Pendekar Cengeng Jilid 12 karya Kho Ping Hoo - Demikianlah karena telah mendengar percakapan antara perwira di Thian an-bun yang hendak menyerbu barisan pejuang di dalam hutan, maka ketika pasukan bekas pekerja paksa yang dipimpin oleh Ouwyang Tek, Gui Siong, Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng, dikurung kemudian dibantu oleh pasukan di bawah pimpinan Ie Bhok dan Cui Hwa Hwa.
Dewi Suling dapat datang membantu mereka dan mengamuk dengan hebatnya. Bahkan ketika pasukan pejuang itu melarikan diri dari dalam hutan untuk menuju ke daerah pegunungan di sebelah barat Thian an-bun ia pun diam-diam mengikuti pasukan ini untuk menjaga keamanan.
Ketika ia menyaksikan betapa akrab hubungan antara Ouwyang Tek dan Lauw Ci Sian, dan antara Gui Siong dan Tan Li Ceng diam-diam tersenyum girang dan bersukur di dalam hatinya bahwa dua orang pemuda yang pernah ia rindukan dan kagumi sampai sekarang itu telah memperoleh pilihan hati masing-masing, dan ia mengakui bahwa pilihannya tidak keliru karena dua gadis murid Tho tee-kong Liong Losu itu adalah dara-dara jelita dan perkasa.
Pagi keesokan harinya, pasukan pejuang ini sudah harus bertempur lagi melawan lima puluh orang penjaga yang melakukan perondaan di pegunungan itu. Ketika pasukan Mongol ini tiba di dekat telaga, tiba-tiba mereka disergap oleh para pejuang dan terjadilah lagi perang yang amat seru dan hebat.
Keadaan pasukan Mongol itu masih segar dan pasukan itu pun merupakan pasukan pengawal pilihan dipimpin oleh beberapa orang perwira Mongol yang kosen. Sebaliknya para pejuang sudah amat lelah, semalam suntuk melakukan perjalanan sehabis berperang mati matian.
Untung bahwa di situ selain ada Ouwyang Tek, Gui Song, Ci Sian dar Li Ceng yang gagah perkasa, terdapat pula Dewi Suling yang mengamuk bagaikan seekor naga betina sehingga sepak terjangnya membangkitkan semangat para pejuang.
Dan pada saat ramai ramainya pertempuran, muncullah pasukan pengemis sabuk merah dipimpin sendiri oleh ketuanya, Ang Kwi Han! Munculnya pasukan pengemis ini merupakan tanda kehancuran bagi para perajurit Mongol.
Ketika perang selesai dengan robohnya seluruh anggauta pasukan Mongol, barulah sermla pejuang melihat bahwa diantara mereka terdapat pula Liem Siok Lan, gadis perkasa yang telah mereka kenal itu! Tentu saja Ang Kwi Han dan anak buahnya merasa tidak enak bertemu dengan gadis ini, juga anak buah Ie Bhok terutama sekali Cui Hwa Hwa.
Akan tetapi dasar Liem Siok Lan orang gadis yang tidak perdulian, tak kenal takut dan dasar wataknya riang jenaka, ia tidak perduli melihat muka yang cemberut kepadanya itu. Akan tetapi sambil tersenyum riang ia menyambut uluran tangan Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng yang tersenyum dan berkata kepadanya,
“Sungguh bahagia bagi kami dapat bertemu dengan Sian li Eng cu yang terkenal di seluruh dunia kang ouw! Dan memang tepat sekali julukan adik, engkau amat cantik dan manis seperti bidadari!”
Siok Lan menyambar tangan Tan Li Ceng dan mencela, “Wah... wah, siapa tidak melihat sepak terjangmu tadi ketika mengamuk? Aku masih kalah jauh, dan engkau menyebutku adik? Ah, aku melihat engkau tidak lebih tua dari pada aku, bukankah begitu, enci Ci Sian?”
Dua orang gadis murid Tho tee kong Liong Losu ini menjadi gembira dan senang sekali kepada Siok Lan yang bersikap demikian polos dan ramah jenaka. Segera mereka menjadi sahabat sahabat baik bercakap cakap dan bersenda gurau. Melihat ini, mereka yang mendongkol terhadap Sian li Eng cu, makin merasa tidak enak dan menahan perasaan mereka.
