Pendekar Cengeng Jilid 11

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar Cengeng Jilid 11

Pendekar Cengeng Jilid 11

“SUDAHLAH nona. Biar saya mengacau dan menipu mereka…!”

“Tidak, Aliok... kau akan dipanah!”

Pendekar Cengeng Jilid 11 karya Kho Ping Hoo

Mereka telah memasuki bagian yang gelap dan lebat. Menyaksikan betapa nona ini sangsi dan meragu terdorong oleh rasa khawatir tentang dirinya, hati Yu Lee menjadi besar sekali. Perasaan bahagia hebat memenuhi hatinya terdorong cinta kasihnya.

Dan tanpa pikir panjang lagi karena dorongan hasrat hati, ia lalu merangkul leher Siok Lan dari belakang, memutar tubuh nona itu sehingga mukanya menghadapinya dan mencium mulut itu sepenuh cinta kasih hatinya, sepenuh getaran jiwanya.

“Aughh...” Seketika tubuh Siok Lan menjadi lemas dan hampir nona ini pingsan dalam pelukan Yu Lee.

Pemuda itu sejenak seperti terbuai dan diayun ke langit lapis ke tujuh, akan tetapi segera ia teringat akan keadaan dan setelah sadar ia kaget setengah mati akan keberaniannya sendiri yang melampaui segala batas kesopanan.

“Aduh, mati aku…!” Ia melepaskan rangkulannya. "Kau ampunkan aku, nona biarlah kalau aku mati, ciuman itu sebagai bekal ke neraka. Kau larilah sekarang!”

Tanpa menanti jawaban lagi, ia mendorong dan terpaksa Siok Lan meloncat dari atas kuda kalau tidak mau terguling jatuh, lalu terdengar ia terisak dan menghilang di dalam semak semak gelap.

“Aduh… kuda gila… kuda celaka!” Yu Lee berteriak teriak dan kini membalikkan kudanya membalap dan menapaki para pengejarnya! Tentu saja para perajurit menjadi makin panik ketika tiba-tiba derap kaki kuda yang dikejar itu memekik dan menerjang mereka.

Mereka mencari tempat perlindungan ke belakang pohon pohon. Akan tetapi kuda itu ternyata tidak lewat karena telah membelok pula ke kanan. Karena hutan itu gelap, maka para perwira dan pasukannya tidak dapat melihat jelas apakah kedua orang tawanan itu masih berada di atas kuda.

Mendengar bentakan dan teriakan Yu Lee, mereka merasa yakin bahwa kedua orang tawanan itu masih di atas kuda. Apalagi mereka itu terbelenggu erat, mana mungkin bisa lari? Maka sambil berteriak teriak mereka terus mengejar, tidak tahu bahwa yang berada di atas kuda kini tinggal Yu Lee seorang dan tidak tahu pula bahwa kuda itu makin menjauhi tempat di mana tadi Siok Lan melompat turun.

Bagi Yu Lee, amatlah mudahnya kalau ia mau melompat turun dan melarikan diri. Akan tetapi ia sengaja tidak mau melakukan hal ini, karena kalau ia lakukan hal ini tentu para pasukan akan mengubek hutan itu dan besar bahayanya, Siok Lan akan ditemukan mereka.

Apa lagi di situ sudah dekat dengan Thian an-bun yang menjadi markas besar. Lebih baik dia terus mengacau dan mengalihkan perhatian, membawa pasukan jauh dari hutan agar Siok Lan dapat menyelamatkan diri dengan aman.

“Aduh aduh…! Heeii... tahan kuda ku!” Ia berteriak dan kini karena pasukan sudah terpencar, mulailah ia terkurung. Ketika kudanya mendekati empat orang perajurit yang siap dengan tombak hendak menusuk roboh kuda yang lewat, kaki tangan Yu Lee bergerak kacau dan robohlah empat orang itu, pingsan dan tombak mereka beterbangan.

Makin lama, dari sinar obor obor yang dipasang, para perwira dapat melihat keadaan Yu Lee dan kudanya. Betapa terkejut hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa nona tawanan mereka telah lenyap! Mereka kaget, juga marah.

Kalau tadi mereka tidak memerintahkan menghujani anak panah adalah karena mereka menganggap betapa nona tawanan ini amat penting dan tidak baik kalau sampai terbunuh, tapi karena nona tawanan itu lenyap, mereka marah sekali. Kalau hanya ada si pelayan, biar seratus kail mampus juga tidak ada halangannya.

“Hujani anak panah!” bentak si perwira muka kuning.

Mulailah kuda itu dihujani anak panah, kemanapun juga ia lari. Para pasukan telah mengurung serta menghadang dari segenap penjuru dan siap dengan anak panah mereka. Yu Lee tentu saja mudah untuk menghindarkan diri dari hujan anak panah ini.

Dengan mengelak, mengandalkan ketajaman pendengaran dan dengan sampokan kedua tangan dan kaki, bisa saja ia membikin semua anak panah mencelat dan tidak mengenai tubuhnya. Akan tetapi duduk di atas kuda, tak mungkin pula ia melindungi tubuh kuda yang begitu besar.

Tiba-tiba kuda itu meringkik keras dan jatuh terjungkal ke depan! Tubuh Yu Lee yang tadinya masih duduk menghadap ke belakang terlempar ke atas dan ia lenyap ke dalam pohon. Para pasukan segara mengurung pohon besar itu.

Akan tetapi pada saat itu, beberapa orang perajurit memekik dan roboh terguling, tubuh mereka tertancap anak panah! Kemudian terdengar sorak sorai riuh dan diantara sinar obor, tampak muncul puluhan orang yang menyerbu para pasukan Mongol.

Dari atas pohon besar dan tinggi di mana Yu Lee tadi bersembunyi tampaklah oleh pemuda ini bahwa para penyerbu itu bukan lain adalah tamu-tamu yang pernah ia lihat di tempat tinggal Hoang-ho Sam-liong dipimpin oleh Ie Bhok orang kedua Hoang-ho Sam-liong si pelajar yang pandai menggunakan senjata poan koan pit (alat tulis).

Dan yang mengagumkan dan juga menggelikan adalah ketika ia melihat seorang wanita baju hijau yang menggunakan pedang mengamuk bagaikan seekor singa betina layaknya. Pedangnya berkelebatan menjadi sinar hijau merupakan serangan maut yang mencengkeram nyawa ke kanan kiri.

Dan lebih hebat serta menggelikan lagi, pantatnya yang amat besar bergerak gerak dan tiap kali ada lawan menerjang dari belakang, senggolan pantat besar itu cukup membuat seorang perajurit Mongol terlempar sampai tiga empat meter jauhnya!

Dari atas pohon Yu Lee menonton dan menahan ketawanya. Wanita itu bukan lain adalah Cui Toanio atau Cui Hwa Hwa, wanita galak yang pernah ribut mulut dan ia permalukan di sarang Huang-ho Sam-liong! Betapapun galaknya, ternyata wanita itu adalah seorang pejuang, musuh pemerintah penjajah Mongol yang kini mengamuk bersama kawan-kawannya untuk menolong Siok Lan!

Dan tak jauh dari situ ia melihat pula tokoh tokoh yang hadir, akan tetapi ia merasa heran tidak melihat adanya dua orang murid Kim hong pai yang bersikap baik terhadap Siok Lan dan dia, yaitu Pui Tiong dan sucinya, Can Bwee. Dari atas pohon itu pula Yu Lee kini melihat Siok Lan dikeroyok oleh belasan orang penjaga dan diam diam ia merasa kaget sekali.

Kiranya nona ini setelah tadi berhasil ia dorong meloncat turun dari kuda, tidak dapat melarikan diri keluar hutan dan melihat banyak pejuang menyerbu Siok Lan kini turut mengamuk pula. Hal ini ia tidak mengherankan, karena ia mengenal watak Siok Lan. Sepak terjang gadis itu hebat dan ganas, mengamuk dengan pedang rampasan karena pedangnya telah dirampas musuh. Akah tetapi karena diantara belasan orang pengeroyoknya terdapat perwira muka kuning dan perwira tinggi besar, gadis ini agak terdesak.

Perwira tinggi besar bermuka hitam itu bersenjata rantai yang amat berat dan diputar-putar cepat sekali sampai mengeluarkan suara mengaung. Siok Lan selalu menggunakan ginkangnya untuk menghindarkan diri setiap kali senjata lawan menyambar karena untuk ia khawatir pedang rampasannya akan rusak.

Melihat keadaan nona ini Yu Lee lalu melompat dari pohon ke pohon untuk mendekati. Akan tetapi ia melihat bahwa keadaan Siok Lan tidaklah berbahaya, maka begitu mendengar teriakan kaget Cui Hwa Hwa dan melihat nyonya ini terhuyung ke belakang ketika pundaknya kena serempet gagang toya seorang pengeroyok, perwira tinggi kurus yang lihai.

Ia segera mengayun tangan. Sebuah ranting kecil menyambar, dan perwira tinggi kurus itu berteriak kesakitan dan menjerit sambil mundur-mundur. Ranting kecil itu melukai lehernya dan menyelamatkan Cui Hwa Hwa. Nyonya yang dikeroyok banyak lawan dan hampir celaka, tadi tidak tahu bahwa dia di bantu oleh “pelayan” yang pernah membikin malu padanya, kini dengan marah sekali pedangnya bergerak ke depan dan sebelum si perwira tinggi kurus dapat menghindar, pedangnya yang berubah sinar hijau menjadi gulungan sinar melingkar lingkar ke arah perut dan perwira itu menjerit dan roboh dengan pinggang hampir putus!

Yu Lee kembali melanjutkan usahanya mendekati Siok Lan namun dari atas pohon itu ia menjadi sibuk sendiri menyaksikan bahwa jumlah penyerbu yang hanya paling banyak tiga puluh orang itu terdesak hebat oleh pasukan Mongol yang jumlahnya tiga kali lebih banyak! Ia masih ingin menyembunyikan keadaan dirinya, apalagi Siok Lan berada di situ.

