Pendekar Cengeng Jilid 09

Cerita Silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar Cengeng Jilid 09
Sonny Ogawa

Pendekar Cengeng Jilid 09

MATA Cui Hwa Hwa sampai menjadi merah. Wanita ini tidak tahu agakah ia harus menangis atau tertawa. Ingin ia sekali pukul menghancurkan kepala pelayan ini, akan tetapi kalau ia melakukan hal ini tentulah namanya akan menjadi tercemar sebagai seorang pejuang yang gagah. Ia menggertak gigi lalu berkata,

Pendekar Cengeng karya Kho Ping Hoo

“Biarlah aku mengaku kalah terhadap tukang perahu. Akan tetapi sekarang menantang engkau pelayan hina dina! Aku memaki engkau sebagai pengecut rendah, seorang penakut yang hanya berlindung kepada lidah tak bertulang! Engkau laki-laki tidak berhanga, hayo aku tantang kepadamu untuk bertandirig mengadu ilmu silat....”

“Boleh! Dengan tangan kosong!” Yu Lee cepat cepat menyambung dengan sikap petentang petenteng seperti lagak seorang jagoan besar, mengangkat dada menggoyang kibul. “Memang lidahku tidak bertulang seperti lidah semua orang, akan tetapi agaknya lidahmu bertulang Toanio. Pantas saja begitu tegang dan kaku, suka memaki orang. Memang aku tidak berhanga, tidak ada hanganya. Kalau engkau berhanga berapakah Toanio? Tentu tidak mahal karena bekas bopeng itu…”

“Aliok!” Siok Lan berseru dan melancat dekat pelayannya.

Sementara itu, dengan alis berdiri Cui Hwa Hwa seperti hendak menelan pelayan itu dengan pandang matanya, sedangkan para tamu menjadi tegang. Ucapan ucapan pelayan itu benar benar amat menghina dan mereka kini akan maklum bahwa tentu Cui Hwa Hwa hari ini akan melakukan pembunuhan!

“Mundurlah Aliok, biarkan aku menghadapinya,” kata Siok Lan suaranya penuh kekhawatiran.

Melihat sikap dan mendengar suara nona ini, jantung Yu Lee berdebar tidak karuan saking girangnya. Benarkah ini? Benarkah nona ini begini mengkhawatirkan keselamatannya? Adakah ini tanda tanda bahwa nona yang dipuja di dalam hatinya ini diam diam…. ada rasa suka kepadanya?

“Harap nona jangan khawatir,” bisiknya, “biarpun saya tidak pandai Silat akan tetapi pandai mengelak dengan akal. Nanti setelah saya memberi hajaran, baru nona….”

“Kau...? Memberi hajaran....?” Siok Lan bertanya dengan mata terbelalak, agaknya takut kalau kalau pelayannya telah menjadi miring otaknya. Ia tahu bahwa Cui Hwa Hwa lihai sekali, sedangkan dia sendiri belum tentu akan mendapat kemenangan kalau melawan wanita itu, apalagi Aliok yang tidak pandai silat! Tentu dalam segebrakan saja Aliok akan terpukul sampai mati.

Aliok tertawa dan sengaja mengeraskan suaranya, “Nona, toanio ini mengingatkan saya akan bibi Bhu saya di dusun. Bibi saya itu pantatnya amat besar dan juga seringkali bibi yang gemuk itu mengejar dan hendak memukuli saya! Hal ini membuat saya menjadi pembenci pantat besar dan selalu ingin memukul kalau melihat orang yang berpinggul besar seperti toanio ini.”

“Aliok…!” Siok Lan khawatir sekali.

Akan tetapi pada saat itu. Cui Hwa Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Serasa hendak meledak kepala dan dadanya yang terasa panas, apalagi mendengar betapa para tamu berusaha keras membendung suara ketawa yang hendak terbahak keluar. “Hayo yang mana ini yang akan maju? Nona majikannya ataukah pelayannya? Jangan kasak kusuk separti sepasang kekasih di sini!”

Mendengar ejekan ini, merah muka Siok Lan dan terpaksa ia mundur karena maklum bahwa percuma saja ia membujuk Aliok. Akan tetapi Siok Lan tidak lagi duduk. Tak dapat ia duduk enak menyaksikan betapa pelayannya teraneam maut. Ia sudah siap siap untuk menggunakan jarum peraknya menyelamatkan nywa pelayannya kalau teraneam nanti. Begitu Siok Lan mundur, Cui Hwa Hwa sudah menerjang maju.

“Eeeeiit… eeeiit… jangan curang!” kata Yu Lee sambil mundur mundur.

Karena takut dikatakan curang, Cui Hwa Hwa menunda serangannya. “Curang apa? Kau hendak lari? Tidak mungkin, bujang hina. Kali ini engkau harus mampus, tidak peduli siapa yang akan kehilangan pelayan tampan!” Kembali wanita yang galak itu mengejek Siok Lan.

“Boleh boleh, mau bikin mampus aku, boleh saja. Akan tetapi pertandingan ini harus diatur sebaiknya. Bukankah kita semua ini tengolong orang-orang gagah dan kalian ini pejuang pejuang? Apakah kau hendak membikin malu Huang-ho Sam-liong sebagai tuan rumah?”

“Sudahlah, kayo katakan apa kehendakmu jangan terlalu cerewet!”

“Begini, toanio, kita boleh bertandirig mengadu ilmu kepandaian…“

“Ilmu kepandaian silat!” sambung Cui Hwa Hwa yang sudah kapok tidak mau ditipu lagi.

Yu Lee tersenyum lebar. “Aku tidak bisa silat bagaimana mungkin mengadu ilmu silat? Sekarang begini saja. Toanio tadi bilang mau membunuh aku, boleh. Aku sih tidak begitu kejam seperti toanio yang sudah haus. Aku hanya ingin satu kali menampar…. pinggul yang besar itu. Kalau sampai dapat kutampar, berarti aku menang. Sebaliknya, kalau sampai Toanio berhasil membunuhku, sudah tentu saja aku mengaku kalah....? Eh, tentu saja kalau aku masih mampu mengaku, kalau sudah mati, mana mungkin mengaku….? Wah, aku jadi bingung…”

Para tamu sudah tertawa lagi dan suara ketawa ini merupakan minyak pembakar yang memperbesar api kemurahan Cui Hwa Hwa. “Baik! Nah, kita mulai…!” ia menerjang maju dengan amat ganasnya memukul bertubi tubi dengan kedua tangan yang mengandung hawa sakti sehingga setiap pukulan merupakan maut, disusul tendangan mengarah bagian bagian berbahaya.

“Ayaaaaa….!!” Yu Lee membuat gerakan kacau balau seperti seekor kera ketakutan menghadapi ancaman pukulan. Ia berlancatan mundur, mengangkat kedua tangan ke atas, dan terus berlancatan, akhirnya ia lari lari berputaran di tempat itu!

Tentu saja Cui Hwa Hwa tidak mau bersikap gila gilaan seperti pemuda itu. Ia mengejar dengan langkah langkah teratur, langkah langkah diseret sehingga terdengar jejaknya, “Sett…. Sett…. sett....!” Terus mengikuti Yu Lee sambil kadang-kadang ia melancarkan satu dua pukulan.

Biarpun wanita ini memandang rendah, namun ia bukanlah seorang bodoh. Seorang pelayan pendekar wanita yang sudah berani bersikap seperti itu tak mungkin kalau tidak memiliki kepandaian ilmu silat, demikian pikirnya, maka ia tidak mau berlaku sembrono.

Siok Lan mungkin merupakan orang yang paling gelisah menyaksikan pelayannya berlari larian seperti itu. “Aliok! Kau mengaku kalah saja, biar aku menggantikanmu!” Ia berseru.

Yu Lee merasa kasihan kepada Siok Lan. Betapa tersiksanya hati gadis itu, pikirnya bangga. “Nanti dulu nona, biarkan aku menggaplok pantatnya dulu!” Ia berkata.

Pada saat ini Cui Hwa Hwa datang memukul. Semua orang, termasuk Siok Lan menjadi pucat karena pukulan tangan kanan wanita itu amat cepat datangnya. Seorang lawan yang pandai ilmul siat sekalipun akan sukar menghindarkan diri dari pukulan seperti itu, apalagi seorang yang tidak pandai silat seperti Aliok!

Pukulan itu cepat menyambar ke arah dada Yu Lee. Pemuda ini maklum bahwa kalau ia tidak cepat cepat mengakhiri pertandingan ini tentu rahasianya akan terbuka, maka ia sengaja seperti tidak tahu akan datangnya pukulan ini.

“Aliok, awas….!” teriak Siok Lan.

Namun terlambat, biarpun Aliok yang bingung itu menggerakan tubuh, tetap saja pukulan menyambar pundaknya. Tubuh Aliok terbanting ke atas tanah, bergulingan dan secara aneh tubuh itu terguling ke belakang Cui Hwa Hwa yang sudah kegirangan dan mengira bahwa pukulannya tentu akan menewaskan pelayan kurang ajar itu.

Dan sebelum ada yang tahu apa terjadi, juga Cui Hwa Hwa sendiri tidak tahu mengapa kedua kakinya tiba-tiba tak dapat digerakkan. Aliok sudah merangkak bangun, lalu tangan kanannya, diayun menampar pinggul Cui Hwa Hwa yang memang besar seperti membengkak itu.

“Pakkkk….!”

Karena tempat itu agak kering sehingga tadi ada debu mengebul ketika tangan Yu Lee yang terbuka itu menghantam daging pinggul, tampak debu menyembul di baju yang menutupi pinggul, Yu Lee berjingkrak dan mengangkat tangan kanannya ke atas sambil berseru nyaring.

