Pendekar Cengeng Jilid 08

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo. Pendekar Cengeng Jilid 08
Sonny Ogawa

Pendekar Cengeng Jilid 08

“MENJEMUKAN benar!” Tiba-tiba Siok Lan berkata dengan nada marah.

Pendekar Cengeng karya Kho Ping Hoo

Yu Lee melihat terkejut. “Apa… nona? Apa yang menjemukan?”

“Coba dengar suara dengkurnya… dengar itu! Seperti babi disembeleh!”

Ya Lee merapatkan bibirnya menahan kecewa. Ia tahu nona ini sedang jengkel, sungguhpun ia tidak mengerti mengapa mendengar kejelekan Pendekar Cengeng menjadi jengkel, akan tetapi ia tidak berani menambah kemarahannya dengan ketawa.

Setelah termenung lagi sampai lama, Siok Lan menutup mulut dengan jari jari tangan kiri dan ia menguap. Yu Lee merasa heran bukan main bagaimana orang menguap bisa kelihatan begitu manis! Pemuda yang masih hijau dalam soal asmara ini tidak tahu bahwa kalau orang sedang dilanda asmara, segala macam gerak gerik “si dia” tentu selalu kelihatan menarik.

“Kalau nona merasa lelah, harap mengaso.”

“Aku mau tiduran….“ kata Siok Lan setelah mengangguk, lalu bangkit berdiri dan melangkah ke arah bilik perahu di tengah, di mana terdapat sebuah gubuk kecil buat tempat bertedah di waktu panas atau hujan. Akan tetapi baru beberapa langkah, nona itu telah membalikkan tubuh pula lalu bertanya.

“Eh, Aliok….! Yu Lee itu dibandingkan dengan engkau, siapa lebih… buruk?”

Diserang oleh pertanyaan yang tiba-tiba seperti ini serta sama sekali di luar dugaannya. Yu Lee menjadi bingung lalu menjawab gugup, “Ah... nona, mana mungkin saya disamakan Yu kongcu? Tentu saya lebih buruk, jauh lebih buruk!”

Aneh sekali, di bawah sinar bulan purnama jelas tampak oleh Yu Lee betapa muka cantik yang tadinya muram kecewa itu kini berseri, tersenyum lebar dan sorot matanya bersinar-sinar. Suaranya juga terdengar riang ketika nona itu berkata.

“Terima kasih, Aliok…! Aku makin ingin bertemu dengan Pendekar Cengeng yang buruk rupa seperti setan itu!” Setelah berkata demikian lalu Siok Lan memasuki ruang gubuk di tengah perahu dan merebahkan diri terus tidak bergerak atau berkata kata lagi.

Tinggal Yu Lee seorang diri, yang tiba-tiba merasa sunyi, ia termenung memikirkan ucapan dan sikap terakhir dari gadis itu. Yu Lee terus mengemudikan perahu sambil termenung. Tak habis heran ia terhadap diri nya sendiri. Kenapa ia kini bermain api yang amat berbahaya? Kenapa ia mempermainkan seorang dara yang belum dikenalnya, membohonginya serta membiarkan gadis itu mencari Pendekar Cengeng ke kota raja padahal pendekar yang dimaksudkan itu adalah dia sendiri?

Kenapa dia tidak berterus terang saja mengaku dan menanyakan apa yang dikehendaki gadis itu? Ah, kesadarannya memang mendesaknya berbuat begitu, tetapi hatinya tidak mengijinkan. Ia merata ngeri kalau membayangkan betapa gadis itu menantangnya, memusuhinya, dan… akan meninggalkannya. Makin malam, makin dalam gemericik seolah olah berbisik kepadanya. “Kau gila… kau gila…”

Waktu menjelang pagi, ketika tiba-tiba perahu itu berhenti di tengah tengah sungai, Yu Lee terkejut, ia menengok ke kanan kiri sungai itu yang penuh rumput alang alang, kemudian ia melihat bahwa yang menahan perahunya adalah sebuah tambang yang dipasang melintangi sungai. Kemudian ia melihat bahwa di halik alang alang di kanan kiri sungai tampak banyak sekali perahu perahu kecil hitam!

“Eh, mengapa berhenti... Ada…. ada apakah….?”

Yang berseru ini adalah A bouw si tukang perahu. Biarpun sedang tidur pulas, sebagai seorang tukang perahu yang ulung, begitu perahunya berhenti meluncur, ia terbangun dan seketika ia menduga hal yang tidak baik. Apa lagi setelah ia menengok ke arah rumput alang-alang, tubuhnya menggigil dan ia cepat mengambil dayung dari tangan Yu Lee seraya berbisik. “Harap segera bangunkan lihiap (nona pendekar)! Ada bajak....!”

Pada saat itu dari tepi sungai meluncur sebuah perahu hitam yang amat cepat dau tampaklah tiga orang di atas perahu itu, yang seorang memegang obor, yang kedua mendayung serta yang ketiga berdiri di kepala perahu, yaitu seorang laki laki tinggi besar dan sebatang golok besar tergantung di pinggang nya. Setelah perahu ini dekat, laki laki tinggi besar itu memegangi tambang dan perahu terhenti, itu saja sudah membuktikan bahwa laki laki itu mempunyai tenaga yang kuat.

“Huang-ho Sam Hong mengundang Sian-li Eng-cu untuk datang berkunjung!” Suara laki laki tinggi besar itu parau namun keras sekali.

Yu Lee dapat menduga bahwa yang berjuluk Huang-ho Sam Hong (Tiga Naga dari Huang-ho) tentulah kepala bajak. Selagi ia hendak bersikap pura pura gugup dan memanggil Siok Lan tampak berkelebat bayangan nona itu yang tahu tahu telah berdiri di sisinya dan nona itu menghadapi perahu bajak sambil membentak nyaring.

“Akulah Sian-li Eng-cu dan selamanya aku tidak bergaul dengan bangsa perampok dan bajak sungai! Apakah kehendak kalian menahan perahuku di tengah sungai?”

Laki laki tinggi besar itu membungkuk sedikit tanpa melepaskan tambang, lalu ia berkata, “Ketiga orang tai-ong kami telah mendengar nama berar Sian-li Eng-cu yang diketahui akan lewat di sini. Oleh karena hari ini ketiga orang tai-ong kami sedang menjamu beberapa orang gagah, maka apabila benar benar Sian-li Eng-cu adaah seorang wanita gagah seperti yang dikabarkan orang, maka tiga tai-ong kami mengundang dan menantang Sian-li Eng-cu untuk mengunjungi markasnya di lembah sungai kalau memang memiliki keberanian!”

Kata kata itu biarpun nadanya menghormati namun mengandung tantangan yang hebat dan sekaligus mengandung tekanan bahwa kalau Sian-li Eng-cu tidak menerima undangan berarti dia takut dan tidak memiliki keberanian. Undangan macam ini tentu saja sukar ditolak tanpa menimbulkan kesan bahwa yang di undang takut. Akan tetapi Yu Lee yang tidak ingin melihat nona itu terlihat dalam kesukaran sudah cepat menjawab,

“Eh, twako yang baik. Nona majikanku adalah seorang wanita yang sedang melakukan perjalanan jauh, bagaimana mungkin memenuhi undangan ketua ketuamu? Harap kau maafkan kami dan beri kesempatan perahu kami lewat. Biarlah lain kali saja nonaku memenuhi….“

“Baik! Kuterima undangan Huaog-ho Sam liong! Jangan kira bahwa Sian-li Eng-cu takut akan sarang tiga ekor naga Huang-ho! Eh tukang perahu hayo dayung ke pinggir!” Bentak Siok Lan tanpa memperdulikan ucapan Yu Lee tadi.

Yu Lee diam diam menghela napas panjang. Dia benar benar telah melakukan sebuah kesalahan besar membohongi nona ini dan membiarkan dirinya terlibat dalam akibat akibat dari pada watak gadis yang ugal ugalan dan tidak pernah mau kalah ini! Apa boleh buat, pikirnya, ia harus menanggung akibat daripada kebohongannya dan kelemahan hatinya sendiri!

Begitu perahu itu didaynng ke pinggir, muncullah beberapa buah perahu kecil dari kanan kiri dan diam diam Yu Lee harus mengakui bahwa kalau tadi Siok Lan nekad tidak menerima undangan, tentu pelayaran mereka akan mengalami banyak gangguan yang berat.

Siok Lan yang berdiri di kepala perahunya begitu perahu sudah mendekati daratan lalu menggunakan ginkang, melompat ke tepi dengan gerakan yang lincah dan ringan sekali. Terdengar seruan seruan kagum dari mulut para bajak dan inilah memang yang dikehendaki Siok Lan mendemonstrasikan Kepandaian agar membikin kuncup hati orang kasar itu.

“Eh, nona… harap tunggu saya....” Yu Lee berkata gugup dan ikut meloncat, akan tetapi loncatannya kurang cepat dan tercebur ke pinggir sungai.

Para bajak tertawa dan Siok Lan sangat mendongkol sekali, cepat menghampiri Yu Lee yang gelagapan menyambar tangannya dan menariknya ke atas. Yu Lee berdiri dengan pakaian basah kuyup dan menggigil kedinginan! Tentu saja diam-diam ia mengerahkan sinkang untuk melawan hawa dingin dan hanya pura pura melakukan hal ini agar dapat mengelabui mata para bajak!

A bouw biarpun seorang tukang perahu berpengalaman namun kini berhadapan dengan para bajak sungai, apa lagi tadi mendengar disebutnya nama Huang-ho Sam liong, ini mati kutunya dan iapun bergegas minggirkan perahu. Melompat turun, mengikat tali perahu dan berkata dengan muka pucat kepada Siok Lan, “Lihiap. Harap lindungi nyawa hamba yang tak berharga…“

“Jangan takut, kau ikut bersama kami.” kata Siok Lan karena nona ini tidak ingin melihat tukang perahu diganggu bajak kalau ditinggalkan sendiri. Kemudian ia berkata kepada pimpinan bajak yang tinggi besar dan yang kini sudah mendarat, seorang laki laki setengah tua yang bercambang bauk sehingga muka sebagian bawah tidak tampak tertutup rambut kasar.

“Hayo lekas bikin api unggun lebih dulu untuk pelayanku berdiang! Baru kita akan lanjutkan perjalanan mergunjungi ketuamu!”

Suara Siok Lan berwibawa dan pimpinan bajak ini yang agaknya sudah menerima pesan dari ketuanya untuk bersikap lunak terhadap Sian-li Eng-cu, tidak menolak. Lalu memberi aba aba dan beberapa orang bajak sungai segera membuat api unggun, Yu Lee menggunakan kesempatan itu untuk mengeringkan pakaian dan menghangatkan badan.

