Pendekar Cengeng Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo. Pendekar Cengeng Jilid 03
Sonny Ogawa

Pendekar Cengeng Jilid 03

Dia ini seorang wanita muda yang cantik jelita dan sekiranya wataknya tidak seganas itu, tentu banyak laki-laki yang akan jatuh hati kepadanya dan akan suka sekali menjadi suaminya. Akan tetapi Cui-siauw Sian-li ini memandang pria sebagai barang permainannya, buat memuaskan nafsu binatang yang telah menguasai dirinya.

Pendekar Cengeng karya Kho Ping Hoo

Dewi Suling ini murid tunggal Hek-siauw Kui-bo (Biang lblis Hitam) yang terkenal sebagai seorang tokoh dunia hitam yang amat ganas serta kejam.

Dalam permulaan cerita ini kita sudah berkenalan dengan Hek-siauw Kui-bo yang amat kejam lagi ganas dan telah membasmi seluruh keluarga Yu Tiang Sin berjuluk Si Dewa Pedang tanpa berkedip di dusun Ki-bun, hanya berkat pertolongan seorang sakti bernama Sin-kong-ciang Han It Kong maka seorang cucu Yu-kiam-sian dapat diselamatkan serta iblis betina itu dapat diusir.

Semenjak kekalahannya melawan Han It Kong si pengemis bertopi lebar, Hek-siauw Kui-bo tidak pernah muncul lagi di arena kang-ouw, ia lalu memperdalam ilmunya dan mendidik hanya seorang murid yaitu Ma Ji Nio.

Murid ini ia pelihara semenjak masih kecil serta ia didik sejak umur lima tahun, seorang anak yatim piatu yang kehilangan ayah bundanya sewaktu penyakit menular mengamuk di dusun tempat tinggalnya.

Ma Ji Nio mempunyai bakat yang amat baik sehingga ia telah dapat mewarisi semua kepandaian gurunya, bukan hanya kepandaian bahkan watak gurunya telah diwarisinya pula, malah dalam mengumbar hawa nafsu birahi ia telah melampaui gurunya!

Di waktu ia berusia enambelas tahun saja ia sudah mulai bercinta-cintaan dengan pemuda-pemuda tampan yang dilihatnya namun masih ia lakukan secara bersembunyi karena ia masih takut terhadap gurunya itu.

Setelah Ma Ji Nio berusia duapuluh tiga tahun lalu diperbolehkan merantau sendiri berpisah dari gurunya yang sudah merasa tua dan bosan merantau lagi maka keadaan Ma Ji Nio seperti seekor kuda terlepas dari kendali.

Ia menjadi binal serta liar mengumbar nafsu sesuka hati tanpa ada yang melarangnya lagi. Serta berkat ilmu kepandaiannya yang amat luar biasa, seben-tar saja dalam waktu dua tahun, ia telah mendapat nama setinggi langit sehingga pada saat itu, tak ada orang yang berani jika mendengar nama Dewi Suling disebut-sebut!

Entah sudah berapa banyak orang-orang menjadi korban di tangannya yang amat ganas, baik orang-orang itu bersalah kepadanya ataupun orang-orang yang sama sekali tidak bersalah, dan mudah diperkirakan berapa banyak pria yang tampan menjadi korbannya kalau diketahui bahwa ia tak pernah dapat melewatkan semalam pun tanpa ada pria tampan yang memeluk dan menemaninya tidur!

Yang mengerikan, pria-pria tampan itu setelah melayani secara sukarela atau secara tak sadar karena pengaruh obat dalam waktu satu, dua atau paling lama tiga hari tiga malam tentu akan ditinggalkannya dalam keadaan tak bernyawa lagi!

Sekali tusuk dengan jarinya yang tepat mengenai jalan darah maut, pria itu akan terbinasa tanpa terluka serta dalam keadaan dibuai kenikmatan karena ia mati tanpa merasakan nyeri dan bahwa sama sekali tidak menduganya.

Mengapa Dewi Suling begini kejam? Mengapa pula membunuh pria-pria yang sudah melayani hasrat serta sudah mendatangkan kesenangan dan kepuasan kepadanya? Inilah keistimewaan serta kebiasaannya yang telah melampaui gurunya sendiri.

Hek-siauw Kui-bo dahulu di masa mudanya juga gila laki-laki, akan tetapi tidak tega membunuh pria yang menjadi kekasihnya. Sebaliknya Dewi Suling ini selalu membunuh pria yang sebelumnya masih terbuai dalam pelukannya selama satu, dua atau tiga malam!

Dia tidak mau membiarkan pria-pria itu hidup setelah menjadi kekasihnya, karena selain ia tidak rela membagi pria-pria itu dengan wanita lain yang tentu akan digauli pria-pria itu setelah ia pergi, juga ia tidak mau dijadikan bahan percakapan oleh pria-pria itu yang tentu akan membanggakan pengalaman nikmat bersamanya itu.

Gegerlah dunia persilatan setelah Dewi Suling itu yang sukar dicari lawan merajalela di dunia kang-ouw selama dua tahun. Dan sekarang seperti biasa terjadi di mana saja yang dilaluinya, Dewi Suling membikin kacau di Ho-pak.


“Sekali lagi saya mohon dengan segala kerendahan hati agar Locianpwe (Orang Sakti) sudi mengulurkan tangan membantu penderitaan kami penduduk Ho-pak, buat kesekian kalinya Lauw Bu, si muka hitam itu memohon sambil berlutut, “Siapa lagi kalau bukan Locianpwe yang dapat menghadapi iblis betina Cui-siauw-kwi itu?”

Kakek yang duduk di atas bangku dalam pondok bambu itu mengerutkan keningnya, akan tetapi mulutnya tersenyum lebar, bahkan ia lalu tertawa bergelak mendengar ucapan It-gan Hek-hauw Lauw Bu pemilik rumah makan dan rumah judi Lok-nam di Ho-pak itu.

Kakek itu seorang tosu yang sudah tua sekali, rambutnya dan jenggotnya sudah putih semua, mukanya yang penuh keriput berwarna agak kehijauan. Matanya sipit dan mulutnya selalu tersenyum, kakek ini usianya sudah delapanpuluh tahun kurang sedikit. Di atas meja di depannya terdapat seguci arak dan di belakangnya terselip di dinding bambu tampak sebatang pedang yang bergagang dan bersarung tua sekali.

Inilah Hap Tojin, atau yang di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Siauw-bin-mo (Setan Tertawa) karena mukanya memang selalu berseri dan tertawa.

Lima belas tahun yang lalu kita pernah berjumpa dengan tosu ini sebagai seorang tosu kosen yang melayat kematian Yu Tiang Sin dan kemudian bersama Tho-tee-kong Liong Losu gagal dalam menghadapi Hek-siauw Kui-bo dan hampir saja tewas di tangan iblis betina itu kalau tidak tertolong oleh Han It Kong.

Selama lima belas tahun ini Siauw-bin-mo Hap Tojin mengasingkan diri di dalam hutan sambil melatih dua orang muridnya. Beberapa lama ia sudah mencari-cari murid sampai akhirnya ia mendapatkan dua orang murid berbakat serta bertulang baik.

Setelah itu ia setiap hari memberi didikan kepada dua orang muridnya, serta tidak lagi mencampuri dunia ramai. Betapapun juga ketika beberapa tahun telah lewat, It-gan Hek-hauw Lauw Bu bersama keluarganya yang mau pindah ke Ho-pak lewat di hutan itu lalu menjadi korban perampok-perampok yang amat lihai. Siauw-bin-mo tak dapat tinggal diam lalu memberi bantuan serta mengusir para perampok itu.

Itulah sebabnya mengapa sekarang It-gan Hek-hauw Lauw Bu meminta waktu tiga hari setelah diancam oleh Dewi Suling lalu waktu ini ia pergunakan buat pergi ke tempat Siauw-bin-mo Hap Tojin yang pernah menolongnya.

Hap Tojin mengelus-elus jenggotnya yang putih serta panjang. Ia menoleh kepada dua orang muridnya itu yang duduk di sebelah belakangnya. “Bagaimana pendapat kalian, murid-muridku?” tanya Si Tosu kepada mereka yang sejak tadi cuma mendengarkan dengan mulut tertutup.

Dua orang muda itu betul-betul patut dibanggakan sebagai murid oleh guru yang manapun juga, yang seorang bernama Ouwyang Tek, berusia duapuluh dua tahun, berpakaian serba kuning serta sebuah pedang tergantung di pinggang.

Pemuda ini gagah perkasa, tubuhnya tinggi besar serta kuat, dadanya lebar dan tebal, pundaknya rata, pinggangnya kecil, kaki tangannya besar serta menonjolkan urat yang bergerak-gerak hidup. Wajahnya seratus persen laki-laki, bersikap keren serta pipi bagian atas mulai tampak rambut, begitu pula di atas bibir dan di bawah dagunya, sehingga betul-betul tampak gagah seperti seekor kuda jantan.

Murid kedua adalah seorang pemuda berusia duapuluh tahun, bernama Gui Siong, berbeda dengan suhengnya (kakak seperguruan) Gui Siong ini tubuhnya sedang saja, wajahnya tampan dengan kulit muka halus licin tak ditumbuhi rambut kasar, berwarna kemerah-merahan seperti wanita cantik. Tetapi di dalam kehalusan gerak geriknya, tersembunyi kekuatan yang jelas terlihat dalam pandang matanya, berpakaian warna biru serta membawa pula sebatang pedang.

Dua orang murid ini berbeda dengan suhu mereka, berpakaian indah serta bersih sehingga bagi mereka yang tidak tahu mengira tentulah mereka putera-putera bangsawan atau setidak-tidaknya putera hartawan, hal ini adalah kehendak Hap Tojin yang merasa bangga terhadap murid-muridnya dan dianggap pula sebagai putera sendiri.

Selama limabelas tahun ini ia sudah menurunkan hampir seluruh ilmunya kepada dua orang murid itu serta memberikan ilmu pedang yang gerakannya disesuaikan pada tubuh mereka masing-masing.

