Pendekar Cengeng Jilid 06

Cerita Silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar Cengeng Jilid 06
Sonny Ogawa

Pendekar Cengeng Jilid 06

DALAM keadaan sehat saja Hek-siauw Kui-bo sudah terdesak hebat oleh Yu Lee, apalagi sekarang dalam keadaan tulang lengan kirinya patah, biarpun ia bermain suling dengan tangan kanan namun ia membutuhkan tangan kirinya sebagai imbangan gerakan dan juga sebagai pancingan, ancaman, tangkisan atau serangan.

Pendekar Cengeng karya Kho Ping Hoo

Dengan lumpuhnya lengan kirinya, ia kehilangan hampir setengah kesaktiannya dan sebentar saja ia sudah mandi keringat dingin dan menjadi pucat sekali.

“Yu Tiang Sin! Kenapa bukan engkau sendiri yang datang membunuhku?” Tiba-tiba nenek itu menjerit dengan suara menyayat hati.

Mendengar ini teringatlah Yu Lee akan kakeknya, akan ayah bundanya, paman bibinya, dan saudara saudaranya yang terbunuh iblis ini dan tak tertahankan lagi ia menangis terisak-isak. Air matanya membanjir ke atas pipinya dan tentu saja menghalangi pandang matanya.

Dalam keadaan seperti itu, Hek siauw Kui bo tidak menyia-nyiakan waktu. Sulingnya berkelebat menusuk leher Yu Lee dengan kecepatan yang tak mungkin dapat dihindarkan lagi. Ya Lee terkejut, cepat membuang diri kesamping sambil tongkatnya bergerak dari bawah. Namun patukan suling hitam itu masih mengenai pundaknya dan darah muncrat dari daging di atas pundak kirinya.

Akan tetapi Hek-siauw Kui-bo roboh terguling sambil menjerit ngeri. Ternyata pada detik yang bersamaan, ujung ranting di tangan Yu Lee telah berhasil menotok jalan darah di ulu hatinya membuat tubuhnya seketika menjadi lemas dan ia tidak kuat berdiri lagi!

Yu Lee dengan tangan kiri memegangi pundak dan tangan kanan memegang ranting dengan air mata bercucuran, melangkah maju di atas genteng menghampiri lawannya yang masih memegang suling hitamnya akan tetapi sudah tak berdaya, rebah miring dan mendekam di atas ganteng.

Dua pasang mata bertemu pandang, yang sepasang penuh kebencian bercampur ketakutan, yang sepasang lagi penuh kebencian bercampur keharuan. Tangan yang memegang ranting menggigil.

Tiba-tiba terjadi perubahan pada Wajah Hek siauw Kui bo. Kini sinar kebenciannya lenyap yang tinggal hanya ketakutan. Tubuhnya menggigil mukanya pucat sekali dan bibirnya bergerak gerak. “Jangan….! Jangan siksa aku…! Ah jangan siksa aku….!”

Ketika Yu Lee melangkah maju setindak lagi, Hek siauw Kui bo menggerakkan sulingnya dengan sisa tenaga terakhir ia mengetuk kepalanya sendiri. Terdengar suara “krakk!” dan kepala nenek iblis ini pecah! Darah dan otaknya berhamburan, nyawanya melayang entah ke mana!

Yu Lee berdiri dengan muka pucat memandang mayat musuhnya, kemudian dengan air mata berlinang ia berdongak ke atas dan memandang angkasa yang amat indah, dimana awan putih berarak disinari cahaya kemerahan matahari pagi.

Dalam pandangan mata yang dibikin suram oleh air matanya, ia melihat seolah olah awan-awan putih itu membentuk wajah kakeknya, Si Dewa Pedang, wajah ayahnya, wajah ibunya, wajah paman dan bibi serta saudara saudaranya. Mereka itu seolah olah tersenyum kepadanya. Ketika cahaya matahari melenyapkan bayangan wajah wajah itu, ia menunduk dan terngiang kata gurunya.

“Orang yang suka melakukan perbuatan keji yang suka menyiksa dan membunuh orang, pada hakekatnya adalah orang-orang pengecut yang melakukan perbuatan keji itu terdorong oleh rasa takutnya.”

Dahulu ia tidak mengerti akan maksud ucapan ini, akan tetapi sekarang melihat mayat Hek siauw Kui bo dan mengenang betapa nenek iblis ini amat ketakutan menghadapi pembalasan baru ia mengerti. Hek siuuw Kui bo yang terkenal keji, suka menyiksa dan membunuh manusia lain ini pada hakekamya hanya seorang pengecut besar!

Ia lalu menoleh ke bawah dan apa yang dilihatnya membuat ia menahan napas. Mayat mayat bergelimpangan dan bertumpuk. Darah mengalir membuat halaman depan itu menjadi genangan air merah. Dua orang gadis dan dua orang pemuda masih mengamuk. Sisa anak buah bajak tinggal paling banyak dua puluh orang lagi.

Mereka ini hanya berani melawan karena terpaksa, karena melarikan diri berarti mati oleh senjata empat orang muda yang gagah perkasa itu. Maka mereka melawan mati matian. Melihat ini Yu Lee menggerakkan tubuhuya, melayang turun dan menggerakkan rantingnya.

“Trang trang trang!” Semua pedang di tangan empat orang muda terlempar dan terlepas dari pegangan.

Yu Lee menjura kepada mereka berempat. “Maaf, saya rasa cukup banyak penyembelihan.” Kemudian ia membalik dan berkata, suaranya tetap halus akan tetapi penuh wibawa. “Kalian tidak lekas berlutut minta ampun kepada empat orang pendekar ini dan berjanji merobah watak jahat?”

Dua puluh orang bajak itu lalu melempar senjata masing masing dan menjatuhkan diri berlutut mengangguk anggukkan kepala minta minta ampun, Yu Lee lalu meninggalkan empat orang muda yang terlongong, sekali melompat ia sudah berada di tengah tengah pertempuran antara Dewi Suling dan dua orang pendeta.

Memang patut dikagumi kelihaian Dewi Suling. Biarpun dikeroyok dua orang pendeta berilmu tinggi serta sudah sejak tadi ia terdesak dan terus dihimpit, namun dua orang lawannya belum juga berhasil merobohkannya. Hanya dua kali ia terkena senjata lawan, sebuah gebukan tongkat Liong Losu mengenai pinggir pinggulnya, serta pedang Siauw bin-mo menyerempet pundaknya.

Akan tetapi ia masih terus bisa bertahan, keringatnya telah membasahi seluruh tubuh, membuat pakaian merah yang tipis halus serta ketat itu melekat di tubuh, membuat ia seperti dalam keadaan telanjang bulat berkulit merah!

“Jiwi cianpwe, harap tahan….!" eru Yu Lee yang tiba-tiba sudah berada di tengah mereka.

Kedua pendeta itu melangkah mundur serta menatap aneh, sedangkan Dewi Suling terhuyung huyung karena lelahnya, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah, sulingnya melintang di atas pangkuan.

“Harap jiwi lo-cianpwe (dua orang gagah) sudi memaafkan kelancangan teecu, akan tetapi teecu mintakan ampun untuk dia.” Ia menuding ke arah Dewi Suling yang melihat ke arahnya dengan mata terbelalak heran, tercengang serta juga kagum.

“Omitohud…! Yu kongcu (tuan muda Yu) apakah tidak tahu betapa jahatnya wanita ini dan betapa berbahayanya membiarkan dia hidup serta menggoda pemuda pemuda tak berdosa?”

“Yu Lee, dia ini adalah Cui siauw Sianli Ma Ji Nio atau juga disebut Dewi Suling, murid Hek siauw Kui bo yang amat cabul dan ganas. Dua orang murid pinto hampir saja menjadi korbannya. Dia jahat sekali patut dibunuh. Mengapa kau menghalangi kami? Ha ha.ha, orang muda, apakah kau mau mengecewakan gurumu dan kami dengan kenyataan bahwa kau tergila gila oleh kecantikannya?”

Yu Lee tidak memperlihatkan kemarahan, akan tetapi matanya yang merah mengeluarkan sinar berkilat yang membuat Hap Tojin membungkam mulutnya.

“Jiwi cianpwe, kalau teecu membiarkan dia ini tewas di depan mata teecu, hal ini bahkan akan membikin malu hati guru teecu yang tercinta, seorang gagah harus mengenal budi, membalas kebaikan dengan kebaikan pula berlipat ganda, membalas kejahatan dengan keadilan tanpa dibutakan perasaan dendam. Teecu pernah ditolong wanita ini, kalau tidak ada wanita ini, tentu teecu sudah tewas di tangan Hek siauw Kui bo.

"Oleh sebab itu, mana bisa teecu membiarkan saja dia terbunuh di depan mata teecu. Harap jiwi locianpwe sudi memaklumi hal ini serta memaafkan teecu. Kalau jiwi berkeras mau membunuhnya sedangkan di sini sudah begini banyak manusia terbunuh biarlah teecu menebusnya serta menerima kematian di tangan jiwi.”

“Omitohud….!” Liong Losu berdoa dengan penuh takjub.

“Siancai…. kau hebat. Ha ha ha! KakekHan It Kong, dahulu kau mengalahkan kami, sekarang muridmu. Ha, ha, ha!”

Dua orang pendeta itu lalu melangkah mundur sampai tiga tindak, pertanda mereka tidak akan menyerang Dewi Suling.

Yu Lee membalikkan tubuh ke arah Dewi Suling. Lalu ia berkata, “Nona, kau telah menyelamatkan jiwaku dari tangan Hek siauw Kui bo sekarang aku telah menebus jiwamu dari tangan kedua locianpwe maka sudah tidak ada budi apa apa lagi di antara kita. Kita berselisih jalan. Hanya aku memberi nasihat kepadamu, tinggalkanlah jalan gelap, carilah jalan terang. Engkau masih muda, cantik serta berilmu tinggi, masih belum terlambat bagimu buat bertobat dan merubah jalan hidup. Kalau kelak kita saling berjumpa serta engkau masih tetap terbuat jahat, terpaksa aku harus menamparmu?”