Maka kini Yu Lee mulai menyambar ke bawah dengan gerakan cepat, merobohkan beberapa orang tentara Mongol tanpa dilihat siapapun juga karena saking cepatnya gerakannya, yang tampak hanya bayangan hitam. Kalau ada lawan datang membawa obor terlalu dekat, ia menyelinap atau meloncat ke atas pohon kamudian bergerak lagi di tempat yang gelap.

Agak lega hati Yu Lee menyaksikan bahwa para pengeroyok itu rata rata memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi kalau dibandingkan dengan para prajurit, maka biarpun jumlahnya kalah tetapi masih dapat mengimbangi. Akan tetapi perang tanding dalam hutan gelap yang hanya diterangi obor obor itu, benar-benar amat mengerikan.

Darah membanjir, teriakan teriakan marah berseling dengan jerit jerit kesakitan dan pekik pekik maut, mayat mayat bergelimpangan. Seperti biasa menyaksikan seprti ini membuat Yu Lee teringat akan keadaan di rumah keluarganya dahulu dan tak terasa pula ia menangis.

Suara tangis yang keluar dari kerongkongannya melengking lengking dan menyeramkan. Dari atas pohon ia melempar lemparkan batu yang tadi ia ambil dari bawah, membantu Siok Lan sama sekali tidak ada bahaya bagi gadis itu menghadapi pengeroyokan banyak lawan. Tiap kali ada bahaya mengancam, tentu si pemegang senjata yang mengancam itu sudah tertotok batu yang menyambar dari tempat gelap.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara terompet dan derap kaki kuda. Mendengar suara yang datangnya dari utara ini, Yu Lee cepat meoncat ke atas cabang pohon tertinggi dan memandang. Kagetlah ketika ia menyaksikan dari arah utara datang pasukan membawa obor. Bala bantuan dari Thian an-bun agaknya!

Dari atas pohon itu di malam gelap dia hanya melihat obor yang banyak sekali datang dari utara sukarlah menaksir jumlah pasukan yang datang. Akan tetapi menurut dugaan Yu Lee, tentu jauh lebih besar dari pada pasukan yang mengawal Siok Lan tadi dan agaknya tidak akan kurang dari pada dua tiga ratus orang. Keadaan berbahaya sekali.

Karena hatinya terguncang, kembali lengking dahsyat keluar dari kerongkongannya dan pada saat itu, ia terkejut karena berbareng terdengar bunyi lengking lain di sebelah bawah. Lengking yang nyaring dan dikenalnya baik! Ia cepat menuruni beberapa cabang pohon dan tampaklah olehnya bayangan berpakaian putih berkelebatan di bawah dan kemanapun juga bayangan ini berkelebat, terdengar pekik mengerikan disusul roboh nya seorang tentara Mongol!

Dewi Suling! Tak salah lagi, pikir Yu Lee, maka ia menjadi tercengang. Mendengar suara lengking itu, jelas adalah suara suling yang biasa ditiup Dewi Suling, juga kalau suling itu dimainkan oleh wanita sakti itu mengeluarkan lengking seperti itu.

Akan tetapi biarpun ia lihat gerakan bayangan putih itu amat cepat dan amat lihai seperti Dewi Suling tetaplah meragukan, mengapa Dewi Suling mengenakan pakaian putih! Selain itu juga mengapa Dewi Suling menjadi seorang pejuang setidaknya memusuhi tentara Mongol. Dewi Suling adalah seorang sesat, seorang dari kalangan hitam.

Ahhh, mungkin ia salah duga. Yu Lee terhadap pikirannya. Banyak orang yang biasanya menjadi penjahat berubah menjadi pejuang dikala negaranya diganggu bangsa asing dan sebaliknya orang-orang yang biasanya menjadi seorang yang dermawan menjadi pengkhianat bangsa.

Karena Yu Lee melihat betapa besar bahaya mengancam dengan munculnya pasukan besar dari jauh itu, iapun lalu melayang turun dan kembali ia menggunakan kesaktiannya untuk merobohkan para perajurit musuh, memilih tempat gelap dan menjauhi tempat Dewi Suling beraksi.

Hebat, bukan main sepak terjang dua orang ini yaitu Dewi Suling dan Yu Lee. Mereka bergerak di tempat terpisah, keduanya mengeluarkan suara melengking mengerikan dan keduanya merobohkan musuh seperti orang membabat rumput saja. Para pejuang atau pemberontak itu terheran heran dan juga kagum bercampur gembira.

“Dewi Suling….” terdengar bisikan-bisikan. Biarpun para pejuang tak dapat melihat jelas, namun berkelebatnya bayangan bertubuh ramping yang melengking dan merobohkan banyak lawan itu membuat mereka dapat menduga-duga.

“Pendekar Cengeng…!” bisik orang lain menyaksikan berkelebatnya bayangan Yu Lee. Mereka tidak dapat melihat jelas karena pemuda itu selalu bergerak di dalam gelap dan gerakannya cepat sekali tak dapat dilihat pandangan mata, akan tetapi para pejuang itu banyak yang sudah mendengar kabar akan cara dan sepak terjang Pendekar Cengeng, apa lagi mendengar suara melengking seperti orang menangis keluar dari kerongkongan pendekar itu!

Celakalah pasukan pengawal yang diserang oleh para pejuang di maalm hari itu! Biarpun jumlah mereka tiga kali lebih banyak, akan tetapi dengan munculnya dua orang pendeker sakti yang mngeluarkan bunyi melengking lengking dan keadaan mereka menjadi berantakan dan dalam waktu sebentar saja sebagian besar dari mereka roboh tak dapat bangkit kembali apalagi karena para pejuang yang mendapat bantuan dua orang pendekar besar itu seolah olah mendapat tambahan semangat baru, mereka mengamuk makin hebat.

Tiba-tiba terdengar sorak sorak riuh rendah dan hutan itu seolah-olah kebakaran ketika pasukan tambahan pembantu itu tiba, meloncat turun dari kuda dan dengan obor di tangan kiri, senjata di tangan kanan mereka menyerbu. Jumlah pasukan yang baru tiba ini ada dua ratus orang. Perang menjadi semakini hebat dan kini bagaikan air banjir, para pejuang yang sudah lelah itu terdesak hebat.

Untung disitu terdapat dua orang sakti yang membantu mereka sehingga meraka masih mampu melakukan perlawanan. Betappun saktinya Pendekar Cengeng dan Dewi Suling, namun karena fihak musuh amat banyak, mereka menjadi sibuk sekali. Dewi Saling sudah mengobral jarum-jarumnya dan pedangnya.

Hanya Yu Lee yang agak repot karena pemuda ini tetap hendak bergerak sambil bersembunyi. Yu Lee selalu menjauhi para pejuang lain akan tetapi juga harus selalu memperhatikan keadaan Siok Lan yang mengamuk agar sewaktu waktu dapat melindungi wanita yang dicintainya itu.

“Kalau gelagatnya begini, bisa berbahaya,” pikirnya, Yu Lee mulai mendekati Siok Lan dan ingin melarikan gadis itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar sorakan lain yang juga sangat dahsyat dan dari sebelah kiri muncul sepasukan orang gagah perkasa yang datang menyerbu, membantu para pejuang dan menghantam para tentara Mongol.

Pasukan yang gagah perkasa ini dipimpin oleh empat orang muda, dan dapat dibayangkan betapa girang hati Yu Lee ketika melihat dan mengenal mereka itu. Dua orang pemuda tampan dan perkasa itu adalah Ouwyang Tek dan Gui Siong, murid murid Siauw bin mo Hap Tojin.

Adapun dua orang pemudi yang cantik dan perkasa itu adalah Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng, murid murid Tho tee kong Liong Losu! Adapun hampir seratus orang pasukan perkasa yang dipimpin empat orang muda itu benar benar hebat dan bertempur dengan semangut yang amat tinggi!

Keadaan perang kecil di dalam hutan itu berubah ubah. Tadinya fihak Mongol terdesak hebat dan lebih dari setengah jumlah pasukan tewas di tangan tiga puluhan orang pejuang pimpinan Ie Bhok orang termuda Huang ho Sam liong yang diam-diam dibantu oleh Pendekar Cengeng dan Dewi Suling. Kemudian fihak pejuang terancam bahaya kehancuran ketika tiba dua ratus orang pasukan Mongol yang datang dari Thian an-bun.

Akan tetapi dalam waktu singkat, muncullah seratus orang pasukan istimewa ini, pasukan yang sebagian besar terdiri dari bekas pekerja pekerja terusan yang melarikan diri, yang mengandung dendam dan kebencian meluap luap terhadap orang-orang Mongol sehingga kini pasukan Mongol seperti sekumpulan pohon bambu diserang angin taufan, mereka dibabat dan dalam waktu singkat saja jatuhlah puluhan orang korban diantara mereka!

Ouwyang Tek tidak mengenal pasukan kecil yang ia bantu, akan tetapi karena pasukan kecil yang gagah perkasa itu berperang melawan tentara Mongol ia menganggap mereka itu teman teman seperjuangan dan begitu mendengar dari penyelidik bahwa di hutan itu terjadi perang, ia lalu memimpin pasukannya untuk menyerbu dan membantu pasukan kecil itu.

Ketika mendengar suara melengking lengking dan amukan dua orang yang bergerak seperti setan sehingga tidak tampak jelas orangnya, Ouwyang Tek, Gui Song Tan Li Ceng dan Lauw Ci Sian menjadi terkejut, dan juga girang. Mereka dapat mengenal lengking dan gerakan Pendekar Cengeng. Akan tatapi mereka juga bingung dan menduga duga siapa adanya wanita perkasa yang mengamuk itu.