“Waaahhh... panas….!!” Kemudian ia menari-nari dan bersorak, “Aku menang….!”

Cui Hwa Hwa berusaha untuk menggerakkan kedua kakinya, namun tetap tidak dapat digerakkan. Yu Lee yang menari sengaja mendekatinya dan menyentuh punggungnya tiga kali dengan gerakan yang cepatnya tak dapat terlihat orang lain sambil berkata, “Cui Toanio kau harus mau mengaku kalah…!”

Cui Hwa Hwa yang seketika dapat bergerak kembali, tak dapat menahan kemarahannya. Ia mengira bahwa tentu Sian-li Eng-cu yang diam-diam secara rahasia membantu pelayan nya, maka kini ia mendelik dan mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar hijau “Aku Cui Hwa Hwa menantang Sian-li Eng-cu!” bentaknya nyaring.

Yu Lee pura pura ketakutan dan lari mendekati nonanya. “Waduh, dia galak sekali nona. Kau hati-hatilah!”

Siok Lan tadi melongo ketika tadi menyaksikan betapa secara aneh pelayannya berhasil benar-benar menampar pinggul wanita itu dan pukulan yang mengenai pundaknya tidak menewaskannya. “Aliok, kau terpukul tadi…. Tidak apa-apakah?“

“Tidak nona!” jawab Yu Lee dengan suara keras disengaja. “Pukulannya lunak seperti tahu. Harap nona suka balaskan dengan goreskan pedang nona pada pinggulnya!”

Siok Lan tidak melayani kelakar pelayannya karena ia sendiri merasa tegang, Cui Hwa Hwa sudah mencabut pedang, sudah menantangnya. Tak dapat ia menghindarkan pertandingan yang tentu akan terjadi seru dan mati matian karena ia tahu lelihaian lawannya.

“Cui Hwa Hwa, berkali-kali engkau sengaja menghinaku, sikapmu sungguh tidak patut menjadi sikap seorang yang mengaku gagah dan pejuang. Sepatutnya engkau dilayani pelayanku dan tukang perahu, bahkan ternyata menghadapi kedua orang pembantu itupun kau sudah kalah. Sekarang engkau menantangku, sungguh tak tahu diri!” kata Siok Lan. Sikapnya angkuh seperti sikap seorang tingkat atasan terhadap orang yang lebih rendah.

“Tak usah banyak cakap, lihat pedang!” bentak Cui Hwa Hwa dan segulung sinar hijau menyambar ke arah dada Siok Lan. Gerakannya cepat dan kuat.

Namun tidaklah secepat yang disangka Siok Lan sehingga nona ini dengan mudahnya miringkan tubuh mengelak sambil menggerakkan pedang peraknya menangkis. Terdengar suara nyaring dan pedang hijau di tangan Cui Hwa Hwa terpukul miring. Kejadian ini kembali tidak disangka sangka oleh Siok Lan dan tentu saja ia menjadi girang mendapat kenyataan bahwa lawannya ini tidaklah selihai yang ia sangka, bahkan ia yakin bahwa dia lebih cepat dan lebih kuat.

Di lain fihak, Cui Hwa Hwa terkejut setengah mati. Bukan karena Sian-li Eng-cu itu memiliki tenaga yang lebih kuat, sama sekali bukan. Ia tadi sudah merasa yakin bahwa ia akan dapat mengatasi kepandaian gadis remaja ini. Akan tetapi begitu ia menggerakkan pedangnya terasa betapa punggungaya, dari bawah sampai ke tengkuk, panas dan nyeri seperti ditusuk.

Hal inilah yang membuat gerakannya terlambat dan tenaganya berkurang banyak sekali. Dia sendiri tidak mengerti mengapa begini, karena sebagai seorang ahli silat tinggi, keadaan seperti yang dideritanya itu hanya berarti bahwa ia mengalami luka dalam yang perlu cepat diobati. Bagaimana ia sampai dapat terluka?

Ia tidak mengerti sama sekali dan karena keheranan dan keraguan ini, maka ilmu silat nya menjadi makin kacau Apalagi pada saat itu, Siok Lan sudah berseru nyaring dan membalasnya dengan serangan serangan hebat sekali. Terpaksa ia menggunakan pedangnya menangkis dan melindungi diri sedapat mungkin.

Yang mengerti akan hal ini tentu saja hanya Yu Lee. Pemuda ini berdiri dengan tenang tersenyum senyum karena yakin bahwa Siok Lan tidak akan terancam bahaya lagi. Tidak percuma tadi ia menggunakan kesaktiannya, menotok dengan sentuhan sebanyak tiga kali di punggung Cui Hwa Hwa ketika menari-nari kegirangan.

Ia sengaja meonotok untuk menutup jalan hawa sakti sehingga kecepatan dan tenaga wanita itu lenyap setengahnya lebih! Hal itu akan diderita Cui Hwa Hwa selama kurang lebih tiga jam serta tak perlu diobati, dalam waktu tiga jam akan lenyap sendiri pengaruhnya.

Ilmu pedang Siok Lan adalah ilmu pedang Kun lun kiam sut yang gerakannya cepat sekali, dsamping amat indah dipandang. Apalagi karena dara remaja ini memainkan sebatang pedang perak, maka pedang itu berubah menjadi sinar putih berkilauan yang bengulung gulung menyelimuti tubuh lawan.

Di lain fihak sinar pedang hijau menjadi terdesak dan makin sempit gerakannya. Kurang lebih tiga puluh jurus kemudian, Cui Hwa Hwa tidak dapat menahan lagi. Makin cepat ia bergerak, makin besar tenaga ia kerahkan makin sakit punggungnya sehingga ia hampir hampir menangis dan pada saat yang amat baik itu, Siok Lan menendang, tepat mengenai pergelangan tangan kanannya yang memegang pedang.

Pedang hijau terlepas dan secepat kilat Siok Lan melesat ke depan, pedangnya bergerak dan terdengar Cui Hwa Hwa menjerit menyusul kain robek. Ketika Siok Lan meloncat mundur sambil tersenyum dan semua orang memandang, kiranya baju yang menutup pinggul terobek lebar dan pada bukit pinggul yang kiri terdapat goresan merah bekas ujung pedang Siok Lan! Kulit pinggul yang menonjol besar dan putih itu terluka!

Cui Hwa Hwa hampir menangis saking malunya. Ia menggunakan tangan mencoba menutupi pinggul yang tampak ini, namun karena robeknya terlalu besar, tetap saja bukit pinggul kiri yang menonjol amat besarnya itu tampak. Tersipu-sipu ia menyambar pedangnya yang terlepas tadi, lalu tanpa berkala sesuatu ia melompat dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu!

Yu Lee melangkah maju dan dengan suara lantang ia berkata, “Saya harap cuwi sekalian yang gagah perkasa tidak lagi mengganggu nona majikanku! Sudah jelas bahwa biarpun nona majikanku berkali kali dihina oleh Cui Toanio, namun nonaku masih mengampuninya.

"Hal ini saja membuktikan bahwa nonaku bukan mencari permusuhan dengan siapapun juga. Memang nonaku telah bentrok dengan beberapa orang dari Ang kin Kai pang. Akan tetapi hal itu adalah karena kesalahan mereka sendiri yang mengganggu nonaku, minta sumbangan secara paksa.

"Karena itu, saya harap sukalah Huang-ho Sam-liong dapat berpemandangan luas, tidak memancing keributan yang hanya akan mendatangkan malapetaka bagi cuwi sekalian. Harap suka mempersilakan nonaku melanjutkan perjalanan dengan aman.”

Siok Lan berdiri sampai bengong ketika, menyaksikan sikap dan mendengarkan ucapan pelayannya ini, sikap dan ucapan yang amat teratur serta berpengaruh. Ah, tidak percuma menjadi bekas pelayan keluarga si Dewa Pedang Yu Kiam sian, pikirnya bangga. Dan sekarang menjadi pelayannya.

Memang ucapan Yu Lee tadi besar pengaruhnya apalagi karena Huang ho Sam liong dan para tamu tadi sudah gentar menyaksikan kelihaian Sian li Eng cu. Mereka semua mengenal siapa Cui Hwa Hwa, dan boleh di bilang di antara mereka yang berkumpul di situ, Cui Hwa Hwa termasuk orang yang tingkat kepandaiannya paling tinggi.

Namun, terbukti wanita perkasa itu mati kutunya menghadapi Sian li Eng cu! Apalagi kalau mereka ingat bahwa Sian li Eng cu adalah cucu Thian te Sin kiam Liem Kwat Ek yang sama sekali tidak boleh dianggap sebagai musuh golongan, mereka menjadi lebih segan. Ditambah ucapan pelayan si nona yang cukup cengli, hati mereka makin tunduk.

“Maaf, maaf…!” kata Ie Cu Lin si alis putih sambil menjura ke arah Siok Lan. “Memang bukan maksud kami untuk memusuhi nona Liem. Hanya karena mendengar bahwa nona telah merobohkan beberapa orang sahabat dari Ang kin Kai pang maka kami menjadi penasaran dan ingin membuktikan kelihaian Sian li Eng cu.

"Kini telah terbukti dan memang nona amat lihai, membuat kami jadi kagum. Kamipun percaya bahwa nona tidak memusuhi Ang kin Kai pang, apalagi memusuhi golongan kami yang menentang penindasan pemerintah penjajah Mongol.

"Mengingat akan perjuangan Thian te Sin kiam yang gagah perkasa, nona sebagai cucunya tentu berjiwa patriot pula. Oleh karena itu, biarlah dalam kesempatan ini kami mengharap dan mengundang nona, sudilah membantu perjuangan kami membela rakyat tertindas.”