Dewi Suling bangkit sendiri perlahan, sejenak ia melihat ke wajah pemuda baju putih itu, penuh harap, penuh rindu serta penuh kasih. Tetapi ia melihat sinar mata Yu Lee tetap diam seperti air di telaga barat, ia menunduk serta terisak. Lalu ia mengangguk, kemudian dengan sedu sedan naik dari dadanya, ia memutar tubuhnya lalu lari pergi dari tempat itu. Kali ini tidak ada suara melengking yang menjadi tanda setiap kali Dewi Suling pergi!

Dua orang pendeta itu lalu memerintahkan sisa sisa anggauta bajak yang takluk buat merawat temannya yang terluka serta mengurus mayat mayat yang bergelimpangan, kemudian Tho tee-kong, Liong Losu membawa dua orang murid wanitanya ke tempat terpisah.

“Ci Sian dan Li Ceng, secara kebetulan sekali kita dapat bertemu dengan sahabatku Hap Tojin dan dua orang muridnya. Pinceng lihat dua orang muridnya itu baik dan gagah, dan pinceng akan menjadi bahagia sekali andaikata kalian dapat berjodoh dengan dua orang murid sahabatku Hap Tojin itu. Bagaimana pendapat kalian? Kalau cocok, akan pinceng bicarakan dengan Hap Tojin. Tentu saja kau akan kumintakan ijin orang tuamu Li Ceng. Dan engkau boleh memutuskannya sendiri, Ci Sian.”

Tiba-tiba Ci Sian menubruk kaki gurunya yang bersila itu sambil menangis tersedu sedu. “Suhu… ampunkan teecu… teecu tidak.... tidak sanggup memenuhi perintah suhu… lebih baik suhu bunuh saja teecu murid yang murtad ini!”

“Omitohud! Apa artinya ini? Mengapa kau bersikap begini? Apakah yang terjadi? Li Ceng mengapa sucimu bersikap begini?” Betapa kaget dan heran pendeta gundul itu ketika Li Ceng yang biasanya keras hati dan tabah itu juga menjatuhkan diri berlutut dan menangis di samping sucinya!

“Eh, eh... bagaimana ini? Ci Sian! Li Ceng! Di mana kagagahan kalian! Hayo bangkit dan ceritakan yang jelas!” ia membentak, agak marah, berbeda dengan sikapnya yang biasanya lemah lembut.

“Suhu, ampunkan teecu,” akhirnya Ci Sian berkata. “Teecu sudah berjanji dalam hati, hanya ada dua pilihan bagi laki laki yang telah melihat teecu dalam keadaan… telanjang bulat…! Pilihan ini ialah… dia harus teecu bunuh dan kedua dia harus menjadi jodoh teecu.”

Sepasang mata yang lebar itu terbelalak, kedua tangan mengelus perut yang telanjang dan gendut sedangkan mulutnya berkata, “Omitohud! Telanjang bulat… bunuh… jodoh? Apa artinya semua ini, Ci Sian muridku?”

Namun Lauw Ci Sian hanya terguguk menangis. Li Ceng tidaklah selemah kakak seperguruannya, maka setelah menghapus air matanya, gadis inilah yang kemudian menceritakan kepada gurunya tentang peristiwa penghinaan yang mereka alami malam tadi. Betapa mereka tertawan, kemudian di telanjangkan dan hampir saja dinodai empat orang kepala bajak kalau tidak muncul Yu Lee yang menolong mereka.

“Suhu tentu dapat memahami perasaan suci dan juga perasaan teecu sendiri. Toecu semalam dengan suci, sependeritaan. Setelah tubuh kami terlihat seperti dalam keadaan itu bagaimana kami dapat menjadi isteri orang lain? Yang-ce Su-go yang melihat keadaan kami telah kami bunuh. Adapun… dia… dia penolong kami mana mungkin kami membunuhnya? Karena inilah, usul perjodohan suhu tidak mungkin dapat teecu berdua memenuhinya....”

Tho tee-kong Liong Losu meugerutkan kening dan meogangauk angguk, “Omitohud… semoga manusia terbebas dari pada nafsunya sendiri. Pinceng hanya mengusulkan, akan tetapi… yah, keputusannya ada pada kalian sendiri. Pinceng akan kembali ke pertapaan, soal ini terserah kalian. Kalian sudan cukup dewasa, sudah cukup belajar ilmu, pinceng memberi ijin kepada kalian berdua untuk menempuh hidup sendiri. Li Ceng, engkau yang masih mempunyai keluarga, berlakulah murah kepada sucimu.”

“Baik, suhu. Suci tentu saja ikut bersama teecu,” kata Tan Li Ceng yang merangkul sucinya yang menangis torisak isak.

Hwesio itu menarik napas panjang lalu keluar dari tempat itu, menyeret tongkatnya. Setibanya di luar ia disambut Siauw bin-mo Hap Tojin yang tertawa-tawa.

“Eh, Tho tee-kong, kenapa muram wajahmu?”

Hwesio itu menghela napas. “Ahh, toyu, alangkah inginnya hatiku bisa segembira engkau ini. Di dunia banyak hal hal yang menyusahkan hati. Di manakah adanya Yu Kongcu?”

“Dia tidak berpamit. Telah pergi begitu saja. Dengar suaranya!” Tosu itu menuding ke arah utara.

Hwesio tua itu berhenti dan mengarahkan pandang matanya. Sayup sampai terdengar lengking tinggi menyayat hati seperti orang menangis. “Diakah itu…? Pergi sambil menangis?”

“Ha ha ha! Pendekar Cengeng! Entah menangis entah tertawa dia sekarang, akan tetapi tadi kulihat dia menangis ketika dia melihat para bajak mengurus mayat mayat yang amat banyak itu. Kemudian ia pergi tanpa pamit.”

”Ke mana?”

“Ke mana? Entah ke mana dia siapa tahu?”

Ya, tidak ada yaog tahu ke mana perginya Yu Lee Si Pendekar Cengeng setelah ia berhasil membinasakan Hek siauw Kui bo, menyelamatkan nyawa Dewi Suling, dan sekaligus merusak hati dua orang gadis tanpa ia sengaja dan ia ketahui. Dua orang nona yang kini sudah keluar dari tempat terpisah tadi pun bengong mendengar suara lengking meninggi dan makin menjauh itu.

Juga Ouwyang Tek dan Gui Siong yang merasa amat kagum terhadap Yu Lee, hanya saling pandang dan berjanji dalam hati nntuk mencontoh sepak terjang Si Pendekar Cengeng dan memperdalam ilmu silat mereka.

“Tho tee-kong, aku telah membebaskan murid muridku untuk memasuki dunia ramai dan mendarma-baktikan kepandaian mereka guna masyarakat. Aku telah bebas, ha ha ha!” Ia memegang lengan hwesio itu. “Dan bagaimana dengan engkau?”

“Omitohud, pinceng juga melepas pergi ke dua orang murid pinceng, Ci Sian akan ikut adik seperguruannya yang mempunyai orang tua di An-keng, pinceng akan pergi ke gunung...”

“Bagus! Mari ikut bersamaku, Tho tee-kong. Mari kita lupakan segala kedukaan hidup. Di sana kita dapat main catur, kita salurkan semua nafsu-nafsu duniawi melalui papan catur! Kalau perlu kita boleh membunuh Raja di papan catur, boleh bertaruh tanpa merugikan orang lain. Ha ha ha!”

“Baiklah To yu (sahabat). Pinceng akan belajar gembira dari Siauw bin-mo Hap Tojin.”

Dua orang pendeta tua itu sambil bergandeng tangan lalu meninggalkan tempat itu pula, tanpa menoleh lagi kepada murid mereka.

Ouwyang Tek dan dan Gui Siong kini berhadapan dengan Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng yang masih merah matanya bekas menangis. Dua orang pemuda itu dengan sikap sopan lalu memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada yang dibalas oleh dua orang gadis itu dengan sopan pula.

“Soal mengurus bekas bekas bajak itu harap jiwi siocia (nona berdua) serahkan saja kepada kami. Tentu jiwi sudah mendengar bahwa kami adalah murid murid Siauw bin-mo Hap Tojin, nama saya Ouwyang Tek dan ini adalah sute Gui Siong.”

Tan Li Ceng yang lebih tabah dari pada sucinya setelah membalas penghormatan itu lalu menjawab. “Terima kasih atas kebaikan jiwi twako (kakak berdua), karena guru kita bersahabat tidak akan keliru kiranya apabila kita melanjutkan persahabatan itu. Aku bernama Tan Li Ceng tinggal bersama orang tuaku di toko obat dalam kota An-keng. Dan ini suciku Lauw Ci Sian. Sekarang kami hendak ke An-keng dan apabila jiwi lewat di An-keng, kami persilakan jiwi umuk singgah di rumah kami.”

“Banyak terima kasih atas kemurahan jiwi siocia,” jawab pula Ouwyang Tek.

Sekali lagi mereka saling memberi hormat kemudian sambil menggandeng tangan sucinya Li Ceng mengajak Ci Sian pergi meninggalkan tempat itu diikuti pandangan mata dua orang pemuda perkasa dengan penuh kekaguman. Untung bahwa kedua orang pemuda itu tidak dapat menjenguk isi hati dua orang gadis itu, juga tidak mendengar pengakuan mereka. Pengakuan yarg menyatakan bahwa mereka berdua itu mau dijodohkan kalau dengan Si Pendekar Cengeng!