Melihat gerakannya yang lihai dan mendengar suara melengking dari suling yang dipegang nya, tidak salah lagi bahwa wanita itu tentulah Dewi Suling! Mereka menduga duga dan terheran heran, akan tetapi karena Dewi Suling pada saat itu bertanding memusuhi pasukan Mongol, tentu saja mereka menganggapnya tidak sebagai musuh.

Munculnya pasukan yang dipimpin empat orang muda perkasa ini mempercepat jalannya perang. Sebagian besar pasukan musuh roboh binasa dan sisanya lalu melarikan diri berlindung pada kegelapan hutan itu.

“Yu taihiap...! Sungguh beruntung dapat bertemu dengan taihiap di sini!” Terdengar Ouwang Tek berkata.

“Pendekar Cengeng...! Pendekar Cengeng...!” Nama ini disebut sebut oleh para pasukan pejuang.

Siok Lan yang sudah tidak bertempur lagi mendengar disebutnya nama ini terkejut sekali ia tadi memang mendengar sura melengking-lengking dan melihat berkelebatnya dua bayangan seperti iblis cepatnya. Ia sudah menduga duga akan tetapi belum merasa yakin siapa gerangan dua orang aneh itu. Karena tadi ia dikeroyok banyak sekali musuh, tentu saja ia tidak mendapat kesempatan untuk meneliti. Kini mendengar di sebutnya “Yu taihiap” dan “Pendekar Cengeng” wajahnya menjadi berobah dan jantungnya berdebar debar.

Benarkah tunangannya itu yang tadi mengamuk dan mengeluarkan suara melengking? Tunangannya yang selama ini mengabaikannya dan yang ia cari untuk diajak bertanding untuk menebus penghinaan? Cepat ia meloncat menghampiri untuk mencari dan menjumpai orang yang dicari carinya itu. Akan tetapi ia hanya melihat berkelebatnya bayangan cepat sekali menghilang di daerah hutan yang gelap, dan mendengar suara orang laki laki yang berpengaruh.

“Kedua saudara Ouwyang dan Gui! Kedua nona Lauw dan Tan! Selamat bertemu dan berjuang! Maaf, saya ada urusan lain, sampai jumpa!” Bayangan itupun lenyap dari tempat itu.

Siok Lan termenung merasa seperti kenal suara ini, ia merasa penasaran lalu meloncat mengerahkan ginkangnya mengejar di tengah hutan ke mana bayangan itu tadi berkelebat. Bayangan yang mengamuk dan menggunakan suling sambil mengeluarkan suara melengking tadi memang Ma Ji Nio atan Ciu siauw Sian li Si Dewi Suling.

Kini di bawah sinar banyak obor, Dewi Suling menghadapi Ouwyang Tek, Gui Siong, Luaw Ci Sian dan Li Ceng yang berdiri berjajar menghadapinya dengan pandangan mata penuh selidik. Dewi Suling tersenyum dan cepat ia mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata,

“Sungguh merupakan karma Thian bahwa malam ini saya dapat berjumpa dengan ji-wi kongcu dan ji-wi siocia sebagai teman teman seperjuangan!”

Empat orang mada itu memang sudah mendengar akan sepak terjang Dewi Suling selama ini yang menjadi buah bibir kaum kangouw karena perubahannya luar biasa. Mereka merasa tidak senang kepada wanita yang dahulunya menjadi musuhnya ini, akan tetapi karena harus diakui bahwa saat itu mereka bukanlah musuh melainkan teman seperjuangan melawan penjajah, mereka terpaksa membalas penghormatan.

Bahkan Tan Li Ceng yang terpandai membawa sikap diantara mereka segera berkata, “Kami sudah mendengar akan sepak terjang cici selama ini. Sukurlah!”

Wajah Dewi Suling berubah merah karena merasa jengah akan tetapi di dalam hatinya ia memuji Tan Li Ceng yang tidak banyak bicara. Ia lalu berkata lagi, kali ini tidak hanya ditujukan kepada empat orang muda itu, melainkan juga kepada Ie Bhok, Cui Hwa Hwa dan teman teman mereka.

“Diantara kita ada hubungan seperjuangan teman-teman sendiri, akan tetapi kini bukan waktunya untuk bercakap cakap. Keadaan hutan ini amat berhaya karena sungguhpun musuh sudah terpukul mundur akan tetapi di Thian an-bun terdapat tidak kurang dari seribu orang perajurit Mongol. Bagaimana mungkin kita dapat melawan pasukan mereka yang begitu banyak?

"Karena itu, menurut pendapatku, sekiranya kita memasuki daerah hutan di sebelah barat, karena daerah itu hutannya amat luas, daerah pegunungan mudah bagi kita untuk bersembunyi sambil melakukan penyerbuan serbuan mendadak ke Thian bun-an.

"Menurut pendapat saya, kalau saudara-saudara sekalian setuju, sekarang ini juga kita berangkat ke sana memencarkan diri dan bertemu disana yang berada di dalam hutan sebelah barat, kira kira dua puluh li jauhnya dari sini. Amat baik tempat ini dijadikan markas, selain lebat juga banyak terdapat guha guha besar."

Semua orang menyatakan setuju. Memang pertempuran melawan tentara Mongol yang amat besar jumlahnya tadi menyatukan mereka tanpa janji lebih dahulu, yaitu pasukan yang dipimpin Ie Bhok dan Cui Hwa Hwa, dan pasukan bekas pekerja paksa yang dipimpin empat orang muda perkasa.

Beramai ramai berangkatlah mereka sambil membawa teman teman yang terluka dalam pertempuran tadi meninggalkan teman teman yang tewas karena memang keadaan menghendaki demikan. Dalam perjalanan ini, mulailah mereka berkenalan.

Ie Bhok mengirim seorang untuk menyampaikan berita tentang perang semalam dan tentang rencana pasukan mereka pergi ke hutan sebelah barat Thian an-bun kepada kedua orang saudaranya yang masih bermarkas di tepi sungai Huang-ho agar mereka dapat saling berhubungan dan saling membantu.

Semalam suntuk pasukan pejuang ini menyusup-nyusup di antara hutan dan pegunungan, berpencar akan tetapi tidak terpisah jauh sehingga mereka dapat saling mengetahui keadaan kawan memberi isyarat bunyi bunyi burung. Mereka ini lelah sehabis bertempur, lelah dan lapar akan tetapi kenyang oleh semangat kepahlawanan.

Hanya mereka yang pernah berjuang saja, hanya mereka yang pernah menderita dalam melaksanakan cita cita mulia saja yang dapat merasa berapa di dalam keadaan bersama ini terdapatlah sesuatu yang nikmat dan bahagia yang mengatasi semua penderitaan jasmani.

“Aliok! Aliok…!!”

Siok Lan mencari cari di dalam hutan sambil berkali kali memanggil nama pelayannya. Hatinya amat risau, sungguhpun besar harapannya bahwa pelayannya itu masih hidup dan berada di dalam hutan. Bukankah tadi ketika ia didorong turun oleh pelayannya itu, Aliok masih berada di atas kuda dan tiba-tiba pecah pertempuran karena munculnya Cui Hwa Hwa dan yang lain lain?

Tidak mungkin pelayannya itu ditawan karena sudah jelas bahwa fihak musuh terpukul mundur bahkan banyak yang tewas. Akan tetapi bagaimana kalau Aliok terbunuh oleh musuh? Hati nya makin gelisah dan kini ia mencari cari sambil memanggil manggil, juga melihat lihat kalau pelayan nya itu sudah menggeletak tak bernyawa lagi di dalam hutan.

Mengingat akan kesitu tubuhnya menggigil dan terngiang bisikan ucapan pelayannya sebelum mereka berpisah. “Aku mencinta nona dengan seluruh jiwa ragaku…!"

Hati Siok Lan terharu. Ia tidak meragukan lagi cinta kasih pelayannya terhadap dirinya. Dan dia sendiri? Entahlah. Andaikata di sana tidak ada Pendekar Cengeng? Andaikata Aliok bukan seorang pelayan! Andaikata… ahh, terlalu banyak andaikata yang tak mungkin terjadi. Bahkan kini Pendekar Cengeng sudah muncul!

Ia tadi mengejar sekuat tenaga, mengerahkan ginkangnya, namun ia melihat betapa bayangan Pendekar Cengeng itu berkelebat bagaikan terbang cepatnya dan sebentar saja lenyap dari pandangan matanya. Karena tidak berhasil mecari Pendekar Cengeng, teringatlah ia akan Aliok dan kini ia mulai mencari cari Aliok.

Ia melihat betapa para pejuang yang tadinya menggempur pasukan Mongol itu meninggalkan hutan. Ia sesungguhnya harus berterima kasih kepada mereka karena tanpa adanya mereka itu, tentu ia sudah binasa di bawah pengeroyokan para pasukan Mongol, atau setidaknya tentu akan tertawan lagi. Bahkan wanita galak Cui Hwa Hwa itu telah menolongnya!

Akan tetapi ia tidak sempat menjumpai mereka. Pertama karena ia tadi mencari Pendekar Cengeng, dan sekarang, sebelumnya ia dapat menemukan pelayannya, ia tidak akan berhenti mencari dan tidak akan menjumpai mereka.

“Aliok…! Aliok...!” Siok Lan memanggil dengan memakai kedua telapak tangannya untuk mendekap kanan kiri mulutnya sehingga suara panggilannya bergema di seluruh hutan itu. Kegelapan mulai menipis, terdesak oleh munculnya fajar.

“Aliok….!” Harapan Siok Lan menipis pula dan hampir ia menangis kalau teringat betapa besar kemungkinan pelayannya itu terbunuh musuh! Teringat akan hal ini, baru terasa olehnya betapa baiknya Aliok selama ini. Betapa akan berat hatinya kalau harus berpisah dan henar benar ditinggal mati oleh pemuda itu!

