Pendekar Cengeng Jilid 05

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo. Pendekar Cengeng Jilid 05

Pendekar Cengeng Jilid 05

KETIKA Yu Lee sadar kembali dari pingsannya dan membuka mata, pertama-tama yang terasa olehnya adalah rasa neyri yang amat hebat di dadanya. ia meramkan matanya kembali mengumpulkan napas dan tenaga, membersihkan ingatannya.

Pendekar Cengeng karya Kho Ping Hoo

Teringatlah ia kembali, ia telah roboh di dalam ruangan silat oleh asap beracun dan totokan totokan suling ditangan Hek siauw Kui bo yang lihai, ia menahan diri untuk tidak mengeluh ketika terasa seluruh tubuhnya sakit sakit dan kedua lengannya tak dapat ia gerakkan.

Ketika berusaha menyalurkan tenaga ke arah kedua tangan dan menggerakkan tangannya ternyata kedua pergelangan tangannya itu terbelenggu dan berada di belakang tubuh, tertindih tubuhnya yang telentang. ia membuka mata. Ternyata ia masih berada di ruangan bundar itu terbaring telentang di atas lantai dengan pergelangan kedua tangan terbelenggu.

Dengan susah payah Yu Lee menggulingkan diri menekuk kedua lututnya dan bangkit duduk. Untung bahwa kedua kakinya tidak terbelenggu. ia memandang ke sekelilingnya. Sunyi tiada manusia. Pintu satu-satunya itu masih tertutup rapat. Ruangan sudah bersih dari pada asap beracun, namun bau harum aneh masih dapat tercium. ia segera mengumpulkan napas, mengerahkan tenaga untuk mematahkan belenggu.

Akan tetapi ia meringis kesakitan karena ternyata bahwa belenggu besi itu agaknya di pasangi gigi gigi tajam sehingga begitu ia mengerahkan tenaga, gigi-gigi tajam itu masuk ke dalam kulit dagingnya! Pedang dan tongkatnya lenyap. ia terbelenggu amat kuat dan penuh dengan pemasangan gigi baja pada belenggu itu, ia tak mungkin, dapat mematahkan belenggu tanpa mengakibatkan pergelangan kedua tangannya.

Yu Lee menarik napas panjang. ia maklum bahwa ia telah terjatuh ke tangan musuh besarnya. Mengapa ia tak dibunuh? Mengapa ia dijadikan tawanan? ia tidak mau memusingkan kepala memikirkan hal ini. Lalu ia duduk bersila dan bersamadhi mengumpulkan napas dan tenaga, memulihkan hawa murni di tubuhnya.

Tak lama kemudian jawaban tiba, jawaban tentang keheranannya mengapa ia tidak dibunuh. Jawaban itu beupa terbukanya pintu dan masuknya Empat Buaya Yang ce kepala kepala bajak sungai yang terkenal kejam. Mereka masuk dan menutupkan pintu kembali lalu terdengar mereka tertawa-tawa. Sejenak Yu Lee membuka mata kemudian menutupkan matanya kembali.

“Ha, ha, ha kiranya hanya sebagini saja kepandaianmu!” Song Kai tertawa mengejek dan kakinya terayun keras menendang.

Yu Lee maklum akan datangnya tendangan ini. ia berusaha mengelak akan tetapi sebuah pukulan tangan tepat mengenai leher kanannya, membuat tubuhnya roboh bergulingan. ia bangkit kembali dengan pandangan mata berkunang. Ketika itu, Song Kai yang tadi merasa penasaran karena tendangannya dapat dielakkan lawan yang sudah luka-luka terbelenggu, datang memukul ke arah dadanya.

Pukulan yang amat keras! Yu Lee maklum bahwa ia terancam bahaya maut, akan tetapi ia tidak menjadi gentar dan mengambil keputusan bahwa sebelum tewas ia akan melawan sebisanya. Cepat ia miringkan tubuh membiarkan pukulan itu menyerempet dadanya akan tetapi berbareng, kakinya menendang ke depan tepat mengenai sambugan lutut Song Kui.

“Aduhh…!” Tubuh Song Kai tergelimpang dan sabungan lututnya terlepas! Untung baginya bahwa keadaan Yu Lee demikian lemahnya, kalau tidak, tentu akan remuk tulang lututnya.

Marahlah mereka. Berbareng mereka menyerbu dan karena Yu Lee memang sudah terluka dan amat lemah tentu saja pemuda ini menjadi korban pemukulan pemukulan mereka. Tubuh Yu Lee sampai terlempar ke sana ke mari bergulingan ke atas lantai. Perutnya kena tendang dan pemuda ini berusaha bangkit.

Akan tetapi pukulan keras pada tengkuknya membuat ia rebab kembali. Akhirnya ia tak dapat berkutik pula karena pukulan pukulan dan tendangan tendangan datang bertubi tubi. Mukanya penuh darah yang keluar dari mulut dan hidung.

"Sudah… sudah twako, jangan sampai terbunuh dia!” Seorang di antara buaya buaya Yang Ce mencegah Son Kai yang terengah-engah dan terpincang pincang memukuli pemuda itu dengan marah. “Toania pesan agar kita jangan membunuhnya. Kalau dia mati kita celaka!"

Hal ini menyelamatkan Yu Lee Biarpun tubuhnya penuh luka luka bekas pukulan dan tendangan, namun keempat orang itu tidak membunuhnya, sehingga pukulan pukulan dan tendangan tadi pun hanya merupakaa hantaman yang melukai kulit daging dan paling hebat mematahkan tulang, tidak mendatangkan luka dalam yang membahayakan nyawanya. Namun siksaan mereka itu cukup hebat membuat Yu Lee pingsan selama sehari semalam.


Dengan gerakan laksana seekor kucing. Dewi Suling berloncatan di atas genteng rumah rumah yang berjajar rapat. Kedua kakinya bergerak cepat tanpa mengeluarkan suara dan sebentar saja ia sudah di atas genteng rumah toko obat yaog terletak di sebelah barat simpang empat.

Seperti biasa, setelah tiba di atas rumah calon korbannya. Dewi Suling lalu meniup suling merahnya. Melengkinglah suara yang merdu, namun menyeramkan, memecah kesunyian malam.

Tiba-tiba suara suling itu terhenti dan Dewi Suling mengeluarkan seruan tertahan ketika genteng rumah yang diinjaknya itu tiba-tiba bergerak dan kakinya terpeleset. Sebagai seorang ahli “jalan malam" maklumlah ia bahwa ada orang pandai berlaku usil. Siapakah yang memiliki kepandaian di dalam rumah penjual obat ini?

Tiba-tiba terdengar suara angin menyambar ke arahnya. Dewi Suling cepat miringkan tubuh dan berloncatan mengelak karena dari bawah menyambar senjata senjata rahasia.

"Siiuut siuuut siuuut…!" tiga batang hui-to (pisau terbang) menyambar secepat kilat ke arahnya dan ketika Dewi Suling mengelaknya, tiga batang hui-to itu jatuh ke atas genteng, suaranya nyaring.

"Cui siauw-kwi, mau apa engkau mengacau di sini?" Terdengar bentakan nyaring dan halus.

Dewi Suling cepat rnenengok dan melihat bayangan hitam berkelebat di bawah. Dengan ujung ujung kakinya ia mencongkel genteng dan tampaklah bayangan hitam tadi kini berada di ruangan belakang rumah obat itu. Wajahnya berseri, matanya bersinar sinar ketika melihat seorang pemuda tampan sekali berdiri di bawah genteng dengan sepasang pedang di tangan.

Kalau siang tadi ia melihat pemuda putera penjual obat sebagai seorang pemuda remaja yang tampan sekali, bermuka bundar dengan kulit putih, mata jeli dan bibir merah seperti buah tomat masak, kini pemuda tampan itu tidak hanya kelihatan ganteng juga kelihatan gagah perkasa! Hal ini sama sekali tak disangka sangkanya.

Pemuda tampan yang disangka lemah lembut itu ternyata seorang yang berkepandaian dan melihat lemparan tiga batang hui-to tadi membuktikan bahwa pemuda remaja itu kepandaiannya boleh juga. Makin gembiralah hati Dewi Suling melihat kenyataan ini dan seperti sehelai bulu saja tubuhnya melayang turun melalui lubang yang dibuat di atas dengan membongkar beberapa buah genteng.

Lalu ia meloncat turun melalui lubang yang dibuatnya itu sambil memutar sulingnya dan tubuhnya melayang ringan ke bawah ke arah pemuda yang berdiri dengan sepasang pedang di tangan. Sepasang kaki Dewi Suling seperti kaki burung saja ketika hinggap di atas lantai sehingga pemuda itu diam diam menjadi kaget sekali.

"Kongcu, maafkan kalau aku membikin kaget padamu. Kedatanganku ini sesungguhnya karena tertarik kepadamu dan ingin belajar kenal denganmu. Siapakah namamu dan kenapa begitu bertemu kau menyerang Cui-siauw Sian-li Ma Ji Nio? Ah, tidak kasihankah engkau kalau sampai hui to mu tadi itu membikin lecet kulitku?" Dengan lagak genit Dewi Suling mengerling serta tersenyum.

Sepasang mata yang lebar dan bersinar tajam itu terbelalak, kemudian bibir yang merah sehat itu tersenyum. Tampak deretan gigi putih rapi yang membuat hati Dewi Suling menjadi semakin berdebar. Selama ini belum pernah ia mendapatkan seorang kekasih yang begini tampan!

Kalau saja pemuda ini memiliki ilmu silat yang tinggi, sedikitnya seperti tingkat kepandaian dua orang murid Hap To jin yang telah menghinanya dan menolak cinta kasihnya, hatinya akan puas serta tak kecewa untuk seterusnya berteman dengan pemuda ini.