Betapapun juga, Siok Lan telah membuktikan bahwa gadis inipun ikut berjuang melawan penjajah, bahkan pernah dijadikan tawanan penting. Di samping kenyataan ini, juga mereka semua masih menghormati kakek gadis ini, yaitu Thian te Sin kiam yang terkenal sebagai bekas pejuang besar.
Demikianlah, pendekar muda muda yang perkasa itu berkumpul dalam sebuah pasukan pejuang yang kuat dan mereka ini bersama pasukannya cukup memusingkan para perwira di Thian an bun. Apalagi setelah kematian Panglima Ban Ciang disusul oleh kematian kematian para perwira lainnya yang hampir terjadi setiap malam.
Kematian kematian aneh yang selalu diawali lengking tangis mengerikan dan kadang-kadang disertai tulisan darah si korban pada dinding benteng atau pada permukaan bendera bahwa selama para perwira Mongol menindas kaum pekerja paksa dan menculik wanita-wanita muda, maka pembunuhan-pembunuhan terhadap para perwira akan dilanjutkan terus?
Tentu saja semua pembunuhan gelap ini dilakukan oleh Dewi Suling yang dibantu orang-orang pandai dalam pasukan pejuang itu seperti Cui Hwa Hwa, Ang Kwi Han, kedua orang pemuda perkasa murid Siauw bin-mo Hap Tojin dan kedua orang gadis perkasa murid Tho tee-kong Liong Losu, tidak ketinggalan pula Sian-li Eng-cu Liem Siok Lan. Selain orang-orang gagah ini sering kali muncul pula secara diam-diam Pendekar Cengeng!
Hal ini di ketahui ketika pada suatu malam, mereka, termasuk pula Dewi Suling mendengar lengking yang jauh lebih tinggi dan kuat dari pada lengking yang ia keluarkan kemudian melihat bayangan putih berkelebat memasuki benteng Thian an bun dan disusul dengan suara hiruk pikuk dan geger di dalam benteng lalu kelihatan asap mengebul di sebelah kiri benteng.
Kemudian, kembali bayangan putih berkelebat tak jauh dari tempat mereka bersembunyi, lalu turun dan melepaskan dua orang gadis tawanan yang telah berhasil diselamatkannya, kemudian sekali berkelebat bayangan itu lenyap. Ditinggalkannya dua orang gadis tawanan itu di dekat tempat para pejuang bersembunyi menunjukkan bahwa pendekar besar itu telah tahu di mana mereka bersembunyi!
“Yu taihiap….!” Hampir berbareng Ouwyang Tek dan Gui Siong berseru memanggil.
“Ahh, Pendekar Cengeng! Kenapa tidak bergabung dengan kami?” Ang Kwi Han ketua para pengemis Ang-kin Kai-pang juga berseru dengan suaranya yang parau dan nyaring.
“Pendekar Cengeng….!” Dewi Suling juga memanggil akan tetapi perlahan dan agaknya mengeluarkan panggilan ini tanpa disadari karena ia kelihatan tercengang kemudian berdiri termenung.
Semua ini terdengar dan tampak oleh Siok Lan yang berdebar debar jantungnya. Kiranya benar Pendekar Cengeng yang kadang-kadang muncul secara rahasia. Tentu telah disampaikan oleh Aliok segala perasaan bencinya terhadap pendekar itu. Tampak pula olehnya betapa munculnya pendekar itu yang hanya sebentar membuat Ci Sian dan Li Ceng menundukkan muka dan sama sekali tidak bergerak, seperti orang takut-takut atau malu-malu!
Kemudian dari jauh sekali namun dengan suara yang menggetar tanda bahwa suara itu dikemudian khikang yang bebat, terdengar si Pendekar Cengeng menjawab, “Harap cuwi kembali ke hutan, di sini berbahaya. Aku telah membunuh panglima mereka yang baru, karena panglima itu kejam. Hormat ku kepada semua teman yang gagah perkasa. Lain waktu aku akan mengunjungi cuwi di hutan...!”