“Aliok...!” Panggilannya mulai mengandung isak tangis tertahan. Teringat Siok Lan betapa Aliok pernah mencium mulutnya dan teringat akan hal ini tak tertahankan lagi air mata bercucuran. Apa kata pemuda itu setelah menciumnya semesra itu?

“Kau ampunkan aku, nona. Biarlah kalau aku mati, ciuman itu sebagai bekal ke neraka….!”

“Aliok.....!” Siok Lan menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon, terisak isak. Kiranya pemuda itu sudah merasa dia akan mati sehingga berani menciumnya seperti itu. Ciuman yang selama ia hidup belum pernah ia alami atau ia terima dari orang iain, bahkan tak juga dari ayah bundanya. Ciuman penuh kasih sayang seorang pria.

Dan kini teringat ia menerima ciuman itu bukan dengan hati marah atau benci atau jijik melainkan dengan jantung berdebar tegang dan bahagia, bahkan sekarang pun hatinya menggelora teringat akan ciuman Aliok itu. Akan tetapi pemuda itu kini sudah tidak ada, besar kemungkinannya sudah tewas. Makin mengguguk tangis Siok Lan dan baru sekarang ia mengakui dalam hatinya bahkan ia mencinta pemuda itu, mencinta Aliok pelayannya!

“Aliok aduh, Aliok.... hu..hu huhuhu....” Baru sekali ini Siok Lan, dara perkasa yang berhati baja dan tidak pernah mengenal takut itu menangis tersedu sedu.

"Nona...! Nona…!”

Siok Lan yang sedang menangis itu tiba-tiba tersentak kaget menoleh ke kanan ke kiri dengan mata terbelalak, mata yang merah dan pipi yang basah. “Aliok…??” Ia berbisik, setengah tidak percaya akan pendengarannya sendiri.

“Nona Siok Lan…!” Kembali terdengar suara itu perlahan akan tetapi jelas sekali, seperti terbawa angin lalu, bercampur dengan bunyi kokok ayam hutan dan kicau burung.

“Aliok...!!” Bagaikan digetarkan tenaga dahsyat Siok Lan mencelat bangun, matanya terbelalak bersinar sinar, pipinya berseri, dua butir air mata masih bergantung pada bulu matanya. “Aliok…! Dimana engkau....!!”

“Aku di sini, nona…!”

Suara itu datangnya dari kanan! Siok Lan hampir bersorak, hampir menari dan dengan suara ketawa ditahan ia lalu mencelat ke kanan terus menggunakan ginkangnya lari ke arah datangnya suara. “Aliok....! di mana engkau....?” teriaknya lagi.

“Di sini, nona…!”

Suara Aliok itu datangnya dari atas! Siok Lan menengadah dan alangkah girang hatinya ketika ia melihat pemuda pelayannya itu nongkrong di atas pohon yang amat tinggi, di cabang tertinggi dan kelihatannya takut akan tetapi tangan kirinya mengempit seekor ayam hutan yang gemuk sekali!

“Eh, bagaimana kau bisa berada di situ? Turunlah…!”

“Aku.... aku tidak berani turun....”

Siok Lan tertawa, suara ketawanya nyaring dan tiba-tiba tubuhnya terayun ke atas dan berloncatanlah ia dari cabang ke cabang sampai tiba di cabang yang diduduki Aliok. Pemuda ini melihat nonanya tertawa-tawa dengan senyum lebar pipinya merah berseri akan tetapi pipi di bawah mata masih ada tanda air mata. Hatinya terharu bukan main, tergetar dan Aliok menangis sesenggukan!

“Aihhh... kau… kenapa?“

“Saya.... saya terlalu girang, nona.....”

Siok Lan tersenyum, lalu mengempit pinggang pelayannya itu, dibawa loncat turun dengan gerakan ringan sekali. Setibanya dt atas tanah, lengan kanan Aliok masih merangkul lehernya sedangkan tangan kiri pelayan itu mengempit ayam. Sejenak mereka saling rangkul, saling pandang dengan sinar mata seperti dalam mimpi, kemudian Siok Lan teringat dan melepaskan lengannya yang merangkul pinggang, mukanya merah sekali, matanya mendelik dan mulutnya setengah tersenyum setengah merenggut!

“Kau…. kau kenapa? Gilakah?”

“Eh, nona.... kenapa…. kenapa sih?”

Siok Lan dengan muka merah mendorong perlahan dada pemuda itu dengan jari tangannya seningga Yu Lee mundur tiga langkah. “Kau… kau berhutang banyak persoalan kepadaku yang harus kau bayar! Kau harus jawab satu satu dan awas ya! Jangan bohong dan main main!”

Gadis yang tadi menangisi Aliok ini setelah sekarang berhadapan, segera menyembunyikan perasaan hatinya dan mengambil sikap yang sesuai sebagai seorang nona majikan terhadap seorang pelayannya. Betapapun juga, ia merasa jengah dan malu untuk membuka rahasia hatinya begitu saja.

Diam-diam Yu Lee tertawa di dalam hati dan rasa kasih sayangnya terhadap nona ini makin menggelora dan mesra. Tadi secara diam diam ia mengikuti Sìok Lan dan sudah menyaksikan semua sikap gadis itu yang menangisinya! Karena itulah ia menjadi terharu dan ikut menangis. Sekarangpun menghadapi nona yang amat dikasihinya, nona yang dianggapnya paling cantik di dunia ini, paling gagah perkasa paling nakal dan juga paling lucu, ia masih tak dapat menahan air matanya yang menitik turun saat itu.

“Saya berhutang budi kepada nona, sampai matipun takkan terbayar lunas. Biarlah kelak dalam penitisan mendatang saya akan mènjadi anjing atau kuda nona.”

“Aku tidak butuh anjing atau kuda! Yang sekarang kubutuhkan adalah keterangan keteranganmu akan perlakuanmu selama ini! Pertama-tama, kenapa kau mendorong aku turun dari kuda?”

“Ah, nona yang mulia. Selelah nona terbebas dari belenggu tentu saja adalah amat besar kesempatan bagi nona untuk melarikan diri. Saya mendorong nona karena ingin sekali melihat nona selamat...”

“Tapi kau membiarkan dirimu sendiri terancam bahaya!”

“Aku… aku tidak berarti…”

“Hushhh! Lain kali aku tidak mau begitu mengerti? Apa kau kira aku seorang yang bocengli (tak berbudi atau berperasaan) untuk enak enak lari sendiri dan membiarkan kau celaka sendiri? Lain kali kau tidak boleh begitu, kalau aku selamat kau juga harus selamat, kalau celaka ya bersama sama karena kita memang melakukan perjalanan bersama. Mengerti?“

Yu Lee mengangguk angguk. “Mengerti nona. Lain kali tidak berani lagi.”

Karena Yu Lee menunduk, ia tidak melihat betapa Siok Lan masih geli melihat sikapnya ini. Sebaliknya, Siok Lan pun tidak tahu bahwa diam-diam ia diketawai Yu Lee.

“Sekarang yang kedua. Setelah terjadi perang, aku amat berkuatir karena kau tidak tampak. Kenapa kau tidak keluar dan menemui aku? Kenapa kau pergi dan kemana pula perginya kuda itu?”

“Wah, nona tidak tahu. Saya dikejar dan dibacok serdadu gila, untung tidak kena punggung saya melainkan ke punggung kuda sehingga kuda itu meloncat dan melemparkan saya ke bawah sedangkan serdadu itu disepaknya dengan kaki belakang sampai pecah dadanya. Karena saya merasa takut, saya lalu memanjat pohon dan semalam suntuk saya tidak berani turun, karena takut lalu saya memanjat terus sampai dipuncak, kemudian tidak dapat turun lagi.“

“Hemm, aku tidak percaya kau begitu penakut.”

“Memang saya bukan orang penakut, nona. Akan tetapi saya mempunyai kelemahan terhadap tempat yang tinggi. Saya menjadi pening dan takut sekali.”

“Hemm, kau bilang takut di pucuk ponon. Kenapa bila memegang ayam hutan begitu gemuk?”

Yu Lee tertawa, “Wah, memang Thian itu adil, nona... Agaknya memang orang yang baik seperti nona selalu diberi berkah sehingga tiada hujan tiada angin ada ayam menghampiri saya untuk saya panggang dagingnya dan persembahan pada nona. Malam tadi ketika saya bersembunyi di atas sana, mungkin karena bingung dan takut mendengar pertempuran dan melihat obor, ayam ini terbang lalu menabrak cabang di dekat saya menggelepar dan pingsan sehingga mudah saya tangkap. Biarlah saya sembelih dia dan panggang dagingnya untuk nona bawa sebagai bekal menyusul rombongan pejuang yang menuju ke pegunungan di sebelah barat kota Thian an-bun.”

“Ihhhh, apa kau bilang? Mau apa aku ke sana? Aku hendak mencari Pendekar Cengeng! Kau tahu Aliok, hampir saja aku dapat berhadapan dengan Pendekar Cengeng malam tadi!”

Aliok tersenyum dan mengangguk. “Saya tahu, nona.”

“Heeei?? Engkau tahu?”

“Saya tahu karena Yu kongcu telah menemui saya sebelum nona datang. Ketika saya bersembunyi di atas pohon belum lama tadi tiba-tiba saja Yu kongcu muncul di depan saya di atas pohon ini dan Yu kongcu yang menceritakan pada saya tentang semua keadaan.”

“Hemm… di mana dia? Aku mengejar dan mencarinya, Aliok katakan, di mana dia?”

“Mau apakah nona mencarinya??”

“Mau apa lagi? Aliok, tidak usah kau pura pura tanya lagi, hayo katakan di mana dia agar dapat kutemui sekarang juga.”

