Pendekar Cengeng Jilid 02
TADINYA ia mengira bahwa kakek itu menolong Yu Lee karena kasihan, bukan bermaksud memusuhinya. Akan tetapi setelah jarum jarumnya dipunahkan, baru ia maklum bahwa kembali ada orang berani berlancang tangan dan mencari mampus!
“Hemmm... jembel tua bangka yang busuk! Untuk menyambung hidupmu, engkau rela mengemis ke mana mana. Setelah hidupmu tersambung mengapa sekarang menjadi bosan hidup dan mencari mampus? Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan?”
Sikap wanita berwatak iblis ini angkuh sekali dan ia tidak segera turun tangan membunuh karena ia merasa terlalu rendah dan memalukan kalau harus membunuh seorang kakek yang saking tuanya sudah mau mati ini.
Kakek pengemis itu memandang dari bawah topinya yang lebar dan Hek-siauw Kui-bo bergidik menyaksikan sinar mata yang begitu tajam dan yang seakan-akan dapat menembusi matanya dan menjenguk isi hatinya. Untuk mengusir rasa serem ini ia segera menghardik.
"Tua bangka! Lekas mengaku siapa engkau dan apa hubunganmu sama tua bangka she Yu, agar aku dapat mengambil keputusan dahulu, setelah mempertimbangkan apakah engkau layak dibunuh atau tidak!” Benar-benar sombong kata kata ini.
Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak menjawab, bahkan segera mendekat dan menoleh kepada Yu Lee sambil berkata. “Bocah tahukah kau siapa dia yang membasmi semua keluargamu ini?”
Yu Lee mengangkat muka memandang kepada si iblis betina dengan sinar mata menyala nyala penuh kebencian. "Siapa lagi kalau bukan iblis betina yang tadi namanya disebut Hek-siauw Kui-bo ini, locianpwe (orang tua gagah)”
“Engkau betul. Dia ini si iblis cilik betina yang ganas dan keji lagi pula pengecut dan hanya berani membunuh orang-orang yang bukan lawannya. Kebetulan sekali aku si tua bangka paling benci segala macam iblis, maka telah menciptakan ilmu tongkat Ta-kui tung-hwat (Ilmu Tongkat Pemukul Iblis)!"
Sejak tadi dada Hek-siauw Kui-bo serasa dibakar saking panas dan marahnya. Ia tidak memandang sebelah mata kepada kakek jembel itu, sekarang siapa kira, mendengar namanya kakek ini bukannya takut, bahkan lebih-lebih tidak memandang mata kepadanya, malah berani menghina dan memakinya iblis cilik segala! Ia seorang yang sombong dan angkuh, siapa kira di tempat ini bertemu batunya. Kakek pengemis itu agaknya lebih angkuh dan lebih sombong darinya!
"Jembel tua bangka busuk! Engkau membuka mulut lebar-lebar? Engkau tidak melihat Siauw-bin-mo Hap Tojin dan Tho tee-kong Liong Losu itu. Mereka adalah tokoh besar, akan tetapi karena berani menentang, kau lihat buktinya. Engkau ini tua bangka jembel lekas sebutkan nama agar aku tahu siapa yang kubunuh kali ini!”
Namun si kakek ini sama sekali tidak meladeninya melainkan terus berkata pula kepada Yu Lee dengan sikap sama sekali tak menghiraukan si iblis yang kini sudah makin dekat, "Eh, bocah baik, siapakah namamu?”
"Locianpwe, boanpwe (saya yang rendah) bernama Yu Lee.”
"Engkau masih kecil sudah tahu aturan, itu bagus. Tidak seperti iblis cilik ini yang kurang ajar, terhadap seorang kakek seperti aku Han It Kong masih banyak lagak!” Kakek itu lalu membuang ludah ke bawah, akan tetapi menuju kearah Hek-siauw kui-bo dan tepat jatuh ke atas lantai di depan kakinya.
Hampir meledak rasa dada iblis betina itu saking marahnya. Baru kali ini selama hidupnya ia merasa dihina dan tidak dipandang sebelah mata secara keterlaluan sekali. la mengingat-ingat namun tidak merasa kenal dengan nama Han It Kong.
“Jembel busuk, aku akan membuat kau mati dengan tubuh hancur!” Bentaknya dan sambil berteriak yang menyerupai bunyi lengking atau lolong srigala. Hek-siauw Kui-bo menerjang maju. Sulingnya berkelebat menjadi sinar hitam, mengeluarkan bunyi mengerikan sebagai imbangan teriakannya tadi. Saking marahnya, ia telah mengeluarkan pukulan maut yang paling berbahaya terhadap diri kakek itu.
Namun kakek yang mengaku bernama Han It Kong itu dengan sikap tenang sekali menyambut terjangan dahsyat ini. Tubuhnya tak tampak berkisar dari tempatnya, juga kedua kakinya tetap berdiri tegak. Hanya tangan kanannya yang memegang tongkat itu bergerak membuat lingkaran lingkaran beberapa kali di depan tubuhnya dan… suling hitam Hek siauw Kui bo tidak dapat maju lagi.
Iblis betina ini berseru keras karena merasa seakan akan suling hitamnya terbetot dan dikuasai gerakan lawan karena di luar kehendaknya, tangannya yang memegang suling itu sudah ikut membuat lingkaran lingkaran meniru gerakan kakek itu! Hek siauw Kui bo mengeluarkan pekik keras sambil mengerahkan tenaga membetot sulingnya.
Kali ini ia berhasil menghendaki gerakannya yang otomatis itu akan tetapi sebelum ia sempat melompat mundur, terdengar suara, "plak!" dan pinggulnya yang besar telah kena dihajar oleh tongkat si kakek itu sampai terasa pedas dan panas!
"Yu Lee, kau lihat iblis kecil telah kena dihajar satu kali oleh Ilmu tongkat pemukul iblis!!"
"Bagus! Harap hajar lagi sampai mampus lociaopwe!” Yu Lee bersorak lupa akan kedukaannya dan bergembira menyiksikan musuh besar ini pantatnya dipukul sampai mengeluarkan bunyi nyaring.
Hek-siauw Kui-bo memuncak kemarahannya, namun ia berhati-hati. Tongkat itu tadi menghantam dari depan bagaimana bisa mengenai pantatnya yang berada di belakangnya? Benar benar ilmu tongkat yang luar biasa sekali. Akan tetapi karena sedikitpun ia tidak terluka oleh pukulan itu, hatinya menjadi besar dan menganggap bahwa kakek aneh ini hanya memiliki ilmu silat yang lihai, akan tetapi tidak memiliki tenaga yang besar.
Sambil berteriak menyeramkan ia menerjang lagi, kini sulingnya membuat gerakan aneh dan cepat sekali sehingga dalam sekali serangan itu ia telah melakukan totokan terhadap semua jalan darah di tubuh lawan. Bukan sembarang totokan, melainkan totokan maut, satu saja diantara totokan bertubi ini mengenai sasaran berarti nyawa lawan tercabut!
“Ilmu yang keji dan rendah!” Kakek itu berseru akan tetapi tidak bergerak dari tempatnya. Hanya tongkat bambunya yang kini menyambar nyambar ke depan dan terdengar suara..., "tak, tok, tak, tok," tujuh belas kali dan semua totokan Hek-siauw Kui-bo yang amat lihai itu dapat ditangkis.
Pada totokan terakhir, sambil menangkis, tongkat itu mendadak melanjutkan dengan gerakan mengait dan… suling itu telah kena terkait dan terlepas dari tangan Hek-siauw Kui-bo karena ketika mengait ujung tongkat meonotok telapak tangan yang memegang suling sehingga iblis betina itu terpaksa melepaskan sulingnya.
Hek-siauw Kui-bo mengeluarkan jerit keras dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak menyambar dan mencengkeram ke arah anggauta kemaluan kakek itu!
“Rendah tak tahu malu!” Kakek itu terkejut juga dan cepat menangkis dengan tangan kiri.
Kiranya Hek-siauw Kui-bo melakukan serangan ganas dan rendah ini dengan maksud mengalihkan perhatian karena di detik berikutnya, tangan kanannya sudah dapat merampas kemhali sulingnya yang tadi menempel pada ujung tongkat lawan.
"Pintar juga kau!” Kata si kakek, akan tetapi sambil berkata demikian, tongkatnya bergerak aneh dan, "plokk!"
Sekali lagi pantat yang besar itu sudah dihajar tongkat! Padahal si iblis betina sudah melompat cepat untuk menghindar, namun sia-sia, tetap saja ia mengalami penghinaan ini.
"Huah, ha, ha, ha! Pantatnya tidak kalah tebal dengan mukanya! Gaplok yang keras lokai (jembel tua)!” tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa dan ternyata itu adalah suara Siauw-bin-mo Hap Tojin yang sudah sadar dari pingsannya dan kini masih rebah sambil menonton penandingan yang aneh itu.
Dapat dibayangkan betapa marahnya Hek-siauw Kui-bo. Akan tetapi disamping rasa marah dan penasaran ia pun terheran heran akan kesaktian kakek ini. Mendengar ejekan si tosu, kemarahannya meluap luap dan diam diam ia memasukkan jarum jarum beracun ke dalam sulingnya, lalu untuk ketiga kalinya ia menyerang lagi dengan gerakan sulingnya yang melenggak lenggok seperti ular, sukar sekali diduga kemana suling itu hendak menyerang.
Mendadak terdengar suara mendesis halus dan sinar hijau menyambar dari lubang suling, meluncur ke arah sembilan jalan darah terpenting dari tubuh Han It Kong sedangkan suling hitam itu sendiri bergerak gerak menutup jalan keluar di sekitar tempat kakek itu berdiri. Dengan demikian maka kakek ini diserang oleh jarum-jarum berbisa tanpa dapat mengelak karena tak ada lubang lagi untuk jalan keluar!