Karena dari dalam benteng terdengar suara ribut-ribut dan keadaan memang amat berbahaya kalau pasukan di dalam benteng itu mengadakan pengejaran keluar, maka para pejuang ini lalu pulang ke tempat persembunyian mereka di hutan sambil membawa serta dua orang gadis remaja yang tadinya menjadi tawanan dan berhasil dibebaskan oleh Pendekar Cengeng.
Di dalam perjalanan kembali ke hutan ini, suasana menjadi sunyi. Seperti biasanya, Dewi Suling tidak tampak lagi. Memang semenjak bersama diantara para pejuang, Dewi Suling selalu menjauhkan diri, hanya bersatu dikala menghadapi musuh saja. Agaknya wanita ini maklum bahwa para pejuang itu agak segan berdekatan dengan dia.
Maka ia tahu diri dan selalu menjauhkan diri dari siapapun juga sungguhpun pada hakekatnya, para pejuang kagum kepadanya juga bahwa Ouwyang Tek dan Gui Siong dua orang yang pernah menjadi korban keganasannya di waktu dahulu itu kini tidak lagi mendendam atau membencinya.
“Li Ceng, siapakah sebetulnya Pendekar Cengeng itu? Bukankah dia yang bernama Yu Lee? Dia itu orang macam apa sehingga gerak geriknya begitu aneh seperti setan, dan mengapa tidak mau menemui kita?” Ditengah perjalanan Siok Lan berbisik kepada Li Ceng.
Gadis cantik berpakaian pria itu menghela napas panjang. “Ahhhh, siapa orangnya dapat mengikuti gerak gerik seekor naga terbang di angkasa yang amat sakti itu? Dia adalah seorang pendekar yang pada masa kini tiada keduanya Siok Lan. Dan jangan sekali-kali kau menyebutnya seperti setan karena dia adalah seorang pendekar besar dan budiman…”
“Pendekar besar apa? Budiman apanya? Aku anggap dia hanya seorang yang sombong....!”
Ucapan Siok Lan ini dikeluarkan dengan nada marah dan agak keras sehingga Ci Sian menengok dengan mata terbelalak lalu berkata, “Shh… adik Siok Lan, jangan berkata demikian! Dia amat sakti, mungkin sekarang juga dapat mendengarkan kata-katamu!”
Siok Lan makin panas perutnya. Ia membusungkan dada dan berkata, “Habis, kalau dia bisa mendengar mau apa dia? Aku sih tidak takut pada seorang sombong!”
Liauw Ci Sian dan Tan Li Ceng hanya dapat saling pandang! Untung bahwa yang lain-lain agak berjauhan, sehingga tidak dapat mendengar betapa Siok Lan memaki-maki. Mereka ini paling dekat pengaulannya dengan Siok Lan dan telah mengenal Sian-li Eng-cu sebagai seorang gadis yang berwatak polos, jujur, berani mati dan juga aneh, mudah marah dan mudah gembira, lincah jenaka akan tetapi juga amat perasa. Mereka tidak bicara lagi karena khawatir kalau kalau Siok Lan akan menjadi-jadi dalam kemarahannya yang aneh terhadap Pendekar Cengeng.
Malam hari Siok Lan tidak dapat tidur. Hatinya gelisah kalau ia memikirkan Aliok. Mengapa sampai begitu lamanya pelayannya itu tidak muncul? Dan mengapa pula Pendekar Cengeng yang sudah muncul itu seolah-olah selalu menghindarkan diri dari padanya? Menurut Li Ceng, sudah beberapa kali selama ini Pendekar Cengeng menemui para pejuang, bahkan mengatur siasat bersama sama mereka. Perjuangan mereka berhasil baik.
Sudah tiga kali semenjak Panglima Ban Ciang dibunuh Dewi Suling, panglima panglima baru yang menjabat sebagai komandan Thian an-bun, dapat mereka bunuh sehingga sekarang kabarnya kota raja mengirimkan seorang panglima yang selain amat lihai ilmunya juga tidak kejam seperti panglima panglima yang lain.