Yu Lee menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. “Nona, Yu kongcu tadi telah bicara dengan saya dan telah saya katakan tentang kehendak nona. Kemudian Yu kongcu memberi keterangan sejelasnya kepada saya, harap nona suka mendengarkan.”

“Aliok sesungguhnya engkau berpihak kepada siapa sekarang?”

Yu Lee memandang kaget dan hatinya sedih melihat betapa suara mesra lenyap dari mata bening itu, terganti sinar marah. “Tentu saja saya berpihak kepada nona, akan tetapi… Yu kongcu tidak memusuhi nona... di... dia bahkan ingin berbaik kepada nona. Dia menerangkan bahwa tantang pesan ikatan jodoh itu dia sama sekali tidak tahu, sama sekali tidak pernah mendengar dari mendiang keluarganya. Karena itu, dia berpesan kepada saya agar menyampaikan permintaan maafnya kepada nona, dan dia kelak hendak pergi mencari orang tua nona dan menghadap…”

“Aku tidak butuh kasihannya! Di mana dia?”

“Nona, harap dengarkan lebih dulu. Saya tidak tahu kemana dia pergi karena dia hanya meninggalkan pesan begini. Yaitu bahwa tempat ini amat berbahaya dan bahwa nona diminta segera pergi menyusul para pejuang kepegunungan di sebelah barat Thian an-bun. Menurut Yu kongcu, tempat ini akan diserbu ribuan orang musuh maka nona harus cepat cepat pergi hari ini juga.

"Kongcu sendiri pasti akan meggabung ke sana, maka diharap nona suka menanti di sana karena kongcu masih mempunyai beberapa urusan yang harus dl selesaikan. Percayakah, nona? Yu kongcu bukan seorang pembohong dan saya yakin bahwa sekali waktu dia akan menemui nona di sana untuk bercakap cakap dan membereskan semua urusan.”

Siok Lan mengerutkan keningnya. Memang tidak bisa menyalahkan Aliok. Pula, ia mendengar betapa anehnya Pendekar Cengeng, tentu saja tidak mungkin bagi Aliok untuk mengetahui tempat sembunyi pendekar itu. Dia sendiri tadi sudah menyaksikan kehebatan gerakan pendekar itu yang seakan akan pandai menghilang ketika dikejarnya.

Sementara itu Aliok sudah mencabuti bulu ayam hutan yang telah ia kemudian membuat api dan memangang dagingnya. Bau sedap gurih mengganggu perut Siok Lan yang seketika menjadi lapar sekali.

“Kau sendiri akan kemana, Aliok?”

“Setelah nona makan dan berangkat ke sana, harap nona suka bergabung dengan para pejuang. Saya sendiri telah Diminta oleh Yu kongcu untuk menghadang di depan pintu gerbang Thian an bun sesudah serbuan malam nanti...”

“Apa...? Malah mendekati Thian an bun sarang musuh?”

Yu Lea tersenyum. “Nona masih belum mengenal sepak terjang kongcu yang sukar dimengerti. Akan tetapi percayalah nona. Kalau kongcu menyerbu ke Thian an-bun, tentu dia mempunyai alasan yang amat penting. Maka sebaiknya nona menanti. Saya yang tanggung bahwa kalau urusan orang-orang Mongol ini selesai, pasti kongcu akan mencari dan menemui nona untuk diajak membereskan semua urusan yang ada diantara nona dan dia.”

Siok Lan termenung dan diam saja. Kalau keadaan sudah seperti itu, ia dapat berbuat apakah? Mencari dan menyusul? Ke mana? Ke Thian an bun? Seperti mencari mati. Memang labih baik menunggu. Seperti apakah Pendekar Cengeng yang lihai itu?

Ia memandang pelayannya dan diam diam timbul rasa kasihan di hatinya. Bagaimana nanti dengan hubungan cinta kasih yang bersemi di hati mereka? Daging ayam hutan itu sudah matang dan Yu Lee memberikannya kepada Siok Lan.

“Bawalah ini sebagai bekal, nona. Dan saya kira tidak baik menanti lebih lama lagi, siapa tahu kalau kalau musuh akan memasuki hutan ini. Harap nona segera berangkat dari sini menuju ke barat, kira kira lima puluh li jauhnya lalu membelok ke utara.

Akan tampak pegunungan sambung menyambung dan berangkatlah nona mendaki pegunungan itu. Mereka berada di puncak gunung ke tiga, dalam sebuah hutan dan dari atas puncak itu tampak kota Thian an bun. Nah sampai jumpa kembali, nona.”

Siok Lan memasukkan panggang ayam ke buntalan pakaian, kemudian ia bertanya meragu, “Kapan kita dapat bertemu, Aliok?“

“Tidak akan lama. Saya akan mendesak kongcu agar cepat cepat menyusul ke sana nona.”

Setelah menghela napas panjang Siok Lan meloncat dan pergi meninggalnan Yu Lee yang memandangnya dengan sinar mata penun kasih sayang.

Siapakah gerangan dua orang sakti yang malam itu membantu para pejuang dan menghancurkan pasukan Mongol dengan sepak terjang mereka yang menyeramkan sambil melengking-lengking mengerikan itu?


Seorang di antara mereka tentu pembaca dapat menduganya, yaitu bukan lain adalah Yu Lee si Pendekar Cengang sendiri. Akan tetapi orang kedua yang menjadi bayangan putih, siapakah dia? Bukan lain adalah Dewi Suling tepat seperti yang diduga oleh para pejuang yang sudah seringkali mendengar nama besar wanita sakti ini akan tetapi jarang ada yang pernah bertemu dengannya.

Seperti telah diceritakan bagian depan selelah Dewi Suling bertemu dan menerima wejangan dari Sui Lian Nikouw di kuil Kwan im bio, maka terjadi perubahan hebat dalam diri wanita ini, ia kini ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk menebus dosa dan memupuk kebajikan, menentang kejahatan sebanyak mungkin. Karena inilah maka dunia kangouw menjadi geger dengan munculnya Dewi Suling dalam bentuk lain yang menentang kejahatan secara hebat sekali!

Berita tentang kekejaman kekejaman yang terjadi di tempa penggalian saluran, dimana ribuan orang rakyat tidak berdosa dipaksa bekerja sampai mati, sampai pula ke telinga Dewi Suling. Ah, di sanalah aku harus menebus dosa, pikirnya. Maka banyak orang yang dapat ia tolong, makin baik. Tanpa ragu ragu lagi Dewi Suling lalu berangkat menuju ke tempat pengalian saluran air dan apa yang ia saksikan membuat wanita bekas penjahat ini mengucurkan air matanya!

Ia berdiri di tepi sungai, suling di tangan kiri dan bagaikan berubah menjadi arca saking terharu hatinya menyaksikan ribuan orang pekerja paksa yang bertubuh kurus kurus seperti mayat hidup, bekerja dibawah ancaman cambuk cambuk kejam paru penjaga serdadu serdadu Mongol!

Ia melihat rakyat dengan tubuh kurus kecil mengangkat batu batu yang lebih berat dari pada tubuh mereka sendiri, mengangkut balok balok besar, menyeberang air yang dalam, terjerumus, tenggelam terhimpit, mati kelaparan, mati kelelahan dan mati oleh hantaman cambuk bertubi tubi atau pukulan dan bacokan golok para penjaga. Mayat mereka yang mati dikubur begitu saja di pasir sungai!

Dewi Suling dahulu adalah seorang penjahat, akan tetapi belum pernah ia menyaksikan kekejian seperti ini. Dalam ia suka membunuh orang karena marah, atau karena tidak ingin rahasianya disiarkan orang, atau karena orang itu musuhnya.

Namun semua pembunuhan yang dilakukan tentu ada sebabnya terdorong oleh darah panas. Sebaliknya apa yang ia lihat dan dilakukan sekarang ini adalah penyembelihan! Siksaan dan penyembelihan yang dilakukan dengan darah dingin! Ia bergidik ngeri.

“Bedebah! Jahanam keji iblis neraka!” Ia menyumpah-nyumpah sambil mengepal tinju dan menggenggam sulingnya erat erat. Ingin ia pada saat itu juga mengamuk, membunuhi para penjaga yang seperti anjing-anjing kelaparan menyiksa kelinci-kelinci yang tak berdaya.

Akan tetapi Dewi Suling menahan kemarahannya. Betapapun juga, dia bukanlah seorang wanita yang bodoh dan neked. Ia tahu bahwa kalau ia turun tangan ia tidak akan berhasil menolong orang-orang yang sengsara itu, bahkan tak mungkin ia melawan ratusan orang penjaga yang bersenjata lengkap itu.

Dari saat itu, mulailah Dewi Suling berubah menjadi hantu pengacau daerah penggalian terusan. Setiap malam tentu ada penjaga yang tewas di tangannya. Sepak terjangnya menggemparkan, datang dan pergi seperti siluman saja dan setiap ada penjaga yang memisah diri dari kawan-kawannya tentu akan menjadi korban di tangan maut Dewi Suling. Bahkan pernah dalam waktu semalam saja membunuh belasan orang penjaga dengan jarum, suling dan tangaanya.

Beberapa hari kemudian, kenyataan lain dibuat Dewi Suling menjadi lebih marah lagi! Ia telah mendengar akan kekejian para penjaga yang menangkapi wanita-wanita muda untuk diseret ke dalam markas mereka, dijadikan mangsa para perwira seperti domba domba muda diseret masuk ke kandang penuh oleh harimau harimau kelaparan.

Ia telah mendengar tentang perkosaan-perkosaan yang lebih mengerikan dan hebat daripada penyembelihan kaum kerja paksa. Ia mendengar pula betapa jeritan dan raung setiap malam membubung ke angkasa keluar dari mulut wanita-wanita yang dikurung dalam markas. Akan tetapi markas itu terlalu kuat. Dindingnya terlalu tebal dan tinggi, penjaga amat kuatnya sehingga tidaklah mungkin bagi Dewi Suling untuk menyelinap atau menyerbu masuk.

