Pendekar Cengeng Jilid 04

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo. Pendekar Cengeng Jilid 04
Sonny Ogawa

Pendekar Cengeng Jilid 04

AKAN tetapi, demikian pesan gurunya. Ia harus berhati-hati betul kalau bertemu dengan seorang kakek aneh yang bernama Han It Kong berjuluk Sin kong-ciang.

Pendekar Cengeng karya Kho Ping Hoo

“Kalau bertemu orang ini,” demikian papar gurunya, “jangan kau sembaragan turun tangan. Dia ini musuh besarku, tetapi ilmu silatnya hebat bukan main. Kau bukan tandingannya muridku. Kalau kau tahu di mana Han It Kong itu berada, lekas beritahukan padaku dan kita lalu bersama sama mengerubuti. Dengan cara ini kita bisa berharap mampu mengalahkan serta membunuhnya.”

Dan tidak diduga duganya ia lelah bertemu dengan dua orang murid Hap Tojin. Betul saja, dengan ilmu silatnya ia dapat mengatasi kedua orang itu. Tetapi bayangan putih itu, siapakah dia? Kepandaiannya seperti setan. Dewi Suling telah melupakan bayangan putih itu yang betul betul ditakutinya ketika tiga hari kemudian ia tiba di kota Ang keng. Kota ini amat besar serta ramai sebab letaknya di tepi lembab Sungai Yang-ce. Ramai didatangi kaum pedagang karena sungai besar ini merupakan alat penghubung air yang lancar serta murah.

Begitu memasuki kota ini, empat orang tinggi besar telah menyambutnya di pintu gerbang serta terus langsung menuju ke pelabuhan di mana terdapat sebuah perahu bercat Hitam yang besar. Mereka memasuki perahu ini dan duduk mengelilingi meja.

Empat orang ini adalah pembantu pembantu Dewi Suling yang berhasil membawa lari seribu tail emas dari kota Hopak tiga hari yang lalu. Peti hitam berisi emas itu dapat mereka selamatkan sampai ke An keng dan kini mereka simpan dalam perahu.

Mereka ini bukanlah orang-orang biasa karena sebelum menjadi kaki tangan Hek siauw Kui bo guru Dewi Suling, mereka dahulu terkenal sebagai bajak sungai Yang-ce Su-go (Empat Buaya Sungai Yang ce). Beberapa tahun yang lalu, mereka kesalahan tangan membajak Dewi Suling dan gurunya.

Tentu saja dengan mudah mereka ditundukkan dan semenjak itu mereka berempat menjadi kaki tengan Dewi Suling dan gurunya yang bersembunyi di dalam bukit bukit guha guha sepanjang Sungai Yang ce, tak jauh di sebelah timur An-keng.

“Nona, mengapa agak lambat sehingga kami berempat merasa bimbang dan tak enak kami menanti di sini?” Tanya seorang diantara Yang-ce Su-go yaug paling tua, bernama Song Kai.

Dewi Suling tersenyum dan memainkan kerling matanya. Empat orang tinggi besar itu adalah orang-orang kasar berusia empat puluh tahun lebih dan sudah banyak mereka mempermainkan wanita. Akan tetapi menghadapi Dewi Suling mereka berempat ini merasa kagum dan tergila gila tentu saja hanya di dalam hati karena mereka sama sekali tidak berani bersikap kurang ajar.

Setiap kali Dewi Suling tersenyun manis dan mengerling genit seperti itu, hati mereka seperti dikutik-kutik dan mereka hanya memandang dan menelan ludah. Sebagai seorang wanita yang hampir setiap malam mempermainkan pria, tentu saja Dewi Suling maklum apa makna pandang mata mereka itu. Akan tetapi mereka itu orang-orang kasar dan buruk lagi pula sudah setengah tua. Mana dia mau memperdulikan mereka?

“Paman Seng Kei, mengapa mereka tak enak hati? Apakah tidak percaya kepadaku?”

“Eh.... ah…! bukan begitu. Tidak sekali kali nona. Akan tetapi, emas ini… begini banyak sehingga kami merasa tidak aman di jalan. Bagaimana kalau ada yang mengetahui nya? Tentu akan banyak gangguan dan keributan.”

“Hemm! Kalau ada yang tahu, katakan ini milik Dewi Suling. Siapa berani ganggu?”

Song Kai menundukkan mukanya “Nona benar, hanya kami ingin lekas-lekas membawa emas ini ke istana air sehingga selesailah tugas kami.”

Dewi Suling melirik kearaah peti hitam di sudut ruangan perahu. “Kenapa kalian menantiku? Kenapa tidak langsung saja membawa emas itu ke sana?”

“Kami menanti nona, karena dari pada nona susah-susah mencari perahu dan berlayar sendiri….“

“Sudahlah, sekarang kalian lekas pergi, bawa emas itu pulang dan serahkan kepada guruku dan stttt...!”

Tiba-tiba Dewi Suling memberi tanda dengan telunjuk di depan mulut karena mendadak perahu besar itu agak bergoyang sedikit. Dengan cepat ia melompat keluar dari pintu ruangan perahu. Tidak ada apa apa di luar kamar perahu hanya jauh di seberang ia melihat bayangan berkelebat lenyap menyelinap diantara perahu perahu lain.

Seketika muka Dewi Suling menjadi pucat. Ketika empat orang pembantunya itu menyusul keluar dari dalam bilik ia cepat berkata, “Lekas, lekas kalian berangkat sekarang juga! Aku akan pergi lebih dulu!”

“Nona... tidak ikut bersama kami? Nona hendak ke mana pula...?”

Dewi Suling melotot. “Perlu apa kau bertanya tanya ke mana aku hendak pergi?”

“Eh… bukan apa apa, nona. Hanya menjaga kalau kalau Toanio (Nyonya Besar) menanyakan nona.”

“Tak usah cerewet, pergilah dan jaga baik baik peti itu.” Setelah berkata demikian, Dewi Suling meninggalkan perahu hitam dengan tergesa-gesa.

Empat orang itu saling pandang dan mengangkat pundak. Seorang diantara mereka mengomel. “Mana dia mau menghargai jasa jasa kita? Yang dicarinya tentu orang-orang muda yang tampan, Hemm, tak tahu….“

“Ssttt, sam-te (adik ketiga), jangan mengomel.” Song Kai menegur adiknya dan mereka berempat lalu sibuk bersiap siap, lalu berangkat berlayar menurutkan aliran sungai menuju ke timur.

Apa yang diomelkan Yang-ce Su-go paling muda tadi memang tidak meleset daripada kenyataan. Terhadap empat orang pembantunya itu, biarpun ia tahu akan perasaan dan kekaguman mereka, tentu Dewi Suling sama sekali tidak mau perduli. Yang dibutuhkan hanya pria pria muda belia yang tampan, bukan laki laki setengah tua dan kasar seperti bekas empat orang bajak sungai itu!

Setelah keluar dari perahu, Dewi Suling lalu memasuki kota, berkeliling sambil memasang mata. Sudah tiga hari tiga malam ia tak pernah ditemani seorang pria tampan. Kota An-keng yang besar itu tidak kurang pria pria tampan, tinggal memilih saja. Setelah berputar putar setengah harian sudah ada sepuluh orang pemuda jang diam diam dipilihnya. Malam ini ia akan mulai dengan seorang pemuda putera pemilik toko obat di sebelah barat jalan simpang empat.

Ia adalah seorang pemuda berusia tujuh belas tahun, bermata lebar serta muka bundar putih bibirnya berwarna merah tanda berbadan sehat sekali, ia akan besenang senang dengan kesepuluh pemuda pilihannya itu, lalu setelah puas, barulah ia menyusul empat orang pembantunya dan juga menemui gurunya. Tempat untuk bersenang senang itu sudah dipilihnya yaitu sebuah Kuil yang hanya dihuni oleh lima orang nikouw (pendeta wanita).

Setelah hari berganti malam, sebelum menemui putera pemilik toko obat, lebih dahulu Dewi Suling hendak mempersiapkan tempatnya, maka ia terus mendatangi kuil itu. Lima orang nikouw yang mengira bahwa tamu ini adalah seorang gadis yang akan bersembahyang, menyambutnya dengan ramah serta penuh rasa sayang.

“Omitohud…. malam-malam begini siocia (nona) mau sembahyang? Ah, tentu banyak kesusahan yang siocia dertia.....”

Nikouw kepala yang sudah tua itu tiba-tiba berdiam diri serta terkejut sewaktu tamu wanita itu yang dikiranya mau bersembahyang menolong berkah dari Sang Buddha itu tiba-tiba membentak.

“Siapa mau sembahyang? Aku akan memakai kuil kalian ini selama lima sampai sepuluh hari! Aku membutuhkan kamar yang terbesar serta terbaik, dan nanti kubayar mahal. Tetapi asalkan tak ada seorangpun yang boleh tahu bahwa kami berada di tempat ini!”

Nikouw tua itu membelalakkan matanya, merasa amat heran. Akan tetapi iu masih menjura serta berkata ramah. “Nona, pinni (aku) berlima akan merasa gembira sekali kalau dapat menolongmu. Kalau nona membutuhkan tempat beristirahat, kami persilakan memakai tempat kami. Tapi kenapa bicara soal pembayaran? Pinni berlima tidak mau menerima oang sewa, pakai sajalah kamar kami, boleh nona pilih.”

“Dan kalian bersumpah tidak akan bicara kepada orang lain bahwa aku berada disini?”

“Kalau nona berpesan begitu, tentu saja pinni berlima tidak akan berkata kepada siapapun juga mengenai diri nona.”

“Baik, kakau begitu sebentar aku kembali lagi bersama.....eh, bersama ...... suamiku.”