Kakek sakti ini mengambil semua intisari ilmu pedangnya lalu menciptakan dua macam ilmu pedang sesuai keadaan tubuh mereka sendiri-sendiri. Ouwyang Tek diberi ilmu pedang Pek-lui-kiam-hoat (ilmu Pedang Kilat), Gui Siong yang halus gerak-geriknya itu diberi ilmu pedang Bi-ciong-kiam-hoat (ilmu Pedang Indah Menyesatkan).

Ketika mendengar pertanyaan gurunya Ouwyang Tek segera berdiri lalu menjawab, “Mendengarkan cerita Lauw Bu tadi teecu (murid) berpendapat bahwa iblis betina itu amat jahat patut dienyahkan. Akan tetapi tidak semestinya kalau Suhu yang sudah lanjut usia pergi sendiri menghadapi seorang penjahat wanita yang masih muda belia, kiranya cukup kalau teecu yang pergi mewakili Suhu memberi hajaran kepadanya!”

Gui Siong juga berdiri dan berkata, “Suhu pernah mengatakan bahwa di dalam dunia persilatan, ada tiga orang golongan yang harus dihadapi dengan hati-hati, yaitu pendeta tua, orang tapa-daksa dan wanita. Mereka bertiga ini pada umumnya termasuk orang-orang lemah, maka sekali mereka berani merajalela sudah pasti kepandaian mereka tinggi. Karena itu jika Suhu menghendaki, biarlah teecu menemani Suheng untuk menghadapi penjahat wanita itu!”

Siauw-bin-mo Hap Tojin tertawa bergelak, jawaban-jawaban kedua muridnya ini sudah jelas membayangkan watak masing-masing. Ouwyang Tek orangnya jujur dan wataknya gagah perkasa, sedangkan Gui Siong orangnya lebih hati-hati dan teliti, ia lalu menengok kepada It-gan Hek-hauw Lauw Bu dan berkata.

“Orang she Lauw! Terus terang saja kedua muridku yang akan menghadapi Cui-siauw-kwi itu bukan sekali-kali karena hendak membantumu. Pinto tahu orang apa engkau ini, It-gan Hek-hauw! Karena itu kami sama sekali tidak akan mencampuri urusanmu dan kalau murid-muridku hendak menghadapi Cui-siauw-kwi adalah semata-mata untuk menumpas kejahatan. Nah, kau pergilah!”

Muka yang hitam dari Lauw Bu itu sebentar pucat sebentar makin hitam. “Tapi... tapi....” ia menggagap, sama sekali tidak mengira bahwa penolongnya itu ternyata dapat mengenal julukannya dan agaknya tahu bahwa dia dahulu bukanlah orang baik-baik.

“Guruku sudah bicara, engkau masih hendak bilang apalagi? Pergilah!” Ouwyang Tek berkata sambil mendorong ke arah Si Muka Hitam.

3.3. Penyelidikan Murid Iblis Muka Tertawa

It-gan Hek-houw bukanlah orang lemah. Tidak, ia bahkan seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi sehingga tidak mudah dirobohkan orang. Kini menghadapi penghinaan dan melihat betapa pemuda tinggi besar itu memandang rendah kepadanya diam-diam ia mengerahkan tenaga dalam ke arah pundaknya yang hendak didorong, untuk membikin pemuda itu kecelik malu. Biarpun murid Hap Tojin yang ia tahu amat lihai, namun pemuda yang baru berusia duapuluh tahun lebih itu, mana mampu melawan lweekangnya?

“Aduuuh…!” Lauw Bu yang menerima dorongan itu dengan tenaga dalamnya, merasa betapa pundaknya seperti dicambuk besi panas dan betapa pun ia melawan dengan tenaga dalam tetap saja ia terlempar keluar pintu pondok dan roboh bergulingan.

Dari dalam pondok terdengar suara ketawa Hap Tojin terkekeh-kekeh sehingga cepat-cepat Si Muka Hitam ini lari menghampiri kudanya melompat ke punggung kuda dan melarikan kuda itu kembali ke Ho-pak.

Ouwyang Tek dan Gui Siong setelah menerima nasihat-nasihat gurunya agar supaya berhati-hati, lalu bersiap-siap berangkat. Mereka belum pernah menggunakan kepandaian mereka untuk bertanding, maka biarpun mereka itu sama sekali tidak merasa takut, namun hati mereka tetap saja tegang.

“Satu hal yang perlu kalian perhatikan adalah sikap harus waspada dan sama sekali jangan memandang rendah lawan. Kurasa seorang wanita yang sudah berani terjun ke dunia kang-ouw dan dengan ganas membunuhi banyak orang tanpa berkedip seperti Cui-siauw-kwi itu, adalah seorang lawan yang tangguh sekali. Pinto sendiri tidak tahu siapa dia, dari aliran mana, namun jelas bahwa dia itu seorang penjahat ganas yang lihai, harap kalian berhati-hati dan jangan mengecewakan hati pinto.”

Berangkatlah dua orang pemuda itu. Mereka berjalan kaki, namun karena mereka menggunakan ilmu lari cepat Hui-hong-sut (Berlari Terbang), pada malam hari itu mereka tiba di Ho-pak. Begitu memasuki kota ini, mereka sudah mendengar sepak terjang Cui-siauw-kwi yang mendirikan bulu roma mereka!

Bukan hanya berita pengamukan iblis betina itu di rumah judi Lok-nam sehingga menewaskan belasan orang anak buah It-gan Hek-houw Lauw Bu, juga peristiwa-peristiwa berikutnya yang membuat kedua pemuda itu membelalakkan mata dan menjadi merah mukanya saking marah.

Mereka mendengar betapa iblis betina itu telah membunuh pengantin wanita dan menculik pengantin pria yang kemudian ditemukan orang mati di tepi sungai dalam hutan. Kemudian mereka mendengar pula beberapa hari berikutnya putera Gak-taijin (Pembesar Gak) di kota itu yang tersohor tampan serta pandai, lenyap pula.

Melihat cara lenyapnya pemuda ini dari dalam kamarnya dan betapa orang-orang di rumah pembesar itu mendengar suara lengking suling, jelas dapat diketahui atau diduga siapa penculiknya. Dan pembesar she Gak itu sudah menggerakkan pasukan untuk mencari, tetap saja tak dapat diketemukan di mana adanya Gak-kongcu!

Mendengar berita ini, setelah mandi serta makan malam, Ouwyang Tek serta Gui Siong lalu melakukan penyelidikan, meronda sepanjang malam di kota Ho-pak serta kadang-kadang mereka mempergunakan kepandaian buat melompat ke atas genteng dan berlari-lari di atas wuwungan rumah-rumah yang berdempetan di kota itu.

Menjelang pagi, dua orang pendekar muda itu melihat bayangan dua orang di dekat kandang kuda di sebuah rumah gedung. Mereka menjadi heran sebab seluruh penduduk pada saat itu sedang tidur pulas, mengapa dua orang itu, seorang pria dan seorang wanita, berada di luar rumah dan berada dekat kandang kuda? Apakah mereka itu pengemis-pengemis yang berlindung di tempat itu? Ataukah pencuri? Ataukah iblis wanita itu bersama Gak-kongcu yang kabarnya hilang diculik?

Ouwyang Tek memberi isyarat kepada sutenya (adik seperguruan) dan kedua orang ini lalu melayang turun dengan gerakan ringan kemudian mereka menyelinap dan mendekati tempat itu lalu mengintai.

Alangkah heran mereka ketika tahu bahwa dua orang itu pasti bukan pengemis karena pakaian mereka menandakan bahwa mereka itu orang-orang kaya, juga bukan Si Iblis Betina dan Gak-kongcu karena mereka berusia empatpuluh tahun. Dua orang itu sedang bercakap-cakap perlahan dan berkali-kali mereka mengeluh.

“Ah, asal saja pagi nanti mereka lekas pergi lagi dan tidak terjadi sesuatu di kamar kita,” keluh yang laki-laki.

“Suamiku… aku.... aku takut....” kata yang wanita.

Ouwyang Tek bersama adik seperguruannya lalu meloncat keluar dari tempat sembunyi mereka, suami isteri itu terkejut sekali, akan tetapi sang suami sudah berdiri menghadang di depan isterinya sambil menatap tajam dan membentak.

“Siapa kalian dan ada perlu apa masuk di waktu yang tidak semestinya di tempat orang?”

Ouwyang Tek menjadi marah, akan tetapi Gui Siong sudah mendahului suhengnya menegur halus. “Paman serta Bibi berdua kenapakah Paman berdua sepagi ini berada di tempat ini? Kami sampai kemari sebab merasa curiga melihat Paman berdua.”

“Hm, kami pemilik gedung serta kandang ini, sewaktu-waktu kami datang kemari siapa yang akan melarang?”

Ouwyang Tek mendengar bahwa orang itu adalah pemilik rumah gedung itu sendiri, lalu lenyap kemarahannya serta ia bertanya suaranya memang keras dan jelas. “Paman, perbuatan ini tentu tidak sewajarnya serta mencurigakan. Kalau Paman pemilik gedung ini kenapa Paman tidak tidur di dalam sebaliknya malah berada di tempat ini? Mengapa pula Bibi tadi bilang takut serta Paman mengharapkan mereka lekas pergi. Siapakah mereka? Harap Paman berdua jangan curiga, sebab kami bukan orang jahat. Sebaliknya, kami meronda untuk mencari orang-orang jahat yang mengganggu penduduk kota ini.”

“Kami mencari Cui-siauw-kwi,” kata pula Gui Siong.

Tetapi tiba-tiba tubuh suami isteri itu menggigil, “Jangan... jangan keras-keras... dia... dialah yang berada di gedung kami dan sudah dua hari ini memaksa kami meninggalkan gedung.”

Dua orang pemuda gagah itu menjadi kaget dan cepat-cepat mereka mendesak suami isteri itu menceritakan keadaan mereka. Ternyata mereka itu adalah suami isteri yang cukup kaya, memiliki gedung indah serta pelayan banyak. Tetapi mereka tidak punya anak dan hidup hanya berdua di gedung itu.