Liem Siok Lan adalah seorang gadis yang tabah dan lincah jenaka, akan tetapi sebagai keturunan pendekar besar, iapun dapat bersikap sebagai seorang pendekar. Kini menyaksikan sikap Huang ho Sam liong dan para tamu, iapun cepat menjura dan berkata, suaranya gagah,

“Terima kasih atas pengertian lo-enghiong. Saya dapat menghargai perjuangan cuwi (tuan sekalian) dan saya menjunjung tinggi cita cita mulia itu. Mungkin kelak kalau sudah tiba waktunya, saya sendiripun tidak akan mendiamkan segala penindasan yang diderita rakyat. Bahkan sekarangpun, setiap kali melihat penindasan, tentu saja berdaya upaya sekuat mungkin untuk turun tangan. Akan tetapi untuk berjuang langsung bersama cuwi pada waktu ini saya belum mempunyai kesempatan karena saya ada tugas lain urusan pribadi yang amat penting. Oleh karena itu, harap suka maafkan.”

Ie Cu Lin mengangguk angguk, kemudian berkata, “Baiklah, kami dapat menghargai urusan pribadi seseorang. Kami persilakan kalau nona hendak melanjutkan perjalanan, hanya kami peringatkan agar nona tidak melanjutkan perjalanan melalui sungai karena belasan li di sebelah depan terdapat pasukan pemerintah yang amat kuat, ratusan orang jumlahnya, menjaga di sekitar tepi sungai.

"Amatlah berbahaya kalau nona melanjutkan pelayaran dan juga untuk itulah sebetulnya kami menghentikan nona di sini. Mulai dari sini, sebaiknya nona mengambil jalan memutar melalui darat, dan untuk itu kami menyediakan dua ekor kuda, harap nona sudi menerimanya dengan baik!”

Kepala bajak itu memberi tanda, anak buah nya sebanyak dua orang datang menuntun dua ekor kuda besar besar dengan perbekalan lengkap, Siok Lan yang berwatak angkuh merasa sungkan menerima hadiah ini, akan tetapi Yu Lee yang tahu akan pentingnya kuda tunggangan melalui daerah gawat itu, cepat maju mendahuluinya menyambut dua ekor kuda sebagai layaknya seorang pelayan sambil berkata,

“Aduh, kuda bagus! Twa ongya (sebutan kepala bajak) sungguh baik hati, nonaku tentu berterima kasih sekali!”

Siok Lan mengerling tajam ke arah pelayannya, akan tetapi karena pelayannya sudah terlanjur menerima ia lalu mengangkat kedua tangan menghaturkan terima kasih “Terima kasih dan saya harap cuwi sekalian suka membiarkan tukang perahuku kembali dengan aman. Sekarang saya mohon diri, selamat tinggal!”

Dengan gerakan ringan sekali Siok Lan melancat naik ke punggung seekor kuda yang disediakan, kemudian mengangguk lagi dan membedal kudanya meninggalkan tempat itu.

“Eh, nona… tunggu saya…!” Yu Lee berteriak dan dengan susah payah “memanjat” naik kepunggung kuda ke dua.

Abouw memegang lengannya, “Sahabat Aliok yang baik, selamat jalan.”

“Selamat tinggal, paman Abouw!”

“Eh, ada satu hal saya ingin sekali tahu.”

“Apa itu?“

“Mengapa engkau begitu membenci pinggul besar?“

Yu Lee mengangkat alis membelalakkan mata, lalu tak tahan lagi ia tertawa bergelak sampai kudanya menjadi kaget. Tanpa disadari, Yu Lee menggunakan tenaga di dalam ketawanya sehingga bukan saja kudanya yang kaget, juga Huang-ho Sam liong dan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian menjadi heran dan kaget sekali. Mereka merasai getaran tenaga khikang yang dahsyat dalam suara ketawa itu.

“Satu lagi… sahabat Aliok…..“

“Apa lagi?“ Yu Lee menahan kendali kuda, ingin cepat cepat pergi karena tadi tanpa disadari ia telah membuka rahasianya.

“Apakah engkau... benar benar seorang pelayan tulen….?“

Pertanyaan ini agaknya berkenan di hati semua orang sehingga mereka semua mendengarkan penuh perhatian. Yu Lee tersenyum dan berkata. “Tentu saja!” Lalu ia membedal kudanya membalap dan mengejar Siok Lan yang sudah melarikan kudanya jauh di depan.


“Suci (kakak perempuan seperguruan) kita mengaso di sini dulu, sinar matahari teriknya bukan main!” kata seorang pemuda tampan sekali kepada seorang gadis cantik ketika mereka berdua memasuki sebuah hutan kecil, pemuda itu usianya paling banyak sembilan belas tahun, ganteng dan tampan sekali, juga gagah karena gerak geriknya gesit, sikapnya tabah dan gagang sepasang pedang tampak di punggungnya.

Adapun gadis itu yang usianya satu dua tahun lebih tua, cantik jelita dan sikapnya tenang, namun membayangkan kegagahan. Pakaiannya serba hijau dan di pinggangnya tengantung sebatang pedang panjang.

“Baiklah sumoi” jawab si gadis.

Kalau ada orang mendengar jawaban ini tentu dia akan terkejut dan heran. Bagaimana seorang pemuda disebut sumoi (adik perempuan seperguruan)? Akan tetapi kalau orang itu memandang “si pemuda” dengan teliti, maka ia akan sadar bahwa pemuda itu sesungguhnya adalah seorang gadis juga.

Kulituya begitu halus makanya begitu tampan sehingga mendekati cantik, tubuhnya juga lunak halus tidak ada tanda tanda kaku seperti terdapat pada tubuh pria. Yang membuat orang akan percaya dia pria adalah sikspnya yang begitu wajar dalam pakaian pria.

Memang sesungguhnyalah. “Pemuda” itu bukan lain adalah Tan Li Ceng, murid perempuan Tho tee kong Liong Losu yang semenjak kecil selalu berpakaian seperti pria, dan setelah dewasa masih suka berpakaian pria, apalagi sebagai seorang pendekar, pakaian ini lebih memberi keleluasaan dan kebebasan padanya, menjauhkan hal-hal tidak enak yang selalu mengganggu wanita di perjalanan, apa lagi wanita muda remaja dan cantik jelita!

Adapun gadis cantik yang disebut suci olehnya itu tentu saja adalah Lauw Ci Sian, karena memang murid Tho tee kong Liong Losu hanya ada dua orang inilah.

Telah diceritakan di bagian depan betapa kedua orang gadis perkasa ini bersama dengan murid murid Siauw bin mo Hap tojin secara kebetulan telah bekerja sama dengan Yu Lee si Pendekar Cengeng mengadakan penyerbuan di Istana Air tempat tinggal Hek siauw Kui bo dan muridnya, yaitu Si Dewi Suling atau Cui Siauw Sian-li Ma Ji Nio sehingga akhirnya Hek siauw Kui bo tewas di tangan Yu Lee dan anak buah nenek iblis itu dapat dibasmi.

Betapa kemudian guru mereka, Tho tee kong Liong Losu mengusulkan untuk menjodohkan dua orang muridnya ini dengan dua orang murid pria dari Siauw bin mo Hap Tojin yang merupakan pemuda pemuda gagah perkasa dan tampan.

Namun dua orang gadis ini menolak karena mereka merasa berat untuk dijodohkan dengan orang lain setelah mereka mengalami hal yang bagi mereka amat memalukan, yaitu bahwa mereka telah tertolong oleh Yu Lee dari padi ancaman bahaya ngeri dalam keadaan telanjang bulat!

Hal ini amat menggetarkan perasaan kedua orang dara ini yang menganggap bahwa tidak mungkin mereka dapat bersuamikan orang lain setelah Yu Lee melihat mereka dalam keadaan seperti itu!

Tan Li Ceng adalah puteri tunggal searang pemilik kedai obat di kota An keag, adapua Lauw Ci Sian adalah seorang gadis yatim piatu maka setelah tamat belajar dari guru mereka. Ci Sian ikut bersama sumoinya ke An keng. Tidak ada peristiwa penting tetjadi selama kurang lebih setahun, ketika Ci Sian tinggal bersama dengan sumoinya di rumah Li Ceng di An-keng itu, kemudian dua orang gadis ini mendengar akan sepak terjang Pendekar Cengeng yang menggemparkan dunia kangouw.

Selain ini juga mereka mendengar akan kekejaman penindasan yang dilakukan oleh pemerintah penjajah terhadap rakyat yang diharuskan bekerja paksa membuat saluran atau terusan. Betapa dalam kesempatan ini para pembesar menggunakan wewenang mereka dan kekuatan mereka untuk memancing di air keruh, melakukan pemerasan dan perampasan secara keji.

Tergeraklah hati dua orang gadis pendekar ini. Guru mereka, Tho tee kong Liong Losu dahulunya juga seorang pejuang besar, penentang pemerintah Goan (Mongol) maka sedikit banyak tentu saja guru ini menanamkan semangat kepahlawanan kepada dua orang muridnya.

Karena inilah maka Li Ceng dan sucinya Ci Sian lalu berangkat meninggalkan An keng dan pada hari itu mereka tiba di sebuah hutan. Mereka mempunyai tujuan ke Propinsi Kian su sebelah barat di mana saluran air dikerjakan untuk menyambung Sungai Yang ce dengan Sungai Huang ho.

Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu mereka telah berada di daerah lembah Yang ce bagian utara, dan dengan demikian mereka lelah memasuki wilayah tempat penjagaan para pasukan pemerintah yang ditempatkan di sekitar terusan, menjaga keamanan para pekerja paksa.

Di dalam hutan kecil itu mereka berdua duduk di bawah pohon besar, menanggalkan topi dan mengebut ngebut leher mengeringkan keringat. Dua orang gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak mereka memasuki hutan, banyak pasang mata mengikuti gerak gerik mereka mata yang memandang penuh gairah ke arah Ci Sian.

Pada saat itu, Ci Sian dan Li Ceng saling pandang penuh keheranan ketika tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Suara orang laki laki yang nyaring dan besar, bernyanyi dengan kata kata yang terdengar jelas dan agahnya tidak jauh dari tempat mereka beristirahat. Hanya Tuhan yang memilih Raja untuk memilih memimpin manusia. Seorang gagah akan setia selalu kepada Raja tanpa memandang bulu.

Mendengar nyanyian seperti itu, kakak beradik seperguruan ini saling pandang dengan kening berkerut. Sebagai murid murid seorang bekas pejuang seperti Tho tee-kong, tentu saja mereka sama sekali tidak dapat menyetujui pendapat yang dikemukakan dalam nyanyian itu.

Pada waktu itu, tanah air dijajah oleh bangsa Mongol, kerajaan bangsa sendiri dihancurkan dan yang masih ada disdutkan oleh pengaruh bangsa penjajah sehingga makin suram. Kalau semua orang gagah berpendirian seperti penyanyi itu maka tentu tidak akan ada perlawanan terhadap penjajah, dan hanya mengelus dada menganggap bahwa raja penjajah itu adalah pilihan “Tuhan”!

Sungguh merupakan nyanyian yang bagi dua orang dara perkasa itu dianggap nyanyian yang amat rendah dan juga berbahaya! Dengan sigapnya mereka lalu melompat bangun, lalu melangkah ke arah terdengarnya suara nyanyian. Tampaklah kini oleh mereka si penyanyi.

Seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan, berpakaian sebagai panglima atau perwira pengawal pemerintah kerajaan Goan, pakaian kebesaran yang terlindung sisik baja, pakaian perang yang mewah dan indah. Topi perwira ini dihias bulu indah pula.

Melihat ini, Tan Li Ceng menjadi gemas dan tanpa dapat dicegah lagi ia lalu berpantun suara dibesarkan seperti suara pria, “Seekor anjing yang diberi tulang akan menggoyang ekor menjilat tangan tanpa memperdulikan siapa pemberinya. Seorang gagah mempunya pendirian mulia lebih baik mati dari pada menjadi pengkhianat bangsa! Mengabdi raja penjajah menindas rakyat lebih hina dari pada anjing laknat”

Laki laki tinggi besar yang berpakaian perwira pengawal itu menjadi merah mukanya, matanya yang besar melotot ke arah Li Ceng dan terdengar membentak keras, “Serbu dan tangkap pemberontak!”

Li Ceng dan Ci Sian menggerakkan tangan dan mereka sudah mencabut pedang masing masing Li Ceng mencabut siang kiam (pedang sepasang) dan menyilangkan kedua pedang itu di depan dada, sedangkan Ci San mencabut pedang panjang yang dilonjorkan di depan mukanya.

Dua orang ini tidak tampak gentar, pada saat itu dari balik pohon pohon dan semak belukar bermunculan banyak sekali orang, yaitu pasukan penjaga yang bertugas menjaga di wilayah itu.

Tidak kurang dari tiga puluh orang perajurit mengepung dua orang gadis itu, dikepalai oleh laki laki yang bernyani tadi, yang kini tersenyum senyum memandang kepada Ci Sian, pandang matanya liar dan seperti hendak menelanjangi pakaian gadis itu.

“Nona yang cantik dan muda, sungguh sayang sekai kalian sampai ikut terbasmi dengan gerombolan pemberontak lain yang kami kejar-kejar. Lebih baik engkau menyerah dan menakluk, nona, dan aku Twi sin to (si Golok Besar Sakti) Kui Mo Yo yang menjamin bahwa engkau akan diampuni dan memperoleh kedudukan mulia. Kawanmu si mulut lancang inipun kalau engkau yang mintakan ampun, tidak akan kami bunuh asal dia nian membantu pekerjaan di saluran….”

“Anjing, pengkhianat bangsa, tak usah banyak cerewet!” Li Ceng memaki dan ia sudah menerjang maju, memutar sepasang pedangnya. Terdengar teriakan kesakitan dan dua orang pengepung yang paling dekat dengannya telah roboh mandi darah.

Ci Sian yang berdiri lebih dekat dengan perwira itu, tanpa banyak berkata lagi menerjang maju pula, pedangnya berkelebat cepat dan kuat, sinarnya menyilaukan mata. Mulailah dua orang kakak beradik seperguruan itu dikeroyok.

Ketika perwira yang bernama Kui Mo Yo tadi menangkis pedang Ci Sian dan terkejut oleh kenyataan bahwa nona cantik itu lihai sekali pedangnya dan kuat tenaganya sehingga tangkisan goloknya membuat ia terhuyung dan hampir melepaskan senjatanya, lenyaplah nafsu birahinya dan kini ia memberi aba aba untuk mengeroyok dan membunuh dua orang pemberontak ini!

Li Ceng dan Ci Sian boleh jadi adalah dua orang gadis perkasa yang memiliki ilmu silat tinggi dan merupakan dara dara muda yang sukar dicari tandingannya dan sukar pula dirobohkan. Akan tetapi kini mereka menghadapi pengeroyokan tiga puluh orang lebih pasukan penjaga kerajaan Goan yang terdiri dari orang-orang yang kuat dan liar, sudah biasa bertempur, dan dipimpin oleh Kui Mo Yo yang memiliki ilmu golok cukup lihai.

Betapapun dua orang dara perkasa iui mengamuk, namun mereka segera terkurung rapat dan terdesak hebat. Rapatnya pengurungan musuh, banyak nya senjata yang datang menyerbu, membuat mereka ini sukar sekali untuk mercurahkan perhatiannya merobohkan lawan, melainkan hampir semua perhatian harus ditujukan untuk melindungi tubuh sendiri dari pada ancaman puluhan batang senjata tajam yang datang bagaikan hujan itu.

Pasukan penjaga itu mengeroyok sambil bersorak hiruk pikuk, seperti sekumpulan pemburu mengepung dua ekor harimau betina. Namun di antara suara hiruk pikuk para pengeroyok itu, masih terdengar teriakan dan bentakan nyaring kedua orang gadis itu terutama sekali Li Ceng yang mengikuti setiap serangan balasan.

Setelah lewat seratus jurus dua orang gadis itu sudah berhasil robohkan masing masing empat orang pengeroyok lagi, akan tetapi mereka telah menjadi lelah dan pening, napas terengah engah dan tubuh basah oleh keringat. Melihat keedaan kedua orang lawan yang makin lemah ini Kui Mo Yo berkali kali mendesak anak buahnya untuk memperketat pengepungan.

“Ha ha ha, kiranya mereka berdua semua adalah wanita cantik! Hayo tangkap, siapa dapat menangkap mereka akan menerima hadiah besar. Kalau tidak bisa ditangkap hidup hidup boleh juga bunuh saja!”

Pengepungan makin kuat dan dalam suatu desakan hujan senjata Li Ceng terluka paha kirinya, sedangkan Ci Sian kena hantam pundak kirinya, dengan gagang tombak. Kedua orang gadis itu terluka, namun mereka menggertak gigi dan melawan terus.

“Ha ha ha... kedua orang nona manis, masih tidak mau menyerah?” Perwira itu tertawa mengejek, akan tetapi terdengar bentakan nyaring dan tubuh Li Ceng yang terkepung itu tiba-tiba menyambar dengan sebuah loncatan tinggi, langsung terjun menyerang Kui Mo Yo.

Perwira ini kaget dan berusaha menangkis dengan goloknya. Namun yang menyerangnya adalan sepasang pedang yang gerakannya susul menyusul. Ia berbasil menangkis pedang kiri, namun pedang kanan membabat lehernya! Kui Mo Yo cepat membuang diri ke samping.

“Haiiilt! Li Ceng melengking nyaring.

“Aduhhh….!” Kui Mo Yo menggulingkan tubuh dan terus bergulingan untuk menghindarkan serangan susulan. Anak buahnya sudah cepat cepat mengurung lagi gadis berpakaian pria yang lihai itu. Kui Mo Yo menyumpah-nyumpah, pundaknya terluka pedang, untung hanya daging di pangkal lengan saja yang terkupas sehingga darahnya bercucuran.

Setelah menempelkan obat dan dibalut, Kui Mo Yo menggunakan tangan kiri memegang goloknya, maju lagi untuk memimpin anak buahnya. “Bunuh mereka! Bunuh…!” bentaknya marah sekali.

“Bunuh mereka…! Bunuh anjing anjing Mongol…!”

Bentakan Kui Mo Yo tadi mendapat sambutan suara yang gemuruh dan muccullah orang-orang yang pakaiannya tidak keruan, compang camping bahkan ada yang bertelanjang dada, rata-rata mereka adalah laki laki yang tubuhnya kurus dan pucat, akan tetapi mereka itu dipimpin dua orang dua pemuda gagah perkasa dan tampan yang mengamuk bagaikan dua ekor naga.

Juga lima puluh orang laki-laki kurus pucat itu biarpun melihat gerak gerik mereka tidak dapat disebut sebagai ahli ahli pertempuran, namun ternyata mereka itu bertempur dengan semangat tinggi dan kenekadan yang luar biasa. Jelas bahwa kebencian mereka terhadap para penjaga Mongol ini meluap luap dan karena inilah maka cara mereka bertandirig amatlah dahsyat dan mengerikan.