Dunia persilatan gempar, para tokoh Liok-lim dan kangouw, datuk datuk serta cabang cabang atas, baik dari aliran putih (bersih) maupun hitam (sesat) menjadi geger dengan munculnya seorang pendekar muda yang terkenal dengan sebutan Pendekar Cengeng! Dunia persilatan menyebutnya Pendekar Cengeng karena pendekar muda yang perkasa ini sering kali menangis.

Tangannya amat ampuh, tongkat maupun pedangnya amat lihai merobohkan lawan lawan yang kuat, akan tetapi kedua matanya selain bercucuran air mata dan ia menangis sedih menyaksikan mayat mayat lawan yang roboh di tangannya. Juga ia selalu tidak dapat menahan air matanya kalau mendengar penuturan yang menyedihkan dari mereka yng mohon pertolongannya.

Di dalam waktu Kurang dari setahun saja Pendekar Cengeng ini telah membasmi tujuh buah sarang bajak sungai di sepanjang Sungai Yang-ce kiang serta belasan buah sarang perampok di hutan hutan. Semua perbuatan ini dilakukan karena ada sebabnya bukan sekali kali ia mencari sarang penjahat penjahat itu. Kalau tidak dia sendiri yang kebetulan dihadang perampok tentu ada orang-orang lain yang menjadi korban kejahatan dan ia kebetulan melihatnya.

Yu Lee, Si Pendekar Cengeng ini tidak pernah lupa kata kata gurunya, serta tidak mau mencari permusuhan bahkan tidak mengusik para penjahat kalau saja ia tidak melihat kejahatan dilakukan orang. Kalau ia kebetulan melihatnya, barulah ia turun tangan dan sekali ia membasminya celakalah gerombolan penjahat itu.

Para tokoh kang ouw kaum sesat merasa sakit hati kepadanya sebab kematian kawan kawan mereka serta saudara saudara seperguruan mereka dan mereka selalu mencari kesempatan buat membalas dendam serta membunuh Pendekar Cengeng.

Sebaliknya, para tokoh kang ouw kaum pendekar merasa iri hati dan penasaran kepadanya serta merekapun mau bertemu dengan pendekar muda ini buat ditantang ber pibu (Mengadu kepandaian silat).

Yu Lee bukan tidak tahu akan hal ini. Ia tahu bahwa banyak orang pandai marah kepadanya, tetapi ia pura pura tidak tahu dan sebab sikapnya selalu sederhana tidak suka menonjolkan diri, maka tidak ada orang yang mengira bahwa pemuda baju putih yang kelihatan lemah, pakaian serta sikapnya sederhana seperti seorang perantau miskin itu adalah Pendekar Cengeng yang menggemparkan dunia persilatan.

Pada suatu hari, pagi pagi sekali Yu Lee telah memasuki dusun Ki bun. Walaupun hatinya sudah digembleng oleh si manusia sakti Han It Kong, tetapi hatinya berdebar penuh keharuan ketika ia memasuki dusun yang sunyi serta tenteram ini, dusun yang tidak pernah dilupakannya selama hidupnya yaitu dusun tempat tumpah darahnya, di mana darah ibunya tertumpah di waktu melahirkan. Dusun tempat kelahirannya!

Enam belas tahun ia telah pergi dari dusun ini. Lima belas tahun digembleng suhunya di puncak Tapie san kemudian setahun merantau setelah turun gunung. Dusun itu sendiri tak pernah berubah tetapi cuma penduduknya yang berubah.

Ia kini tidak kenal akan wajah seorangpun serta tidak ada seorangpun di dusun itu mengenalnya. Tentu saja bisa demikian halnya! Karena dahulu ia baru berusia delapan tahun, kini telah menjadi seorang pemuda tinggi tegap berusia dua puluh empat tahun.

Perih hati Yu Lee melihat betapa rumah rumah di dusun ini masih seperti enam belas tahun yang lalu, rumah penghuni dusun masih merupakan pondok buruk. Demkianlah keadaan hampir di seluruh dusun, tidak ada kemajuan, rakyatnya miskin dan hidup serba kekurangan.

Kekayaan bertumpuk tumpuk di kota di mana orang-orang hidup bergelimang kemewahan. Anehnya di kota-kota inilah bertumpuk bahan makanan memenuhi gudang gudang besar, bahkan sampai membusuk karena terlampau banyak dan berlebihan.

Sedangkan di dusun dusun di mana bahan makanan itu ditanam orang, yang menjadi sumber bahan makanan, malah kekurangan makanan, memang kalau direnungkan amatlah aneh dan janggal, namun nyata demikian tempat sumber bahan makanan malah kekurangan makanan, petani malah kekurangan makan di tengah sawah!

Keadaan seperti ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa seluruh sawah ladang itu kesemuanya hanya dikuasai olah beberapa orang saja, dan para petani yang bekerja di sawah hanyalah merupakan buruh-buruh tani yang menerima upah amat sedikit, hanya cukup buat dimakan seorang saja.

Sudah pasti para petani ini mempunyai keluarga maka timbullah kelaparan sebab jatah makanan buat seorang dimakan kadang-kadang empat atau lima orang. Akibat hal ini pula menimbulkan pemerasan tenaga, sampai anak anak kecil terpaksa bekerja di sawah untuk sekedar mencari isi perut pencegah kelaparan.

Bagi para penduduk dusun yang miskin, hidup mereka lebih rendah serta lebih sengsara dari pada kerbau. Pekerjaan berat di sawah ladang, makan tidak kenyang. Binatang kerbau masih dapat mengenyangkan perut serta tidak kelaparan sebab binatang ini dapat makan rumput yang tidak usah dibeli. Oleh majikannya.

Para pemilik tanah yang membutuhkan kemewahan dan sebab kemewahan hanya dapat ditemukan di kota tentu saja mengirim seluruh hasil tanah ke kota untuk ditukar dengan harta benda. Hal inilah yang menyebabkan akibat bahwa di kota sampai berlebihan makanan, sebaliknya di dusun sebagai sumber makanan malah sampil banyak orang mati kelaparan.

Tanah kuburan di luar dusuo Ki bun amat luas. Kuburan ini sudah tua sekali, sudah ratusan tahun dipakai sebagai tanah kuburan sehingga setelah beberapa kali dipakai masih tetap digali lagi buat dipakai yang baru.

Di tanah kuburan inilah enam belas tahun yang lalu semua jenazah keluarga Yu dikubur oleh penduduk dusun Ki bun. Dikubur menjadi satu, merupakan gundukan tanah yang tinggi. Ayah bundanya, dua orang pamannya dan dua orang bibinya, dan kakak kandungnya, tujuh orang kakak misan, empat orang pelayan semua berjumlah sembilan belas orang anggauta keluarga kakeknya.

Ditambah mayat dua orang penjahat suami isteri Kim to Cia Koan Hok dan Bi kiam Souw Kwai Si maka di dalam gundukan tanah kuburan ini terdapat dua puluh satu orang mayat yang dahulu binasa dalam tangan Hek siauw Kui bo! Teringat akan ini, tak dapat ditahan lagi, air mata Yu Lee bercucuran ketika ia berdiri di depan gundukan tanah kuburan.

Ia lalu menjatuhkan diri berlutut. Biarpun ia sudah berhasil membalas dendam, berhasil membunuh Hek siauw Kui bo, akan tetapi ia masih merasa menyesal dan berduka karena ia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membalas budi orang tuanya tidak diberi ke sempatan untuk berbakti.

Selelah berlutut dan patkwi sampai delapan kali di depan gundukan tanah kuburan itu, barulah Yu Lee bangkit. Dengan muka pucat dan mata basah dimana ia memandang ke sekelilingnya. Kiranya tanah kuburan itu kini telah dikurung oleh delapan orang yang tidak diketahui kedatangaanya.

Tahu tahu mereka telah berada di tanah kuburan itu, berdiri mengurung gundukan tanah kuburan berikut Yu Lee dengan wajah beringas mengancam seperti iblis iblis sendiri yang datang hendak mengeroyoknya.

Dalam kesedihannya Yu Lee tadi sampai tidak memperhatikan sekelilingnya dan baru sekarang ia tahu bahwa delapan orang itu datang dan sikap mereka jelas membayangkan permusuhan. Ia tenang tenang saja mempermainkan tongkat bambunya dengan kedua tangan, matanya memandang penuh selidik dan bergantian kepada delapan orang itu.

Mereka itu berusia antara tiga puluh dan empat puluh tahun dan sikap mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah ahli ahli silat yang pandai. Yu Lee memang tidak suka mencari permusuhan dan sikap serta pakaiannya memang amat sederhana, sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli silat, apa lagi seorang pendekar yang ternama.

Kini menyaksikan sikap delapan orang itu iapun ingin menghindari mereka dan pura pura tidak mengerti bahwa mereka itu mengurungnya. Kembali ia mengangguk kearah gundukan tanah kuburan sebagai penghormatan terakhir atau berpamit, kemudian ia membalikkan tubuhnya untuk pergi dari situ.

“Hei, berhenti kau!” seorang di antara mereka yang matanya merah menghardik.

Yu Lee memutar tubuh menghadapinya dan berpura pura terheran lalu bertanya. “Apakah tuan menegur saya?”

“Siapakah namamu dan mengapa kau bersembahyang di depan kuburan ini?” tanpa memperdulikan pertanyaannya, si mata merah itu kembali bertanya.

Sekilas pandang saja Yu Lee dapat menduga bahwa delapan orang ini adalah orang kasar, golongan kaum sesat di dunia kangouw. Tidak mungkin mendiang kakek dan keluarganya bersahabat dengan orang-orang seperti ini, akan tetapi karena ia tahu bahwa kakeknya dahulu adalah seorang pendekar pedang yang amat terkenal dan mempunyai banyak sekali musuh di dunia kangouw.