"Ohh, begitukah? Jadi engkau datang untuk berkenalan? Cui siauw-kwi, namaku adalah Tan Li Ceng dan soal seranganku tadi yang sayang tidak mengenai sasarannya adalah karena begitu mendengar suara sulingmu aku sudah dapat menduga siapa yang akan muncul. Baru sekarang aku berrtemu denganmu. Engkau memang seorang gadis yang cantik jelita, akan tetapi sayang engkau jahat seperti iblis betina. Disebabkan kejahatanmu itulah maka aku tadi menyerangmu dan sekarangpun aku mau membunuhmu. Lihat pedang!” Cepat sekali gerakan pemuda itu. Sepasang pedangnya berkelebat menjadi dua gulung sinar perak yang "menggunting" dari kanan kiri.

“Singg!... singg….!”

Dewi Suling cepat mengelak dan guntingan sepasang pedanp itu lewat di dekat tubuh nya. ""Eh... Tan-kongcu (tuan muda Tan), nanti dulu…."

"Mau bicara apa lagi?" Si pemuda bertanya, sepasang alisnya yang hitam hergerak gerak. Sepasang pedangnya disilangkan di depan dada. Sikapnya gagah sekali sehingga mata Dewi Suling terpesona melihatnya.

"Tan kongcu, engkau mengapa begini kejam dan sampai hati menuduh aku jahat? Kejahatan apakah gerangan yang telah kuperbuat maka kongcu menuduhku demikian?"

Tan Li Ceng mengeluarkan suara menghina dari hidungnya yang kecil mancung. "Hemm! Masih berpura pura suci? Entah sudah berapa banyak pemuda pemuda yang menjadi korban mu, kau… kau perkosa dan kau bubuh! Masih beranikah menyangkalnya?”

Dewi Suling menarik napas panjang, lalu berkata, suaranya halus, "Tan kongcu, sudah bertahun tahun aku mencari jodoh. Banyak sudah pemuda kupilih, akan tetapi mereka itu hanyalah laki-laki tidak berguna. Mereka itu tiada bedanya dengan kelinci kelinci gemuk yang hidupnya untuk disembelih atau burung burung indah yang hidupnya ditakdirkan buat tontonan serta hiburan. Dan kalau telah bosan, bagian mereka ialah kematian.

"Aku mau mencari seorang suami yang cocok, lalu melihat engkau ini..., hatiku rupanya merasa puas bila bisa berkawan baik denganmu. Maukah engkau mencoba serta melihat apakah diantara kita berdua ada kecocokan hati kong cu? Marilah ikut bersamaku dan kita mencoba serta rasakan bersama, tentu kau tidak akan kecewa…”

Kemudian dengan sikap genit memikat Dewi Suling melirik tajam penuh arti. Akan tetapi agaknya Tan Li Ceng yang usianya paling banyak delapan belas tahun itu masih hijau, justeru masih hijau dan kurang pengalaman itulah yang membuat Dewi Suling lebib mengilar lagi. Pemuda tampan itu membanting kakinya dan berkata, suaranya membentak,

"Perempuan tak tahu malu! Bersiaplah untuk mampus!" Kembali pemuda ini menerjang dan sepasang pedangnya berkelebat cepat bagaikan kilat menyambar.

Dimaki demikian oleh bibir yang penuh merah menggairahkan itu. Dewi Suling tidak menjadi marah, bahkan tertawa dan berkata, “Baik sekali, memang aku ingin memuji kepandaianmu apakah tidak mengecewakan!” Sulingnya berkelebat berubah menjadi segulung sinar merah yang panjang.

"Trang trang….!

Pemuda itu meloncat ke belakang sambil menarik kedua pedangnya. Benturan dengan suling ketika lawan menangkis siang kiam (sepasang pedang) tadi membuat kedua tangannya terasa panas dan tergetar hebat!

“Hi, hi, hik. Coba kau sambut ini!” Dewi Saling berkata sambil tertawa dan sulingnya kini membentuk gulungan sinar merah yang melingkar lingkar panjang mengurung tubuh Tan Li Ceng.

Pemuda itu kaget sekali mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Sepasang pedangnya membentuk benteng sinar pedang yang amat kuat sehingga berkali kali terdengar bentrokan bentrokan nyaring antara sepasang pedang dengan suling merah.

"Ah, hi hik!” Bagus sekali! Ilmu pedangmu hebat, tidak kalah oleh mereka. Bagus, kau tampan dan gagah, aku tidak kecewa, hik hik!” Dewi Suling girang sekali mendapat kenyataan bahwa pemuda remaja ini benar benar gagah perkasa, tidak kalah oleh Ouwyang Tek maupun Gui Siong, dua orang murid Hap Tojin yang tadinya ia kagumi. Makin besar rasa cinta kasihnya terhadap pemuda ini.

Di dunia ini jarang dapat ia temukan seorang pemuda seperti ini, memiliki ketampanan yang sukar dicari bandingannya dan memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Tentu saja belum cukup tinggi untuk mengatasinya. Ah, di mana bisa bertemu dengan seorang pemuda yang dapat mengalahkannya? Kecuali… kecuali pemuda baju putih yang ajaib itu.

Akan tetapi pemuda baju putih itu gerak geriknya bukan seperti manusia seolah olah pandai menghilang. Kalau bukan dewa tentu Setan! Lebih baik mencurahkan perhatiannya kepada Tan Li Ceng pemuda remaja yang tampan ini.

Setelah menguji kepandaian pemuda itu sampai lima puluh jurus lebih, hati Dewi Suling menjadi puas. Kalau ia mau, dengan bermacam akalnya yang keji tentu sejak tadi ia sudah mampu merobohkan pemuda ini. Akan tetapi timbul rasa sayang yang amat besar di hatinya sehingga ia tidak ingin melukai pemuda ini. Juga kalau dalam waktu terlalu singkat ia mengalahkannya ia khawatir kalau kalau pemuda ini menjadi malu dan merasa terhina. Maka ia melayani sampai puluhan jurus.

"Wah kau hebat, kongcu! Aku terima kalah…! Perlukah pertandingan ini dilanjutkan? Lebih baik kita bercinta daripada bermusuhan….!”

Tan Li Ceng tidak menjawab, melainkan menggeram dan pedannya berkelebat semakin ganas. Kelihatan bahwa pemuda ini marah sekali.

“Ih, terpaksa ku hentikan kenakalanmu!” Tiba-tiba tangan kiri Dewi Suling mengebutkan sehelai saputangan merah ke arah muka Tan Li Ceng yang cepat mengelak dengan jalan miringkan kepalanya.

Akan tetapi kiranya serangan ini bukan serangan senjata, melainkan serangan hawa beracun sebab tahu tahu hidang Tan Li Ceng mencium bau harum luar biasa yang membuat napasnya sesak serta matanya berkunang kunang.

Waktu itu dipergunakan oleh Dewi Suling buat melakukan totokan secepat kilat yang mengenai kedua buah lengannya. Tanpa bisa dicegah lagi kedua pedang itu jatuh berkerontangan di atas lantai. Di lain saat, tubuh Tan Li Ceng yang terhuyung itu telah didekap oleh Dewi Suling.

Karena sewaktu diserang oleh kebutan saputangan merah tadi Tan Li Ceng telah membuang muka, maka obat bubuk harum yang mengandang obat bius itu hanya sedikit saja memasuki hidungnya dan karena itu hanya membuat ia pusing dan mabok tidak sampai pingsan terlalu lama.

Setelah lenyap pusingnya dan kesadarannya pulih kembali pemuda ini membuka mata. Alangkah kagetnya ia ketika mendapatkan dirinya dirangkul serta didekap Dawi Suling dan mulutnya tersumbat oleh bibir wanita itu yang menciumnya mesra penuh nafsu!

Rasa mual naik dari perut pemuda ini. Ia berusaha meronta, tapi sia-sia sebab rangkulan Dewi Suling itu membuat kedua lengannya menempel di badan. Demikian kuat serta ketat rangkulan Dewi Suling yang seperti orang gila atau mabok mencium mulutnya. Saking marah, muak dan gugupnya, pemuda ini lalu membuka mulut tetapi bukan buat membalas ciuman mesra itu, melainkan buat menggigit bibirnya Dewi Suling.

“Ihh…!” Dewi Suling kesakitan dan terpaksa melepaskan rangkulannya sambil meloncat mundur. Dirabanya bibir yang berdarah itu, matanya melotot, akan tetapi ia tersenyum. Mukanya merah serta pandangan matanya bersinar sinar. "Aihh kongcu kau.... kau nakal sekali. Betapa kejamnya melukai bibirku…!”

Akan tetapi Tan Li Ceng sudah meloncat bangun terus menyambar sepasang pedangnya yang tergeletak di lantai kemudian menerjang kalang kabut kepada Dewi Suling dengan kemarahan meluap-luap. Akan tetapi begitu Dewi Suling memutar suling merahnya itu, semua terjangan pemuda itu dapat dibendung dan kembali Tan Li Ceng terdesak serta terkurung oleh sinar merah yang bergulung gulung dan melingkar-lingkar.

Juga saputangan merah yang harum sudah siap di tangan kirinya, Tan Li Ceng berlaku hati-hati, bersilat dengan cepat serta mengerahkan semua ilmu silat dan tenaganya, juga waspada menjaga diri dari serangan saputangun merah itu yang sewaktu waktu bisa dikebutkan ke mukanya Betapapun juga, suling di tangan musuhnya itu benar benar amat lihai, sepasang pedangnya tak bisa balas menyerang lagi hanya di pergunakan buat melindangi tubuhnya.