“Jiwi siocia (nona berdua) jangan khawatir kami datang mrembantu!” teriak seorang diantara dua orang pemuda gagah yang memimpin penyerbuan pasukan laki laki kurus pucat itu.

Ci Sian dan Li Ceng segera mengenal dua orang pemuda itu. Biarpun dua orang pemuda tampan itu kini juga berpakaian tidak karuan kotor compang camping namun wajah Owyang Tek tetap tampan dan gagah perkasa, tubuh nya tetap tinggi besar kuat berbeda dengan pasukan yang dipimpinnya. Juga Gui Siong masih tampan sekali, dengan gerak gerik yang halus namun pedang di tangannya tidak kalah dahsyatnya dari pada pedang di tangan suhengnya.

Dua orang pemuda ini adalah murid murid terkasih Siauw bin mo Hap Tojin. Tentu saja hati kedua orang gadis yang sudah terluka dan tadinya tidak melihat harapan untuk dapat lolos dari kepungan itu menjadi girang sekali, bangkit kembali semangat mereka dan kini mereka mengamuk lebih hebat lagi.

Pertempuran kini menjadi berat sebelah. Mengalahkan dua orang gadis perkasa itu saja sudah amat sukar, apalagi kini ditambah dua orang pemuda yang tidak kalah lihainya daripada kedua orang nona itu, masih ada lagi pasukan sebanyak lima puluh orang yang bertempur tanpa memperdulikan keselamatan sendiri!

Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Kui Mo Yo dan pasukan penjaganya. Mereka itu roboh seorang demi seorang, dan Si Golok Sakti itu sendiripun akhirnya roboh mandi darah. Entah pedang siapa yang membunuhnya, namun setidaknya, di tubuhnya terdapat bekas tusukan dan bacokan pedang keempat orang muda perkasa itu!

Akhirnya pasukan laki-laki kurus pucat itu menghabiskan semua musuh, tidak ada seorangpun dapat meloloskan diri semua tewas dibawah hujan senjata orang-orang yang meluap luap kebenciannya.

“Jiwi terluka? Ah, sayang… kami agak terlambat datang…!” kata Gui Siong setelah dua pasang orang muda itu saling berhadapan, Ouwyang Tek yang tidak pandai bicara itu tanpa membuka mulut sudah mengeluarkan bungkusan obat luka dan kain pembalut, menyerahkan semua ini kepada Ci Sian yang menerimanya dengan mengangguk tanda terima kasih akan tetapi tanpa berkata kata pula itu.

Mulailah kedua orang gadis itu saling bantu mengobati dan membalut luka masing masing sambil bercakap cakap dengan kedua orang pemuda yang telah menolong mereka.

“Banyak terima kasih atas bantuan jiwi twako (kakak berdua)!” kata Li Ceng sederhana. Memang dalam soal bantu membantu melawan musuh dalam dunia pendekar merupakan hal biasa dan lumrah. “Akan tetapi bagaimana jiwi twako bisa tiba-tiba muncul di sini dan… siapakah mereka yang jiwi pimpin?”

Ouwyang Tek yang kini sudah tidak begitu sungkan dan malu lagi menghadapi dua orang gadis cantik jelita yang selama ini menjadi buah mimpi dan buah percakapan mereka berdua, menghela napas panjang dan berkata, “Kasihan mereka itu, menjadi korban kelaliman raja penjajah, menjadi buruh paksa….!”

Ci Sian memandang pemuda tinggi besar itu, terheran. “Mereka itu buruh yang disuruh bekerja paksa menggali terusan?“

Ouwyang Tek memandang gadis itu. Dua pasang mata melekat sejenak dan tiba-tiba muka pemuda tinggi besar itu menjadi merah, jantungnya berdebar dan ia tidak dapat bicara lagi, hanya dapat mengangguk angguk saja! Melihat keadaan suhengnya ini, Gui Siong yang sudah mengikuti setiap gerak gerik kakak sepenguruannya, lalu cepat menolongnya dan berkata,

“Betul, nona. Mereka ini adalah pekerja pekerja paksaan yang bekerja dalam neraka dunia, menggali terusan sampai mati!”

“Tapi… tapi bagaimana mereka dapat datang menolong kami? Dan bagaimana jiwi dapat memimpin mereka!” Ci Sian bertanya lagi.

“Nanti dulu, Gui twako (kakak Gui)!” Tan Li Ceng memotong cepat, “Sungguh tidak enak mendengar kalian berdua menyebut kami jiwi siocia. Apa perlunya nona nonaan terhadap kami? Guru kita saling bersahabat, karenanya di antara kita juga terdapat tali persahabatan. Mengapa bersikap sungkan seperti orang asing? Harap saja kalian suka menganggap kami sahabat sehingga tidak ada sikap sungkan seperti itu.”

Ouwyang Tek makin menunduk, akan tetapi wajah Gui Siong yang tampan berseri. “Terima kasih, Tan… siauw moi (adik). Sungguh merupakan kehormatan besar bagi kami.”

“Nah, sekarang kau ceritakanlah bagaimana mereka itu dapat lolos dan bagaimana kalian dapat memimpin mereka sehingga hari ini dapat menolong kami,” kata pula Li Ceng sambil tersenyum manis sehingga Gui Siong yang memandangnya tak dapat menahan diri lagi, menelan ludah.

Begitu manisnya gadis berpakaian pria di depannya ini! Kami mentaati pesan suhu agar membantu para orang-orang yang dijadikan kuli kuli paksa di sini. Sudah setengah tahun kami berkeliaran di daerah ini dan berkali kali kami mengacau para penjaga, membunuh mereka apabila ada kesempatan.

Akan tetapi, karena jumlah mereka amat banyak, kedudukan mereka terlalu kuat juga dengan jalan mengacau saja kami masih belum dapat meringankan beban para pekerja yang hidup seperti dalam neraka, maka kami lalu mengambil keputusan untuk menyamar dan masuk sebagai pekerja paksa.”

“Ahhh....!” Dua orang gadis itu berseru kaget dan memandang kagum.

“Hanya itu satu satunya jalan agar dapat berdekatan dengan mereka yang hidup dalam neraka dunia itu. Dan kami berusaha membangkitkan semangat mereka, membunuh banyak penjaga yang terlalu kejam terhadap para buruh kerja paksa, akhirnya, lima puluh orang lebih ini bertekad ikut dengan kami melarikan diri, membentak pasukan untuk melawan pemerintah penjajah yang membikin sengsara kehidupan rakyat.”

Dua orang gadis itu menjadi makin kagum. Kini pandangan mata mereka terhadap pasukan orang-orang kurus pucat itu berobah. Kiranya mereka itu adalah orang-orang yang telah mengalami penderitaan dan penghinaan sehingga hati mereka menjadi keras dan semangat mereka meluap. Padahal mereka semua itu bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian!

Kalau mereka yang hidup sebagai rakyat petani di dusun dusun kini telah menjadi pejuang penentang kerajaan penjajah, apakah orang-orang gagah di dunia kang ouw tinggal memeluk tangan saja. Sungguh memalukan. Li Ceng dan Ci Sian melihat betapa pasukan itu kini sedang melucuti pakaian.

Dan senjata mayat-mayat musuh untuk mereka pengunakan karena memang mereka amat membutuhkan pakaian sebagai pengganti pakaian mereka yang compang camping, dan senjata untuk melanjutkan perjuangan mereka mementang para penjaga yang kejam.

“Bagus sekali!” Berseru Tan Li Ceng dengan wajah gembira. “Kami berdua datang ke tempat inipun dengan tujuan yang sama, menentang kekejaman penjajah!”

“Kalau begitu...!” Kata Gui Siong gembira sambil memandang wajah Li Ceng penuh harap, akan tetapi tidak berani melanjutkan ucapannya.

“Kita sudah tiba di sini dan bertemu dengan pasukan pejuang. Kalau kalian masih membutuhkan pembantu….“ kata Ci Sian.

“Pembantu….?” Ouwyang Tek berseru keras dan nyaring.

“Jiwi… siauw moi memiliki ilmu kepandaian yang hebat, lebih dari kami. Mari kita berjuang bersama sampai dihentikannya kekejaman oleh penjajah!”

“Tepat sekali ucapan suheng!” Sorak Gui Siong. “Kita berempat memimpin pasukan pekerja paksa, bergerak dari luar dan di dalam dengan cara menyelundupkan pekerja untuk menghasut mereka yang masih takut melawan dan berada di dalam neraka itu. Hancurkan penjajah!” Gui Siong mengepal tinju ke atas.

“Hancurkan penjajah!” Ouwyang Tek, Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng mengikuti teriakan ini sambil mengacungkan tinju ke atas.

“Hancurkan penjajah!!” Suara gemuruh ini keluar dari mulut puluhan orang bekas pekerja itu yang amat gembira menyaksikan empat orang muda gagah perkasa itu meneriakkan suara yang sudah lama bengema di hati mereka.

Halaman 40 dan 41 tidak ada

Untuk menjadi seorang raja bijaksana seperti itu membutuhkan rasa cinta kasih yang mendalam kepada rakyat dan negaranya, terutama kepada rakyat kecil. Pemerintah Goan adalah pemerintah penjajah, kaisarnya pun seorang asing. Tentu saja andaikata ada perasaan kasih sayang di hatinya terhadap rakyat, maka bukanlah rakyat yang dijajahnya yang disayangya!