Sudah beberapa hari ia tidak lagi mengancam para penjaga di sekitar tempat penggalian melaikan berkeliaran di luar markas di Thian an-bun karena di tempat inilah ia melihat belasan orang gadis muda diseret masuk pagi kemaren. Namun belum juga ia berhasil memasuki markas sehingga hatinya menjadi kesal.

Akhirnya pada malam ketiga Dewi Suling menjadi nekad. Ia memilih dinding di mana terdapat sebatang pohon di dekatnya. Dengan ginkangnya yang istimewa, tubuhnya melayang ke atas pohon seperti seekor burung saja. Kegelapan malam melindungi bayangannya dan pada saat para peronda lewat. Ia menggenjot tubuhnya dari cabang teratas mencelat ke atas dinding markas. Dari sini tubuhnya melayang ke atas genteng kemudian mendekam, lalu menyelinap dan berindap-indap memasang mata dan telinga ke arah bawah.

Kota Thian an-bun adalah pusat yang dijadikan markas besar para pasukan yang bertugas menjadi pelaksana dari penjaga para pekerja paksa pembuat saluran besar itu. Pasukan yang berada di kota ini tidak kurang dari seribu lima ratus orang. Di benteng ini, yang menjadi panglimanya adalah seorang panglima Mongol yang bertubuh tinggi besar bertenaga kuat, bermuka penuh brewok dan terkenal keras memegang peraturan terhadap para pekerja.

Panglima ini sebenarnya bukan seorang Mongol tulen, melainkan seorang peranakan. Akan tetapi sudah lajim di dunia ini bahwa si anjing lebih galak daripada tuannya, si pejabat lebih galak daripada atasannya dan antek antek lebih jahat daripada majikannya.

Oleh karena itu, panglima inipun lebih bersifat Mongol daripada si Mongol yang aseli, yaitu para penjajah, lagaknya seolah-olah dialah keturunan Jengis Khan, pendiri kerajaan Mongol. Nama panglima ini adalah Ban Ciang dan julukannya adalah Thai lee Kwi-ong (Raja Iblis Bertenaga Dahsyat)!

Sebagai pelaksana yang bertugas menyelesaikan pembuatan saluran, dia menggunakan tangan besi dan dia sendiri sudah menyatakan bahwa kalau perlu agar saluran itu berhasil diselesaikan, ia akan menggunakan mayat mayat rakyat pekerja paksa sebagai dasar saluran!

Disamping tangan besi ini. Ban Ciang amat pandai menyenangkan hati para perwira pembantunya, memang inilah keistimewaannya sehingga ia cepat sekali dapat mencapai kedudukan tinggi. Ia pandai menjilat atasan, pandai membujuk bawahan untuk menjadi terkenal sehingga segala pelaporan mengenai dirinya ke istana selalu baik dan menyenangkan.

Untuk menyenangkan hati para perwiranya inilah Ban Ciang tidak segan segan untuk menangkapi wanita-wanita muda setiap hari, bahkan ia menggunakan serombongan pasukan yang tugasnya menangkap dan menyeret wanita-wanita muda sampai pula ke dusun dusun untuk di bawa ke Taian an-bun dan dipergunakan “menjamu” para perwira pembantunya setelah lebih dulu memilih yang tercantik untuk diri sendiri.

Setelan para perwira bosan, maka wanita-wanita muda itu dengan royal sekali ia lalu dihadiahkan kepada anak buah, terus turun sesuai dengan pangkat mereka sampai akhirnya wanita-wanita itu mati dan dikubur begita saja di sungai sama seperti para pekerja. Sedangkan untuk para wanita muda inipun merupakan pekerja pekerja paksa yang nasibnya malah jauh lebih sengsara dan memalukan kalau dibandingkan para pekerja pria.

Dewi Suling yang telah berhasil memasuki markas, mengintai dari atas genteng bangunan terbesar yang berada di tengah markas Thian an-bun. Dari atas ia melihat sinar terang dan suara tertawa-tawa dan ketika ia mengintai ke bawah ia melihat bahwa dalam ruangan bawah itu para perwira sedang mengadakan pertemuan dalam sebuah pesta pora, bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dan dilayani oleh banyak wanita-wanita muda.

Hati Dewi Suling perih sekali rasanya ketika melihat keadaan wanita-wanita itu. Jelas bahwa wanita itu adalah orang-orang yang sedang menderita bathin, wajah mereka yang cantik cantik dan muda itu pucat dan seluruh gerak gerik mereka membayangkan kelelahan, kedukaan dan keputusasaan yang menyedihkan.

Disamping perasaan ini, Dewi Suling marah sekali menyaksikan pula betapa para perwira, yang hadir di dalam pesta bersikap kasar dan tidak sopan terhadap pelayan wanita yang melayani mereka, mereka tertawa-tawa, mereka kadang-kadang menarik memeluk atau mencium seorang wanita begitu saja secara menjemukan.

Dari tempat pengintaiannya. Dewi Suling melihat panglima Thian an-bun yang tinggi besar dan berewokan. Mudah saja mengenal Panglima Ban Ciang karena selain pakaiannya paling mewah dan gagah juga ia merupakan satu satunya orang yang paling dihormati di dalam ruangan diantara perwira-perwira yang jumlahnya kurang lebih tiga puluh orang itu.

Ban Ciang duduk di atas kursi besar menghadapi meja, diapit oleh dua orang tercantik yang melayani dengan arak dan makanan, menyumpitkan daging menyuapinya sambil memaksa mulut yang kecil itu tersenyum senyum. Ban ciang kelihatan gembira, tertawa-tawa kalau bicara kepada para bawahannya dan kadang ia mencubit dagu perempuan di kiri atau menowel pinggang perepuan di kanan.

Akan tetapi Dewi Suling tidak memperdulikan kekurang ajaran mereka itu, karena ia sedang memperhatikan percakapan mereka. Sambil tertawa-tawa Ban Ciang menceritakan kepada bawahannya tentang seorang tawanan yang menarik Dewi Suling.

“Ha ha ha… kalian akan melihat sendiri nanti. Tawanan itu adalah puteri jelita dan gagah perkasa dan cucu dari Thian-te Sin-kiam. Julukannya Sian-li Eng-cu.“

“Aduh! Hamba dengar dia memang bunga mawar hutan indah. Dan kehebatannya yang bagaikan kuda betina liar, yang menyepak dan menggigit kalian berdua... ha, ha, ha!” kata seorang panglima bawahan.

“Heh, heh! Itulah sebabnnya mengapa aku segera minta dia digusur ke mari! Belum pernah aku mendapatan yang seperti itu!” kata Ban Ciang mengangguk angguk.

“Akan tetapi, tidakkah mereka itu datang dari selatan? Dan menurut penyelidik, di hutan sebelah selatan penuh dengan kaum pemberontak. Kabarnya para pelarian yang memberontak dipimpin empat orang muda itu kini makin banyak jumlahnya.”

“Dan juga ada gerakan dari pemberontak yang dipimpin Huang-ho Sam-liong….”

Mendengar ucapan dua orang perwira itu Ban Ciang tertawa bergelak. “Ha, ha, ha, memang sengaja kubiarkan saja mereka itu agar kurang waspada. Akan tetapi kalian bersiap-siaplah untuk melakukan penyembelihan karena aku sudah mengatur pasukan untuk penyergapan dan penangkapan agar sekaligus mereka itu dapat di habiskan. Dan kalau nanti sampai dapat menangkap hidup hidup dua orang gadis pemmpin para pelarian itu, hemm…. kabarnya mereka hebat-hebat!”

Selagi para perwira tertawa-tawa dan bercakap cakap tiba-tiba muncul dua orang penjaga yang langsung melapor kepada Panglima Ban Ciang. “Pasukan yang disuruh mengumpulkan tenaga ke barat sudah tiba, mohon keputusan tai-ciangkun!”

Berseri wajah Ban Ciang “Ha, Perwira Kwa sudah kembali? Lekas, suruh dia datang mengnadap!”

Dari luar terdengar suara gaduh. Dewi Suling memperhatikan dan dia menggigit bibir menahan marah ketika mendengar suara tertawa-tawa diantara isak tangis. Tak salah lagi tentu Perwira Kwa yang memimpin pasukan mencari tenaga pekerja ke barat itu selain berhasil memaksa rakyat pekerja, juga telah menangkapi banyak wanita muda. Sepasang mata wanita sakti ini seperti mengeluarkan api ketika ia mendapatkan keanyataan bahwa dugaannya benar.

Perwira she Kwa itu muncul, seorang laki laki tinggi besar bermuka hitam bersikap kasar sekali dan dengan bangga sambil tertawa-tawa perwira Kwa itu memamerkan hasil pekerjaannya kepada atasannya, yaitu selain ribuan orang pekerja paksa, juga lebih dari lima puluh wanita muda yang mereka culik dan tempat sepanjang perjalanan!

“Huah ha ha! Bagas sekali Kwa ciangkun. Jangan khawatir, jasamu sekali ini akan ku catat dan sampaikan ke kotaraja. Mari kita melihat lihat domba domba yaag kau dapatkan, aku ingin memilih seekor… ha, ha, ha!”

“Sekali ini cukup dan semua rekan tentu akan mendapat bagian!” kata perwira Kwa sambil tertawa puas.

Para perwira yang hadir menjadi gembira sekali karena mereka akan mendapatkan penghibur baru, juga para perwira rendahan bergembira karena kalau atasan mereka mendapatkan yang baru tentu yang lama akan dilemparkan kepada mereka. Sambil tertawa-tawa perwira Kwa bertepuk tangan memberi isyarat kepada anak buahnya.

