan sehingga hal-hal yang lain tidaklah begitu dirasakannya. Inilah sebabnya mengapa lengkingan tangis itu tidak mempeagaruhi dirinya secara hebat, makin sedih hatinya serta keras tangisnya makin membuat dia terbebas dari pada pengaruh suara lengkingan yang sangat mengerikan itu.

Tiga orang saudara Yu sudah hampir tak kuat bertahan lagi. Wajah mereka sudah pucat dan berkeringat. Tiba-tiba suara lengkingan itu berhenti, suasana di tempat itu menjadi sunyi sekali. Hanya terdengar tangis Yu Lee yang mengguguk.

Sewaktu Yu Kai mau menegur puteranya tiba-tiba terdengar suara gedubrakan ketika dua tubuh manusia dilempar dari luar menimpa meja sembahyang. Ketika semua orang melihat, ternyata itu adalah si golok emas Kim-to Cia Koan Hok dan isterinya, tubuhnya kini telah menjadi mayat!

Kemudian terdengar sebuah suara dari kegelapan, “Yu Tiang Sin, aku datang akan menagih hutang! Seluruh keluarga Yu harus aku tumpas habis. Semua anjing dan kucingnya, semua pelayan dan tamu-tamunya tak satupun boleh lolos."

Itulah suara seorang wanita yang sangat merdu namun membuat bulu tengkuk berdiri. Yu Kai dan kedua adiknya sudah melompat bangun menyambar pedang dan mencelat, kedepan pintu untuk menyambut musuh yang mengerikan ini. Musuh yang datang kali ini benar benar luar biasa dan agaknya hendak membuktikan ancamannya, yaitu menumpas habis seluruh isi rumah keluarga Yu.

Sebagai bukti Kim to Cia Koan Hok dan Bi kiam Souw Kwat Si yang baru saja keluar telah terbunuh dan mayatnya dilemparkan kembali masuk ke rumah keluarga Yu! Dapat membunuh suami isteri bekas perampok itu dalam sekejap dan tanpa menimbulkan suara benar-benar membuktikan kehebatan tamu aneh itu. Namun untuk melindungi keluarganya, Yu Kai dan adik adiknya tidak merasa takut dan bersiap siap untuk melawan dengan taruhan nyawa.

"Sicu, hati-hatilah!” Tampak dua bayangan berkelebat, ternyata kedua orang hwesio itu telah berdiri di samping tiga orang she Yu itu untuk membantu mereka. Dua orang tokoh tua itu adalah orang-orang sakti akan tetapi kali ini wajah mereka diliputi ketegangan karena mereka maklum bahwa yang datang kali ini benar-benar merupakan lawan yang berat!

Tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan ngeri dari dalam rumah. Tiga saudara Yu menjadi pucat. Cepat mereka menengok dan saat itu dari pintu dalam muncul pelayan wanita yang tubuhnya berlumuran darah. Pelayan itu terhuyung-huyung ke depan, lalu serunya. “Toaya (tuan).... celaka, semua.... semua dibunuh...." sampai di situ ia terguling dan putus nyawanya.

"Celaka! Musuh menggunakan memancing harimau keluar dari sarang!" teriak Tho tee-kong Liong Losu.

Yang disebut siasat memancing harimau keluar dari sarang adalah siasat perang yang maksudnya memancing keluar penghuni atau pun penjaga kota, sehingga kotanya sendiri menjadi tidak terjaga dan mudah diserang dari lain jurusan.

Agaknya tamu aneh yang datangnya ditandai dengan lengking tangis ini sengaja memancing perhatian mereka dari depan, lalu diam-diam mengambil jalan memutar terus masuk ke belakang rumah dan begitu masuk terus melakukan pembunuhan pembunuhan terhadap wanita, anak anak dan semua pelayan yang berada di bagian belakang daIam rumah itu.

Tidak hanya keluarga dan pelayan, tetapi bahkan segala macam binatang peliharaan seperti ayam, burung, anjing dan kucing yang berada di belakang rumah ini, semuanya dibunuh tanpa ampun lagi.

Mendengar teriakan Tho tee kong Liong Losu, tiga orang saudara Yu seperti berlomba lari ke dalam. Akan tetapi, mereka berhenti dan terbeliak memandang orang yang keluar dari pintu dalam.

Dia seorang wanita. Usianya kurang lebih empat puluh tahun. Wajahnya masih cantik dan kulit mukanya putih sekali sampai seperti tidak ada darahnya. Pakaiannya serba hitam dari sutera tipis sehingga tersorot lampu tampak membayang pakaian dalamnya yang serba putih.