“Harap nona suka mandi mandi dulu atau bertukar pakaian biar saya memasak air. Eh, Bouw lopek, tolong ambilkan tempat air untuk nona bercuci muka!”

Siok Lan mengangguk, kemudian berkata lagi kepada para bajak “Kalian menantilah di sana, agak jauh. Setelah siap baru aku akan memanggil kalian!”

Pemimpin bajak mengerutkan alisnya yang tebal akan tetapi melihat sikap gadis yang tidak suka dibantah, ia hanya mengangkat pundak dan berkata. “Harap lihiap tidak berlama lama karena aku yang akan mendapat marah.”

“Perduli apa? Hayo pergi dulu!” Siok Lan membentak dan pimpinan bajak itu mengajak anak buahnya menjauh.

Setelan mereka menjauhi Yu Lee berkata pura pura takut, “Nona apakah tidak lebih baik kita lari saja selagi mereka menjauh?”

“Apa? Kau takut?”

“Siapa yang tidak takut? Akan tetapi saya tidak mengkhawatirkan diri saya sendiri. Bajak bajak itu mau apa terhadap seorang pelayan miskin seperti saya ini. Akan tetapi nona ini…”

“Sudahlah, cerewet benar kau. Aku tidak takut! Lekas panaskan air yang banyak aku ingin mandi!”

Sibuklah Yu Lee dan Abouw memasak air dan terdengar oleh Yu Lee tukang perahu itu mengomel perlahan. Diam diam ia merasa geli. Memang keterlaluan sekali Siok lan. Dihadang bajak begitu banyak, malah enak enak mandi air hangat dan menyuruh para bajak menunggu! Memang Siok Lan sama sekali tidak tampak takut.

Nona ini mandi di dalam bilik perahu sambil bersenandung dan kembali Yu Lee tertegun mendapat kenyataan betapa merdu dan indah suara nona itu. Agaknya nona itu pun pandai bernyanyi merdu di samping kegalakannya Tak lama kemudian, nona itu sudah muncul keluar dari dalam perahu dengan pakaian yang bersih, rambut tersisir rapi dan wajah segar kemerahan tertimpa cahaya matahari pagi yang mulai muncul.

Bengong Yu Lee memandang, seperti melihat Dewi Fajar sendiri! Ia tadipun mempergunakan kesempatan itu untuk mandi di sungai dan berganti pakaian yang kering dan bersih, sekalian mencuci pakaiannya. Abouw makin banyak mengomel melihat ini. Dia sendiri sama sekali tidak ada nafsu untuk bertukar pakaian, apa lagi mandi mandi segala!

Dengan langkah tegap gagah Siok Lan bersama Yu Lee dan Abouw berjalan bersama rombongan bajak menuju ke markas Huang ho Sam liong. Kiranya markas itu tidak begitu dekat dengan sungai, berada di lembah yang tertutup hutan lebat. Di tengah hutan itulah terdapat bangunan bangunan yang menjadi perkampungan bajak sungai yang dipimpin oleh Tiga Naga dari Huang ho ini.

Kelima rombongan ini memasuki perkampungan bajak, kiranya di s ini sedang di adakan perayaan dan pertemuan penting. Tiga orang kepala bajak sedang menerima tamu dam penghormatan belasan orang tamunya yang terdiri dari orang-orang gagah, dan yang sejak kemarin telah berada di sini dan pagi ini telah berkumpul di ruangan besar yang berada di tengah kampung bajak, mengelilingi beberapa buah meja besar yang penuh hidangan dan minuman.

Amat sedap dan lezat baunya, mengepulkan uap yang menyambut hidung Yu Lee dan membuat perut pemuda ini berkeruyuk karena lapar. Belasan orang tamu ikut bangkit berdiri ketika fihak tuan rumah bangkit dan melangkah keluar menyambut kedatangan Siok Lan.

Gadis ini memandang tajam dan melihat bahwa yang menyambutnya adalah tiga orang laki laki berusia lima puluhan tahun yang bertubuh kurus kurus namun jelas memiliki gerakan gesit dan bertenaga. Ia dapat menduga bahwa tentulah mereka ini yang disebut Huang-ho Sam liong, maka ketika mereka mengangkat kedua tangan ke dada, ia pun membalas seperlunya.

Orang yang tertua, yang putih kedua alisnya, berkata, “Kami Huang-ho Sam-liong, baru baru ini mendengar dari sahabat sahabat Ang-kin Kai-pang tentang munculnya seorang pendekar wanita muda yang berjuluk Sian-li Eng-cu. Hari ini kebetulan Sian-li Eng Cu lewat, kami merasa girang sekali dapat menyambut dan memperkenalkan nona kepada sahabat sahabat kami yang terdiri dari pada orang-orang gagah yang berjiwa besar!”

Setelah meneliti keadaan tiga orang tuan rumah, Siok Lan mengerling kearah para tamu. Belasan orang tamu itu terdiri dan bermacam macam orang, bahkan di sana terdapat beberapa orang wanita cantik yang bersikap gagah. Namun karena tuan rumahnya adalah kepala bajak, iapun menilai mereka sebagai golongan kaum hitam di dunia kang ouw dan memandang rendah, iapun menjawab dengan suara kering.

“Beberapa orang Ang-kin Kai-pang karena mengemis secara paksa sebagai perampok, terpaksa telah bentrok dengan aku, Tidak tahu apakah maksud Sam wi (tuan bertiga) mengundangku ke sini? Apakah hendak membalaskan kekalahan beberapa orang pengemis kasar itu?” Siok Lan memang tidak suka bicara berbelit belit, sikapnya polos sungguhpun sewaktu waktu ia bisa bersikap amat nakal menggoda siapa saja.

Orang ketiga dari Huang hò Sam liong yang tubuhnya paling jangkung, mukanya pucat dan matanya genit, tertawa, “Ha, ha, ha, Siang-li Eng-cu terlalu curiga! Tentu saja kami tidak mencampuri urusan nona dengan sahabat sahabat kai-pang. Hanya karena nona seorang dara remaja yang amat cantik jelita sehingga patut diberi julukan Dewi, juga nama nona sebagai seorang ahli pedang cucu dan murid Thian-te Sin-kiam amat terkenal, maka setelah lewat di sini, bagaimana kami dapat lewatkan begitu saja tanpa mengundang dan minta sedikit petunjuk untuk menambah pengetahuan? Nona silakan duduk! Dan kau pelayan dan tukang perahu, pergilah ke belakang dimana kalian akan dapat makan minum sepuasnya sampai kenyang!” Sambung si muka tikus ini kepada Yu Lee dan Abouw.

“Nanti dulu!” seru Siok Lan, matanya sudah memancarkan sinar kemarahan, “Pelayanku dan tukang perahuku adalah aku yang membawa mereka dan aku pula yang bertanggung jawab atas keadaan mereka, maka kalau kalian mengundang aku, pelayan dan tukang perahu harus diajak pula duduk bersamaku.”

Terdengar suara berisik karena semua tamu serta para bajak merasa heran mendengar ini. Mana ada seorang nona majikan mengajak pelayan dan tukang perahunya duduk makan semeja? Benar benar seorang nona majikan yang aneh.

Akan tetapi melihat pelayan yang muda dan tampan sekali itu, mulailah beberapa diantara mereka tersenyum senyum maklum dan mereka menduga bahwa tentu Sianli Eng-cu ini tidak banyak bedanya dengan Cui-siouw Sian-li Si Dewi Suling yang selain lihai juga mempunyai kesukaan pengeram pria!

“Boleh, boleh, silakan… silakan…!” kata orang tertua Huang )-ho Sam-liong sambil mempersilakan mereka bertiga masuk.

Yu Lee sengaja masuk dan berjalan ke belakang Siok Lan dengan sikap seorang dusun memasuki gedung besar, ragu ragu, takut takut, malu malu. Adapun si tukang perahu berjalan paling belakang, mukanya kelihatan sangat pucat dan berjalan menunduk. Tak berani dia mengangkat muka, takut kalau kalau para bajak itu akan mengenal dan mengingat muka nya sehingga dikemudian hari kalau ia melakukan pelayaran seorang diri, ia akan dikenal dan diganggu.

Yu Lee menarik napas lega ketika mendapat kenyataan bahwa tak seorangpun diantara para tokoh kongouw yang hadir di tempat itu ada yang mengenalnya, seperti yang tadi ia khawatirkan ketika melihat banyak orang kang ouw menjadi tamu Huang-ho Sam-liong.

Memang sesungguhnya biarpun ia telah membikin nama besar dalam tahun ini dan mengguncang dunia kang ouw, namun ia selalu menyembunyikan diri dan tidak pernah menonjolkan diri sehingga dunia kang ouw hanya mengenal namanya saja namun jarang ada orang yang pernah melihatnya.

Ia selalu melakukan tugasnya sebagai seorang pendekar secara bersembunyi dan saking cepatnya gerakannya, baik mereka yang ditolongnya manpun mereka yang dihajarnya tidak sempat mengenal mukanya. Inilah sebabnya ia tidak merasa khawatir menyamar sebagai pelayan Sian li Eng cu.

Siok Lan memilih tempat duduk menghadapi sebuah meja yang tidak berapa besar, cukup untuk enam orang saja. Ketika ia dan dua orang pelayan duduk, terdengar suara.

“Biarlah kami yang menemani Sian-li Eng-cu duduk!” Suara ini adalah suara seorang laki laki muda yang berpakaian serba biru. Pemuda ini tidak menanti jawaban, langsung berdiri bersama seorang wanita cantik berusia tiga puluh tahun lalu menghampiri meja Siok Lan dan keduanya memberi hormat yang dibalas oleh gadis itu dengan sederhana.

Mereka duduk dan pemuda berusia antara tiga puluh tahun itu berkata, “Maaf kalau kami mengganggu nona, akan tetapi karena kami tertarik mendengar bahwa nona adalah cucu Thian-te Sin-kiam, maka kami memberanikan diri untuk berkenalan. Kami berdua adalah murid murid Gwat Kong Tosu.”

Berseri wajah Siok Lan dan ia cepat berkata. “Ah, Gwan Kong Tosu ketua Kim-hong-pai? Pernah aku bertemu dengan Gwat Kong Totiang ketika dia berkunjung kepada kakek dan ayah! Guru jiwi itu adalah sahabat baik kongkong (kakek). Aku girang dapat berkenalan dengan jiwi!”

“Saya bernama Pui Tiong dan ini adalah suci (kakak seperguruan) Can Bwee,” pemuda baju biru itu memperkenalkan diri dengan ramah. Sucinya dengan mengangguk dan tersenyum, agaknya wanita cantik ini memang seorang yang pendiam dan tidak pandai bicara.