Akan terapi Han It Kong memang tidak mau mengelak, bahkan kini tongkatnya bergerak secara aneh mengejar bayangan suling dan ia sama sekali tidak perduli akan sinar hijau yang menyerbu ke arah sembilan pusat jalan darah di tubuh depan.
“Tua bangka sombong, mampus kau?” teriak si iblis betina kegirangan ketika ia melihat betapa semua jarum rahasianya mengenai sasaran secara tepat sekali.
"Praakkk…plookkk!”
Suara ini adalah suara pecahnya suling hitam disusul pukulan ketiga kalinya pada pinggul yang penuh daging, sehingga saking kaget dan nyeri si wanita iblis menjerit dan meloncat jauh ke belakang. Dengan mata terbelalak dan muka pucat ia memandang.
Kakek itu sama sekali tidak apa-apa dan sembilan batang jarumnya semua runtuh ke tanah begitu mengenai tubuh Han It Kong. Sebaliknya suling hitamnya kena dipukul pecah berantakan dan pinggulnya kembali kena dihajar.
"Tua bangka busuk, engkau telah menghina orang! Biar aku mengadu nyawa denganmu hari ini!" Setelah mengeluarkan seruan bercampur isak ini Hek siauw Kui bo menubruk ke depan, mengembangkan kedua tangannya seperti harimau menerkam.
"Perempuan keji! Engkau masih berani bertingkah di depan Ong-ya?” Suara kakek itu menjadi keren dan galak, tangan kirinya bergerak ke depan dan tubuh iblis betina itu seperti terbanting oleh tenaga dahsyat ke kiri, jatuh bergulingan di atas tanah! Ketika ia bangun sambil mengeluarkan rintihan perlahan. Wanita itu memandang dengan mata terbelalak.
"Apa… apakah saya berhadapan dengan... Siauw Ong-ya (Raja Muda) Han it Kong yang berjuluk Sin kong-ciang (Tangan Sinar Sakti)?”
“Tidak ada raja muda, yang ada sekarang hanya si jembel Han It Kong,” jawab kakek itu. "Engkau tidak lekas pergi dari sini?”
Hek-siauw Kui-bo menjura dan berkata. “Kali ini aku mengaku kalah, kelak masih ada waktu untuk mengadakan perhitungan lagi!” Setelah berkata demikian, iblis betina itu melompat dan terus menghilang ke dalam kesuraman fajar yang mulai menyingsing. Dari kejauhan terdengar lengking tangis yang makin lama makin menjauh dan akhirnya menghilang.
Siauw bin-mo Hap Tojin dio Tho tee-kong Liong Losu yang telah sadar pula dari pingsannya, kini melangkah maju dan memberi hormat kepada kakek jembel itu.
"Sudah sejak muda pinto mendengar nama besar Sin kong ciang Han siauw ong ya, baru sekarang dapat melihat orangnya dan menyaksikan kesaktiannya. Sungguh pinto merasa takluk dan terimalah hormat dari Siauw bin mo Hap Tojin, Ongya!” Kata si tosu.
"Omitohud! Sebelum mati dapat bertemu muka dengan patriot besar Han taihiap, sungguh merupakan kebahagiaan hidup!" Tho tee-kong Liong Losu juga berseru memberi hormat.
Kakek jembel itu menghela napas panjang, mukanya tersembunyi di bawah topi yang lebar itu. Kemudian terdengar suaranya bernada sedih. "Biarpun baru sekarang bertemu jiwi (tuan berdua) namun sepak terjang jiwi disamping Yu sicu sudah lama saya dengar, perjuangan kita boleh gagal seperti sudah ditakdirkan Tuhan, namun selama semangat kita masih hidup menurun kepada anak cucu dan murid, pada suatu hari akan tiba saatnya kaum penjajah Mongol dapat terusir dari tanah air!"
Ia menghela napas lagi dan memandang ke arah peti mati Yu Tiang Sin. "Yu sicu banyak jasanya terhadap rakyat dan negara, sayang ia terlampau banyak menanam permusuhan pribadi. Jiwi sudah berusaha sekuat tenaga menyelamatkan keluarganya, tidak percuma Yu sicu bersahabat dengan jiwi. Sayang sekali kedatangan saya terlambat sehingga tidak dapat mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan ini.
"Sungguh saya merasa tidak enak terhadap arwah Yu Sicu. Untuk menebus kelalaian, biarlah saya menghabiskan sisa usia yang tak seberapa lama lagi ini untuk memberi bimbingan cucunya yang tinggal seorang ini, Yu Lee hayo ikut bersamaku!”
Kakek itu mengulurkan tangan kiri dan entah bagaimana, tubuh Yu Lee tahu tahu sudah melayang dan berada dalam pondongannya. Kemudian sekali kakek itu menggerakkan kakinya tubuhnya sudah lenyap dari depan Siauw bin mo Hap Tojin dan Tho tee kong Liong Losu!
“Ha, ha, ha! Tua bangka Yu Tiang Sin biarpun kehilangan semua keluarganya namun benar benar masih bernasib baik. Seorang cucunya, yang tinggal satu satunya telah menjadi murid Sin kong Ciang!”
“Toyu (sabahat), bagaimana kau masih bisa mengatakan sahabat kita Yu Tiang Sin bernasib baik kalau semua anak cucunya dibasmi seperti ini?"
Tho tee kong Liong Losu mencela sambil mengeluarkan obat untuk ditelan dan memunahkan hawa beracun akibat totokan suling hitam itu, juga kepada si tosu ia memberi sebutir obat pulung yang diterima oleh temannya tanpa berterima kasih lagi.
“Liong Losu, betapa dia tidak bahagia? Bandingkan saja dengan kau atau pinto. Secuil daging setetes darahpun diluar tubuh kita tidak punya. Sedangkan tua bangka Yu masih mempunyai seorang cucu yang biarpun cengeng akan tetapi menjadi murid Sin kong ciang!”
“Ha ha, ta, belasan tahun lagi kalau kita tidak sudah mampus, tentu akan terbuka mata kita menyaksikan sepak terjang seorang pendekar muda yang sakti akan tetapi… cengeng!”
“Omitohud! Toyu, engkau terlalu memandang rendah anak itu. Tidakkah jelas nampak sipat sipat baik kepadanya? Sinar matanya tajam berpengaruh, nyalinya lebih besar dari pada kita, berani dia menyerang Hek siauw Kui bo! Kelak tentu Hek siauw Kui bo takkan dapat banyak tingkah lagi di depannya...!”
"Ah, dasar Sin kong-ciang Han It Kong yang bekerja kepalang tanggung. Iblis macam itu kenapa tidak dibunuh saja?”
“Toyu, hal begitu saja mengapa kau masih mengherankan? Han taihiap adalah seorang cianpwe yang tingkatnya sudah amat tinggi. Mana dia sudi mengotorkan tangan dengan pembunuhan, apalagi membunuh seorang yang dia anggap hanya seorang iblis cilik seperti Hek-siauw Kui-bo. Disamping Han It Kong taihiap terkenal sebagai patriot sejati dan hanya terhadap kaum penjajah ia mau membunuh tanpa perhitungan lagi.
Sedangkan Hek siauw Kui bo adalah bangsa sendiri, biarpun jahat akan tetapi urusannya dengan Yu kiam sian adalah urusan pribadi. Tentu saja akan dianggap tidak adil kalau Han It Kong taihiap mencampuri dan menurunkan tangan maut.”
"Ha, ha, ha, ha! Engkau dan dia terlalu banyak pakai aturan, Liong Losu. Hari ini kita berdua mendapat kenyataan bahwa kepandain kita sama sekali tidak ada harganya. Akan tetapi kalau seorang berilmu seperti Han It Kong masih ingin meninggalkan kepandaiannya kepada seorang murid apakah kita harus bersikap kikir dan membawa kepandaian kita yang tidak seberapa ini bersama ke dalam neraka!"
"Omitohud! Harap Toyu jangan bicara tentang neraka. Mengerikan! Akan tetapi pendapatmu itu benar, Pinceng juga pikir lebih baik mengundurkan diri dan memilih murid murid yang baik."
Dua orang pendeta itu lalu pergi dari situ menjelang pagi. Sunyi sepi di rumah keluarga Yu itu. Sunyi yang mengerikan. Mayat mayat orang berserakan dari ruangan depan sampai tengah dan belakang, darah berceceran. Ngeri menyeramkan.
Peristiwa yang akan menggegerkan dusun Ki-bun, akan tetapi yang akan membuat para penduduk Ki hun selalu berada dalam keheranan dan dugaan dugaan yang tak pernah akan dapat dibuktikan kebenarannya. Akan tetapi mereka semua tahu bahwa ada seorang cucu kakek Yu yang tidak diketemukan mayatnya bersama anggauta keluarga lain, yaitu Yu Lee.
Namun tak seorangpun di antara mereka dapat menduga ke mana perginya anak berusia delapan tahun itu seperti juga mereka tak dapat menduga siapa yang melakukan pembunuhan dan pembasmian keji terhadap seisi rumah keluarga Yu.
Lima belas tahun kemudian! Pagi hari itu amat ramai di dalam rumah makan "Lok-nam" di kota Hopak yang besar dan banyak dikunjungi pedagang dari luar kota. Lok-nam adalah rumah makan terbesar di kota Hopak, terkenal dengan masakan masakannya yang lezat dan beraneka macam.
Banyak masakan yang tak ada di rumah makan lain, dapat dipesan di Lok nam, diantaranya sop buntut menjangan, kuwah daging ular goreng, kodok gulai, yang besarnya seperti ayam tidak lupa tim cakar bebek yang lezat, gurih dan kenyil-kenyil!
Semua itu kalau dimakan dengan dorongan arak Hang ciu yang harum dan keras, dapat membuat orang jadi lupa segala. Bahkan ada yang bergurau mengatakan bahwa walaupun ada mertua lewat lupa untuk ditawari! Baru setelah perut jadi gendut, orang akan menjadi "sakit gigi" karena rekening yang bisa menguras isi kantong, ditambah lagi oleh bahaya sakit perut!