Tangan kirinya memegang sebatang suling hitam. Wanita ini berjalan keluar dari dalam rumah dengan langkahnya perlahan, namun langkah dan lenggang lenggoknya seperti seorang wanita, yang genit sekali. Melihat tiga orang saudara yang datang dengan membawa pedang di tangan, wanita itu segera tertawa, akan tetapi betapa aneh suara ketawanya seperti anak menangis!

"Huh Huh huh, tua bangka. Yu Tiang Sin! Biarpun sudah menjadi mayat tetapi tentu arwahmu dapat melihat betapa malam ini aku berhasil membasmi seluruh isi rumahmu termasuk juga para tamu tamumu, hik hik, hu hu hu!"

Tadinya ketika melihat munculnya wanita ini, Yu Kai dan adik adiknya masih ragu apakah benar wanita ini yang muncul dengan lengking tangis yang mengerikan dan kemudian membunuhi seluruh isi rumah dari belakang. Akan tetapi setelah mendengar kata-kata wanita ini, mereka membentak marah dan seperti orang-orang gila, saking marahnya mereka menerjang dan menyerang dengan senjatanya masing masing.

"Jangan sembrono!" seru Tho tee tong Liong Losu.

"Awas mundur kalian!” berteriak pula Hap Tojin.

Namun teriakan dua orang ini terlambat. Yang nampak hanyalah gulungan sinar hitam yang mengeluarkan bunyi melengking nyaring. Dan tubuh tiga orang saudara Yu itu terlempar ke belakang lalu terbanting dalam keadaan tak bernyawa.

"Omitohud.... kejarn sekali..!” berseru Liong Losu.

“Celaka!" teriak Hap Tojin.

"Hi hi hik! Memang kalian akan celaka. Salah kalian sendiri berada di dalam rumah celaka ini, yang sudah terkutuk akan kematian semua penghuninya!" dengan genit wanita itu berkata.

"Ah, wanita sesat! Betapapun besarnya dendam yang kau kandung, tidak semestinya kau melakukan pembunuhan pembunuhan yang keji seperti ini. Apakah kau tidak takut dosa?”' To tee kung Liong Losu dengan suara keren menegur, tongkatnya sudah melintang di dada.

"Tho tee kong, kalau iblis ini betul seperti yang aku duga, kau percuma saja bicara tentang dosa dengan dia. Eh, iblis betina yang keji dan ganas! Betulkah engkau ini berjuluk Hek-siauw Kui-bo (Iblis Betina Suling Hitam)?”

Wanita yang mengerikan ini memang benar Hek-siauw Kui-bo. Dua puluh tahun yang lalu sebagai seorang kangouw yang berilmu tinggi, cantik dan berwatak cabul, dia berhasil memikat hati seorang pangeran kerajaan Goan tiauw yang menjadi tergila gila kepadanya dan terjalin hubungan gelap di antara mereka berdua.

Dalam memikat hati pangeran ini, dia mempunyai cita cita, yaitu hendak membantu kekasihnya mencapai kekuasaan sebesar besarnya kelak kalau kekasihnya mencapai tingkat tertinggi, ia isendiri akan terangkat dalam kedudukan mulia dan tinggi! Dia mencita citakan agar supaya pangeran kekasihnya itu kelak menjadi kaisar dan dia sendiri menjadi seorang permaisuri.

Akan tetapi semua mimpi muluk ini menjadi buyar dan hancur ketika pada suatu malam sang pangeran penindas rakyat jelata ini tahu tahu telah tewas dengan leher putus di dalam kamarnya.

Seperti biasa terjadi di waktu itu pembunuhnya adalah Si Dewa Pedang Yu Tiang Sin yang pada waktu itu masih sangat aktip dan bersemangat dalam membasmi pembesar pembesar Mongol yang berbuat sewenang wenang terhadap rakyat.

Hek siauw Kui bo menjadi marah sekali. Berkali kali ia berusaha membalas dendam dan melawan si Dewa Pedang, namun selalu mengalami kegagalan. Pedang di tangan Yu kiam sian benar benar hebat dan tak terlawan oleh suling hitamnya. Belasan kali ia kalah dan ia tidak sampai tewas oleh karena selalu Si Dewa Pedang melepaskannya dan menganggapnya hanya seorang perempuan cabul yang merasa kecewa karena kekasihnya terbunuh.