Malam hari itu sewaktu mereka tidur pulas dalam kamar yang mewah, tiba-tiba mereka terbangun dan melihat seorang gadis cantik sudah berdiri di situ sambil mengancam. Gadis itu bukan lain adalah Cui-siauw-kwi yang datang sambil memanggul tubuh Gak-kongcu yang pingsan. Kemudian dengan kekerasan iblis betina itu mengusir suami isteri ini keluar disertai pula ancaman.

“Aku hanya pinjam rumahmu ini buat dua hari dua malam. Kalian keluar dulu dari dalam gedung ini, tetapi awas kalau sampai kalian memberitahukan pada orang lain perihal kehadiranku di sini, kalian akan mampus! Juga semua pelayan harus melayani aku sebagai tamu terhormat serta tak boleh bicara di luaran mengenai kami.”

Begitulah suami isteri itu dengan ketakutan bersembunyi saja di dekat kandang kuda dan disebabkan malam itu adalah malam kedua, mereka tidak bisa tidur di dalam kandang, cuma menanti tibanya pagi untuk mendapatkan kembali rumah mereka yang buat sementara ditempati oleh Cui-siauw-kwi.

“Bagus!” kata Ouwyang Tek. “Harap Paman serta Bibi tak usah khawatir. Kami berdua memang sengaja datang ke Ho-pak buat mencari Cui-siauw-kwi serta membasminya. Kalau dia berada di dalam kamar Paman saat ini, biarlah sekarang juga kami serbu dan menangkapnya.”

Tanpa mempedulikan keluhan-keluhan penuh rasa takut dari kedua suami isteri itu, Ouwyang Tek serta Gui Siong lalu berlari-lari memasuki gedung itu dari pintu belakang. Gedung itu sepi-sepi saja, semua pelayan berkumpul di kamar belakang, ketakutan serta berdesak-desakan. Mereka melayani hanya di waktu siang saja terhadap “tamu agung” itu yang selalu mereka lihat bermesra-mesraan di dalam kamar tanpa malu-malu lagi.

Dengan hati-hati sekali Ouwyang Tek dan Gui Siong menuju ke kamar suami isteri itu seperti tadi setelah diberitahukan. Mereka mencabut pedang dan dengan hati-hati sekali menghampiri kamar, lalu perlahan-lahan mereka menolak daun pintu yang ternyata tidak terkunci dari dalam.

Pintu bergerak perlahan terbuka sedikit. Tangan Ouwyang Tek yang menolak pintu itu berhenti bergerak, sebab pada saat itu terdengar suara orang dari dalam kamar, suara seorang laki-laki menggumam lirih.

“Ma-kouwnio (Nona Ma)... mau kemanakah kau...? Jantung hatiku... kekasihku jangan tinggalkan aku... ahh, betapa cintaku padamu...”

Pada saat itu terdengar suara wanita tertawa genit. Ouwyang Tek dan Gui Siong, dua orang muda yang sopan dan gagah, menjadi merah sekali wajahnya mendengar semua itu, mereka menjadi marah dan cepat mereka mendorong daun pintu sambil memaki.

“Iblis betina. Menyerahlah!”

“Sute, awas!” Ouwyang Tek tiba-tiba berseru keras dan bersama sutenya ia melompat mundur lagi dan cepat membanting diri ke samping, beberapa batang jarum merah yang beracun menyambar lewat, diikuti suara ketawa cekikikan seperti ketawa siluman yang mengerikan. Dan pada saat itu terdengar jerit mengerikan dari dalam kamar, kemudian disusul suara, melengking nyaring dan tinggi, lengking suling.

Sambil memutar pedang di depan dada, kedua orang muda perkasa itu melompat masuk ke dalam kamar, sebuah kamar yang mewah dan indah, kamar seorang hartawan. Bau harum semerbak menyambut hidung mereka dan ketika mereka memandang isi kamar yang diterangi lampu minyak yang dikerobong oleh kertas hijau, mereka melihat tubuh seorang pemuda yang telentang telanjang di atas pembaringan dalam keadaan tak bernyawa lagi.

Ouwyang Tek meraba dada pemuda tampan itu dan mendapat kenyataan bahwa mayat itu masih hangat, baru saja tewas. Tentu pemuda inilah yang tadi berkata-kata kemudian menjerit. Tapi di dalam kamar itu tidak ada lain orang lagi di situ dan suara suling yang melengking pun kini hanya terdengar lapat-lapat jauh dari situ.

“Suheng, dia lolos dari situ!” Gui Siong berkata dan menunjuk ke atas.

Kiranya langit-langit kamar itu sudah bobol dan berlubang besar, jelas bahwa Dewi Suling telah melarikan diri dari situ ketika serangan jarumnya gagal setelah lebih dulu membunuh korban nafsu iblisnya.

“Kejar!” Ouwyang Tek berseru dan bagaikan dua ekor burung garuda tubuh mereka sudah meluncur ke atas melalui lubang langit-langit dan tak lama ke-mudian mereka sudah berlari cepat melakukan pengejaran di dalam gelap. Namun hasilnya sia-sia, orang yang dikejarnya telah lenyap tak berbekas lagi, juga suara lengking suling sudah lenyap.

Sampai gelap terusir sinar matahari pagi dua orang pendekar muda ini mencari-cari, namun tetap tanpa hasil. Kemudian mereka melihat betapa para petugas pembesar setempat sibuk mengurus putera Gak-taijin yang sudah tewas di rumah hartawan itu. Penduduk Ho-pak makin panik.

“Dia licin sekali!” kata Gui Siong kepada suhengnya ketika mereka makan siang di sebuah kedai makanan. “Juga amat berbahaya, jarum-jarum merah itu mengandung racun yang mematikan.”

Suhengnya mengangguk-angguk. “Betapapun juga dia harus mati di tangan kita, sukar mencari tempat sembunyinya, tidak ada jalan lain kecuali menanti sampai malam nanti, bukankah malam nanti saat perjanjiannya dengan It-gan Hek-hauw untuk mengambil uang seribu tail emas? Nah, menanti sampai dia muncul di Lok-nam Po-koan.”

“Setidaknya orang she Lauw itu tentu akan melakukan perlawanan,” kata Gui Siong setelah berpikir sejenak. “Orang seperti dia mana mungkin mau menerima saja kehilangan uang sebanyak itu? Selain itu, juga Gak-taijin juga tidak mungkin mendiamkan saja puteranya ditewaskan siluman itu, apakah kita harus menggabungkan diri dengan mereka?”

Ouwyang Tek menggelengkan kepala. “Tak mungkin, Sute. Kalau memang mereka itu hendak menghadapi Dewi Suling, biarkanlah. Tidak semestinya kalau kita menggabungkan diri dengan mereka apalagi Suhu sendiri sudah menyatakan bahwa orang she Lauw itu dahulunya juga bukan orang baik-baik sehingga kalau kita bersekutu dengan dia berarti kita membantu bekas penjahat.

"Kalau mereka memang hendak melawan Dewi Suling, biarkanlah, kita menonton saja dan syu¬kur-syukur kalau mereka berhasil merobohkan Dewi Suling dengan pengeroyokan mereka karena memang sebenarnya kita pribadi tidak mempunyai permusuhan dengan Dewi Suling.”

“Benar sekali, Suheng. Memang aku pun berpendapat demikian. Andaikata Dewi Suling mengganggu orang baik-baik, tentu kita akan turun tangan tanpa me-nanti apa-apa lagi. Akan tetapi sekarang ini, Dewi Suling bermusuhan dengan It-gan Hek-hauw Lauw Bu seorang penjahat yang mendapatkan kekayaan mungkin dengan jalan jahat pula. Kita menonton saja dan kalau mereka itu gagal barulah kita turun tangan.”

Setelah bermufakat dan membuat rencana, dua orang pendekar muda itu lalu bersembunyi dan mengintai rumah makan dan rumah judi Lok-nam dari tempat yang tidak seberapa jauh. Mereka mendapat kenyataan bahwa dugaan mereka tadi benar karena melihat sibuknya para jagoan yang dikirim oleh Gak-taijin untuk menangkap atau membunuh Dewi Suling.

Sedikitnya ada duapuluh orang jagoan yang membawa-bawa senjata tajam dan berkeliaran di sekitar dua tempat itu, yaitu rumah makan dan rumah judi. Di samping itu It-gan Hek-hauw sendiri agaknya juga sudah berhasil mengundang lima orang sahabat baiknya yang datang dari utara.

Mereka itu bukan lain adalah Ngo-tok-hai-liong (Lima Naga Laut Beracun). Mereka terkenal sebagai bajak-bajak laut yang kini sudah “pensiun”, sudah mengundurkan diri dari dunia perbajakan dan tinggal di Sin-yang sebagai orang-orang yang hidup serba cukup, dan mempunyai sawah ladang luas.

Mengingat akan persahabatannya yang sudah lama serta akan hadiah seratus tail emas yang dijanjikan oleh It-gan Hek-hauw kepada mereka, lalu kelima orang naga tua itu tiba di Ho-pak dan menanti saat munculnya perempuan iblis yang berani mengganggu kawan mereka Si Harimau Muka Hitam.

Lima orang bekas bajak laut ini bukanlah orang sembarangan, ilmu silat mereka lihai, tidak kalah oleh tingkat kepandaian It-gan Hek-hauw dan mereka berlima dapat bekerja sama dengan baik dalam menghadapi musuh. Mereka adalah lima orang kakak beradik she Teng berusia antara limapuluh sampai enampuluh tahun.

Setelah senja berganti malam, di sekitar tempat itu menjadi sunyi. Tidak tampak seorang jagoan pun yang menjaga rumah judi, mereka semuanya telah bersembunyi sesuai menurut rencana. Diam-diam mereka telah mengurung rumah judi itu dan yang tampak di dalam po-koan itu cuma It-gan Hek-hauw beserta lima orang anak buahnya.

Sebuah peti besar terisi seribu tail emas terletak di atas meja di tengah ruangan. Suasana sunyi sekali, pada wajah It-gan Hek-hauw dan lima orang anak buahnya terlihat jelas ketegangan hebat. Berbeda dengan tiga hari yang lalu, kini It-gan Hek-hauw berpakaian ringkas, tidak seperti seorang majikan po-koan lagi, tetapi seperti seorang jago silat dan sebuah golok besar terselip di pinggangnya.