Memang biasanya rumah makan Lok nam selalu ramai, karena pemiliknya pandai berusaha. Di sebelah rumah makan ini pemiliknya membuka sebuah pokoan (rumah judi) dan inilah yang membuat rumah makan itu selalu jadi ramai. Mereka yaog menang berjudi biasanya amat royal menghamburkan uang.
Di pagi hari itu sudah banyak orang makan di dalam restoran Lok nam. Karena belasan orang yang menjadi tamu restoran itu kesemuanya adalah laki laki juga para pelayan dan pengurus semuanya laki laki, riuh rendah suara orang bergurau di situ.
Omongan omongan kotor dan cabul diselingi gelak tawa mengotori hawa bersih yang masuk dari luar. Apalagi pada saat itu terdapat lima orang jagoan atau tukang pukul rumah judi yang sedang dijamu oleh seorang tamu yang malam tadi berhasil mendapat kemenangan besar dalam perjudian.
Mereka berlima ini bicara riuh rendah tentang pelacur-pelacur di kota Hopak seperti orang membicarakan kelezatan bermacam macam masakan saja. Tanpa ditutup tutupi blak blakan dan tidak ada rahasia sehingga para tamu lain yang mendengarkannya ikut ikutan tersenyum. Telinga laki-laki memang paling suka mendengarkan percakapan semacam itu!
Derap kaki kuda yang berhenti di depan rumah makan tidak menarik perhatian mereka yang tengah bergurau. Akan tetapi ketika penunggangnya melompat turun dari atas kuda, menyerahkan kuda kepada penjaga di luar kemudian melangkah masuk ke dalam restoran, serentak semua percakapan berhenti dan semua mata, termasuk mata pelayan dan pengurus restoran, memandang ke arah orang yang baru masuk ini dengan pandang mata kagum dan penuh gairah.
Wanita itu masih muda, kiranya tidak lebih dari dua puluh lima tahun usianya. Pakaiannya serba merah, merah muda. Dari tali rambutnya sampai pakaiannya dari sutera tipis sehingga terbayang pakaian dalam merah tua, dan sepatunya yang kecil, semuanya berwarna merah muda.
Hanya pakaiannya karena membayangkan pakaian dalam merah itu, tampak lebih terang warnanya. Rambutnya hitam panjang, wajahnya berbentuk bulat telur dengan kulit muka yang sudah halus putih itu menjadi lebih menarik karena bedak dan gincu (pemerah) tipis tipis.
Sepasang matanya lebar, amat tajam pandang matanya, hidung kecil mancung dan mulut yang berbentuk indah dan selalu mengulum senyum. Dari sudut mata yang meruncing disertai kerling tajam dan sudut bibir yang mengulum senyum penuh daya tariknya inilah terbayang sifat wanita yang berdarah panas, bernafsu dan romantik. Pendeknya seorang wanita yang muda belia yang cantik jelita dan manis dengan bentuk tubuh yang menggairahkan.
Seorang pelayan muda agaknya lebih cepat sadar daripada teman temannya yang masih terlongong. Ia cepat lari menghampiri wanita ini dan sambil membungkuk bungkuk berkata. "Selamat pagi, nona. Silakan duduk di sebelah kiri itu masih banyak meja kosong, silakan….!”
Gadis cantik itu mengangkat muka, menyapu ruangan restoran dengan pandang matanya yang tajam kemudian mengebut ngebut pakaiannya di bagian paha dan pinggang untuk membersihkan debu dan mengikuti pelayan itu ke sudut ruangan sebelah kiri di mana terdapat beberapa meja yang masih kosong.
Sapuan pandang matanya tadi membuat ia tahu bahwa dirinya menjadi pusat perhatian semua orang, akan tetapi ia tidak mengacuhkan hal ini dan bersikap seolah olah di tempat itu tidak ada orang yang memandangnya. Ia berkata kepada pelayan yang sambil tersenyum senyum membersihkan meja di depan nona itu dengan sehelai kain yang selalu terlampir di pundaknya.
"Keluarkan arak hangat yang paling baik lebih dulu!” Suaranya nyaring namun merdu, dan bening.
Si pelayan cepat pergi untuk melayani permintaannya. Ketika pelayan datang membawa arak hangat, nona itu memesan beberapa masakan kemudian setelah pelayan pergi ia mulai minum arak dari guci arak. Berturut turut ia minum tiga cawan arak penuh dan caranya minum jelas membuktikan bahwa nona ini kuat minum dan sudah biasa.
Hal ini tentu saja membuat semua orang menjadi heran. Nona itu kelihatannya bukan seorang nona kangouw (dunia persilatan) yang biasa merantau dan biasa pula hidup menghadapi kekerasan dan kesukaran, biasa pula minum arak.
Pakaiannya begitu mewah, tak tampak membawa senjata. Satu satunya hal yang membayangkan bahwa dia seorang nona perantau adalah kedatangannya yang menunggang kuda dan kenyataan bahwa ia seorang nona yang asing suaranya, bicara seperti orang utara.
Melihat nona cantik jelita memasuki restoran seorang diri, kumatlah perangai gila gilaan lima orang jagoan dari Lok-nam pokoan (rumah judi di Lok nam) yang sudah setengah mabok itu. Kalau tadi mereka bercakap cakap tentang pelacur-pelacur tanpa memperdulikan tata susila sekarang malah mereka sengaja memperkuat suara mereka, bicara tentang hal hal yang cabul dan mesum!
Para tamu lainnya yang masih mengenal kesopanan, merasa tidak enak hati dan malu kepada wanita muda itu. Diam diam mereka memikir dan memperhatikan. Akan tetapi aneh sekali, si nona pakaian merah itu enak enak saja minum dan makan masakan yang dihidangkan. Seakan akan semua percakapan cabul itu tidak terdengar olehnya atau seperti terdengar sebagai percakapan lumrah saja.
Sudah lajimnya laki laki yang berwatak kasar, ketika lima orang jagoan melihat nona itu masih makan minum sambil berseri wajahnya seakan akan tidak terjadi apa apa, mereka menjadi makin berani dalam usaha mereka membangkitkan reaksi pada wanita muda belia yang cantik itu.
“Ah, Acong,” terdengar seorang di antara mereka yang mukanya berlubang lubang bekas penyakit cacar mencela kawannya yang bermuka kuning, “semua ceritamu tentang pelacur-pelacur itu tidak ada gunanya. Betapapun cantik manis wajah mereka, namun mereka itu tiada lain hanyalah bunga-bunga layu yang tak menarik lagi, bunga bunga yang sudah dipetik dari tangkainya. Berilah aku setangkai bunga segar yang masih berada di pohonnya, hemm… bunga merah yang masih mekar di hutan bermandikan embun pagi… ambooiii, akan kucampakkan bunga-bunga layu yang tak berharga itu!"
"Hahaha, Lui heng (kakak Lui), pagi ini tiba-tiba kau menjdi pintar bicara yang muluk muluk! Awas, Lui heng, mawar marah banyak durinya!”
Lima orang itu tertawa-tawa sambil memandang ke arah nona itu secara terang terangan. Si muka bopeng she Lui itu lalu bangkit berdiri, mengebut ngebutkan jubahnya dan tertawa, “Ha ha ha ha, oleh sebab berduri itu meka semakin menarik. Tiada bunga yang tak merindukan kumbang! Makin banyak kumbang mendekatinya, makin bangga hatinya. Aku rasa bunga merah ini tak terkecuali. Biarlah aku menjadi kumbang pertama menghampirinya, kalau perlu boleh tertusuk duri asal kemudian mendapatkan hadiah madu. Ha ha ha!”
Dengan langkah tidak tetap karena terlalu banyak minum arak, si muka bopeng ini menghampiri meja nona itu, kemudian dengan sikap dibuat buat ia meajura dan berkata, "Nona yang cantik seperti dewi, bolehkah saya menemani nona minum arak?”
Para tamu mulai merasa khawatir dan sebagian dari pada mereka sudah cepat cepat membayar dan meninggalkan tempat itu. Namun ada pula yang sengaja hendak menonton keributan dengan hati berdebar tegang.
Pada masa itu, teguran yang dilakukan seperti si muka bopeng itu adalah pelanggaran tata susila yang besar dan setiap orang wanita yang ditegur laki laki asing seperti itu tentu akan menjadi marah. Kalau tidak memaki tentu segera meninggalkan penegur itu tanpa mengacuhkannya.
Dan mereka ingin sekali melihat sikap bagaimana yang akan diambil nona yang cantik itu. Akan tetapi mereka kecelik. Nona itu menoleh dan tersenyum lebar, “Mau menemani aku minum? Boleh, duduklah asal engkau sanggup menghabiskan seguci arak wangi sekail minum!”
Sikap dan sambutan kata kata nona ini tidak hanya mengherankan semua tamu, bahkan si muka bopeng sendiri melongo keheranan. Tadinya ia mengira kalau wanita iai akan marah marah serta memakinya dan ia akan menggodanya. Siapa kira, nona ini menerimanya baik baik bahkan menyuruhnya duduk dengan syarat supaya ia menghabiskan seguci arak sekali minum! Ia menoleh ke arah kawan kawannya yang menyeringai lebar lalu tertawa-tawa.
"Ha ha ha ha, nona manis. Seguci arak bagi aku orang she Lui bukan apa apa dan sanggup menghabiskannya sekali minum asal.... nona menemani aku minum dan menghabiskan seguci juga. Jadi sama sama itu namanya rukun dan mesra. Bukankah begitu?” Sambil tertawa si muka bopeng ini mengira bahwa ia telah mengalahkan si nona dengan tantangannya.
Tentu sekarang nona itu akan menolak dan marah marah, baru ia akan menggodanya. Akan tetapi kemhali ia melongo. Dengan sikap tenang nona itu menggapai memanggil pelayan.