“Tar, tarr….!” Ledakan ledakan keras suara cambuk yang dibunyikan Kwa ciangkun. Perwira she Kwa ini memang seorang ahli bermain cambuk dan permainan cambuknya yang telah banyak merenggut nyawa. Kini ia telah mengeluarkan cambuknya untuk menakut nakuti para tawanan itu dan seraya berseru,

“Hayo berbaris satu satu, tidak boleh menangis! Hayo tersenyum! Ha ha ha!”

Sungguh kasihan wanita-wanita muda ini, sebagian besar gadis gadis dusun yang bodoh dan tidak tahu apa apa, mereka dengan wajah ketakutan berbaris seperti sekawanan domba digiring ke tempat penyembelihan. Para perwira tertawa bergelak dan Panglima Ban yang berdiri paling depan sudah memilih dengan pandang matanya yang tajam.

Tiba-tiba Kwa ciangkun meloncat ke depan mendekati seorang diantara para tawanan mereka itu dan membentak, “Hei…! Engkau…! Siapa engkau? Mengapa baru sekarang aku melihatmu?“

Wanita itu cantik sekali, jauh lebih cantik daripada semua tawanan yang terdiri dari wanita-wanita dusun itu. Selain cantik jelita, juga bentuk tubuhnya menggairahkan, kerling matanya tajam dan mulutnya yang manis itu membayangkan senyum memikat. Wanita itu bukan lain adalah Dewi Suling!

Ketika dia tadi melihat para tawanan ia bermaksud menolong mereka. Juga kalau ia menyerbu begitu saja menurutkan hati yang marah, dia tidak akan banyak berhasil, bahkan mungkin membahayakan keselamatannya dirinya sendiri. Oleh karena itu dia lalu melayang turun dan menyelinap mendekati puluhan orang wanita itu, dengan niat hendak mendekati Panglima Ban Ciang dan turun tagan secara tiba-tiba.

Biarpun dia hanya akan berhasil membunuh seorang Ban Ciang saja akan tetapi hal itu merupakan keuntungan besar karena panglima ini adalah kepala dari semua barisan di Thian an-bun. Akan tetapi siapa kira sebelum ia tiba dekat Panglima Ban Ciang, ia telah terlihat oleh Kwa ciangkun yang menegurnya dan mendekatinya dengan cambuk di tangan.

Dewi Suling memasang aksi, tersenyum main main dan berkata dengan suara merdu. “Tentu saja, mana seorang ciangkun mengenal seorang rendah seperti hamba? Hamba selalu bersembunyi di antara teman teman wanita…”

Kwa ciangkun tercengang. Wanita ini terlalu cantik untuk tidak terlihat olehnya sebelumnya, sikapnya terlalu manis, amat mencurigkan. “Tarr tarrr….!” Cambuknya berbunyi keras dan berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar-nyambar dari atas.

Dewi Suling terkejut sekali, akan tetapi ia masih dapat menahan hatinya dan berpura pura ketakutan ketika cambuk menyambar. Tahu tahu cambuk itu ujungnya telah melibat tubuhnya, membuat kedua lengannya terbelenggu. Hal ini terjadi tanpa ia rasakan, kulitnya tidak terluka dan bajunya tidak robek. Hal ini saja sudah membuktikan betapa ampuhnya cambuk ini dan betapa pandainya Kwa ciangkun, bermain cambuk.

“Hayo engkau ikut bersamaku lebih dahulu!” Kwa ciangkun menarik gagang cambuknya sehingga tubuh Dewi Suling tertarik keluar dari barisan wanita.

“Eh, Kwa ciangkun, hendak kau bawa ke mana dia? Wah wah, dia paling cantik di antara semua…! Berikan dia padaku, ciangkun!” Terdengar suara Panglima Ban Ciang dan hati Dewi Suling berdebar girang. Inilah yang diharapkannya. Akan tetapi alangkah mendongkol hatinya ketika ia mendengar Kwa ciangkun menjawab,

“Maaf, Tai ciangkun. Saya tidak berani melepaskan wanita ini sebelum memeriksanya. Dia mencurigakan, siapa tahu akan mendatangkan bahaya. Kalau sudah saya periksa dan ternyata tidak apa-apa tentu akan saya antarkan kepada ciangkun!”

Selelah memberi hormat, Kwa ciangkun menarik cambuknya dan membentak kepada Dewi Suling. “Hayo, kau ikut aku sebentar!”

“Aku di pilih cingkun… kenapa kau menghalang? Cis, tak tahu malu!” Dewi Suling mencoba untuk membantah dengan kata kata, akan tetapi perwira tinggi besar itu sudah menyeret cambuknya sehingga Dewi Suling terpaksa menggerakkan kaki mengikutinya, di tertawai oleh para perwira iain yang menyaksikan adegan ini dengan gembira.

“Kwa ciangkun jangan sampai lecet kulitnya yang halus. Sayang!” kata seorang perwira.

“Kalau dia mata-mata, serahkan kepadaku saja!” teriak perwira kedua.

Kwa ciangkun tertawa bergelak “Ha ha ha jangan kalian mimpi, kawan kawan! Kalau dia tidak berdosa, tentu Tai ciangkun yang akan memilikinya, dan kalau dia ternyata mata mata musuh, hemm, aku sendiri sudah tahu bagaimana caranya menghukum seorang mata mata cantik seperti ini ha ha ha!”

Dewi Suling menggigit bibir menahan kemarahannya sambil menanti kesempatan baik, wanita yang sudah “matang” ini tidak sembarangan menurutkan perasaannya, maka ia sengaja terhuyung huyung ketika ditarik memasuki sebuan kamar yang ternyata adalah sebuah kamar lebar berisi sebuah tempat tidur dan meja kursi.

Dengan kerling matanya Dewi Suling melihat beapa ketika perwira tinggi besar muka hitam itu menutupkan pintu kamar, ada beberapa orang perwira dengan muka menyeringai benda di luar kamar, agaknya hendak mengintai! Hal itulah yang membuat Dewi Suling kembali menahan sabar.

“Hayo katakan siapa engkau? Engkau mata mata kaum pemberontak yang dikirim mereka dan sengaja menyelundup masuk Thian an-bun, ya? Hendak menyelidiki keadaan markas di sini, bukan?” Sambil berkata demikian perwira itu menggerakkan gagang cambuknya dan tubuh yang tadinya terbelit cambuk, kini terputar di dalam kamar lalu roboh berlutut di atas lantai.

“Hayo mengaku kau!” Cambuk digerakkan lagi dan “tarr, tarr, rarr….!” ujung cambuk melecut lecut ke arah tubuh Dewi Suling.

Kembali Dewi Suling terkejut dan kagum karena ujung cambuk seperti berubah menjadi tangan yang merobek-robek pakaiannya. Diperlakukan seperti itu ia sama sekali tidak merasa canggung ataupun malu. Malah ia sengaja menggerak gerakkan tubuhnya seperti tidak disengaja, akan tetapi sesungguhnya gerakkan gerakannya memperlihatkan pemandangan yang amat menarik hati sehingga tangan Kwa ciangkun yang memegang gagang cambuk menjadi gemetar!

Dewi Suling melirik ke arah pintu, lalu berkata dengan lagak malu malu. “Aihh…. kalau ciangkun memang suka kepadaku, kenapa membikin malu seperti ini? Diintai orang dari pintu…..”

“Tarrr…!” Ujung cambuk meledak di daun pintu yang tertutup rapat disusul bentakan Kwa ciangkun. ''Siapa berani mengintai? Hayo pergi kalian!”

Para perwira tersenyum-senyum dan mereka masih melihat betapa Kwa ciangkun mulai membuka pakaiannya sendiri! Karena takut kalau kalau Kwa ciangkun marah, sambil tertawa-tawa mereka meninggalkan tempat itu, seorang diantara mereka berkata keras, “Wah, selamat Kwa ciangkun!”

Sebagai jawaban atas ucapan selamat ini agaknya dari dalam kamar yang kini daun pintunya tertutup rapat itu terdengar lagi bunyi ledekan ledakan cambuk yang makin lama makin gencar dan makin nyaring.

Akan tetapi karena tidak terdengar jerit tangis wanita, mereka yang mendengar suara ini hanya tertawa-tawa, menganggap bahwa tentu Kwa ciangkun menakut nakuti si wanita itu dan mereka merasa iri hati karena menganggap bahwa tentu perwira itu menikmati banyak kesenangan dengan wanita cantik jelita itu.

Ah, kalau saja mereka itu tahu! Kalau saja para perwira yang mulai dengan pasta pora memilih dan menyeret wanita-wanita tak berdosa itu dapat menjenguk ke dalam kamar tadi! Tentu akan geger seluruh markas Thian an-bun.

Ketika Dewi Suling merasa yakin benar bahwa tidak ada perwira lain mengintai kamar itu, ia mulai beraksi. Dengan gerak dan gaya yang lemah gemulai dan menarik hati, ia mendekati Kwa ciangkun yang memandangnya dengan hati tegang. Melihat betapa wanita cantik itu tersenyum senyum memikat, Kwa ciangkun lalu menubruk dan merangkul. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba merasa tubuhnya menjadi lemas.

Ia mengerakkan tangan dan hendak meronta daripada jari tangan Dewi Suling, akan tetapi kembali jari tangan yang halus telah menotok jalan darah di leher, membuat perwira Kwa tak dapat mengeluarkan sedikitpun suara. Ia tidak roboh karena tubuhnya diterima Dewi Suling yang kemudian tubuhnya dan dilemparkannya ke atas pembaringan sambil merampas cambuk.

Dewi Suling mendekati tubuh yang telanjang dan telentang itu. Ia tersenyum dan mengerling manis sekali mendekatkan mukanya ke muka si perwira sehingga tercium oleh perwira itu bau hatum dari pipi dan rambutnya.