“Omitohud…!” Tiba-tiba terdengar seruan dan dari pintu belakang muncul seorang hwesio tua yang perutnya gendut sekali. Sebagian perutnya yang di atas terbuka sebab bwesio ini memang tidak berbaju sehinngga dada serta separah perutnya itu telanjang. Wajahnya muram dan alisnya sudah putih. Di lengan kanannya hwesio ini mencekal sebuah tongkat berkepala naga.

Kalau hwesio ini muncul sambil mengeluarkan seruan memuja Budha, tetapi orang kedua yang tiba bersamanya sudah mencabut pedang terus menyerbu ke depan. Orang ini ialah seorang gadis manis berpakaian serba hijau berusia sekitar dua pulah tahun, bertubuh langsing. Pedang tunggalnya berderak cepat sekakli dan begitu menyerbu, pedangnya berkelebat menusuk ke arah lambung kanan Dewi Suling.

“Trang...!!” Pedang di tangan sadis baju hijau itu membalik lalu ia berseru kaget, sama sekali tidak mengira bahwa Dewi Suling demikian kuat tangkisanya. Di lain fihak Dewi Suling mendapat kenyataan bahwa gadis baju hijau yang baru tiba ini memiliki sinkang sedikitnya tak kalah oleh pemuda tampan itu, maka ia berlaku hati-hati lalu meloncat mundur.

"Suci.. suhu… harap bantu aku membasmi iblis betina ini!” Tan Li Ceng berseru girang melihat munculnya dua orang itu.

"Sumoi, jangan khawatir lblis ini takkan bisa lolos" jawab gadis baju hijau sambil menerjang lagi. Lalu disusul oleh Tan Li Ceng yang berbesar hati melihat munculnya guru serta kakak seperguruannya.

“Trang trang trang…!” Tangkisan suling merah kali ini amat kerasnya sehinga baik Tan Li Ceng maupun gadis baju hijau itu terhuyung-huyung mundur.

Dewi Suling berdiri dengan suling melintang di depan dada, mukanya pucat dan matanya terbelalak ketika memandang Tan Li Ceng, telunjuk tangan kirinya menunjuk ke arah muka bekas lawannya. "Engkau…. Engkau… wanita….?"

Tadi ketika Dewi Suling mendengar pemuda tampan itu nenyebut suci kemudian oleh si kakak seperguruannya disebut sumoi (adik perempuan seperguruan) ia kaget seperti di sambar halilintar. Saking kaget dan herannya ia masih penasaran dan setelah menangkis, kini ia meyakinkan hatinya dengan pertanyaan itu.

"Cih, perempuan tak tahu malu dan gila! Hatimu sudah begitu kotor sehingga matamu buta tak dapat melihat mana wanita mana laki laki!” bentak Tan Li Ceng yang sesungguhnya adalah seorang gadis cantik jelita berusia delapan belas tahun. Sebagai anak tunggal, Tan Li Ceng amat dimanja dan karena sudah lajimnya pada jaman itu orang-orang tua ingin sekali mempunyai anak laki-laki. Li Ceng diberi pakaian laki-laki untuk mengurangi kecewa ayah ibunya.

Mendengar ini muka yang pucat dari Dewi Suling berubah marah sekali, sepasang matanya menjadi muram dan hatinya diliputi kekecewaan besar. Harus ia akui bahwa ia tadi jatuh cinta sungguh sungguh kepada “pemuda” ini dan kalau ia berhasil, ia akan menghentikan petualangan dengan pemuda pemuda lainnya dan ingin hidup selamanya di samping “pemuda” yang dicintainya ini. Sekarang semua harapan itu buyar seperti asap tertiup angin dan selain rasa kecewa, ia juga merasa malu sekali dan marah.

“Mampuslah!” Bentaknya dengan kemarahan meluap luap. Rasa cinta kasihnya yang mendalam terhadap “pemuda” itu kini berubah menjadi kebencian yang amat sangat, yang dapat dipuaskan hanya dengan pembunuhan. Serangannya hebat bukan main sehingga enci adik seperguruan itu cepat memutar senjata untuk menangkis.

“Omitohud... pinceng mana dapat mendiamkan iblis betina mengganas?” Hwesio tua guru kedua orang gadis itu berseru dan tongkatnya melayang.

Dewi suling kaget bukan main. Ia sedang sibuk dengan serangannya, dan kini enci adik seperguruan itu juga balas menyerang. Secara tiba-tiba ia mendengar desir angin yang demikian dahsyat yang ditimbulkan oleh tongkat panjang, maka cepat ia meloncat sambil memutar sulingnya. Namun, karena ia harus melindungi terjangan pedang kedua gadis lawannya, dan karena hwesio itu menerjang pada saat ia dalam kedudukan kurang kuat elakannya tidak sepenuhnya berhasil.

"Bukk!" Ujung tongkat menggebuk punggungnya. Untung Dewi Suling secepat kilat sudah miringkan tubuh sambil mengerahkan sinkang ke punggung untuk melawan gebukan ini, kalau tidak tentu tulang punggungnya bisa patah-patah! Betapapun juga ia masih terlempar dan jatuh bergulingan, ia terus menggulingkan tubuh mendekati pintu, kemudian meloncat bangun sambil memutar suling.

“Gundul keparat! Siapa kau?” Bentaknya.

"Hemm, pinceng Liong Losu, selamanya anti kejahatan!”

“Tho tee-kong…!” Dewi Suling berseru keras dengan kaget. Gurunya sudah berpesan agar hati-hati kalau bertemu dua orang, yaitu pertama adalah Tho tee-kong Liong Losu si Malaikat Bumi ini, dan kedua adalah Siauw bin mo Hap Tojin si Setan Tertawa yang menjadi guru kedua orang muda yang pernah digodanya.

Kini mendengar hwesio guru kedua orang ini adalah Tho tee kong ia tahu bahwa keadaannya amat berbahaya kalau ia melanjutkan pertandingan. Apalagi punggungnya sudah terluka, sungguhpun hanya merupakan luka di luar saja. Sambil meloncat ia mengeluarkan lengking mengerikan dan pada saat itu tubuhnya sudah melayang keluar dari pintu.

“Iblis betina hendak lari ke mana?" Tan Li Ceng dan encinya yang bernama Lauw Ci Sian berbareng membentak marah dan berlumba untuk mengejar.

"Awas....!” Bentak guru mereka yang sudah melompat maju dan memutar tongkat.

Dua orang gedis itu terkejut dan merebahkan diri. Sinar hijau menyambar di atas tubuh mereka dan lenyap memasuki dinding. Itulah jarum-jarum hijau yang beracun. Beberapa jarum runtuh oleh putaran tongkat Liong Losu.

“Kejar…!" Tan Li Ceng yang masih gemas terhadap Dewi Suling, meloncat keluar disusul kakak sepeguruannya.

Hwesio tua dan dua orang muridnya itu mengerahkan ginkang dan melakukan pengejaran dengan ilmu lari cepat. Akan tetapi Dewi Suling sudah lari jauh sekali, kemudian iblis betina itu meloncat ke dalam sebuah perahu dan meluncurlah perahunya bagaikan anak panah terlepas dari busurnya. Guru dan dua orang muridnya itupun mencari perahu dan terus melakukan pengejaran.

Tho tee kong Liong Losu adalah seorang pendeta yang selain berwatak aneh dan berjiwa pendekar juga seorang yang berhati-hati memilih murid. Ia tidak pernah mempunyai murid, hanya lima belas tahun yang lalu ketika ia dan Siauw bin-mo Hap Tojin gagal membela keluarga Yu Kiam sian dan melihat beapa pendekar sakti Sin kong ciang Han In Kong mengambil Yu Lee sebagai murid.

Maka ia mengambil keputusan buat mencari murid berbakat, sebagai seorang pendeta Budha yang menempuh hidup suci, Tho tee kong Liong Losu mempunyai perangai yang halus, maka sesuai dengan sifatnya ini ialah murid murid wanita. Maka ia lalu memilih dua orang anak perempuan sebagai muridnya.

Murid pertama ialah Lauw Ci Sian, seorang anak perempuan yatim piatu berusia delapan tahun. Murid kedua adalah Tan Li Ceng anak perempuan tunggal Tan Kiat pemilik toko obat. Sesuai pula dengan bakat masing masing, ia memberikan ilmu pedang tunggal untuk Lauw Ci Sian serta siang kiam (pedang berganda) buat Tan Li Ceng.

Selama dua belas tahun ia mendidik kedua orang muridnya itu sehingga mereka memperoleh ilmu silat yang tinggi serta jarang menemui tandingannya di antara orang-orang muda jagoan di jaman itu. Setelah belajar selama dua belas tahun. Tan Li Ceng yang mempunyai kebiasaan berpakaian seperti pria itu lalu kembili ke An-keng tempat tinggal ayahnya.

Oleh sebab itulah di An-keng ia merupakan seorang “pemuda” baru saja terlihat oleh Dewi Suling waktu itu. Dan kebetulan pula malam itu Tho tee kong Liong Losu berserta murid pertamanya datang berkunjung serta terus malam itu juga mendatangi rumah Tan Li Ceng.

Kenapa begitu kebetulan? Tidak lain setelah begitu hwesio tua itu tiba An-keng sore tadi lalu pergi ke kuil yang dihuni oleh lima orang nikouw serta mendengar akan sepak terjang Dewi Suling.

Maka itu buru buru hwesio ini bersama muridnya mendatangi rumah muridnya yang kedua untuk nanti diajak bersama sama mencari serta membasmi Dewi Suling. Tak disangka iblis betina yang dicari-carinya itu justeru berada di rumah Tan Li Ceng yang disangkanya pria!