Panglima baru ini yang namanya Ouw Beng Tat, bekas panglima kerajaan Sung selatan adalah seorang tokoh besar dalam dunia kangouw karena dia adalah seorang berilmu tinggi dan dahulu terkenal membela kerajaan Sung Selatan. Setelah kerajaan Sung jatuh, fihak Mongol yang melihat seorang yang amat benguna ini tidak membunuhnya begitu saja, melainkan berhasil membujuknya dan mengangkat orang yang pandai ini sebagai seorang panglima di kota raja.
Kini, melihat keadaan Thian an-bun yang didorong-dorong oleh kaum pejuang, kaisar sendiri mengutus Ouw beng Tat untuk menenteramkan keadaan di Thian an bun dan menjaga agar pekerjaan penggalian terusan itu dilaksanakan dengan baik. Ouw Beng Tat dapat ditundukkan karena orang gagah ini amat kagum terhadap Jengis Khan, pendiri kerajaan Mongol yang juga adalah seorang gagah perkasa yang sukar dicari bandingnya.
Ia dapat menghargai pengangkatan dirinya dan ketika menerima tugas di Thian an bun ia segera mengambil langkah langkah penting. Pertama-tama ia menurunkan perintah dan peringatan tegas terhadap semua perajurit agar tidak lagi menangkapi wanita-wanita, bahkan wanita-wanita yang masih dikeram di situ semua dibebaskan, mendapat pesangon dan dikirim pulang ke kampung masing masing.
Untuk keperluan para perwira anak buahnya, ia memerintahkan agar dicarikan wanita-wanita pelacur yang dipekerjakan di Thian an-bun. Panglima yang pandai ini mengerti kalau kebutuhan jasmani para pasukan tidak dipenuhi sukar mencegah terjadinya gangguan terhadap wanita-wanita baik-baik, selain ini, langkah kedua yang amat penting telah pula diambilnya yaitu memperbaiki jaminan bagi kaum pekerja paksa.
Mereka ini tentu saja tidak mendapat upah, akan tetapi setidaknya, jaminan hidup bagi mereka dicukupi setiap hari mendapat makan dan cara bekerja diatur secara bergilir! Tindakan ini amat menguntungkan pemerintah Goan sendiri, karena setelah para pekerja mendapat makan cukup dan istirahat cukup, daya kerja mereka meningkat. Juga jangka waktu kerja paksa ini diatur, yang lama dibebaskan untuk diganti yang baru, sedangkan istilahnya juga dirobah, bukan lagi kerja paksa, melainkan kerja bakti!
Memang harus diakui, perjuangan orang-orang gagah yang masih menyembunyikan diri di hutan hutan sebelah barat Thian an bun berhasil amat baik. Tentu saja mereka tidaklah mungkin dapat mengusir penjajah atau mengalahkan barisan penjajah yang amat banyak itu. Namun memang bukan itu tujuan utama mereka melainkan disesuaikan dengan keadaan mereka yang hanya terdiri dari ratusan orang.
Tujuan mereka adalah mencegah terjadinya penindasan-penindasan dan menolong rakyat. Kalau keadaan rakyat tidak tertindas lagi, dan kalau mereka dapat bergabung dengan barisan pejuang lain yang lebih besar, barulah mungkin mereka akan memikirkan perjuangan untuk membebaskan tanah air dari tangan penjajah.
Siok Lan melamun seorang diri di dalam hutan. Biasanya ia tidur bersama Li Ceng d Ci Sian di bawah sebatang pohon besar akan tetapi malam itu ia menyendiri di tempat gelap. Hatinya risau mengingat Aliok, juga penasaran mengingat Pendekar Cengeng. Malam-malam yang lalu ia tidak begitu sedih karena terhibur oleh pekerjaan mengacau Thian an-bun.
Akan tetapi semenjak Ouw Beng Tat merobah peraturan dan memperketat penjagaan, para pejuang menjadi menganggur dan mulai ia teringat akan urusan pribadi, ia harus menemui Pendekar Cengeng! Ia teringat akan cerita Li Ceng bahwa pendekar itu kalau datang di waktu malam, datang dan pergi tanpa di ketahui orang lain kecuali mereka yang hendak dijumpainya.