Sama sekali Yu Tiang Sin tak pernah bermimpi bahwa bukan hanya itu saja yang menjadi sebab, melainkan lebih dalam lagi. Ia telah menghancurkan cita cita muluk si iblis betina! Hek siauw kui bo lebih memperdalam ilmunya dan di dunia persilatan namanya terkenal sebagai iblis betina yang kejam sekali dan amat ganas.

Namun sudah bertahun tahun iblis betina ini tidak menantang Yu kiam sian. Ia menjadi lebih hati-hati dan menggembleng diri untuk pembalasan pembalasan dendam. Dan akhirnya ia mendengar kematian musuh besarnya. Dapat dibayangkan betapa kecewa hatinya mendengar hal itu. Ia segera mengunjungi dusun Ki bun dan mengambil keputusan untuk membasmi semua keluarga musuh besarnya untuk melampiaskan dendam hatinya.

Ketika iblis wanita ini mendengar kata kata dua orang tamu musuh besarnya dan mendengar Siauw bin mo Hap Tojin menyebut namanya, dia memandang lebih tajam dan penuh perhatian. Tadi ketika ia datang, ia sudah menyaksikan betapa suami isteri yang agaknya juga hendak membalas dendam dikalahkan oleh dua orang pendeta ini.

Untuk mamenuhi keputusan hatinya, karena suami isteri itu jaga pada saat ia datang telah menjadi tamu pula, maka untuk menambah keangkerannya. Dia menyambut mereka di luar, dan hanya dengan sekali menggerakkan sulingnya saja ia telah berhasil membunuh suami isteri yang bernasib sial itu, kemudian melemparkan mayat mayat itu ke pekarangan depan.

“Hemm, tosu bau! Tahu dari manakah kau telah mengenal nyonya besarmu?” bentak wanita itu.

"Ha ha ha ha, nama buruk dan kotor itu siapakah yang tidak pernah mendengarnya? Hek siauw Kui bo! Boleh jadi dunia kangouw menggigil mendengar namamu, akan tetapi pinto, Siauw bin mo Hap Tojin selamanya paling benci kepada wanita kejam! Kau telah membunuh orang-orang yang tidak berdosa, hanya karena kau merasa penasaran dahulu berkali kali dihajar setengah mampus oleh Yu Tiang Sin. Hayo sekarang kau coba bunuh kami berdua Tho tee kong Liong Losu dan Siauw bin mo Hap Tojin, dua orang sahabat baik Yu Tiang Sin!"

"Hu hu hu hu! Kiranya kalian dua orang keledai yang sedikit terkenal namanya. Tidak usah kau minta, memang nyonya besarmu bermaksud akan membunuh kalian berdua!” Baru saja habis ucapan ini, sudah tampak gulungan sinar hitam menyambar ke depan, langsung menyerang ke arah ulu hati si hwesio dan tenggorokan si tosu.

Dua orang pendeta yang berilmu tinggi ini terkejut sekali. Biasanya, betapapun ringan senjata lawan. kalau dipergunakan untuk menyerang, tentu menimbulkan kesiuran angin. Akan tetapi serangan wanita ini sarna sekali tidak menimbulkan angin, juga tidak mengeluarkan suara dan hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah mencapai ilmu lweekang yang luar biasa tingginya.

Namun mereka bukan orang lemah, diserang sehebat dan secepat itu mereka masih dapat menggerakkan senjata masing masing untuk melindungi tubuh. Hebatnya, suling itu tidak jadi menyerang ke sasaran semula, melainkan menyeleweng dan kini secara langsung tanpa gerakan memutar telah menotok ke arah pusar si tosu dan ke lambung si hwesio! Kembali dua orang ini terkejut setengah mati, ia lalu melompat ke belakang untuk mengelak sambil memutar senjata.

Sementara itu Yu Lee yang tadinya menangis menggerung gerung dan makin mengguguk oleh pengaruh suara suling melengking seperti tangis, begitu suara lengking berhenti tadi, tangisnyapun berkurang dan mulailah ia memperhatikan keadaan sekeliling.

Ketika ayahnya dan kedua orang pamannya menyerbu iblis betina itu, ia sudah menyelinap dan lari ke dalam rumah karena ia melihat si pelayan yang mengatakan sebelum roboh bahwa semua telah dibunuh iblis. Yu Lee rnenghawatirkan nasib ibunya maka ia lari ke dalam.