Sementara itu, dengan hati gemas Dewi Suling cepat cepat mendayung perahunya pulang ke tempat tinggal gurunya di Istana Air. Ia telah terluka, biarpun tidak berat, akan tetapi buat melawan Tho tee kong serta kedua orang muridnya sendirian, ia merasa tidak kuat. Ia harus melaporkan kepada gurunya soal munculnya musuh besar itu. Dan kekecewaan karena ternyata Tan Li Ceng adalah seorang gadis membuat ia kehilangan semangat buat bersenang senang dan bermain main di An-keng.

Malam telah berganti fajar ketika Dewi suling naik ke darat dan menarik perahu kecilnya ke darat pula. Ia heran melihat betapa sepinya daerah Istana Air. Akan tetapi baru saja ia lari beberapa meter jauhnya, dari kanan kiri berlompatan keluar penjaga yang bersenjata lengkap, bahkan seorang penjaga membentaknya,

“Siapa….!”

“Goblok… buka matamu lebar lebar! Minta mampus?” Dewi Suling balas membentak dengan perasaan mendongkol.

“Ahhh… ampun Siocia! Ampunkan hamba… di dalam gelap ini mana hamba bisa mengenali Siocia? Taunio memerintahkan agar penjagaan diperketat sebab dikhawatirkan datangnya musuh yang akan menolong tawanan. Maka kami melakukan penjagaan ketat sambil bersembunyi.”

Lenyap kemarahan Dewi Suling segera ia tertarik sekali. "Tahanan sipakah orangnya? berani betul masuk ke sini sampai tertawan...?”

“Seorang pemuda luar biasa, Siocia. Yang-ce Su-go maupun Ngo tayhiap (pendekar Ngo Cun Sam) tak bisa mengalahkannya. Baru Setelah Toanio sendiri turun tangan, dia bisa ditawan di ruangan berlatih silat.”

“Pemuda? Siapa…?” Dewi Suling bertanya heran. Kalau sampai pemuda itu harus dikalahkan gurunya di dalam tian-bu thia ( Ruangan silat), berarti gurunya tak kuat melawan dan perlu dengan bantuan alat-alat rahasia di tian bu thia. Alangkah hebatnya kepandaian pemuda itu!

"Entahlah, Siocia. Hamba tidak tahu namanya. Hanya mendengar bahwa dia itu masih...

....Halaman 26 -27 hilang...

Sementara itu, Tho tee kong Liong Losu bersama dua orang muridnya Lauw Ci Sian serta Tan Li Ceng dengan perahu mereka sudah tiba pula di daerah Istana Air. Melihat perahu kecil Dewi suling di darat serta melihat pula tembok bangunan yang besar mereka lalu mendaratkan perahu dan berlompatan memasuki hutan.

"Kita harus berhati-hati dan membagi tugas." kata Liong Losu. "Dinding itu tebal dan kuat, tentu penjagaannya juga… Awas!!”

Pada waktu itu dari belakang berhamburan senjata rahasia banyak sekali. Dua orang gadis itu sudah sejak tadi memegang pedangnya masing-masing lalu cepat mambalikkan tubuh memutar senjata mereka sehingga terdengar bunyi trang trang ketika senjata senjata rahasia itu tersampok berjatuhan.

Liong Losu tahu bahwa senjata-senjata rahasia itu dilepakkan oleh oang orang berkepandaian biasa saja, ia cuma menggerakkan tangan kirinya menangkap lalu melemparkannya kembali ke arah dari mana datangnya tadi.

"Aduh….! Aug…! Ahhh…!” Terdengar jeritan jeritan dari.dalam gelap sebab termakan senjata rahasia sendiri. Kemudian bermunculan keluar belasan orang tinggi besar, mereka adalah anggauta anggauta bajak sungai yang ditugaskan menjaga di situ. Tadi mereka melihat pendaratan tiga orang ini akan tetapi mereka sengaja membiarkan mereka memasuki daerah dekat dinding Istana Air, baru mereka turun tangan dan menghujankan senjata rahasia.

Alangkah kaget dan marah hati mereka ketika serangan gelap itu gagal, bahkan sebaliknya tiga orang teman mereka roboh. Obor dinyalakan dan berkilauanlah senjata mereka ketika menyerbu tiga orang tersebut.

Namun, sial nasib para pembajak sungai itu. Mereka ini seperti segerombolan nyamuk menerjang api. Begitu Liong Losu menggerakkan tongkatnya dan kedua orang muridnya menggerakkan pedang dalam waktu beberapa menit saja mereka sudah roboh tak dapat bangun kembali.

“Terang di sini sarang Dewi suling dan kaki tangnnya Kita bagi tugas, kalian berdua menyerbu dari kanan sana, pineng dari kiri. Dengan demikian kita memotong jalan keluar mencegah dia melarikan diri. Dia sudah terluka, tentu kalian cukup kuat mengatasinya.”

Bagaikan tiga ekor burung malam, guru dan murid ini melayang naik ke atas dinding dan memasuki daerah bangunan Istana Air. Liang Losu melompat ke atas genteng sebelah kiri dan dua orang gadis itu lari ke kanan yang menjadi bagian belakang bangunan itu, kemudian melompat pula ke atas genteng.

Sayang sekali bahwa Liong Losu tidak tahu akan kejadian sebenarnya dari Istana Air, tidak tahu bahwa Dewi Suling adalah murid terkasih Hek siauw Kui bo dan lebih lebih tidak tahu bahwa di dalam Istana Air yang megah itu berdiam nenek iblis yang sakti ini! Kalau ia tahu, tidak nanti ia membiarkan dua orang muridnya berpisah dari sampingnya di sarang nenek iblis yang amat lihai itu.

Dengan ketabahan yang timbul dari percaya kepada kepandaian sendiri, dua orang pendekar wanita remaja itu berlompatan di atas genteng dan langsung menyelidik di bagian belakang ruangan gedung yang besar dan indah itu. Kemudian melihat sebuah taman di belakang gedang, mereka melayang turun dan menyelinap di dalam bayangan pohon, kemudian berindap indap memasuki ruangan belakang yang diterangi remang-remang.

Dengan sigap mereka berlari ke ruangan ini, pedang di tangan dan mata memandang ke sekeliling mencari cari pintu mana yang akan mereka serbu untuk mencari Dewi Suling atau menghadapi kaki tangannya.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa terbahak dan muncullah empat orang laki laki tinggi besar memegang golok berat dan seorang kakek berjenggot putih panjang.

“Ji-te (adik kedua), matamu tajam sekali, dalam gelap begini mengenal gadis cantik jelita. Mereka ini benar benar muda serta jelita, ha ha ha!" Song Kai berkata sambil melihat tubuh kedua orang gadis remaja itu dengan mata melotot. Lalu empat orang Yang-ce Su-go itu tertawa-tawa cengar cengir kurang ajar.

“Su-wi (tuan berempat) harap jangan sembrono. Gadis gadis itu bukan orang sambarangan” kata Ngo Cun Sam.

“Benar-benar Ji-te bermata tajam! Kalau bukan kau yang berkata dua orang gadis cantik, aku tentu tidak akan mengenal dia ini sebagai seorang gadis. Pantas saja tampan bukan main!" kata pula Song Kai tanpa memperdulikan peringatan Ngo Cun Sam terus menuding telunjuk kirinya ke arah Tan Li Ceng.

"Ha, ha, ha, twako, aku seorang ahli perempuan, mana bisa tidak dapat membedakan pinggul laki-laki dan pinggul perempuan? Lihat saja pundak dan dadanya, kemudian lihat tangannya.”

Ternyata kalau Dewi Suling yang telah gila laki-laki tidak mengenal Tan Li Ceng, sekarang keempat Yang-ce Su-go yang gila perempuan itu südah bisa mengenalinya sebagai seorang gadis. Tan Li Ceng yang telah menjadi bahan percakapan kurang ajar itu sudah tak bisa menahan kemarahannya pula.

Sambil berseru keras ia memutar sepasang pedangnya, tetus menyerang Song Kai serta adiknya, yang bermata tajam tadi. Melihat gerakan adik sepergurüannya, Lauw Ci Sian juga menyerang dua orang auggauta Yang ce Su go lainnya.

"Trang trang..! Aihh… lihay juga…!”

Song Kai berseru kaget sebab ketika ia dan adiknya menagkis sepasang pedang Tan Li Ceng, dengan kecepatan yang sukar diduga pedang itu mental ke bawah dan membabat ke arah perut mereka dari kanan kiri seperti kilat menyambar. Untung Song Kai cepat mengelak mundur bersama adiknya tetapi ba ju mereka tetap rerobek ujung pedang.

Nyaris kulit perut mereka robek! Kini mereka tidak berani main main dan harus mengakui kebenaran yang diterangkan kakek jenggot putih Ngo Cun Sam tadi. Juga dua orang Yang-ce Su-go lainnya telah sibuk memutar serta memainkan senjata karena terkurung oleh sinar pedang yang bergulung gulung di tangan Lauw Ci Sian, gadis baju hijau.

Pertempuran berlangsung seru dan mati-matian karena sambaran pedang dan golok yang berdesingan serta bersiuran bunyinya itu merupakan bayangan bayangan tangan elmaut yang mengerikan, Yang-ce Su-go boleh menjagoi di Sungai Yang ce tetapi kini berhadapan dengan dua orang murid Tho tee kong, mereka terdesak dan gerakan golok mereka terkurung serta tertindih sinar sinar pedang kedua gadis itu.

Tiba-tiba Lauw Ci Sian terkejut sekali karena merasa ada hawa pukulan yang amat kuat menerjangnya dari belakang, ia bisa menduga tentu kakek jenggot putih itu yang menyerangnya karena sudah sejak tadi ia melihat bahwa kakek inilah yang terlihay di antara musuh musuhnya.

Cepat gadis lihai ini miringkan bahuhnya mengangkat sebelah kaki meloncat terus menendang sementara pedangnya berkelebat te kiri melindangi tubuhnya dari serangan kedua golok. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba kakinya yang menendang itu kena ditangkap oleh kakek jenggot putih!