"Pelayan, bawa ke sini dua guci penuh arak yang paling tua dan harum serta paling keras! Biar mahal asal keras dan awas jangan membohongi aku, aku mengenal arak baik!"
Pelayan itu yang menganggap semua ini sebagai lelucon yang menguntungkan restoran, segera lari menuju ke gudang dan mengambil dua guci arak simpanan.
"Duduklah, bopeng. Aku terima tantanganmu, kita masing masing minum seguci arak!” Kata nona itu.
Ucapannya begitu wajar sehingga orang she Lui yang dipanggil 'bopeng‟ ini tidak menjadi tersinggung, apalagi ia sudah mulai terheran heran. Sementara itu, empat orang jagoan lainnya menjadi gembira menyaksikan perkembangan ini.
"Wah, Lui heng benar benar bernasib baik sekali pada hari ini!” teriak seorang.
“Tentu malam tadi bermimpi memangku bulan purnama!" teriak yang lain.
Juga para tamu, para pelayan lain bahkan para pengurus restoran kini semua menonton dua orang yang duduk berhadapan dan hendak mengadu kekuatan minum arak, seorang nona muda belia yang cantik jelita dan seorang laki laki yang terkenal jagoan, tukang pukul dan penjaga keamanan di Lok nam Po koan, sungguh lawan yang sama sekali tak seimbang! Dan tantangan nona itu benar benar luar biasa sekali.
Meminum seguci arak sekali tenggak bukanlah hal yang mudah dilakukan setiap orang biasa. Bahkan si muka bopeng sendiri tidak sanggup melakukan hal ini. Dikarenakan saja si nona juga mau menemani minum seguci maka ia menjadi malu untuk mundur dan menduga bahwa nona ini tak bakal dapat menghabiskan seguci arak sekali minum!
Ketika dua guci arak datang dan dibuka baunya keras menyerang hidung. Arak tua yang keras bukan main! Nona itu mengembang kempiskan hidungnya dan berkata sambil tersenyum lebar sehingga tampaklah deretan gigi putih bersih seperti mutiara.
“Arak baik sekali! Nah, kau bilang hendak menemani aku minum, bukan? Hayo kita minum!" Sambil berkata begitu si nona terus mengambil seguci arak dan membawa ke mulutnya sambil melirik si muka bopeng.
Orang she Lui itu mulai kaget. Ia pun mengambil arak di depannya, akan tetapi tidak segera membawa ke mulutnya. "Nona, betulkah kau bisa menghabiskan arak seguci itu sekali minum?”
"Mengapa tidak?”
"Ah, mana bisa aku percaya…?”
“Hemmm, kau mau menemaniku atau tidak? Kalau tidak sanggup, bilang saja dan lekas pergi dari sini!”
Tentu saja si muka bopeng tidak mau menjadi bahan ejekan orang. Ia membusungkan dada dan berkata, "Siapa bilang aku tidak sanggup, hanya aku tak percaya engkau mampu melakukannya. Kalau engkau sekali minum dapat menghabiskan seguci arak itu, barulah aku percaya dan arak ini pun akan kuminum habis sekali tenggak."
Wanita itu tersenyum dingin. "'Biarlah, betapapun juga kau takkan mampu menarik kembali janjimu.” Selelah berkata demikian, nona baju merah itu lalu mulai minum araknya. Lehernya panjang dan berkulit putih halus. Kini leher itu bergerak gerak naik turun ketika terdengar suara menggelogok gelogok dari arak dari dalam guci tertuang masuk melalui kerongkongannya, semua orang memandang dangan mata terbelalak.
Tak seorangpun di antara semua laki laki yang hadir sanggup melakukan hal itu. Seguci arak itu paling sedikit ada dua puluh cawan, cukup untuk diminum lima orang! Biarpun banyak orang mampu menghabiskan seguci arak akan tetapi diminum secawan demi secawan bukannya langsung menenggak dari guci sampai habis tanpa berhenti!
"Hayo minumlah arakmu!" kata nona itu setelah menaruh guci kosong di atas meja dan menggunakan sehelai saputangan sutera merah menghapus bibirnya. Mukanya tetap tenang, tetap kemerahan kedua pipinya, sama sekali tidak memperlihatkan pengaruh arak yang sekian banyaknya itu.
Si muka bopeng mulai menoleh kanan kiri. Melihat wajah wajah orang tersenyum memandang ke arahnya, ia merasa malu kalau sama sekali tidak meminum araknya. Biarlah ia minum sekuatnya, seperempat atau sepertiga guci kemudian berhenti dan melayani tuntutan nona ini dengan godaan, demikian pikirnya, dengan lagak dibuat buat si muka bopeng ini lalu mengangkat guci araknya dan mulailah ia menggelogok.
Nampak lehernya bergerak gerak. Akan tetapi ini cuma sebentar. Belum ada seperempat guci memasuki perutnya ia sudah merasa tidak kuat lagi. Lehernya serasa tercekik, kepalanya pening dan tubuhnya gemetar. Si muka bopeng maklum kalau dipaksakan terus ia akan roboh terguling. Akan tetapi alangkah kagetnya dia ketika hendak menurunkan guci itu dari mulutnya, ia tidak mampu menggerakkan tangan yang memegang guci.
Lengan itu kini menjadi kaku sehingga guci itu tetap menempel dan isinya tertuang terus. Ketika ia mau menggerakkah tubuh serta melepaskan guci, tahu tahu tubuhnya tak bisa pula ia gerakkan. Sementara itu arak mengalir terus, si muka bopeng hendak menutup kerongkongannya serta membiarkan lagi arak mengalir keluar dari mulut.
Akan tetapi tiba-tiba ia merasa lehernya nyeri sekali, membuat ia jadi megap megap dan arak terus turun memasuki perutnya melewati kerongkongan. Si muka bopeng terkejut sekali dan menjadi ketakutan. Akan tetapi karena ia tidak mampu bergerak terpaksa semua arak memasuki perutnya dan ia tersedak sedak dan terbatuk batuk.
Begitu guci itu habis isinya, si muka bopeng tiba-tiba merasa dapat bergerak lagi. Ia terhuyung huyung dan jatuh ke bawah seperti sehelai kain basah, tiada tenaga sama sekali dan rebah tertelungkup mengeluarkan suara mengorok seperti seekor babi disembelih. Dari mulutnya menetes netes keluar arak bercampur buih.
Riuh rendah empat orang teman si muka bopeng dan para tetamu lain tertawa-tawa mentertawakan si muka bopeng yang demikian mabuknya sampai tidak ingat orang lagi. Juga nona baju merah itu tertawa sedikitpun tidak tampak mabuk. Malah ia lalu memanggil pelayan untuk membayar harga makanan dan arak.
Ketika ia mengeluarkan sebuah kantung dari bungkusan di pundaknya dan membuka kantung itu semua orang melongo. Kantung itu penuh dengan emas dan perak! Secara royal sekali ia membayar pelayan dan memberi persen. Kemudian nona itu bertanya kepada empat orang jagoan yang sambil tertawa-tawa berusaha membangunkan si muka bopeng yang masih ngorok.
"Aku mendengar di sini ada sebuah po koan yang besar, betulkan itu dan di manakah tempatnya?”
Para tukang pukul itu bukanlah orang baik baik. Tadinya mereka hendak mempermainkan nona itu karena cantik jelitanya akan tetapi setelah menyaksikan kekuatannya minum arak tadi, lalu menduga bahwa si nona bukan orang sembarangan. Kemudian mereka melihat adanya kantong uang terisi penuh emas dan perak, maka timbul niat buruk di hati mereka.
“Betul sekali, nona. Bahkan kami berlima adalah penjaga penjaga po koan. Apakah nona suka berjudi? Marilah, kami antarkan. Kebetulan sekali tidak begitu ramai keadaan di po koan sepagi ini."
Dengan langkah tenang nona itu lalu mengikuti mereka menuju ke rumah judi yang letaknya di sebelah restoran itu. Si muka bopeng terpaksa digotong ke rumah judi karena tak dapat disadarkan. Ruangan judi itu cukup lebar, di dalamnya terdapat lima buah meja judi yang masing masing dijaga oleh seorang pengawal. Memang sepagi itu belum banyak tamu hanya ada belasan orang.
Semua orang memandang dengan heran ketika melihat nona itu masuk bersama empat orang tukang pukul dan seorang jagoan yang mabuk berat. Setelah para tukang pukul itu menyatakan bahwa nona itu hendak berjudi, makin besar keheranan mereka semua.
Akan tetapi karena tukang pukulnya memberi tahu dalam bahasa rahasia mereka, bahwa nona itu adalah seorang yang membawa uang emas dan perak banyak sekali, bandit-bandit judi itu jadi kegirangan.
"Silakan, nona,” kata seorang yang bertubuh gemuk dan menjadi bandar kepala di situ. "Nona hendak bermain apakah?”
Nona itu menyapu ruangan dengan pandang matanya yang tajam, kemudian menghampiri sebuah meja judi yang di atasnya terdapat sebuah mangkok dan dadu.
"Aku suka main dadu,” katanya.
Semua tamu mendekati meja ini. Bahkan para tamu ikut pula menonton, karena baru pertama kali ini melihat seorang nona cantik hendak main judi dalam sebuah po koan.
"Baiklah nona. Biar saya sendiri yang melayani nona," kata si bandar gemuk sambil memberi isyarat agar pegawai di belakang meja itu mundur.
Setelah berkata, lalu si gendut itu mengambil dadu, terus memasukannya ke dalam mangkok dan dengan gerakan seorang ahli ia memutar mutar dadu di dalam mangkok itu secara cepat sekali. Suara nyaring terdengar ketika dadu itu berputaran di dalam mangkok kemudian secepat kilat Bandar itu menutupkan mangkok itu atas meja dengan biji dadu terdapat di dalamnya.
Ketika menutupkan mangkok tadi kedua tangannya bergerak cepat sekali sehingga dadu itu tidak tampak sama sekali ketika mangkok dibalikkan. Ini semua membuktikan keahlian bandar judi yang sudah masak.