Dapat dibayangkan betapa ngeri dan seperti disayat sayat pisau rasa hatinya ketika ia melihat keadaan di dalam dan di belakang rumah orang tuanya, ibunya. Para bibinya, saudara saudara misannya, para pelayan, ayam, burung, kucing, dan anjing semuanya mati. Semua mati dalam keadaan menyeramkan, mandi darah yang bercucuran dari mulut dan muka mereka semua berubah menjadi hitam.

Yu Lee menubruk ibunya, menjerit jerit menangis, lari sana lari sini, menubruk sana menubruk sini, menangisi semua yang mati, tidak sadar bahwa muka dan bajunya sudah mandi darah mereka. Mengerikan sekali keadaan di dalam rumah maut itu.

Ayah bundanya, dua orang sandaranya, dua orang pamannya, dua orang bibinya, tujuh orang saudara misannya, empat orang pelayan berikut semua kucing, anjing, ayam, burung, semua mati! Yu Lee setelah memeluk mayat ibunya lalu bangkit berdiri dan dengan langkah terhuynng huyung ia berjalan keluar sambil menangis.

“Iblis jahat, kau harus mengganti nyawa... uhuu... uhu...!” Yu Lee berjalan terus sampai di ruangan depan.

Pada saat itu pertandingan masih berjalan dengan seru dan tegang Tho tee kong Liong Losu memutar tongkatnya sampai terdengar angin menderu deru, sedangkan Sianw bin mo Hap Tojin pedangnya berkelebatan seperti halilintar menyambar.

Namun, mereka berdua yang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi ini ternyata tidak mampu menahan desakan dan tindasan segulung sinar hitam yang melayang layang bergulung gulung membuat Iingkaran lingkaran aneh sambil mengeluarkan bunyi melengking nyaring.

Suara inilah yang amat mengganggu kedua orang pendeta itu dan mengacaukan permainan senjata mereka. Maklum bahwa iblis itu bertanding dengan maksud membunuh, Liong Losu dan Hap Tojin mengerahkan seluruh tenaga mengeluarkan seluruh kepandaian mereka.

Setelah keduanya bergabung dan membentuk benteng pertahanan barulah sinar hitam dapat dibendung bahkan kini mereka mendapat kesempatan untuk menggunakan waktu membalas satu dua kali serangan.

Kiranya letak rahasia kelihaian ilmu silat iblis betina itu adalah jika ia diserang, karena ia menghadapi setiap serangan lawan dengan balasan serangan yang lebih cepat sehingga ia mendahului lawan yang sudah terlanjur manyerang sehingga pertahanannya lemah.

Setelah kini kedua lawannya mempertahankan iblis betina itu sukar untuk menembus benteng pertahanan lawan, malah ia menjadi agak repot karena kedua orang panderi itu kini menghadapinya dengan bekerja sama.

Jika Liong Losu, menyerang dengan tongkatnya Hap Tojin yang melakukan pertahanan dan sebaliknya. Jika iblis betina itu tertalu hebat serangannya mereka berdua melakukan pertahanan bersama.

“Pada saat yang tak terduga duga, terdengar jerit kemarahan dan tahu-tahu Yu Lee sudah meloncat dan menubruk iblis betina itu dari belakang merangkul leher dan tengkuknya.

"Aduh....! Eh, monyet kau minta mampus?” Hek siauw Kui bo berteriak dan semua bulu di tubuhnya berdiri saking geli dan jengah.

Akan tetapi ketika ia hendak menggunakan suling atau tangan kiri untuk menghantam anak yang menggemblok di punggung merangkul leher dan menggigit tengkuknya, dua orang pendeta itu sudah mendesaknya dengan hebat.

Liong Losu dan Hap Tojin yang melihat kenekatan Yu Lee. menjadi khawatir sekali setelah seluruh keluarga sahabat mereka dibasmi habis dan kebetulan sekali Yu Lee terlewat dan masih hidup, mereka berdua harus berusaha sedapat mungkin untuk menolong. Keturunan Yu Tiang Sin yang tinggal seorang ini harus diselamatkan.

Mereka tahu bahwa sekali anak itu terkena hantaman tangan kiri atau suling iblis betina itu, tentu nyawanya takkan dapat ditolong lagi. Oleh karena tanpa mempedulikan keselamatan sendiri, kedua orang pendeta itu melupakan pertahanan bersama, kini melakukan serangan bersama dengan dahsyat sekali.

Iblis betina itu benar benar hebat. Selain ilmunya amat tinggi, juga ia cerdik luar biasa. Perhatianuya tadi telah terpecah kepada anak yang menggigit tengkuknya sehingga serangan dua orang lawannya itu kini benar benar amat berbabaya.