Sebagai seorang ahli pedang yang lihai biarpun kaki kirinya tertangkap, namun ia dapat mencenderungkan tubuhnya ke depan sambil membebatkan pedang ke arah pergelangan tangan Ngo Cun Sam.

"Uhhh…!” Kakek itu berseru kaget dan kagum sekali. Terpaksa ia menarik pulang tangannya sambil melepaskan pegangan.

Yang-ce Su-go sudah menerjang dengan sambaran golok mereka. Golok itu datangnya dari kanan kiri, ketika ditangkis pedang, dua batang golok itu membuat gerakan menggunting sehingga pedang Lauw Ci Sian terjepit. Gadis itu tidak menjadi gugup, cepat tangan kirinya mendorong sambil kaki kirinya melangkah maju.

“Dukkk…! Aduh…!” Seorang di antara kedua Yang-ce Su-go terjengkang roboh karena dadanya terkena pukulan tangan yang halus namun mengandang tenaga sinkang hebat itu.

Akan tetapi pada detik pukulan Lauw Ci Sian mengenai sasaran, gadis ini terkejut sekali karena tiba-tiba pinggangnya dipeluk orang dari belakang! Sebelum ia sempat bergerak, golok lawan kedua sudah menyambar dari depan. Terpaksa ia menangkis dengan pedang dan pada saat itu Ngo Cun Sam yang memeluk pinggangnya telah menangkap tangan kirinya dan terus ditelikung ke belakang.

Ilmu gulat kakek ini hebat, maka berada dalam cengkeraman kakek ini Lauw Ci Sian sama sekali tak dapat berkutik lagi dan tangan kanannya yang memegang pedang dapat ditendang lawan sehingga pedangnya terlepas dan ia tertangkap!

Sebelum gadis itu dapat meronta. Ngo Cun Sam sudah mengeluarkan tali kulit yang amat kuat dan membelenggu tangan Liuw Ci Sian kemudian menendang belakang lututnya sehingga Lauw Ci Sian roboh terguling.

Tan Li Ceng yang melihat robohnya sucinya dia menjadi marah sekali. Namun ia tidak dapat menolong karena pada saat itu orang ketiga Yang-ce Su-go juga sudah maju menerjang sehingga ia kini dikeroyok tiga. Orang keempat masih duduk dan meringis kesakitan sambil mengurut urut dadanya yang tertonjok tadi.

Tan Li Ceng mengamuk nekad. Sepasang pedangnya berkelebatan seperti dua ekor naga sakti mengamuk. Namun tiga orang lawannya juga bukan orang lemah. Tadi ketika menghadapi dua orang lawan ia masih dapat mendesak, akan tetapi sekarang ditambah seorang lawan dan melihat kakak seperguruannya roboh, ia menjadi gelisah dan berbalik terdesak hebat.

Lebih celaka lagi baginya, Ngo Cun Sam kembali menubruknya dari belakang selagi kedua pedang nya sibuk menangkis tiga batang golok, dan sekali kena diterkam ia dapat ditelikung dan pedangnya di rampas, lalu iapun dibelenggu dan ditendang roboh. Dua orang gadis perkasa itu kini rebab di atas lantai dengan mata melotot penuh kebencian. Tan Li Ceng malah segera mengeluarkan suaranya memaki maki!

"Hemm, dua orang gadis ini lihai. Aku harus cepat melapor kepada Toanio,” kata Ngo Cun Sam. Harap su-wi suka menjaga agar mereka jangan melarikan diri atau tertolong teman temannya. Siapa tahu masih ada kawan kawannya.”

Setelah Ngo Cun Sam lari untuk melapor kepada Hek siauw Kuì bo, Song Bau orang termuda Yang-ce Su-go yang terpukul roboh tadi, kini sudah dapat bangkit dan ia mengambil golok nya lalu melangkah maju. Dengan gemas ia mengangkat golok untuk dibacokkan ke leher Lauw Ci Sian. Lauw Ci Sian yang menghadapi ancaman maut dengan mata terbelalak, sedikitpun tidak takut, berkedip pun tidak.

Akan tetapi Song Kang memegang lengan adiknya. "Eh goblok! Apakah engkau sebodoh Ngo Cun Sam? Dia boleh jadi sudah pikun dan kehilangan semangat, akan tatapi bagi kita, dua orang cantik jelita seperti ini masa harus diserahkan kepada Toanio untuk dibunuh atau kau bunuh begitu saja? Sebelum dibunuh, kita akan bersenang-senang sampai puas lebih dulu. Ha, ha, ha! Hayo lekas bawa mereka ke tempat kita.” Song Kai lalu menyambar tubuh Lauw Ci Sian dan memondongnya.

“Bagaimana kalau Toanio marah?” Seorang adiknya meragu.

“Bodoh! Kenapa marah? Kita tidak akan membebaskan mereka!”

Orang kedua Yang-ce Su-go mengerti akan maksud kakaknya maka sambil tertawa iapun lalu memondong tubuh Tan Li Ceng yang berusaha meronta dan menendangkan kakinya. Akan tetapi karena kedua tangannya terbelenggu dan laki-laki itu amat kaut, ia tidak berdaya dan dapat di pondong sambil memaki maki.

"Ha, ha, ha, kuda betina ini liar dan ganas sekali. Biar aku yang menjinakkanya, ha, ha..!” kata orang kedua yang memondongnya. Empat orang Yang-ce Su-go itu lalu melarikan dua orang gadis tadi ke dalam kamar mereka yang berada disebelah belakang Istana Air.

Terdengar suara empat orang Yang-ce Su-go itu tertawa-tawa dan juga terdengar makian-makian dua orang gadis yang tertawan, menggema di dalam gelap. Yu Lee mengeluarkan keluhan perlahan dan bulu matanya bergerak-gerak, tiba-tiba ia menekan urat urat syarafnya yang akan bergerak, menahan dirinya yang hentak meloncat. Ia merasa ada tangan halus membelai rambutnya, bahkan kemudian hidungnya mencium bau harum.

Ketika terasa olehnya sebuah bibir yang basah melekat di pipinya, ia terkejut lalu membuka sedikit matanya. Dari balik bulu matanya ia melihat bahwa yang sedang mencium dan membelai rambutnya penuh kasih sayang itu adalah Dewi Suling.

Yu Lee biarpun masih muda namun ia amal cerdik serta berpikiran luas. Karena ia merasa bebas dan tubuhnya segar ia bisa menduga tentulah Dewi Suling yang menolongnya, lalu ia siapa lagi yang berani melakukannya? Pikiran inilah yang membuat Yu Lee tidak berontak secara kasar serta di dalam hatinya ia merasa bersyukur dan amat berterima kasih.

“Aku cinta padamu,…. Oh, betapa cinta ku kepadamu…!”

Bisikan dari mulut Dewi Suling ini hampir membuat Yu Lee pingsan lagi! Ia menggunakan kepandaiannya untuk menekan perasaan sehingga jalan darahnya normal dan pernapasannya halus seperti tadi ketika ia berada dalam keadaan pulas atau pingsan!

Pada saat itu, daun pintu kamar yang terkunci dari dalam diketuk. Dewi Suling mengangkat mukanya dari pipi Yu Lee, menengok lalu menghardik. Kalau tadi bisikannya halus merayu, kini hardikannya galak dan keras.

“Setan mana berani menggodaku? Siapa kau?"

“Ampun, Siocia" Terdengar suara laki-laki dari luar. "Hamba diutus Toanio untuk memanggil Siocia. Malam ini Istana Air di serbu oleh musuh kuat. Bantuan Siocia diperlukan!"

"Ahhh…!" Dewi Suling berseru kecewa lalu membungkuk lagi mencium bibir Yu Lee sambil berkata, “Tidurlah yang tenang dulu, kekasihku!” Kemudian ia menyambar pedangnya dan keluar dari kamar menutup kembali serta mengunci dari luar.

Seolah-olah sebuah batu besar yang terlepas dari menindih perasaan jantung Yu Lee. Lalu segera menggerakkan kaki tangannya. Hanya serasa sedikit perih dan sakit di beberapa bagian luka di mukanya dan tubuhnya, namun untung lukanya sudah kering dan sembuh. Masih tampak olehnya obat bubuk putih si atas luka-luka itu maka ia makin berterima kasih kepada Dewi Suling.

Akan tetapi mendengar laporan tadi bahwa Istana Air diserbu musuh ia menduga duga siapa yang menyerbu ini. Cepat ia menyambar pakaiannya yang tertumpuk di sudut pembaringan, memakainya dengan cepat sekali lalu ia menuju ke arah daun pintu.

Mudah saja baginya buat mendorong daun pintu secara paksa sehingga terbuka, kemudian ia meloncat keluar. Teringat bahwa ia tidak bersenjata, ia lalu meloncat keluar, ke dalam taman lalu mematahkan sebatang ranting dari sebuah pohon. Kemudian ia melompat ke atas genteng melakukan pengintaian.

Suara ketawa tawa dan jerit makian wanita yang terdengar dari bangunan di sebelah belakang Istana Air, menarik perhatiannya lalu seperti seekor burung garuda ia berlari secepatnya bagaikan terbang, kemudian ia meloncat ke atas genteng, dan melihat ke bawah. Apa yang dilihatnya di dalam kamar di bawah itu membuat darahnya mendadak menjadi panas sekali.

Dua orang gadis muda remaja yang terikat kedua tangannya sedang ronta ronta serta memaki maki, sedangkan empat orang laki laki yang ia ketahui sebagai Yang-ce Su-go sambil tertawa-tawa merenggut dan merobek robek pakaian dua orang gadis itu sehingga mereka bedua kini menjadi telanjang bulat!