“Kwa caingkun engkau hendak bersenang-senang, bukan? Hi hi hi, tidak sembarang orang dapat bersenang-senang dengan aku, akan tetapi juga tidak mungkin ada orang menghinaku seperti yang kau lakukan tadi dan masih dapat hidup! Engkau mengenal ini?” Dari kempitan ketiaknya, Dewi Suling mengeluarkan sebatang suling berwarna merah yeng tadi ia menyembunyikan ketika ditelanjangi.

Mata Kwa ciangkun bergerak memperhatikan wanita cantik itu, lalu membentakkan kata-kata tak bersuara, “Dewi Suling….!”

Dewi Suling tersenyum lebih manis lagi akan tetapi sepasang matanya menyinarkan kebencian hebat, kemudian tangannya bergerak dan mulailah cambuk itu menari nari dan melecut-lecut mengeluarkan suara ledakan, bertubi tubi, mengenai tubuh Kwa ciangkun yang telanjang bulat!

Dapatlah dibayangkan, perwira itu merasakan penderitaan karena siksaan cambuknya seperti yang sudah sering kali ia lakukan kepada orang-orang tawanan atau pekerja-pekerja paksa. Tubuhnya bergulingan, menggeliat-geliat seperti seekor cacing terkena abu, akan tetapi karena ia berada dalam keadaan tertotok sehingga kaki tangannya lemas, ia tidak dapat bergerak banyak.

Mulutnya menjerit jerit dan berteriak teriak seperti babi disembelih, akan tetapi tidak ada suara keluar dari lehernya yang tertotok pula. Dan ujung cambuk itu bergerak terus, melecut lecut dan menyayat nyatat. Dalam waktu tidak lama, ketika akhirnya Dewi Suling menghentikan gerakan cambuk itu.

Tidak ada bagian kulit tubuh Kwa ciangkun yang tidak tersayat, tidak ada yang utuh kembali seolah olah ia telah dicacah ratusan pedang yang tajam. Ia tidak menyerupai manusia lagi karena kulitnya sudah tersayat dan terkupas habis!

Akan tetapi benda berbentuk manusia yang berdarah darah itu masih bergerak gerak di atas pembaringan yang menjadi merah oleh darah ketika Dewi Suling melompat keluar dari dalam kamar melalui atap rumah, wanita sakti ini telah mengenakan pakaian yang ia dapatkan di dalam kamar sebelah belakang.

Terlalu banyak peristiwa mengerikan terjadi di dalam hari itu di markas Thian an-bun. Terlalu banyak wanita tak berdosa menjadi korban kebiadaban para perwira yang lebih buas dari pada binatang, sehingga hati Dewi Saling seperti ditusuk tusuk rasanya. Mendengar ratap tangis dari dalam banyak kamar di markas itu, teringatlah ia akan perbuatannya sendiri dahulu, akan dosa dosanya.

Tidak banyak bedanya antara dia denngan perwira-perwira itu ketika ia masih sesat dahulu. Karena menyesal timbul kemarahannya yang luar biasa. Ia meyelinap meloncat loncat dan mencari dari atas genteng sampai akhirnya ia berhasil menemukan kamar Panglima Ban Ciang. Panglima brewrok itu sudah tidur mendengkur seperti seekor babi, di sisinya dua orang wanita muda terisak isak menangis perlahan.

Dewi Suling berindap indap menghampiri kamar yang terjaga oleh dua orang pengawal, maklum itu adalah malam pesta, tetu saja penjagaan tidak dilakukan dengan keras, apalagi kamar Panglima Ban Cing berada di tengah tengah markas, siapa yang akan dapat mengganggu!

Dua orang pengawal itu merasa seperti dalam mimpi dan mereka itupun tewas dalam keadaan tidak sadar ketika tiba-tiba sinar merah berkelebat dan dua kali ujung suling di tangan Dewi Suling menusuk seperti seekor ular mematok yang menembus kerongkongan dua orang itu sehingga mereka roboh tanpa dapat menjerit lagi, hanya mengeluarkan suara mengorok sedikit yang masih kalah kerasnya oleh dengkur Panglima Ban Ciang dari dalam kamar.

Dewi Suling mendorong daun pintu dan melompat masuk. Waktu itu, keadaan amat sunyi karena lewat tengah malam. Dua orang wanita yang menahan tangis terisak isak mengangkat muka dan memandang kepada Dewi Suling dengan heran dan takut takut. Dewi Suling cepat menaruh telunjuknya di depan bibir, kemudian ia sekali meloncat telah berada di dekat pembaringan.

Sejenak ia memandang wajah yang mendengkur itu penuh kebencian. Muka perwira berewok itu terlentang matanya setengah terbuka mulutnya celangap mengeluarkan liur dan dengkur, berewoknya bergerak gerak amat menjijikan. Kemudian tangan kanan Dewi Suling bergerak, sinar merah bekelebat menotok tiga jalan darah terpenting.

“Duk dukk dukk!”

Tubuh yang tinggi besar itu seperti kemasukan setrum bersamaan matanya terbelalak lebar, mulutnya seperti hendak berteriak akan tetapi tidak ada suara keluar dan tubuhnya tidak dapat digerakkan. Hanya biji matanya yang dapat bergerak dan berputaran, penuh kekagetan, keheranan dan kemarahan. Panglima benteng Thian an-bun ini masih belum merasa takut, hanya kaget, heran dan marah karena siapakah orangnya berani mengganggu dia?

Akan tetapi ketika Dewi Suling mengamangkan suling merahnya itu di depan hidungnya sambil berkata, “Pembesar keparat, dosamu telah bertumpuk terhadap rakyat, kini rasakan pembalasan Dewi Suling atas nama rakyat!”

Seketika wajah yang berewokan itu menjadi pucat, matanya terbelalak penuh ketakutan! Ban Ciang sudah mendengar akan sepak terjang Dewi Suling yang dalam hal kekejaman tidak kalah oleh dia sendiri! Ingin ia membujuk untuk bekerja sama, atau mengancam, akan tetapi betapapun juga ia mengerahkan tenaga, ia tidak mampu membebaskan diri daripada totokan yang aneh itu.

Melihat sinar takut membayang di muka panglima itu, Dewi Suling tertawa, kemudian tangannya mengangkat dan mengcengkeraman tangan kirinya sudah membekap erat erat tengkuk pembesar itu. Lalu tubuhnya berkeebat dan wanita sakti ini sudah meloncat keluar dari kamar, membawa tubuh panglima Ban Ciang seperti seekor kucing membawa tubuh seekor bangkai tikus besar saja.

“Kau tidak boleh mati terlalu enak!” kata Dewi Suling perlahan. “Harus menjadi contoh bagi pembesar-pembesar lain!”

Dia lalu melompat ke atas genteng mendekam di wuwungan ketika melihat beberapa orang penjaga meronda. Setelah mereka ini lewat, terdengarlah bunyi melengking tinggi yang memecahkan kesunyian malam itu, suara melengking yang mengerikan dan menyeramkan lebih-lebih lagi bagi Panglima Ban Ciang yang dikempit dan dibawa melompat tinggi oleh Dewi Suling.

Wanita sakti ini mengerahkan khikang dan ginkangnya, melompat sambil membawa tubuh tawanannya ke atas tiang bendera yang berdiri di tengah tengah markas. Bagaikan seekor burung dara saja tubuhnya melayang kemudian tangan kanannya menyambar puncak tiang dan tangan kiri mengangkat tubuh Panglima Ban Ciang.

Karena panglima yang tertotok itu tak dapat mengerahkan tenaga, maka terdengar suara keras, dan kulit perut robek ketika ujung tiang bendera itu amblas memasuki perut Panglima Ban Ciang.

Di bawah kini menjadi geger! Bukan hanya oleh suara melengking tadi, melainkan kini para peronda telah menemukan dua orang penjaga kamar Panglima Ban Ciang dan menemukan pula perwira Kwa di dalam kamarnya.

Ributlah para perwira dan pasukannya, terbangun mendadak dari tidur, obor-obor dipasang dan dalam keadaan geger seperti itu, kabar menjadi simpang siur tidak karuan. Ada yang bilang bahwa para pemberontak menyerbu. Ada yang bilang bahwa markas diserang iblis dan bermacam macam lagi.

Akan tetapi ketika semua orang lari keluar dan melihat ke atas, mereka terbelalak karena kaget melihat betapa tubuh panglimanya tertancap di ujung tiang bendera yang begitu tinggi, kaki tangannya bergerak gerak dan dari atas pucak tiang itu melayang turun bayangaa putih yang mengeluarkan suara melengking.

“Dewi Suling…!” beberapa orang perwira menduga ketika mendengar suara itu dan melihat bayangan putih.

“Tangkap penjahat!“

“Kepung….!”

Makin ributlah keadaan di situ ketika Dewi Suling yang sudah melayang terus menyelinap kemudian jarum jarumnya ia hamburkan dengan royal sekali. Akan tetapi ia tidak mau sembarangan membunuh pasukan biasa. Ia memilih korban dan sebagian basar yang terjungkal oleh jarum-jarumnya adalah para perwira!

Dewi Suling maklum bahwa kalau ia tidak cepat-cepat pergi, keadaannya akan berbahaya sekali. Tak mungkin ia seorang diri melawan ratusan bahkan seribu lebih pasukan di dalam benteng! Maka ia lalu menyimpan sulingnya, menyelinap dan menggunakan kesempatan selagi keadaan kacau balau.

Para perwira dan wanita tawanan lari berserabutan, ia berhasil menerobos keluar melalui pintu gerbang kecil sebelah kiri, membunuh lima orang penjaganya. Ketika pasukan menyerbu ke situ bayangan Dewi Suling sudah tak tampak lagi, ditelan kegelapan hutan-hutan di luar tembok benteng...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.