Pendekar Cengeng Jilid 07

Cerita Silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar Cengeng Jilid 07

Pendekar Cengeng Jilid 07

SAKING kaget dan heran bercampur marah. Siok Lan menghentikan kudanya dengan tiba-tiba. “Eh, kau bilang apa tadi?” Ia mengangkat cambuknya dan mengancam hendak memukul.

Pendekar Cengeng karya Kho Ping Hoo

“Wah, wah, jangan pukul nona. Maksud saya baik, harap nona dengarkan dengan sabar. Kita menuju ke kota raja, bukan? Apakah nona pernah pergi ke kota raja?”

Siok Lan yang masih marah, hanya menggelengkan kepadanya. Makin jengkel dia karena pertanyaan itu malah membuktikan bahwa ia kurang pengalaman, belum pernah ke kotaraja!

“Nah, kalau nona belum pernah ke sana, saya sudah pernah! Karena itu saja lebih mengetahui jalan. Sebab itu pula, tadi saya katakan dalam waktu tiga hari, terpaksa kuda nona ini narus dijual sebab dalam waktu tiga hari kita akan tiba di kota Kaifeng dan seterusnya dari situ kita berlayar naik perahu sepanjang Sungai Huang-ho ke timur laut, terus sampai ke teluk Pohai.

"Dari sana barulah mendarat dan melanjutkan perjalanan melalui pesisir ke utara sampai ke kota raja. Perjalanan ini selain lebih cepat, juga labih indah menarik dengan pemandangan pemandangan alam yang hebat sekali. Nona pasti akan senang melihat pemandangan pemandangan indah dari tamasya alam sepanjang sungai dan laut.”

Bibir yang merah basah itu berjebi. “Hem aku bukan mau pesiar denganmu!”

Bukan pesiar, tetapi mencari Pendekar Cengeng dan perjalanan itu jauh lebih cepat serta tidak melelahkan. Hanya sayang…. dan saya sendiri lebih senang melakukan perjalanan melalui darat yang melelahkan dan jauh karena perjalanan melalui Sungai Huang ho ini penuh bahaya maut!”

Kembali Siok Lan terkena pancingan Yu Lee yang cerdik serta mengetahui wataknya dengan baik, “Bahaya apa?”

“Pelayaran melalui Sungai Huang-ho penuh dengan bahaya serbuan kaum bajak sungai, belum lagi para perampok serta penjahat. Apa lagi pada saat ini pemerintah sedang membangun terusan Sungai Huang-ho sampai ke kota raja, maka kabarnya keadaan makin tidak aman. Laki-laki muda yang lewat suka diculik oleh para serdadu dan dipaksa bekerja di terusan itu sampai mati. Wanita-wanita muda jaga diculik untuk para perwira pasukan yang menjaga pekerjaan terusan itu. Sebetulnya saya tidak berani melakukan perjalanan lewat di situ, hanya mengandalkan kelihaian pedang nona. Akan tetapi kalau nona juga merasa takut, lebih baik…”

“Apa?? Aku... takut...?? Jangan ngaco belo kau, ya? Kau lihat saja nanti, kubasmi semua penjahat yang menghalang di jalan. Barlah mereka tahu bahwa Sian-li Eng-cu tak boleh dibuat main main dan jalan menuju ke kota raja akan menjadi bersih daripada pangguan penjahat setelahaku lewat. Kita jalan melalui Sungai Huang-ho!”

“Dan kuda ini akan dijual nanti di Kaifeng nona?”

Yu Lee menuntun kuda itu serta melanjutkan perjalanan menuju ke dusun yang sudah tampak di depan. Diam diam ia tersenyum. Apa yang dikatakan Yu Lee kepada Siok Lan perihal penggalian terusan itu memang betul bukan sekedar cuma pancingan belaka agar si nona mau melanjutkan perjalanan melalui Sungai Huang-ho.

Pada waktu itu, Kaisar Kubilai Khan yang memerintah kerajaan Goan, melihat perlunya diadakan perhubungan yang baik sekali ke selatan demi lancarnya pengiriman barang terutama bahan makanan. Bahan makanan terutama beras terdapat banyak sekali di lembah Sungai Yang-ce, maka untuk melancarkan pengangkutan bahan makanan ke kota raja, kaisar memerintahkan untuk menggali terusan dari Sungai Huang-ho ke kota raja.

Terusan antara Yang-ce dengan Huang ho memang sudah ada, yaitu peninggalan dari jaman kerajaan Sui dan Sung dahulu. Seperti juga keiika diadakan penggalian terusan di jaman Sui dan Sung itu kini kerajaan Goan, apalagi sebagai kerajaan penjajah, rakyatlah yang menjadi korban.

Buat pekerjaan menggali terusan sampai ke kota raja ini memerlukan banyak sekali tenaga manusia. Dan buat memenuhi kebutuhan ini para petugas serta pembesar, demi melaksanakan perintah kaisar melakukan paksaan kepada rakyat. Laksaan rakyat dan ratusan ribu petani dipaksa meninggalkan sawah ladang serta keluarganya buat dipekerjakan dalam penggalian ini.

Mereka dipaksa bekerja melebihi kuda beratnya serta tidak mendapat jaminan selayak nya sehingga banyak sekali diantara mereka meninggal dalam kerja paksa itu. Kalau sudah mati dikubur sejadinya di tepi sungai.

Bagaimana dengan sawah ladang mereka di dusun? Ada yang “membereskannya”, yaitu para tuan tanah yang menjadi raja raja kecil di setiap dusun. Bukan hanya sawah ladang yang dirampas, tetapi juga isteri muda yang cantik dan anak anak gadis remaja dirampas buat dipaksa menjadi selir oleh tuan tanah dan kaki tangannya. Anak lelaki otomatis menjadi buruh tani yang nasibnya tidak lebih dari pada budak belian.

Kebencian rakyat terhadap pemerintah penjajah dan “raja kecil” di dusun, kehidupan rakyat yang morat marit, dendam yang bertumpuk tumpuk, semua ini tentu saja menimbulkan akibat yang sangat tidak baik. Kekacauan, timbullah pemberontak pemberontak kecil kecilan dalam bentuk gerombolan gerombolan yang mengganggu keamanan.

Rakyat pula yang makin menderita. Di satu fihak takut kepada tangan tangan kejam pemerintah yang setiap saat siap untuk menciduk mereka untuk dijadikan pekerja paksa, di lain fihak takut kepada gerombolan gerombolan yang menjadi pengganggu siapa saja tanpa mengenal hukum.

Dan dalam keadaan jaman seperti itulah Yu Lee melakukan perjalanan bersama Siok Lan bahkan mendekati daerah “angker, daerah gawat karena pelayaran melalui Sungai Huang ho itu akan melewati terusan yang kini sedang dilanjutkan penggaliannya menuju ke utara, ke kota raja!

Dua hari kemudian, mereka telah tiba di luar kota Kaifeng, kota besar bekas kota raja yang amat ramai yang terletak di lembah Sungai Huang-ho ini. Yu Lee masih berjalan menuntun kuda, pakaian dan mukanya penuh debu dan keringat.

Sehingga kini ia agak patut menjadi pelayan Siok Lan duduk di atas pelana kudanya, melenggut dan mengantuk karena hawa amat panasnya di siang hari itu, apalagi musim kering membuat jalan berdebu. Karena kudanya dituntun sehingga ia tidak perlu memperhatikan jalan lagi. Siok Lan menjadi mengantuk dan tidur ayam sambil duduk di atas punggung kuda.

“Nona yang mulia mohon sudi membantu!”

Siok Lan membuka matanya memandang ke depan. Ternyata di pinggir jalan itu berdiri seorang pengemis penuh tambalan, memegang tongkat yang dipakai bersandar dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang sebuah mangkok retak.

Dari rambutnya yang panjang awut awutan sampai kakinya yang telanjang dan pakaiannya yang butut, jelas dia seorang pengemis biasa, akan tetapi anehnya, pengemis yang berpakaian butut itu memakai sabuk merah yang melibat pinggangnya. Dan sabuk merah ini dari sutera yang masih baru dan bersih.

“Lopek, harap kau orang tua suka memaafkan kami, biarlah kali ini kami tidak memberi apa apa dan lain kali saja akan kami beri sumbangan kepadamu. Harap lopek ketahui bahwa nona majikanku ini sedang melakukan perjalanan jauh sekali ke kota raja dan karenannya memerlukan biaya yang banyak.”

Demikian Yu Lee berkata dengan suara halus kepada kakek pengemis itu. Siok Lan merasa sebal mengapa pelayannya bersikap begitu menghormat dan halus terhadap seorang pengemis! Akan tetapi sebelum ia sempat menegur, pengemis itu sudah membuka mulutnya lagi dan kali ini bernyanyi dengan suara parau, akan tetapi hanya perlahan seperti berbisik sehingga hanya mereka berdua saja yang mendengarnya.

Membanting tulang bekerja paksa, anak bini di rumah menderita, tanpa makan tiada upah, mengharap nona memberi sedekah

Siok Lan marah. Nona ini melihat betapa Aliok memandang dan betkedip seperti memberi isyarat atau mencegah kemarahannya akan tetapi ia tidak perduli, bahkan makin mendongkol karena Aliok tampaknya begitu takut terhadap jembel tua yang banyak lagu itu. Ia menudingkan telunjuknya ke arah muka pengemis sambil membentak.

“Sungguh engkau ini jembel tua yang tidak tahu malu! Jelas engkau seorang pemalas yang tidak mau bekerja, becusnya hanya minta minta saja, akan tetapi masih bicara tentang bekerja keras dan membanting tulang! Cih, tak tahu malu. Masih mempunyai sabuk sutera merah yang tentu dapat kau tukar dengan nasi untuk dimakan tetapi ada muka untuk mengemis! Hayo pergi!”

Akan tetapi kakek itu tidak mau pergi, juga pada wajahnya yang berdebu tidak tampak perubahan, seolah olah kemarahan dan ucapan Siok Lan itu dianggapnya seperti tingkah seorang anak kecil saja. Malah ia menengadahkan mukanya ke atas dan bernyanyi lagi, kini suaranya yang parau terdengar lantang dan gagah, tidak berbisik seperti tadi.