Lima orang nikoaw itu serentak mengeluarkan seruan kaget dan muka mereka pucat. “Omitohud.....!” Nikouw tertua mengeluh. “Hal itu sama sekali tidak bisa...! Nona tentu mengerti sendiri, kuil ini adalah tempat para pendeta wanita. Seorang laki laki tidak diperkenakan, apalagi bermalam di ini!”

Tiba-tiba kalima orang nikouw itu mengeluarkan jeritan tertahan ketika berkelebat sinar merah dan tahu-tahu tubuh mereka telah menjadi kaku di tempat mereka masing masing tadi berdiri, sama sekali tak dapat digerakkan lagi. Dan wanita cantik berpakaian merah itu kini telah mencekal sebatang suling warna merah pula yang tadi dengan kecepatan kilat telah menyambar dan menotok jalan darah mereka berlima.

“Kalian mau membantah lagi?” Dewi Suling bertanya, dengan tersenyum dingin mengejek.

Nikouw yang telah tua itu bersama keempat temannya terkejut tetapi karena mereka masih bisa bicara, maka mereka hanya bisa membaca doa saja. Kini nikouw tua itu berkata. “Sebetulnya tidak boleh..... akan tetapi pinni berlima mengenal Cui-siauw Sian-li...... pinni tak berdaya, terserah nona...”

Lalu sinar merah berkelebat pula dan kini kelima nikouw itu sudah terbebas dari totokan. “Nah, kau telah mengenalku itu bagus. Aku tidak mau membunuh nikouw nikouw, juga tidak mau merampok kuil butut ini. Aku cuma mau beristirahat satu dua pekan di sini tanpa godaan. Kalian boleh berkerja seperti biasa lalu melayani aku dan… suamiku, tetapi ngat jangan sampai seorangpun tahu aka berada di sini, mengerti?”

Lima orang nikouw itu mengangguk-angguk dengan muka pucat serta kedua tangan terangkap di depan dada mereka. “Omitohud… semoga dosa kami diampuni.”

Nikouw tua itu berdoa dengan penuh kedukaan. Nama Dewi Suling sudah terkenal di kota An keng bahkan telah menerobos dinding kuil serta terdengar oleh para nikouw ini. Sebab mereka sudah tahu akan halnya sepak terjang iblis betina itu.

Maka kini para nikouw itu telah tahu pula bahwa kuil ini mau dijadikan tempat penyembelihan bagi pemuda pemuda tampan. Tentu saja mereka merasa ngeri sekali serta ketakutan sebab mereka maklum bahwa sekali saja mereka cerita di luaran, jiwa mereka pasti melayang!


Perahu hitam besar itu berlayar cepat di sepanjang Sungai Yang ce kiang. Empat orang bekas kepala bajak Yang-ce Su-go (Empat Buaya Sungai Yang ce) duduk di dalam perahu, membiarkan anak buah mereka yang mengurus pelayanan perahu, sambil bercakap cakap dan makan minum serta membicarakan keadaan Dewi Suling dengan wajah bersungut sungut.

Mereka itu tidak tahu dan tidak menduga sama sekali bahwa tak jauh dari mereka, sebuah perahu kecil didayung seorang pemuda mengikuti perahu besar mereka. Biarpun hanya satu orang yang mendayung, namun perahu kecil ini meluncur cepat sekali, tidak pernah ketinggalan oleh perahu hitam besar yang berlayar cepat.

Pemuda ini bertubuh tinggi besar, berwajah tampan sekali dengan bentuk muka bundar, sepasang matanya bersinar tajam, namun tarikan mulut dan bentuk matanya membayangkan penderitaan hidup yang membuat wajahnya tidak bergembira. Tersalip di pingang, tertutup jubahnya tampak menyembul gagang pedang, dan menggeletak didekatnya dalam perahu terdapat sebatang tongkat rotan sebesar ibu jari kaki sepanjang satu meter.

Pemuda ini pakaiannya serba putih, kepalanya memakai topi bambu lebar sehingga mukanya selalu tertutup sebagian. Siapakah dia ini? Pemuda inilah yang merupakan bayangan putih, yang beberapa kali muncul secara diam diam dan yang telah membikin serem dan takut dari Dewi Suling yang biasanya tak megenal takut itu. Dan pemuda ini bukan lain adalah Yu Lee!

Seperti telah kita ketahui, Yu Lee merupakan satu-satunya anggauta keluarga Dewa Pedang Yu atau Ye Tiang Sin yang terbasmi habis oleh musuh besarnya, Hek-siauw Kui-bo si iblis betina yang amat kejam dan ganas. Telah diceritakan di bagian depan Yu Lee dibawa oleh kakek sakti Han It Kong dan diambil sebagai muridanya.

Lima belas tahun lamanya semenjak ia berusia delapan tahun ia digembleng oleh kakek yang berjuluk Sin kong-ciang (Tiga Sinar Sakti), dan karena anak ini memang keturunan pendekar dan bertulang baik berdarah bersih bakat nya luar biasa sekali sehingga setelah berlatih siang malam selama belasan tahun, ia telah newarisi semua ilmu kesaktian gurunya.

Bahkan telah berhasil pula menguasai dari ilmu simpanan gurunya yang membuat nama kakek ini menjulang tinggi diantara nama tokoh-tokoh dunia persilatan yaitu ilmu pukulan Sin kong-ciang-hoat (Ilmu Pukulen Sinar Sakti ) dan ilmu tongkat Ta kui-tung (Ilmu Tongkat Pemukul Setan).

“Dengan Sin kong-ciang kau tak perlu gentar menghadapi lawan bertangan kosong yang bagaimanapun juga, muridku. Juga dengan Ta-kui tung-hoat setiap potong ranting kayu dapat kau pergunakan menghadapi senjata lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi karena kau adalah cucu tunggal Dewa Pedang Yu Tiang Sin, suduh sepatutnya kalau kau dapat bermain pedang untuk menjunjung nama baik kakekmu.

"Pedangku ini sudah tua dan berkarat kau pakailah dan kau harus dapat melatih diri, menyesuaikan pedang dengan Ta-kui tung-haot. Terserah kepadamu dan tergantung dari pada ketekunan serta bakatmu apakah kau akan berhasil ataukah tidak” Demikian kata kakek sakti itu.

Yu Lee adalah orang yang semenjak kecil sudah memiliki kekerasan hati yang luar biasa berkerasnya, sehingga apa yang ada dihati nya, ia akan berusaha dengan sepenuh hati. Mendengar kata gurunya ini ia lalu tekun berlatih dan tanpa mengenal lelah sehingga akhirnya ia berhasil menciptakan ilmu tongkat Ta kui Tung hoat.

Lima belas tahun telah lewat dan kini Han It Kong telah berusia seratus tahun lebih! Ia sudah tua tetapi masih sehat dan masih kuat belum pikun, namun hatinya sudah tawar terhadap urusan dunia. Karera ia maklum bahwa muridnya harus pergi mencari Hek-siauw Kui-bo, bukan hannya menuntut balas atas kematian seluruh keluarga, tapi terutama sekali untuk membasmi Iblis ganas itu agar tidak melakukan kejahatan lagi di dunia, maka pada hari itu ia memanggil muridnya.

Yu Lee yang dapat melihat sikap gurunya bersungguh-sungguh tidak seperti biasa, lalu berlutut di depan suhunya, siap mendengar hal hal yang paling tidak menyenangkan.

“Yu Lee muridku, kini sudah tiba saatnya kau pergi meninggalkan aku. Kau harus turun gunung dan melaksanakan tugasmu… Tak perlu lagi kujelaskan karena sudah sering kau mendengar tentang tugas seorang manusia hidup harus berusaha dan mengerjakan sesuatu demi kebaikan sesama hidup berdasarkan kebenaran. Dan sesuatu yang dikerjakan itu harus sesuai dengan kepandaian.

"Seorang petani takkan dapat mengemudikan perahu dengan baik dan perahu itu akan tenggelam, sebaliknya seorang nelayan takkan dapat mengayunkan cangkul dengan baik dan sawah ladang tak mendapatkan tanaman subur. Engkau sejak kecil tekun belajar ilmu silat maka sudah menjadi kewajibanmu untuk menyesuaikan kepandaianmu guna kebaikan masyarakat. Engkau harus selalu mempergunakan kepandaianmu untuk menentang si jahat dan melindungi si lemah.

"Tentang Hek siauw Kui bo, engkau engkau sudah cukup mengerti bagaimana harus menghadapinya. Ingat yang membasmi keluargamu hanya Hek siauw Kui bo seorang kalau dia punya murid atau kawan-kawan mereka tidak ikut ikut dan kau tidak boleh turun tangan membunuh secara serampangan saja. Kewajibanmu menentang kejahatan, bukan membunuh orang seperti algojo! Mengertikah?!”

“Teecu mengerti, den bersumpah akan mentaati semua pesan suhu.”

“Nah, baiklah kalau begitu. Kau pergilah, dan aku melarangmu naik ke puncak ini mencariku lagi karena aku tidak mau lagi bertemu dengan manusia.”

“Tapi, suhu...!” Yu Lee memprotes dan tanpa disengaja kedua matanya mengucurkan air mata yang menitik nitik turun melalui kedua pipinya.

Han It Kong yang duduk bersila di atas batu itu jadi menarik napas panjang dan memejamkan matanya. “Aaahhh... kau masih saja cengeng tak pernah lenyap sejak kecil. Yu Lee, kehalusan perasaanmu yang membuatmu cengeng inilah agaknya yang kelak akan mengombang-ambingkan engkau antara suka dan duka. Baiklah, kau boleh naik ke puncak ini menghadapku pada saat engkau sudah bosan hidup, boleh kau datang ke sini. Pergilah!”