Teringat akan ini, Siok Lan lalu bangkit dan bergerak menyelinap di antara pohon pohon dan malam yang gelap. Biarlah pikirnya, aku akan melakukan perondaan dan pergintaian. Masa aku tidak akan dapat bertemu dengannya? Kalau ia datang menemui seseorang di hutan ini, tentu aku akan dapat melihatnya dan aku akan keluar, langsung menantangnya! Atau terus saja menyerangnya?
Jantungnya berdebar dan tanpa disadarinya lagi, jari tangan kanannya meraba gagang pedangnya. Malam itu tidak terlalu gelap. Sinar bulan menerobos di antara celah celah daun pohon dan Siok Lan dapat melihat ke depan dalam jarak sepuluh tombak. Ia terus menyelidik dan menyelinap di tempat tempat gelap.
Para pejuang sudah banyak yang tidur dan hanya mereka yang bertugas jaga saja yang masih berdiri di tempat penjagaan dan ada pula yang meronda. Akan tetapi tak seorangpun dapat melihat Siok Lan yang bergerak hati-hati dan melangkah dengan kaki ringan sekali.
Tiba-tiba gadis ini menghentikan gerakannya karena ia melihat sesosok bayangan putih berkelebat cepat di sebelah depan. Tubuh yang ramping dan pakaian yang putih itu segera dikenalnya baik-baik. Dewi Suling! Hatinya berdebar. Juga Dewi Suling bergerak seperti dia, tidak sewajarnya berjalan biasa melainkan menyelinap dan dengan hati-hati seperti orang hendak mengintai.
Ia lalu diam diam mengikuti dari belakang dan cepat menyelinap di balik pohon ketika ia melihat Dewi Suling melayang naik ke atas pohon dan diam tak bergerak. Kagum ia menyaksikan cara Dewi Suling melompat ke atas pohon, separti burung saja.
Harus diakuinya bahwa di antara para pejuang yang berkumpul di hutan itu hanya ada tiga orang yang lebih tinggi ilmunya dari padanya. Pertama adalah Cui Hwa Hwa kedua Ang Kwi Han dan ketiga adalah Dewi Suling. Terutama Dewi Suling ini yang ia tahu amat lihai, lebih lihai daripada Cui Hwa Hwa atau Ang Kwi Han!
Kini tahulah ia bahwa Dewi Suling diam-diam juga mengintai, seperti dia dan jantungnya berdebar tegang ketika ia melihat seorang bertubuh tinggi tegap berpakaian putih berdiri menghadapi Ouwyang Tek dan Gui Siong.
Agaknya mereka bertiga sedang bicara dengan keras nadanya seperti orang bertengkar. Sayang pada saat itu, orang yang berpakaian putih itu memutar tubuh sehingga membelakanginya, akan tetapi biarpun ia hanya melihat dari belakang, ia menduga bahwa dia itulah orang yang dicari-cari.
Dialah Pendekar Cengeng! Dan ia makin yakin akan kebenarannya ketika mendengar Ouwyang Tek menyebut “Yu taihiap” kepada orang itu. Dialah Si Pendekar Cengeng Yu Lee tunangannya yang amat sombong terhadap dirinya! Ingin ia melompat dan menerjang orang sombong itu, akan tetapi betapa ia dapat melakukan hal ini kalau Pendekar Cengeng sedang bercakap-cakap dengan dua orang pemuda itu dan di situ terdapat pula Dewi Suling yang mengintai.
Sama halnya dengan membuka kedok sendiri. Tidak, ia harus menanti, dan percakapan antara mereka bertigapun amat menarik hatinya. Seperti halnya dengan Dewi Suling yang berdiam di atas pohon tak bengerak Siok Lan pun diam tak bergerak di balik batang pohon, agak jauh di belakang Dewi Suling.
Terdengar olehnya orang berpakaian putih itu berkata setelah menarik napas panjang, suaranya halus, “Sudahlah, harap jiwi sudahi saja urusan ini dan harap jangan mendesak aku yang tidak merasa bersalah.”