Dengan sabuk merah di pinggang sampai mati kami berjuang

Siok Lan makin panas hatinya. Dengan gerakan kilat tubuhnya mencelat dari atas kudanya lalu berdiri di depan pengemis iiu Sengaja ia memperlihatkan ginkangnya yang hebat dan kini ia berdiri sambil bertolak pinggang di depan kakek pengemis itu terus berkata.

“Rupanya engkau bukan jembel sembarangan, melainkan seorang anggauta kaipang (perkumpulan pengemis). Akan tetapi tidakkah engkau tahu siapakah aku?”

Pengemis tua itu melihat tajam sejenak ke pada Siok Lan, lalu melirik ke arah Yu Lee kemudian berkata sambil merangkap kedua tangan di depan dada, “Maaf bahwa saya yang bodoh tidak mengenal nona. Akan tetapi saya cuma tahu sebuah hal yaitu bahwa tiada seorang gagah akan menolak buat membantu kami yang miskin. Harap nona tidak terkecuali dan suka membantu kami dengan sedekah.”

“Aku tidak punya uang!”

“Uang tidak berapa perlu, kuda serta pedang nona itu cukuplah....”

“Jembel busuk! Kau buka mata serta telinga lebar-lebar! Aku adalah Sian-li Eng-cu, tahukah engkau? Aku adalah cucu dan juga murid Thian-te Sin-kiam mengertikah engkau?”

“Maaf.. . maaf... tentu saja saya telah mendengar nama besar Thian-te Sin-kiam yang amat kami hormati….”

“Nah, kalau sudah tahu, lekas minggir jangan menghalangi jalan dan membuat malu saja kepadaku!” Bentak Siok Lan memotong kata kata Yu Lee yang merendah serta membujuk pengemis itu.

Si pengemis menghela napas panjang, “Ahh andaikata kakekmu sendiri yang lewat, tentu beliau tidak akan menolak permintaanku dan memberikan seluruh harta benda yang dibawanya. Percuma saja engkau mengaku murid dan cucu Thian-te Sin-kiam kalau begini pelit....”

“Apa kau bilang? Jembel busuk bermulut lancang! Kau sendiri yang tidak tahu malu! Mana di dunia ini ada orang mengemis secara paksa? Kau ini pengemis atau perampok?“ Siok Lan makin marah, sepasang pipinya sampai merah sekali dan matanya bercahaya seperti kilat.

“Sudah menjadi peraturan perkumpulan kami jika seorang budiman memberi sedekah secara sukarela dan tulus ikhlas, biarpun hanya sekepal beras dan sesuap nasi akan kami terima dengan rasa syukur serta berterima kasih. Sebaliknya, jika berhadapan dengan orang pelit tidak berpribudi kami akan memilih sendiri sedekahnya. Maka saya sekarang memilih sendiri kuda serta pedang nona!”

“Ngaco belo! Perkumpulanmu itu apakah? Berani mengeluarkan peraturan petaturan seenak perutnya sendiri!”

Pengemis itu tiba-tiba lenyap sifatnya yang merendah, kini bardiri tegak lalu menunjuk sabuk sutera merahnya itu yang melilit di perut. “Kami adalah anggauta Ang-kin kai-pang (Perkumpulan Pengemis Sabuk Merah) dan peraturan peraturan yang di keluarkan pangcu (ketua) kami, biar kaisar sendiripun tidak boleh melanggarnya!”

Siok Lan merasa betapa ujung bajunya dibetot orang dari belakang. Ia menoleh dan melibat Aliok kembali berkedip kepadanya seperti orang memberi isyarat, memang Yu Lee yang sudah mendengar tentang Ang-kin kai-pang dan tadipun sudah mengenal pengemis ini tidak menghendaki si nona bertengkar dan mengharapkan Siok Lan mengalah saja.

Akan tetapi cegahan-cegahanaya dengan kedipan mata itu dianggap oleh Siok Lan bahwa dia takut terhadap si pengemis, bahkan menambah kemarahan gadis itu.

“Boleh jadi kaisar akan takut menghadapi Ang-kin kai-pang, akan tetapi aku Sian li Eng cu tidak gentar menghadapinya! Aku tidak mau memberikan pedang dan kudaku kepadamu, dan hendak kulihat kau mau dan bisa apa!” Gadis itu berdiri tegak, kedua tangan bertolak pinggang, sikapnya gagah dan memandang rendah.

Wah, berabe! Demikian pikir Yu Lee yang tahu bahwa pertandingan takkan bisa dielakkan lagi. Ia sudah mendengar perihal Ang-kin kai-pang yang merupakan sebuah perkumpulan pengemis terbesar dan berpengaruh di waktu itu. Ang-kin kai-pang merupakan perkumpulan tokoh tokoh berjiwa patriot yang mementang kekuasaan kerajaan Goan serta sudah banyak melakukan kekacauan kekacauan dan membunuhi pembesar pembesar Mongol.

Juga perkumpulan ini bergerak membantu para pekerja paksa, diam diam menjamin ransum kepada mereka, menyogok para petugas agar meringankan beban mereka, atau membunuh para petugas yang terlalu kejam. Mengumpulkan dana dana buat menanggung beban hidup para keluarga yang ditinggalkan suami atau ayah mereka dalam melakukan kerja paksa menggali terusan.

An-kin kai-pang selain besar juga dipimpin oleh orang-orang yang berilmu tinggi! Menurut kabar yang ia dapat, ketuanya adalah seorang tokoh kangouw yang bernama Ang Kwi Han dan terkenal dengan sebutan Ang-pangcu ( ketua Ang) atau juga terkenal sebagai kai-ong (raja pengemis). Ilmunya amat tinggi dan dalam urutan tingkat ilmu yang diatur rapi dalam perkumpulan, dia adalah seorang yang tingkatnya tertinggi.

Yang tingkatnya nomor dua adalah pengemis pengemis yang membawa pedang beronce merah besar sebanyak dua buah, tingkat nomor tiga yang ronce di pedangnya ada tiga pula, tetapi kecil sedikit. Begitu seterusnya makin menurun tingkatnya, makin banyak roncenya yang menghias gagang pedang akan tetapi makin kecil pula bentuknya.

Yu Lee tidak melihat pengemis yang menghadapi Siok Lan ini berpedang, maka ia tidak tahu pengemis ini termasuk tokoh tingkat berapa dalam Ang-kin kai-pang, tetapi melihat gerak geriknya membayangkan bahwa pengemis ini bukan orang sembarangan.

“Nona, perjalanan kita masih amat jauh, perlu apa mencari keributan di sini? Lebih baik berikan kuda ini kepadanya dan kita melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Betapapun juga kuda ini sesampainya di Kaifeng toh akan kita tinggalkan.”'

“Diam kau! Jangan turut campur! Kalau jembel ini minta dengan baik baik, tentu aku tidak begini pelit. Akan tetapi dia punya peraturan, akupun punya peraturan. Kalau orang minta minta kepadaku dengan baik, akan kuberi hadiah sebanyaknya. Tapi kalau minta dengan paksa, jangankan kudaku, buntut kuda sehelaipun dia tidak boleh ambil!”

“Bagus! Jalan ke Kaifeng kelihatan dekat tetapi tidak mudah kau capai dengan sikapmu itu, nona. Karena kau melanggar peraturan kami, maka kau baru boleh melanjutkan perjalananmu ke Kaifeng kalau kau sudah dapat mengalahkan aku si pengemis bodoh!”

Setelah berkata demikian, pengemis itu menggerakkan tangan kanannya dan terdengar bunyi berdesing dan tercabutlah sebatang pedang dari dalam tongkatnya yang butut tadi. Kiranya tongkat itu merupakan sebuah sarung pedang sehingga pedangnya sendiri tersembunyi. Kiranya gagang tongkat itu adalah gagang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya dan tampak kini hiasan ronce merah sebanyak lima buah! Wah, pikir Yu Lee, kiranya adalah seorang tokoh Ang-kin kai-pang yang bertingkat lima.

Di samping kekhawatirannya karena Siok Lan mencari keributan dengan aggauta perkumpulan pengemis yang besar dan berpengaruh itu, juga di hati Yu Lee timbul keinginan menyaksikan kelihaian pengemis itu, juga ke lihaian “nona majikannya” dalam melawan.

Ia lalu menarik kuda diajak minggir, mengikatkan kendali kuda pada sebatang pohon kemudian dia sendiri berdiri untuk menonton pertandingan itu, siap siap untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah yang membawa maut.

Sementara itu, melihat si pengemis mencabut sebatang pedang dari tongkatnya, Siok Lan makin marah. “Singg…!” Tangannya mencabut pedang dan telunjuk kirinya menuding, “Si keparat, maka tampaklah belangmu! Engkau berkedok pengemis padahal pada dasarnya memang seorang penjahat. Perampok berpedang yang menyamar sebagai pengemis bertongkat! Hari ini bertemu Sian-li Eng-cu, berarti akan berakhir praktek kejahatan mu.”

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban pengemis itu Siok Lan sudah menerjang maju dengan pedangnya. Gerakan nona ini memang amat cekatan dan pedangnya yang menyambar itupun cepat laksana kilat, tahu tahu sudah meluncur ke arah dada pengemis tua itu.

“Bagus!” teriak si pengemis yang juga sudah menggerakkan pedang, menangkis dari kiri dengan ujung pedang digetarkan.

“Cringgg….!!” Pedang yang bertemu diudara itu mengeluarkan bunyi nyaring, terutama sekali pedang perak di tangan Siok Lan, sehingga menimbulkan nyeri pada telinga, Siok Lan terkejut karena ada getaran yang kuat menyelinap dari pedangnya memasuki lengan, membuat lengannya tergetar dan kesemutan.

Jelas bahwa hal ini membuktikan betapa kuat tenaga sinkang fihak lawannya. Namun ia tidak gentar dan mempercepat gerakannya, tahu tahu tubuhnya sudah menyambar lagi, pedangnya membabat kaki disusul tendangan kaki kiri ke arah lambung lawan.