"Silakan, nona!” Si bandar judi yang gemuk itu berkata sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi yang kecil kecil serta renggang.
Nona itupun tersenyum manis sambil melihat ke seputarnya. Semua muka menatapnya dengan pandang mata heran, kagum serta tegang. Ia lalu mengeluarkan kantungnya dan membuka tali kantung. Dengan tenang sekali ia mengeluarkan sepuluh tail perak, menaruhnya di atas gambar tulisan "ganjil" di atas meja.
Dadu itu segi empat dan pada enam permukaan diberi angka satu sampai dengan angka enam. Angka ganjil adalah satu tiga lima. sedangkan angka dua empat enam adalah angka genap. Apabila memasang ganjil atau genap, jika kena menerima jumlah pasangan. Tetapi apabila memasang pada sebuah angka tertentu apabila memang akan menerima jumlah empat kali lipat pasangan.
Melihat nona itu sudah memasang, sekali pasang sepuluh tali perak. Para tamu ramai ramai mulai pasang pula. Ada yana pasang ganjil, pasang genap, ada pula yang memasang nomer nomer tertentu.
Setelah semua orang menaruh pasangan di atas meja, si bandar gemuk yang tadi terseyum dengan gerakan kilat dan sambil mengeluarkan seruan nyaring, membuka mangkok itu. Dan jelas tampak dadu itu menggeletak di atas meja dengan nomor empat di atasnya. Bandar menggaruk semua uang pasangan, kecuali pasangan pada angka genap dan pasangan pada angka empat yang mendapat hadiah sebagaimana mestinya.
Nona yang kehilangan pasangannya itu masih tenang saja, bahkan memperbesar pasangannya lagi sampai menjadi lima puluh tail perak sekali pasang. Semua melongo. Inilah main judi besar besaran. Sekali dua kali gadis itu menarik kemenangan.
Akan tetapi setelah ia mulai memasang dengan taruhan besar sampai seratus tail perak sekali pasang, ia selalu kalah sampai akhirnya habislah semua peraknya. Namun dengan sikap tenang nona itu masih terus memasang kini malah mulai menggunakan uang emas!
Para tamu menjadi tegang. Ada yang merasa kasihan kepada gadis cantik ini. Ada yang diam diam memakinya bodoh. Akan tetapi yang lebih tegang adalah si bandar judi yang gendut, juga para bandar lain yang menonton. Bayangkan saja!
Nona itu sekarang memasangkan semua sisa uangnya pada nomor lima. Taruhan yang dipasanglah adalah dua puluh lima tail emas! Kalau menang, berarti bandar harus membayar empat kali jadi seratus tail emas dan hal ini berarti pula bahwa semua kekalahan nona itu akan dapat ditebus.
Melihat bahwa para tamu lain kehilangan nafsunya memasang melainkan lebih suka menonton gadis yang luar biasa itu berjudi dengan taruhan gila gilaan, bandar menjadi makin gelisah. Kalau hanya melayani nona ini, sekali bintang nona ini menjadi terang dengan taruhan sebesar itu bandar akan menjadi bangkrut! Dengan teriakan nyaring ia membuka maragkok penutup dan… dadu memperlihatkan angka lima!
Di antara para tamu ada yang bersorak, dan ributlah mereka membicarakan kemenangan ini. Bandar gendut menghapus peluh dengan saputangannya dan para pembantunya menghitung uang pembayaran kepada nona yang menang.
Nona itu tetap tersenyum tenang, kemudian dia memasang lagi dengan taruhan yang membuat semua orang membelalakkan mata. Berapakah yang ia pasangkan? Seluruh uang dari kemenangannya, berjumlah seratus dua puluh lima tail emas!
“Gila…!”
“Sekali kalah, habis dia!"
"Masa sebegitu banyak dipasangkan semua?”
Bermacam macam komentar orang, akan tetapi gadis itu tersenyum lebar dan menoleh ke belakang kearah para tamu yang menonton sambil berkata suaranya halus serta merdu menarik.
"Namanya juga berjudi. Akibatnya hanya dua macam. Menang atau kalah. Kecil besar sama!"
Bandar gendut itu menatap jumlah uang yang dipertaruhkan pada tulisan "ganjil‟ dengan mata melotot dan ia tidak segera memutar dadunya. Agaknya ia merasa jerih dan ragu ragu.
"Hayo lekas putar. Mengapa ragu ragu. Apakah bandar takut kalah?” tanya si nona dengan suara mengejek dan semua tamu tertawa karena memang lucu sekali kalau ada bandar judi takut kalah.
"Eh, Agong gendut. Kau kenapa? Kalau ragu ragu jangan main, biar aku melayani nona ini!” terdengar suara parau.
Semua orang menengok. Kiranya dia seorang laki laki usia lima puluh tahun bertubuh tinggi besar bermuka hitam, pakaiannya mewah dan matanya buta yang sebelah kiri. Melihat orang ini, si gendut cepat cepat mengundurkan diri dan berkata kepada nona itu,
"Maafkan, nona. Karena taruhanmu luar biasa besar, maka saya menjadi ragu ragu dan gugup. Majikan kami datang, biarlah majikan kami sendiri yang menjadi bandar!"
Nona itu memandang tajam dan kini semua tamu juga mengenal si muka hitam yang buta sebelah matanya itu. Dia seorang she Lauw yang dijuluki It-gan Hek-hauw (Macan Hitam Bermata Satu), seorang tokoh besar dunia penjahat di kota Hopak, bahkan terkenal di seluruh Propinsi An-hwa dan kini setelah banyak mengumpulkan harta lalu hidup sebagai orang kaya raya di kota Hopak. Losmen serta rumah judi Lok nam adalah miliknya.
Tadi memang ada pegawai secara diam-diam memberi laporan perihal nona yang berjudi dengan taruhan luar biasa itu, maka ia lalu datang sendiri buat melihatnya khawatir kalau kalau yang datang itu adalah seorang musuh serta sengaja mau mencari gara gara.
Hatinya lega ketika melihat seorang nona yang tidak ia kenal juga sikapnya tidak seperti seorang nona kang ouw, akan tetapi melihat caranya bertaruh, timbul kekhawatirannya kalau kalau rumah judinya akan bangkrut maka cepat cepat menyuruh si gendut mundur dan maju sendiri sebagai bandar.
“Nona memasang ganjil dengan taruhan semua uang nona? Ingat, kalau nona kalah berarti nona takkan dapat melanjurkan perjudian ini lagi," kata orang she Lauw itu dengan suaranya yang parau, akan tetapi dengan sikap tenang.
Nona itu tersenyum mengejek. "Kalau aku kalah, ambil semua uang ini, mengapa banyak komentar lagi? Uangku boleh habis, tetapi apakah perhiasan perhiasanku ini tidak laku untuk dipasangkan?”
Ia membuka buntalan dan terdengar orang berseru kagum ketika terlihat perhiasan perhiasan emas permata yang indah indah dalam sebuah bungkusan.
“Ha ha ha, nona benar benar seorang penjudi ulung yang tabah. Bagus hari ini kami menerima kunjungan seorang tamu terhormat. He, pelayan, lekas bawa ke sini arak yang paling baik untuk nona!"
Setelah menuangkan arak dan mempersilakan nona itu minum. It-gan Hek-hauw lalu berkata, “Sekarang kita mulai, nona memasangkan semua uang itu untuk angka ganjil?”
“Betul dan harap lekas putar dadunya!" Jawab nona itu sambil tersenyum dan memandang tenang.
Ia melihat betapa orang tinggi besar yang bermuka hitam itu menggulung lengan bajunya ke atas, kemudian tangan kanannya memegang mangkok, memasukkan dadu dengan tangan kiri ke dalam mangkok itu dan matanya yang tinggal satu memandang tajam ke arah dadu yang mulai ia putar putar di dalam mangkok.
Makin lama makin cepat dadu terputar dan dengan telapak tangan kirinya dia menutupi mulut mangkok sambil memutar terus. Gerakan kedua tangannya sedemikian cepat sehingga bagi mata para tamu, kedua lengan yang besar dan berotot itu telah berubah menjadi banyak demikian pula mangkoknya membuat para penonton menjadi pening kepala.
Namun nona itu memandang dengan mulut masih tersenyum, namun kini senyumnya seperti orang mengejek. Bagaikan kilat cepatnya, It-gan Hek,hauw kini membentak keras dan mangkoknya sudah tertelungkup di atas meja dengan biji dadu di dalamnya. Ia mengangkat mukanya memandang gadis itu dengan peluh dikeningnya.
“Nona, menurut aturan, baru setelah dadu diputar, orang mulai memasang taruhannya. Apakah nona tetap memasang angka ganjil? tidak dirobah lagi?”
Nona itu menggelengkan kepala sambil menatap tajam wajah orang pemilik rumah judi itu yang mengangkat muka memandang para tamu lainnya.
"Karena nona ini memasang angka ganjil, berarti bertaruh langsung dengan aku, maka harap cuwi (tuan sekalian) untuk kali ini berhenti dulu dengan pasangan cuwi." kemudian tanpa menanti jawaban orang-orang itu ia telah mendekati mangkok, kedua tangannya dipantang dan kini tangan itu menggetar. Melihat ini nona itupun bangkit berdiri, kedua tangannya terletak di atas meja.
"Awas, lihat baik baik! Mangkok dibuka satu… dua… tiga….!!”
Dengan tangan kanannya It-gan Hek-houw mengangkat mangkok dan tangan kirinya menekan meja. Semua mata melihat ke atas meja dan...... mereka semua melongo. Jelas tampak betapa biji dadu itu memperlihatkan angka tiga, jadi angka ganjil. Akan tetapi secara aneh sekali biji dadu itu bergerak dan menggelimpang ke samping sehingga kini angka empat yang berada di atas.