Maka ia dapat menduga bahwa tentu mereka ini musuh musuh kakeknya. Kalau orang-orang ini memusuhi sebagai akibat dari sepak terjangnya selama ini, tentu mereka mengenalnya maka ia lalu menjawab sederhana dan berusaha mengelakkan pertempuran.

“Saya adalah bekas pelayan keluarga Yu dan karena tidak ada lain orang lagi yang mengurus kuburan maka mengingat akan budi dahulu saya datang untuk memberi hormat.”

“Ha, ha, ha! Siapa kira Hek siauw Kui bo dapat tertipu oleh seorang bocah pelayan sehingga terluput daripada pembasmian!” Kata si mata merah yang agaknya menjadi pemimpin di antara delapan orang itu. “Hee, budak hina! Belasan tahun yang lalu kau terluput dari kebinasaan, dan kami telah didahului Hek siauw Kui bo membasmi keluarga Yu Tiang Sin. Biarlah sekarang kami menyempurnakan pembasmian itu sebelum kami berhasil mencari keturunannya terakhir yang kabarnya telah lolos.”

Yu Lee mendongkol sekali. Tidak salah dugaannya. Delapan orang ini adalah musuh musuh dari mendiang kakeknya. Ia sengaja memperlihatkan sikap takut dan bertanya. “Cuwi (tuan sekalian) siapakah dan mengapa hendak mengganggu saya yang tidak berdosa?”

“Ha, ha, ha, perlu kau ketahui agar nyawamu kelak cepat melapor kepada arwah Yu Tiang Sin. Kami adalah delapan orang dari Timur yang terkenal dengan julukan Tung-hai Pat-ong (Delapan Raja Laut Timur), dahulu belum sempat membasmi keluarga Yu Thian Sin dan kedatangan kami untuk membongkar kuburannya, untuk menghancur leburkan tulang tulang keluarganya, kebetulan kau datang dan karena kau adalah pelayan Keluarga Yu kau tidak terluput dari pada pembalasan kami, bersiaplah untuk mampus budak cilik!”

Sambaran tangan si mata merah ke arah kepala Yu Lee amat kuatnya. Yu Lee yaag tahu bahwa tak mungkin ia mengelakkan pertempuran diam-diam sudah mengambil keputusan untuk menghajar mereka ini, malah tidak berkelebihan kiranya kalau ia membunuh mereka ini.

Mereka ini adalah orang-orang jahat, tidak mempunyai pribudi dan prikemanusiaan buktinya mereka ini mempunyai niat yang amat keji, hendak membongkar kuburan dan merusakkan tulang keluarga Yu.

Melihat datangnya pukulan yang dimaksudkan untuk merenggut nyawanya, Yu Lee tetap bersikap tenang. Ia menanti saja karena dari gerakan si mata merah itu ia maklum bahwa tingkat kepandaian mereka ini biasa saja, walaupun si mata merah ini memiliki tenaga lweekang yang cukup kuat.

Akan tetapi pada detik itu Yu Lee terkejut dan terheran heran melihat berkelebatnya sinar putih yang kecil sekali yang meluncur dari arah kanannya serta menimpa lengan si mata merah, tepat pada jalan darah di pergelangan tangan.

“Takk! Aduuhhl” Si mata merah berseru kesakitan, tangannya lumpuh dan ia meloncat ke belakang sambil meringis, ia memijat lengan kanannya, lalu dengan memakai jari jari tangan kirinya ia cabut keluar sebatang jarum kecil yang menancap di pergelangan lengan itu.

Yu Lee menahan senyum karena maklum bahwa ada orang membantunya, biarlah ia akan berpura pura bodoh supaya tidak mengecewakan hati si penolongnya, akan tetapi ketika ia menoleh dan melihat berkelebatnya bayangan orang yang menolongnya tadi ia melongo dan memandang kagum.

Ternyata dari balik pohon itu meloncat keluar seorang gadis remaja yang cantik molek, agaknya sukarlah dipercaya bahwa gadis ini yang tadi melepas jarum menolongnya. Gadis itu usianya paling banyak delapan belas tahun, wajahnya berkulit halus dengan sepasang pipi kemerahan matanya bersinar sinar penuh semangat dan mulutnya yang kecil tersenyum senyum serta dari pandangan mata dan mulut ini terbayang sifat jenaka dan riang juga nakal penuh ketabahan.

Kecantikannya itu tersendiri, seperti kecantikan setangkai bunga liar di dalam hutan. Sedikitpun tidak ada tanda tanda bekas alat rias pada mukanya yang cantik, kehalusan kulit mukanya warna putih kuning, warna merah di pipi dan terutama di bibirnya semua adalah warna warna yang wajar, membuktikan kebersihan dan kesehatan tubuhnya.

Rambutnya hitam sekali juga amat lebat dan panjang sehingga rambut yang digulung semuanya itu menjadi mahkota hitam yang besar di atas kepala, kalau terurai, agaknya rambut yang halus itu ujungnya akan mencapai paha.

Dengan lebat rambutnya sampai anak rambutnya merumbai di dahi dan tengkuk, juga anak rambut yang tumbuh subur di pelipis menjuntai serta menjungat ujungnya di pipi, hampir menyentuh hidung menimbulkan kejelitaan yang lucu pada wajah itu.

Matanya seperti sepasang bintang pagi yang cemerlang, bersih dan bening sekali, sinarnya tajam namun selalu berseri gembira serta nakal, bentuk tubuhnya padat ramping, lincah gesit gerakannya dan pakaiaanya sederhana pula seperti cara ia berhias. Terbuat dari sutera warna hijau puput dengan warna sabuk berwarna emas, sepatunya dari kulit berwarna hitam.

Gadis ini melangkah keluar dari balik pohon sambil tersenyum senyum tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang sebatang rumput yang ujung tangkainya ia gigit gigit dengan giginya, sehingga tampak giginya yang berderet putih dan rapih, matanya mengerling dan melihat bergantian kepada delapan orang itu yang kini semua melihatnya dengan pandang mata merah.

“Tung-hai Pat-ong kalian ini, ya? Wah betul betul gagah perkasa, delapan orang raja menghadapi seorang pelayan yang tidak tahu apa apa! Sejak tadi pagi aku sudah curiga dan membayangi kalian, kukira kalian ini akan merampok dusun ini, kiranya malah lebih hina daripada perampok sebab ternyata kalian bukan lain adalah tikus-tikus kuburan yang tak tahu malu!”

Makian “tikus kuburan” adalah makian yang paling menghina, karena yang dimaksudkan dengan tikus kuburan adalah pencuri pencuri yang suka membongkar kuburan untuk mengambil benda berharga yang menempel pada tubuh mayat. Dan diantara maling maling, tikus kuburan inilah maling yang paling rendah serta dianggap hina dan rendah oleh kaum sesat sendiri, sebab merendahkan “derajat” bangsa maling!

“Bocah bermulut lancang!” bentak si mata merah yang kini telah biasa lagi. Tangan kanannya tidak sakit lagi dan hatinya lega sebab ini berarti bahwa jarum itu tidak beracun. “Engkau tidak mengenal betul siapa kami maka berani main gila. Apakah kau sudah bosan hidup? Hayo lekas katakan siapa kau dan siapa gurumu, mengapa kau berani mencampuri urusan kami!”

Gadis itu melirik serta senyumnya makin melebar. Cantik jelita seperti bidadari, belum pernah Yu Lee bertemu dengan gadis secantik ini. Entah mengapa, segala gerak gerik gadis ini menarik hatinya, membuat jantungnya berdebar debar serta membuat ia seperti berubah menjadi sebuah arca, tidak mampu bergerak atau bersuara, hanya memandang dengan mata terbelalak kagum.

“Hemmmm, kalian ini delapan anak kecil berani menyombongkan diri terhadap nyonya besarmu. Sungguh menjemukan! Siapa tidak mengenal kalian bangsat-bangsat kecil ini? Kalian adalah bajak bajak di laut Tung hai, sombong-sombongan memakai julukan Delapan Raja, padahal tidak becus apa apa.

"Belasan tahun yang lalu kalian membajak sebuah kapal, hendak merampas harta dan menghina puteri-puteri pembesar Kwan di kapal itu, kemudian kalian dihajar habis habisan sampai terkencing kencing dan terkentut-kentut oleh mendiang Yu Kiam sian Si Dewa Pedang.

"Huh, kalian seperti delapan ekor anjing ketakuan melingkarkan buntut dan lari bersembunyi. Setelah kini Yu Kiam sian sekarang menjadi gundukan tanah pura pura mau gagah gagahan mau bongkar kuburan. Mencari gigi emas? Atau bekas sepatu? Tak tahu malu!”

Yu Lee makin terbelalak. Bagaimana nona yang maih muda sekali ini tahu akan peristiwa itu? Dia sendiri yaug menjadi cucu Si Dewa Pedang tidak tahu dan tidak mendengar dari kakeknya atau ayahnya! Dan sikap gadis ini benar benar terlalu berani dan betapapun juga amat jenaka dan lucu. Masa gadis berusia kurang dari dua puluh tahun bersikap seolah olah delapan orang yang empat puluh tahun lebih umurnya seperti anak anak saja?

Kalau Yu Lee terheran heran dan kagum adalah Tung-hai Pat-ong itu yang menjadi kaget sekali, kaget, malu-malu dan marah bercampur aduk menjadi satu, namun rasa kaget dan heran lebih besar sehingga si mata merah bertanya, “Budak cilik! Siapa kau?”

Dara kecil itu kembali bertolak pinggang, kini dengan kedua tangannya sepuluh jari jari yang kecil panjang itu seolah olah dapat melingkari pinggangnya, begitu ramping pinggangnya, kemudian dengan gerakan lucu jenaka nona ini menuding hidungnya sendiri, hidung yang kecil dan mancung.