“Aiihhh......!” Pengemis itu berseru kaget. Begitu cepatnya gerakan nona muda itu sehingga sukar diikuti pandangan mata. Tahu tahu ujung pedang gadis itu sudah dekat dengan kaki. Cepat ia meloncat ke atas dan ketika kaki Siok Lan menyambar lambung dengan tendangan kuat, membacok ke arah kaki gadis itu dari atas.

Siok Lan maklum akan bahayanya hal ini cepat ia menarik kembali kaki kirinya dan kembali pedangnya membabat dengan bacokan ke arah leher begitu tubuh lawan sudah turun kembali. Hal ini dapat pula dielakkan oleh si pengemis yang berjongkok dan berbareng dari bawah menusukkan pedangnya ke arah perut Siok Lan. Dara perkasa ini cepat menekuk siku menangkis tutukan lawan dengan pedang.

Kembali kedua pedang beradu menimbulkan suara nyaring. Selanjutnya dalam waktu singkat dua orang itu telah terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian. Dua batang pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi dua gulung sinar pedang.

Akan tetapi biarpun kedua pedang itu sama sama menjadi sinar putih pedang perak di tangan Siok Lan lebih cemerlang sinarnya, merupakan gulungan sinar perak yang memanjang dan lincah menyambar ke sana sini sehingga gulungan sinar lawan terkurung, terdesak dan terhimpit.

Yu Lee yang berdiri menonton, setelah pertandingan lewat tiga puluh jurus, maklum bahwa ilmu pedang Siok Lan jauh lebih menang dalam hal pariasi dan gerak tipu, terutama sekali menang dalam kecepatan. Hal ini tak dapat ditutup oleh kemenangan pengemis itu dalam kekuatan sinkang dan ia tahu bahwa kalau dilanjutkan, tidak sampai sepuluh jurus lagi kakek pengemis itu tentu akan menjadi korban gin-kiam yang berada di tangan nona ganas itu.

Ia bingung dan hendak mencari akal untuk mencegah hal ini. Tiba-tiba ia terkejut. Kakek itu dengan tangan kirinya telah mengeluarkan mangkok bubur dari saku bajunya. Saat itu Siok Lan sedang menerjang dengan pedangnya ke tubuh bagian bawah si pengemis yang sudah terdesak.

Pengemis itu hendak mengadu jiwa karena ia sama sekali tidak mengelak, sebaliknya membarengi dengan tutukan pula ke dada Siok Lan dan tangan kirinya yang memegang mangkok retak dihantamkan ke arah pelipis gadis itu!

Gerakan pengemis itu jelas merupakan gerakan orang nekad yang hendak mengadu jiwa tidak memperdulikan sambaran pedang Siok Lan ke arah lambungnya itu. Pedang gadis itu pasti akan memasuki lambungnya, akan tetapi kedua serangannya pun, salah satu dan agaknya mangkok itu, akan mengenai sasarannya pula.

Melihat ini, Yu Lee yang sudah memegang beberapa butir kerikil cepat mengayunkan tangan. Sebuah kerikil mengenai pergelangan tangan Siok Lan yang memegang pedang, dan dua buah kerikil mengenai kedua pergelangan tangan pengemis itu! Siok Lan berseru kaget, pedangnya menyeleweng dan cuma berhasil melukai paha si pengemis.

Sambaran kerikil ke arah kedua pergelangan tangan pengemis itu mengandung tenaga lebih kuat dan pedang serta mangkok pengemis itu terlepas dari pegangan, mangkoknya pecah pecah dan pedangnya jatuh ke tanah. Siok Lan yang kaget sudah lompat mundur memegangi pedangnya, tangannya masih kesemutan karena sambaran kerikil tadi.

Ia terheran heran dan terkejut, sama sekali tidak tahu bahwa yang membuat tangannya lumpuh adalah sebutir kerikil yang dilemparkan Aliok, menyangka bahwa si pengemis itulah yang melakukan hal ini. Di lain fihak, pengemis itu terguling dam jatuh berlutut. Paha kirinya terluka mengeluarkan darah.

Yu Lee yang mau mencegah supaya Siok Lan tidak mererjang lagi lawannya yang sudah terluka itu cepat lari menghampiri pengemis itu dan sebelum Siok Lan dapat mencegah, ia sudah memegang pundak pengemis itu, berusaha membangunkan sambil berkata.

“Lopek, nona majikanku sedang melakukan perjalanan jauh, harap lopek sudahi saja pertengkaran ini…”

Pengemis itu berusaha bangkit, namun tak sanggup. Bahkan ketika ia mengerahkan tenaga untuk bergerak, sama sekali tubuhnya tak dapat digerakkan. Ia merasa betapa kedua tangan pelayan itu menindih pundaknya seperti dua buah gunung raksasa! Ia merasa penasaran sekali, mengumpulkan tenaga dari pusar lalu mengerahkan sinkang.

Namun makin kagetlah ia dan terpaksa meringis kesakitan ketika tenaga sinkangnya itu sampai ke pundak bertemu dengan telapak tangan si pemuda pelayan, tenaganya itu membalik dengan cepat. Tentu ia akan celaka dan terluka kalau saja ia tidak cepat cepat membuyarkan tenaganya sendiri.

Ia mengaadah dan memandang wajah pelayan itu. Terkejut ia melihat betapa sinar mata pemuda itu sangat tajam berpengaruh, sampai sampai ia bergidik. Kemudian ia mengangguk anggukkan kepala, berkata lirih. “Sungguh tak tahu malu...... seperti seekor tikus berani menantang naga….!”

Pengemis iu lalu berdiri terus memungut pedang dan mangkoknya yang sudah pecah, memasukkan pedang ke dalam tongkat, kemudian pergi dari situ dengan kepala tunduk dan langkah terpincang pincang.

Siok Lan menyarungkan gin-kiam dan mengangkat dada, menepuk nepuk debu yang mengotori bajunya. “Huh, tak tahu diri! Kalau tadi tadi mengaku tikus bertemu naga, tentu tak perlu aku mencabut pedang.” Ia menggerutu lalu menghampiri kudanya.

“Untung kelihaian nona bermain pedang membuat dia kalah dan mundur.” kata Yu Lee, “Akan tetapi bagaimana, kalau kawan kawannya nanti datang? Tentu diantara kawan kawannya ada yang lebih lihai. Oleh karena itu, kuharap nona sukalah berlaku sabar dan tidak meladeni mereka. Di Kaifeng banyak sekali orang-orang kai-pang.”

“Hemm.... kaukira aku tidak tahu? Biarpun aku belum pernah melakukan perjalanan ke kota raja seperti engkau, akan tetapi pengertianku tentang dunia kangouw jauh lebih luas dari pada pengetahuanmu. Aku tahu akan Ang-kin kai-pang, tahu pula dari kakekku bahwa ketuanya bernama Ang Kwi Han yang berjuluk Kai-ong dan memiliki ilmu pedang yang amat tinggi tingkatnya.

"Kabarnya pernah Ang Kwi Han itu dengan pedangnya mengalahkan si iblis betina Hek siauw Kui bo! Akan tetapi kalau orang tua she Ang itu tidak becus mendidik anak buahnya yang bersikap edan-edanan serta seperti perampok mengganggu orang lewat tampa pilih bulu, akupun tidak takut menghadapinya!”

Yu Lee menggerakkan pundaknya. Sukar mengatur serta mengatasi gadis ini! Kalau saja hatinya tidak begitu terikat oleh semacam kekuatan gaib yang membuatnya tidak berdaya, kalau saja hasratnya tidak begitu menyala nyala serta tertarik buat dia untuk tetap bisa selalu berdekatan, untuk setiap saat dapat memandang wajah itu, bertemu pandang dengan sinar mata yang begitu cemerlang, melihat mulut berkembang mengarah senyum seperti munculnya matahari pagi kalau saja ia tidak jatuh bangun dalam cinta asmara terhadap Siok Lan, tentu saat itu juga ia sudah pergi meninggalkannya!

“Saya tahu kelihaianmu, nona. Saya hanya mengharap agar tidak ada lagi perkelahian perkelahian itu. Melihat nona bertanding pedang, ihh… sungguh mengerikan sekali. Bagaimana kalau sampai nona terbacok atau tertusuk pedang lawan?”

“Tak mungkin!” jawab Siok Lan. Dia kalah dan terbacok? Rasanya tidak mnngkin hal itu bisa terjadi. Akan tetapi melihat sinar mata pelayannya yang penuh kekhawatiran, ia melanjutkan. “Kalau kena paling paling juga terluka dan paling hebat mati!”

Mendengar jawaban yang dikeluarkan secara tak acuh ini. Yu Lee menghela napas untuk menekan perasaannya yang tergoncang. “Kalau hanya terluka, tentu saja dapat mengusahakan obatnya, akan tetapi kalau sampai mati.”

“Habis kenapa?“

“Kalau nona mati... bagaimana saya dapat melakukan perjalanan bersama dan melanjutkan ke kota raja?“

Siok Lan tertawa geli dan menutupi mulutnya, lalu meloncat naik ke punggung kudanya. “Aihh kau aneh sekali Aliok. Kalau aku mati, kau dapat melanjutkan perjalananmu seorang diri, atau mencari majikan baru. Mengapa susah susah?“

Gadis itu tidak tahu betapa jawabannya yang berkelakar ini seperti pisau menusuk jantung Yu Lee. Pemuda itu menyambar kendali di hidung kuda dan menuntun binatang itu. Kini ia berjalan di depan kuda membelakangi nona majikannya dan terdengar suaranya.

“Mari kita berangkat siocia. Jangan sampai kemalaman di Kaifeng, sukar mencari tempat penginapan kalau sudah malam, penuh oleh tamu.”


Hanya semalam mereka bermalam di Kai feng, kota yang besar dan ramai itu Siok Lan menyewa sebuah kamar, sedangkan Yu Lee yang kehabisan kamar bujang, yaitu kamar besar dimana para bujang dari tamu tamu tidur menjadi satu, terpaksa tidur di emper, di luar kamar Siok Lan di bawah jendela. Akan tetapi bagi Yu Lee hal ini amat menyenangkan hatinya, sebab biarpun tidur di atas lantai, ia berdekatan dengan “nona majikan” yang makin lama makin menguasai cinta kasihnya itu.