Ouwyang Tek membantah, suaranya tidak sabar, “Memang, Yu taihiap. Kami berduapun tidak menyalahkan taihiap. Ketika itu, kedua nona Ci Sian dan Li Ceng tertawan penjahat dan tentu akan mengalami bencana hebat kalau tidak taihiap menolong mereka. Akan tetapi…”
Pemuda tinggi besar yang tak pandai bicara ini tak dapat melanjutkan kata katanya, termanggu manggu dan mengepal ngepal tinju nya yang besar. “Pendeknya, Yu taihiap harap sudi menerima mereka menjadi isteri-isteri taihiap, kalau tidak….”
“Kalau tidak bagaimana, saudara Ouwyang'“ Pendekar Cengeng bertanya nada suara nya membayangkan kekesalan hati.
“Terpaksa kami menantang taihiap untuk menyelesaikan urusan ini di ujung senjata! Kami rela mati….”
Melihat keadaan suhengnya yang sukar bicara itu Gui Siong melangkah maju dan dia berkata, suaranya lancar dan ramah tidak seperti Ouwyang Tek, namun mengandung ketegasan, “Harap Yu taihiap suka mempertimbangkan. Kedua orang nona itu adalah nona nona yang suci dan gagah perkasa. Taihiap telah menolong mereka berdua ketika ditawan dan dalam keadaan telanjang bulat. Sebagai dua orang nona yang suci, tentu saja hal ini bukan urusan kecil. Bagi mereka, terlihat oleh seorang pria dalam keadaan seperti itu merupakan hal yang hanya dapat ditebus dengan nyawa kecuali kalau yang melihatnya adalah calon suami mereka. Maka, sekali lagi, kami berdua mohon dengan hormat supaya taihiap melimpahkan kebijaksanaan, sudilah memperisteri mereka untuk mencuci aib dan noda itu Kami berdua sudah bersumpah untuk membereskan urusan ini, kalau perlu kami sanggup berkorban nyawa di depan taihiap demi kebahagiaan kedua orang nona itu.”
“Hemm…. mana ada aturan seperti ini? Jiwi (kalian) terang mencinta mereka berdua, mengapa memaksa aku harus memperisteri mereka? Tidak saudara Ouwyang dan saudara Gui aku tidak mungkin dapat menerima permintaan kalian ini. Ketahuilah, bahwa urusan jodoh bukan urusan sembarangan. Kalian mencinta mereka dan aku dapat menduga bahwa merekapun mercinta kalian, kenapa tidak kalian berdua yang menjadi suami mereka?”
“Apakah taihiap tidak mencinta mereka?” tanya Ouwyang Tek tidak percaya. Masa di dunia ini ada laki-laki yang tidak mencinta dua orang murid Liong Losu itu, terutama Lauw Ci Sian!
“Hemm…. akupun seorang manusia biasa saudara Ouwyang. Kalau kalian dapat mencinta orang akupun dapat. Dan aku… aku sudah mempunyai pilihan hati sendiri tak mungkin aku menikah dengan orang lain, apalagi dengan kedua orang yang menjadi pilihan hati jiwi!”
“Tidak! Keputusan kami sudah pasti! Yu taihiap harus mengawini mereka untuk menebus dia dari malu, kalau tidak mau, terpaksa malam ini juga kita selesaikan di ujung senjata.”
“Betul seperti yang dikatakan suheng, Yu taihiap. Tekad kami suuah bulat, malam inilah keputusan terakhir. Tinggal taihiap pilih, menerima mereka sebagai isteri atau… taihiap harus membunuh kami berdua lebih dulu sebelum dapat menolak mereka begitu saja!” kata Gui Siong.
Pendekar Cengeng kelihatan marah. “Hemm... kalian ini orang-orang muda yang keras kepala tapi bodoh. Hentikan permainan gila ini!”
“Apakah Yu taihiap takut menghadapi kami berdua? Kalau takut dan merasa tidak adil biarlah kami maju seorang demi seorang sungguhpun dengan maju berdua kami masih bukan tandinganmu.” Kata Ouwyang Tek.
Kini Pendekar Cengeng menjadi marah. “Baiklah kalian yang minta, bukan aku. Nah, mari kita main main sebentar!”