Juga lima orang anak buahnya semua membawa senjata tajam. Biarpun It-gan Hek-hauw tahu bahwa Ngo-tok-hai-liong lima orang sahabat yang ia andalkan berada di balik pintu dalam, dalam keadaan siap melindunginya serta di luar po-koan bersembunyi duapuluh orang lebih jagoan dari Gak-taijin namun tetap saja jantungnya berdebar-debar dan tenggorokan serta bibirnya selalu terasa kering.

Hari telah jauh malam ketika semua orang yang menanti-nanti dengan hati tegang itu tiba-tiba mendengar suara lengking suling memecah kesunyian malam. Semua orang terkejut. Lebih-lebih lagi It-gan Hek-hauw Lauw Bu, ia meloncat dari tempat duduknya, lalu tangannya sudah meraba gagang senjata.

Suara suling itu makin nyaring lalu berhenti. Dari pekarangan depan masuklah Dewi Suling, pakaiannya yang serba merah itu tipis berkibar-kibar ketika ia melangkah masuk dengan bibir tersenyum manis. Kini di tangan kanannya tampak sebuah suling merah dan mengkilap, entah terbuat dari logam apa. Panjang suling itu seperti sebatang pedang.

Tanpa curiga serta ragu-ragu Dewi Suling melangkah masuk ke dalam ruangan judi dan ketika melihat It-gan Hek-hauw bersama lima orang anak buahnya di situ, ia memperlebar senyumnya serta matanya lalu melirik peti di atas meja.

“Hem, kulihat kau menepati janjimu, It-gan Hek-hauw!” kata Dewi Suling yang melangkah maju ke arah meja dan sekali tangan kirinya bergerak ia sudah membuka tutup peti dan melihat isinya, lalu tersenyum puas, tiba-tiba ia meniup sulingnya lalu terdengarlah lengking yang amat tinggi sehingga It-gan Hek-hauw cepat mengerahkan lweekangnya untuk menahan serangan suara yang amat hebat itu.

Lima orang anak buahnya sudah terjungkal serta merintih kesakitan sambil menutupi kedua telinganya masing-masing, untung bagi mereka bahwa tiupan suling itu hanya sebentar saja dan agaknya merupakan sebuah isyarat karena di luar rumah terdengar derap kaki kuda dan roda kereta.

Ketika suling ditiup, lima orang jago tua Ngo-tok-hai-liong terkejut dan sudah muncul keluar dari tempat persembunyiannya sambil mencabut pedangnya ma-sing-masing, juga Lauw Bu mencabut goloknya setelah Dewi Suling menghentikan tiupan sulingnya, lima orang anak buahnya juga merayap bangun dengan muka yang sangat pucat.

“Hi, hi, hik! It-gan Hek-hauw! Aku tahu bahwa kau menyerahkan kepala menahan ekornya, kau menyerahkan emas namun diam-diam memasang jebakan! Lima ekor cacing laut menjaga di dalam, sedangkan tikus-tikus Gak-taijin menjaga di luar! Hi, hi, hik! Memang kau sialan, kehilangan uang masih akan kehilangan nyawa pula!”

Dewi Suling sama sekali tidak memberi kesempatan lawannya menjawab, begitu bicaranya habis, tubuhnya berkelebat ke depan. Hanya tampak bayangan merah menyambar dan tahu-tahu lima orang anak buah It-gan Hek-hauw menjerit dan mereka ini yang baru saja bangun sudah harus roboh kembali dan kali ini roboh tanpa nyawa!

It-gan Hek-hauw Lauw Bu dan lima orang kawannya menjadi marah sekali, mereka sudah bergerak menerjang dan mengurung yang dilayani oleh Dewi Suling sambil tertawa mengejek.

Pada saat itu empat orang tinggi besar berlari-lari masuk ke dalam ruangan judi, mereka sama sekali tak mempedulikan Dewi Suling yang sedang dikeroyok enam orang, melainkan langsung menghampiri meja dan mengangkat peti hitam berisi seribu tail emas! Akan tetapi seorang di antara mereka melirik dan melihat Dewi Suling dikeroyok enam orang lihai, ia mencabut pedangnya.

“Goblok! Jangan bantu aku, hayo cepat bawa peti itu pergi!” Tiba-tiba Dewi Suling berseru keras dan orang itu cepat-cepat menyarungkan kembali pedangnya.

4.1. Lolos Dari Jebakan Maut

Mereka berempat lalu mengangkat peti keluar. Ketika empat orang ini mengangkat peti dimasukkan di dalam kereta yang sengaja mereka bawa, duapuluh orang lebih jagoan Gak-taijin hanya mengintai saja, perintah yang mereka terima sudah jelas, yaitu berusaha menangkap hidup-hidup atau mati Dewi Suling yang tadi memasuki rumah judi.

Karena ia melihat empat orang laki-laki tinggi besar yang tidak mereka kenal itu datang dengan kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda, kemudian memasuki Po-koan dan keluar lagi membawa peti hitam yang mereka masukkan ke dalam kereta lalu membalapkan kereta dari situ, para jagoan ini hanya memandang saja dan tidak turun tangan.

Akan tetapi It-gan Hek-hauw menjadi bingung dan marah sekali ketika melihat betapa peti hitamnya yang terisi seribu tail emas itu telah dibawa pergi oleh empat orang yang agaknya adalah anak buah Dewi Suling.

“Tahan mereka!” teriaknya pada lima orang kawannya sedangkan ia sendiri melompat hendak mengejar, akan tetapi sinar merah yang menyambarnya dari samping membuatnya terkejut sekali dan terpaksa melompat mundur sehingga suling yang menyerangnya itu mengenai tempat kosong.

Akan tetapi Dewi Suling sudah menerjang dengan gerakan-gerakan seperti halilintar menyambar ke arah enam orang pengeroyoknya sehingga mereka itu sama sekali tidak ada kesempatan untuk melakukan pengejaran terhadap empat orang yang sudah melarikan peti emas itu. Apalagi kini Dewi Suling berdiri menghadang di pintu dan sinar sulingnya bergulung-gulung berwarna merah menyilaukan mata.

Ngo-tok-hai-liong biarpun sudah tua namun masih memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Pedang mereka panjang dan berat, dan selain ilmu pedang mereka lihai, juga mereka dapat bekerja sama sehingga membentuk sebuah kiam-tin (barisan pedang) yang tak boleh dipandang ringan. Kini mereka mengurung Dewi Suling dari lima penjuru dan menyerang secara teratur rapi berganti-ganti dan bertubi-tubi, dengan gerak penjagaan saling melindungi.

Menghadapi Ngo-tok-hai-liong ini saja Dewi Suling tidak berani memandang rendah, wanita iblis ini cukup berpengalaman dan cerdik. Tahulah ia bahwa untuk dapat keluar dari kepungan kiam-tin yang digerakkan oleh lima orang jagoan tua berpengalaman, ia harus berhati-hati sekali. Maka ia menghadapi mereka dengan tenang, memutar sulingnya menangkis sana-sini sambil mengerahkan perhatian untuk mempelajari gerakan kiam-tin untuk memecahkannya.

Akan tetapi perhatiannya terganggu oleh terjangan bertubi-tubi dari It-gan Hek-hauw Lauw Bu yang marah sekali yang melihat banyak hartanya dibawa pergi teman-teman Dewi Suling. Golok besar di tangan Si Harimau Hitam Mata Satu ini berkelebatan seperti naga mengamuk sehingga menimbulkan angin bersuitan mengerikan.

“Dewi Suling! Kembalikan emasku, baru aku ampuni jiwamu!” It-gan Hek-hauw Lauw Bu membentak sambil memutar goloknya karena dia serta lima orang kawannya mengurung, tampaknya wanita cantik itu akan bisa ditaklukkan.

Ia tidak ingin melihat wanita itu roboh di bawah tikaman senjata sehingga tewas, sehingga dengan begitu akan sukarlah buatnya untuk mendapatkan emasnya kembali yang ia tidak tahu dibawa pergi ke mana.

“Hi, hi, hik! Anjing buta, kaulah yang bakal mampus!”

Lauw Bu marah sekali, sambil berseru keras ia sudah menyerang dengan jurus mematikan, jurus simpanan, itulah jurus yang berasal dari jurus ilmu golok Bu-tong-pai yang disebut Tiong-sin-hiang-in (Menteri Setia Mempersembahkan Kebesaran).

Golok yang semula berputar-putar cepat di depan dada itu tahu-tahu meluncur ke arah perut Dewi Suling, disusul dengan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah dada, karena gerakan ini susul-menyusul, maka andaikata lawan dapat menghindarkan diri tusukan golok yang hendak merobek perut, sukar buat menghindarkan cengkeraman ke arah dada.

Dan pada detik-detik berikutnya, lima orang bekas bajak itu sudah menggerakkan pedang masing-masing menutup semua jalan keluar serta siap pula menyerang dari semua penjuru.

Diam-diam Dewi Suling terkejut. Sebagai seorang terkenal di dunia kang-ouw yang sudah mengetahui ilmu-ilmu tinggi, ia maklum betapa bahayanya serangan enam orang itu. Ia tahu kalau ia mengelakkan serangan Lauw Bu, berarti ia akan terjeblos ke dalam perangkap di mana senjata-senjata enam orang itu akan tiba seperti hujan serta sukar baginya untuk meloloskan diri lagi.

Tiba-tiba dalam benaknya berkelebat satu pikiran yang-cerdik serta keji, akal yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang sudah berilmu seperti dia. Tenang-tenang ia menggerakkan suling merahnya itu menangkis golok Lauw Bu sambil mengerahkan lweekangnya yang ia tahu masih lebih tinggi dari lawannya. Ia mengerahkan tenaga “melekat” sehingga begitu suling merah bertemu golok, sen¬jata ini saling menempel dan tak bisa dilepaskan lagi oleh It-gan Hek-hauw.