Pada keesokan harinya Yu Lee berhasil menjualkan kuda nonanya, kemudian mereka pergi ke pangkalan perahu di Sungai Huang-ho yang amat besar. Karena perutnya merasa lapar, Siok Lan lalu mengajak Aliok untuk makan di sebuah restoran di pinggir sungai.

Hawa di siang hari itu amat panas, Siok Lan lalu mengajak Aliok duduk di kursi terdepan, di dekat pintu masuk restoran itu. Sambil duduk meaghadapi meja, mereka dengan mudah bisa melihat keramaian di luar restoran, dimana terlihat kesibukan para pedagang serta para nelayan, pengangkutan barang barang dari dan ke perahu perahu yang banyak terdapat di pangkalan itu.

Pagi hari tadi Yu Lee telah mencari perahu buat disewa melakukan pelayaran sampai ke teluk Pohai, akan tetapi tidak ada satupun tukang perahu yang mau menyewakan perahu nya buat pelayaran melalui jarak sejauh itu.

“Kami hanya melakukan pelayaran di sepanjang Huang-ho dan sebelum tiba diterusan, kami sudah kembali lagi ke sini. Dalam waktu seperti sekarang ini, siapa berani menyeberangi terusan?”

Demikian rata rata jawaban tukang perahu sehingga menjengkelkan hati Siok Lan dan akhirnya nona itu mengajak pelayannya untuk mengaso dan makan di restoran itu.

“Sialan!” Siok Lan mengomel. “Tukang tukang perahu pengecut dan penakut! Kalau tidak ada yang berani mengantar akan kubeli saja perahunya dan kita dayung sendiri!”

Yu Lee hanya tersenyum, kagum akan keberanian nona ini. Untuk menghibur hati nona itu, ia berkata, “Harap siocia jangan khawatir. Saya rasa dengan bayaran yang memadai ada juga nanti tukang perahu yang berani membawa kita ke sana.”

“Sekarang lebih baik nona makan dulu, masakan apakah yang hendak dipesan, akan saya sampaikan kepada pelayan restoran.”

“Hemm, apa sajalah! Asal enak, aku tidak tahu masakan apa yang paling enak di sini.”

“Saya tahu nona. Di Kai feng ini bumbu masakannya rata rata agak manis, berbeda dengan di selatan. Akan tetapi, yang paling tersohor adalah masakan ikan kakap merah dimasak saus tomat. Bukan main enaknya, gurih dan sedap. Maukah nona mencoba?“

Siok Lan tersenyum sedikit. Makin lama makin suka ia kepada pelayannya yang ternyata penurut, sopan dan pandai menggembirakan hati, juga agaknya pelayan ini tidak begitu bodoh, tahu akan tempat tempat asing. Terhibur sedikit hatinya yang mendongkol sebab penolakan tukang tukang perahu tadi.

“Boleh, sesukamulah asal enak enak kataku tadi, jangan lupa arak yang baik, yang sedang kerasnya.”

Setelah Yu Lee memberitahu pengurus restoran dan pengatur pesanan, tidak lama kemudian pelayan datang membawa baki besar terisi beberapa macam masakan daging dan sayur, sepiring besar ikan kakap merah yang semua digoreng kering dan dibumbui saus tomat yang kemerahan. Melihat saja sudah menimbulkan selara dan membuat orang menelan air liur!

Setelah lengkap dengan minumannya, Siok Lan memberi isyarat kepada Yu Lee dan makan minumlah mereka. Biarpun Yu Lee pada waktu itu dianggap sebagai seorang pelayan oleh Siok Lan namun gadis ini tidak terlalu memakai banyak peraturan serta selalu mengajak si pelayan makan bersama!

Kepolosan watak ini makin mengagumkan hati Yu Lee yang menganggap Siok Lan seorang gadis yang paling cantik, paling baik, paling menyenangkan dan paling menimbulkan kasih sayang di dunia ini. Begitulah kalau seorang pria sudah bertekuk lutut dalam cinta asmara!

“Aliok hayo ambil dagingnya! Masa kau cuma makan sirip, buntut, kepala dan tulang tulang saja!”

Biarpun berkali-kali Siok Lan mendesak dan Yu Lee mengangguk, namun tetap pemuda ini tidak mau mengambil daging yang paling gemuk dari ikan kakap di depan mereka. Hal ini bukan karena dia malu-malu, bukan pula sebab terlalu sayangnya kepada si nona saja, melainkan bagi dia ialah, bagian yang paling lezat dari sebuah ikan adalah sirip, buntut, kepala dan daging yang menempel pada tulang.

Maka dia lebih suka menggerogoti tulang dari pada mengambil daging yang empuk, sehingga, di atas meja dekat mangkoknya terdapat tumpukan tulang-tulang ikan yang runcing. Baru saja keduanya selesai makan dan minum, duduk terhenyak kekenyangan di atas kursi masing masing, tiba tiba terdengar suara yang kecil tinggi.

“Kasihanilah kami, nona yang budiman...!”

Mereka berdua menengok dan berubahlah wajah mereka. Yu Lee melihat kaget serta khawatir, sebaliknya Siok Lan melihat marah. Kiranya yang mengucapkan kata kata tadi adalah dua orang pengemis berusia enam puluhan tahuan, pakaian mereda butut tetapi pinggang mereka memakai sabuk sutera merah!

Sekali melihat saja maklumlah Siok Lan serta Yu Lee bahwa dua orang pengemis tua ini adalah kawan kawan dari pengemis yang mereka usir di jalan tadi, serta agaknya dua orang pengemis ini sengaja datang untuk membalas dendam dan pasti mereka ini memiliki tingkat yang lebih tinggi.

Siok Lan marah, akan tetapi ia menekan kemarahannya dan masih enak enak duduk, lalu bertanya dengan suara ketus “Kalian ini datang mau apakah? “

Pengemis yang tertua yang mempunyai tahi lalat besar di pelipis kanannya, berkat sambil bersandar pada tongkat dan mengangkat mangkok retaknya ke arah Siok Lan.

“Saya bernama Ang Ci dan bersama suteku ini Ang Sui kami telah mendengar dari Ang Kun tentang kemurahan hati nona yang suka sekali memberi sedekah dan sumbangan kepada orang-orang miskin seperti kami. Karena itu kami sengaja datang untuk mohon kasihan dan sedekah dari nona.”

Siok Lan tadinya sudah marah sekali, akan tetapi dasar wataknya memang jenaka dan gembira, mendengar ucapan kakek itu yang menyebut nama mereka, ia melihat kelucuannya dan tertawa geli, “Aihhh, kiranya kalian dari Ang kin Kai pang ini merupakan sebuah keluarga besar yang mempunyai she (nama keturunan) Ang? Lucu sekali!”

“Kami memang dari keluarga besar Ang dan hal ini sama sekali tidak ada lucunya. Harap nona sebagai cucu Thian te Sin kiam suka berpemandangan jauh, agar tidak mengecewakan orang yang menjadi kakek dan guru,” kata pengemis kedua yang mukanya kuning.

Kini Siok Lan tak dapat menahan kemarahannya. Ia bangkit berdiri dari kursinya dan membentak, “Jembel busuk mengapa banyak cerewet dan membawa bawa nama kakekku? Kalian dan golongan kalian inilah yang berpemandangan cupat. Orang minta sedekah harus mempunyai tata susila, harus sopan dan dengan sukarela mengharapkan bantuan orang.

Akan tetapi kalian melakukan paksaan, sungguh pekerjaan yang hina dan rendah melebihi perampok. Kalau perampok, mereka minta dengan paksa secara terang terangan, sebaliknya kalian ini minta secara paksa berkedok pengemis! Aku tidak mau memberi apa apa, kalian mau apa kah?“

Ucapan Siok Lan yang dilakukan dalam keadaan marah ini menimbulkan keributan dan menarik perhatian orang sehingga para tamu dalam restoran itu kini menengok, bahkan mereka yang tadinya bekerja menghentikan pekerjaan mereka dan menengok.

Namun mereka semua itu tampak kaget ketika melihat bahwa yang dimarahi gadis cantik itu adalah dua orang pengemis tua yang bersabuk sutera merah! Bagi mereka, sabuk sutera merah ini merupakan tanda yang sudah amat dikenal dan ditakuti.

Siapakah yang tidak mengenal Ang kin Kai pang perkumpulan pengemis gagah perkasa yang berani menantang pemerintah dan yang telah banyak bekerja membantu para pekerja paksa pembuat terusan air? Dan sekarang ada seorang nona muda berani marah marah terhadap mereka!

Ang Ci yang bertahi lalat di pelipisnya itu tersenyum, lalu berkata suaranya masih tenang seperti tadi, tinggi kecil suaranya, seperti suara wanita. “Nona, justeru mengingat nama besar Liem Kwat Ek kakekmu, kami masih bersikap mengalah kepadamu. Akan tetapi harus nona ketahui bahwa Thian-te Sin-kiam sendiri tidak akan berani bersikap seperti nona terhadap kami. Karena itu kami pun akan menghabiskan urusan ini asal nona mau menyumbangkan pedang nona kepada kami!”

Yu Lee tahu bahwa biarpun Siok Lan berada di fihak benar, namun nona ini telah melanggar sopan santun dan peraturan dunia kang ouw, tidak mengindahkan perjuangan Ang kin Kai pang maka kini mendengar bahwa dua orang pengemis itu mau menghabiskan perkara asalkan si nona suka memberikan pedang, yang dalam dunia kangouw dapat dianggap sebagai tanda mengaku kalah menganggap bahwa hal itu cukup patut.

Nona ini masih amat muda, dan mengaku kalah terhadap dua orang tokoh Ang-kin Kai-pang bukanlah hal yang memalukan apalagi mengaku kalah tidak karena bertanding melainkan karena telah melanggar dan memalukan fihak Ang-kin Kai-pang ketika mengalahkan Ang Kun tadi.

“Nona, berikanlah saja, nona. Nona dapat membelinya lagi pedang yang lebih bagus nanti…!”