“Namaku Siok Lan. Liem Siok Lan dan dia ini pelayanku Aliok, dan tukang perahu ini Abouw lopek.” Siok Lan memperkenalkan kedua orang pelayannya.

Dua orang murid Kim hong pai itu berdiri dan juga memberi hormat kepada Aliok dan Abouw yang di balas cepat cepat oleh kedua orang ini. Beberapa orang tertawa menyaksikan ini. Sungguh lucu kalau dua orang pendekar yang terkenal diperkenalkan dengan seorang pelayan dan seorang tukang perahu miskin!

Akan tetapi, sikap kedua orang murid Gwat Kong Tosu ini benar benar wajar dan mereka menghormat dua orang yang dianggap rendah itu secara semestinya. Juga diam diam Ya Lee menjadi kagum karena dari sikap itu saja dapat diketahui bahwa dua orang ini benar benar memiliki jiwa yang gagah.

Kini Can Bwee, wanita cantik berusia tiga puluh tahun yang jarang bicara itu berbisik. “Adik, harap hati-hati, tiga orang itu tidak boleh dipandang ringan.”

Biarpun ucapan ini hanya berbisik dan singkat namun jelas mengandung kekhawatiran akan keadaan Siok Lan, maka gadis ini tersenyum manis dan mengangguk sambil berkata. “Cici yang manis, terima kasih, atas peringatanmu. Aku dapat menjaga diri. Jiwi (anda berdua) sendiri, bagaimana bisa menjadi tamu di sini?”

Pui Tiong berkata perlahan. “Betapapun juga, mereka ini semua adalah pejuang pejuang yang membela rakyat dan menentang pemerintah penjajah….”

Sampai disini pemuda baju biru ini menghentikan kata katanya karena pada saat itu, Huang-ho Sam-liong bertepuk tangan memberi isyarat supaya semua orang memperhatikan mereka dan orang tertua dari Huang-ho Sam-liong berkata dengan suara lantang.

“Cuwi sekalian, para orang gagah patriot sejati yang hadir di sini tentu sudah maklum semua bahwa Ang-kin Kai-pang adalah perkumpulan besar yang menjadi sekutu dan kawan seperjuangan kita. Hari ini sampai tidak ada wakil dari Ang-kin Kai-pang, tiada lain karena Ang-kin Kai-pang baru saja menderita pukulan besar karena beberapa orang tokohnya di antaranya saudara Ang Ci dan Ang Sun, telah menderita kekalahan dalam bentrokan melawan Sian-li Eng-cu.

"Kita akan menjadi hakim untuk mengadili siapa salah siapa benar dalam bentrokan ini, apalagi kalau diingat bahwa Sian-li Eng-cu adalah cucu Thian-te Sin-kiam yang sudah kita kenal sebagai seorang pejuang yang gigih. Karena itu, selanjutnya kita serahkan kepada sikap dan sepak terjang Sian-li Eng-cu sendiri, apakah dia benar-benar seorang pendekar wanita yang patut meujadi kawan ataukah seorang pengacau yang harus dilawan.

"Sementara itu karena dia telah menjadi tamu, biarlah dia menyaksikan bahwa kita orang-orang pejuang bukanlah golongan yang mudah dipermainkan dan diperhina oleh semua orang. Pertama biarlah kami sebagai tuan rumah memberi hormat kepada Sian li Eng cu dengan secawan arak!”

Setelah berkata demikian, dengan tangan kirinya ia memberi isyarat kepada dua orang adiknya untuk minggir sedangkan tangan kanannya menyambar sebuah cawan berisi arak.

Orang tertua dari Huang ho Sam liong ini bernama Ie Cu Lin usianya sudah lima puluh tahun lebih dan ia terkenal sebagai seorang ahli lweekeh. Semua tamu yang berada disitu adalah orang-orang rimba persilatan belaka maka penyambutan tuan rumah terhadap seorang tamu dengan jalan menguji ilmu itu bukankah hal yang aneh, apalagi kalau diingat bahwa tamu yang baru tiba ini telah melakukan pelanggaran, yaitu telah bentrok dan mengalahkan tokoh tokoh Ang kin Kai pang.

“Dua orang saudara muda dari Kim hong pai, apakah tidak suka mundur dulu agar aku dapat menyambut dengan sebaik baiknya kepada Sian li Eng cu?” Ucapan Ie Cu Lin ini ditujukan kepada Pui Tong dan Can Bwee, dan merupakan pertanyaan yang mengandung teguran.

Memang, sikap dua orang kakak berdik seperguruan dari Kim hong pai yang amat ramah terhadap Sian li Eng cu tadi sehingga membuat hati Huang ho Sam liong menjadi tidak senang. Sudah jelas bahwa tamu ini belum dapat dikatakan seorang sahabat, mengapa dua orang muda itu memperlihatkan keramahan?

“Maafkan kami.” Kata Pui Tiong yang lalu bangkit bersama Can Bwe dan meninggalkan meja Siok Lan. Ucapan maaf ini tidak di tujukan pada orang tertentu sehingga dapat diartikan terhadap Siok Lan maupun terhadap tuan rumah.

Siok Lan maklum bahwa suasana menjadi tegang dan bahwa fihak tuan rumah sudah mulai hendak beraksi! Ia melirik ke arah Yu Lee dan Abouw, berkata perlahan, “Kalian tenang saja!” Kemudian ia bangkit berdiri, menghadap ke arah Ie Cu Lin dan berkata, suaranya lantang dan mulutnya tersenyum manis.

“Aku sudah mendengar bahwa undangan paksaan dari Huang ho Sam liong tentulah mengandung maksud hati yang tidak baik. Betapapun juga, aku telah menerima undangan, dan aku siap menghadapi segala suguhanmu!”

Le Cu Lin tenenyum dingin, lalu melangkah maju, ia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan sambil berkata, “Saya Ie Cu Lin orang tertua Huang ho Sam liong menyambut Sian li Eng cu dengan secawan arak kehormatan!” Ia menuang terus sampai cawan menjadi penuh dan baru berhenti menuang arak ketika arak sudah memenuhi cawan dengan permukaan lebih tinggi daripada bibir cawan.

Namun arak itu tidak meluber dan tidak tertumpah setetespun! Sungguh amat mengagumkan bahwa arak yang lebih banyak dari padi cawan itu dapat tinggal tetap dalam cawan seolah olah membeku dan permukaannya sampai membulat di atas cawan. Inilah demonstrasi tenaga sin kang yang menyedot arak melalui cawan sehingga arak itu lekat dan tidak tumpah.

Dengan perbuatan ini Ie Cu Lin bermaksud membikin malu tamunya, karena kalau cawan itu diterima tamunya dan araknya meluber tampah hal ini tentu saja akan membikin malu kepada tamunya. Akan tetapi Siok Lan agaknya tidak perduli akan hal ini. Dengan wajah berseri ia berkata,

“Menyembunyikan niat buruk atau tidak, sebuah penghormatan tidak boleh ditolak!” Gadis ini mengangsurkan lengannya dengan tangan kanan menerima cawan itu. Ia tidak kelihatan mengerahkan tenaga, namun ketika cawan tiba di tangannya, arak itu sedikitpun tidak bergerak, apalagi meluber!

Semua tamu yang menonton dengan napas ditahan, kini menjadi kagum. Tidak mereka sangka bahwa seorang nona yang begini muda sudah memiliki kekuatan sinkang yang demikian hebatnya.

Siok Lan mengangkat cawan itu dan terus mengangkat sampai di atas mulut, lalu menuangkannya akan tetapi... arak itu tetap tidak mau turun! Biarpun kini cawan sudah ia balikkan, isinya tidak tumpah sama sekali. Dan terdengar suara tepuk tangan dan ketika semua tamu memandang, yang bertepuk tangan itu adalah Yu Lee yang diikuti oleh Abouw.

“Lihat, nona bermain sulap. Apa tidak hebat?” kata Yu Lee.

Pui Tiong tertawa, Can Bwee tersenyum, bahkan dua oraog murid Kim hong pai ini lalu ikut bertepuk tangan pula. Tamu tamu lainnya yang merasa kagum baru berani ikut ikutan bertepuk tangan.

Siok Lan menurunkan lagi cawan arak dan berkata, “Ah, siauwmoi (adik) tidak bisa minum arak keras, dan agaknya arakmu ini terlalu keras lo-enghiong. Sampai sampai arakmu tidak berani memasuki mulutku, maafkan!” Ia meletakkan cawan di atas meja dan ketika ia melepaskan tangan, arak itu melebar dan tertumpah di atas meja. “Biarlah pelayanku saja yang mewakili aku minum arak kehormatan!”

Yu Lee lalu menyambar cawan dan mengangkatnya, akan tetapi Abouw berseru “Aliok, bagi aku setengahnya dong! Aku belum pernah selama hidupku minum arak kehormatan,”

Yu Lee tersenynm dan menuangkan setengah cawan arak itu ke dalam mangkok di depan Abouw, keduanya tertawa lalu minum arak masing masing setelah mengangkat cawan dan mangkok ke arah Siok Lan dan Ie Cu Lin sebagai tanda penghormatan.

Semua tamu tertawa dan muka Ie Cu Lin berubah merah seperti udang yang direbus. Arak penghormatan yang tadinya ia maksudkan untuk membikin malu Siok Lan, kiranya malah diminum oleh seorang pelayan dan seorang tukang perahu sehingga berarti bahwa dia telah memberi penghormatan kepada dua orang rendah itu.

Akan tetapi sebagai tuan rumah yang harus menghormati tamu, diantara begitu banyak orang gagah, pula karena dia sebagai seorang tua yang sudah banyak pengalaman dapat menahan kemarahan ia tersenyum dan berkata. “Sian li Eng cu becar benar lihai!” Kemudian la mundur ke tempat duduknya sendiri.

Si jangkung Le Kiok Soe, orang kedua dari Huang ho Sam liong yang sejak tadi menyaksikan sepak terjang kakaknya dengan kurang sabar, kini sudah bangkit dan menghampiri Siok Lan yang sudah duduk kembali menghadapi mejanya bersama dua orang pelayannya dan kedua orang murid Kim hong pai yang kembali sudah menemaninya.

Si muka tikus yang jangkung ini cengar-cengir dan kembali para tamu menjadi tegang karena maklum bahwa orang kedua dari fihak tuan rumah hendak melanjutkan menguji kepandaian nona yang masih muda remaja namun amat lihai itu.