Di lain saat tangan kiri Lauw Bu ia biarkan saja mencengkeram ke arah dadanya, tanpa ditangkis maupun dielakkan! Hal ini amatlah aneh. Seperti diketahui, buah dada bagi seorang wanita merupakan bagian tubuh yang selain pantangan disentuh laki-laki asing dan juga merupakan bagian yang terlemah dan bisa mematikan.

Akan tetapi mengapa Dewi Suling membiarkan saja dadanya dicengkeram? Begitu jari-jari tangan kiri Lauw Bu mencengkeram buah dada, ia mengeluarkan seruan kaget. Bagian tubuh ini menjadi keras dan licin seperti bola baja diminyaki, ia tahu lawan menggunakan lweekang yang hebat sekali dan maklum betapa dirinya berada di dalam bahaya.

Tetapi sudah terlambat, karena tiba-tiba tangan kiri Dewi Suling telah mencengkeram bajunya di bagian dada dan tahu-tahu tubuhnya sudah terangkat ke atas lalu diputar-putar tanpa ia dapat berdaya lagi karena tubuhnya sudah tertotok kaku.

Lima orang kepala bajak itu menjadi kaget sekali melihat sinar merah menyambar seperti halilintar ke arah mereka. Cepat-cepat mereka menangkis dengan pedang, dan.... terdengar suara jeritan keras sekali disusul darah bercucuran keluar karena tangkisan mereka tadi bertemu dengan tubuh It-gan Hek-hauw yang tewas seketika itu juga.

“Hi, hi, hik,” Dewi Suling tertawa mengejek, terus menggunakan kesempatan selagi lima orang lawannya itu melompat mundur saking kaget dan menyerang mereka dengan jarum-jarum merah halus yang sama sekali tidak bersuara.

“Celaka......”

“Awas jarum......”

Hanya dua orang di antara Ngo-tok-hai-liong selamat, mereka membuang diri ke belakang dan terhindar dari sambaran jarum-jarum merah itu. Akan tetapi tiga orang saudaranya roboh bergulingan di atas lantai sambil merintih-rintih seperti tiga ekor kucing dikeroyok semut.

Waktu mereka melihat ke depan Dewi Suling telah lenyap dari situ dan terdengar suara hiruk-pikuk di luar rumah judi. Mereka tahu bahwa para jagoan Gak-taijin sudah turun tangan maka mereka mementingkan dulu menolong tiga orang saudara mereka yang kena jarum beracun itu.

Dewi Suling yang sudah tahu bahwa di luar rumah judi itu terdapat duapuluh orang lebih jagoan Gak-taijin, tidak menjadi terperanjat ketika setibanya di luar pintu ia segera dikepung dan dikeroyok, ia dikepung rapat sehingga tidak sempat lagi menggunakan jarum-jarumnya, namun ia sama sekali tidak menjadi gentar.

Dengan gerakan lincah tubuhnya berkelebat ke sana ke mari laksana seekor burung walet menyambar lalat, sulingnya yang berwarna merah itu berubah menjadi gulungan sinar yang bersatu dengan bayangannya yang merah, hujan senjata itu sama sekali tidak dapat menyentuhnya.

Namun diam-diam ia mengeluh juga karena ternyata bahwa jagoan-jagoan ini memiliki kepandaian yang tak boleh dipandang ringan. Kalau mereka itu maju satu-satu, atau jumlah mereka itu paling banyak sepuluh orang, tentu ia masih mampu merobohkan mereka semua dengan waktu singkat.

Akan tetapi jumlah mereka ternyata duapuluh empat orang dan mereka mengurung dengan rapat sekali, senjata mereka bermacam-macam dan datang bagaikan hujan, sehingga tidak mungkin lagi bagi Dewi Suling untuk mempertahankan gerakan mereka hanya mengandalkan kecepatan geraknya dan ketajaman pendengarannya untuk mengelak membuang diri meloncat menangkis dan seringkali ia harus memutar-mutarkan sulingnya di sekeliling tubuhnya, merubah gulungan sinar suling menjadi semacam benteng baja yang amat kokoh dan kuat.

Ouwyang Tek dan Gui Siong yang semenjak sore tadi bersembunyi dan mengintai, kini melihat Dewi Suling dikeroyok seperti itu mereka memandang dengan penuh kekaguman.

“Wah, dia hebat betul......” kata Ouwyang Tek perlahan.

Gui Siong mengangguk. “Memang ilmunya tinggi sekali. Kita harus berhati-hati menghadapinya.

Sejenak keduanya tak berkata-kata, hanya memandang ke depan, selain kagum dan kaget juga mereka terheran-heran, karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa yang disebut iblis betina bersuling itu adalah seorang gadis yang berpakaian merah tipis berwajah cantik jelita seperti itu! Tadinya mereka membayangkan bahwa tentu iblis betina itu seorang wanita yang sudah setengah tua dan amat menakutkan.

“Sute, kulihat ia terkurung rapat, kalau kita berdua turun tangan dengan mudah dapat merobohkannya,” kata Ouwyang Tek.

Akan tetapi Gui Siong menggeleng kepala. “Ah, Suheng. Mana mungkin kita bersikap securang itu? Kalau kita bersekutu dengan mereka bukankah berarti kita berlaku curang dan merendahkan nama Suhu?”

Ouwyang Tek menghela napas. “Kau benar, Sute. Biarlah kita menonton saja, syukur kalau-kalau ia dapat ditangkap atau dirobohkan mereka, kalau tidak, kita akan membayanginya dan mencari kesempatan menerjangnya.”

Kepungan yang ketat itu benar-benar membuat Dewi Suling terdesak dan tak dapat balas menyerang. Ia menjadi marah sekali dan tiba-tiba tubuhnya mencelat tinggi di udara dan pada saat tubuhnya melayang itu, terdengar lengking sulingnya memekakkan telinga. Para pengeroyok menjadi kaget dan ada yang terhuyung-huyung dan sebelum tubuh Dewi Suling melayang turun ia sudah menghamburkan segenggam jarum merah ke bawah.

“Awas senjata rahasia......”

Para jagoan itu cepat memutar senjata menangkis atau loncat mengelak, namun masih ada dua di antara mereka yang roboh terkena jarum dan begitu Dewi Suling turun, sulingnya sudah menyambar ke depan dan robohlah seorang pengeroyok lain dengan kepala pecah.

Keganasan Dewi Suling ini membuat para pengeroyok kaget sekali. Mereka segera maju mengeroyok lagi dengan lebih ketat. Dan pada saat itu dari dalam rumah judi melayang keluar dua orang laki-laki dengan pedang di tangan yang berseru keras.

“Iblis betina, rasakan pembalasan kami!”

Kiranya mereka itu adalah dua di antara Ngo-tok-hai-liong yang menerjang keluar setelah menolong tiga orang saudara mereka. Dengan kemarahan yang meluap-luap mereka maju dan menerjang dengan pe-dang, memperkuat barisan mengepung.

Kalau Dewi Suling tidak lekas-lekas dapat keluar dari kepungan, akan celakalah ia sekali ini. Diam-diam ia mulai menyesal mengapa ia berbuat iseng dengan Gak-kongcu lalu membunuhnya, kalau tidak, tentu ia tidak akan dikepung jagoan-jagoan yang dikerahkan Gak-taijin seperti sekarang ini.

Seratus jurus lebih telah lewat dan ia baru bisa merobohkan dua orang pengeroyok lagi. Akan tetapi ia sudah mulai lelah. Pertandingan ini bukan pertandingan biasa, karena dikeroyok begitu banyak, ia boleh dibilang sama sekali tidak mendapat kesempatan mengumpulkan napas, harus bergerak terus dan memecah perhatian ke segala penjuru. Hal ini amatlah melelahkan dan wajah Dewi Suling mulai berkeringat.

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang berkata, “Ahhh, mengapa begini haus darah manusia?”

Anehnya suara itu terdengar perlahan sekali, akan tetapi dapat mengatasi semua suara bentakan dan teriakan-teriakan mereka yang sedang mengurung Dewi Suling. Kemudian mendadak terdengar suara berkerosakan pada pohon besar yang tumbuh di luar rumah itu, disusul jatuhnya ribuan lembar daun pohon, seolah-olah ada angin taufan yang mengamuk. Anehnya, hanya pohon itu saja yang menjadi korban dan lebih aneh lagi, semua daun pohon itu melayang turun ke arena pertempuran.

Tentu saja keadaan menjadi kacau. Biarpun hanya daun, akan tetapi karena amat banyaknya jadi membikin gelap keadaan di situ yang hanya diterangi oleh beberapa buah obor saja. Kekacauan dan kegelapan itu menguntungkan bagi Dewi Suling.

Dengan kepandaiannya, ia lalu membobol ke kiri terus menyelinap di antara pengeroyoknya yang untuk sementara dikacaukan oleh ribuan daun-daun yang melayang turun ke depan mata dan sekitar tubuh. Sesudah daun itu semua jatuh ke tanah serta mereka dapat melihat lagi dengan jelas, ternyata di situ sudah tidak lagi terlihat Dewi Suling. Dan dari jauh terdengar lengking suling sayup-sayup semakin jauh.

“Kejar!”

Akan tetapi mana mereka mampu mengejar? Suara suling itu makin lemah dan akhirnya lenyap! Tanda bahwa wanita itu sudah terlalu jauh pergi meninggalkan para pengejarnya. Hanya Dewi Suling dan dua orang murid Siauw-bin-mo Hap Tojin yang melihat adanya seorang pemuda pakaian putih di bawah pohon tadi.

Biarpun keadaan gelap dan mereka tak dapat melihat dengan jelas wajah orang itu, namun mereka dapat menduga tentu orang berpakaian putih itulah yang tadi mengeluarkan suara dan mengguncangkan pohon menolong Dewi Suling.

Akan tetapi baik Dewi Suling maupun Ouwyang Tek dan Gui Siong, tentu saja tidak sempat memperhatikan orang berpakaian putih karena Dewi Suling sudah cepat-cepat melarikan diri dan dua orang pemuda itu cepat-cepat melakukan pengejaran.