Secepat kilat ia lalu membalikkan tubuhnya sehingga tubuh itu kini terlindung oleh tubuh Yu Lee yang menggemblok di punggung! Tentu saja Hap Tojin dan Liong Losu kaget sekali dan menarik senjata masing masing agar jangan mencelakakan Yu Lee.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Hek siauw Kui bo untuk mengerahkan tenaga menggerakkan pinggulnya keras keras dan...... tubuh Yu Lee mental terlempar cepat ke arah dinding dekat pintu depan. Dapat dibayangkan betapa tubuh itu tentu akan hancur dan setidak-tidaknya remuk tulang tulangnya terbentur begitu kerasnya pada dinding.

"Celaka....!” seru Hap Tojin yang tak keburu menangkis lagi. Ia merendahkan diri mengelak.

Juga Liong Losu berusana menyelamatkan diri dengan sebuah loncatan ke samping. Namun gerakan mereka tak dapat mengatasi kecepatan sambaran suling hitam. Hap Tojin yang merendahkan tubuh, terkena totokan pada pundaknya, sedangkan pada detik berikutnya, Liong Losu yang meloncat ke samping telah tertotok pinggiran pinggulnya.

Memang totokan itu tidak mengenai sasaran yang tepat, namun kehebatannya cukup membuat dua orang jago tua itu roboh pingsan. Tubuh Yu Lee melayang dan tentu kepalanya bisa pecah karena ia meluncur dengan kepala di depan menuju ke pintu.

Akan tetapi pada saat anak ini sudah memejamkan mata menanti maut tiba-tiba sebuah lengan kurus terulur dan di lain saat tubuh Yu Lee telah diturunkan dengan selamat ke atas lantai.

“Kau duduklah di sini dan lihat aku menghajar iblis itu!" Kata seseorang yang bukan lain adalah si kakek pengemis bertopi lebar yang sore harinya baru saja datang berkunjung sebentar bukan untuk berkabung atau mangernis, kemudian mencela perdebatan antara Hap Tojin dan Liong Losu lalu pergi lagi.

Dari bawah topi lebar itu Yu Lee melihat sepasang mata yang memandangnya dengan tajam, penuh pengaruh luar biasa sehingga sebelum ia tahu apa yang harus ia lakukan, tubuhnya sudah mendeprok ke bawah dan duduk di atas lantai seakan akan tubuhnya itu tidak dapat ia kuasai lagi, melainkan tunduk akan perintah kakek pengemis ini.

Kini kakek pengemis itu dibantu tongkatnya yang butut terseok seok maju menghampiri iblis betina yang sibuk menggosok-gosok tengkuknya. Tengkuk yang berkulit putih halus itu robek dan berdarah oleh gigitan Yu Lee. Begitu banyak darahnya mengucur keluar sampai membasahi baju hitam di bagian leher dan punggung. Melihat ini Hek siauw Kui bo menjadi marah sekali.

"Hemnam, masih terlewat seorang cucu tua bangka Yu yang ganas seperti monyet? Tua bangka Yu agaknya arwahmu yang menuntun cucumu itu untuk melawan dan menghinaku. Akan tetapi, dia ini akan mampus dalam keadaan lebih mengerikan dari pada yang lain lain!"

Setelah berkata demikian, perlahan lahan Hek siauw Kui bo memasukkan belasan batang jarum yang halus sekali ke dalam suling hitamnya mendekatkan suling ke mulut lalu meniupnya ke arah Yu Lee yang masih duduk bersila di sudut ruangan itu.

"Siuuttt!" Dari lubang suling itu tampak sinar hijau berkelebat ke arah Yu Lee. Akan tetapi sebelum mengenai Yu Lee, sinar itu tiba-tiba menyeleweng ke kiri dan semua jarum menancap lenyap masuk ke dalam dinding sebelah kiri!

Hek-siauw Kui-bo marah sekali, ia mengalihkan pandang kepada kakek pengemis yang dengan dorongan tangan berhasil menyelewengkan jarum jarumnya. Hek-siauw Kui-bo adalah seorang tokoh kangouw kenamaan ditakuti semua orang, karena kelihaiannya maka ia menjadi sombong sekali.

Tadi ia tentu saja sudah melihat betapa anak yang sudah menggigit itu ditolong oleh si kakek pengemis ketika akan terbanting ke dinding. Akan tetapi, ia sama sekali tidak memandang mata kepada kakek itu dan barsikap seolah olah kakek pengemis itu tidak berada di situ...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.