“Wah, benar benar Sian Ii Eng cu tidak bernama kosong, memang seperti bayanan seorang dewi yang cantik jelita. Maafkan, nona. Kakakku tadi salah tafsir. Tentu saja seorang muda seperti kau tidak biasa minum arak keras yang hanya menjadi minuman orang-orang kasar seperti kami. Akan tetapi kurasa nona tidak akan menolak, kalau aku Ie Kiok Soe, sebagai tuan rumah kedua, menyambut kunjungan nona dengan suguhan sepotong daging.”

Cepat sekali tangannya bergerak dan tahu-tahu ia sudah menggerakkan sebuah garpu bergigi dua yang runcing yang tadi dibawa dari mejanya, langsung ia menusukkan garpu perak ini ke dalam tempat sayur di atas meja depan Siok Lan.

Ketika ia mengangkat tangannya, garpu itu sudah menusuk sepotong daging kecil. Dengan garpu di tangan ia menghampiri Siok Lan yang masih duduk dengan tenang, sedangkan Yu Lee memandang penuh kekhawatiran. Di dalam hatinya, ia mencaci maki si jangkung ini yang hendak menggunakan kebiasaan, kaum kasar untuk menguji kepandaian orang, yaitu dengan jalan menyuguhkan makanan di ujung pisau atau garpu bahkan adakalanya di ujung pedang!

Bagi seorang yang sudah mempelajari cara mempergunakan kegesitan menghadapi serangan senjata gelap penyuguhan macam ini memang tidaklah membahayakan. Sambaran sebatang piauw saja dapat diterima dengan mulut, apa lagi hanya tusukan pisau atau garpu.

Yang mengerikan kalau si penyuguh mempunyai niat membunuh, karena garpu di tangan tentu saja berbeda dengan menyambarnya piauw, karena si penusuk dapat mengerahkan tenaga dan dapat mengubah arah sesuka hatinya.

Ada tiga jalan untuk menghadapi penyuguhan seperti ini. Pertama begitu saja mengelak menhindarkan diri dan habis perkara. Kedua, dapat menangkis dengan tangan. Ketiga dan ini yang diharapkan oleh semua orang akan tetapi juga paling berbahaya menerimanya dengan mulut!

Sejenak mereka berpandangan Ie Kiok Soe yang berdiri dengan garpu di tangan dan Siok Lan yang duduk dan tersenyum simpul. Kemudin nona itu berkata, suaranya menantang. “Silakan!“ Baru saja si nona mengeluarkan kata kata ini, garpu itu sudah menyambar ke depan, tepat ke arah mulut Siok Lan yang kecil mungil.

Semua tamu menahan napas dan seluruh urat saraf di tubuh Yu Lee menegang karena pemuda ini sudah siap menolong nona pujaan hatinya dari pada ancaman berbahaya, Abouw mengeluarkan pekik tertahan saking ngerinya.

Semua mata tertuju kepada garpu yang berubah menjadi sinar putih, Siok Lan hanya membuat sedikit gerakan, miringkan kepalanya lalu membuka mulutnya yang kecil dan... garpu itu ujungnya telah memasuki mulutnya!

Si jangkung yang tergila gila kepada nona remaja yang jelita ini, tidak tega mencelakai Siok Lan dan memang ia hanya mau mempermainkan dan membikin nona itu mengakui kelihaiannya, maka begitu melihat bahwa garpunya sudah diterima dan digigit oleh si nona, ia lalu membuat tangannya menggetar dengan tenaganya.

Gerakan ini tentu takkan tertahan oleh Siok Lan, membuat giginya sakit dan akan memaksanya membuka mulut memuntahkan daging dari garpu sehingga dengan demikian nona itu akan kalah dan kehilangan muka.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba terdengar suara “krekk!” dan si jangkung terhuyung mundur karena garpunya yang berada di tangannya itu tinggal gagangnya saja. Dua gigi garpu yang runcing patah dan berada di mulut Sian li Eng cu!

Nona itu dengan ayem dan enaknya mengunyah daging dan menelannya, tidak perduli betapa semua mata ditujukan ke arahnya. Kemudian ia membuka mulut dan meniup, “Werrr…cap cap…!” Dua buah gigi garpu yang runcing itu meluncur keluar dari mulut yang mungil dan kini menancap pada kayu yang melintang di bawah atap ruangan itu.

“Terima kasih lo-enghiong. Daging yang kau suguhkan enak, tapi sayang sekali ada tulangnya!” kata Siok Lan dengan sikap biasa, seakan akan tidak pernah terjadi sesuatu.

Kembali terdengar orang bersorak, dan kali ini yang mendahului bersorak adalah Pui Tiong dan Can Bwe. Makin kagumlah semua orang menyaksikan demonstrasi yang luar biasa ini. Bahkan Yu Lee diam diam makin kagum terhadap Siok Lan, terutama sekali ketenangan dan keberaniannya yang hebat.

Ie Kiok Soe memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Siapa kira, bukan dia yang mempermainkan, bahkan sebaliknya si nona yang mempermainkannya, membuatnya menderita malu dan kehilangan muka. Ia marah sekali, akan tetapi ia masih dapat melihat kakaknya memberi isyarat mata sehingga ia hanya membanting kaki lalu mengundurkan diri.

Orang ketiga dari Huaag ho Sam Liong adalah yang paling pendiam diantara mereka. Tubuhnya pendek kate dan biarpun dia seorang kepala bajak tetapi melihat di pinggangnya terselip sepasang senjata poan Koan pit (alat tulis seperti tongkat pena). Tentu dia bukan seorang kasar yang buta huruf.

Dan memang sebetulnya demikian. Ie Bhok, orang ketiga ini terkenal pandai menulis, dan memang amat aneh seorang kepala bajak pandai menulis, dan senjatanya poan koan pit. Tidak mengherankan apabila sikapnyapun tidak sekasar kedua orang kakaknya.

Tetapi, betapapun juga hatinya panas menyaksikan dua orang kakaknya dipermainkan seorang nona muda yang baru saja muncul di dunia kangouw, apalagi kalau nona itu berani pula menantang Ang kim Kai pang. Ia segera bangkit berdiri lalu melangkah tenang menghampiri Siok Lan yang sudah memandangnya karena nona ini sudah dapat menduga bahwa kini tentu orang ke tiga Huang ho Sam liong akan mencari perkara.

Akan tetapi Ie Bhok menjura kepadanya dan berkata, “Sian li Eng cu sebagai seorang tamu, nona tidaklah mengecewakan kedua orang kakakku. Perkenankanlah aku, Ie Bhok, mendapat bagian untuk menyambut nona dengan penghormatan.”

“Hemm… sudah kukatakan tadi, sebagai tuan rumah memang, berhak melakukan apa saja yang dikehendaki, sebaliknya aku sebagai tamu tentu tidak bisa menolak penghormatan tuan rumah. Silakan.”

Siok Lan sudah siap siap, akan tetapi Ie Bhok bahkan menduduki bangku yang masih kosong menghadapi meja Siok Lan. Memang, meja itu mempunyai enam buah bangku dan baru lima buah yang dipakai.

Dengan tenang Ie Bhok mengambil sepasang sumpit dari tempat sumpit, lalu dengan sumpit itu ia mengambil sepotong daging dan dengan siku kanan di atas meja ia berkata, “Saya seorang bodoh, tidak ada permainan sesuatu untuk diperlihatkan kepada nona. Harap nona sudi mengambil daging ini dari sumpit saya!”

Siok Lan maklum bahwa lawan ini hendak memperlihatkan kepandaiannya memainkan sumpitnya. Untuk dapat mempergunakan sepasang sumpit merebut daging di antara sumpit itu, selain ia harus memiliki tenaga yang kuat, juga ia harus mempunyai kegesitan dalam mempergunakan sepasang sumpit itu sebagai senjata. Dan ia tahu, atau dapat menduga bahwa Ie Bhok yang bersenjata sepasang poan koan pit ini tentu amat mahir bermain sumpit.

Betapapun juga gadis remaja ini tidak mau kalah. Iapun lalu mengambil sumpitnya sambil tersenyum ia berkata, “Ie lo enghiong sungguh baik, mau memilihkan sepotong daging untukku.” Setelah berkata demikian, ia menggunakan sumpitnya menyambar daging yang terjepit disumpit lawan.

Akan tetapi, benar seperti yang disangkanya, dengan gerakan tangan yang kuat, Ie Bhok membuat sumpitnya itu mengelak, bahkan dari atas sepasang sumpitnya yang menjepit daging itu menangkis dan menindih sepasang sumpit di tangan Siok Lan dengan tenaga yang demikian kuatnya sehingga hampir saja gadis itu melepaskan sumpitnya. Sumpit itu tertangkis sampai tergetar dan jari-jari tangannya sampai kesemutan!

Hebat gerakan orang she Ie yang pendek ini, pikirnya. Kalau sampai lama ia tidak mampu mengambil daging itu, tentu ia akan menjadi buah tertawaan. Namun untung bahwa orang ini berwatak halus dan biarpun ia akan kalah, namun tidaklah memalukan. Maka sambil tertawa ia berkata, “Ie Bhok lo enghiong sungguh mahir menggunakan sumpit. Kalau sampai lima kali aku gagal merebut daging, biarlah aku orang muda mengaku kalah.”

“He, he, baiklah. Dan kalau ia sampai lima kali nona dapat merampasnya, benar benar aku orang she Ie merasa takluk. Terus terang saja, ketahuilah nona bahwa di dunia ini kira nya harus dipilih pilih dulu orang yang akan mampu merampas daging dari sumpitku selama lima jurus!”

Panas rasa perut Siok Lan. Biarpun sikapnya halus ucapan terakhir dari Ie Bhok ini boleh dibilang mengandung kesombongan. Masa aku tidak dapat merampas sampai lima jurus pikirnya, dan tahu bahwa biarpun kelihatan hanya “berebutan daging” dengan sumpit, gerakan gerakannya mirip dengan mengadu ilmu silat dan untuk dapat berhasil.

Tentu saja boleh menggunakan taktik taktik pertandingan misalnya dengan menggunakan sumpit menyerang tangan, pendeknya asal dapat membuat daging itu terlepas dari sumpit lawan dan dirampas dengan sumpit sendiri. Tentu saja serangan hanya terbatas pada tangan kanan lawan saja, tidak boleh menyerang bagian tubuh yang lain.

“Aku sudah menyerang satu kali tinggal empat kali. Awas, lo enghiong,” Siok Lan berkata, sepasang sumpitnya bergerak, bukan langsung menjepit seperti tadi, melainkan dengan gerakan menggunting dari atas ke bawah meluncur ke depan dan digerakkan dengan membentuk lingkaran. Dengan demikian tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk mengelak sepertì tadi.