"Iblis keji bunuhlah kami!” teriak gadis yang memaki maki tadi sambil meramkan mata.

"Ya, bunuhlah kami… bunuh saja kami!” teriak gadis kedua dengan air mata bercucuran. Dua orang gadis itu memaki maki dan tidak takut melawan maut, akan tetapi ancaman yang mereka hadapi ini jauh lebih mengerikan daripada maut sendiri!

Akan tetapi empat orang itu cuma tertawa-tawa dan laksana singa kelaparan sedang memperebutkan dua ekor domba gemuk, lalu berbareng mereka maju menubruk dengan nafsu seekor binatang meluap-luap.

"Manusia binatang…..!!” Seruan ini disusul menyambarnya tubuh Yu Lee ke bawah melalui genteng serta sebelum satupun diantara tangan empat orang Yang-ce Su-go itu dapat menyentuh tubuh dua orang gadis itu yang telanjang bulat, Yu Lee sudah menghantamkan tangan kiri yang terbuka jari jarinya kearah mereka, membuat mereka bagaikan disambar petir dan terlempar kesana kemari!

Kepala mereka terasa pening dan pandang mata berputar putar dan sampai beberapa lama mereka tak dapat bangun. Masih untung bagi mereka bahwa pemuda itu hanya menghantam mereka dengan hawa pukulannya saja karena kalau tersentuh tangan yang penuh dengan ilmu Sin kong ciang (Tangan Sinar Saki) itu tentu tubuh mereka tak bernyawa lagi!

Yu Lee cepat mengambil pakaian luar dua orang gadis itu yang tadi hanya dilepaskan dan tidak dirobek-robek seperti pakaian dalam mereka, melemparkan dua perangkat pakaian itu kepada mereka sehingga menutup dua orang gadis itu, kemudian dua kali tangannya bergerak, tali kulit yang membelenggu tangan Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng putus-putus semua!

Lauw Ci Sian dan Tau Li Ceng yang melihat pemuda pakaian putih itu sengaja membalikan tubuh membelakangi mereka, dengan muka merah sekali cepat cepat mengenakan pakaian luar mereka kemudian sambil berseru bagaikan seekor harimau Tan Li Ceng meloncat ke depan Song Kai dan kakinya terayun.

“Dess...!” Tubuh Song Kai terlempar seperti bola membentur dinding di mana ia roboh dan mengaduh-aduh.

“Bukk!" Lauw Ci Sian juga menendang bergantian dua orang Yang-ce So-go yang menelanjanginya. Bagaikan dua ekor harimau betina yang marah mereka menghantam dan menendangi empat orang Yang-ce Su-go.

Empat orang kepala bajak sungai itu biarpun sekarang telah sadar, namun begitu melihat Yu Lee berdiri disitu dengan tegak dan gagah, semangat mereka telah melayang dan keberanian mereka lenyap seperti diterbangkan angin. Bahkan kini mereka merintih-rintih, mengaduh aduh karena hajaran dua orang gadis itu, kemudian tanpa malu malu lagi mereka berempat berlutut mengangguk anggukkan kepala seperti ayam makan padi sambil minta minta ampun!

Adapun Yu Lee bengong terlongong ketika melihat bahwa dua orang gadis itu ternyata pandai ilmu silat! Bukan hanya pandai, malah ahli benar dan jelas bahwa tingkat kepandaian mereka jauh di atas tingkat empat orang bajak itu! Saking herannya, ia hanya bengong saja dan tak dapat dicegah ketika dengan tiba-tiba Tan Li Ceng menyambar sebatang golok empat orang itu yang tercecer karena dihajar.

Kemudian sambil memaki-maki disamping terisak menangis, gadis ini empat kali menggerakkan golok dan… empat buah kepala manusia menggelinding di atas lantai dan empat batang tubuh menyemburkan darah dari leher yang buntung!

“Ahhh…!”

Mendengar suara ini, Tan Li Ceng yang beringas dan Lauw Ci Sian yang biarpun marah tidak seganas adik seperguruannya, cepat membalikkan tubuh dan.. mareka berdua kini yang menjadi bengong melihat betapa pemuda gagah perkasa yang telah menolong mereka itu kiní berdri sambil menangis mengusap usap mata dengan ujung lengan baju.

"Ihhh! Kau kenapa…“ Tan Li Ceng saking herannya melangkah maju memegang tangan Yu Lee dan mengguncang-guncangkannya.

"In kong (tuan penolong) apakah artinya ini…?" Lauw Ci Sian yang lebih mengenal aturan jasa bertanya saking herannya.

“Ahhhh tidak apa-apa…. ah, mengapa manusia dibunuh seperti itu...! Akan tetapi. Eh, eh, mereka memang jahat… dan aku tidak tahu...!” Kembali ia menangis!

Memang luar biasa pemuda ini. Agaknya peristiwa hebat yang terjadi lima belas tahun lalu, malapetaka yang menimpa keluarganya dan yang merenggut nyawa semua keluarganya, telah mengguncang perasaan pemuda ini sehingga perasaannya menjadi amat halus dan mudah tergetar mudah terharu.

Dan tidak tega melihat manusia terbunuh walaupun ia yakin benar bahwa empat orang Yang-ce Su-go ini memang sudah sepatutnya kalau dihukum mati Akan tetapi karena sama sekai tidak tahu akan keadaaan dirinya, maka ia menjawab dengan gagap dan bingung.

"Ah, lekas kita cari suhu!” Tiba-tiba Tan Li Ceng berkata teringat akan gurunya yang memasuki Istana Air itu dari depan. Sambil bertkata demikian gadis ini menggerakkan tubuh meloncat keluar dari dalam kamar melalui lubang atap yang dibuat oleh Yu Lee tadi.

Lauw Ci Sian mengerling ke arah Yu Lee dan kebetulan pemuda inipun memandangnya. Gadis ini tersipu menunduk dengan sepasang pipi merah, kemudian menghela napas panjang untuk menekan perasaan yang tidak karuan, jantungnya yang berdebar debar dan meronta ronta lalu sekali menggenjot kan kedua kakinya, tubuhnya sudah melayang mengikuti adik sepeguruannya.

Yu Lee sejenak tercengang menyaksikan gerakan dua orang gadis itu yang cukup lincah, lalu ia pun melayang naik ke atas genteng dan berkelebat menembus kegelapan malam hendak mencari musuh besarnya, Hek siauw Kui bo. Kalau teringat betapa ia dirawat Dewi Suling selama sehari semalam, karena malam kemarin ia roboh, hatinya merasa amat tidak enak.

Dewi Suling adalah murid Hek siauw Kui bo. HeK siauw Kui bo boleh jadi adalah musuh besarnya pembasmi keluarganya yang harus ia lenyapkan dari muka bumi. Akan tetapi muridnya Dewi Suling biarpun ia tahu betul juga bukan seorang baik-baik akan tetapi harus ia akui telah menjadi penolongnya, bahkan telah menyelamatkan nyawanya!

Kenyataan ini membuat ia menjadi bingung ketika ia berlompatan di atas genteng mengikuti dua bayangan gadis cantik yang baru saja dibantunya itu.

"Suci… dia… dia hebat sekali….” Bisik Tan Li Ceng ketika melihat bayangan kakak seperguruannya berkelebat di sampingnya.

Lauw Ci Sian yang lari seperti orang kehilangan semangat atau seperti dalam keadaan melamun itu terkejut dan menjawab gagap. "…eh, apa…? Ya…. betul." Kemudian mengatupkan bibir rapat dan menarik napas panjang dari hidungnya yang mancung.

"Kenapa tidak tanyakan namanya?" Kembali Tan Li Ceng berkata.

"Soal itu… hemm…. eh, dengar itu sumoi?"

Keduanya berhenti sebentar dan mendengar suara riuh di sebelah depan Istana Air. Malam telah mulai menjelang pagi dan di antara keremangan cuaca fajar, mereka melihat berkelebatnya banyak orang di depan bangunan megah itu, juga banyak orang memegang obor.

Menduga bahwa suhu nya tentu beraba di situ mereka lalu meloncat dan berlari cepat sekali ke arah depan bangunan. Dari atas genteng mengintai dan alangkah kaget hati mereka melihat betapa guru mereka dibantu seorang tosu bermuka hijau yang bersenjata pedang butut, sedang mengeroyok seorang nenek yang amat lihai.

Biarpun guru mereka sudah mengamuk dengan tongkatnya dan tosu itupun ilmu pedangnya amat aneh serta cepat, tetapi ternyata masih terdesak oleh suling hitam di tangan nenek itu, suling hitam yang bergulung gulung menjadi sinar hitam satu mengeluarkan suara melengking lengking yang menyayat hati.

"Hek siauw Kui bo…!" bisik Lauw Ci Sian. Sebagai murid Tho tee-kong Liong Losu, tentu saja mereka sudah diceritakan oleh guru mereka perihal nenek iblis yng amat jahat dan sakti ini.

Mereka tak menduga sama sekali bahwa mereka bisa bertemu dengan nenek sakti ini disarang Dewi Suling. Mereka cerdik sekail dan kini melihat betapa Dewi Suling yang cantik jelita itu dikeroyok kedua orang pemuda tampan bersenjata pedang mereka bisa menduga bahwa tentulah Dewi Suling ini yang lihai tetapi cabul adalah murid Hek siauw Kui bo si iblis wanita itu.

Lalu mereka melayang turun sambil mencabut pedang mereka yang tadi mereka temukan di dalam kamar, kemudian menerjang Hek siauw Kui bo membantu guru mereka serta si tosu yang kewalahan.