Ternyata Dewi Suling mempunyai ginkang yang luar biasa hebatnya. Biarpun Ouwyang Tek dan Gui Siong telah mengerahkan seluruh tenaga ginkang mereka, setelah mengejar satu jam masih juga mereka belum dapat menyusul. Akan tetapi untung bagi mereka bahwa Dewi Suling berlari sambil membunyikan sulingnya, sehingga mereka dapat menduga ke arah mana larinya wanita itu.

Ini memang menjadi ciri khas Dewi Suling yang timbul dari kesombongannya. Ia selalu datang dan pergi dengan tanda suara sulingnya. Hal ini berarti bahwa ia datang dengan berterang dan pergi meninggalkan jejak karena ia maklum bahwa tidak seorang pun akan bisa menyusul larinya!

Ouwyang Tek dan Gui Siong bukanlah orang-orang yang ceroboh. Setelah Dewi Suling berhenti berlari dan hanya berjalan kaki, mereka pun lalu berjalan pula membayangi dari jauh. Di waktu malam gelap, tidak baik menyerang musuh yang belum dikenal betul kelihaiannya.

Malah jangan-jangan mereka akan mengalami kegagalan. Maka mereka hanya mengikuti secara diam-diam dan berhenti kalau Dewi Suling duduk mengaso di bawah pohon terus bersila mengatur napas dan memulihkan tenaga.

Kemudian dua orang pemuda itu pun duduk bersila serta mengumpulkan tenaga, siap untuk bertanding melawan wanita perkasa itu apabila malam berganti pagi. Tak lama kemudian kokok ayam hutan terdengar ramai, disusul kicauan burung yang menyambut datangnya pagi.

Kegelapan malam mulai terusir dan berganti warna kekuning-kuningan menjelang pagi. Dewi Suling bangkit berdiri lalu berjalan pergi dengan langkah perlahan. Dua orang pemuda itu pun bangkit dan mengikuti dari jauh. Dewi Suling lalu memasuki hutan dan berhenti di tepi sungai kecil yang airnya sangat jernih.

Mereka khawatir kalau-kalau iblis betina itu melarikan diri dengan menyeberang sehingga sukar dikejar lagi. Ouwyang Tek dan Gui Siong lalu memberi isyarat dan keduanya segera melompat ke depan. Ouwyang Tek membentak dengan suaranya yang nyaring.

“Jalan perlahan-lahan kami hendak bicara!”

Dewi Suling membalikkan tubuhnya dengan cepat. Kekagetan pada wajahnya segera berubah menjadi sinar yang berseri-seri. Senyumnya manis sekali serta sepasang matanya melihat berganti-ganti kepada dua orang muda itu, menjelajahi seluruh tubuh mereka dari kepala sampai ke kaki. Keduanya adalah pemuda-pemuda yang tampan dan gagah, muda belia dan sukarlah dikatakan mana yang lebih ganteng.

Ouwyang Tek bertubuh tinggi besar dan kekar tegap seperti seekor harimau jantan, wajahnya membayangkan kegagahan dan kekuatan. Adapun Gui Siong berwajah tampan serta bersikap halus, mirip Gak-kongcu yang telah dibunuhnya. Dewi Suling tersenyum semakin lebar lalu menjura dengan gerakan lemah-gemulai serta berkata dengan suara halus merdu.

“Siapakah Jiwi-enghiong (Kedua Tuan Pendekar) yang gagah perkasa? Dan ada keperluan apakah menyusul serta hendak bicara dengan siauw-moi (adik)?”

Dua orang muda itu saling pandang sekilas. Kalau saja tadi mereka tidak menyaksikan dengan mata sendiri betapa wanita ini dikeroyok tentu mereka tidak bisa percaya bahwa gadis cantik jelita inilah yang disebut Setan Suling. Wanita ini sama sekali bukan seperti iblis betina, melainkan lebih patut disebut bidadari. Cantik dan manis, juga sikapnya amat halus, sopan serta menyenangkan.

Akan tetapi, sebagai dua orang muda berwatak pendekar, mereka dapat menekan perasaan hati lalu Ouwyang Tek membentak. “Tidak perlu banyak omong lagi! Kami tahu bahwa engkau adalah Cui-siauw Sianli!”

“Hi-hi-hik!” Wanita itu tertawa genit dan sikapnya memikat sekali. “Aku disebut Sianli (Dewi) oleh orang-orang kasar itu sangat menyebalkan, tetapi kalau Ji-wi yang menyebut Sianli, ah, Jiwi-enghiong, benarkah ucapan Ji-wi Kongcu, benarkah Ji-wi menganggap aku patut disebut dewi?”

Dua orang muda itu baru saja keluar dari perguruan dan menghadapi musuh seperti ini, dirayu dengan omongan halus dan sikap manis begini, mereka menjadi bingung, bulu tengkuk mereka meremang berdiri sehingga mereka saling pandang serta buat sejenak mereka tak bisa berkata-kata.

“Hi-hi-hik! Kebetulan sekali Ji-wi datang, kalau terlambat sedikit lagi tentu Siauw-moi sudah turun mandi... ah, memalukan sekali kalau begitu. Akan tetapi, setelah Ji-wi datang ke sini dan air demikian jernih, bagaimana kalau Ji-wi menemani siauw-moi untuk mandi bersama?”

“Hm, perempuan jahat! Kami datang bukan untuk bercumbu denganmu! Kami sudah tahu akan sepak terjangmu mengacau kota Ho-pak dan malam tadi melakukan pembunuhan besar-besaran di Lok-nam Po-koan!” bentak Gui Siong memecahkan keadaan yang amat tidak enak bagi mereka itu.

Andaikata mereka berdua disambut oleh serangan, maka itu tidak membingungkan. Akan tetapi kini disambut oleh senyum, kerling dan kata-kata manis merayu, ini benar-benar membuat mereka bingung serta tak tahu harus berbuat apa, sesungguhnya di dalam hati mereka sama sekali tidak tunduk oleh rayuan ini.

Dewi Suling menggerakkan kedua alisnya yang panjang dan hitam, bibirnya yang merah dan tersenyum-senyum itu mengejek, “Aha, kiranya kalian ini adalah sekutu dari It-gan Hek-hauw, si keparat yang curang? Sayang... sayang sekali, semuda ini sudah menjadi kaki tangan manusia macam It-gan...”

4.2. Rayuan Kewanitaan Dewi Suling

“Cukup!” bentak Ouwyang Tek dengan marah. “Aku Ouwyang Tek dan suteku ini Gui Siong bukanlah orang-orang macam itu! Kami sengaja datang diutus oleh Suhu untuk menangkapmu dan mengakhiri kejahatanmu. Kami sama sekali bukan sekutu siapapun juga. Kalau hanya perbuatanmu di Lok-nam Po-koan, belum tentu kami sudi turun tangan. Akan tetapi kami sudah mendengar tentang perbuatanmu yang keji terhadap pengantin laki-laki she Bhok, kemudian Gak-kongcu! Kau patut dibasmi dan lebih baik kau menyerah untuk kami bawa ke Ho-pak!”

Dewi Suling kembali tersenyum mengejek, sambil menatap wajah Ouwyang Tek yang gagah itu. “Hm... hm... Ouwyang Tek dan Gui Siong. Nama yang bagus sesuai dengan orangnya. Eh, siapa guru kalian yang begitu kejam menyuruh kalian membunuh seorang gadis yang tak berdaya seperti aku ini?”

“Guru kami adalah Siauw-bin-mo Hap Tojin!” kata Gui Siong yang tentu saja bermaksud mengecilkan hati lawan dengan nama gurunya.

“Hap Tojin?” Dewi Suling nampak kaget. “Kalau begitu mampuslah kalian!” Belum habis kata-katanya, sulingnya sudah datang menotok ke arah dada Ouwyang Tek yang berdiri paling dekat.

“Trangggg……!”

Bunga api berpijar ketika pedang Ouwyang Tek menangkis suling itu. Dewi Suling terkejut. Begitu cepatnya pemuda tinggi besar ini mencabut pedang dan menangkis sulingnya dan ketika dua senjata bertemu, ia merasa betapa telapak tangannya panas.

Maka tahulah ia bahwa ia bertemu lawan yang berat, jauh sekali bedanya dengan para pengeroyok di rumah judi tadi malam. Di lain pihak, Ouwyang Tek terkejut bukan main karena biarpun tadi ia menangkis dengan pengerahan tenaga dalamnya, tapi tangkisan ini malah membuat tangannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga nona itu hebat sekali.

“Sute, mari kita tangkap dia!” teriak Ouwyang Tek yang menerjang dengan pedangnya.

Gui Siong memang sudah menduga bahwa kepandaian wanita ini hebat sekali, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mencabut pedangnya dan menyerang dengan gerakan yang amat cepat sehingga Dewi Suling harus memutar sulingnya menangkis serangan dua batang pedang yang sama kuat dan cepatnya itu.

Pertandingan di pinggir sungai dalam hutan yang sunyi sepi di pagi hari itu hebat sekali. Segera Dewi Suling mendapat kenyataan bahwa dua orang muda itu benar-benar tangguh sekali. Terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian untuk melayani pengeroyokan mereka.

Sulingnya menjadi sinar bergulung-gulung berwarna merah yang bermain-main dan berkelebatan di antara dua sinar putih yaitu sinar pedang dua orang pemuda lawannya itu. Dewi Suling maklum bahwa melawan seorang saja di antara mereka ini pasti akan menang. Juga dikeroyok dua oleh orang-orang muda ini ia sama sekali tidak takut dan masih akan mencapai kemenangan kalau saja hatinya tidak terganggu seperti itu.

Ia merasa tidak tega untuk membunuh mereka begitu saja! Ada sesuatu dalam kepribadian dua orang pemuda ini yang membuat ia lebih ingin membelai mereka dengan kasih mesra daripada menyerang mereka dengan sulingnya. Kalau ia tidak dipengaruhi oleh rasa ini, tentu saja ia dapat mengeluarkan tipu-tipunya yang mematikan, atau menggunakan jarum-jarum merahnya. Pendeknya dari gurunya ia mengenal banyak tipu dan siasat untuk merobohkan lawan kuat. Mulailah iblis betina ini memutar otaknya mencari akal.