“Apa…? Menyerahkan gin-kiam begitu saja? Bah, nanti dulu!” bentak Siok Lan yang sudah melompat maju. Ia mencabut pedang nya dan tampak sinar berkilauan dibarengi bunyi berdesing yang nyaring. Dengan melintangkan pedang perak di depan dada Siok Lan berkata,

“Jembel tua! Pedang merupakan pelindung dan andalan seorang gagah! Aku tidak akan memberikannya kepada siapa juga dan kalau sanggup merampasnya dari tanganku ambil lah!”

Ini merupakan sebuah tantangan! Yu Lee yang mengetahui bahwa kembali pertandingan takkan dapat dielakkan, menjadi makin khawatir dan diam-diam ia mempersiapkan diri untuk mencari jalan keluar tanpa diketahui nona itu.

“Ha, ha, ha, apa sukarnya merampas pedang itu?” Ang Ci berkata, kemudian seperti dikomando saja, kedua orang pengemis itu mengangkat tongkat mereka dan menggerakkan tongkat ke arah Siok Lan.

Gadis ini yang sudah marah, ingin membabat putus putus tongkat itu dengan pedangnya, untuk membikin malu dua orang pengemis. Pedangnya berkelebat dan membacok dua batang tongkat yang diangkat dan bergerak ke arahnya itu.

“Plakkk!” Pedangnya menempel pada dua tongkat dan tak tak dapat ditarik kembali. Betapapun si gadis jelita mengerahkan tenaga untuk membetot pedangnya, namun pedang gin-kiam seperti telah berakar pada dua tongkat, lengket dan tak dapat digerakkan sama sekali.

“Wah, wah, jiwi locianpwe... kami tidak punya apa-apa, makanan sudah habis hanya tinggal tulang tulang ikan, kalau jiwi sudi boleh saja ambil...!”

Yu Lee mengeluarkan ucapan ini dengan gugup serta sikapnya gugup pula. Ia mengambil tulang tulang ikan di depannya lalu melemparkannya ke arah dua buah mangkok di tangan kiri kedua pengemis itu. Sebab ia gugup serta gerakannya tidak keruan dan kacau balau, tulang tulang itu tidak semua memasuki mangkok dan ada yang mencelat ke mana mana. Siok Lan yang lagi memusatkan seluruh tenaga, tidak tahu akan hal ini semua.

Tiba-tiba ia merasa betapa dua batang tongkat yang menempel pedangnya itu mengendor, tanda bahwa dia mulai menang tenaga, maka ia lalu memusatkan seluruh tenaga serta membuat gerakan membetot secara tiba-tiba dan usahanya kali ini berhasil, pedangnya terlepas. Sebab marah, ia lalu memakai kedua kakinya menendang secara bergantian dan tubuh kedua kakek pengemis itu terlempar keluar pintu restoran sampai empat meter!

Pucat wajah kedua orang kakek itu. Mereka tadi sudah merasa yakin dapat mengalahkan gadis itu serta bisa merampas pedangnya tanpa banyak kesukaran. Akan tetapi tiba-tiba mereka merasa betapa jalan darah di pundak kanan mereka yang memegang tongkat menjadi kesemutan seperti terkena totokan yang tepat sekali.

Maka mereka tidak mampu menahan ketika gadis itu menendang biarpun tendangan itu amat cepat tetapi mereka bisa mengelak kalau saja pada waktu yang bersamaan mereka tidak merasa tubuh masing masing tergetar oleh totokan pada pinggang mereka sehingga tanpa bisa dicegah lagi mereka kena ditendang sampai mencelat keluar restoran!

Ang Ci dan Ang Sim adalah tokoh tokoh tingkat tiga dari Ang-kin kai-pang. Ilmu kepandaian mereka sudah amat tinggi serta jarang dikalahkan musuh. Mereka juga merasa sungkan menghadapi seorang gadis muda seperti Siok Lan, apalagi mengingat kakek gadis itu yang menjadi teman baik pangcu (ketua) mereka, maka mereka cuma mau merampas pedang Siok Lan yang telah menghina Ang kin kai pang dengan merobohkan serta mengusir pengemis tokoh tingkat lima yang bertemu Siok Lan dijalan.

Siapa duga, di restoran ini, di bawah mata banyak sekali orang, mereka berdua telah di tendang sampai mencelat oleh seorang gadis remaja! Tentu saja hal ini amat memalukan serta merendahkan nama mereka. Juga mereka menjadi penasaran sekali dan mau berhadapan dengan orang yang telah membantu gadis itu, maka kini mereka sudah mencabut pedang dari tongkat masing masing sambil berseru, “Berani kau menghina Ang-kin kai-pang?”

Yu Lee telah berlari keluar dan berkata. “Wah wah… kalian telah membikin nona majikanku marah! Masih baik kalau hanya ditendang kalau dia tak sabar, jangan-jangan kalian telah dibunuhnya!” Sambil berkata demikian, ia mengangkat kedua tangan diluruskan ke depan serta digoyang-goyangkannya.

Ang Ci dan Ang Sun yang baru saja mencabut pedang, merasa betapa ada hawa yang panas serta kuat menyambar mereka. Tubuh mereka terdorong dan alangkah kaget hati mereka ketika melihat tiga buah ronce yang menghias gagang pedang mereka telah putus semua! Sejenak mereka melihat ke arah “pelayan” nona itu, tahulah mereka bahwa inilah dia seorang lihai yang telah membantu Siok Lan.

Melihat sikap Yu Lee, kedua orang pengemis tua ini maklum bahwa Yu Lee adalah seorang pendekar sakti yang sedang meyembunyikan diri, pura-pura menjadi pelayan. Mereka mengenal watak aneh dari orang-orang pandai dan menghormati penyembunyian diri serta rahasia ini.

Sebab dari totokan totokan tak tampak tadi yang kini dapat mereka duga adalah tulang tulang ikan yang menyambar, serta dari pukulan jarak jauh yang menerbangkan ronce ronce merah di pedang mereka, kedua orang pengemis tua ini maklum bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang benar benar hebat dan tidak terlawan oleh mereka, maka keduanya lalu berlutut dan berkata.

“Mata kami seperti buta tidak melihat gunung tinggi menjulang di depan. Maaf dan sampai jumpa pula!”

Setelah berkata demikian, dua orang kakek itu memasukkan pedang mereka ke dalam tongkat lalu pergi dari situ dengan muka merah serta muram. Siok Lan khawatir melihat pelayannya berani mendekati dua orang kakek itu, cepat meloncat dan telah berada di dekat Yu Lee ketika dua orang kakek itu menjura berlutut.

Nona ini membusungkan dada sebab bangga karena menganggap bahwa dialah yang dikatakan “gunung tinggi menjulang di depan” oleh dua orang Kakek itu!

“Yang tidak mengenal Sian-li Eng-cu memang sama dengan orang buta!” Katanya bangga dan menyarungkan kembali pedangnya dengan sikap gagah.

Semua orang yang hadir di situ kini memandang ke arah Siok Lan dengan mulut ternganga dan mata terbelalak penuh keheranan dan kekaguman. Mereka tahu bahwa para pengemis Ang-kin Kai-pang adalah orang yang berilmu tinggi, apalagi dua orang pengemis tadi sudah tua dan pedangnya mempunyai ronce ronce hanya tiga buah entah kenapa jatuh ke tanah, berarti bahwa dua orang kakek itu adalah tokoh tingkat tiga yang tentu saja amat lihai!

Namun dalam segebrakan saja telah ditendang mencelat olah gadis remaja ini dan di depan mereka dua orang tokoh itu mengakui kelihaian si gadis. Ketika mereka mendengar ucapan Siok Lan, kekaguman mereka makin memuncak dan nama julukan Sian li Eng cu menjadi buah bibir sejak saat itu. Sian li Eng cu Si Bayangan Bidadari. Julukan yang indah, dan memang orangnya pun amat jelita!

Para nelayan yang mendengar akan kegagahan Sian li Eng cu kini berduyun datang dan menawarkan perahunya untuk dipakai gadis perkasa itu berlayar ke Pohai! Melihat ini Siok Lan tersenyum puas dan berkata kepada Yu Lee.

“Aliok, kau pilihlah sebuah perahu yang cukup baik katakan kepada pemiliknya bahwa kami akan menyewanya sampai ke Pohai dan berani membayar mahal. Selain itu katakan bahwa dia tidak usah khawatir atau takut. Kalau ada bajak di tengah jalan, tentu akan kubasmi mereka. Kalau ada perajurit berani mengganggu di terusan itu, biar aku yang akan mengobrak abrik mereka. Pendeknya, aku menjamin keselamatan si tukang perahu dan perahunya!”

Mendengar ucapan yang gagah ini, makin kagumlah para pedagang dan nelayan yang berada di situ. Akan tetapi Yu Lee diam diam menghela napas panjang dan hatinya diam diam menjadi gelisah. Ia tahu bahwa kepandaiannya Ang Ci dan Ang Sun tadi cukup tinggi, jangankan melawan mereka berdua, melawan satu sama satu saja belum tentu Siok Lan menang.

Juga ia amat bersukur dan kagum kepada dua orang pengemis tadi yang ternyata mengerti bahwa dia ingin merahasiakan dirinya, maka kedua orang pengemis itupun tidak mendesaknya dan mereka tahu diri mengaku kalah dan pergi.

Namun iapun tahu bahwa mereka itu merasa penasaran dan tentu akan melaporkan hal ini kepada ketua mereka. Perjalanan selanjutnya tidaklah selancar dan semudah yang di duga Siok Lan apa lagi ditambah dengan sikap gadis itu yang agak tekebur. Dipuji pujinya nama Sian-li Eng-cu sampai setinggi langit tentu akan memancing banyak orang kang ouw yang hendak mengujinya!