Berdebar jantung Siok Lan. Dia tidak tahu apa urusannya maka sampai terjadi peristiwa yang membingungkan itu. Apakah… apakah Pendekar Cengeng tunangannya itu selain sombong tidak memandang mata kepadanya juga telah melakukan sesuatu terhadap Ci Lian dan Li Ceng? Karena kalau hanya menolong mereka dalam keadaan telanjang bulat begitu saja tidak mungkin dua orang muda yang mencinta dua orang gadis itu begitu bernafsu menantang Pendekar Cengeng.
Tidak, tentu Pendekar Cengeng telah melakukan pelanggaran susila. Ah Celaka benar. Tunangannya ini biarpun seorang pendkar ternyata seorang laki-laki cabul! Naik sedu sedan dari dadanya akan tetapi Siok Lan menahannya dan terus mengintai.
Ia melihat ke atas di mana tadi Dewi Suling bersembunyi akan tetapi alangkah herannya ketika ia tidak lagi melihat adanya wanita itu yang entah sejak kapan telah pergi agaknya, ia tidak memperdulikan lagi kepada Dewi Suling yang telah lenyap, melainkan mencurahkan perhatiannya ke depan dengan jantung berdebar.
Dua orang murid Siauw bin-mo Hap Tojin itu telah mengeluarkan senjata mereka, yaitu pedang yang mengeluarkan sinar berkilau tertimpa cahaya bulan. Di lain fihak Pendekar Cengeng sudah memungut sebatang ranting pohon yang banyak terdapat di bawah pohon.
“Harap keluarkan senjatamu, Yu taihiap! Ataukah engkau begitu sombong dan memandang rendah kami sehingga hendak menghadapi pedang kami dengan ranting itu?” Tanya Ouwyang Tek.
“Hemm, harap kau jangan memandang rendah ranting di tanganku, saudara Ouwyang! Atau barangkali engkau belum mendengar akan ilmu silatku Ta kwi tung-hwat?”
Mendengar Pendekar Cenceng menyebut nama ilmu Silat Memukul iblis itu, marahlah Ouwyang Tek, yang mengira bahwa pendekar itu menyamakannya dengan iblis. “Bagus! Kau lihat pedangku!” Dengan gerakan dahsyat Oawyang Tek menerjang dengan pedangnya, diikuti, oleh sutenya.
Siok Lan menonton dengan jantung berdebar. Ia melihat betapa gerakan pedang Oawyang Tek benar-benar dahsyat dan mengandung tenaga amat besar setiap melakukan penyerangan. Adapun ilmu pedang Gui Siong juga indah dan berbahaya sekali, gerak geriknya halus akan tetap mengandung banyak gerak tipu yang menyesatkan lawan.
Pantaslah Ouwyang Tek memiliki ilmu pedang yang disebut Pek-hui kiam-hoat (Ilmu Pedang Kilat) sedangkan Gui Siong memiliki ilmu pedang Bi-ciong kiam-hoat (Ilmu Pedang Menyesatkan) sehingga ilmu pedang mereka itu memiliki sifat sifat yang berbeda, bahkan bertentangan.
Ia diam-diam harus mengakui bahwa kalau dia dikeroyok oleh dua pemuda itu, akan sukarlah baginya untuk mencapai kemenangan sungguhpun kalau melawan satu sama satu, ia masih sanggup mengatasi mereka.
Apalagi kini Pendekar Cengeng hanya menghadapi mereka dengan sebatang ranting kayu! Jantungnya berdebar penuh kekhawatiran. Laki-laki yang dikeroyok itu adalah tunangannya! Yang yang dicalonkan menjadi jodohnya! Akan tetapi alangkah bencinya ia kepada orang ini.
Pertandingan sudah dimulai dan Siok Lan menjadi bengong karena kaget, heran dan kagum. Ia hanya melihat tubuh laki-laki berpakaian putih itu berggerak-gerak sedikit, akan tetapi ranting di tangannya membentuk lingkaran lingkaran aneh yang membuat kedua sinar pedang lawan selalu menyeleweng arahnya!