Yu Lee masih bercucuran air mata ketika ia berlutut dan mengangguk anggukkan kepala sampai delapan kali di depan kaki gurunya. Kemudian sambil menyusuti air matanya, pemuda ini meninggalkan guha di puncak Tapie-san di mana ia hidup selama lima belas tahun itu. Tangan kanannya memegang sebatang rotan yang biasa ia pakai berlatih, pedang pemberian gurunya terselip di pinggang dan buntalan pakaiannya menempel di punggung.

Pada waktu ia turun gunung dan sampai di kota Hopak, secara kebetulan sekali ia menyaksikan Dewi Suling yang dikeroyok oleh jagoan jagoan anak buah Gak Taijin. Yu Lee tidak tahu apa yang menyebabkan gadis cantik pakaian merah itu dikeroyok banyak orang akan tetapi diam-diam ia merasa kagum akan kepandaian wanita muda itu. Juga ia merasa ngeri menyaksikan sepak terjang wanita itu yang merobohkan banyak orang.

Ia dapat memperhitungkan dengan melihat jalannya pertandingan bahwa kalau pengeroyokan itu dilanjutkan akan lebih banyak lagi jatuh korban di antara para pengeroyok sungguhpun wanita itu belum tentu akan dapat menyelamatkan diri. Karena inilah maka untuk mencegah agar jangan sampai jatuh lebih banyak korban lagi.

Yu Lee lalu menggunakan tenaga sinkang di tangannya, mendorong ke arah pohon besar di dekat situ sehingga daun daun itu rontok menggelapkan gelanggang pertandingan dan karena ini maka Dewi Suling mendapat kesempatan melarikan diri bebas daripada kepungan yang ketat.

Yu Lee adalah seorang yang amat berhati-hati dan selalu ia teringat akan nasihat gurunya agar ia jangan terlalu sembrono dalam segala tindakannya. Kalau tadi ia lancang turun tangan, tidak lain maksudnya hanya antuk membubarkan pertandingan itu, sama sekail hatinya tidak berfihak siapapun juga karena ia tidak tahu akan urusannya!

Akan tetapi setelah ia berhasil menghentikan pertandingan matanya yang tajam dapat melihat berkelebat nya dua bayangan orang muda yang diam diam membayangi gadis muda pakaian merah itu. Timbul kecurigaannya dan diam diam iapun membayangi mereka!

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Yu Lee ketika ia menyaksikan adegan antara Dewi Suling dan dua orang muda murid Hap Tojin yang gagah perkasa. Ia merasa kecelik dan merasa menyesal sekali telah membantu wanita yang amat cabul dan jahat itu, dan berbareng ia merasa kagum sekali kepada Ouw yang Tok dan Gui Siong. Ia pernah mendengar dari suhunya bahwa sekarang amat sukar dicari orang-orang yang semulut sehati membela kebenaran dan keadilan, yang benar-benar berjiwa pendekar dan kesatria.

Akan tetapi kini ia benar benar menyaksikan sikap yang amat mengagumkan dari dua orang pemuda perkasa itu. Terbayanglah dalam ingatannya wajah Siauw bin-mo Hap Tojin, tosu yang selalu tertawa-tawa, siauw bin-mo Hap Tojin adalah sahabat baik mendiang kakeknya, bahkan Siauw bin mo Hap Tojin bersama Tho tee-kong Liong Losu telah membantu keluarganya ketika muncul Hek siauw Kui bo. Sungguhpun kedua orang Kakek itu akhirnya kalah namun ia tidak dapat melupäkan budi mereka yang amat besar terhadap keluarganya.

Tentu saja ia tidak dapat membiarkan Dewi Suling membunuh dua orang muda perkasa itu maka ia pun cepat turun tangan mempergunakan kerikil untuk memukul mundur Dewi Suling dan untuk membebaskan Ouw yang Tek dan Gui Siong dari pada totokan. Ia terus membayangi Dewi Suling dari jauh dan ia melihat pula betapa Dewi Suling menghubungi Yang-ce Su-go.

Sementara itu di kota An-keng ia segera melakukan penyelidikan tantang Dewi Suling. Tidak mudah bagi pemuda ini untuk mencari keterangan perihal Dewi Süling karena semua orang takut belaka untuk menyebut nama ini. Akan tetapi akhirnya ada pula yang bercerita kepadanya. Bukan main kaget hanya mendengar berita tentang diri Dewi Suling yang cabul dan jahat, pembunuh pemuda pemuda tampan yang telah dipermainkannya.

Lebih kaget lagi dan juga girang hatinya ketika mendengar gadis cabul itu adalah murid dari Hek-siauw Kui-bo! Karena tidak seorangpun dapat menerangkan di mana adanya Hek-siauw Kui-bo, maka Yu Lee lalu mengambil keputusan untuk membayangi pelayaran, Yang-ce Su-go, pembantu pembantu Dewi Suling yang pergi membawa peti hitam berisi uang kemenangan berjudi di Ho-pak.

Ia tak memperdulikan lagi Dewi Suling karena bukan gadis cabul itulah yang dicarinya. Ia hanya akan mencari Hek siuw Kui ho, musuh besar, iblis betina yang telah membunuh sekeluarganya secara keji sekali. Teringat akan peristiwa lima belas tahun yang lalu. Yu Lee menangis tersedu-sedu di atas perahunya ketika malam hari itu ia mengikuti pelayaran perahu besar hitam yang di tumpangi oleh Yang-ce Su-go dan anak buahnya.

Merjelang pagi, ketika cahaya matahari yang kemerahan telah muncul mendahului sang surya, menerangi udara di sebelah timur, perahu hitam itu berhenti di tepi sungai sebelah kanan. Tempat itu adalah sebuah hutan yang tanahnya amat subur. Dari jauh saja sudah tampak gerombolan pohon pohon raksasa memenuhi lembah sungai, dan tampak pula pohon pohon kembang beraneka warna.

Sungai di bagian ini amat lebar dan agaknya amat dalam, terbukti dari adanya pusaran air di pinggir sebelah selatan atau sebelah kanan ada banyak bunga teratai. Di bagian ini sungai mengalir perlahan sekali hampir tidak terlihat alirannya, seperti air telaca. Dan di antara pohon pohon raksasa itu, samar samar tampak tembok genteng sebuah bangunan besar dan indah seperti istana!

Bangunan itulah yang disebut Istana Air, sebuah bangunan besar mewah semacam istana. Di tempat inilah selama belasan tahun Hek siauw Kui bo mengundurkan diri lalu mendidik Cui-siauw Sian-li Ma Ji Nio dengan ilmu ilmu silat yang tinggi.

Agaknya karena cita-citanya di waktu muda untuk menjadi seorang berpengaruh serta berkedudukan tinggi disamping suami pangeran tidak tercapai, kini Hek-siauw Kui-bo ingin bermimpi menjadi “ratu” di dalam istana itu, dilayani oleh banyak pelayan wanita-wanita cantik dan pemuda pemuda tampan.

Bagi seorang berilmu tinggi seperti Hek siauw Kui bo, bukanlah hal yang sulit untuk membiayai semua kehidupan royal ini, karena dengan kepandaiannya itu mudah baginya untuk mengangkuti harta benda orang-orang kaya. Sebagai pencuri atau merampok barang kiriman. Tidak ada perbuatan maksiat yang diharamkan oleh iblis betina ini.

Yu Lee yang membyangi perahu hitam dari jauh melihat betapa perahu hitam itu berhenti di tepi sungai sebelah selatan, iapun cepat minggirkan perahu kecilnya, kemudian meloncat ke darat dan mengikat perahu kecil pada sebatang pohon di tepi sungai itu sudah melihat samar-samar bangunan besar indah di tengah hutan di tepi sungai itu, dan dapat menduga bahwa musuh besar yang membasmi keluarganya tentu berada di tempat itu.

Dengan cepat namun hati-hati ia lalu menyelinap di antara pohon pohon menghampiri Istana Air. Gerakan pemuda ini amat cepat sehingga andaikata ada orang melihatnya pada saat itu yang tampak hanya berkelebat bayang-bayang putih saja.

Apalagi pada saat itu matahari belum menampakkan diri, baru cahaya kemerahan sebagai utusan atau pelapor sang raja siang, sehingga keadaan di dalam hutan yang terlindung daun daun lebat itu masih gelap.

Sementara itu keempat Yang-ce Su-go sudah mendarat dan mengangkut peti hitam terisi emas masuk ke dalam gedung istana. Para penjaga pintu depan dan tengah yang sudah mengenal baik empat orang kepala bajak ini, memberi hormat dan mempersilakan mereka masuk.

“Toanio masih tidur silakan cuwi menanti di ruang tengah,” kata pelayan kepala, seorang laki-laki tua berjenggot putih.

Empat orang kepala bajak itu mengenal pula kepada pelayan ini yang bukan orang sembarangan, melainkan seorang bekas tokoh kangouw yang berilmu tinggi dan dipercaya menjadi pelayan kepala oleh Hek-siauw Kui-bo.

Mereka mengucapkan terima kasih lalu menanti di ruang tamu dimana keadaannya amat meyenangkan ruangannya lebar, terdapat bangku bangku bertilam kasur, terhias lukisan lukisan indah dan bau kembang semerbak harum memasuki ruangan itu dari jendela jendela besar berhentuk bulan purnama.

Setelah menanti agak lama dan cukup beristirahat di ruang tamu itu, akhirnya Yang-ce Su-go bangkit dan cepat-cepat duduk dengan sopan ketika didengar pelayan kepala memberitahu bahwa Toanio (nyonya besar) sudah siap menerima mereka. Dua diantara mereka menggotong peti hitam dan yang dua orang lagi berjalan di belakang mereka, lalu berempat memasuki ruangan dalam.