Kaisar kerajaan Goan kedua, yaitu Kubilai Khan, boleh jadi seorang kaisar yang besar dan pandai. Akan tetapi iapun tidak memperdulikan nasib rakyat jelata, rakyat kecil dan miskin. Bukan saja tidak memperdulikan, bahkan dia membutakan mata terhadap kenyataan betapa semua perintah perintahnya dilaksanakan oleh para penguasa dengan jalan memeras, menginjak, dan memperkuda rakyat jelata.

Perbuatan atau penyempurnaan saluran dan terusan yang dimaksudkan untuk memperlancar hubungan dari selatan ke utara, dilaksanakan secara keji. Rakyat dipaksa bekerja rodi dipaksa mengalami hidup seperti dalam neraka, kerja berat secara paksa kadang-kadang tanpa ransum dan sanpai mati di tempat kerja, dikubur begitu saja oleh teman teman senasib di tempat kerja, ada kalanya dicambuk sampai mati, disembelih oleh penjaga penjaga yang dikuasai nafsu amarah.

Yang laki-laki ditangkapi dari rumah disuruh kerja paksa, anak bini ditinggalkan dan anak atau bini yang muda dan yang cantik terjatuh ke tangan orang-orang kaya raya dan pejabat pejabat daerah yang rakus, sedikit sawah ladang terjatuh para tuan tuan tanah. Tidaklah mengherankan apabila banyak diantara rakyat yang sudah tidak dapat menahan kesengsaraan hatinya, memberontak.

Di sana sini muncul pemberontakan dan di sana sini muncul kekacauan kekacauan. Pemerintah Mongol (Goan) berusaha menggencet pemberontakan ini dengan kekerasan. Memang di banyak tempat mereka berhasil membasmi kaum pemberontak, namun mungkinkah membasmi rasa dendam dan benci dari hati rakyat?

Menguasai rakyat dengan jalan kekerasan merupakan langkah pertama yang sesat dan keliru bagi sebuah pemerintah, karena hal ini akan menanamkan bibit kebencian dan dendam. Dan betapa negara akan dapat menjadi tenteram, damai dan makmur kalau rakyatnya gelisah diamuk benci dan dendam? Akibatnya, kekacauan terus menerus, padam di sini timbul di sana, reda di sana bergolak di sini!

Ouwyang Tek, Gui Siong, Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng terus menerus memimpin pasukannya mengadakan kekacauan di daerah penjagaan di sekitar terusan yang digali. Makin banyak pengikut pasukan ini, sampai mencapai jumlah lebih dari dua ratus orang! Sebagian besar dari mereka adalah pekerja-pekerja yang berhasil lolos keluar dengan bantuan pasukan ini.

Karena mereka semua telah mengalami penyiksaan dan penderitaan yang amat hebat di dalam neraka dunia ketika menggali terusan itu maka rasa dendam dan kebencian mereka membuat mereka semua ini menjadi sebuah pasukan berani mati yang amat luar biasa!

Mereka tidak mempunyai markas tertentu, selalu berpindah pindah tempat di daerah lembah sungai yang banyak hutannya, dan selalu muncul di saat yang tidak tersangka sangka lawan, di tempat tempat yang selalu kurang penjagaannya sehingga banyaklah para penjaga yang terbunuh.

Kalau pasukan penjaga mengadakan penyergapan dengan pasukan yang besar dan kuat, mereka hilang seperti ditelan bumi untuk kemudian muncul di tempat lain yang penjagaannya kurang kuat lalu menghancurkan pasukan penjaga di situ.

Mudah diduga sebelumnya dan memang tidaklah aneh kalau dua pasang orang muda itu makin lama makin saling tertarik. Bagi Ouwyang Tek dan Gui Siong memang dua orang gadis itu bukan wanita wanita biasa saja, melainkan semenjak pertama ketika bertemu dahulu, hati mereka telah dicuri.

Apa lagi ketika guru mereka, Siauw bin-mo Hap Tojin menyatakan bahwa kakek ini akan merasa bahagia sekali kalau dua orang muridnya itu dapat mengikat perjodohan dengan dua orang murid wanita sahabat baiknya itu.

Memang hal ini sudah pula dibicarakan oleh Hap Tojin kepada sahabatnya Liong Losu, akan tetapi pendeta berkepala gundul itu hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Pinceng setuju sekali akan tetapi hanya terserah kepada yang akan menjalani!”

Persoalan ikatan jodoh itu terhenti sampai di situ saja dan selama setahun tidak diusik usik kembali. Kini seolah olah Tuhan sendiri yang mengatur sehingga mereka tidak hanya dapat bertemu di tempat yang tak disangka sangka, bahkan mereka terus dapat berkumpul dan berjuang bahu membahu.

Mengherankankah itu namanya kalau Ouwyang Tek makin lama makin tertarik kepada Lauw Ci Sian, gadis pendiam yang cantik jelita dan gagah perkasa itu! Dan anehkah kalau Gui Siong yang halus lembut dan hati-hati itu makin lama makin tergila gila kepada Tan Li Ceng, gadis cantik manis yang lincah jenaka itu?

Akan tetapi, sampai berbulan bulan mereka berjuang bersama, bertanding bahu membahu, berlumba merobohkan lawan, makin berat menindih rasa cinta kasih di hati kedua orang muda itu, namun mulut mereka tetap membungkam, berat dan sukar rasanya untuk membuka kata menyampaikan rasa cinta dengan suara!

Apalagi bagi Ouwyang Tek yang memang pendiam dan tidak pandai bicara, tiap kali hendak mengaku cinta, lehernya seperti tercekik tangan yang tak tampak sehingga jangankan mengeluarkan kata-kata bahkan bernapaspun sukar rasanya, sedangkan Gui Siong yang biasanya pandai bicarapun kalau berhadapan dengan Tan Li Ceng, seperti seekor jangkerik terpijak, tidak ada suaranya lagi, seperti “mati kutunya”!

Pada suatu malam empat orang muda ini mengadakan sebuah serbuan pada sebuah tempat penjagaan yang cukup kuat dijaga oleh seratus orang lebih penjaga, sedangkan jumlah penyerbu yang dipimpin keempat orang muda itu hanya ada tujuh puluh orang.

Akan tetapi karena penyerbuan dilakukan pada tengah malam secara tiba-tiba dan tak terduga duga, maka pasukan penjaga menjadi panik. Apalagi karena pasukan penyerbu yang dipimpin empat orang muda perkasa itu adalah pasukan pilihan yang sudah terlatih, sudah belajar jurus-jurus pokok dalam perang campuh seperti itu, diambil dari jurus jurus ilmu silat tinggi keempat orang muda itu.

Terjadilah pertempuran hebat atau lebih tepat penyembelihan karena fihak penjaga benar-benar dihancurkan di malam itu. Mereka berusaha melawan namun sia sia dan mulailah tempat itu banjir darah dan mayat mayat roboh bergelimpangan.

Seperti biasa dalam setiap penyerbuan Ouwyang Tek, Gui Siong, Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng menjadi pelopor, mengamuk paling depan. Pedang mereka merupakan jangkauan-jangkauan maut yang sukar dihindarkan musuh. Kemana pedang mereka berkelebat, tentu ada lawan yang roboh dibarengi darah muncrat!

Hiruk pikuk suara perang di malam terang bulan itu. Teriakan teriakan marah dan kemenangan para penyerbu bersaing dengan jerit korban dan pekik kematian, membubung di angkasa. Akan tetapi, diantara suara hiruk pikuk ini, Ouwyang Tek yang kebetulan mengamuk bersama Lauw Ci Sian, selalu berdekatan dan seakan berlomba merobohkan lawan malah sempat tertawa-tawa gembira dan berkata,

“Sian moi (adik Sian), sudah beberapa orang korbanmu?”

Lauw Ci Sian tersenyum. Selalu itulah yang ditanyakan pemuda tinggi besar dan gagah perkasa ini setiap kali mereka bertempur melawan musuh. Ia melihat betapa pemuda itu merendahkan tubuh untuk membiarkan sebatang golok terbang lewat di atas kepala, lalu dari bawah pedangnya menusuk memasuki perut seorang pengeroyok yang menjerit dan roboh di bawah kaki si pemuda.

Pada saat itu, Ci Sian miringkan tubuhnya karena ada tombak yang menusuk dada, begitu tombak lewat ia menjepit batang tombak di dalam kempitan lengan kiri pedangnya membabat dan si pemegang tombak sudah kehilangan kepalanya karena lehernya terpental putus!

“Baru enam, Ouwyang twako.” jawabnya.

Mereka berdua mengamuk terus, bahu membahu. Agaknya Ouwyang Tek gembira bukan main karena penyerbuan itu berbasil baik, maka tidak seperti biasanya kini dia tidak hanya mengeluarkan pertanyaan tentang banyaknya korban saja, melainkan terdengar ia mengeluarkan ucapan yang amat aneh bagi pendengaran Ci Sian.

“Sian moi…!” Pemuda itu berseru lagi sambil tetap mengamuk, tanpa menoleh ke arah gadis yang diajak bicara.

“Trang, trang…!” Ci Sian memutar pedang menangkis dua batang golok yang menyambar dari kanan kiri, kemudian pedangnya menyambar. Hanya dengan menjatuhkan diri, dua orang pengeroyok itu terlepas daripada bahaya maut, lalu meloncat dan mengeroyok lagi bersama teman teman mereka.

“Ada apakah, Ouwyang twako?”

“Aku… aku… cinta padamu…. mampus kau setan!!”