Setelah memilih sebuah perahu milik seorang tukang perahu yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan kuat, Siok Lan lalu meloncat ke atas perahu, diantar oleh orang-orang yang berada di situ dengan pandang mata penuh kagum. Yu Lee juga sudah naik ke perahu dan ia berkata dengan suara serius kepada Siok Lan,

“Siocia, pelayaran ini bukanlah perjalanan yang aman. Biarpun nona lihai, akan tetapi banyak sekali orang-orang pandai dan jahat berkeliaran di sepanjang tepi sungai. Saya takut kalau kalau kita akan menemui banyak rintangan di sepanjang sungai.”

“Ahhh, takut apa. Pokoknya, kita tidak bermaksud jahat terhadap orang lain! Kalau toh ada orang lain hendak berbuat jahat, akan kulawan dia dan akan kubasmi agar dunia makin bersih!”

Jawaban ini disambut sorakan para pengantar yang menganggap nona ini amat gagah perkasa, sebaliknya pelayannya amat penakut. Berangkatlah perahu itu ke tengah sungai diikuti teriakan teriakan dari tepi sungai.

“Selamat jalan, Sian-li Eng-cu!”

“Hidup Sian-li Eng-cu!”

Siok Lan berdiri di kepala perahu, tangan kiri bertolak pinggang meraba gagang pedang, tangan kanan melambai ke arah para pengagumnya di tepi sungai. Sungguh jelita dan gagah. Dan Yu Lee hanya dapat menggeleng kepala dan menghela napas. Edan bocah ini pikirnya gemas. Akan tetapi aku lebih edan lagi karena aku tergila gila kepada seorang bocah gila! Perahu meluncur terus, menurutkan aliran air sungai ditambah dorongan dayung tukang perahu.


Wanita berpakaian merah itu lari terhuyung huyung menaiki sebuah bukit. Tubuhnya lemas dan pakaiannya kusut, rambutnya pun terlepas sanggulnya, terurai, sebagian menutupi mukanya yang pucat. Dia wanita yang masih muda, tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun usianya, cantik jelita dengan muka yang berbentuk bulat telur, dan bentuk tubuh yang padat menggairahkan. Pendeknya seorang wanita muda yang cantik menarik, tetapi keadaan tubuhnya sangat menyedihkan pada waktu itu.

Ia terluka, tetapi tidak diperdulikannya luka-luka itu, serta tubuh yang letih tidak diperdulikannya pula, dan pakaiannya yang kusut, ia terus saja jalan terhuyung huyung kadang-kadang lari ke depan seperti orang buta. Memang ia seperti orang buta oleh air matanya sendiri, buta oleh kehancuran hati, oleh penyesalan, oleh rasa malu serta patah hati!

Malam itu biarpun terang bulan, tetapi jalan mendaki bukit amatlah sukarnya, sinar bulan kurang cukup menerangi jalan yang berbatu batu dengan di tepinya jurang jurang menganga seperti mulut maut. Tetapi wanita itu berjalan terus, naik ke bukit tanpa tujuan.

Siapa dia ini? Bukan lain adalah Ma Ji Nio yang terkenal dengan julukan Cui siauw Sian li (Dewi Suling). Seperti telah kita ketahui, Ma Ji Nio atau Dewi Suling ini adalah murid terkasih Hek siauw Kui bo yang selain mewarisi ilmu silat gurunya yang tinggi, juga mewarisi sifatnya yang buruk yaitu kesukann mengumbar dan melampiaskan nafsu birahi. Bahkan dalam kebiasaan melampiaskan nafsu birahi ini, Ma Ji Nio lebih ganas dari gurunya.

Pria yang bagaimanapun yang menarik hatinya, harus ia dapatkan, baik secara halus maupun secara kasar. Dan yang mengerikan, setelah ia merasa bosan, ia lalu membunuh pria itu sebab selain ia enggan membagi cinta kasih pria itu dengan wanita lain juga ia tidak mau dijadikan bahan percakapan pria pria bekas kekasihnya.

Dengan demikian. Selama mengumbar nafsunya. Ma Ji Nio telah membunuh puluhan orang pria muda dan tampan! Namun, selama masa petualangannya yang mengerikan itu, Dewi Suling selalu mendapatkan pria-pria tampan tetapi lemah dan hatinya tergerak ketika ia bertemu Ouwyang Tek dan Gui Siong, dua orang pemuda tampan serta perkasa murid Siauw bin mo Hap Tojin.

Akan tetapi, alangkah kecewa serta menyesal hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa bukan saja dua orang pemuda perkasa itu tidak sudi melayani nafsunya, bahkan sebaliknya menghina memaki serta memusuhinya. Kemudian pula, sekali ia bertemu Yu Lee dan kali ini hatinya betul betul jatuh cinta. Belum pernah selama hidupnya ia jatuh cinta sampai mendalam seperti ketika ia bertemu pemuda ini.

Melihat Yu Lee serta menyaksikan kelihaian pemuda itu yang tidak hanya melebihi kepandaiannya bahkan jauh lebih pandai sampai berhasil membunuh gurunya, Hek siauw Kui bo. Hati Dewi Suling benar benar terpikat dan di dalam hatinya ia bersumpah bahwa kalau bisa menjadi istri pemuda itu, ia baru merasa puas dan akan berhenti dari petualangannya.

Itulah sebabnya mengapa ketika ia melihat Yu Lee tertawan oleh gurunya ia menolong pemuda itu dan berani menghadapi kemarahan gurunya. Ia sudah mempertaruhkan jiwanya buat menolong pemuda itu serta membujuk pemuda perkasa itu menjadi suaminya.

Akan tetapi apakah jadinya? Tidak saja ia telah dikalahkan, lalu gurunya terbunuh, dia sendiri terluka, malah Yu Lee sengaja memberi ampun serta mengancam bahwa, kalau kelak jalannya masih sesat, maka pemuda yang di cintanya itu akan membunuhnya! Ia telah menerima penghinaan yang hebat sekali serta mengalami penyesalan. Ia merasa malu serta menyesal akan semua perbuatannya yang telah lampau.

Andaikata dia masih seorang gadis yang bersih, dengan kecantikannya dan ilmu silatnya yang tinggi, tentu lebih besar harapan baginya buat mempersuami Yu Lee. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, serta semua petualangannya itu sudah membosankan, tidak memberi kebahagiaan buatnya lagi. Ia menghendaki kasih sayang murni, cinta kasih antara suami isteri yang tulus ikhlas, membina keluarga, mempunyai keturunan serta hidup sebagai seorang isteri terkasih dan ibu terhormat.

Makin dipikir dan dikenang, makin hancurlah hati Dewi Suling. Apalagi ketika ia terusir dari Istana Air tempat tinggal gurunya yang sudah terbasmi musuh itu. Makin bosanlah ia hidup dan tanpa memperdulikan lukanya, ia melarikan diri terus siang malam sampai akhirnya ia mendaki bukit itu di malam hari, tanpa tujuan, hanya ingin lari, lari pergi jauh sekali, menjauhi rasa malu, rasa rendah serta kekecewaan hati.

Bulan tertutup awan hitam, keadaan gelap pekat, segelap hati Dewi Suling, kakinya tersandung batu dan ia terguling roboh. Kepalanya terasa pecah ketika ia terbanting itu. Dirabanya dahinya, berdarah tertumbuk batu gunung. Ia mengeluh dan merangkak bangun, gelap gulita disekelilingnya. Kepeningan kepalanya menambah kegelapan, sudah matikah dia? Di manakah dia?

Tiga hari tiga malam ia berlari terus tanpa berhenti keluar masuk hutan, naik turun gunung sampai akhirnya ia tiba di tempat ini yang sama sekali tidak dikenalnya. Matanya berkunang dan pandangannya gelap. Tiba-tiba tampak sebuah cahaya kecil kelap kelip di dalam kegelapan malam, tidak jauh di sebelah depan.

Dewi Suling bangkit berdiri, ia hampir tidak kuat lagi. Dengan terhuyung huyung ia maju ke arah cahaya kecil dan akhirnya ia roboh terguling pingsan di depan pintu sebuah kuil tua, pintu yang terbuka dan dari mana keluar cahaya api tadi, cahaya sebatang lilin yang bernyala di atas meja di ruang dalam.

“Omitohud… kasihan sekali nona muda ini!” terdengar suara halus dan seorang nikouw (pendeta perempuan) keluar, berlutut lalu memanggil beberapa nikouw lain.

Kemudian beramai ramai para pendeta wanita itu menggotong tubuh Dewi Suling, dibawa masuk ke dalam kuil tua. Ternyata itu adalah sebuah kuil Kwan im bio yang amat tua di lereng bukit yang sunyi, dan didiami lima orang nikouw tua yang hidup sunyi dan suci di tempat itu.

Hanya penduduk dusun di sekitar bukit itu yang kadang-kadang mengunjungi kuil untuk minta berkah dan petunjuk dan untuk menyambung hidup, lima orang nikouw ini bercocok tanam disamping sumbangan yang didapat dari harta penduduk dusun.

Sampai dua hari dua malam Dewi Suling rebah pingsan, terjerang demam yang hebat. Keadaannya amat berbahaya dan hanya berkat perawatan para nikouw yang amat tekun dan penuh kasih sayang pada hati ketiga, pagi sekali. Dewi Suling dapat sadar dari pingsannya. Panas tubuhnya menurun banyak. Selama pingsan, Dewi Suling merasa seolah olah ia melayang di udara, bingung karena tidak tahu harus terbang ke mana.

Ia terkejut ketika sadar dan merasa bahwa ia berbaring dalm sebuah kamar, menoleh ke kanan kiri, kamar itu sederhana namun bersih sekali. Tercium bau asap yang sedap harum. Ah, tidak mungkin ini neraka. Terlalu baik untuk sebuah neraka. Sorgakah? Tidak mungkin orang seperti dia masuk sorga! Kalau begitu, berarti dia belum mati. Ia teringat betapa ia roboh lemas di depan sebuah bangunan seperti kuil, yang terbuka pintunya dan dari pintu itulah cahaya terang menyinar.

Teringat pula ia betapa ia menderita luka luka yang cukup parah ketika ia bertanding melawan Siauw bin-mo Hap Tojin dan Tho tee-kong Liong Losu dan pasti dia akhirnya akan roboh binasa di tangan kedua orang pendeta lihai itu. Kalau saja tidak muncul Yu Lee yang menyelamatkannya. Teringat ini ia meraba raba tubuhnya dan mendapat kenyataan bahwa luka lukanya telah sembuh.