Seorang wanita berpakaian serba hitam duduk di ruangan dalam yang keadaannya lebih mewah daripada ruangan tamu. Kursi yang diduduki wanita itu terbuat daripada perak sehingga pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu kelihatan menyolok sekali. Wanita ini sukar ditaksir usianya.

Rambutnya sudah berwarna dua, namun di gelung rapih dan bagus, berkilat karena minyak. Wajahnya tidak setua rambutnya, masih kemerahan dan halus kulitnya, dan amat cantik. Matanya tajam dan bengis, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan pengabdi nafsu birahi. Pakaian sutera itu tipis sekali, membayangkan bentuk tubuh yang masih padat berisi.

Kalau orang mengerti bahwa Hek-siauw Kui-bo ini sudah berusia enam puluh tahun, tentu ia akan terheran-heran karena wanita yang menurut usianya sudah harus nenek-nenek ini masih memiliki daya tarik dan daya rangsang yang cukup kuat untuk merobohkan hati seorang pria muda!

Yang-ce Su-go serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu. Seorang diantara mereka yang tertua berkata, “Kami empat saudara Song memenuhi perintah Ma-siocia (nona Ma) untuk mengantarkan emas ini dan menghaturkannya kepada Toanio.”

Setelah berkata demikian, Song Kai, orang tertua dari Yang-ce Su-go lalu membuka peti hitam. Tampaklah uang emas berkilauan tertimpa sinar lampu yang menerangi ruangan itu. Melihat peti hitam yang berisi penuh uang emas itu, bibir Hek siauw Kui bo terbuka sedikit tersenyum dan tampillah giginya yang putih dan masih utuh, berderet rata. Benar benar mengherankan sekali keadaan jasmani wanita ini, sudah tua masih cantik dan gigi mata telinganya masih dalam keadaan baik dan kuat.

“Eh darimana Ji Nio bisa mendapatkan semua ini? Tentu tidak kurang dari seribu tail...”

“Tepat seribu tail tidak kurang sedikitpun, Toanio.” kata Song Kai yang lalu menceritakan kemenangan Ma Ji Nio atau Dewi Suling dalam perjudian di Hopak melawan. It-gan Hek-houw, kemudian betapa Dewi Suling dikeroyok dan selain berhasil menewaskan It-gan Hek-houw dan banyak orang, juga berhasil lolos.

“Ma Siocia sudah menyusul kami di An-keng akan tetapi menyuruh kami menghadap Toanio lebih dulu membawa peti ini, sedangkan siocia sendiri katanya hendak berpesiar di An-Keng beberapa hari.”

Kembali Hek-siauw Kui-bo tertawa, “Ah, muridku itu benar-benar terlalu berani dan gegabah. Untung ia tidak mengalami cedera dalam keributan itu dan hasilnya lumayan. Dan ia terlalu mengejar kesenangan…” ia berhenti sebentar kemudian menarik napas panjang dan menyambung, “…ah, begitulah kalau masih muda.......!”

Ia termenung dan teringat akan masa mudanya. Seperti juga muridnya, ia selalu menuruti dorongan nafsunya, tiada yang menghalangi tiada yang merintangi, berenang dalam lautan kesenangan. Sekarang ia masih tak dapat menghentikan kesenangan yang sudah mencandu di darah dagingnya, namun semangatnya sudah berkurang tidak sepenuh di masa mudanya.

Kembali ia menarik napas panjang dan diam diam ia mengiri kepada muridnya yang muda dan cantik sehingga tidak sukar mendapatkan pria pria tampan dan gagah yang akan datang dengan sukarela dan cintakasih. Diapun dapat menaklukan pria muda yang bagaimanapun, namun untuk mendapatkan cintakasih mereka tidak akan semudah ketika ia masih muda dahulu.

“He, Cun Sam….! Cun Sam...!!” Wanita itu bertepuk tangan dan memanggil pelayan kepala.

Muncullah pelayan kepala yang jenggotnya panjang putih itu. Agak janggal dan aneh melihat wanita yang masih cantik dan muda itu memanggil seorang kakek berjenggot panjang putih seperti itu. Akan tetapi sesungguhnya Hek siauw Kui bo tidaklah lebih muda dari pada pelayan kepala itu.

Dia ini bernama Ngo Cun Sam, seorang ahli ilmu silat dan gulat dari barat. Di masa mudanya Ngo Cun Sam ini adalah seorang yang tampan dan gagah juga, maka pernah ia mendapat kehormatan dipilih oleh Hek siauw Kui bo sebagai kekasih untuk beberapa malam. Dan agaknya mengingat akan hubungan yang pernah ada ini, juga mengingat bahwa ilmu kepandaian Ngo Cun Sam boleh diandalkan maka ketika Hek siauw Kui bo menjadi “ratu” di Istana Air, ia memanggil bekas kekasih ini untuk menjadi pelayan kepala merangkap pengawal pribadi.

“Cun Sam, kau bawa dan simpan peti hitam ini ke dalam kamar!” kata pula Hek siauw Kui bo.

Ngo Cun Sam mengangguk dan melangkah lebar menghampiri peti hitam, kemudian sekali kakinya bergerak, peti hitam itu sudah mencelat ke atas dan tangan kirinya menerima peti itu dengan telapak tangan di atas, menyangga dengan sikap ringan sekali.

Diam-diam keempat Yang-ce Su-go kagum bukan main. Memang setiap orang diantara mereka berempat akan sanggup mengangkat peti hitam itu akan tetapi tidak secara yang dilakukan Ngo Cun Sam. Jelas bahwa lweekang yang dimiliki Ngo Cun Sam jauh lebih kuat daripada mereka.

Pada saat Ngo Cun Sam hendak melangkah keluar dari ruangaa itu, tiba-tiba berkelebat bayangan putih telah berdiri di ambang pintu sikapnya keren dan gagah. Sepasang matanya menatap wajah Hek siauw Kui bo dengan sinar berapi.

“Hek siauw Kui bo! Masih ingatkah engkau kepadaku?” Suara pemuda yang bukan lain orang adalah Yu Lee itu halus dan tergetar penuh keharuan melihat musuh besarnya ternyata masih hidup dan saat pembalasan yang diidam idamkan selama lima belas tahun itu sudah berada di depan mata.

Ngo Cun Sam dan Yang-ce Su-go terkejut dan marah sekali menganggap betapa sikap pemuda ini kurang ajar dan tidak hormat kepada junjungan mereka.

Akan tetapi Hek siauw Kui bo sendiri tidak menjadi marah, melainkan tersenyum dan wajahnya menjadi makin muda kalau ia tersenyum lebar seperti itu. Sinar matanya lembut dan keningnya berkerut ketika ia mengingat-ingat.

Sebagai seorang tokoh besar yang sudah banyak pengalaman dan berpandangan tajam, Hek siauw Kui bo dapat mengenal orang pandai. Pemuda tampan ini biarpun masih muda, namun memiliki sinar mata yang tajam, dan sikap yang begitu tenang seperti air telaga dalam. Pemuda macam ini bukanlah pemuda sembarangan.

“Orang muda, terlalu banyak pemuda tampan dan orang gagah yang kukenal dalam hidupku, maka maafkan kalau aku lupa lagi siapa engkau ini?”

Yu Lee tersenyum pahit, “Jawabanmu tepat sekali dengan dugananku. Hek siauw Kui bo. Belasan tahun lewat dan kau tidak berubah! Hanya rambutmu yang sudah berubah putih akan tetapi hatimu makin hitam, iblis betina, kau rabalah tengkukmu dan engkau akan teringat kepadaku.”

“Jahanam muda, lancang mulutmu!” Bentakan ini keluar dari mulut Ngo Cun Sam yang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Hek siauw Kui bo adalah bekas kekasihnya yang masih dicintainya, juga majikan dan junjungannya yang dihormati dan dikagumi kepandaiannya. Sekarang bocah ini datang datang mengeluarkan ucapan dan makian yang sangat menghina! Setelah mengeluarkan bentakkan itu, peti hitam yang masih tersimpan di tangan kirinya, ia lontarkan dengan tenaga sekuatnya ke arah tubuh Yu Lee!

“Wuuuutttt!!” Peti hitam itu meluncur cepat ke arah kepala Yu Lee. Isi peti itu beratnya seratus dua puluh lima kati ditambah berat peti itu sendiri tentu tidak kurang dari seratus lima puluh kati. Kini dilontarkan dengan seorang ahli lweekeh seperti Ngo Cun Sam, benar-benar merupakan serangan dahsyat dan berbahaya. Dinding bata sekalipun akan ambruk dihantam lontaran peti ini, apalagi kepala dan tubuh manusia biasa!

Yu Lee juga maklum akan bahayanya serangan ini namun dengan amat tenang ia menggerakkan tongkat rotan di tangan kanannya, menyambut datangnya peti yang sudah menjadi bayangan hitam menyambarnya itu. Begitu ujung rotan menyentuh tengah peti, ia mengerahkan ginkang dengan tiba-tiba menyentakkan tongkatnya berjungkir ke atas dan.... peti hitam itu terbawa melayang ke atas dan kini berputaran cepat di atas ujung rotan!

Rotan yang hanya sebesar ibu jari kaki itu membal-membal seperti mau patah, namun ternyata tidak patah dan gerakan pergelangan tangau Yu Lee itulah yang penuh tenaga sinkang menyebabkan peti itu seperti permainan seorang akrobat. Kemudian ia berseru halus.

“Terimalah kembali!” Ia menggerakkan tangan dan peti hitam itu melayang ke arah Ngo Cun Sam dalam keadaan masih berputaran!

“Cun Sam jangan terima....! Hek siauw Kui bo berseru kaget karena maklum akan bahayanya menerima lontaran peti hitam yang berputar seperti itu.