Menghadapi serangan ini, mulut Ie Bhok masih tersenyum, akan tetapi pergelangan tangannya bergerak sepasang sumpitnya juga membentuk lingkaran, lalu digetarkan dan dengan daging masih terjepit sumpitnya itu mengangkas dengan keras sekali dari atas ke bawah.

“Trik.. trikkkkk!”

Biarpun yang beradu hanya sumpit dengan sumpit namun menerbitkan suara keras dan kembali tangan Siok Lan tergetar hebat. Masih untung bahwa ia tidak sampai melepaskan sepasang sumpitnya dan cepat cepat menarik tangannya. Serangan kedua kembali gagal!

Kini mereka sudah bersiap siap kembali, Ie Bhok dongan siku tetap menesan meja, memegangi sumpitnya melintang dan biarpun sumpit itu kelihatannya dipegang dengan seenaknya, namun kekuatan yang tersalur melalui sumpit menjepit daging adalah amat kuat. Matanya dengan tajam memandang kepada sumpit lawan, siap menghadapi serangan jurus ketiga.

Sampai lama Siok Lan tidak menyerang karena gadis ini memutar otak untuk dapat mencapai kemenangan. Kemudian ia berseru keras dan kembali sumpitnya menyambar. Sumpit sumpitnya itu kini terbuka, yang satu meluncur dan menotok ke arah jalan darah diantara ibu jari dan telunjuk lawan yang menjepit sumpit, yang sebatang lagi meluncur dan menusuk ke asah daging!

“Bagus!” Ie Bhok berseru kagum karena jurus ini benar bear amat indah dan lihai. Akan tetapi biarpun kelihatannya sumpit lawannya menotok jalan darah, ia maklum bahwa yang dituju adalah tusukan pada daging. Sebagai seorang ahli Poan koan pit, ia adalah seorang yang sudah ulung dengan ilmu menotok.

Maka ia telah dapat menduga jurus nona ini. Ia memutar perulangan tangannya untuk mengelak dari totokan, dan tiba-tiba ia melepaskan jepitan sumpitnya pada daging se waktu sumpit kedua Siok Lan menusuk daging sehinga daging itu terlepas dan jatuh, karena nya terluput dari tusukan Siok Lan.

Sebelum gadis ini dapat mengatur sumpit untuk merampas, lebih dulu Ie Bhok sudah menggerakkan sumpitnya cepat sekali menyambar daging yang melayang turun dan kembali daging itu sudah dijepit oleh sumpitnya.

“Masih dua jurus lagi, nona” kata Ie Bhok. Kalau saja serangan Siok Lan tidak makin lama semakin lihai sehingga mengejutkan hatinya, tentu Ie Bhok akan membiarkan saja gadis itu menyerang sampai beberapa jurus sekalipun. Akan tetapi ia harus mengakui bahwa seranggan serangan dara remaja itu makin lama makin ganas dan semakin berbahaya sehingga ia harus berhati-hati sekali biarpun hanya tinggal dua kali atau dua jurus saja serangan yang bakal dilancarkan.

Siok Lan menggigit bibirnya. Di antara tiga orang Huang ho Sam liong, hanya yang paling muda inilah merupakan orang paling berbahaya. Kalau sampai terjadi pertandingan, ia harus berhati-hati menghadapi orang ini. Jelas bahwa biarpun dalam hal ilmu kepandaian, orang ini belum tentu lebih lihai daripada dua orang kakaknya, namun jelas bahwa orang yang pendiam ini lebih berbahaya lebih cerdik dan banyak akal, tidak gegabah dan kasar seperti dua orang kakaknya.

Kembali ia memutar otak mencari akal sebelum melakukan serangannya yang keempat. Kali ini ia mau mengadu tenaga dan kalau sampai daging itu kembali terlepas dari sumpit lawan, ia harus mencegah sumpit lawan menyambarnya kembali dan biarlah daging itu terjatuh ke atas meja. Dengan demikian, biar pun ia tidak beihasil merampasnya, sedikitnya ia telah mampu membuatnya terlepas dari sumpit lawan dan hal ini saja sudah berarti bahwa ia telah menang setengah bagian!

Dengan akal ini Sok Lan lalu berseru, “Lihat serangan!” Kini sepasang sumpitnya digerakkan dengan cepat dan bertenaga kuat karena ia kini mengerahkan sin kangnya, tidak lagi mengandalkan kecepatan melainkan mengandalkan tenaga.

Ie Bhok kelihatan kaget sekali dan sekali pandang saja ia sudah menduga akan akal gadis ini. Kalau ia menang dan melayani adu tenaga dengan gadis yang ia ketahui memiliki kekuatan sinkang hebat ini, tentu daging yang dijepit sumpitnya akan terlempar dan dengan demikian ia sudah akan mendapat malu.

Maka secara tiba-tiba sekali ia melontarkan daging yang dijepit itu ke atas, sumpitnya mengelak ke bawah dan terus melakukan tiga kali totokan ke arah tiga jalan darah di sekitar tangan dan pergelangan tangan Siok Lan yang memegang sumpit! Jadi kali ini Siok Lan menghadapi jurus serangan ilmu senjata poan koan pit yang berbahaya!

Tentu saja Siok Lan tidak mau membiarkan tangannya tertotok karena biarpun andaikata ia mampu membuat daging itu terlepas, kalau ampai ia tertotok dan sumpitnya sendiri terlepas, ia tentu akan mendapat malu dan itu berarti ia kalah! Cepat ia menggerakkan pergelangan tangan memutar sumpitnya membetuk lingkaran yang kuat, menangkis tiga kali totokan lawan.

Akan tetapi, ternyata lawan tidak jadi menyerang, sebaliknya sumpit lawan kini lagi lagi sudah menyambar dan menjepit dagingnya yang tadi terpental ke atas dan kini sudah melayang turun lagi. Karena Siok Lan tertipu dan gadis ini tadi mencurahkan perhatian untuk menangkis totokan totokan masa tentu saja ia tak cepat mencegah lawannya menjepit kembali daging itu.

“Tinggal sejurus lagi nona.” Ie Bhok tersenyum dan mengacungkan daging dalam jepitan sumpitnya.

Merah wajah Siok Lan dan nona ini hampir putus aa. Orang di depannya benar benar lihai dan cerdik, semua mata para tamu ditujukan kepada adu kepandaian yang aneh dan lucu ini dan kalau sekali lagi ia tidak mampu merampas daging, betapapun juga ia akan kehilangan muka di tempat itu!

Tiba-tiba Yu Lee beikata, “Nonaku ini tidak mau sungguh sungguh merampas, mengapa kau orang tua tidak bisa mengerti? Kalau nona majikanku menghendakinya, maka dalam sejurus saja pasti daging itu dapat dirampasnya? Dan sekarang ini nonaku sudah memberi muka terang kepada lo-enghiong, mengapa lo-enghiong tidak mau mengerti?”

Ie Bhok mengerling ke arah Ya Lee dan tertawa “Ha, ha, namamu Aliok tadi bukan? Eh, Aliok, kalau benar nonamu sengaja tidak mau merampas bolehkah aku tahu mengapa tidak mau?”

“Karena daging disumpitmu itu bau dan tidak enak!”

Terdengar suara ketawa di sana sini, tetapi Ie Bhok tidak marah hanya tersenyum. Sebalik nya malah Siok Lan menjadi marah dan mendongkol, Aliok ini bicara ngoco belo, apakah mengira bahwa yang hadir itu anak anak kecil yang mudah saja dibohongi? Akan tetapi karena pelayannya sudah terlanjur bicara, ia berkata singkat, “Aku sudah menyerang empat kali, kalau sekali lagi tidak herhasil biarlah aku mengaku kalah!”

“Nona pasti berhasil kalau memang mau sungguh sungguh! Mengapa tidak?” kata Yu Lee dan seperti tanpa disengaja dengan muka tegang pelayan ini menaruh kedua tangannya di atas meja, di depannya.

Tiba-tiba tampak sinar gembira di muka si nona. Gerakan Yu Lee yang seperti tak di sengaja itu mengingatkannya! Ah, kenapa ia begini bodoh? Sejak tadi lawannya itu memegang sumpit dengan siku ditekan di atas meja, sehingga dapat tegak dan lebih bertenaga. Sikunya itulah yang menjadi semacam “kaki” dan ia kalau mampu melemahkan “kaki” ini, tentu dengan mudah, sumpitnya mampu merampas daging.

Tanpa tergesa gesa sehingga tidak kentara nona itu lalu menaruh pula tangan kirinya di atas meja. “Kau benar Aliok. Kalau aku mau, tentu sekali serang aku berhasil. Orang tua she Ie, kali ini kau waspadalah!” Dengan ucapan ini Siok Lan hendak memancing perhatian lawan agar lebih memusatkan perhatian pada sumpitnya yang menjepit daging.

Pancingan ini berhasil karena Ie Bhok yang mendengar ucapan pelayan dan nonanya tadi kini benar benar memusatkan perhatian kepada sumpitnya bertekad untuk mempertahankan daging, sumpitnya menghadapi penyerang yang terakhir.

Siok Lan dengan amat tajam memandang daging disumpit lawan, kemudian sempitnya sendiri bergerak, dibarengi bentakannya keras “Lepaskan.” Dan ia menggunakan sumpitnya untuk nenggempur sumpit lawan.

Diam diam Ie Bhok tertawa. Alangkah bodohnya nona ini, pikirnya. Dengan jurus jurus yang lihai saja masih belum mampu merampas daging nya, apalagi dengan cara kasar seperti ini, hanya menggempur sumpit beradu sumpit, menggunakan tenaga. Mana mungkin berhasil? Ia tertawa dan hendak mengerahkan tenaga menerima benturan sumpit lawan.

Akan tetapi mulutnya yang menyeringai tertawa itu berubah mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba meja tergetar dan sikunya menjadi lumpuh, tangannya menggigil dan ketika benturan tiba, ia tidak mampu mempertahankan lagi sumpitnya yang runtuh terlepas dari jari jari tangannya!

Ketika Ie Bhok tersadar bahwa gadis itu menyerangnya melalui meja dengan tangan kiri yang menggunakan sinkang menggempur sikunya, ternyata telah terlambat. Daging yang jatuh dari sumpitnya telah disambar oleh sumpit Siok Lan yang tersenynm senyum sambil mengangkat daging itu tinggi tinggi agar tampak oleh semua orang.

Sorak sorai menyambut kemenangan Siok Lan ini didahului oleh Yu Lee yang tadi diam diam membantu nonanya dengan menggetarkan tangan pada meja. Kalau saja tidak dibantu pemuda sakti ini, agaknya belum tentu Siok Lan berhasil karena menyerang siku lawan melalui meja yang digetarkan tenaga sinkang membutuhkan tenaga yang kuat sekali!