Ah, kembali ia ditolong orang yang merawat dan mengobatinya. Ia masih belum mati dan karenanya berarti ia masih harus terus menderita, teringat akan sikap Yu Lee yang tidak membalas cintanya bahkan memperlakukannya dengan sikap yang menyakitkan hati, tak tertahankan lagi Dewi Suling menangis.

“Omitohud….! Nona sudah sadar sukurlah. Mengapa menangis? Di dunia ini tidak ada kedukann yang tak dapat diatasi dengan pengendalian tidak ada dosa yang tak dapat ditebus oleh kesadaran. Kalau nona bersedia, ceritakanlah segala penderitaan nona kepada pinni (aku), mungkin pinni akan dapat membantu meringankan beban itu, walaupun hanya dengan kata kata dan nasihat!”

Mendengar suara yang halus penuh welas asih ini tangis Dewi Suling makin mengguguk. Namun hanya sebentar saja ia telah dapat menguasai dirinya tangisnya terhenti dan ia mengangkat mukanya memandang. Seorang nikouw tua, berusia enam puluh tahun lebih, berkepala gundul dan berpakaian serba kuning amat sederhana, wajahnya membayangkan ketenangan jiwa dan kehalusan budi, telah berdiri di dalam kamar itu memandangnya dan merangkap kedua tangan di depan dada.

“Engkau siapakah?” tanyanya.

Nikouw tua itu menggerakkan alis, dapat menangkap sikap dan suara yang tinggi hati dari nona di depannya, namun bibirnya tetap tersenyum ramah, seolah olah baginya bukan hal aneh menghadapi sikap kasar dan selalu sudah siap memaafkannya.

“Nona pinni adalah Sui-lian Nikouw yang memimpin empat orang nikouw lain di kuil Kwan im-bio ini.”

Sepasang mata yang jernih dan tajam itu melotot marah. “Kenapa kalian menolongku? Kenapa? Aku mau mati…..! Aku mau mati….!!” Dan kembali Dewi Suling menangis tersedu-sedu.

“Omitohud! Sungguh keliru sekali kalau nona mengira bahwa kematian adalah jalan kebebasan dari pada derita! Tidak sama sekali, nona. Kematian hanyalah akibat daripada dosa dan setelah mati sekalipun kita tidak akan terbebas daripada akibat perbuatan kita sendiri, bahkan penderitaannya akan lebih hebat lagi sebab kita tidak mempunyai kesempatan lagi buat menebusnya dengan kesadaran.

"Selagi masih hidup, masih terdapat jalan bagi kita buat bertobat, menjauhi dosa, hidup dalam kesadaran dan memeluk kebajikan buat menebus semua dosa yang telah kita perbuat. Nona, sadarlah dan dengarkan baik baik ucapan seorang tua seperti pinni.”

Biarpun kata kata itu amat halus, tetapi bagi Dewi Suling merupakan tetesan tetesan embun yang amat dingin menembus dada menyayat hati. Ia terbelalak melihat, lalu berkata, suaranya gemetar, “Dapat menebus dosa...? Kesadaran...? Apa…. apa yang kaumaksud dengan kesadaran?”

Sui-lian Nikouw tersenyum, lalu terdengarlah ia berayanyi perlahan, suaranya merdu serta nyanyiannya adalah sebuah pelajaran dalam Agama Buddha. “Apabila seorang selalu sadar selalu membangkitkan diri dengan kesadaran bersikap waspada pembuatannya bersih bertindak dengan bijaksana teguh terhadap diri sendiri hidup sesuai dengan ajaran benar maka kemuliaannya bertambah”

Dewi Suling amat tertarik. Selama hidup nya, tak pernah ia mendengar atau memperhatikan pelajaran pelajaran tentang kebatinan dan kata kata sederhana yang didengarnya sekarang adalah seperti sinar terang yang mengusir kegelapan hatinya. Namun kalau ia teringat akan semua perbuatannya yang sudah sudah ia jadi ragu-tagu dan menyesal kembali.

“Akan tetapi, Sui-lian Nikouw, aku adalah seorang yang telah banyak berbuat dosa! Ke dua tanganku sudah kotor, penuh lumpur dosa....!” Ia mengeluh.

Kini Sui lian Nikouw meramkan kedua matanya dan pendeta wanita ini yang berusaha untuk menyadarkan seorang manusia vang menyeleweng dalam hidupnya, kembali bernyanyi dengan suara yang tergetar penuh perasaan, penuh pengaruh halus yang amat kuat.

“Apabila seorang berbuat dosa biarlah ia sadar dan tidak mengulang perbuatan, biarlah ia tidak senang lagi akan kejahatan karena hanya penderitaan menjadi timbunan kejahatan.”

Dewi Suling terisak, hatinya seperti ditusuk tusuk. “Aahh, Sui-lian Nikouw! Engkau tidak tahu, tidak mengenal siapa aku! Dosaku adalah dosa tak berampun. Tahukah engkau siapa aku? Aku adalah iblis betina yang terkenal dengan julukan Cui siauw-kwi (Iblis Peniup Suling)! Aku pula yang disebut Dewi Suling. Aku telah membunuh banyak sekali orang, baik orang jahat ataupun orang baik baik.

"Aku juga membunuh puluhan orang pemuda bekas kekasihku sendiri! Nah, katakan sekarang, Nikouw, apakah dosa sebesar itu bisa ditebus? Apakah tidak lebih baik kalau aku mati saja sekarang agar segera menerima hukuman di neraka serta tidak lagi mengotori dunia?”

Nikouw tua itu menggerakkan alisnya yang sudah setengah putih. Rupanya ia terkejut mendengar ucapan nama Dewi Suling yang namanya telah tersohor sebagai wanita bersifat iblis. Hampir ia tidak percaya bahwa seorang wanita muda cantik seperti ini bisa menjadi seorang yang berwatak iblis. Tetapi ia tidak heran, lalu menarik napas panjang dan berkata.

“Tidak ada dosa yang betapapun besarnya tak bisa diampuni nona. Nona sudah merasa bahwa nona telah melakukan banyak dosa. Hal ini saja terah manjadi pertanda baik, karena barang siapa menyadari akan kesalahannya, itu merupakan awal yang baik sekali. Terus kesadaran akan dosa dan semua kesalahan ini ditingkatkan menjadi sebuah perasaan menyesal akan dosa dosanya kemudian dilanjutkan dengan perasaan bertaubat. Akan tetapi bertobat dengan mulut saja percuma melainkan harus dengan hati dan diperkuat dengan perbuatan. Hanya dengan perbuatan sajalah manusia dapat membuktikan isi hatinya. Menurut pendapat pinni, masih belum terlambat bagimu, nona.”

Mendengar ini Dewi Suling yang tadinya sudah putus asa, bangkit semangatnya. Ia melompat dari pambaringan menjatuhkan diri berlutut di depan nikouw yang bersikap tenang itu lalu berkata, “Tunjukkanlah jalan bagiku... Nikouw yang baik, tunjukkanlah agar aku dapat kembali menjadi manusia baik… agar aku dapat terbebas daripada noda-noda dan dosa-dosaku....“

“Hanya dengan penebusan, nona. Penyesalan hatimu harus diujudkan dalam perbuatan yang tegas. Engkau tadi mengatakan bahwa engkau telah membunuh puluhan orang? Nah, mulai detik ini, kau usahakanlah agar engkau dapat menyelamatkan nyawa orang, mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan sampai engkau dapat menolong nyawa orang yang terancam bahaya maut sebanyak atau melebihi jumlah orang yang pernah kau bunuh. Pupuklah kebaikan sebanyak mungkin, dan kelak.... kalau diantara kita ada jodoh dan kita dapat bertemu kembali, pinni akan menuntunmu mencari kebebasan dari pada segala penderitaan.”

Dewi Saling termenung, menengadahkan mukanya memandang wajah nikouw itu. Sinar kedukaan mulai menghilang, terganti sinar penuh harapan yang membuat wajahnya yang cantik itu berseri. Seakan akan ada cahaya suci yang keluar dari pribadi nikouw itu memasuki dirinya, mambuataya sadar dan dapat melihat kebenaran.

Sambil berlutut ia mohon petunjuk petunjak lagi dari Su-lian Nikouw yang memberi wejangan kepadanya tentang memenangkan diri sendiri menguasai nafsu dan mencari jalan kebenaran dengan liku liku utama.

Sepekan kemudian seorang Dewi Suling yang lagi melesat keluar dari Kwan im-bio itu. Masih sama cantik jelitanya, masih seorang nona bernama Ma Ji Nio yang sepekan lalu roboh pingsan di depan kuil itu. Akan tetapi dengan pandang mata yang jauh berbeda dengan pakaian yang bukan sutera tipis warna merah lagi melainkan pakaian berwarna putih, yang sederhana dan kasar.

Seorang wanita yang mempunyai satu tekad di hatinya, yakni memupuk kebaikan untuk menebus segala perbuatan dosanya yang lalu, seorang wanita yang tidak lagi mau menyentuh makanan berjiwa atau memabukkan, tidak lagi menjadi hamba nafsu karena ia bertekad untuk menundukkan nafsu nafsunya.

Dan gemparlah lagi dunia kang ouw dengan munculnya Dewi Suling yang merupakan kebalikan daripada Dewi Suling yang pernah ada. Dewi Suling yang sekarang ini benar-benar merupakan seorang dewi penolong yang mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk menolong mereka yang tertindas, menyelamatkan banyak nyawa yang terancam, penentang kejahatan dan memupuk kebaikan.


Yu Lee mendayung perahu perlahan, sebenarnya bukan mendayung karena perahu itu sudah berjalan sendiri hanyut bersama aliran sungai, melainkan mengemudi perahu dibantu dayungnya. Malam itu terang bulan, amat indahnya dan ia menggantikan tukang perahu A Bouw yang tidur mendengkur di perahu, Siok Lan tidak mau berhenti malam itu, maka terpaksa Yu Lee menggantikan tukang perahu yang sudah terlalu lelah dan mengantuk.