Namun hanya sebentar saja karena kembali biji dadu menggelimpang ke angka tiga. Lalu bergerak gerak sedikit, hampir terbalik ke angka empat tetapi seolah olah tidak kuat dan miring lagi kembali ke angka tiga terus tidak bergerak gerak lagi.
Nona itu beradu pandang dengar bandar yang kini sudah menaruh kedua tangan di atas meja pula. Mukanya yang hitam menjadi makin hitam, matanya yang tinggal satu melotot serta muka itu kini penuh keringat.
"Hemm, angka tiga adalah angka ganjil, bukan? Aku menang lagi!” kata si nona, suaranya nyaring.
Kini para tukang pukul yang jumlahnya belasan orang saling pandang dan semua memandang kepada It-gan Hek-houw sambil meraba gagang golok, menanti perintah. Namun It-gan Hek-houw tidak memberi isyarat apa apa, hanya menghapus peluhnya kemudian tertawa bergelak dan berkata,
"Ha ha ha, nona benar-benar hebat! Hayo bayar seratus dua puluh lima tail emas kepada nona ini!”
Para pembantunya tersipu-sipu mengambil uang dari dalam karena persediaan di depan tidak cukup untuk membayar kekalahan yang begitu banyak. Para tamu menjadi berisik membicarakan pertaruhan yang besar besaran dan keadaan biji dadu yang amat aneh itu.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa tadi telah terjadi adu tenaga lweekang (tenaga dalam) yang seru antara It-gan Hek-houw dan nona baju merah itu melalui tekanan tangan mereka pada permukaan meja.
Selelah uang pembayaran selesai dihitung dan ditumpuk di atas meja di depan nona itu. It-gan Hek-houw lalu berkata, "Apakah nona masih berani untuk melanjutkan perjudian ini?”
Kembali senyum mengejek itu membayang di mulut yang amat indah bentuknya dan berbibir merah. "Mengapa tidak berani?”
“Awas, kali ini kau bisa kalah, nona.”
“Kalau tidak menang tentu kalah. Apa bedanya? Lekas putar, aku akan pertaruhkan semua uangku ini, dua ratus lima puluh tail emas!”
Diantara para tamu ada yang menjadi pucat mukanya. Ini sudah gila, pikirnya. Mana ada taruhan sekali pasang dua ratus lima puluh tail emas? Kekayaan ini cukup untuk dipakai modal berdagang besar. Ini tentu tidak sewajarnya dan ada apa apa dibalik taruhan ini. Ia menjadi tegang dan takut. Akan tetapi karena hatinya tertarik ingin melihat perkembangan selanjutnya, ia berdiri seperti terpaku pada lantai dan melihat sambil menahan napas.
Kini It-gan Hek-hauw menggerakkan kedua lengannya secara aneh sekali, seperti orang bersilat. Kedua tangan itu bergerak ke sana ke mari dengan amat cepatnya sehingga orang-orang tidak bisa melihatnya lagi sewaktu ia mengambil mangkok dan kemudian dengan cara bagaimana pula ia menaruh dadu ke dalamnya, tahu tahu sudah diputarnya mangkok itu dengan gerakan gerakan cepat dan aneh.
Nona itu hanya memandang dengan senyum tetap mengejek dan senyumnya melebar ketika tiba-tiba It-gan Hek-hauw menurunkan mangkok di atas meja dengan mulut di bawah. Ketika mangkok menyentuh meja, meja itu sampai tergetar dan mengeluarkan suara nyaring. Dengan mata berkilat kilat dia memandang nona itu dan berkata nyaring.
“Nona, kau pasanglah!”
Nona itu dengan gerakan sembarangan mendorong semua uangnya ke angka enam sambil berkata, "Aku mempertaruhkan semua ini atas angka enam!”
Kembali para tamu menjadi berisik. Bukan main beraninya nona itu mempertaruhkan atas angka enam, tentu saja kesempatan menang jauh lebih kecil dari pada kalau memasang angka ganjil atau genap. Akan tetapi kalau ia menang, bandar harus membayar empat kali lipat, berarti akan membayarnya seribu tail emas! Bisa bangkrut kali ini rumah judi Lok-nam kalau pasangan itu kena.
Wajah yang hitam itu kini menjadi agak hijau, mata yang tinggal satu menjadi agak merah. "Memasang atas angka enam? Bagus! Sekali ini engkau kalah, nona. Lihatlah!” Ia menggerakkan tangannya cepat sekali membuka mangkok itu.
"Ah, terlalu banyak engkau mengerahkan tenaga sampai dadunya terbawa ke atas!” Nona itu berseru berbareng dengan diangkatnya mangkok. Semua orang memandang dan berseru heran karena di bawah mangkok itu tidak ada apa apanya!
Akan tetapi si muka hitam yang kini mengeluarkan gerengan hebat dan nona itu yang tersenyum senyum keduanya berdongak memandang ke atas. Semua orang juga ikut memandang ke atas dan di langit langit ruangan itu, tepat di atas meja judi, dadu itu telah menempel di langit langit dan memperlihatkan angka enam!
"Aneh sekali….!”
"Angka enam…!”
"Ilmu siluman….!"
Nona itu tidak memperdulikan teriakan teriakan ini lalu berkata, suaranya tegas dan nyaring, "It-gan Hek-hauw, lekas bayar kekalahan mu seribu tail email"
Diam diam It-gan Hek-hauw terkejut sekali dan maklum bahwa nona ini meskipun kelihatannya lemah, agaknya memiliki kepandaian hebat. Dan ia sangat kagum kepada nona itu karena ilmunya, meskipun ia sendiri pernah bertempur dengan orang-orang sakti.
Tadi ia sudah mengatur lweekang dengan menekan meja dan ternyata kalah. Sekali ini, dengan kecepatannya ia sudah mengantongi dadu pertama dan ketika hendak membuka mangkok, ia sengaja menaruh dadu lain dengan angka satu di atas. Siapa kira, dengan kepandaian yang luar biasa, entah secara bagaimana ia tidak tahu, dadu itu telah diterbangkan oleh nona itu ke atas, menempel langit langit dan memperlihatkan angka enam yang dipasangnya!
Pada saat itu, seorang tukang pukulnya berlari lari ke dalam dari luar dengan muka pucat serta berteriak di depan It gan Hek hauw. “Celaka, Lauw taiya... dia sekarang mati… seluruh tubuh dan mukanya menjadi hitam…! Nona itu pasti yang melukainya!"
Nona baju merah itu yang sejak tadi sudah berdiri kini bertolak pinggang dan tersenyum lebar lalu berkata, “Anjing muka bopeng itu dibunuh sepuluh kalipun masih belum dapat menebus kekurang ajarannya kepadaku. Lalu Kalian ribut ribut mau apa? Hayo lekas bayar uangku!”
“Tangkap perempuan pengacau ini!" It-gan Hek-hauw berteriak marah.
Lima belas jagoan yang menjadi tukang tukang pukul dan pengawalnya segera mencabut golok serta mengurungnya. Akan tetapi gadis ini tersenyum sabar, berbeda dengan para tamu yang kini berlarian keluar serta ada pula yang mepet di sudut dengan muka pucat dan tubuh menggigil.
“Eh, apakah kalian semua ini sudah tidak mau hidup lagi?” ia menegur dan menyindir.
Belasan orang jagoan itu sudah biasa melakukan pertempuran serta melawan musuh lihai, mendengar ancaman nona itu, mana mereka takut, apa lagi ia tak bersenjata! Sambil berseru keras, mereka menyerang maju seolah olah berebut dan berlumba.
Akan tetapi tampak tiba-tiba benda merah berkelebat disusul suara melengking tinggi tubuh nona itu bergerak lalu sinar merah menyambar nyambar dan terdengar suara nyaring di susul golok golok terbang semua dan jerit mengerikan ketika tubuh belasan jagoan itu roboh susul menyusul dalam keadaan tidak bernyawa lagi!
Nona baju merah itu kini berdiri tegak, tangan kiri bertolak pinggang serta tangan kanan memegang sebuah suling merah yang kecil mungil entah sejak kapan dikeluarkan. Sepasang mata yang bening seperti burung Hong itu lalu menatap kepada It-gan Hek-hauw, bibirnya yang merah basah tersenyum dan deretan gigi yang putih bersih seperti mutiara berkilat ketika ia bertanya.
“Bagaimana sekarang? Masih hendak coba coba lagi atau lekas bayar uang kemenanganku?” Tangan kanan itu menggerak gerakkan suling seperti gerakan seorang penari. Biarpun digerakkan perlahan, namun suling itu dapat mengeluarkan suara melengking lirih seperti suara kucing atau bayi menangis. Kemudian tanpa memperdulikan orang disekitarnya seakan akan di situ tidak ada orang lain, bibirnya diruncingkan dan terdengarlah tiupan suling mengalun merdu!
“Cui siauw-kwi…!” teriak seorang diantara para pembantu It-gan Hek-hauw ketika melihat sikap nona baju merah itu.
Semua orang terkejut dan teringat. Tak salah lagi, inilah Cui siauw-kwi (Setan Peniup Suling) yang pada waktu dua tahun ini amat menggemparkan dengan perbuatan perbuatannya yang mengerikan. Seorang iblis betina yang cantik jelita, namun amat kejam sepak terjangnya. Entah berapa banyak jumlahnya orang yang telah dibunuhnya dan yang terbanyak adalah laki laki muda belia yang tampan.
Sudah terkenal betapa Cui siauw-kwi gila laki laki tampan. Setiap kali ia melihat laki laki tampan dan muda itu dipikat dan dibujuk menggunakan kecantikannya atau kalau bujukan ini tidak berhasil lalu memakai kepandaian untuk menculik laki laki itu di paksa menjadi kekasihnya. Celakanya laki laki muda itu setelah jadi kekasihnya tidak akan lebih umurnya dari lima hari.