“Kau mau tahu siapa nonamu ini? Buka telinga lebar lebar unjuk mendengar, buka mata baik baik untuk melihat, akan tetapi teguhkan hati agar kalian tidak akan roboh pingsan kareaa kaget dan mati ketakutan. Di depan kalian inilah pendekar wanita muda yang mewarisi ilmu kesaktian dari Kun lun pai. Akulah yang berjuluk Sian-li Eng-cu (Si Bayangan Bidadari).

"Setelah kalian berhadapan dengan Sian-li Eng-cu, tidak lekas berlutut? Hayo berlutut dan minta ampun, paykwi sampai tiga belas kali, baru Sian li Eng cu memberi ampun dan hanya minta sebuah saja daripada daun telinga kalian masing masing satu, kalau tidak kepala kelinci yang akan putus lehernya!”

Yu Lee hampir tak dapat menahan ketawa bukan main nona ini ucapannya itu hebat dan sombong, akan tetapi lucunya, sikapnya sama sekali tidak membayangkan kesombongan bahkan mata dan mulutnya itu membayangkan kenakalan, jelas tampak oleh Yu Lee bahwa ucapannya yang keluar dari mulut nona itu adalah ucapan yang disengaja, bukan untuk menyombong melainkan untuk mempermainkan delapan orang bajak itu.

Yu Lee makin tertarik dan ingin melihat sampai di mana keahlian nona ini, apakah ilmu silatnya selihai mulutnya? Melihat cara nona ini tadi menyambitkan jarum, ia tidak perlu mengkhawatirkan keselamatannya tetapi karena delapan orang ini adalah orang-orang kasar yang kejam, diam-diam ia bersiap melindungi nona yang menarik hatinya itu.

Delapan orang itu tentu saja menjadi marah sekali. Mereka belum pernah mendengar nama julukan Sian li Eng cu pendekar wanita tokoh Kun lun pai. Tentu saja memandang rendah. Nona yang masih begitu muda mana mungkin memiliki kepandaian lihai? Diantara delapan orang itu, terdapat seorang yang mata kirinya buta.

Dia inilah amat terkenal mata keranjang serta dahulunya ia pernah mengganas, secara keji menculik dan memperkosa banyak sekali wanita, asal wanita muda dan cantik, tak perduli wanita itu isteri orang, ia tak mau berhenti kalau belum dapat menculiknya, mata kirinya juga menjadi buta karena kesukaannya mempermainkan isteri orang karena dahulu ia pernah tertangkap basah, dikeroyok orang sedusun, biarpun ia berhasil melarikan diri mengandalkan kepandaiaanya, namun mata kirinya tertusuk pedang dan menjadi buta sebelah.

Namun mata yang tinggal sebelah itu tidak mengurangi sifatnya yang buruk, bahkan ia menjadi makin gila karena merasa sakit hati melihat betapa wanita-wanita merasa jijik kepadanya karena matanya. Ia makin mengganas dan baru ia bersama tujuh orang saudara tidak berani mengganas lagi dan terpaksa menyembunyikan diri setelah muncul Si Dewa Pedang Yu Tiang Sin yang melabrak mereka di atas perahu pembesar.

Kini melihat dara remaja yang cantik jelita dan mengaku berjuluk Bayangan Bidadari ini, seketika kambuh penyakitnya dan matanya yang tinggal sebelah itu berkedip kedip serta bersinar penuh nafsu. Ia sudah meloncat maju dan berkata kepada si mata merah, “Twako, serahkan anak ayam ini kepadaku!”

“Memang dia lebih pantas untukmu. Terkamlah!” kata si mata merah menyeringai dan mundur, ia masih memandang rendah gadis itu serta merasa yakin bahwa adiknya yang telah ahli menghadapi wanita itu bisa menundukkan gadis ini.

Si mata satu maju sampai dekat di depan gadis itu, Sian li Eng cu, dara remaja yang cantik dan jenaka itu menggerak gerakkan cuping hidungnya yang mancung, lalu berkata, “Ihhh, bau busuk! Kau ini si mata buta, keringatmu bau bangkai, tanda bahwa sebentar lagi engkau akan menjadi bangkai!”

Si mata satu menyeringai, memperlihatkan deretan gigi yang besar besar dan berwarna kuning di balik bibir membiru, “Heh heh, nona muda yang manis! Mau kulihat apa yang kau akan lakukan dan katakan kalau engkau sudah berada di dalam pelukanku, heh heh!”

Belum habis ucapannya, tiba-tiba si mata satu ini sudah menubruk maju, gerakannya cepat sekali, kedua lengannya dikembangkan, sepuluh jari tangannya juga terbuka dan dengan gerakan gesit ia merangkul leher dan pinggang.

Sesungguhnya gerakannya itu adalah jurus ilmu silat yang bernama Go houw po touw (Macan Lapar Menubruk Kelinci) semacam jurus serangan dengan pukulan bertubi tubi dari kedua tangan, akan tetapi oleh si mata satu ini dirobah menjadi tubrukan buat menerkam tubuh gadis yang menggairahkan itu.

“Menjijikkan!” Dara ita berseru marah dan ia hanya menggeser kaki miringkan tubuh saja, gerakan ini cukup membuat si mata satu menubruk tempat kosong.

Dan sebelum si mata satu dapat memperbaiki posisi tubuhnya yang terhuyung ke depan, secara tiba-tiba saja tubuh dara itu berkelebat, meloncat ke atas serta dengan gerakan indah sekali kakinya telah menendang dari atas, ujung sepatunya membuat gerakan menotok yang tepat sekali mengenai jalan darah di tengkuk si mata satu.

“Klokkk!”

Tubuh orang yang gerakannya gesit dan ringan sekali itu sudah melayang turun kembali ke atas tanah dan berdiri sambil bertolak pinggang. Celaka adalah si mata satu. Tiba-tiba saja ia meringis lalu menangis. Tak dapat menahan lagi ia, air matanya bercucuran, dan matanya yang masih baik, sedangkan matanya yang sudah rusak hanya bergerak gerak, demikian mengguguk ia menangis sampai hidungnyapun mengeluarkan air!

Pemandangan ini aneh dan lucu sekali akan letapi Yu Lee yang tahu diam-diam menjadi kagum. Gadis itu ternyata memiliki ginkang yang mengagumkan dan tingkat kepandaiannya agaknya tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian dua orang murid perempuan Tho tee koog Liong Losu! Akan tetapi gadis ini memiliki ginkang tinggi dan sifat ugal ugalan, nakal sekali dan suka mempermainkan orang!

Buktinya menghadapi si mata satu yang tentu akan mudah ia robohkan itu tadi ia bersusah payah meloncat hanya untuk dapat menotok jalan darah di tengkuk yang mengakibatkan si mata satu itu menangis di luar kehendaknya, dan itupan ia lakukan dengan meloncat karena agaknya gadis itu tidak sudi melakukan totokan dengan tangan melainkan dengan ujung sepatu!

Kiranya dalam detik terakhir tadi ketika golok menyambar, dara itu meloncat ke depan lalu membalikkan tubuh, tangannya bergerak melepas sebatang jarum yang dengan tepat menancap mata kanan lawan bahkan terus masuk dalam sekali, kakinya menendang ke arah pergelangan tangan sehingga golok lawan terpental.

Gadis itu berdiri sambil bertolak pinggang tersenyum mengejek kepada si mata satu yang kini mengaduh aduh dan merintih rintih dan cepat ditolong oleh saudara saudaranya. Akan tetapi jarum itu menancap terlalu dalam, tidak tampak lagi dan sukarlah menolong nyawa orang itu karena jarum menyelinap memasuki otak dalam kepala.

“Perempuan jahanam, kau harus mengganti nyawa!” bentak si mata merah ketika melihat saudaranya itu berkelojotan seperti ayam disembelih. Tujuh orang itu kini sudah merebahkan tubuh si mata satu ke atas tanah masing masing mencabut golok dan pedang dan mengurung gadis yang masih tersenyum senyum.

“Ahaa, baru sekarang kalian tidak memandang rendah dan hendak maju mengeroyokku? Bagus, bagus, baik begitu agar aku tidak perlu membuang banyak waktu. Majulah bersama dan matilah bersama. Dunia akan menjadi lebih bersih dan lebih tenteram kalau kalian mampus!”

Yu Lee kembali memandang penuh perhatian. Boleh jadi tingkat kepandaian tujuh otaag itu lebih rendah akan tetapi kalau mereka maju mengeroyok dan kalau gadis itu masih bersikap sembrono seperti tadi, ada bahayanya juga. Maka kini ia lalu duduk di atas tanah, dekat gundukan tanah kuburan keluarganya, menonton dan tangannya mempermainkan tanah tanah kering. Ia melihat betapa tujuh orang laki laki kasar itu mengurung si gadis, senjata mereka berkilauan saking tajamnya.

Gadis itu masih berdiri enak enak di tengah, senyumnya mengejek, matanya mengerling ke kanan ke kiri mengikuti gerakan mereka, tangan kiri mendekati saku baju di mana tersimpan jarum jarumnya, tangan kanan meraba pedang yang tergantung di pinggang. Cantik jelita dan gagah perkasa tampaknya, dan hati Yu Lee makin terpikat dan kagum.

Banyak sudah ia bertemu dengan wanita-wanita cantik jelita, bahkan pernah dirayu seorang wanita cantik sekali seperti Dewi Suling, pernah pula melihat dua orang dara jelita, murid Tho tee kong Liong Losu, yang selain gagah perkasa juga muda remaja dan cantik jelita, bahkan melihat mereka dalam keadaan telanjang bulat ketika menolong mereka. Namun, belum pernah ia merasa hatinya terbetot seperti saat ini oleh gadis yang lincah jenaka dan ugal-ugalan yang mengaku berjuluk Sian-li Eng-cu itu.