Ci Sian terkejut bukan main dan memandang dengan mata terbelalak, Ouwyang Tek tadi mengeluarkan kata kata itu sambil meloncat dan menubruk ke belakangnya. Kiranya pemuda perkasa itu telah menolongnya dari sebuah serangan musuh yang kedua tangannya penuh dengan senjata rahasia pisau kecil. Untung didahului oleh Ouwyang Tek yang merobohkan lawan itu dengan pedang.

Kalau sampai diserang piauw dari belakang dalam jarak dekat berbahaya juga. Akan tetapi kekagetan Ci Sian tidaklah sekaget ketika ia mendengar pengakuan pemuda itu. Ci Sian memutar pedangnya. Jantungnya berdebar tidak karuan dan tiba-tiba ia teringat akan pengalamannya setahun yang lalu. Teringat betapa ia seakan akan di dalam batinnya telah terikat kepada Yu Lee Si Pendekar Cengeng.

Padahal pendekar itu sama sekali tidak pernah memperdulikan dia dan sumoinya. Tentu saja ia akan membuka kedua lengan lebar-lebar, membuka dada menyerahkan hati penuh kasih dan kagum kepada Ouwyang Tek, pemuda yang gagah perkasa ini. Akan tetapi hal itu tidak mungkin karena ia telah terlihat dalam keadaan telanjang bulat oleh seorang pria dan rasa malu ini hanya dapat ditebus dengan menjadi isteri pria itu atau membunuhnya!

Hal ini membuat Ci Sian menjadi sedih dan tak tertahankannya lagi air matanya bercucuran membasahi kedua pipinya. Saking sedih, ia menjadi makin marah kepada musuh dan mengamuklah Ci Sian dengan hebatnya tanpa dapat menjawab pertanyaan Oawyang Tek tadi.

Ouwyang Tek wajahnya agak pucat. Untuk mengeluarkan pernyataan cinta tadi membutuhkan seluruh tenaga batinnya! Akan tetapi setelah ia keluarkan juga, ketegangannya agak mengurang dan ia terheran heran melihat Ci Sian kini mengamuk hebat sambil menangis! Iapun menyerbu ke depan merobohkan dua orang lawan dan bertanya, “Sian moi… kenapa kau menangis? Aku… aku cinta padamu… adakah ini menyakitkan hatimu...?”

“Tidak….! Trang trangg!"

"Aduuh...!” Seorang lawan tertembus pedang Ci Sian sampai ke punggung. Gadis itu melompat ke belakang menarik pedangnya menghadapi pengeroyokan empat orang lainnya. “Kalau begitu, engkau menerima kasihku…?”

“Tidak bisa…. Ah, tidak mungkin…!”

Dua orang muda itu kini tidak berkata-kata lagi. Wajah keduanya pucat dan muram, akan tetapi amukan mereka makin hebat. Bukan hanya Ouwyang Tek dan Ci Sian saja yang mengamuk, juga Gui Siong dan Li Ceng bersama anak buah mereka mengamuk sehingga fihak musuh menjadi makin panik, banyak jatuh korban di fihak musuh.

Dan tak lama kemudian setelah dua orang perwira penjaga itu roboh di tangan Ouwyang Tek dan Ci Sian sisa para penjaga itu lalu melarikan diri meninggalkan pondok-pondok dan gardu gardu penjagaan, meninggalkan pula banyak senjata dan ransum yang kemudian dirampas oleh pasukan penyerbu, meninggalkan pula belasan wanita hasil culikan yang terus dibebaskan oleh Ci Sian serta Li Ceng.

Sebelum fajar muncul, pasukan ini lenyap dan hanya ada belasan orang terluka ringan, telah menghilang dari tempat itu sehingga ketika datang ratusan serdadu penolong fihak penjaga, tempat itu sudah menjadi sunyi dan gardu gardu telah dibakar, mayat para penjaga berserakan!

Semenjak malam hari penyerbuan itu wajah Ouwyang Tek kelihatan muram dan sayu mencerminkan kekecewaan dan kedukaan besar. Namun mulutnya tidak mengeluh, tidak pernah mengeluarkan kata kata yaag menunjukkan hati yang patah! Sebaliknya Ci Sian juga tampak berduka dan setiap kali memandang wajah teman seperjuangan ini, matanya menjadi merah.

Betapa tidak akan duka hatinya karena sesungguhnya ia juga mencintai pemuda ini, namun perasaan cirita kasih ini ia selimuti dengan pendapat pikiran bahwa tidak mungkin ia menjadi isteri orang lain kecuali Yu Lee! Karena kedua orang ini adalah orang-orang pendiam, maka mereka itu menahan derita korban asmara gagal ini di dalam batin saja.

Berbeda keadaan mereka dengan Gui Siong dan Tan Li Ceng. Beberapa hari setelah penyerbuan yang berhasil itu, pada malam harinya yang terang benderang karena bulan purnama muncul sejak sore, kebetulan Gui Siong dan Li Ceng berada berdua saja di dalam hutan yang menjadi tempat persembunyian mereka.

Hampir semua pasukan sudah beristirahat, kecuali mereka yang menjaga, dan kedua orang muda yang bertugas mengawasi penjagaan ini bertemu di bagian yang terbuka sehingga sinar bulan sepenuhnya menyinari mereka.

“Adik Li Ceng, ada satu hal yang sudah lama sekali menjadi ganjalan di hatiku, namun sampai kini belum jua dapat kukeluarkan dari mulut....”

“Hi, hik, kau aneh sekali, Siong-koko (kakak Siong)!” Li Ceng tertawa menutupi bibirnya. Biarpun ia tetap berpakaian pria, namun kadang-kadang muncul juga sifat genit kewanitaannya yang wajar, “Kalau ada ganjalan hati, kenapa tidak lekas dikeluarkan? Ayahku seorang ahli obat dan pernah bilang bahwa ganjalan hati dapat merusak jantung dan paru-paru. Kalau dibiarkan berlarut larut menimbulkan racun mengamuk dalam dada. Apa sih ganjalan hatimu, koko?”

“Aku khawatir akan ada orang yang marah besar kalau sampai aku berani mengatakan ganjalan ini, Ceng moi….”

Li Ceng memandang, dengan mata bening terbelalak, alis hitam panjang terangkat, Gui Siong terpesona. Betapa cantiknya gadis ini kalau sudah memandangnya seperti itu, ia tidak percaya kepada kekuatan sendiri dan cepat cepat mengalihkan pandangan, kini ia menengadah menatap bulan.

“Aìihh, engkau lucu dan aneh. Siapakah orangnya yang akan marah marah?”

“Engkaulah orangnya.”

''Eh, eh! Jangan bergurau, Siong-ko! Mengapa aku harus marah?“

Tanpa mengalihkan pandang matanya dari bulan, Gui Siong berkata perlahan. “Benarkah engkau tidak akan marah, moi moi?“

“Tidak. Mengapa harus marah? Aku berjanji takkan marah. Apa sih ganjalan aneh itu?“

“Biarlah aku berterus terang, memang tidak baik menyimpan ganjalan hati, moi-moi, dan kaupun boleh marah padaku, memang aku yang tak tahu diri. Moi moi… semenjak pertemuan kita setahun lebih yang lalu, ketika menyerbu Istana Air sarang iblis betina Dewi Suling dan gurunya. Aku... aku…. telah cinta kepadamu, Li Ceng. Bahkan suhu sendiri mengusulkan agar aku dan suheng dapat berjodoh dengan engkau dan sucimu. Li Ceng, aku cinta padamu…! Nah, inilah ganjalan hatiku…”

Seluruh muka Li Ceng menjadi merah mendengar pernyataan cinta ini. Menurut suara hatinya, pemuda itu tidak bertepuk sebelah tangan. Pemuda yang begini tampan, halus, gagah perkasa, sudah lama menjatuhkan hatinya Akan tetapi, ah, betapa ia dapat menerima kasih sayangnya kalau di sana ada.

Pendekar Cengeng! Ia menghela napas panjang. Mendengar gadis itu menghela napas dan tidak menjawab, Gui Song mengerutkan keningnya dan menoleh dengan muka pucat, ia sudah siap menanti akibat yang paling buruk yaitu ditolak cintanya dan dianggap kurang ajar. Ia menoleh dan melihat betapa gadis itu menunduk, wajah yang cantik dan tersinar cahaya rembulan itu murung dan muram.

“Maaf, Ceng-moi, sungguh aku tak tahu diri dan…”

“Bukan begitu, koko. Aku tidak marah, juga aku harus bersukur dan berterima kasih bahwa seorang pemuda gagah perkasa seperti engkau sudi menaruh perhatian kepada diriku yang buruk dan bodoh....”

“Kalau begitu engkau?“ Gui Siong seperti tercekik lehernya saking girangnya.

“Aku.... aku.... terpaksa tak… dapat menerima perasaan hatimu yang murni itu, Siong koko, karena… karena.....“

Gui Song melongo penuh kekecewaan. “Kenapa moi-moi? Karena engkau tidak mempunyai perasaan cinta kepadaku? “

Li Ceng menggeleng kepalanya sambil menunduk. Jari-jari tangannya tanpa disadarinya mencabut rumput dan mempermainkan rumput rumput itu.

“Kalau begitu mengapa, Ceng moi? Beritahulah kepadaku moi moi agar aku tidak menjadi penasaran.”

Tan Li Geng menghela napas kemudian mengangkat mukanya yang agak pucat. Mereka saling berpandangan dan dan sinar mata gadis itu Gui Song dapat merasa betapa mesra pandang mata itu dan bahwa tidak mungkin pandang mata seperti itu mencerminkan hati yang tidak mercinta!

“Siong-ko, harap jangan salah mengerti, sesungguhnya, bagaimanakah aku dapat menjawab pertanyaanmu. Hal itu tidak mungkin karena… ada sesuatu ikatan yang amat berat bagiku….”