Mendengar ada orang mengetahui julukannya itu, ia lalu melirik ke kiri dan melihat bahwa yang menyebut nama poyokannya tadi adalah seorang laki laki setengah tua yang menjadi pelayan rumah judi. Tangan kanannya masih memegang suling sambil meniup menyanyikan lagu asmara yang merdu, akan tetapi tiba-tiba tangan kirinya berderak ke depan, dan orang yang tadi menyebut nama poyokannya itu menjerit terus roboh terguling, lalu putus napasnya.
Nona itu menghentikan tiupan sulingnya, melihat ke sekeliling lalu bertanya, suaranya masih halus merdu senyumnya masih mengembang di bibirnya. "Siapa lagi yang berani menyebutku setan?”
Para tamu dan pegawai Lok nam Po koan menjadi pucat dan mundur ketakutan.
“It-gan Hek-hauw, kau tidak lekas membayar uangku? Apakah aku harus memaksamu?”
It-gan Hek-hauw adalah seorang bekas penjahat kawakan, akan tetapi semenjak lama mengundurkan diri dari dunia kejahatan karena sudah menjadi seorang kaya raya. Kini karena terancam kerugian besar sekali ia memutar otak. Ia maklum bahwa kalau melawan dengan kekerasan ia akan kalah dan tentu nona yang sepertl iblis ini takkan segan segan membunuhnya.
Maka ia cepat cepat tersenyum lebar dan maju selangkah, memberi hormat dengan menjura dan membungkuk, "Ah, kiranya Cai siauw Sianli (Dewi Peniup Suling) Ma kouw nio (nona Ma) yang datang berkunjung. Maaf... maaf... karena belum pernah jumpa biarpun sudah bertahun tahun mendengar nama besar Kouw nio yaag menjulang tinggi di angkasa, maka kami menyamhut Kouw nio kurang hormat. Kalau tahu bahwa Kouw nio adalah Cui siauw Sianli, tentu tidak akan sampai terjadi kesalahpahaman ini…."
Senyum manis itu makin melebar akan tetapi pandang mata nona itu berobah dingin dan penuh ancaman, "It-gan Hek-hauw, tak perlu engkau memulas bibir dengan madu. Akupun tidak sudi berkenalan dan berhubungan dengan kau dan orang-orangmu, maka tak perlu banyak cakap lagi. Lekas bayar kemenanganku seribu tail emas!"
Muka yang hitam itu menjadi pucat sekali dan cepat cepat It-gan Hek-hauw menjura sampai jidatnya hampir menyentuh tanah, semua anak buahnya terheran heran. Biasanya, majikan mereka ini amat galak, setan pun takkan ditakutinya, mengapa kini bersikap demikian meredah terhadap nona haju merah itu. Sedangkan mereka itu tahu hahwa majikan mereka adalah seorang berkepandaian tinggi.
"Tentu, tentu akan saya bayar lunas, Kouw nio. Akan tetapi, seribu tail emas bukan jumlah sedikit. Tak mungkin saya dapat membayar sekarang karena tidak ada uang tunai sebanyak itu. Harap kouw nio sudi memberi waktu tiga hari, saya akan kumpul kumpulkan dan tukar tukarkan perak menjadi emas, setelah tiga hari, seribu tail emas itu akan tersedia di sini harap saja kouw nio mempertimbangkan."
Nona itu menyipitkan kedua matanya. “Hemm, kalau menurut patut, setelah kalah berjudi tidak mampu bayar, seharusnya aku turun tangan membunuhmu! Akan tetapi, biarlah kuberi waktu tiga hari, kau takkan dapat lari dariku setelah tiga hari malamnya aku akan datang untuk mengambil uang atau kepala mu!”
Setelah berkata demikian, nona baju merah ini dengan tenang mengambil uangnya dua ratus lima puluh tail emas dari atas meja, memasukkannya dalam buntalan menggendong buntalannya, kemudian dengan langkah lemah gemulai sehingga sepasang pinggulnya menari nari di belakangnya ia keluar dari rumah judi itu sambil meniup sulingnya perlahan lahan.
Semua orang mengikutinya dengan pandang mata terbelalak dan napas tertahan, dan belum berani bergerak sebelum suara suling yang makin lama makin lirih itu lenyap. Barulah tampak kesibukan luar biasa, para tamu tamu cepat pergi meninggalkan ruangan judi, dan para pelayan sibuk merawat teman temannya yang tewas.
Adapun It-gan Hek-hauw sendiri cepat menyuruh sediakan seekor kuda dan tak lama kemudian tampak pemilik rumah judi ini sudah menunggang kuda, membalapkan kudanya keluar dari kota Hopak menuju ke selatan!
Biarpun hampir semua penduduk Hopak menjadi gelisah mendengar bahwa kota mereka kedatangan seorang tokoh mengerikan seperti Cui siauw kwi, namun sama sekali tidak mengganggu kegembiraan besar yang terdapat di rumah dua keluarga, yaitu keluarga Bhok dan keluarga Souw yang sedang merayakan hari pernikahan putera dan puteri mereka.
Pemuda she Bhok seorang sasterawan muda yang tampan, pada hari itu dinikahkan dengan gadis she Souw yang cantik rupawan dan kaya raya. Pemuda Bhok yang tidak kaya dipilih mantu oleh hartawan Souw dan pada malam hari itu para tamu memenuhi ruangan tamu rumah gedung keluarga hartawan Souw, serombongan pemain musik meramaikan suasana dengan bunyi bunyian merdu dan mengiringi nyanyian wanita-wanita cantik.
Banjir arak dan masaksn lezat membuat para tamu menjadi makin gembira sehingga makin jauh malam, suara ketawa para tamu makin bebas terlempar. Biarpun siang hari tadi terjadi pembunuhan belasan orang dan kekacauan di rumah judi Lok nam, namun malam hari ini tak teorangpun diantara anggauta keluarga hartawan Souw mengingat akan hal itu.
Hanya para tetamu yang kadang-kadang terdengar membicarakan si nona baju merah yang cantik seperti bidadari, namun kejam seperti iblis. Mereka bicara sambil bisik-bisik tidak berani bicara keras keras, apalagi menyebut nama Dewi Suling denggan nama poyokan, sama sekali mereka tidak berani!
Kalau terpaksa menyebut juga mereka menyebut Cui siauw Sian li. Setelah mendengar betapa seorang yang menyebutnya Setan Suling dibunuh, semua bibir menyebut wanita aneh itu Dewi Suling!
Menjelang Tengah malam, sebagian besar para tamu sudah mulai mabok dan permain musik yang juga tidak sedikit minum arak, kini mainkan musk makin ramai penuh gairah. Suara suling mengalun merdu diseling suara yang kim dan gitar saling susul dalam paduan suara yang harmonis.
Tiba-tiba terdengar suara melengking yang merdu, juga tinggi mengalahkan paduan suara itu. Suara melengking tinggi itu terdengar jelas seperti suara suling tetapi bukan keluar dari suara suling pemain musik. Suara melengking tinggi ini datangnya dari atas!
“Dewi Suling….!!"
Entah siapa orangnya yang berteriak menyebut nama itu. Agaknya ia tadi terpengaruh oleh percakapan mengenai tokoh itu, maka begitu mendengar lengking ini tanpa disadarinya ia menyebut nama Dewi Suling. Akan tetapi akibatnya luar biasa sekali.
Para tamu menjadi pucat mukanya dan ada pula satu dua orang yang menyelinap turun bersembunyi di bawah meja, semua tamu menjadi panik, ada yang cepat cepat menyelinap keluar dari ruangan itu terus melarikan diri.
Dalam keadaan panik itu suara melengking terus terdengar tetapi kian menurun ke bawah tetapi tiba-tiba terdengar jerit mengerikan, jerit seorang wanita yang keluar dari dalam kamar pengantin menembus kegelapan malam di luar rumah.
Mendengar jeritan ini, para tamu yang bersembunyi di bawah meja menggigil seluruh tubuhnya, bahkan yang terelu penakut sampai terkencing kencing, membasahi celananya dan lantai. Yang sudah berlari keluar terus mempercepat larinya sampai ada yang tersandung jatuh bangun mangaduh aduh.
Keluarga Souw tadinya juga panik, akan tetapi begitu mendengar jerit mengerikan dari kamar pengantin, hartawan Souw menjadi gelisah sekali. Teringat nasib puterinya ia memberanikan diri serta mengajak beberapa orang pengawal, lalu menggedor pintu kamar pengantin.
Kamar ini semenjak tadi menjadi bahan senda gurau para tamu muda setiap kali mereka memandang pintu kamar yang dicat merah, mereka tersenyum senyum dan memandang dengan mata penuh arti. Kini pintu itu digedor gedor oleh Souw wan gwe (hartawan souw) yang memanggil manggil putrinya.
Namun sunyi saja tidak ada jawaban. Hanya terdengar sura suling melengking itu kini makin lama makin lirih dan akhirnya lenyap..Hartawan Souw tak dapat menahan kegelisahannya lebih lama lagi. Ia lalu menyuruh para pengawal untuk membongkar saja pintu kamar itu. Begitu daun pintu dibuka, hartawan Souw dan isterinya lari memasuki kamar pengantin yang dihias indah dan berbau harum sekali.
Tadi para tamu muda yang bersenda gurau saling bicara tentang sikap sepasang pengantin itu dengan bermacam macm dugaan yang lucu lucu. Ada yang bilang betapa pengantin wanita dengan malu malu menolak pendekatan pengantin pria. Ada yang bilang pengantin wanita mengajak bergelut lebih dulu sebelum menyerah, dan masih banyak macam lagi. Sepantasnya pada saat seperti itu sepasang pengantin tentu setidaknya sedang berpelukan mesra.
Akan tetapi ketika mereka memandang ke atas pembaringan tampak darah berlepotan dan tubuh pengantin wanita dengan pakaian masih lengkap rebah terlentang tak bernyawa lagi! Pengantin wanita yang cantik dan muda belia itu mati di atas ranjang pengantin, menggeletak di atas gelimangan darahnya sendiri, sedangkan pengantia pria tidak nampak bayangannya lagi di dalam kamar itu.