"Ci Sian! Li Ceng! Kau bantulah dua orang murid Siauw bin mo itu merobohkan Cui siauw Sianli si kuntilanak!" teriak Liong Losu karena selain ia tahu bahwa bisa berbahaya kalau membantunya sebab saking lihainya Hek-siauw Kui-bo juga ia tadi telah melihat bahwa dua orang pemuda murid sahabatnya itupun terdesak hebat oleh Dewi Suling yang melawan sambil tertawa tawa mengejek.

Kembali dua orang gadis itu terkejut. Kiranya tosu yang lihai itu adalah Siuw bin-mo Hap Tojin yang suka disebut sebut oleh guru mereka sebagai seorang sahabat baik. Dan kedua orang pemuda itu yang tengah bertempur mati matian melawan Dewi Suling adalah dua orang murid Siauw bin-mo Hap Tojin.

Mereka cepat menengok dan memang betul dua orarg pemuda itu terdesak hebat serta terancam bahaya karena dikeroyok pula oleh puluhan orang anak buah Dewi Suling yang telah mengepungnya dan sebagian bersorak sorak melihat betapa empat orang musuh itu terdesak hebat oleh Toanio (nyonya besar) dan Siocia (nona) mereka!

Sambil berseru keras sebab masih marah dan teringat akan penghinaan yang mereka tadi alami, Tan Li Ceng lalu memutar tubuhnya dan terus menerjang Dewi Suling yang tengah melawan Ouw yang Tek dan Gui Siong dua orang murid Siauw bin mo yang dulu pernah dipermainkan oleh Dewi Suling. Melihat adik seperguruannya mengeroyok, Lauw Ci Sian juga terus ikut mengeroyok Dewi Suling.

"Hi, hi, hi! Dua orang bagus, kalian mendapat bantuan dua orang budak-budak cilik ini? Hi, hi, mereka tidak cukup berharga.buat melawanku!" Dewi Suling menyambut kedua pengeroyok baru ini dengan kibasan sulingnya yang membuat sinar panjang sehingga dua orang gadis itu kaget sekali lalu melompat mundur memutar pedang melindungi diri masing-masing.

Dewi Suling mengeluarkan suara melengking keras disusul suara ketawanya lalu berkata, "Kawan-kawan semua, hayo kalian sambut dua orang budak ini dan kalau tertawan, kuserahkan kepada kalian untuk bersenang-senang!”

Mendengar ini, para pimpinan bajak bajak sungai menjadi girang sekali. Mereka terus bersorak dan menyerbu ke depan dengan senjata mereka sehingga dalam waktu singkat saja Tan Li Ceng dan Lauw Ci Sian telah terkurung dan dikeroyok oleh dua puluh orang lebih bajak sungai yang sudah mengilar melihat kecantikan dua orang gadis yang dijanjikan mau diserahkan kepada mereka oleh Dewi Suling.

Pertempuran kini terpecah menjadi tiga bagian. Siauw bin-mo Hap Tojin dan Tho tee-kong Liong Losu sibuk melawan Hek siauw Kui bo. Ouwyang Tek dan Gui Siong terdesak dan repot melayani suling merah Dewi Suling.

Sedangkan Tan Li Ceng dan Lauw Ci Sian dikeroyok puluhan bajak yang biarpun kepandaian mereka tidak tinggi tetapi jumlah mereka amat banyak sehingga dua orang gadis itu menjadi repot juga. Di luar kepungan itu masih terdengar banyak bajak yang memegang obor sambil mengepung serta bersorak-sorak memberi "hati" kepada kawan-kawan mereka.

"Hemm Hap Tojin dan Liong Losu, dua orang pendeta menjemukan! Kalian ini sudah tua bangka mengapa tidak mau menantikan mati-baik baik saja di tempat pertapaan, sebaliknya datang ke sini untuk mati konyol. Menjemukan sekali!” kata Hek-siauw Kui-bo sambil menahan tongkat dan pedang musuh di dalam waktu cuma beberapa detik saja dengan suling hitamnya. Hebat tenaga sakti wanita tua ini karena tongkat dan pedang dari kedua orang lawannya seperti melekat dan tak dapat ditarik kembali.

"Ha, ha, ha! Hek-siauw Kui-bo jangan tekebur. Pinto (aku) tidak ingin mati lebih dulu, karena pinto ingin tertawa gembira melihat engkau kelak tersiksa di dalam neraka. Bukankah begitu, hwesio gendut? Nenek macam Hek-siauw Kui-bo ini bukankah kelak dipanggang dalam api neraka?” jawab Siauw bin-mo Hap Tojin yang selalu terwatak riang gembira.

Wajah Liong Losu yang serius itu mengerutkan kening. “Memang dia ini jahat dan tentu akan di hukum, semoga saja dia insaf dan menyesali dosa sendiri lalu bertobat. Omitohud...!”

Hek-siauw Kui-bo marah bukan main. Dua orang lawannya itu terang tidak akan mampu menang melawannya, namun masih mengeluarkan kata-kata yang ia anggap menghinanya. Maka ia lalu melangkah mundur dan menarik sulingnya, kemudian terdengar ia melengking nyaring seperti lolong serigala kelaparan dan sulingnya bergerak lebih cepat dari tadi mengeluarkan suaru melengking tinggi. Dua orang pendeta tua itu tidak bermain-main lagi dan cepat menggerakkan senjata melindangi diri dan balas menyerang hebat.

Dewi Suling juga tertawa-tawa mengejek. “Kalau kalian berjanji mau menakluk, melempar pedang dan berlutut, mencium ujung jariku tujuh kali, aku mau mengampuni kalian dan selanjutnya menjadikan kalian pelayan pelayan pribadiku. Enak dan senang bukan? Eh, kalau boleh setiap hari melayani aku hi, hi, hi hik!”

Saking marah dan jemunya. Ouw yang Tek dan Gui Siong tak dapat menjawab, hanya berseru marah dan menerjang makin hebat. Namun wanita cantik baju merah itu hanya tertawa-tawa, bahkan dengan gerakan yang aneh sekali menyeluap diantara sambaran sinar pedang lawan dan tahu tahu ujung sulingnya telah menotok ke arah pergelangan tangan dua orang lawannya secara bertubi tubi.

Dua orang pemuda itu kaget sekali dan cepat menarik kembali serangan mereka akan tetapi tangan kiri Dewi Saling sempat mengelus dan mencubit dagu Gui Siong yang halus dan putih sambil tertawa terkekeh genit. Kesembronoan nya ini hampir mencelakakannyaa, karena dengan nekad Gui Siong lalu menusukkan pedangnya tanpa melindangi diri lagi untuk mengadu nyawa dengan si wanita yang dibencinya itu.

"Aihhh…!" Dewi Suling menangkis keras sehingga pedang itu terpental akan tetapi tangan kiri Gui Siong menghantam dan walaupun ia sudah cepat mencelat, pundaknya masih terpukul, membuatnya terhuyung ke belakang.

Seperti bernyala sepasang sinar mata Dewi Suling, "Keparat, kalian sudah bosan hidup. Nah mampuslah!” Kini ia menerjang maju dan sulingnya, mengeluarkan bunyi melengking seperti yang keluar dari suling hitam gurunya.

Sementara itu Tan Li Ceng dan Lauw Ci Sian juga repot sekali. Tadinya mereka mengamuk ganas dan merobohkan beberapa orang bajak, akan tetapi empat orang roboh, delapan orang maju menggantikan dan karena mereka itu menyerang sambil mengurung, kedua orang tadi ini akhirnya hanya mampu melindangi tubuh dari hujan senjata, sukar mencari kesempatan untuk balas menyerang.

"Hua, ha, ha, nona cantik. Lebih baik menyerah dan melayani kami sampai puas, ha ha!" Suara yang kurang ajar terdengar disela sela sorak sorak menjemukan, membuat dua orang gadis itu makin marah dan mengambil keputusau untuk melawan sampai titik darah penghabisan.

Pagi telah tiba dan suara yang terdengar di tepi Sungai Yang-ce di saat itu amat riuh gemuruh, seolah-olah semua iblis dan setan penghuni sungai itu muncul dan berpesta pora ditempat itu. Semua orang gagah yang menyerbu Istana Air kini berada dalam keadaan terdesak karena fihak lawan lebih unggul.

Tiba-tiba terdengar suara yang menyayat hati, suara lengking tangis yang amat keras, orang terisak-isak seperti yang menangis akan tetapi suara ini mengatasi semua suara hiruk pikuk bahkan mengatasi suara suling dari suling hitam Hek-siauw Kui-bo dan suling merah Dewi Suling!

Hebat sekali suara yang tinggi nyaring ini sehingga belasan orang bajak yang tidak memiliki ilmu lwekang sudah roboh terguling! Hek-siauw Ku-bo dan Dewi Suling terkejut bukan main dan hati mereka menjadi gentar.

Sesosok bayangan putih berkelebat dari atas serta sebatang tongkat kecil menahan suling hitam Hek-siauw Kui-bo, digetarkan dan tubuh Hek siauw Kui bo terhuyung mundur dengan wajah pucat! Pemuda baju putih murid Sin kong-ciang Han It Kong yang ia takuti dan tadinya telah tertawan di ruangan silat itu kini telah berdiri di depannya.

Yu Lee dengan tenang menjura di depan kedua orang pendeta itu sambil berkata “Hap Totiang serta Liong Losu harap sudi berlaku murah dan menyerahkan Hek-siauw Kui-bo kepada teecu (murid), sebab teeculah yang berhak melawannya.”

Dua orang pendeta itu tadi merasa kaget, heran serta kagum, betapa seorang pemuda berpakaian putih ini hanya memakai sebatang tongkat mampu membikin mundur Hek-siuw Kui-bo, membuat mereka teringat kepada Sin kong-ciang Han It Kong serta otomatis mereka juga teringat akan bocah cengeng cucu Yu Tiang Sin yang diambil murid oleh pendekar sakti itu.