Namun terlambat karena dalam kemarahannya Ngo Cun Sam kurang perhitungan dan sambil mengarahkan lweekang, ia menyambut peti hitam yang melayang ke arahnya itu. Begitu peti berada dikedua tangannya ia kaget sekali karena tubuhnya ikut terseret berputaran! Ia tentu bisa roboh dan terancam bahaya tertimpa peti. Tetapi untung baginya sewaktu ia berputaran tubuhnya lewat di dekat Yang-ce Su-go.

Melihat tubuh pelayan kepala itu berputaran, Song Kai serta Song Leng pun maju menahan dengan memegangi lengan Ngo cun Sim dari kanan kiri. Akibatnya, tubuh tiga orang itu terhuyung dan hampir roboh, tetapi tenaga putaran yang tadi menyeret tubuh Ngo Cun Sam bisa tertahan.

Keringat dingin mengucur di tubuh Ngo Cun Sam ketika ia menaruh peti hitam ke atas lantai. Yang-ce Su-go yang tidak mau kalah dalam hal mencari muka di depan Hek siauw Kui Bo, telah mencabut golok masing masing terus meloncat maju mengurung Yu Lee.

Melihat gerakan empat orang anak buahnya ini, Hek siauw Kui bo tidak mencegah. Tadi ketika ia mendengar ucapan Yu Lee, tanpa disadari lagi tangannya meraba raba tengkuknya dan kebetulan jari-jarinya itu yang berkulit halus meraba bekas luka kecil di tengkuk itu.

Mukanya seketika itu berubah pucat. Sebab luka kecil ini mengingatkan ia kepada semua peristiwa yang terjadi lima belas tahun yang lalu. Kini teringatlah ia wajah seorang anak laki-laki berusia delapan tahun yang dulu pernah merangkul leher serta menggigit tengkuknya, yaitu cucu Dewa Pedang Yu Tiang Sin!

Satu satunya keturunan Yu Tiang Sin yang lolos dari tangan mautnya! Anak yang ditolong oleh Sin kong-ciang Han It Kong. Dan ternyata anak ini setelah menjadi seorang pemuda perkasa, datang mencarinya. Mudah di duga apa kehendaknya, tentu mau membalas dendam, Hek siauw Koi bo jadi bengong, biarpun ia tidak merasa takut, namun teringat kepada Han It Kong ia merasa ngeri juga.

Itulah sebabnya mengapa Hek siauw Kui bo yang biasanya tidak suka mengandalkan bantuan anak buahnya dalam menghadapi musuh, kini membiarkan saja Yang-ce Su-go mewakilinya melawan pemuda itu karena mau mengukur sampai di mana ilmu silat cucu Yu Tiang Sin yang ia tahu pasti tak akan mau hidup bersama dia di atas bumi ini.

Yang-ce Su-go juga bukan orang-orang sembarangan. Mereka adalah bekas kepala kepala bajak sungai yang sudah mempunyai pengalaman bertempur puluhan tahun. Golok yang mereka pegang seolah olah sudah mendarah daging di tangan mereka serta telah minum darah beberapa ratus musuh.

Mereka telah dapat menduga bahwa pemuda berpakaian putih itu bukan orang sembarangan dan tentu murid orang pandai, namun tentu saja mereka tidak takut, bahkan dapat memastikan kalau mereka berempat maju berbareng sudah sudah pasti akan dapat merobohkan pemuda ini. Merasa bukan orang bodoh dan tanpa adanya keyakinan ini, mereka pun tidak akan mau mengorbankan diri.

Betapapun juga, Seng Kai yang dapat menduga bahwa lawannya yang muda itu cukup lihai, segera memberi tanda rahasia kepada adik adiknya dan serentak mereka melakukan serangan secara berbareng, atau setidaknya, serangan mereka itu sambung menyambung secara otomatis sehingga andaikata lawan mengelak dari serangan golok pertama tentu ia akan disambut golok kedua dan seterusnya.

Betapapun pandai dan gesit gerakan lawan, menghadapi sambaran golok dari empat jurusan yang sambung menyambung dan menutup “pintu” di empat penjuru ini, kiranya tidak akan mudah membebaskan diri.

Namun Yu Lee sama sekali tidak mengelak ketika menghadapi serangan ganda yang serentak datangnya ini. Hanya nampak tangannya yang memegang tongkat rotan bergerak cepat sekali sehingga sukar diikuti pandangan mata, begitu cepatnya sehingga mata keempat orang pengeroyoknya menjadi silau tertutup sinar kuning yang bergulung gulung.

Trang trang trang! Tahu tahu empat batang golok itu telah terlepas dari tangan, lalu mencelat dan jatuh berkerontengan di atas lantai. Keempat orang Yang-ce Su-go yang selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti ini, mencekali tangan kanannya yang tertotok lumpuh, lalu sebelum mereka tahu apa yang terjadi, mereka berteriak susul menyusul terus jatuh berlutut karena tahu-tahu lutut merekapun lumpuh!

Hek siauw Kui bo terkejut bukan main. Memang ia tahu bahwa ilmu silat Yang-ce Su-go tidaklah bisa diandalkan, namun mereka itu adalah jago-jago tua berpengalaman luas. Dengan cara bagaimana bisa dirobohkan begitu mudahnya oleh pemuda itu? Ia bisa melihat gerakan tongkat rotan yang bergetar menjadi banyak sekali.

Lalu secara berturut turut telah menyambar secepat kilat mendahului gerakan Yang-ce Su-go, menotok pergelangan tangan keempat orang itu yang memegang golok sehingga terlepas, kemudian memakai kesempatan selagi keempat orang itu kaget memegangi tangan kanan, ujung rotan dudah menotok jalan darah di dekat lutut sehingga tak dapat dicegah Yang-ce Su-go jatuh berlutut di depan si pemuda sakti!

Akan tetapi ternyata totokan totokan itu hanya membuat empat orang jago bajak sungai itu lumpuh buat beberapa detik saja. Mereka kini sadar akan situasi dan cepat melompat bangun dengan muka merah saking malu dan marahnya.

“Setan cilik, kau sudah bosan hidup .....!” Bentak Song Kai yang sudah maju lagi siap bertempur.

“Cuwi harap mundur, biarkan aku menghadapi bocah ini!” Suara ini keluar dari mulut Ngo Cun Sam.

Dan karena maklum akan kelihaian si pelayan kepala, serta takut kepada Hek siauw Kui bo yang rupanya membenarkan permintaan Ngo Cun Sam sebab diam saja, lalu empat orang bekas kepala bajak itu mundur dan berdiri di pinggir dengan muka keruh. Kali ini mereka benar benar kehilangan muka di depan majikan mereka, ini membuktikan bahwa mereka kurang bisa diandalkan.

Ngo Cun Sam memiliki ilmu silat yang melebihi Yang-ce Su-go tingkatnya. Biarpun pertandingan tadi cuma segebrakan saja, namun dia mengerti bahwa pemuda itu memiliki ilmu tongkat yang amat luar biasa serta sukar dilawan. Sebab itu, dengan licik ia lalu berkata sambil tersenyum mengejek,

“Anak muda, kepandaian mu boleh juga Akan tetapi rupanya masih belum pantas untuk dilayani oleh majikanku, sebelum engkau bisa mengalahkan aku, pelayan kepala dalam istana ini. Di dalam pertempuran aku tidak biasa memakai senjata, aku Ngo Cun Sam kemana mana cukup mengandalkan kedua tangan serta kedua kaki. Engkau telah menantang toanio, beranikah melawn aku tanpa senjata?” sambil berkata demikian Ngo Cun Sam melangkah maju.

Waktu mendekati Yu Lee, Ngo Cun Sam melalui empat batang golok yang tergeletak di atas lantai. Lalu sengaja ia menginjak golok golok itu dan terdengarlah suara “tak tak tak!” ketika empat batang golok itu terinjak, ternyata empat batang golok itu telah patah patah oleh injakan kedua kakinya!

Ngo Cun Sam memang cerdik. Ia sengaja mendemonstrasikan tenaga lweekangnya yang hebat. Jika orang muda itu menjadi gentar bertanding melawannya dengan tangan kosong setelah menyaksikan demonstrasinya, maka hal itu tentu akan merendahkan dan memalukan pemuda itu dan dengan demikian berarti satu kemenangan bagi fihaknya.

Sebaliknya kalau pemuda itu menerima tantangannya, ia yakin bahwa biarpun dalam ilmu silat belum tentu ia dapat menangkan si pemuda lihai, namun ia dapat mengandalkan ilmu gulatnya yang hehat untuk mengalahkan lawannya.

Biarpun belum berpengalaman, namun sebagai murid seorang sakti yang berpandangan luas seperti Sin kong ciang Han It Kong yang tidak hanya mendidik Yu Lee dengan ilmu silat, melainkan juga dengan nasehat-nasehat dan kebatinan. Yu Lee dapat menduga bahwa lawannya sengaja memancingnya mengadakan pertandingan tanpa senjata.

Ia menduga bahwa lawannya yang berjenggot putih ini tahu akan kelihaian ilmu tongkatnya dan menjadi gentar, maka sengaja menantang bertanding dengan tangan kosong. Melihat cara kakek ini tadi melontarkan peti hitam, kemudian sekarang sekali injak mematahkan golok di lantai jelas menunjukan bahwa orang ini memiliki lweekang yang amat kuat.