Tiba-tiba ia tersenyum girang. Beberapa kali ia sengaja memperlambat gerakan sulingnya dan ketika pedang di tangan Gui Siong sudah hampir mengenai tubuhnya, pemuda tampan halus itu menahan pedang! Ah, jelas bahwa pemuda tampan halus ini tidak tega melukainya! Mungkin juga jatuh cinta dan tergila-gila kepadanya.

Hatinya senang sekali, bukan hanya karena pemuda itu cinta kepadanya, juga karena perasaan pemuda ini mendatangkan akal baginya. Tentu saja ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini dan ketika pedang Ouwyang Tek mengancam ke arah lehernya, ia menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

“Trangggg……!” Pedang itu terpental dan Ouwyang Tek terhuyung mundur dua langkah.

Pada saat itu pedang Gui Siong sudah menusuk ke arah dada Dewi Suling. Wanita ini sengaja memperlambat gerakannya dan seperti tak berdaya lagi menghadapi tusukan ini yang diterimanya dengan dadanya.

“Aiii......!” Gui Siong berseru kaget dan berusaha secepatnya untuk menahan senjatanya atau menyelewengkannya. Pantangan bagi ahli silat adalah keraguan dalam pertandingan. Kesempatan inilah yang memang sengaja dipancing oleh Dewi Suling.

Keraguan dan kebingungan Gui Siong yang hanya beberapa detik ini telah ia pergunakan dengan baik. Tubuhnya mendoyong ke kiri sehingga pedang itu menusuk di pinggir kanan dadanya sedangkan sulingnya bagaikan kilat cepatnya sudah menotok pundak Gui Siong. Pemuda itu roboh tak berkutik lagi karena jalan darah kin-ceng-hiat telah tertotok secara tepat dan keras.

Ouwyang Tek marah sekali. Sambil berseru keras ia menerjang maju, pedangnya berkelebatan bagaikan seekor naga mengamuk. Namun Dewi Suling melayaninya dengan tertawa-tawa dan menggoda.

“Eh, orang gagah, mengapa kau segalak ini? Apakah kau benar-benar hendak membikin lecet kulitku yang tipis dan halus? Atau... kau hendak menusuk bagian yang ini?”

Dengan tangan kirinya Dewi Suling sengaja merenggut pakaiannya sendiri di bagian depan sehingga tampak kulit dadanya yang putih kuning tertutup pakaian dalam warna merah muda. Bagian yang membusung penuh lekuk-lengkung menggairahkan.

“Swing!” Pedang Ouwyang Tek menyambar ke arah leher dengan kemarahan yang meluap.

“Trang!” Suling merah itu sudah menangkisnya. Pertandingan terus dilanjutkan dengan amat serunya. Betapapun juga, sebagai murid seorang yang berilmu tinggi, ilmu pedang Ouwyang Tek betul-betul hebat. Tadi pun kalau saja tidak menggunakan akal, tidak mungkin Dewi Suling begitu mudahnya merobohkan Gui Siong.

Memang harus diakui bahwa tingkat kepandaian Dewi Suling lebih tinggi, di samping itu iblis betina itu mempunyai banyak akal busuk. Akan tetapi melihat sutenya roboh, Ouwyang Tek kini tidak ragu-ragu lagi untuk merobohkan serta membunuh Dewi Suling kalau perlu, tentu saja gerakan-gerakannya berbeda dengan tadi ketika ia mau menangkap hidup-hidup iblis betina ini.

Namun, makin lama makin kacaulah permainan pedang Ouwyang Tek. Musuh yang tidak tahu malu itu terus menggodanya, bukan hanya dengan kata-kata mesra dan cabul saja, tetapi juga makin lama pakaian Dewi Suling semakin terbuka lebar. Hal ini tentu saja membuat Ouwyang Tek menjadi semakin marah dan disamping itu pun mendatangkan rasa malu serta gugup.

Dia bukan seorang yang mata keranjang atau gila kecantikan, bahkan ia seorang pemuda yang belum pernah mengalami pendekatan dengan wanita. Ia tidak tertarik oleh semua itu, hanya rasa malu karena diharuskan melihat adegan yang luar biasa ini membuat ia gugup sekali.

“Ouwyang Tek... kau orang gagah... betul-betulkah hatimu sekeji itu? Kau mau membunuhku? Hi, hi, hik! Kau lihat ini... apakah kau tega menembusi dadaku dengan pedangmu itu?” Sambil berkata demikian, tangan kiri Dewi Suling merobek... dan terlepaslah pakaian dalam warna merah muda dibagian atas lalu tampaklah tubuhnya bagian atas telanjang.

Ouwyang Tek yang mukanya sudah merah seperti kepiting rebus itu, tak dapat menahan malu lagi dan untuk sedetik saja ia meramkan matanya. Namun waktu sedetik ini sudahlah cukup bagi Dewi Suling. Karena tiba-tiba pemuda perkasa ini merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi lemas lalu ia pun roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi.

“Hi, hi, hik!” Wanita itu terkekeh-kekeh genit. “Betul, tidak berkelebihan kata-kata guruku itu, bahwa harus berhati-hati kalau bertemu dengan Siauw-bin-mo Hap Tojin. Karena dua orang muridnya saja sudah begitu lihai! Sebagai murid Siauw-bin-mo Hap Tojin, kalian seharusnya kubunuh. Akan tetapi sayang, kalian begini cakap.... aku tidak tega... hi, hi, hi!”

Dewi Suling lalu membungkuk kemudian dengan kedua tangan ia lalu menyeret tubuh dua orang pemuda itu ke dekat sungai, mendudukkan tubuh mereka yang telah lemas serta menyandarkannya pada batu sungai menghadap ke air.

“Sudah aku katakan tadi bahwa aku mau mandi ketika kalian tiba. Nah, aku mau mandi dulu, kalian menanti di sini saja, ya? Baik-baiklah di sini, anak-anak manis!” lalu dengan genit ia mencubit pipi Gui Siong dan terus di depan dua pemuda itu ia melepaskan pakaiannya. Dan sengaja ia bergaya dengan gerakan-gerakan memikat, sedikit pun tidak malu-malu lagi.

Ouwyang Tek dan Gui Siong tentu saja merasa tersiksa hebat. Mereka adalah pendekar-pendekar muda berpikiran bersih. Kalau saja mereka bisa bergerak, maka mereka sudah menerjang mati-matian atau melarikan diri pergi dari situ. Tetapi mereka tidak berdaya, sebab kaki tangan mereka sudah dibuat lumpuh oleh totokan yang sangat lihai.

Mereka cuma meramkan kedua mata saja supaya tidak melihat gadis itu membuka semua pakaiannya di depan mata mereka. Setelah mereka bisa menekan perasaan serta menjernihkan hati, barulah mereka berani membuka mata serta melihat.

Kini Dewi Suling telah berdiri di depan mereka dengan telanjang. Tetapi kini mereka bisa melihatnya dengan bibir tersenyum menghina. Dewi Suling lalu turun ke dalam air, mandi di air yang jernih dan sejuk. Tetapi melihat betapa dua orang pemuda itu sama sekali tidak tertarik, ia menjadi penasaran, dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat dan berlutut dalam keadaan telanjang bulat serta badan basah semua di depan mereka.

“Kalian temani aku mandi, ya? Kalau mau menyahut. Lihat, aku tidak membunuh kalian! Tidak menyakiti pula. Aku mau bersahabat dengan kalian, mau kan?”

Kedua orang pemuda itu memang masih mampu menggerakkan kepala biarpun lemah, serta masih bisa bicara. “Siluman betina terkutuk, mampuslah kau jangan goda aku!” Ouwyang Tek membentak dengan marah sekali.

Dewi Suling tersenyum, lalu menghampiri Gui Siong„ “Kau saja, ya? Temani aku?” Lalu tubuh itu merapat, lengan yang halus seperti ular itu merayap merangkul leher. Muka yang cantik dan halus itu makin dekat dan akhirnya mencium pipi dan bibir Gui Siong. Pemuda itu hampir pingsan. Jantungnya berdebar keras. Ia meramkan kedua matanya dan menggeleng kepala keras-keras.

“Tidak...... tidak……! Pergilah...... pergilah......”

“Hi-hi-hik! Ha-ha-ha!” Dewi Suling tertawa bergelak dan terkekeh-kekeh seperti siluman, menciumi dan menciumi terus. Kemudian ia berpindah kepada Ouwyang Tek, memeluk pemuda ini, juga menciumi sepuas hati.

“Perempuan hina! Siluman kotor! Kau bunuh saja kami!” Ouwyang Tek berseru marah sekali.

Dewi Suling menjadi makin gila. Belum pernah selama ia gila laki-laki, ada seorang pria tidak roboh di bawah pengaruhnya, tidak terpesona oleh kecantikannya dan tidak mabok oleh cumbu rayu dan belaiannya. Sikap dua orang pendekar muda ini tidak menimbulkan kemarahan bahkan sebaliknya menambah gelora nafsunya, dan makin ditolak, ia menjadi makin tergila-gila dan ingin mendapatkan kasih sayang kedua orang pemuda perkasa itu.

Makin mengilar ia seperti melihat buah ranum yang menimbulkan selera namun sukar dipetik. Berganti-ganti ia membelai dua orang pemuda itu, membujuk rayu, bahkan memohon dengan suara merintih-rintih tersiksa nafsu yang bergejolak.

Namun Ouwyang Tek dan Gui Siong adalah pendekar-pendekar lahir batin. Tidak sia-sia gemblengan belasan tahun yang diberikan oleh Siauw-bin-mo Hap Tojin kepada mereka berdua. Harus diakui bahwa sebagai manusia biasa, mereka pun tidak buta dan dapat melihat betapa Dewi Suling benar-benar amat cantik molek dengan wajah manis dan menggairahkan.

Namun di balik semua keindahan ini, mata batin mereka dapat pula melihat sifat yang kotor dan keji jahat seperti iblis sendiri. Inilah yang membuat mereka kuat bertahan membalas belaian, pelukan dan ciuman Dewi Suling dengan makian-makian!