Si mata merah berseru keras dan ini merupakan aba aba agaknya bagi saudara saudara nya karena serentak mereka bertujuh itu maju menerjang dengan senjata mereka mengeroyok gadis itu, kembali Yu Lee kagum dalam hatinya. Gadis itu benar benar memiliki ginkang yang hebat. Tubuhnya yang ramping itu bergerak cepat sekali, melebihi daripada kecepatan gerakan senjata lawan berkelebatan ke kanan kiri.

Seolah olah gerakan seekor burung walet, menyelinap diantara sambaran senjata, mengelak ke kanan kiri, menyepak pergelangan tangan lawan dan di lain saat tangan kanannya indah memegang sebatang pedang yang berkilauan putih dan ternyata pedangnya itu adalah pedang perak seperti juga jarum jarum nya. Pedang itu putih mulus dan bersih sehingga waktu dimainkan, berubahlah menjadi gundukan sinar putih menyilaukan mata.

Yu Lee menyaksikan ilmu pedang Kun lun kiam hoat yang amat indah dan cepat. Ia mengenal ilmu pedang ini dan diam-diam ia harus mengakui bahwa gadis ini telah mendapat latihan serta didikan seorang tokoh Kun lun pai yang pandai.

Gerakannya indah seperti orang menari, cepat seperti kilat menyambar. Hatinya kembali lega sebab jangankan baru dikeroyok tujuh orang itu, biar ditambah tujuh orang lagi, ia tidak perlu mengkhawatirkan keadaan gadis itu.

Betul saja dugaannya, terdengar suara berkerontangan serta teriakan mengaduh ketika gadis itu memutar pedang dan membalas serangan. Kemana saja pedangnya berkelebat, pasti senjata lain terpental serta darah muncrat. Juga tangan kirinya bergerak dan sinar sinar putih jarumnya meluncur ke sana sini. Teriakan mengaduh makin riuh disusul robohnya tujuh orang itu yang mengaduh aduh.

Pedang di tangan gadis itu lalu berkelebat menyambar ke arah delapan orang yang sudah roboh. Yu Lee kaget sekali dan mencela di dalam haranya ketika melihat betapa pedang itu telah menyambar serta dalam sekejap mata telah membuntungi delapan buah telinga para bajak itu!

“Masih tidak lekas pergi dari sini? Menanti Sian-li Eng-cu memenggal leher kalian?” Gadis itu mengancam sambil memutar mutar pedangnya. Walaupun pedang itu telah membuntungi delapan buah daun telinga serta melukai pundak, lengan dan paha, tetapi sedikit pun tidak terkena darah!

Keadaan delapan orang itu amat menyedihkan. Semua terluka serta si mata satu tadi masih berkelojotan dalam sekarat. Tiga orang lagi menderita luka berat dan juga berkelojotan. Empat orang yang juga lerluka, masih bisa bergerak. Mereka ini sambil merintih rintih lalu membantu saudara saudaranya yang tak bisa berjalan sendiri.

Masing masing memondong seorang kawan kemudian tanpa pamit mereka pergi dari tempat itu setelah memungut delapan buah daun telinga yang buntung. Karena mereka itu takut kalau kalau si nona ganas mengejar, empat orang itu menahan sakit serta terus lari sehingga dalam waktu cepat mereka sudah tidak tampak lagi.

“Kau ganas sekali, nona…!”

Gadis yang baru saja memasukkan pedang nya ambil tersenyum puas itu membalikkan tubuhnya melihat kepada Yu Lee yang masih duduk dengan mata terbelalak, mulutnya lalu cemberut serta pipinya merah. Telunjuk kirinya menuding ke arah Yu Lee ketika ia memaki dengan kata kata ketus.

“Engkau ini bekas pelayan macam apa? Tadi bersikap seperti seorang pelayan setia, sekarang ada orang membela nama baik dari kuburan keluarga majikanmu malah kau mencela! Hayo jawab apa itu pringas-pringis kaya monyet? Kenapa kau sebut aku ganas?”

Yu Lee menjadi merah mukanya, merah sampai ke telinganya. Baru sekali inilah ia dimaki maki oleh seorang gadis, akan tetapi tidak menimbulkan marah di hatinya, hanya menimbulkan rasa malu. Akan tetapi, di lubuk hatinya ia memang tidak puas melihat keganasan gadis itu, maka ia menjawab.

“Aku.... aku merasa ngeri melihat kau membuntungi daun telinga mereka tadi. Setelah mereka kalah, apakah masih perlu dibuntungi daun telinga mereka?”

“Huhh, kau bujang tahu apa? Baru dibuntungi daun telinganya mereka itu masih untung besar! Coba kalau bertemu pendekar lain, umpamanya Pendekar Cengeng, tentu mereka itu bukan hanya daun telinganya yang buntung, melainkan lehernya!”

Yu Lee terbelalak saking herannya, mendengar disebutnya nama Pendekar Cengeng. Karena nama itu adalah dia sendiri. “Pendekar Cengeng…? Kenalkah nona kepadanya?”

Gadis itu menggeleng kepala serta bibirnya diliarkan menghina. "Perlu apa mengenal seorang suka menangis? Biar dia seorang pendekar, kalau cengeng sungguh tidak patut. Tetapi aku memang mencari dia! Eh, kau ini pelayan keluarga Yu, tentu tahu dia. Bukankah Pendekar Cengeng yang suka membantu orang yang tertindas itu cucu mendiang Yu-locianpwe (orang tua gagah she Yu) satu satunya keluarga yang terbebas daripada maut ketika Hek sisuw Kui bo membasmi keluarga Yu locianpwe?”

Yu Lee makin heran. Gadis ini, semuda itu sudah banyak pengetahuannya, bahkan tahu pula akan keluarganya. Ia mengangguk, “Memang betul nona. Akan tetapi mengapa nona mencari, Yu kongcu (tuan muda Yu)?”

“Bocah cengeng itu sombong sekali, malang melintang di dunia kangouw tidak memandang mata kepada orang lain, aku hendak mencarinya dan manantangnya bertanding!”

“Kenapa? Apa kesalahannya?”

“Ihh... kau ini cerewet benar! Dan tidak tahu terima kasih, tahukah kau bahwa kalau tidak ada aku tadi, kau sudah mampus di tangannya Tung-hai Pak-ong. Dan kuburan majikanmu ini sudah dibongkar, tulangnya dihancurkan? Dan kau sepatah katapun tidak pernah berterima kasih kepadaku!”

Yu Lee cepat cepat bangkit lalu menjura ke arah gadis itu. “Ah, maafkan aku nona. Aku menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu tadi sehingga sampai detik ini, aku masih hidup dan kuburan ini tidak dibongkar orang.”

“Cih! Beginikah sopan santun seorang bekas pelayan, keluarga Yu? Hemm Yu locianpwe masih hidup dan melihat sikapmu ini, tentu kau akan digampar dan nantinya dipecat dengan tidak hormat tanpa mendapat pesangon!'

Yu Lee teringat bahwa kini sedang bermain sebagai pelayan, maka untuk menyesuaikan diri ia berlutut, mengangguk angguk dan minta maaf serta menghaturkan terima kasih. Heran sekali dia. Biarpun ini hanya merupakan permainan sandiwara baginya, namun hatinya merasa tulus iklas biarpun ia harus berlutut seperti itu!

“Nah, begitu baru tahu peraturan dan sopan santun namanya. Eh, pelayan, kau ketahuilah bahwa antara majikanmu yang tua Yu locianpwe dan kakekku terdapat persahabatan, maka engkau harus menganggap aku sebagai seorang nona majikan pula. Akupun menganggap kau sebagai pelayan keluargaku sendiri, maka aku tadi tidak ragu ragu untuk menolongmu. Dan sekarang, aku berbalik ingin minta pertolongan darimu.”

“Tentu saja saya bersedia melakukan perintah nona, akan tetapi saya hanya seorang pelayan biasa, dapat menolong apakah?”

Gadis itu lalu duduk di atas sebuah batu di depan gundukan tanah kuburan. Sikapnya bebas duduknya juga bebas seperti seorang laki laki saja. “Kau duduklah dan dengarkan aku!”

Ia memandang wajah Yu Lee penuh perhatian kemudian ia mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan hitam sekali. “Kau tentu masih kecil ketika keluarga Yo dibasmi musuhnya. Selama belasan tahun itu, kau menjadi apa dan berada di mana?”

Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat Yu Lee gugup juga sehingga sejenak ia tidak mampu menjawab, hanya memandang wajah yang semakin lama makin cantik baginya itu.

“Eh, kau memandang apa?” Bentak nona itu.

“Anu… eh, anu… memandang nona.”

“Kau mau kurang ajar, ya?”

“Eh, tidak sama sekali. Bagaimana saya berani? Dan kalau tidak memandang kepada nona, bagaimana saya dapat diajak bicara?”

Gadis itu menggerak gerakkan alisnya, menimbang nimbang lalu tersenyum. “Betul juga kau. Kukira tadi pandang matamu kurang ajar seperti pandangan mata si mata satu tadi. Nah, kau belum menjawab pertanyaanku.”

Semenjak itu, Yu Lee sudah dapat menenangkan hatinya dan sudah dapat mencari akal untuk menjawab. “Selama ini saya menjadi petani di dusun, nona. Hari ini kebetulan hari ulang tahun kematian keluarga majikan saya, maka karena teringat akan budi mereka terhadap orang tua saya dan saya, maka saya datang untuk sekedar memberi hormat.”

“Hemm, bagus. Kau mengenal budi. Apakah kau bisa membaca? Ataukah buta huruf?”

Pertanyaan aneh-aneh, pikir Yu Lee yang mengangguk. “Sedikit sedikit saya bisa nona.”

“Baik, aku tidak senang kalau kau buta huruf, akan menambah kebodohanmu dan tentu akan menjengkelkan saja. Kau bilang tadi bahwa kau tahu akan Pendekar Cengeng. Betulkah?”