Sambil tersenyum Yu Lee mengangkat rotannya dengan memegang depan. Ia menoleh ke arah Hek siauw Kui bo lalu berkata, “Hek siauw Kui bo engkau tahu bahwa kedatanganku ini untuk menuntut balas. Aku bukanlah iblis macam engkau yang dalam urusan dendam terhadap kakekku lalu membasmi semua keluargaku. Tidak, aku tidak bermaksud memusuhi lain orang, baik anak buahmu, murid-muridmu maupun keluargamu. Aku hanya datang untuk menandingimu seorang.

"Akan tetapi kalau engkau begini pengecut untuk mengajukan orang-orangmu, jangan mengira aku akan mundur dan takut. Ngo Cun Sam aku tidak mengenalmu, tidak punya urusan denganmu akan tetapi karena engkau hendak maju mewakili nyonya besarmu, silakan. Lihat, akupun bertangan kosong!”

Sikap pemuda itu yang tenang membuat Ngo Cun Sam gentar juga. Kalau tidak memiliki ilmu kepandaian amat tinggi tak mungkin pemuda itu dapat bersikap begitu tenang menghadapinya selelah ia mendemonstrasikan tenaganya, ia menjadi hati-hati dan berkata, “Orang muda, kau sebagai tamu dan lebih muda, kau buka seranganmu!”

Yu Lee juga maklum bahwa jika dua orang ahli silat tinggi sudah saling berhadapan dan siap sedia, maka dia yang menyerang duluan menjadi lemah kedudukannya. Namun ia tak perduli karena dari lontaran peti hitam tadi, sedikit banyak ia sudah bisa mengukur tenaga lawan serta tidak perlu khawatir. Lalu ia berseru.

“Kau sambutlah!” ia melangkah maju lalu memukul dada dengan tinju kanannya. Jurus yang ia pergunakan biasa saja, pukulannya tidak terlalu keras namun mengandung hawa pukulan yang antep. Ia hanya mengisi lengannya dengan sinkang untuk menjaga tangkisan lawan.

Benar saja seperti dugaannya, kakek itu menangkis dan Yu Lee telah memusatkan tenaga agar dalam benturan dua tenaga raksasa ini tak akan merugikannya. Tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba lengan kakek itu setelah bertemu dengan lengannya, menjadi licin dan tahu-tahu berbalik cepat menangkap lengannya.

Sewaktu Yu Lee mau menarik pulang tangannya, tiba-tiba tubuh kakek itu membalik dan membungkuk lalu sebuah tenaga yang kuat sekali melemparkannya keatas, pemuda itu melayang keatas seperti akan terbanting pada langit-langit. Dengan gerakan cepat sekali, ia menumbuk di depan.

Ia menggunakan tangan dan kaki pada langit-langit seperti seekor cecak, kemudian mendorong langit-langit sambil berjungkir balik ke bawah, ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang ia perlihatkan ini amat indah dan hebat sehingga Ngo Cen Sam yang tadinya girang kini menjadi kecewa.

Mereka sudah berhadapan lagi. Yu Lee mengerutkan kening. Kakek ini mempunyai ilmu yang aneh. Ilmu menangkap itu adalah semacam Eng jiauw kang (Ilmu Cakar Garuda), akan tetapi ilmu melontarkan itu benar benar hebat dan aneh. Belum pernah ia mendengar ilmu seperti itu. Saking herannya Yu Lee menjadi tertarik sekali. Dalam gebrakan pertama tadi, hampir saja ia celaka. Kalau tidak memiliki ginkang tinggi tentu tubuhnya tadi sudah terluka.

Ia kagum akan ilmu tangkap dan lontar yang aneh ini, semacam ilmu gulat yang belum pernah dilihat maka ia ingin mencoba lagi. Betapapun juga ia sudah yakin bahwa dalam hal tenaga dan ginkang, ia masih memang, maka kalaupun ia mencoba lagi dan tertangkap terlempar, hal itu takkan membahayakan keselamatannya.

“Kakek she Ngo, kepaadaianmu hebat!” ia memuji dan kembali ia menyerang dengan pukulan tangan kiri.

Kembali kakek itu menangkis dan dalam sekejap mata tanpa dapat di cegah lagi oleh Yu Lee lengannya tertangkap dan tak mungkin terlepas karena sambil menangkap kakek itu membalikkan tubuh dan kembali kaki Yu Lee terangkat dan kini tubuhnya tidak terlempar ke atas seperti yang disangkanya melainkan terbanting ke atas lantai! inilah berbahaya sekali.

Secepat kilat, ketika merasa betapa tubuhnya terbanting. Yu Lee mengerahkan tenaga terkumpul di pinggang dan ia membuat gerakan Kucing Sakti Memutar Pinggang. Keadaan tubuhnya yang terbanting keras itu tiada ubahnya seperti tubuh seekor kucing yang ketika terbanting jatuh menggerakkan pinggangnya sedemikian rupa sehingga kalau tadinya Yu Lee terbanting dengan kepala di bawah, kini tubuhnya jungkir balik dan…. tubuh itu terbanting, bukan kepalanya yang di bawah melainkan kedua kakinya.

“Bress….” Hebat sekai bantingan itu dan betapapun lihainya Yu Lee kalau saja ia tadi tidak cepat-cepat membalikan tubuh dan kepalanya ia akan terancam bahaya.

Ngo Cun Sam yang terkejut dan gentar sekali hatinya. Ia memang berhasil dengan ilmu gulatnya sehingga dua kali ia berbasil melontarkan dan membanting lawan. Akan tetapi hasilnya benar-benar mentakjubkan dan jelaslah kini bahwa lawannya yang masih muda ini benar benar hebat bukan main.

Maka ia segera mengambil keputusan untuk melakukan serangan terakhir dan mematikan, ia maklum bahwa pemuda ini memiliki ginkaug yang amat mahir sehingga setiap kali terancam maut, dapat menyelamatkan diri. Kalau saja bantingannya itu dilakukan dengan kedua tangannya masih memegangi lawan.

Agaknya pemuda itu takkan mungkin membebaskan diri daripada maut tadi. Di waktu membanting tadi, kalau ia tidak melepaskan tangan si pemuda, biarpun dengan cara demikian bantingannya kurang keras, tentu pemuda itu sukar membalikkan tubuh.

Yu Lee yang merasa kagum kini telah mengetahui gerakan inti lawan. Kiranya kakek jenggot putih itu menggunakan gerakan gerakan mendadak dengan meminjam tenaga lawan serta juga ganjalan tubuhnya, yaitu secara membalikkan tubuh sehingga posisi lawan menjadi lemah, kemudian dengan ganjalan kaki yang memasang kuda kuda kuat dan gentakan tangan yang penuh tenaga lweekang, melemparkan atau membanting tubuh lawan sebelum lawan tahu apa yang akan terjadi.

Ia segera maju lagi menyerang, sengaja ia melakukan gerakan memukul seperti tadi sambil berseru, “Hendak kulihat apakah kau masih mampu membantingku?”

Ngo Cun Sam secepat kilat menangkap tangan kanan Yu Lee yang memukulnya itu, kini menangkap dengan kedua tangannya, memutar tubuh dan mengerahkan semua tenaga lweekangnya mengangkat tubuh pemuda itu dari belakang tubuhnya. Namun alangkah kaget dan herannya ketika tubuh itu sama sekail tak dapat ia angkat.

Ia mengerahkan tenaga lagi. Tidak mungkin ia tidak kuat mengangkat pemuda itu. Dengan gerakan seperti ini, ia akan mampu menarik jebol sebatang pohon berikut akar akarnya. Masa pemuda ini tak mampu ia rubuhkan! Mulutnya mengeluarkan suara ketika ia menahan dan bernapas tiba-tiba Ngo Cun Sam berteriak keras, kemudian tanpa ia dapat mencegahnya, tubuhnya itu melayang ke arah Hek siauw Kui Bo.

Kiranya menggunakan kesempatan selagi si kakek itu melepaskan tenaga untuk bernapas, Yu Lee yang tadi menggunakan ilmu memberatkan tubuh segera menyerang kakek itu dan melemparkannya ke arah iblis betina Hek siauw Kui bo yang menonton jalannya pertandingan dengan hati gentar.

Melihat datangnya tubuh pelayan kepala kearahnya, Hek siauw Kui bo menggerakkan tangan kiri dengan jari-jari tangan terbuka ia mendorong ke depan dan…. sebelum jari jari tangannya menyentuh tubuh yang melayang itu hawa pukulannya saja sudah cukup membuat lontaran Yu Lee kehilangan tenaga dan tubuh Ngo Cun Sam terdorong ke samping, jatuh berdiri dan agak terhuyung.

Keringat dingin membasahi tubub kakek itu, ia bukan orang-orang kasar macam Yeng-ce Su-go, maka mengertilah ia bahwa pemuda baju putih yang amai lihai itu telah membuktikan kata katanya ketika tadi menyatakan bahwa ia datang hanya untuk membalas dendam kepada Hek siauw Kui bo dan ia tidak ingin mencelakakan orang lain.

Buktinya, kalau pemuda itu menghendaki, bukan banya Yang-ce Su-go yang tadi dengan mudah dapat dirobohkannya itu akan dapat dibunuhnya, juga ia ia sendiri kalau pemuda itu menghendaki, tentu sekarang sudah roboh tak bernyawa lagi. Maka kakek ini tahu diri dan tanpa berkata sesuatu melangkah mundur, merasa bahwa ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi pemuda itu.

Hek siauw Kui bo kini bangkit dari tempat duduknya. Sejenak keadaan sunyi senyap. Yang-ce Su-go yang berdiri di sudut memandang dengan jantung berdebar, juga Ngo Cun Sam berdiri dengan pandang mata penuh ketegangan. Sepasang mata wanita iblis itu seperti mengeluarkan cahaya berapi api akan tetapi mulutnya tersenyum manis.