“Omitohud…..! Kiranya Yu kongcu yang sudah datang….!” kata Liong Losu.

"Ha ha ha! Cucu Yu Tiang Sin… Eh, namamu Yu Lee, bukan? Ha ha ha, si bocah cengeng! Hei, dengar baik-baik Hek-siauw Kui-bo kini ajalmu tiba di tangan Pendekar Cengeng buat menebus dosamu terhadap keluarga Yu Tiang Sin sahabatku, ha, ha, ha!”

Hek Siauw Kui-bo marah sekali. Biarpun ia maklum akan kelihaian Yu Lee, tetapi ia bukan seorang penakut. Hek-siauw Koi-bo terlalu percaya kepada kepandaian sendiri dan kini ia harus nekad bertempur mati-matian. Cepat ia meniup sulingnya dan serangkum sinar hitam menyambar ke arah tujuh belas jalan darah di bagian depan tubuh Yu Lee.

Tetapi pemuda itu dengan kalemnya membuka tangan kiri serta jari-jarinya yang terbuka itu mendorong dan sinar hitam itu runtuh lalu lenyap membawa jarum-jarum halus amblas ke dalam tanah.

Kembali dua orang pendeta itu kaget serta kagum. Kali ini mereka merasa yakin betul akan kesaktian pemuda murid Han It Kong ini yang pasti bisa menandingi Hek Siauw Kui-bo, dua orang pendeta ini lalu berpaling dan menyerbu Dewi Suling yang tengah bikin repot dua orang pemuda itu.

"Ouw-yang Tek! Gui Siong! Kalian lekas bantu dua orang nona itu, hajar semua penjahat!” kata Siauw bin-mo Hap Tojin kepada dua orang muridnya itu.

Ouw yang Tek dan Gui Siong girang melihat guru mereka yang tadi melawan nenek sakti, kini tiba bersama hwesio Liong Losu menghadapi Dewi Suling. Mereka segera melompat mundur lalu menyerbu puluhan bajak yang mengeroyok kedua orang gadis yang melawan mati matian itu.

Cerai berailah para pengeroyok dan keempat orang muda itu menjadi senang dan terus mengamuk seperti empat ekor burung garuda menyambar nyambar sehingga pengeroyoknya berlari serabutan, di dalam gelanggang tempat mengeroyok empat orang muda itu.

Begitu dua orang pendeta itu datang menyerbunya, Dewi Suling sudah mendengar dari gurunya, bahwa kedua orang itu musuh lama gurunya. Hap Tojin dan Tho tee-kong ternyata ilmu mereka hebat sekali dan mereka berdua memiliki tenaga sakti yang hebat. Tapi ia tidak menjadi gentar lalu menyambut serangan mereka dengan ilmu silatnya yang ganas sekali.

"Omitohud, nona ini tidak kalah ganas oleh gurunya!” Liong Losu menarik napas panjang penuh penyesalan ketika menangkis suling itu dengan tongkatnya. Ia merasa menyesal mengapa seorang nona begini muda cantik, yang sepatutnya menjadi seorang isteri dan ibu muda yang tercinta penuh kasih sayang dari suami dan anak anaknya, tetapi justeru menjadi seorang wanita seperti iblis ganasnya.

"Ha, ha, ha, hwesio tua bangka, kau masih merasa sayang, ya? Ha, ha! Aku berani bertaruh potong kepala dengan tongkatmu, bahwa iblis betina ini tentu tidak kalah jahat oleh gurunya, mungkin lebih jahat serta lebih cabul. Hina sekali. Ha, ha, ha!"

Dewi Suling marah seperti dibakar hatinya mengeluarkan pekik keras lalu menerjang mati matian, tetapi kedua musuhnya adalah pendeta pendeta yng lihai ilmu silatnya dan pertahanan mereka seperti batu karang yang kokoh kuat serta tidak takut diterjang ombak membadai.

Yung paling hebat adalah pertandingan antara Yu Lee dan Hek siauw Kui bo. Dua orang musuh besar itu kini berhadapan serta bertempur dalam dalam keadaan yang menentukan, kalah atau menang, mati atau hidup. Maklum akan kesaktian lawan, Yu Lee terus saja memakai ilmu dari gurunya, yaitu Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Penakluk Iblis) yang hebat.

Dan tangannya kini memegang sebatang ranting yang biarpun terdengar aneh, namun sesungguhnyalah bahwa yang dipegangnya ini merupakan satu satunya senjata yang paling tepat untuk permainan ilmu silat Ta kwi tung hoat.

Dengan rantingnya ini, Yu Lee jauh lebih hebat dan berbahaya dari pada ketika ia melayani Hek Siauw Kui bo dengan pedang di tangan kemarin dulu. Pedang adalah sebatang benda baja yang keras, dan biarpun ia sudah menggunakan ilmu pedang berdasarkan ilmu Tongkat Pemukul iblis, namun masih tetap lihai ilmuini. ilmu ini adalah ilmu tongkat.

Maka lebih tepat dan enak dimainkan dengan memegang tongkat. Dan tongkat yang dipegangnya, sebatang benda lemas, yang dapat menerima penyaluran tenaga serta hawa saktinya sehingga dalam hal “menggetar”. Dan ranting ini jauh lebih hebat daripada sebatang pedang.

Hek-siauw Kui-bo melawan dengan nekad. Wanita tua ini memang telah menggunakan sulingnya yang sudah membinasakan lebih dari seribu orang itu kini bargerak cepat, lenyap berubah menjadi kilatan sinar yang bergulung gulung hitam. Ia bernafsu sekali buat merobohkan pemuda ini, sebab maklum bahwa pemuda ini merupakan batu perintang yang berbahaya baginya.

Sekali ia dapat merobohkan pemuda ini, yang lain-lain bisa mudah dibereskannya. Sambil menerjang, ia mengeluarkan suara melengking yang merupakan ilmu terseandiri buat melemahkankan semangat lawan.

Tetapi Yu Lee dengan tenang melayani, tongkatnya telah mempunyai gerakan mantap serta setiap jurus serangan musuh dapat ia punahkan, mulailah ia mengerahkan semua tenaga serta perhatian buat memainkan jurus jurus yang mengurung dan memikat.

Jurus jurus inilah yang ditakuti Hek siauw Kui bo serta membuatnya kewalahan, karena dulu ketika melawan Han It Kong, ia pun repot oleh jurus ini, jurus yang membuat tongkat pemuda itu kadang-kadang tanpa ia ketahui telah mengancam tubuhnya bagian belakang walaupun pemuda ini menyerang dari depan!

Hek-siauw Kui-bo yang menjadi repot sekali karena tekanan tekanan jurus yang aneh ini serta beberapa kali hampir saja jalan darah di punggungnya terkena totokan ujung ranting, ia lalu mendapat akal. Ia berseru keras serta segera merobab gerakan, kini memainkan yang ia sebut Naga Siluman Membela Sarang.

Gerakan jurus ini betul betul hebat sekali. Sulingnya berubah menjadi gulungan sinar hitam membuat lingkaran lingkaran seperti angka delapan berputaran melingkari seluruh tubuhnya sehingga tidak saja bagian depan yang terlindung, tetapi di bagian belakang juga terlindung oleh sinar suling itu! Benar saja cara bertahan seperti ini membuat jurus yang dimainkan Yu Lee mulai dapat terbendung bahayanya.

"Bagus…! Hebat kau, Hek siauw Kui bo!” Mau tidak mau Yu Lee memuji karena merasa baru sekali ini selama hidupnya ia bertemu musuh yang begini lihai serta kosen.

"Mampuslah setan cilik!” Hek siauw Kui bo memekik keras dan kalau sulingnya kini telah melindungi tubuhnya menjadi tameng baja, lalu tangan kirinya bergerak gerak memukul ke arah dada Yu Lee dengan gerak pukulan tenaga dalam beracun! Ilmu pukulan Siauw hiat-ciang (Tangan Beracun) semacam ilmu pukulan yang amat ganas, hawa beracun yang disalurkan dalam pukulan ini bisa membuat orang yang terkena akan tewas dengan darah menjadi kering.

Hawa panas yang keluar dari telapak tangan kiri nenek itu menyambar serta terasa panas oleh diri Yu Lee. Pemuda ini terkejut, tetapi dengan tenang ia lalu menahan napas menyalurkan hawa saktinya, membiarkan dadanya terpukul akan tetapi dengan cepat sekali tangan kirinya mengetok siku musuh yang kiri.

"Dess….takkk!"

Hek Siauw Kui bo menjerit kesakitan karena biarpun pukulannya tepat mengenai dada lawannya, tetapi tulang sikunya juga patah oleh ketukan jari tangan pemuda itu. Yu Lee terlempar sampai empat meter lalu terjatuh roboh, tetapi ia sudah melompat bangkit lagi dengan muka agak pucat.

Sementara itu Hek siauw Kui bo meringis kesakitan, sejenak termangu, terus sambil memekik keras tubuhnya melayang naik ke atas genteng. Tangan kirinya lumpuh dan tangan kanan masih tetap mencekal suling hitamnya.

“Kui bo hendak lari ke mana kau?" Yu Lee juga melompat untuk mengejar ke atas genteng. Pada saat tubuh pemuda ini melayang Hek siauw Kui bo membalikkan tubuhnya dan dari suling yang ditiupnya menyambar sinar hitam kehijauan yang amat berbahaya itu. Jarum jarum beracun!

Yu Lee memutar rantingnya menangkis dan begitu kedua kakinya hinggap di atas genteng, nenek itu telah menerjangnya. Mereka melanjutkan pertandingan di atas genteng Istana Air. Sinar matahari telah menerangi tempat itu dan kini pertandingan antara kedua musuh besar itu terjadi di atas genteng disinari cahaya matahari pagi...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.