“Nona sungguh cerdik, saya mengaku kalah!” kata Ie Bhok yang segera mengundurkan diri.

Pada saat itu terdengar suara mendengus disusul kata kata yang nadanya mengejek. Suara ini datangnya dari meja sebelah kiri meja Siok Lan, suara seorang wanita yang terdengar lantang karena pada saat itu semua orang sudah diam kembali.

“Huh, permainan macam itu saja apa sih anehnya? Anak kecilpun bisa!”

Tentu saja suara yang terdengar pada saat semua tamu berdiam dan keadaan menjadi sunyi ini. Terdengar jelas dan amat menarik perhatian. Semua mata menengok dan karena wanita yang bicara itu duduk di meja sebelah kirinya, Siok Lan hanya mengerling dan memandang dari sudut matanya. Tidak seperti Yu Lee dan Abouw yang langsung menoleh dan memandang penuh selidik.

Dia adalah seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bentuk mukanya tentu akan cantik manis kalau saja wajah itu kulitnya tidak dirusak oleh bekas penyakit cacar sehingga kulit mukanya kini tidak halus lagi, melainkan agak bopeng dan totol totol hitam ini dicobanya untuk dihilangkan dengan lapisan bedak putih yang agak tebal.

Untuk menutupi kekurangan itu, wanita ini menghitamkan alisnya dengan alat penghitam alis sehingga alis itu bentuknya tebal dan panjang melengkung dan bibirnya dicat merah sampai menyolok. Tubuhnya agak gemuk, akan tetapi pinggangnya sengaja diikat dengan ikat pinggang amat eratnya agar kelihatan ramping dan yang luar biasa adalah pinggulnya. Pinggul ini berdaging besar dan amat montok sekali sehingga ketika ia duduk seakan akan ada yang mengganjal di bawah pantatnya.

Ketika melihat bahwa semua mata, termasuk mata ketiga tuan rumah memandang kepadanya, wanita itu menjebikkan bibirnya lalu tersenyum lebar sehingga tampak deretan gigi nya yang putih dan rata akan tetapi agak besar besar sehingg membuat mulutnya kelihatan lebar.

Dengan gerakan yang jelas ia lakukan agar tampak oleh semua orang, ia menggerakkan sumpitnya, memasukkan sepasang sumpit ke dalam mangkok dan ketika ia mengambil sumpitnya diujung masing masing sumpit sudah tertusuk sebuan bakso ikan yang bundar dan putih.

Kemudian sekali ia menggetarkan tangan dua buah bakso itu melayang naik ke atas dan tepat sekali memukul potongan gigi garpu yang tadi ditiup menancap oleh Siok Lan di tiang yang melintang di bawah atap.

Semua orang jadi terbelalak kaget dan kagum karena dua buah bakso itu menghantam potongan garpu dengan keras sekaji dan ketika melayang turun ternyata potongan garpu itu sudah terbawa turun menancap pada dua buah bakso!

Diam diam Yu Lee terkejut. Itulah hasil dari kekuatan sinkang yang hebat, sama sekali tidak boleh dipandang ringan, apa lagi oleh Siok Lan. Ia tahu bahwa gadis ini jauh di bawah wanita itu tingkat kekuatan sinkangnya. Siok Lan biarpun kelihatan tersenyum dan tidak mengacuhkan, namun sesungguhnya iapun terkejut sekali.

Sebagai seorang ahli yang sudah tergembleng sejak kecil, iapun bukan tidak tahu bahwa wanita itu amat tinggi kepaadaiannya dan dia sendiri tidak akan mampu melakukan demonstrasi yang diperlihatan wanita itu tadi. Akan tetapi tentu saja ia tidak merasa gentar seujung rambutpun. Ia masih duduk tidak per duli dan melanjutkan makan minum.

Kesunyian yang menyusul perbuatan demonstrasi wanita itu dipecahkan oleh suara ketawa Ie Cu Lin. Perbuatan tamunya yang menjadi sahabat baiknya ini sedikit banyak telah membantu fihak tuan rumah menebus “kekalahan” dalam demonstrasi mereka tadi melawan Sian li Eng cu.

“Ha ha ha ha! Sungguh Cui Toanio amat hebat, makin lama makin lihai saja membuat kami takluk dan kagum. Akan tetapi, agaknya pertunjukan pertunjukan para tamu yang terhormat dan gagah perkasa seharusnya dilakukan menurut urutan yang rapi dan tidak kacau balau. Kita semua tahu bahwa pertemuan ini di samping membicarakan tentang siasat siasat dan rencana rencana pekerjaan kita menentang kaum penjajah, juga diadakan pertemuan saling mempererat persahabatan dan saling menambah ilmu pengetahuan serta saling mengisi dan menuntun agar kita makin kuat menghadapi musuh rakyat!"

Semua tamu menyambut kata-kata ini dengan mengangguk angguk setuju, malah ada diantara mereka yang sudah terlalu banyak minum, saking gembira sebab akan menyaksikan demonstrasi demonstrasi ilmu silat linggi, sudah bersorak dan bertepuk tangan.

Ie Kiok Soe, orang ke dua dari Huang ho Sam liong yang tadi mersa mendongkol kepada dua orang murid Kim hong pai karena mereka berdua itu seolah olah beifihak dan bersikap ramah kepada Sian li Eng cu, kini bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengan ke atas sebagai tanda agar para tamu tidak berisik karena ia mau bicara. Setelah suasana menjadi sunyi, si muka tikus ini berkata sambil memandang ke arah meja Sian li Eng cu.

“Cuwi sekalian! Dalam pertemuan hari ini, kami mendapat kesempatan untuk memperkenalkan sahabat sahabat seperjuangan yang baru. Biarpun belum lama, baru beberapa pekan menggabungkan diri dengan kita, namun nama Kim hong pai sudah cukup terkenal di dunia kang ouw. Saat ini diantara kita yang hadir terdapat dua oraug murid Kim hong pai yang menjadi teman seperjuangan bahkan menjadi murid murid terkasih dari Gwat Kong Tosu sendiri.

"Kim hong pai sesungguhnya adalah sebuah ranting dari Kun lun pai yang besar, karena Gwat Kong Tosu adalah seorang anak murid Kun lun pai yang telah mendirikan partai persilatan tersendiri. Nah kami perkenalkan Pui Tiong sicu (tuan gagah) dan Can Bwee lihiap (nona gagah) dari Kim hong pai!”

Sejak si muka tikus angkat bicara Pui Tiong dan Can Bwee sudah saling pandang. Kemudian Pui Tiong berbisik kepada Sian li Eng. cu. “Harap nona hati-hati wanita itu adalah Cui Hwa Hwa atau yang disebut Cui Toanio, ilmu kepandaiannya tinggi sekali.”

Diam diam Siok Lan terkejut, pernah kakeknya menyebut nama Cui Hwa Hwa ini sebagai seorang tokoh kangouw yang terkenal. Kini mendengar kata-kata si muka tikus ia tahu bahwa dua orang murid Kim hong pai yang amat baik terhadapnya ini dikutik kutik maka ia mendengarkan penuh perhatian. Iapun tahu bahwa Kim hong pai masih merupakan partai sesumber dengan dia.

Karena benar seperti dikatakan si muka tikus tadi, dahulu Gwat Kong Tosu adalah seorang anak murid Kun lun pai yang melakukan “pelanggaran” sehingga diusir dari Kua lun pai yang kemudian membentuk sebuah partai persilatan sendiri. Maka ia tadi tidak heran menyaksikan betapa dua orang itu bersikap baik terhadap dirinya.

Memang kedua orang anak murid Kim hong pai ini merupakan “pejuang pejuang” baru yang menggabungkan diri dengan golongan pejuang yang berkumpul di sepanjang Sungai Huang ho ini. Maka setelah kini diri mereka diperkenalkan Pui Tiong dan Cm Bwee lalu bangkit berdiri mengangkat kedua tangan depan dada lalu memberi hormat ke sekeliling.

“Harap saja Pui sicu sudi memberi sedikit permainan pedang Kmi hong pai untuk membuka mata kita!” Tiba-tiba Ie Kiok Soe berkata dengan suara lantang dan semua tamu lalu menyusulnya dengan ucapan ucapan yang sifatnya mendesak.

Pui Tiong bertukar pandang dengan sucinya yang mengangguk perlahan pemuda baju biru itu lalu bangkit menjura ke arah Ie Kiok Soe dan berkata, “Sesungguhnya saya yang muda merasa malu harus memperlihatkan kebodohan di depan banyak orang gagah. Akan tetapi untuk sekedar menggembirakan pertemuan ini, biarlah saya melupakan kebodohan sendiri, harap sahabat sekalian tidak menjadi kecewa.”

Para tamu bertepuk tangan ketika pemuda ini malangkah ketengah lapangan kemudian monjura ke sekeliling dan mencabut pedangnya. Sebuah pedang yang bagus dan berkilau saking tajam. Kemudian Pai Tiong mainkan pedangnya mula mula lambat, makin lama makin cepat sehingga pedangnya berubah menjadi segulungan sinar putih berkeredepan.

Siok Lan yang menonton penuh perhatian, mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang pemuda She Pui ini cukup kuat, mempunyai sumber ilmu pedang Kun lun pai, hanya gaya nya yang dirobah sehingga kini ilmu pedang ini disebut Kim hong kiam hoat (Ilmu pedang partai Kim hong pai).

Pada saat itu berkelebat bayangan hijau dan tahu tahu Cui Hwa Hwa sudah berdiri di tengah lapangan menghadapi Pui Tiong sambil berkata nyaring. “Orang she Pui ilmu pedangmu bagus sekali kalau bermain sendiri tentu kurang menarik!”

Pui Tiong menghentikan tarian pedangnya dan menjura sambil menekuk pergelangan tangan sehingga pedangnya tersembunyi di bawah lengan. “Toanio, apakah yang toanio maksudkan?”

Cui Hwa Hwa tertawa sehingga tampak giginya yang besar besar, matanya yang lebar mengeluarkan sinar berseri ketika ia berkata, “Pui enghiong biarpun engkau dikenal sebagai seorang tokoh Kim hong pai namun ilmu pedangmu masih dapat kukenal sebagai Kun-lun kiam-hoat. Aku sudah sering kali berhadapan dengan ilmu pedang Kun lun pai dan sudah seringkali menundukkannya.” Sampai di sini wanita ini mengerling ke arah Siok Lan dengan senyum mengejek dan memandang rendah sekali, “Maka aku mengenalnya begitu melihat gerakanmu!”