Kini ia mengerti bahwa ia tak dapat lagi menghindari pertandingan maut melawan pemuda ini. Pemuda yang pernah menggigit tengkuknya sampai terluka. Satu satunya keturunan Yu Tiang Sin yang Terlepas dari tangan mautnya. Ia tahu bahwa sekali ini ia harus bertanding mengadu nyawa dengan pemuda ini, pemuda yang tampan dan gagah.

“Orang muda engkau cucu Yu Tiang Sin, bukan?” tanyanya, suara melengking, mengandung kemarahan, namun hanya matanya yang membayangkan kemarahan disamping suaranya, mulutnya masih tersenyum manis dan wajahnya berseri, sikapnya tenang.

“Bagus sekali, engkau masih ingat kepadaku, Hek siauw Kui bo!” jawab Yu Lee sambil melangkah maju dan mencabut tongkat rotannya.

“Hmm, siapakah namamu?“

“Namaku Yu Lee. Kau dengar baik-baik, Lee artinya aturan dan aku selain menjunjung tinggi arti namaku ini. Aku tidak akan menyimpang daripada aturan dan keadilan. Engkau telah membasmi semua keluargaku, sungguhpun yang bermusuhan denganmu hanyalah mendiang kakekku. Karena itu aku datang untuk menghukummu atau kalau aku tidak mampu, biarlah aku sempurnakan kejahatanmu dahulu dengan membunuh pula aku, satu satunya warga yang lolos dari kekejamanmu. Aku tidak mau menyangkutkan lain orang, hanya engkau yang harus binasa di tangan ku, atau aku yang akan mati di tangan mu. Bersiaplah, Hek siauw Kui bo!”

Dengan gerakan perlahan Hek siauw Kui bo meraba pinggangnya dan dirasakan sebatarg suling berada di pinggangnya, ia mengangkat suling itu kemudian terdengar suaranya yang begitu nyaring.

“Yu Lee, kau bocah….! Lihat semenjak dahulu sampai sekarang, senjataku masih tetap suling hitam. Akan tetapi kulihat Yu Tiang Sin yang mengaku sebagai Dewa Pedang ternyata mempunyai cucu yang rendah sekali, senjatanya bukan pedang kebanggaan kakeknya melainkan sebatang tongkat pengemis!”

Ucapan ini saja membuktikan kecerdikan Hek siauw Kui bo. Ia mengarti bahwa cucu Yu Tiang Sin ini dahulu ditolong oleh Sin kong ciang Han It Kong dan mungkin menjadi muridnya. Ia gentar melawan Han It Kong karena ilmu tongkat kakek itu luar biasa sekali. Ia pernah menderita kekalahan pahit oleh ilmu tongkat kakek itu, maka sampai sekarangpun ia takut justeru kalau pemuda ini yang menjadi musuh besarnya menggunakan tongkat pula untuk memainkan ilmu tongkat Han It Kong yang ia takuti itu.

Sungguhpun ia tidak percaya apakah seorang pemuda seperti ini bisa mainkan ilmu tongkat sehebat permainan Han It Kong, namun hatinya akan lebih tenteram kalau pemuda itu tidak mempergunakan tongkat.

Yu Lee tersenyum lalu menyimpan tongkatnya kembali di pinggang, kemudian ia membuka bajunya sehingga gagang pedang yang tertutup baju itu nampak lalu ia berkata. “Hek siauw Kui bo, kau tak usah khawatir. Kalau kau masih menantang mendiang kakekku Si Dewa Pedang yang belum pernah bisa kau kalahkan, akulah sekarang menjadi wakilnya. Dan aku sebagai cucunya akan menghadapimu memakai pedang untuk membuktikan bahwa kalau kakeknya Dewa Pedang tentu cucunya tidak asing bermain pedang pula.”

“Hem, hendak kulihat kepandaianmu!“ Setelah berkata demikian, Hek-siauw Kui-bo mendekatkan ujung suling hitam ke mulutnya dan meniupnya.

Sinar hitam kehijauan menyambar keluar dari suling, itulah jarum-jarum yang amat berbahaya. Dahulu lima belas tahun yang lalu ia hampir binasa karena serangan jarum jarum hijau ini kalau saja ia tidak ditolong olah suhunya, Han It Kong.

Kini melihat sinar kehijauan itu, ia cepat mengerahkan tenaga dan menggerakkan kedua tangannya, digerakkan seperti orang digerakkan seperti orang mengebut-ngebut lalat dan jarum-jarum itu semua runtuh di atas lantai, menancap di lantai dan ada yang menancap di tembok. Itulah gerakan dari ilmu pukulan Sin kong-ciang yang amat hebat. Hawa pukulannya saja sudah cukup membuat jarum jarum itu terpukul runtuh.

Hek-siau Kui-bo kaget. Tak salah apa yang ia khawatirkan bahwa pemuda ini telah mewarisi kepandaian Han it Kong. Andaikata Dewa Pedang masih hidup kiranya masih tidak sehebat pemuda cucunya ini dan Hek-siauw Kui-bo tentu akan memilih Dewa Pedang sebagai lawan daripada murid Han It Kong ini. Akan tetapi hanya sebentar ia meragu, kemudian ia mengambil cawan berisi arak yang terletak di atas meja di depannya lalu tertawa dan berkata.

“Hai, kiranya cucu Yu Tiang Sin bukan orang sembarangan. Orang muda, saat ini engkau menjadi tamu agung, biarpun tamu yang hendak menantang bertanding, selayaknya disambut dengan arak. Terimalah ini!”

Sambil mengerahkan sinkang di tangannya, Hek siauw Kui bo melontarkan cawan arak itu ke arah Yu Lee. Cawan berisi arak itu berputar-putar seperti gasing di udara. Hebatnya araknya sama sekali tidak tumpah. Dan terdengarlah suara berdesing, menandakan bahwa cawan itu terputar amat cepatnya.

Seperti dipegang tangan yang tak tampak cawan itu bergerak gerak dan selama berputar cepat, juga membuat gerak lingkaran di udara seperti ragu-ragu hendak turun. Luar biasa sekali tenaga tak tampak yang mengusai cawan ini, padahal Hek siauw Kui bo hanya mengulurkan tangan kanan ke arah cawan. Seakan akan dari jari jari tangannya yang terbuka itu keluar hawa yang mengusai cawan arak.

Yu Lee dam diam merjadi kagum pula. Sinkang yang didemonstrasikan lawannya itu banar benar membuktikan betapa tinggi tingkat kepandaian Hek siauw Kui bo. Akan tetapi sebagai murid tunggal terkasih dari kakek sakti Han It Kong, ia tidak menjadi gentar karena mengenal ilmu ilmu apa yang dipergunakan Hek siauw Kui bo itu.

Ia tahu benar bahwa pada akhirnya lawan akan membuat cawan itu meluncur menyerangnya dan kalau hal ini terjadi ia akan dapat menangkap cawan, menangkis atau mengelak. Akan tetapi kalau secara demikian ia menyambutnya, tentu ia mendapat malu, apa lagi kalau araknya sampai tumpah dari dalam cawan berarti ia tidak menerima penghormatan nyonya rumah!

Maka iapun mengeluarkan seruan nyaring, tangan kanan nya didorongkan ke depan dan cawan arak itu seketika berhenti bergerak di tengah udara seakan akan terhimpit oleh dua tenaga raksasa yang tak terlihat.

“Hek siauw Kui bo, jarum jarummu beracun, arakmu tentu beracun pula seperti hatimu. Aku tak sudi menerima penghormatanmu, terimalah kembali!” setelah berkata Yu Lee menambah tenaga dalam dorongannya.

Hek siauw Kui bo terkejut bukan main. Kenyataan bahwa pemuda itu masih bisa mempergunakan seluruh tenaganya, saat ini mulai terasalah olehnya betapa tenaga dorongannya membalik, cawan itu terdorong mundur sampai beberapa jengkal.

Ia menjadi marah dan penasaran, lalu mengerahkan semua tenaganya buat mendorong kembali cawan itu. Tetapi sia sia, cawan itu tak bergeming, bahkan makin lama makin doyong kepadanya.

Harus diakui bahwa seorang tokoh seperti Hek siauw Kui bo yang sudah malang melintang di dunia kangouw selama puluhan tahun, tentu saja selain lebih berpengalaman, juga memiliki latihan yang lebih matang daripada Yu Lee, seorang pemuda berusia dua pulah tiga tahun.

Akan tetapi kenyataan lain yang menguntungkan buat Yu Lee adalah bahwa dia seorang pemuda yang masih bersih, belum di perhamba nafsu nafsunya sehingga darahnya masih bersih, hawa murni di badannya masih amat kuat.

Sebaliknya, Hek siauw Kui bo sampai sekarangpun menjadi hamba nafsu nafsunya, telah terlalu mengumbar nafsu sehingga tanpa ia sadari, hawa murni di tubuhnya menipis dan melemah.

Inilah sebabnya mengapa dalam pertandingan adu tenaga sinkang ini segera tampak betapa Hek siauw Kui bo tak dapat bertahan lama. Kekuatannya memang masih hebat, namun ia tak dapat bertahan lama, napasnya mulai memburu, wajahnya pucat dan dahinya penuh keringat.

Ia tahu bahwa kalau dilanjutkan ia akan celaka maka untuk penghabisan kali ia mengerahkan tenaga lalu menyusul tangan kirinya bergerak mendorong atau memukul dari samping ke arah cawan arak yang terhimpit di udara.

“Braakk...!” Cawan itu pecah dan araknya berhamburan seperti air hujan, membasahi lantai. Karena benda yang menjadi pegangan kini telah tiada, otomatis pertandingan adu tenaga itupnn terhenti dan masing-masing menurunkan lengan yang tadi memanjang dilonjorkan lurus ke depan. Walaupun Yu Lee biasa saja, hanya di dahinya peluh, akan tetapi wajah Hek siauw Kui bo pucat, napasnya agak nampak lemas.