Siok Lan menghampirinya dan duduk didepannya memandang ke kanan kiri karena memang pemandangan di malam ini amatlah indahnya. Tertimpa sinar bulan purnama yang amat terang keadaan di sepanjang tepi sungai merupakan pemandangan seperti dalam mimpi, diantara terang dan samar sehingga terbentuk bayang bayang aneh dan cahaya kuning emas menyelimuti permukaan air.

“Nona, mengasolah, saya rasa besok pagi kita sudah akan sampai dekat dengan tempat penggalian terusan di sebelah utara pantai Huang-ho,” kata Yu Lee sambil menikmati keindahan luar biasa di depan matanya, bukan keindahan pemandangan di tepi pantai, melainkan keindahan rambut rambut halus tertimpa sinar bulan yang kuning emas itu.

“Mana mungkin mengaso apalagi tidur di malam seindah ini?“ Siok Lan mencela membetulkan rambutnya yang agak mawut oleh angin semilir. “Bulan purnama, pemandangan begini indah, menunggang perahu benar benar amat menyenangkan. Jauh lebih senang dari pada melakukan perjalanan darat. Aku tidak tidur, Aliok, aku ingin mengajak kau bercakap cakap.”

Berdebar jantung Yu Lee. Kadang-kadang sikap nona ini amat mesra, seolah olah seperti bicara terhadap seorang teman baik, kalau nona ini telah bersikap demikian, hampir lupa dia bahwa dia adalah seorang “pelayan”. Sebab denyut jantungnya makin berdebar, ia mau menekannya dengan mengingatkan kedudukan mereka kepada nona itu, sekalian mau tahu isi hatinya.

”Ah, nona…. betapa janggalnya. Saya cuma seorang pelayan!”

“Siapa mau melarang aku bercakap cakap dengan pelayanku?“ Nona itu melihat dengan mata menantang, agak marah. Akan tetapi ia segera tersenyum dan menyambung. “Engkau kadang-kadang aneh sekali membuat aku mendongkol, Aliok. Apa sih perlunya engkau kadang-kadang merendah-rendah serta menekankan bahwa kau adalah pelayan? Justeru sebab kau sekarang menjadi pelayanku maka aku mau mengajak engkau bercakap.cakap!”

Yu Lee tidak berani melihat wajah itu, wajah yang sepenuhnya kini tersinar cahaya kuning emas bermandi cahaya keemasan membuat wajah itu bersinar indah hingga ia tak berani melihat langsung, tidak percaya kepada dirinya sendiri. Sebagai gantinya ia melihat ke arah bulan sambil kadang-kadang saja melihat ke depan kalau kalau arah perahunya menyeleweng, “Bercakap cakap soal apakah, nona?“

“Soal dirimu.”

Kedua tangan Yu Lee yang tadi bergerak gerak mendayung, berhenti sejenak, baru digerakkan pula setelah mulutnya berkata, “Soal diriku? Ahhh, saya…. tidak ada sesuatu yang menarik, soal diri saya, seorang bekas pelayan….”

“Dimana orang tuamu. Aliok?"

“Sudah meninggal dunia, ikut terbasmi ketika Hek siauw Kui bo mengamuk…. enam belas tahun yang lalu…” Terhenti suaranya sebab terasa tercekik lehernya dan tak bisa dicegah lagi air matanya menetes netes ke atas kedua pipinya. Yu Lee berusaha keras mencegah hal ini, tetapi tidak kuat sebab ia teringat akan peristiwa yang menimpa keluarganya dan seketika hatinya seperti diremas remas.

Siok Lan melihat bengong, kemudian tertawa tetapi cepat cepat menutupi mulutnya. “Hi hi, lucunya…! Agaknya memang sekeluarga Si Dewa Pedang, sampai ke pelayan pelayannya cengeng semua...!”

Barulah Yu Lee teringat dan cepat ia menghapus air matanya dengan ujung lengan baju nya, “Ah. maaf nona. Sebab teringat bahwa ayah bundaku telah tiada serta saya hidup sebatangkara saya menjadi berduka….”

“Tidak apa, cuma lucu karena aku teringat akan majikanmu yang kini terkenal disebut Pendekar Cengeng! Aliok, ketika peristiwa itu terjadi, enam belas tahun yang lalu kau bilang?“

“Betul nona.”

“Berapa sekarang usiamu, Aliok?“

Yu Lee berdebar lagi jantungnya. Mengapa nona ini begini memperhatikan dirinya, sampai tanya tanya usia segala? Tidak sepatutnya seorang nona majikan bersikap begitu terhadap pelayannya Ataukah…. mungkin nona ini tertarik kepadanya, seorang pelayan?

“Eh, ditanya malah melamuni!”

Teguran ini mengingatkan Yu Lee, ia lalu menjawab dengan gagap. "Dua puluh empat tahun usia saya, nona“

Ia merasa heran kenapa hatinya berdebar cepat. Ia telah digembleng oleh suhunya serta memiliki ketabahan hati dan keberanian yang lengkap biasanya menghadapi apapun ia akan tetap tenang saja, bahkan menghadapi bahaya maut sekalipun ia tidak akan gentar dan tetap tenang.

Namun kini berhadapan dengan Liem Siok Lan, berdua di atas perahu di bawah sinar bulan purnama, lenyaplah ketenangannya seperti awan ditiup angin membuat ia berubah menjadi seorang yang penggugup.

“Hemm dua puluh empat tahun, ya? Kalau begitu engkau berusia delapan tahun ketika peristiwa pembunuhan hebat itu terjadi. Dan kau sedang pulang ke dusun ketika terjadi sehingga kau tidak menyaksikannya sendiri seperti yang kau katakan tempo hari?“

“Betul nona.” Yu Lee mencuri pandangan dan melihat betapa kini nona itu memandang bulan dengan mata setengah disipitkan. Wah berbahaya, pikirnya. Nona ini agaknya bukan orang bodoh! Jangan jangan rahasianya akan terbuka sebelum habis perjalanan ini dan ia ngeri memikirkan apa akan menjadi akibatnya dan apa yang akan dilakukan Siok Lan kalau ia tahu dialah Si Pendekar Cengeng.

“Si Pendekar Cengeng itu.....” Nah celakakah pikir Yu Lee dan kembali kedua tangannya berhenti mendayung, bahkan ia tidak tahu bahwa perahunya kini mencong arahnya ke pinggir.

“….. tua mana antara dia dengan engkau?”

Yu Lee menghela napas lega dan cepat cepat ia menggerakkan dayung membetulkan arah perahu. “Saya tidak begitu ingat lagi, nona.. kalau tidak salah, kami hampir sebaya, sama... kurang lebih begitulah.”

“Siapa namanya?”

“Yu kongcu? Namanya Lee.”

Siok Lan kembali berdiam diri merenungi bulan dan Yu Lee mendapat kesempatan untuk sejenak bernapas lega. Percakapan yang diarahkan gadis itu benar-benar menimbulkan gelisah hatinya, akan tetapi juga ia menjadi agak kecewa karena kini ia maklum bahwa kalau tadi gadis ini bertanya tanya tentang dirinya, sesungguhnya bukan dia yang menjadi perhatian melainkan Pendekar Cengeng!

Ia mengerling dan melihat gadis itu masih merenungi bulan. Alangkah cantiknya. Kalah cemerlang bulan purnama dengan wajah gadis ini! Pantasnya, bulan begitu cemerlang karena adanya wajah gadis inilah! Karena wajah itu berdongak, mulutnya terbuka dan tampaklah deretan gigi yang kecil kecil dan putih seperti mutiara.

Ujung lidah yang kecil merah mengintai di antara gigi. Alis yang kecil panjang hitam itu agak bergerak gerak, tanda bahwa di dalam kepala yang bagus ini otaknya sedang bekerja. Mau rasanya Yu Lee memberikan seluruhnya miliknya di saat itu kalau saja ia dapat menjenguk dan melihat apa yang sedang dipikirkan gadis itu!

“Aliok, dia itu kalau dibandingkan dengan engkau…”

“Dia siapa nona?” Yu Lee berpura pura bertanya.

“Dia yang bernama Yu Lee itu, kalau di bandingkan dengan engkau misalnya…. siapa lebih tinggi? Bagaimanakah rupanya? Apakah dia... ah, tampan….? Dan apakah benar benar dia lihai?“

Anehnya, dalam bertanya kali ini Siok Lan tidak berani menoleh dan memandang pelayannya, bahkan kedua pipinya tampak kemerahan karena jengah dan malu malu! “Ah, Yu kongcu itu biasa saja, nona. Orangnya sederhana saja dan tentang kelihaian, saya rasa tidak akan menang dari nona. Saya tidak tahu apakah dia tampan, akan tetapi... saya rasa biasa malah lebih pantas dikatakan bermuka buruk, agak bopeng, kulitnya hitam, tubuh…. eh, agak tinggi juga tapi agak bongkok..!”

Kacau-balau keterangan Yu Lee, dan terjadi sesuatu yang aneh dalam hatinya. Setelah kini Siok Lan mencurahkan perhatiannya kepada Pendekar Cengeng, bertanya tanya tentang diri Yu Lee, tentang ketampanannya eh… hatinya mendadak menjadi cemburu!

Karena biarpun yang dibicarakan adalah dirinya sendiri, namun pada saat itu Yu Lee adalah seorang lain! Girang hatinya melihat betapa kini Siok Lan menoleh kepada nya dan alis nona itu berkerut kerut pandangan matanya jelas membayangkan kekecewaan.

Agaknya nona itu tanpa disadarinya mengulang kata katanya setengah berbisik, “Buruk…? Bopeng, hitam dan bongkok….”

Melihat Yu Lee mengangguk membenarkan, nona itu menghela napas panjang, lalu termenung lagi memandang bulan. Yu Lee melirik dan tersenyum lagi. Nona itu benar benar kecewa sekarang, agaknya kesal dan tidak senang hatinya.

Keadaannya menjadi sunyi sekali, malam telah larut dan yang terdengar hanya suara keras dari ujung perahu, suara dengkur si tukang perahu yang tidur pulas saking lelahnya....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.