Merah telinga Pui Tiong akan tetapi masih bersikap merendah dan hormat. “Tidak salah ucapan Toanio. Memang tidak perlu kami sangkal bahwa guru kami Gwat Kong Tosu adalah bekas murid Kun lun pai akan tetapi ilmu pedang kami adalah Kim-hong kiam-hoat, bukan Kun-lun kiam-hoat!”

Kembali wanita itu tertawa dan setelah kini ia berdiri, tampak betapa pinggulnya benar besar-besar, menjendul di kanan kiri dan ketika ia tertawa, kedua gunung pinggul penuh daging itu bergoyang goyang di balik pakaian yang berwarna hijau dan terbuat dari sutera tipis. Orang-orang yang berada di sebelah belakangnya seolah olah dapat melihat daging pinggul yang montok itu menari menari,

“Pui enghiong, sudah kukatakan tadi, bahwa bermain seorang diri kurang menarik. Maka biarlah aku menemanimu dengan tangan kosong dan sebagai bukti kata kataku tadi, hendak kuperlihatkan kepadamu dan kepada semua tamu betapa dalam sepuluh jurus aku sanggup menundukkanmu seperti yang sudah terlalu sering kulakukan terhadap ilmu pedang Kun lun pai!”

Semua yang hadir terkejut. Biarpun tak dapat dikatakan bahwa ilmu pedang pemuda itu indah sempurna, namun harus diakui cukup hebat, dan tangguh. Mungkin kalau menghadapinya dengan senjata lain, Cui Hwa Hwa yang terkenal sekali itu akan dapat mengambil kemenangan. Akan tetapi, menghadapi pedang pemuda itu dengan tangan kosong dan berjanji akan menundukkannya dalam sepuluh jurus? Benar benar terlalu tekebur!

Yu Lee yang menyaksikan gerak gerik wanita itu penuh perhatian, diam-diam merasa khawatir. Jelas dapat terlihat oleh siapapun juga bahwa sesungguhnya bukan murid Kim hong pai yang ditekan atau ditantang oleh Cui Hwa Hwa, melainkan Siok Lan, Sian li Eng cu yang dikenal sebagai murid Kun lun pai! Dan menurut penilaian Yu Lee, tingkat kepandaian wanita itu lebih tinggi dari pada Siok Lan sehingga kalau ejekan-ejekan menantang itu dilayani Siok Lan tentu akan berbahaya sekali bagi nona pujaan hatinya itu.

Memang kekhawatiran Yu Lee itu ada tanda-tandanya akan terjadi, Siok Lan biasanya berwatak riang gembira, akan tetapi kalau ia tersinggung dan marah, sepasang pipinya menjadi bersemu kemerah merahan dan sepasang matanya yang biasanya bening dan riang jenaka itu memancarkan cahaya kilat. Dan pada saat itu keadaan Siok Lan pun sudah seperti itu ketika dara ini memandang ke arah Cui Hwa Hwa yang hendak mempermainkan Pui Tiong.

Pui Tiong sendiri juga penasaran. Ditantang untuk dihadapi dengan tangan kosong dan akan dikalahkan dalam sepuluh jurus benar benar memanaskan hatinya. Maka ia segera menjura lagi dan berkata, “Sebelumnya terima kasih bahwa Cui Toanio yang tersohor lihai suka memberi petunjuk!”

“Tak perlu sungkan, seranglahl” kata Cui Toanio sambil tersenyum lebar.

Pui Tiong lalu memutar pedangnya, mengayun ke atas kepala dan mulai menyerang maju. Putaran pedangnya cepat dan kuat sekali, lalu meluncur ke arah leher lawan. Namun gerakan Cui Toanio benar benar mengagumkan. Hanya pinggulnya yang besar montok itu saja yang tampak bergerak, sedangkan lain tubuh tidak lampak bergerak, akan tetapi tahu tahu ia sudah miringkan tubuh dan serangan pedang itu menyambar lewat, kemudian secepat kilat, tangan kirinya menyambar maju ke arah siku kanan Pui Tiong yang memegang pedang!

Pui Tiong kaget sekali karena kalau sampai sikunya tertotok atau terpukul tentu pedangnya akan terlepas, maka cepat ia berseru sambil meloncat, kebelakang pedangnya ditarik dan diputar melingkar dari luar, kini membabat ke arah pinggang.

Akan tetapi agaknya Cui Toanio tadi tidak berkata main main karena buktinya, ia seperti telah tahu atau mengenal gerakan pedang Pui Tiong dan sebelum pedang itu membabat pinggangnya, tubuhnya sudah melompat ke atas, kemudian dari atas tubuhnya melayang turun dengan kedua ujung kaki menyerang pundak Pui Tiong!

Pemuda baju biru ini tentu saja tidak mau ditendang pundaknya dari atas, ia meredahkan tubuh dan memutar pedang diatas kepala seperti payung yang bertugas menyerampang buntung kedua kaki lawan. Terdengar Cui Hwa Hwa tertawa dan tubuhnya yang masih di udara itu tiba-tiba membuat salto atau poksai dua kali sehingga serampangan pedang Pui Tiong tidak berhasil.

Pui Tiong mendesak terus dan sampai berlangsung sembilan jurus, belum juga ia mampu menyentuh ujung baju Cui Hwa Hwa, akan tetapi hatinya girang karena sejurus lagi kalau wanita sombong itu belum dapat mengalahkannya, berarti ia menang! Maka ia kini tidak menitik beratkan kepada serangan.

Jurus terakhir ini ia menitikberatkan kepada pertahanan dan ia hanya membacokkan padangnya ke arah leher lawan sambil menjaga diri sendiri, menutup segala lobang. Alangkah kaget hati Pui Tiong ketika mendapat kenyataan bahwa kini lawannya sama sekali tidak mengelak atau menangkis, membiarkan pedang menyambar pinggir leher sebelah kiri!

Betapapun juga Pui Tiong tiaak bermaksud melukai lawan, apalagi membacok leher yang dapat menimbulkan bahaya maut, maka dengan gugup ia berusaha menahan bacokan atau sedikitnya mengurangi tenaga nya. Namun terlambat pedangnya tetap mengenai leher Cui Toanio.

“Takk!” Pui Tiong terkejut sekali karena pedangnya seperti mengenai benda keras dan pada saat itu Cui Toanio membuat gerakan menghantam dengun kepalan kiri kearah lambungnya.

Selagi ia bingung dan menangkis dengan tangan kiri, tiba-tiba pedangnya terampas oleh jari jari tangan Cui Toanio yang kanan, yang menjepit pedang itu dengan jari jari ditekuk dan dengan kenyataan yang luar biasa telah merampas pedang sehingga terlepas dari tangannya dan kini berada dalam jepitan jari tangan kanan Cui Toanio yang mengangkatnya tinggi tinggi!

“Nah, tepat sepuluh jurus! Inilah jurusku yang ampuh untuk menghadapi ilmu pedang Kun lun pai yang tak pernah gagal merampas pedang Kun lun pai. Jurus ini kuberi nama Eng jiauw phok kiam (Cakar Garuda Sambar Pedang). Jurus macam ini barulah ada harganya disebut ilmu, tidak seperti segala macam kepandaian anak kecil seperti yang telah diperlihatkan tadi!”

Sambil berkata demikian, kembali dengan sengaja dan penuh tantangan Cui Hwa Hwa mengerling kearah meja Siok Lan. Kemudian dengan sikap memandang rendah, ia mengangsurkan pedang kepada Pui Tiong yang menerimanya dan yang segera mengundurkan diri dengan muka pucat. Tadinya ia marah, akan tetapi ketika bertemu pandang dengan sucinya, ia melihat Can Bwee berkedip maka ia lalu mengundurkan diri tanpa berkata sesuatu.

Seperti telah diharap harapkan orang banyak dengan pancingan tantangan Cui Hwa Hwa terhadap tamu istimewa Sian li Eng cu yang dianggap telah memusuhi Ang bin Kai pang sebagai teman-teman seperjuangan mereka ini Siok Lan bangkit berdiri.

Akan tetapi Yu Lee yang sudah siap menghindarkan Siok Lan daripada bahaya, jaga cepat bangkit berdiri bahkan berlari lari mendahului nona itu ke tengah lapangan di mana Cui Hwi Hwa masih berdiri. Sambil tertawa-tawa ia berkata, mendahului Siok Lan yang sudah hendak menegurnya.

“Eh. nona! Bukankah ilmu yang dipertontonkan tadi, menjepit pedang, sama benar dengan ilmu yang pernah nona ajarkan kepada saya? Namanya juga hampir sama! Heran sekali kenapa bisa begitu sama, bukankah yang nona ajarkan itu hanya untuk tontonan anak-anak di tengah pasar?”

Hanya beberapa detik saja wajah Siok Lan tercegang keheranan, akan tetapi dasar ia cerdik dan jenaka, segera saja wajahnya yang cantik jelita itu berubah, berseri seri dan mulutnya tersenyum simpul manis sekali.

“Kau betul, Aliok! Baiknya kau ingatkan aku, hampir aku lupa. Memang sudah pernah kuajarkan padamu. Leher tidak luka oleh bacokan pedang itu namanya ilmu leher kepala batu. Dan ilmu menjepit pedang dengan jari itu namanya jurus Hek-mauw phok-ci (Kucing Hitam Sambar Tikus)!”

Jelas sekali apa yang diperbuat dan dipercakapkan antara nona dan pelayannya ini menyinggung peristiwa tadi. Lebih lebih nama jurus itu! Kalau jurus lihai dari Cui Hwa Hwa tadi bernama Cakar Garuda Sambar Pedang, kini jurus kedua orang ini bernama Kucing Hitam Sambar Tikus!

Justeru muka Cui Hwa Hwa memang agak kehitaman karena bekas penyakit cacar, jadi sama saja dengan menyamakan dia dan memakinya kucing hitam! Para tamu memandang dengan wajah tegang, dan hal yang lucu ini membuat mereka ingin tertawa akan tetapi tidak berani maka banyak yang menutup mulutnya agar tidak kelihatan tertawa.

Wajah Cui Hwa Hwa sebentar merah sebentar makin hitam. Kemarahannya hampir tak dapat ditahannya lagi. Akan tetapi ia tidak tahu harus berkata atau berbuat apa karena dua orang itu tidak terang terangan menyinggung namanya. Pada saat itu, tiba-tiba Siok Lan mencabut pedangnya dengan gerakan indah dan cepat. Semua orang tertegun kagum menyaksikan sinar pedang putih kemilau dari pedang perak itu.