Yu Lee mengangguk.

“Dan akan mengenalnya kalau bertemu dengannya?”

Kembali Yu Lee mengangguk sambil menelan ludah. Ia tidak biasa membohong, maka ia pilih lebih baik tidak berkata apa apa. Kalau hanya membohong dengan kata mengangguk itu mudah.

“Bagus, mulai sekarang biarlah kau menjadi pelayanku. Kau bisa mengurus kuda, kan? Nah, baik, kau kuberi gaji secukupnya, makan dan pakaian akan kuberi, jangan takut kekurangan. Aku perlu bantuanmu mencari Pendekar Cengeng, kalau sudah bertemu dengannya, kau berhenti menjadi pelayanku. Bagaimana, maukah kau membantu sebagai balasan pertolonganku tadi?”

Hebat! Bocah ini benar benar pintar sekali, banyak akalnya serta bisa mempengaruhi hati orang, pikir Yu Lee. Entah puteri siapa dia ini. Heran dia mengapa ayah bunda anak ini membiarkannya terlepas seorang diri. Dia mirip seekor kuda betina liar yang sekali terlepas lalu menjadi binal dan ugal ugalan.

Akan telapi seekor kuda betina yang hebat. Tak mungkin ia menolak, Menjadi pelayan pun jadilah asalkan bisa berdekatan dan dapat melihat sinar mata serta senyumnya setiap hari. Ah, aku sudah meajadi gila, pikir Yu Lee.

“Heee! Hayo jawab! Melamun apa lagi!” Tangan gadis itu menyambar dan…. “plak!” pundaknya telah ditampar.

Yu Lee marasa betapa tangan gadis itu mengandung tenaga ginkang, maka ia tahu gadis itu tidak hanya sembarang menegur, tetapi juga mengujinya. Mungkin gadis itu ragu ragu serta curiga, karena sebagai bekas pelayan keluarga jagoan, mungkin dia sendiripun mempelajari ilmu silat.

“Aduh...! Nona, kenapa nona memukul saya…?” Yu Lee membuat gerakan wajar, terjengkang lalu roboh, serta mengaduh aduh memegangi pundaknya yang tertampar tadi.

Gadis itu tersenyum. Lega hatinya bahwa pelayan ini tidak mengerti ilmu silat. “Kalau lain kali kau tidak cepat menurut perintahku, baru akan kupukul betul-betul. Tadi cuma tamparan pelan saja. Nah lekas jawab, mau atau tidak engkau menjadi pelayan ku dan membantuku mencari Pendekar Cengeng!”

Yu Lee cemberut, “Masih mau, akan tetapi nona jangan bersikap terlalu galak terhadap saya.”

“Aku tidak biasa bersikap galak terhadap pelayan, akan tetapi aku belum pernah mempunyai pelayan setolol engkau ini. Eh, siapa namamu?”

Ditanya namanya, Yu Lee bingung. Ia tidak biasa membohong dan kalau saja nona ini tidak lagi mencari Pendekar Cengeng untuk diajak bertanding tentu ia pun mengakui terus terang bahwa dialah si Pendekar Cengeng. Akan tetapi untuk pergi begitu saja meninggalkan nona ini, tak mungkin dapat ia lakukan karena seluruh perasaan hatinya memaksa untuk selalu berdekatan dengan nona ini.

Terpaksa ia harus mencari nama dan teringalah ia akan nama seorang pelayan cilik keluarganya yang dahulu juga ikut terbunuh, yaitu Aliok. Maka cepat berkata menjawab, “Nama saya Aliok, nona,”

“Hemm, itu nama singkatan, nama lengkap mu siapa, Aliok?”

“Saya tidak tahu nona. Dahulu semua keluarga majikan saya menyebut saya. Aliok. Dan siapakah nama siocia (nona)?”

Nona itu menggerakkan alisnya, matanya mengerling tajam bibirnya cemberut. Mati aku, pikir Yu Lee yang merasa seakan akan jantungnya tertusuk. Begitu cantik menariknya nona ini kalau sudah marah marah seperti itu.

“Eh, mau apa kau tanya tanya namaku segala?” nona itu membentak.

Sambil memandang wajah nona itu penuh kagum Yu Lee menjawab, “Setelah menjadi pelayan nona, saya harus mengetahui nama nona. Bagaimana kalau ada orang bertanya siapa nona. Bagaimana kalau ada orang bertanya siapa nama nona majikan saya? Apakah saya harus menjawab tidak tahu?”

“Hemm, kau betul juga Aliok. Namaku Siok Lan, she Liem. Akan tetapi aku lebih terkenal dengan Sianli Eng-cu.”

Liem Siok Lan! Sebuah nama yang indah bagi Yu Lee serta sekaligus nama ini terukir di dalam hatinya. Dia tersenyum di dalam hati, nona ini begitu bangga akan nama julukannya, bangga akan ilmu silatnya sehingga menganggap seolah olah diri sendiri terpandai di dunia kang ouw.

Hemm, seorang bocah dengan kepala kosong seperti ini dibiarkan saja berkelana seorang diri, sungguh berbahaya! Tidak mengenal tingginya langit dalamnya lautan. Perlu sekali dilindungi dan dijaga, kalau tidak tentu akan terjerumus dalam bahaya dalam waktu dekat. “Kalau begitu marilah kita berangkat siocia.”

“Kau ambilkan dulu kudaku, tadi kuikat di sebuah pohon di sana!” Siok Lan menunjuk ke selatan di mana terdapat segerombolan pohon.

Dan Yu Lee berjalan ke arah yang ditunjuk melaksanakan perintah. Dari belakangnya, Siok Lan memandang. Memang hebat keluarga Yu, pikirnya, seorang bujang saja begini tampan dan bagus gerak geriknya, dengan bentuk tubuh yang jantan. Sayang ia bodoh, pikirnya lagi. Akan tetapi tentu saja bodoh, kalau pintar masa menjadi pelayan?

Lamunannya buyar ketika pelayannya itu datang, sambil menuntun kudanya. Dengan gerakan ringan dia melompat naik ke punggung kudanya, lalu berkata. “Hayo kita berangkat.”

“Ke mana nona?”

“Ke mana lagi kalau tidak mencari Pendekar Cengeng? Kau tahu dimana ia sekarang ini?”

Aku harus mengarang cerita, pikir Yu Lee, agar dia percaya dan mereka dapat terus berkumpul dan melakukan perjalanan bersama, “Saya pernah bertemu dengan Yu kongcu dan dia pernah bilang bahwa dia ingin merantau ke kota raja. Sebaiknya kita menyusul ke kota raja dan karena namanya sudah terkenal tentu kita dapat bertanya tanya sepanjang jalan!”

“Hemm benar juga pendapatmu itu. Akan tetapi kota raja amatlah jauh!”

“Nona menunggang kuda, tentu tidak akan lelah.”

“Hemm marilah!” Nona itu tentu saja tidak menyatakan isi hatinya yang membuatnya meragu. Biarpun orang muda ini menjadi pelayannya namun keadaan orang muda ini terlalu tampan untuk menjadi pelayan!

Siapa tahu, jangan jangan orang-orang di jalan mengira bahwa pemuda ini bukan pelayannya, tetapi sahabatnya atau lebih celaka lagi, sebagai suaminya atan tunanganaya! Inilah yang membuat ia tadi ragu ragu karena kalau harus melakukan perjalanan ke kota raja yang jauh tentu makan waktu yang cakup lama.

“Eh, nona…? Jangan cepat cepat… nona, mana mungkin saya dapat menyusul larinya kuda?” Yu Lee berteriak teriak ketika nona itu mempercepat kudanya.

Siok Lan menoleh dan menghela napas panjang. Wah, berabe juga mempunyai pelayan, pikirnya. Kalau dia harus melakukan perjalanan yang lambat hanya demi untuk mencegah pelayannya ketinggalan ini berarti dialah yang harus melayani si pelayan! Ah apa perlunya ini? Dan diapun hanya membutuhkan Aliok untuk mengenal dan mencari Pendekar Cengeng.

Dia sudah bertanya tanya dan orang-orang kangouw sudah pula mendengar nama Pendekar Cengeng sebagai seorang pendekar muda yang baru muncul, akan tetapi tidak seorang pun tahu di mana adanya si pendekar itu, dan ia mendengar pula bahwa sukar untuk mengenal si pendekar muda karena pendekar itu tidak pernah menonjolkan diri bahkan lalu bersembunyi dari dunia kangouw.

Maka ia mengambil Aliok sebagai pelayan untuk membautunya, akan tetapi siapa duga bahwa risikonya malah berat. Baru dalam perjalanan saja ia harus menjalankan kudanya perlahan lahan agar si pelayan tidak ketinggalan.

“Aku akan jalan dulu ke dusun depan. Biar kutunggu engkau di sana, kau jalanlah lebih cepat!” teriaknya sambil menoleh lalu membalapkan kudanya ke depan.

Ia akan menjadi kesal setengah mati kalau harus menjalankan kudanya perlahan lahan, mengimbangi si pelayan yang berjalan kaki begitu lambat! Akan tetapi, sejam kemudian Siok Lan menghentikan kudanya termangu mangu di atas kuda. Ah, ia telah bersikap keterlaluan. Pelayan itu harus berjalan menyusulnya dan tentu saja tertinggal jauh.

Entah mengapa, membayangkan wajah pelayan itu timbul rasa kasihan di hatinya, padahal kalau berhadapan ia ingin memperlihatkan kekuasaan dan kegalakannya! Biar kutunggu dia di sini, pikirnya dan iapun melompat turun dan duduk di bawah pohon yang teduh. Akan tetapi, alangkah herannya ketika ia menengok, ia melihat bayangan si pelayan itu melenggang!