“Kalian tidak mau menemani aku mandi? Baiklah, kalau kupaksa apakah kalian juga dapat menolak?”

Dewi Suling sudah mulai marah. Sambil merangkul leher Ouwyang Tek, ia mulai menanggalkan pakaian orang muda itu.

“Heh, perempuan tak tahu malu! Sungguh menyebalkan sekali! Kami adalah laki-laki sejati, lebih baik mati daripada menuruti kehendakmu yang tidak senonoh, yang hina-dina!” Ouwyang Tek membentak-bentak.

Muka yang cantik jelita itu mulai menjadi merah padam. Sepasang mata yang bening itu mulai menjadi merah pula dengan sinar berapi-api. Namun Dewi Suling masih berusaha membujuk Gui Siong dan menanggalkan pakaian pemuda halus itu.

“Iblis betina! Kenapa kau tidak bunuh saja kami? Melihat mukamu saja sudah muak perut kami, apalagi menuruti kehendakmu yang menjijikkan. Phuhh!” Gui Siong memaki pula.

Dewi Suling kini meloncat bangun. Tubuhnya kini menggigil, bibir merah yang tadi tersenyum-senyum dan menjadi makin merah karena tadi mencumbu rayu kedua orang muda belia itu kini digigitnya. Suling merah sudah berada di tangan kanannya. Ia berdiri tegak, telanjang bulat, cantik dan indah bagaikan sebuah arca batu pualam, namun sinar matanya mengeluarkan cahaya maut.

“Kalian lebih suka mampus? Baiklah, memang akhirnya kalian pun harus mampus di tanganku! Kalian murid Siauw-bin-mo Hap Tojin, bukan? Ha, ha, ha! Memang musuh lama! Di antara gurumu dan guruku terdapat permusuhan yang hanya dapat dihabiskan dengan darah dan nyawa. Kalian tahu guruku? Guruku adalah Hek-siauw Kui-bo! Ha, ha, ha!”

Dewi Suling tertawa terbahak-bahak dan terkekeh-kekeh sedangkan dua orang muda itu saling pandang dengan muka pucat. Mengertilah mereka sekarang bahwa mereka akan mati di tangan wanita ini dan diam-diam mereka bersyukur di dalam hati bahwa mereka berdua dapat menahan bujuk rayu Dewi Suling.

Mereka tahu, bahwa andaikata mereka kena bujuk dan menuruti kehendak siluman ini mereka pun akhirnya akan terbunuh juga. Seribu kali lebih baik mati dalam keadaan bersih daripada mati bergelimang perbuatan hina dan kotor.

“Iblis betina, mau bunuh lekas bunuh, perlu apa banyak cerewet lagi?” kata lagi Ouwyang Tek.

“Gurunya seorang setan betina, tentu saja muridnya sangat keji melebihi iblis,” Gui Siong memaki.

“Lelaki keparat, mampuslah.”

Sinar merah berkelebat menyambar, kedua orang muda itu dengan hati tabah serta sedikit pun tidak merasa takut melihat saja dengan mata melotot, menanti datangnya maut sebagai seorang laki-laki sejati.

“Tak……! Aduuuuh......” Dewi Suling menjerit lirih ketika tiba-tiba suling merahnya terlepas dari cekalannya karena dibentur oleh benda yang kecil tak kelihatan dengan kekuatan luar biasa. Ia cepat melompat terus menyambar pula sulingnya yang terjatuh di atas tanah. Lalu ia memutar pula tubuhnya melihat ke arah datangnya batu kerikil yang meruntuhkan sulingnya tadi. Tapi tak tampak sesuatu. Ia merasa heran. Setankah yang telah menjatuhkan sulingnya tadi? Ia melompat lagi ke muka.

“Aduuuh…!” Kali ini kedua kakinya menjadi lumpuh seketika sehingga ia terjatuh berlutut, ternyata dua buah kerikil telah menyambar belakang lututnya. Tetapi timpukan ini hanya menjatuhkan saja, tidak melumpuhkan.

Dengan cepat ia segera bangun lagi dan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang musuh lihai. Dewi Suling cepat menyambar pakaiannya lalu dipakainya dengan tergesa-gesa. Kemudian ia melompat ke arah datangnya batu-batu kerikil tadi, yaitu ke arah sekelompok pohon yang tumbuh tidak jauh dari sungai. Namun ia tidak melihat sesuatu, bayangannya pun tidak nampak.

“Hai keparat pengecut! Keluarlah kalau kau gagah berani!” teriaknya. Namun hanya gema suaranya sendiri yang menjawab.

Dewi Suling mengerutkan kening. Jelas bahwa lawan itu pandai, tetapi kenapa tidak berani menampakkan diri? Kemudian wanita cerdik ini mendapatkan akal untuk memaksa lawannya keluar, ia lalu balik ke tempat semula dan terus menggerakkan sulingnya untuk membunuh Ouwyang Tek serta Gui Siong.

Suling merahnya menusuk ke arah dada Ouwyang Tek sedangkan tangan kirinya memukul ke arah pelipis Gui Siong. Tetapi sambil melakukan serangan maut ini, mukanya menoleh dan matanya melihat tajam ke belakang.

“Aduuuh……! Sekali lagi Dewi Suling menjerit keras karena kedua pergelangan tangannya sudah kena disambar kerikil-kerikil kecil hingga menjadi lumpuh untuk beberapa detik. Akibatnya kedua buah serangan maut itu menjadi gagal.

Akan tetapi kini ia bisa melihat bayangan putih berkelebat di antara pohon-pohon dan terlihat wajah seorang laki-laki muda yang tampan serta gagah dan sepasang matanya amat tajam. Tetapi hanya sekelebatan saja pemuda baju putih tampak, sebab telah menghilang lagi menyelinap di antara pohon-pohon yang lebat.

“Kau mau lari ke mana!” bentak Dewi Suling terus mengerahkan ginkangnya mengejar.

“Wer-wer-wer-wer…!” Banyak sekali batu beterbangan menyambar dari depan.

Wanita iblis ini cepat menggerakkan sulingnya menangkis, akan tetapi hanya beberapa kerikil saja yang berhasil ditangkisnya, selebihnya tepat mengenai jalan-jalan darah di pundak, siku, lambung, lutut dan mata kaki. Untung timpukan itu perlahan sehingga ia hanya merasa lumpuh untuk beberapa detik saja. Sedangkan tangannya yang menangkis dengan suling itu terasa panas dan sakit.

Dewi Suling melongo dan berdirilah bulu tengkuknya. Lawan ini luar biasa lihainya. Terang ia tidak berniat jahat, sebab kalau betul mau membunuhnya, dengan batu-batu kerikil itu saja ia sudah dapat merobohkannya. Dan disamping itu teringatlah ia akan pemuda baju putih yang pernah menolongnya sewaktu ia dikeroyok di depan rumah judi.

Pemuda baju putih itu telah merontokkan daun-daun pohon untuk mengacaukan kepungan para pengeroyoknya itu. Tetapi mengapa sekarang memusuhinya? Ah, betul-betulkah memusuhinya? Agaknya tidak demikian, hanya pemuda ini tidak suka melihat ia membunuh orang. Dan.... dan.... agaknya pemuda itu telah melihat pula semua perbuatannya dengan kedua pemuda tawanannya ini tadi.

Tiba-tiba muka Dewi Suling berubah menjadi merah sekali dan ia segera melompat seperti terbang pergi dari tempat itu. Hanya sayup-sayup terdengar suara sulingnya melengking panjang semakin lama semakin pelan dan akhirnya lenyap sama sekali.

Ouwyang Tek dan Gui Siong yang juga melihat berkelebatnya bayangan putih, tiba-tiba mereka merasa sesuatu melanggar pundak mereka dan seketika mereka terbebas daripada totokan! Keduanya meloncat bangun dan pertama-tama yang mereka lakukan adalah menyambar pakaian mereka dan memakainya.

Kemudian mereka memandang sekeliling yang sunyi senyap. Hanya suara burung-burung yang terdengar seperti nyanyian-nyanyian merdu diiringi bunyi air sungai gemercik.

“Sungguh berbahaya…!” Akhirnya Gui Siong berkata lirih, “Untung ada seorang sakti yang menolong kita. Entah siapa dia.”

4.3. Nasehat kakek sakti Han It Kong

Ouwyang Tek memandang sutenya. “Siapa pun dia yang telah menyelamatkan kita, Sute, peristiwa ini membuka mata kita bahwa kita masih harus belajar lagi dengan tekun sebelum terjun ke dunia persilatan. Marilah kita melapor kepada Suhu.”

Dua orang pemuda perkasa itu dengan prihatin lalu pulang ke tempat guru mereka bertapa untuk memperdalam ilmu, karena apa yang mereka alami tadi amatlah pahit, menjadi bukti bahwa ilmu kepandaian mereka masih jauh daripada memuaskan.

Hanya sebentar saja Dewi Suling merasa gentar serta takut. Setelah berlari jauh ketenangannya pulih kembali. Ia memang mengetahui bahwa bayangan putih itu hebat luar biasa kepandaiannya, tetapi jelas terbukti siapa pun adanya, bayangan putih itu tidak bermaksud membunuhnya. Hanya ia merasa menyesal tidak bisa membunuh dua orang murid Hap Tojin.

Akan tetapi kini ia telah tahu bahwa Hap Tojin tinggal tidak jauh dari kota Ho-pak dan mudahlah baginya kelak menyelidiki di mana tinggalnya musuh besarnya itu lalu turun tangan terhadap kakek itu bersama kedua muridnya.

Kalau ia teringat kepada Ouwyang Tek dan Gui Siong, ia menjadi gemas. Gemas sekali. Gurunya memberi tahu bahwa ada tiga orang musuh besar dari gurunya yaitu, pertama Hap Tojin, kedua Tho-tee-kong Liong Losu seorang hwesio. Kalau bertemu dua orang itu ia harus hati-hati tetapi tidak perlu takut sebab menurut gurunya itu, ilmu silatnya tidak kalah oleh kedua kakek itu...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.