“Awas, Aliok. Mari kita perlihatkan apa yang telah kita latih dahulu. Aku akan bacok lehermu, keluarkan Ilmu leher kepala batu kemudian kau cakar pedang ini dengan ilmu Hek-mouw phok-ci!”

Mata Yu Lee berseri. Pemuda ini merasa geli, akan tetapi juga gembira dan kagum Siok Lan benar benar seorang gadis yang selain berani dan jenaka, juga berotak tajam sekali sehingga dapat mengerti ajakannya untuk bergurau dan “memukul” kesombongan Cui Hwa Hwa.

“Baiklah, nona! Biar semua orang melihat bahwa saya, biarpun hanya seorang pelayan, akan tetapi adalah pelayan dari Sin li Eng cu dan tentu saja mengenal ilmu kucing ini!” Ia mengatakan ilmu kucing untuk mengimbangi ucapan Cui Hwa Hwa yang mengatakan bahwa kepandaian Siok Lan tadi seperti anak kecil.

Siok Lan memainkan pedangnya, memutar mutar ke atas dan berteriak. “Hiaaaatt!” Pedang itu menyambar leher Yu Lee. Pemuda ini maklum bahwa nonanya sudah tahu akan keadaannya yang tidak pandai silat, maka ia pun sengaja membuat gerakan takut-takut sehingga tampak lucu.

Pedang itu meluncur dan berhenti tepat setelah menyentuh kulit leher Yu Lee! Dari situ saja para ahli yang hadir di situ maklum bahwa Sian li Eng cu benar benar seorang ahli pedang yang hebat! Karena pandainya Yu Lee bersandiwara. Siok Lan berlaku hati-hati sekali agar pedangnya jangan sampai melukai pelayannya, maka ia tadi telah mengukur tenaganya dan tepat sekali pedangnya sudah terhenti ketika menyentuh kulit leher pelayan itu.

Dengan lagak dibuat buat Yu Lee lalu mengangkat tangannya, ditekuk jari jarinya seperti yang dilakukan Cui Hwa Hwa tadi, lalu perlahan lahan ia menggerakkan jari jarinya menjepit pedang. Ia sengaja membuat jari jarinya seperti tidak kuat dan takut-takut menghadapi mata pedang yang tajam, maka ia lalu menggunakan pula tangan kirinya membantu, barulah jari jari kedua tangannya dapat menjepit pedang dan diangkatnya ke atas.

“Inilah jurus Kucing Hitam Sambar Tikus…? Ciiiieet …ciiieeet…!” kata Yu Lee sambil berjingkrak jingkrak dan berputaran di lapangan itu menjinjing pedang.

Sorak sorai meledak menyaksikan pertunjukan yang lucu ini. Apalagi Abouw, dia sampai hampir terjungkal dari bangku yang didudukinya saking terpingkal pingkal, kemudian ia bangkit dan menghampiri Yu Lee, menjura sampai dalam dan berkata mengacungkan jempolnya.

“Wahh, siapa kira, nona telah memberi pelajaran begini hebat. Siapa duga saudara Aliok ini ternyata seorang pandekar yang hebat! Ha ha ha!”

Yu Lee mengembalikan pedangnya kepada Siok Lan yang menyimpannya, kemudian berkata kepada Ahouw. “Engkau sendiri, sudah dipilih menjadi tukang perahu Sian li Eng cu, tentulah bukan orang sembarangan pula. Ini aku ketahui benar!”

Pada saat itu, suara ketawa mereda dan terdengar bentakan nyaring. Inilah suara Cui Hwa Hwa yang menjadi marah bukan main. Wanita ini tak dapat menahan kemarahannya lagi sampai hampir meledak rasa dadanya.

“Keparat laknat! Berani kalian memandang rendah kepada nyonya besarmu? Kalau kalian sudah bosan hidup, hayo maju. Baik nona majikannya, maupun pelayannya, apa lagi tukang perahunya semua akan kupatahkan batang lehernya satu persatu! Kalau tidak bisa, jangan sebut namaku Cui Hwa Hwa lagi!” Wanita itu menghadapi Siok Lan bertiga sambil bertolak pinggang, matanya seakan akan membakar mereka bertiga.

“Nah, paman Abouw. Kau ditantang orang! Beranikah?”

“Aku...aku…!” Tentu saja Abouw tidak berani dan mukanya pucat matanya terbelalak, kedua kakinya menggigil. Di sana sini sudah terdengar orang tertawa Cui Hwa Hwa tersenyum mengejek dan memandang rendah sekali.

Akan tetapi Yu Lee sudah mendapat akal. Ia menghadapi wanita itu dan bertanya, “Kau tadi benar benar menantang kami? Termasuk paman Abouw tukang perahu iui?”

“Betul. Bujang hina dina!”

“Aduh aku… aku…!”

“Tahan, paman Abouw mengapa begitu merendahkan diri? Aku tahu bahwa dalam mengadu kepandaian, kau jauh lebih menang dari pada Toanio ini, kenapa kau pura pura khawatir?” Sebelum sempat Abouw membantah. Yu Lee berkedip kepadanya lalu bertanya lagi kepada Cui Hwa Hwa, “Cui Toanio, di sini banyak saksi. Benarkah kau berani menantang paman Abouw untuk mengadu kepandaian? Siapa yang kalah harus lekas lekas angkat kaki dari sini? Beranikah Kau?”

“Boleh! Suruh dia maju akan kupatahkan batang lehernya!”

Yu Lee lalu menghampiri Abouw yang masih gemetaran, lalu mendekatkan mulut di telinga tukang perahu itu beibisik bisik. Seketika cerah wajah Abouw dan sambil mengangkat dada, ia melangkah maju menghampiri Cui Hwa Hwa. Akan tetapi betapapun juga masih tampak jelas kedua kakinya menggigil sehingga keadaan yang lucu ini membuat semua orang tertawa geli.

Hanya Huang ho Sam liong yang memandang marah karena mereka sendiri merasa terhina olen pelayan pelayan Sian li Eng cu yang menganggap tempat itu sebagai panggung sandiwara di mana mereka boleh membadut seenaknya!

“Toanio!” kata si tukang perahu dengan suara lantang. “Seorang gagah tidak akan menjilat ludahnya sendiri. Betul?”

“Betul!” bentak Cui Hwa Hwa dengan keras sehingga tukang perahu itu kelihatan kaget. “Kau menantang aku Abouw untuk mengadu kepandaian. Betul?”

“Betul. Mulailah!” bentak lagi Cui Hwa Hwa yang sudah mengepal tinju gatal gatal kedua tangannya untuk mematahkan leher tukang perahu.

“Dan aku yang akan menentukan apa macam pertandingan. Betul?”

“Betul dan boleh kau pilih. Tangan kosong atau bersenjata!”

Tukang perahu itu mengangkat alisnya. “Siapa bilang tentang tangan kosong? Siapa bilang pula bersenjata? Tentu saja dua macam pertandingan kan, Toanio! Pertama dengan tangan kosong, kedua dengan senjata!”

“Baik, awaslah serangan tangan kos….!”

“Heeeeiiit….! Stop dulu!” Si tukang perahu cepat mundur ketakutan. “Toanio, mengapa kau begini ceroboh? Aku belum menyatakan cara dan pilihanku kau sudah buru-buru saja. Bernafsu sekali kau agaknya! Yang kumaksudkan dengan tangan kosong bukan sekali kali untuk memukul orang! Toanio jangan curang!” Saking takutnya kalau-kalau ia dipukul Abouw mundur mundur seperti orang hendak melarikan diri. Akan tetapi punggung nya di dorong maju dari belakang oleh Yu Lee yang berkata mengejek.

“Abouw, jangang takut, banyak saksi hidup di tempat ini. Kau harus memberi kuliah kepada Toanio itu, agaknya Toanio itu mengira bahwa Tuhan menciptakan manusia diberi tangan hanya untuk memukul orang!”

“Manuia manusia pengecut!” Cui Hwa Hwa sudah memaki lagi, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan menudingkan telunjuk ke arah muka Abouw. “Kalau memang tidak berani, mundur saja dan biarkan nonamu yang maju! Mulutmu yang buruk tadi menantang dengan tangan kosong, kemudian dengan senjata! Apakah engkau hendak menjilat ludah sendiri?”

“Sama sekali tidak Toanio. Aku tetap dengan tantanganku kepadamu. Pertama dengan tangan kosong, kita berdua boleh mengadu kepandaian, terjun ke sungai dan menangkap ikan dengan tangan kosong siapa lebih cepat dapat menangkap ikan, dia menang! Nah siapa bilang peraturan ini tidak adil? Dan kedua dengan senjata dayung, kita berlomba memutari sungai melawan arus. Kalau aku kalah aku akan paykui (berlutut menyembah) sampai dua puluh tujuh kali di depan Toanio!”

Semua orang tercengang mendengar ini kemudian meledak suara tawa mereka. Cui Hwa Hwa makin hitam mukanya dan ia membanting banting kakinya “Bedebah! Siapa sudi main main dengan engkau?” Kalau tidak ada kepandaian hayo menggelinding pergi, atau… hemm, kuhancurkan kepalamu!”

Melihat wanita itu sudah gatal tangan hendak menerjang maju Yu Lee khawatir dan cepat ia melangkah maju. “Eh, eh, Cui Toanio sebagai seorang pendekar wanita yang besar, benar benarkah tidak malu untuk memukul orang yang tak bersalah? Apalagi orang yang tidak melawan? Toanio sendiri yang salah sebaliknya paman Abouw ini benar seratus prosen! Dia tadi menantang Toanio mengadu kepandaian bukan?

"Nah berenang menangkap ikan dan mendayung perahu tentu saja merupakan kepandaiannya, kepandaian seorang tukang perahu! Masa ia diharuskan mengadu pukulan? Dia bukan tukang pukul! Kalau memang Toanio tidak berani menghadapi tantangannya, bilang saja terus terang dan mengaku kalah, itu baru sikap orang gagah. Kalau memang merasa kalah lalu hendak meggunakan kekerasan dan memukul, itu namanya sewenang wenang seperti perbuatan tukang pukul bayaran yang kasar!”

Setelah berkata demikian Yu Lee memandang ke arah ruangan tamu dan bertanya,” Cuwi eng hiong sekalian yang mulia, kalau perkataan saya tadi ada yang keliru, harap betulkan!”

Semua tamu menjadi geli dan juga kagum akan kelihaian mulut pelayan Sian-li Eng-cu ini. Jarang ada orang berani main-main terhadap Cui Hwa Hwa, akan tetapi sekali ini nyonya yang galak itu dipermainkan dan terpojok dalam keadaan serba salah! Maka mereka lalu berteriak, “Betul…betul…!”

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.