Keheranan hati Siok Lan tidak melawan kekagetan Yu Lee, ketika di tikungan itu ia melihat si nona duduk menantinya! Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya. Ia mengira bahwa gadis itu benar benar meninggalkannya sampai ke dusun di depan, maka tadi karena tidak ingin tertinggal jauh dan ingin mengamat amati sang nona itu dari dekat, maka ia telah mempergunakan ilmu lari cepat mengejar.

Siapa kira gadis itu kini berhenti di situ dan menantinya! Sebab tidak menduga maka ia terlihat di tikungan dan sudah kepergok. Tetapi lalu ia mencari akal, ia berpura pura lari terhuyung huyung napasnya terengah engah serta begitu tiba di depan nona itu, ia lalu menjatuhkan diri kelelahan.

“Waduh..... siocia… bisa putus napas ku kalau begini…..“ ia terengah engah.

“Aliok, kenapa kau berlari-lari?”

“Habis, nona membalapkan kuda. Saya tidak mau tertinggal jauh. Namanya saja pelayan, tentu harus selalu mengiringkan majikannya. Masa harus melakukan perjalanan terpisah?”

“Salahmu sendiri!”

Yu Lee mengangkat sepasang alisnya yang hitam tebal, memandang heran. “Loh! Salah aku sendiri bagaimana nona?”

“Kau tidak seperti pelayan..... eh, kumaksud… tidak patut menjadi pelayanku.”

Yu Lee melirik ke arah pakaiannya. Pakaiannya memang sudah sederhana, cukup patut menjadi pelayan. “Mengapa tidak patut, nona? Memang saya pelayan.”

“Tidak, engkau lebih pantas menjadi seorang perantau, malah.. hemm... kau membawa tongkat bambu, seperti pengemis muda!”

“Ahhh ini? Sesungguhnya saya.... amat takut terhadap anjing, nona. Apalagi anjing kelaparan dan anjing gila. Kabarnya orang bisa gila kalau terkena gigit anjing gila, bisa gila seperti anjing. Mengerikan sekali, sebab itu saya bawa tongkat ini buat menjaga diri untuk mengusir kalau kalau ada anjing mau menggigit.”

“Huh, setelah menjadi pelayanku, masa terhadap anjing saja takut? Memalukan majikan itu namanya merendahkan nama besar Sian-li Eng-cu!” Gadis itu cemberut, agaknya tidak puas mendengar betapa pelayannya ini amat penakut.

Yu Lee diam-diam tersenyum. “Kalau dekat dengan nona yang saya tahu amat lihai tentu saya tidak takut. Biarlah sayà menuntun kuda nona jadi saya selalu dapat berdekatan serta tidak takut lagi digigit anjing, juga lebih patut kalau terlihat orang!”

“Akan tetapi perjalanan menjadi lambat sekali.“

Memang itu yang dikehendaki Yu Lee. “Mengapa nona tergesa gesa? Bukankah kita mencari orang? Kalau tergesa gesa, siapa tahu orang itu justeru berada di tempat yang telah kita lewati?“

Siok Lan mengerutkan keningnya lalu bangkit berdiri. “Hemm, betul juga. Marilah kita berangkat lagi.”

Girang hati Yu Lee. Sudah tiga kali nona itu membenarkan pendapatnya serta menurut. Biarpun galak kelihatannya, tetapi sebetulnya nona ini punya pendirian yang adil, suka mendengar kata dan tidak membawa maunya sendiri.

Sifat seperti ini adalah sifat yang baik sekali, sebab memperlihatkan watak yang bijaksana mau menurut kata kata orang lain biarpun orang itu cuma pelayan atau bujangnya.

Berangkatlah mereka. Siok Lan duduk di atas kudanya. Yu Lee berjalan di depan kuda, menuntun kuda itu. Mula mula Siok Lan yang keisengan mengajaknya bercakap cakap bertanya soal keluarga Yu. Bahkan bertanya tentang nama Pendekar Cengeng.

“Kau tentu tahu, siapakah nama cucu Yu locianpwe yang kini menjadi Pendekar Cengeng itu, Aliok?“

Sambil tetap menuntun kuda tanpa menoleh agar nona itu tidak melihat perubahan pada wajannya. Yu Lee menjawab, “Yu kongcu itu namanya Lee.“

“Bagaimana dia dahulu bisa terbebas dari tangan Hek siauw Kui bo. Dan engkau sendiri bagaimana bisa bebas? Bukankah Hek siauw Kui bo membasmi seluruh keluarga itu berikut semua binatang peliharaan yang berada di situ?”

“Waktu itu, kebetulan sekali saya pulang ke kampung, nona. Dan ketika keesokan harinya saya kembali ke Ki-bun mereka telah tewas semua, kecuali Yu kongcu yang entah pergi ke mana tak seorangpun mengetahuinya. Saya sendiri juga tidak tahu serta tidak bisa menduga, lalu saya hidup sebagai petani di kampung dan setahun sekali saya mendatangi Ki-bun buat bersembahyang di kuburan. Tahun lalu saya bertemu dengan Yu kongcu di kuburan…..”

“Bagaimana dia? Betul betul lihaikah? Mana lebih lihai antara dia dan aku?”

“Bagaimana saya bisa tahu nona? Akan tetapi, melihat betapa nona tadi memukul delapan orang penjahat, pasti nona lebih lihai dari dia.”

Girang hati Siok Lan mendengar ini, tersenyum senyum, wajahnya berseri seri sehingga geli hati Yu Lee ketika menengok dan mengerling ke arah wajah yang manis itu.

“Nona yang amat lihai benar benar membuat saya heran. Seorang nona masih begini muda sudah memiliki kepandaian yang mengalahkan delapan orang kepala bajak, kalau tidak menyaksikan sendiri, mana bisa saya percaya? Tentu nona ini murid seorang yang sakti seperti dewa dan yang kepandaiannya agaknya lebih tinggi dari pada mendiang Yu Kiam Sian sendiri!”

Pancingan Yu Lee ini berhasil baik sekail. Dengan penuh semangat, tanpa ia sadari bahwa ia telah menceritakan riwayatnya kepada pelayannya, Siok Lan lalu berkata, “Guruku adalah kakekku sendiri yang bernama Liem Kwat Ek dan yang terkenal dengan julukan Thian-te Sin-kiam (Pedang Sakti Bumi Langit).”

“Wah, sesorang jago pedang seperti mendiang Yu Kiam-sian!” seru Yu Lee diluar kesadarannya. Untung ia masih ingat untuk menyebut Yu Tiang Sin dengan julukannya, kalau lupa menyebut kakek tentu akan terbuka rahasianya.

“Memang! Kakekku seorang jago pedang yang amat ternama sekali di Sensi. Kakekku di Sensi dan majikanmu di Ki-bun seperti sepasang bintang di utara dan di selatan sama cemerlang dan kalau mau diadakan pertandingan sungguh susah dikatakan. Ditimbang sama beratnya, diukur sama besarnya! Akan tetapi di antara mereka tidak pernah terjadi permusuhan maka sukar diketahui siapa yang lebih lihai.

"Bahkan mereka menjadi sahabat baik, sahabat seperjuangan menentang pemerintah penjajah Goan. Sejak kecil aku dilatih ayah sendiri yang bernama Liem Swie dan kini masih tinggal di Sensi akan tetapi selama lima tahun terakhir ini aku dilatih sendiri oleh kakekku yang menurunkan ilmu simpanannya kepadaku seorang.”

“Wah, pantas saja nona begini lihai!”

Siok Lan semakin berseri wajahnya. Biarpun yang memujinya hanyalah seorang pelayan namun bukanlah sembarang pelayan, melainkan bekas pelayan Yu Kiam sian!

“Kalau tidak lihai, masa dunia kangouw menyebutku Sian-li Eng-cu? Sebaliknya bekas majikanmu itu, biarpun menjadi pendekar, disebut Pendekar Cengeng? Uh memalukan sekali! Ingin kucoba sampai di mana sih kepandaiannya maka ia begitu sombong!”

Diam diam Yu Lee merasa penasaran sekali. Nona iai sudah dua kali mengatakan bahwa Pendekar Cengeng sombong. Apa sih sombongnya dan mengapa? Bukankah menurut nona ini sendiri tadi bahwa terdapat persahabatan erat, bahkan sahabat seperjuangan antara pendekar Yu Kiam sian dan kakek nona ini? Mengapa nona ini mencari Pendekar Cengeng dan hendak menantangnya dengan sikap kelihatan marah dan membenci?

“Nona, maafkan pertanyaanku. Mengapa nona membenci Pendekar Cengeng? Apakah kesalahannya terhadap nona, padahal diantara Yu-kongcu dan nona tidak pernah ada hubungan, bahkan tak pernah saling jumpa!”

“Apa? Engkau hendak berfihak kepadanya?”

“Wah… tidak sama sekali nona. Hanya ingin tahu belaka….”

“Hemm, kau pelayan tahu apa? Dia telah menghina keluargaku tidak mamandng sebelah mata. Ia sombong."

Yu Lee semakin terheran-heran, akan tetapi tidak berani mendesak bertanya. Sementara itu Siok Lan juga sadar kini bahwa ia telah bicara terlalu banyak dengan pelayannya ini sehingga ia telah menuturkan keadaan dirinya. Hal ini menimbulkan kejengkelannya dan ia menghardik,

“Kau cerewet benar sih! Hayo jalan lebih cepat. Perutku sudah lapar dan hari sudah hampir gelap, itu di depan ada dusun, kita berhenti dan makan di sana. Sukur kalau ada, aku akan membeli seekor kuda untukmu agar perjalanan kita dapat lebih cepat lagi.”

“Saya rasa tidak perlu membeli kuda, nona. Bahkan kuda nona ini pun dalam waktu tiga hari lagi lebih baik dijual saja...”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.