“Yu Lee bocah sombong, jika kau memang berani, kau harus bertanding sampai mati. Engkau bukan musuh biasa, melainkan musuh besar, maka petandingan inipun harus diadakan di tempat yang sesuai. Marilah, cabut pedangmu dan turuti caraku dengan bermain silat agar darahmu nanti tidak mengotori ruangan tamu ini!” Setelah berkata demikian dengan gerakan gesit wanita tua yang cantik itu meloncat, memasuki sebuah pintu yang berada di sudut sebelah kiri.

Yu Lee maklum bahwa di sana bukan tidak ada bahaya menanti untuk menjebaknya. Namun ia bersikap waspada dan dengan hati-hati iapun meloncat ke depan, sengaja ia meloncat dan selalu ia menginjak lantai di mana tadi Hek siauw Kui bo lewat, ia tidak mau terperosok ke dalam perangkap karena sangat boleh jadi wanita iblis itu menggunakan akal muslihat. Juga ia waspada terhadap sekelilingnya kalau kalau anak buah wanita itu bergerak.

Akan tetapi ia melihat Yang-ce Su-go dan Ngo Cun Sam tidak bergerak dari tempatnya, juga bayangan para penjaga di luar ruangan itu tidak ada yang bergerak. Ruangan silat yang dimasuki Hek siauw Kui bo ini merupakan ruangan yang bentuknya bundar, luasnya cukup untuk bertanding silat dengan garis tengah tidak kurang dari lima meter, begitu Yu Lee memasuki ruangan ini tepat di belakang Hek siauw Kui bo pintu dari mana ia masuk itu tertutup. Hek siauw Kui bo tertawa dan berdiri di sebelah kiri.

Yu Lee berdiri menghadapinya. Pemuda ini memandang ke sekelilingnya. Ruangan ini enak benar untuk berlatih silat atau untuk samedhi, amat bersih dan tak tampak sebuah pun perabot yang dapat menjadi penghalang. Anehnya ruangan yang bundar ini tidak mempunyai jendela bahkan pintunyapun hanya sebuah, yaitu pintu yang mereka masuki tadi dan yang kini sudah tertutup rapat.

Yu Lee menjadi curiga, menduga bahwa dia memasuki ruangan yang penuh perangkap. Akan tetapi karena ia melihat lawannya juga berada di situ di depannya, maka ia tidak menjadi khawatir dan mengikuti setiap gerak gerik iblis betina itu penuh perhatian.

“Hi, hi hi Yu Lee, sekarang kita saling berhadapan, tidak ada seorangpun menjadi penghalang. Hanya dinding putih menjadi saksi akan kematianmu. Hi, hi, sayang kau pemuda yang tampan!” Berbareng dengan ucapan ini, Hek siauw Kui bo menggerakkan sulingnya, menerjang sampai mengeluarkan suara melengking yang memekik telinga dan keras.

Mendengar lengking ini terbayanglah di pelupuk mata Yu Lee peristiwa lima belas tahun yang lalu. Teringatlah ia akan ayah bundanya, paman pamannya, saudara saudara misannya yang semua terbunuh oleh wanita iblis ini. Suara lengking itu makin menusuk perasaan nya dan tak tertahankan lagi air mata bercucuran keluar dari kedua mata Yu Lee.

“Heii….! Kau.... menangis?” Hek-siauw Kui-bo menghentikan suara melengking dan menghentikan pula serangannya, memandang heran.

Namun Yu Lee kini sudah maju menerjang dengan pedangnya. Hek-siauw Kui-bo cepat menangkis.

”Trangg….”

keduanya melompat mundur karena merasa betapa lengan mereka tergetar. Akan tetapi Yu Lee yang masih terisak menangis itu sudah menerjang lagi dan kini ia mainkan ilmu pedang yang ia ciptakan sendiri berdasarkan ilmu sakti Tu-kui tung-hoat. Pedangnya bergerak cepat dan berubah menjadi sinar terang bergulung gulung dan melirngkar lingkar mengelilingi tubuh lawan.

Hek-siauw Kui-bo terkejut, cepat ia memutar sulingnya dan meloncat ke kanan. Kaki kanannya menendang sebuah tombol kecil di dinding, kemudian membalikkan tubuhnya sambil memutar suling menangkis dan balas menyerang.

Pertandingan sudah dimulai dengan hebatnya. Gerakan iblis betina itu memang cepat dan ganas sekali, dasar gerakannya adalah ilmu silat yang amat tinggi yang diambil dari pelbagai ilmu silat, dipilih dan disatukan, diambil sarinya, ilmu silatnya menjadi amat ganas dan sukar dilawan.

Namun sekail ini Hek sianw Kui bo terkejut. Bertahun tahun ia mempelajari ilmu, mencari dan mencipta ilmu untuk menandingi ilmu pedang Yu Tiang Sin yang lihai sebagai Dewa Pedang. Namun sebelum ia sempat menandingi Dewa Pedang itu, kakek Yu Tiang Sin keburu mati tua.

Kini ia menghadapi cucunya dengan pandangan rendah karena betapapun juga, kalau pemuda ini bersenjata pedang takkan mungkin lebih hebat dari pada Yu Tiang Sin. Siapa kira, kini ternyata ilmu pedang yang dinginkan pemuda ini luar biasa sekali. Aneh sekali dan sama sekali bukan ilmu pedang biasa, melainkan ilmu pedang yang mirip ilmu tongkat.

Hebatnya, gerakan pemuda ini mempunyai persamaan dengan ilmu yang ia latih, beberapa kali tahu tahu pedang pemuda itu telah mengancamnya. Untung dengan kelincahannya yang luar biasa, sambil menggulingkan tubuh menyabetkan suling ke belakang, Hek-siauw Kui-bo bisa membebaskan diri dari pedang yang seperti dapat melengkung lalu menyerangnya dari belakang biarpun musuhnya itu berada di depan!

Sementara itn Yu Lee merasa gembira karena ia merasa yakin bisa merobohkan musuh, berarti akan bisa membalas kematian keluarganya di samping membasmi seorang manusia yang berwatak iblis. Ia semakin mempercepat gerakannya dan mendesak terus.

Akan tetapi ia tidak tahu sama sekali bahwa tendangan Hek-siauw Kui-bo pada dinding tadi menekan tombol dan kini dari beberapa lubang yang tersembunyi di dalam ruangan itu masuklah asap yang bening warnanya, hampir tak terlihat. Asap ini makin lama semakin memenuhi kamar.

Tiba-tiba Yu Lee mencium bau yang harum luar biasa lalu seketika itu lehernya seperti tercekik “Celaka….!” Serunya dan ia cepat menahan napas, lalu menyerang dengan tusukan maut sambil terus melompat ke belakang. Ketika ia sudah menjadi jauh dari lawan, ia melihat Hek-siauw Kui-bo tertawa dan di mulut iblis betina itu sudah tersumpal sehelai saputangan. Ia mulai melihat pula betapa asap yang halus mulai bergulung-gulung memenuhi kamar itu.

Pada saat itu kembali Hek siauw Kui bo sudah menerjangnya. Terpaksa ia menggerakkan pedang menangkis, akan tetapi begitu ia bernapas, lehernya serasa tercekik serta dadanya panas, kepalanya pening sekail.

“Plakk…!” Paha kirinya terpukul suling. Nyeri sekail rasanya sampai menembus ke ulu hati. Dalam keadaan pening tadi ia tak sempat mengelak sehingga pahanya terpukul juga kini pandangan matanya tidak terang lagi karena asap mulai memenuhi ruangan dan bau harum yang menyesakkan napas mulai meracuninya.

Ia maklum bahwa itu adalah asap beracun yang entah dari mana telah memasuki ruangan silat. Dan biarpun kepalanya pening, Yu Lee sudah tahu pula bahwa saputangan yang disumpalkan ke mulut lawan berfungsi sebagai penyaring, sehingga lawannya tidak terpengaruh.

Yu Lee melompat ke pintu dan pedangnya menerjang daun pintu. “Cringg......!!” ia kaget sekali. Pintu itu ternyata terbuat dari pada baja yang tebal sekali! Ia lalu mengerahkan tenaga dan menubruk pintu dengan bahunya. “Bengg...!” Pintu itu bergetar, bahkan seluruh ruangan itu ikut tergetar, akan tetapi ia tidak berhasil mendobrak pintu yang ternyata amat kuat itu. Kembali ia harus melindungi tubuhnya yang sudah di serang oleh Hek Siauw Kui bo.

Dengan nekad Yu Lee mempertahankan diri sambil berusaha meloloskan diri dari dalam kamar yang berbahaya ini. Tetapi kakinya terasa sakit, kepala nya makin pening, pandangan matanya berkunang sedangkan dadanya serasa mau meledak karena terlalu lama ia menahan napas.

Beberapa kali ia menggunakan ginkangnya, melesat ke atas dan menggunakan pedangnya membabat langit langit akan tetapi pedangnya bertemu dengan baja yang keras dan tebal. Tidak ada jalan keluar lagi baginya. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanya merobohkan lawan. Dan hal ini tidak mungkin karena kakinya sudah terluka dan ia hampir tak dapat bertahan untuk tidak menyedot napas padahal udara di dalam ruangan sudah penuh asap beracun.

“Ayah… ibu… ampun anak tak dapat menuntut balas...!” Akhirnya Yu Lee berseru keras ketika kembali pundaknya tertotok suling. Ia sudah tak dapat lagi melihat lawannya, tertutup asap dan pandangannya sudah gelap, kepalanya sudah berpusingan, kemudian ia roboh, pingsan...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.