Jendela kamar masih tertutup rapat, akan tetapi langit langit kamar itu robek lebar berikut gentengnya yang terbuka. Jerit tangis terdengar memenuhi malam sunyi, tawa gembira seketika berubah menjadi tangis duka. Perayaan pesta pora herubah menjadi perkabungan yang menyedihkan. Para tamu segera pulang tanpa pamit, nama Dewi Suling dibisikkan oleh bibir dan hati penuh rasa takut.
Apakah yang sebenarnya telah terjadi di dalam kamar pengantin itu? Kedua orang muda yang baru sekali itu mengalami tidur sekamar dengan seorang lawan jenis menjadi jengah dan malu. Ketika para sanak dan kerabat, seperti sudah menjadi kebiasaan, mengantar pengantin pria memasuki kamar pengantin sambil menggoda dengan berbagai kata kata kemudian menutup pintu kamar pengantin, suara ketawa mereka itu masih bergema dan terdengar dari dalam kamar pengantin.
Pengantin pria, pemuda she Bhok itu semenjak kecil hanya tekun membaca kitab mempelajari sastera. Mimpipun belum pernah berdekatan dengan seorang wanita apalagi berduaan sekamar! Kini ia melangkah maju, langkah langkah kecil dengan kedua kaki menggigil dan jantung berdebar seperti hampir pecah rasanya, pengantin wanita duduk di atas pembaringan sambil menundukkan mukanya.
Mengerlingpun ia tidak berani sungguhpun ia tahu bahwa ia kini sudah berduaan sekamar dengan calon suaminya Ia tahu betapa suaminya seorang pemuda yang halus dan tampan sekali dan sebetulnya ia merasa bahagia di dalam hati akan menjadi isteri pemuda itu.
Akan tetapi rasa malu membuat ia tidak berani berkutik. Hanya kedua telinganya saja yang pada saat itu hidup, mendengarkan penuh perhatian ke arah suaminya bergerak. Sampai suaminya itu duduk di atas pembaringan di sebelahnya, ia tidak berani mengerling apalagi menengok.
Mungkin ada satu jam lebih kedua orang muda remaja yang usianya baru antara enam belas sampai delapan belas tahun ini sudah duduk bersanding tak bergerak gerak seperti dua buah arca yang amat bagus buatannya. Si wanita duduk menunduk sampai punggungnya melengkung dan dagunya menyentuh dada, mata setengah terpejam dan mukanya tertutup untaian mutiara yang semacam kerudung.
Yang pria, masih dalam pakaian pengantin yang indah, mukanya yang tampan itu kemerahan, sepasang pipinya yang putih halus menjadi merah karena tadi ia dipaksa minum arak pengantin oleh para handaitaulan yang memberinya selamat, sepasang mata yang lebar bening itu berkilauan akan tetapi mulutnya tersenyum senyum malu. Beberapa kali ia mengerling ke kanan, beberapa kali ia menengok, beberapa kali bibirnya bergerak gerak hendak mengeluarkan suara.
Namun semua itu sia sia belaka, tak dapat ia mengeluarkan suara karena setiap kali jantungnya melonjak lonjak seperti mau meloncat keluar dari mulut melalui kerongkongannya. Ia sudah berusaha untuk menggerakkan tangan kanan buat menyentuh jari jari tangan halus isterinya yang berada di atas pangkuan, namun tangannya gemetaran dan hilang tenaganya.
Tiba-tiba pengantin wanita menarik napas panjang dan terdengar isak tertahan satu kali. Ia sudah lelah menanti, hampir tak kuat menahan getaran jantungnya saking tegang, namun suaminya tetap diam saja. Hal ini benar benar menjadi godaan yang tak dapat ditahan lagi hampir ia menangis. Ingin ia menjatuhkan diri terlungkup di atas pembaringan sambil menangis tersedu sedu!
“Moimoi….!” Akhirnya suara yang dinanti-nantinya itu terdengar juga, suara suaminya yang menggetar getar. Suara yang menembus dadanya, terus menyentuh jantungnya, membuat ia sesak bernapas lalu menoleh sadikit, melirik kemudian tersenyum malu malu membuang muka lagi melihat ke bawah.
Tangan pengantin pria itu tiba-tiba berada di tangan pengantin wanita, sentuhan perlahan namun merupakan sentuhan pertama yang terasa sampai ke tulang sumsum membuat tangan pengantin wanita yang kecil itu menggigil seperti seekor burung kecil digenggam orang.
"Kenapa tanganmu dingin sekali, moi moi?”
“Tidak… apa apa,"
Kalimat pertama ini membuka pintu kecanggungan yang tadi memisahkan mereka tetapi tak lama kemudian, ketika dengan jari gemetar si pengantin pria membuka kerudung penutup muka pengantin wanita lalu terpesona oleh kecantikan wajah isterinya, wanita muda belia itu dengan malu malu menahan ketawa lalu menyandarkan kepala di dada suaminya. Dalam keadaan mesra itu, keduanya lalu saling menuturkan keadaan diri masing masing.
Pada saat itulah mereka terkejut oleh suara lengkingan yang terdengar di atas rumah, suara yang makin lama makin nyaring dan dekat, setelah itu terdengar suara genteng terbuka bersamaan pecahnya langit langit kamar pengantin melayang turun sesosok tubuh manusia ke dalam kamar itu lalu seperti seekor burung bayangan itu tegak birdiri di atas lantai tersenyum senyum.
Sepasang pengantin itu terkejut bukan main. Akan tetapi hati mereka agak lega ketika melihat bahwa orang yang melayang turun dari atas ini ternyata adalah seorang wanita muda yang cantik sekali berpakaian serba merah dari sutera tipis. Seorang wanita cantik yang tersenyum senyum dan sama sekali tidak menakutkan.
Tentu saja sepasang pengantin ini belum mendengar tentang Dewi Suling yang telah menyebar maut siang tadi di rumah judi Lok nam. Pengantin pria yang masih merangkul pinggang isterinya, segera menegur, "Kau siapakah dan apa perlumu memasuki kamar kami seperti ini….?”
Dewi Suling tersenyum, manis sekali dan sepasang matanya menatap wajah pengantin pria terus ke bawah seperti orang menaksir serta memeriksa. Agaknya ia merasa puas dengan hasil pemeriksaannya itu, lalu tertawa sehingga bibir yang merah itu terbuka memperlihatkan rongga mulut yang lebih merah lagi di balik deretan gigi putih.
"Ah, benar-benar tampan pengantin pria! Sayang jejaka setampan ini ditemani seorang wanita yang lemah!” Ia melangkah maju dan jari jari tangannya mengusap dagu dan pipi si pengantin pria dengan gerakan mesra.
Saking kaget dan herannya, pengantin pria itu membelalakkan mata tak mampu mengeluarkan suara dan mukanya yang putih menjadi amat merah. Akan tetapi pengantin wanita yang melihat bahwa pengunjungnya itupun hanya seorang wanita sudah dapat menguasai kekagetannya dan membentak.
"Dari mana datangnya perempuan rendah dan gila ini? Hayo pergi….!"
Akan tetapi kata katanya ini segera disusul jeritannya yang mengerikan karena Dewi Suling sudah menggerakkan tangan kiri dengan jari jari terbuka menusuk ke depan dan… jari-jari yang kecil halus itu bagaikan ujung lima batang pedang yang telah amblas memasuki ulu hati si pengantin wanita, menembus pakaian kulit dan daging.
Si pengantin wanita roboh di atas pembaringan dan darah mengucur keluar dari dada nya. Di lain saat pengantin pria yang hendak bergerak tiba-tiba menjadi lemas dan tak dapat bergerak ketika tubuhnya direnggut kemudian dipanggul di atas pundak Dewi Suling sekali meloncat sudah melayang naik dan keluar melalui langit langit kamar yang sudah bobol itu.
Tak lama kemudian pemuda belia she Bhok yang tadi masih jadi pengantin, kini telah menjadi seorang tawanan yang dibawa berlari lari cepat sekali dalam malam gelap.
Malam itu pemuda remaja she Bhok memang masih jadi pengantin pria, akan tetapi ia bukan berpengantin dengan isterinya di dalam kamar pengantin melainkan berpengantinan dengan Dewi Suling seorang wanita yang penuh nafsu dan pengalaman dan bertempat di pinggir sebuah sungai kecil dalam hutan di luar kota Hopak!
Bukan di ranjang pengantin yang berhiasan sutera berwarna, malainkan di atas tanah bertilamkan rumput hijau tebal dihias bunga yang tumbuh di sekitar tempat itu. Puda belia she Bhok ini bukanlah seorang mata keranjang, bukan pula seorang hamba nafsu dan betapa cantik menggairahkan sekali pun Dewi Suling itu, ia tidak akan tunduk dan menurut hasrat kotor dan hina si iblis betina.
Kalau saja ia tidak dipaksa menelan dua butir obat yang membuat pemuda she Bhok menjadi seperti mabok dan gila karena pengaruh obat itu, dia berubah menjadi seperti setan kelaparan dan melayani hasrat Dewi Suling dengan nafsu yang sama besarnya!
Akan tetapi pada keesokan harinya, menjelang siang pengantin pria she Bhok ini sudah terkapar mati di tepi sungai dengan tubuh utuh tanpa pakaian, sama sekali tidak terluka dan mukanya pucat tak berdarah lagi itu membayangkan kepuasan dengan mulut tersenyum. Akan tetapi dari semua lubang di tubuh menetes-netes keluar darah!
Siapakah wanita sekeji iblis yang disebut Dewi Suling itu? Dia ini bernami Ma Ji Nio dan orang-orang kang ouw yang membenci sepak terjangnya memberi julukan Cui-siauw-kwi (Setan Peniup Suling) sedangkan orang-orang yang takut menyebut Cui-siauw Sian-li (Dewi Peniup Suling)...