“Ahhh...“! Gui Siong melompat bangun dengan wajah makin pucat. “Adikku yang baik, sungguh aku tak tahu diri dan kurang ajar! Maafkanlah aku kalau begitu sungguh kalau aku tahu bahwa engkau sudah terikat jodoh dengan orang lain, biar sampai mati mulut ini takkan membuka rahasia ini….”

Tan Li Ceng yang tadinya duduk di atas akar pohon, juga bangkit berdiri dan berkata, suaranya sungguh sungguh “Bukan ikatan jodoh, koko. Dengarkan baik baik dan aku mengharapkan pengertianmu yang mendalam. Ingat kah engkau ketika kita bersama menyerbu Istana Air dahulu itu? Nah, di tempat itu aku dan suci mengalami hal yang amat memalukan…“

Tan Li Ceng lalu menceritakan pengalamannya bersama Lauw Ci Sian ketika mereka tertawan dan hampir saja diperkosa Yan ce Su go kemudian tertolong oleh Yu Lee dalam keadaan telanjang bulat! Betapa kemudian dia dan sucinya membunuh empat orang laki-laki berhati binatang itu.

“Demikianlah Song koko. Setelah ada seorang pria melihat keadaan kami seperti itu, betapa mungkin kami berdua menjadi isteri orang lain?”

Gui Siong mengangguk-angguk. Wah, kiranya saingannya adalah pendekar sakti itu! Ia merasa kecewa dan runtuh semangatnya. Berat kalau harus bersaing dengan Pendekar Cengeng pikirnya dengan hati berat ia lalu berkata, “Ah, sekali lagi maaf. Kiranya engkau mencintai Yu taihip?”

Li Ceng cepat mengangkat muka memandang, lalu menggelengkan kepala, “Siapa mencintai dia, koko? Jangan menyangka sembarangan. Aku memang kagum kepada Yu taihiap yang memang patut dikagumi, akan tetapi mencinta….? Kenalpun tidak, pertemuan baru satu kali itu, dalam waktu singkat pula."

Gui Siong terheran heran dan jantungnya kembali berdebar girang penuh harapan. “Dan dia….? Adakah dia mencintaimu?”

“Siapa mengetahui hati orang lain?”

“Eh, Ceog-moi, bagaimana pula ini? Kalau kalian tidak saling mencinta, kalau diantara kalian tidak ada ikatan jodoh mengapa kau bilang tidak mungkin menjadi isteri orang lain?“

Dara itu menghela napas panjang. “Engkau tidak mengerti keadaan hati wanita, Siong koko. Aku dan Suci Lauw Ci Sian mempunyai pendapat yang sama. Kalau ada laki-laki yang melihat keadaan kami bertelanjang bulat seperti dahulu itu, dia harus kami bunuh! Itulah sebahnya mengapa kami menbunuh Yang-ce Su-go. Akan tetapi betapa kami dapat membunuh Yu taihiap yang sudah menolong kami? Karena itulah maka jalan satu satunya untuk menghilangkan aib dan hina, kami harus menjadi isterinya....” Dengan saputangannya, Li Ceng mengusap dua butir air mata dari pipinya.

Gui Sioag melongo. “Kalau.... andaikata…. Yu taihiap tidak suka menjadi suami kalian berdua….?“

Dengan muka menunduk, Li Ceng berkata, “Kami akan menantangnya bertanding sampai mati.”

“Wah… mana bisa begini? Mana ada aturan begitu….?“ Gui Siong berulang mencela dan mengomel, akan tetapi Li Ceng sudah meninggalkannya menggerutu seorang diri di tempat itu, menyesali hal yang amat membingungkan hatinya itu.

Kembali teringatlah ia akan kesuraman wajah suhengnya dalam beberapa hari ini seolah olah ada sesuatu ganjalan di hati kakak sepenguruannya itu semenjak penyerbuan tengah malam yang berhasil menghancurkan pos penjagaan musuh. Kalau ia tanya, suhengnya hanya menghela napas dan tidak mau menjawab.

Kini ia dapat menduga. Memang antara dia dan suhengnya tidak ada rahasia lagi betapa mereka berdua mencinta dua orang gadis murid Liong Losu itu. Ah, kini ia dapat menduga. Tentu suhengnya telah mendenpar pula urusan dua orang gadis itu dengan Yu Lee, dan telah pula ditolak cinta kasihnya.

Keesokan harinya, Gui Siong menemui suhengnya dan langsung berkata, “Suheng, katakanlah terus terang, apakah suheng berduka karena cinta kasih suheng ditolak oleh nona Lauw Ci Sian?“

Wajah Ouwyang Tek seketika menjadi merah sekali dan matanya melotot memandang sutenya, siap untuk mendampratnya karena pertanyaan itu dianggap kurang ajar. Akan tetapi meliat betapa wajah sutenya ini tampak sungguh-sungguh dan juga membayangkan kedukaan kelihatan dan agak pucat seperti orang kurang tidur, ia menahan kemarahannya dan hanya berkata kasar, “Kau bicara apa? Tak patut mau tahu urusan pribadi orang!”

Gui Sioag memegang lengan kakak seperguruannya yang sudah dianggap seperti kakak kandungnya itu lalu bercerita, “Jangan marah, suheng. Aku dapat menduga dan memaklumi keadaanmu karena akupun malam tadi telah mengalami hal yang sama yaitu ditolak cinta kasihku terhadap adik Tan Li Ceng.”

Berkerut sepasang alis yang hitam tebal itu. “Hemmm….! Dia kelihatan menaruh perhatian kepadamu Mengapa menolak?“

“Dengan alasan yang sama dengan alasan penolakan nona Ci Sian kepadamu, suheng.”

“Apa katamu? Sute, jangan main gila engkau! Apa engkau telah mendengar percakapan antara kami tentang hal itu? Dia… dia, tidak mengajukan alasan sesuatu…”

“Aduh, apakah nona Ci Lian tidak bercerita kepadamu tentang aib yang menimpa mereka dan urusan mereka dengan Yu taihiap?”

Ouwyang Tek melongo terheran dan menggeleng kepala. “Akupun masih bingung memikirkan, betapa dia menolakku tanpa alasan, padahal kelihatannya, eh sute, apakah ada sesuatu yang terjadi?“ Ouwyang Tek memegang lengan sutenya erat erat dengan hati tegang.

“Peristiwa yang membingungkan sekali, suheng. Aku sendiri heran mengapa mereka begitu picik pandangan dan mengambil keputusan gila seperti itu. Persoalannya begini… Suheng masih ingat ketika kita nertemu dengan mereka pertama kali setahun yang lalu?“

Ouwyang Tek mengangguk. “Di Istana Air bersama guru kita dan Liong Losu, dan Yu Lee Si Pendekar Cengeng.”

“Nah, ketika itu, dua orang nona ini tertawan musuh dan hampir saja diperkosa oleh Yang-ce Su-go. Baiknya pada saat yang amat berbahaya itu muncul Yu taihiap yang menolong mereka dan merobohkan Yang-ce Su-go. Setelah dibebaskan, kedua orang nona itu membunuh Yang-ce Su-go dan…. mulai saat itu lah mereka merasa tidak bebas dan tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain. Itulah sebabnya mengapa mereka menolak cinta kasih kita,”

“Eh, mengapa begitu?“

“Mereka berpendapat bahwa laki laki yang melihat mereka dalam keadaan telanjang bulat, harus mereka bunuh! Tentu saja mereka tidak dapat membunuh Yu Lee yang menolong mereka, maka jalan satu satunya bagi mereka untuk mencuci aib itu hanya menjadi isterinya.”

“Begitu gila! kalau Yu taihiap tidak setuju?“

“Kalau tidak setuju, mereka akan menantangnya dan mengajak bertanding sampai mati.“

“Wah lebih gila lagi itu! Tidak sute, kita harus mencegah terjadinya hal gila itu. Sute kita harus berkorban, demi cinta kita!”

“Apa maksudmu suheng?“

“Kelak kitalah yang akan mencari Yu Lee kita jelaskan persoalan mereka dan minta ke pada Yu Lee agar suka menerima mereka sebagai isterinya.”

“Kalau dia tidak mau?“

“Kita paksa, kalau perlu kita tantang dia. Biarlah kita atau dia yang tewas dalam pertandingan itu, agar kedua orang nona yang kita cinta tidak usah mengorbankan nyawa.”

Gui Siong hanya termenung, keduanya merenungkan nasib mereka yang tidak beruntung dalam asmara.


“Nona…! Tunggulah jangan tinggalkan saya….!”

Siok Lan menahan kendali kudanya dan membiarkan pelayannya itu sampai dapat menyusulnya, lalu berkata, “Engkau menjemukan sekali, membikin malu kepadaku!”

“Lhooh…! Apakah dosaku sekali ini siocia (nona)?” tanya Yu Lee.

“Melakukan kesalahan berkali-kali masih tidak merasa punya dosa? Di tempat pertemuan tadi kau sudah membikin kacau dan membikin malu dengan tingkahmu bersama Abouw yang gila-gilaan. Masih untung bahwa engkau dan Abouw tidak sampai celaka, kalau kalian roboh di tangan orang, apakah aku yang menjadi majikannya tidak menjadi malu sekali.

"Kedua, engkau begitu tak tahu malu dau tidak sungkan-sungkan lagi menerima pemberian kuda ini. Hemm, agaknya engkau paling senang akan pemberian orang lain, ya? Memalukan saja! Apa kau kira aku tidak bisa membeli kuda kalau aku mau...?”

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.