Dan hebatnya Pendekar Cengeng seolah-olah tidak berpindah tempat, atau lebih tepat lagi, tidak pernah memutar kedudukannya sehingga begitu lama Sok Lan belum juga dapat melihat wajah laki-laki itu karena di dalam pergerakannya menghadapi dua orang lawan tangguh, Pendekar Cengeng itu selalu membelakanginya! Makin lama makin seru kedua orang muda itu menerjang.
Setelah lewat lima puluh jurus dan pedang mereka lama sekali belum dapat menyentuh ujung baju Pendekar Cengeng, kedua orang muda itu mulai menjadi penasaran sekali. Mereka sudah cukup maklum akan kehebatan Perdekar Cengeng, dan mereka sudah tahu pula bahwa mereka tidak akan menang melawan pendekar sakti itu.
Akan tetapi, mereka berdua memegang pedang sedangkan Pendekar Cengeng hanya mainkan sebatang rating kayu kecil bagaimana kini mereka sama sekali tidak berdaya dan setiap penyerangan mereka selalu menyeleweng arahnya? Benar-benarkah mereka terlalu lemah dan bodoh! Bukan hanya itu saja malah kadang batang ranting itu tiba-tiba menyelinap dan mengancam dengan totokan ke arah tubuh mereka bagian belakang padahal lawan mereka masih berada di depan mereka!
“Yu taihiap, lekas jatuhkan aku kalau kau mampu,” Ouwyang Tek marah karena merasa dipermainkan.
“Yu taihiap, aku akan mengadu nyawa dengan mu!” teriak Gui Siong.
Dua orang muda itu kini lebih hebat menggerakkan pedang dan sama sekali tidak memperdulikan keselamatan tubuh sendiri. Menghadapi dua orang muda yang kepandainnya juga tinggi dan amat nekad ini, Pendekar Cengeng kewalahan juga dan kini terpaksa ia kadang-kadang menggunakan lengan kirinya disampokkan ke depan.
Namun hebat bukan main tenaga sampokan ini, karena setiap kali sampokan membuat lawan terhuyung ke belakang dan gagal serangannya. Memang itu bukanlah sembarangan pukulan melainkan ilmu pukulan Sin kong-ciang (Pukul Sinar Sakti).
Kembali Siok Lan kagum setengah mati. Tunangannya itu benar-benar hebat dan kalau dia melawan Pendekar Cengeng, sudah pasti ia akan kalah dalam waktu singkat! Alangkah akan bahagia hatinya memiliki seorang tunangan yang demikian gagah perkasa, akan tetapi… hatinya menjadi panas karena teringat betapa Yu Lee tidak pernah muncul dan memberi kabar sehingga menyusahkan hati keluarganya dan membikin dia malu dan merasa terhina.
“Sudahlah, Jiwi harap menghabisi urusan ini sekian saja. Kalau perlu sekarang juga aku akan meninggalkan tempat ini….”
“'Tidak! Engkau harus dapat membunuh kami lebih dulu!” kata Gui Siong.
“Kalau engkau pergi melarikan diri, kami akan menggorok leher sendiri di sini!” kata pula Ouwyang Tek.
Yu Lee atau Pendekar Cengeng itu terkejut sekali. Kiranya dua orang ini benar benar sudah bertekad untuk membunuhnya kalau dia tidak mau untuk menjadi suami dua orang gadis cantik murid Liong Losu! Dan ia tahu bahwa kata kata yang keluar dari mulut seorang seperti Ouwyang Tek bukanlah ancaman kosong belaka. Mungkin dia akan membunuh diri disitu kalau ia meninggalkan mereka.
Pada saat itu, berkelebat bayangan putih dan tahu tahu Dewi Suling telah berada disitu, berseru keras, “Berhenti bertempur antara kawan sendiri…!”
“Cui siauw Sianli (Dewi Suling ) harap jangan mencampuri urusan kami! Ini urusan pribadi!” bentak Ouwyang Tek marah.
“Aku tidak mencampuri urusan pribadi siapa-siapa, hanya saat ini musuh datang menyerbu! Aku melihat adik Ci Sian dan adik Ceng ditawan musuh.”
“Apa…? Di mana…!!?” terakan ini keluar dari mulut Gui Siong dan Ouwywg Tek hampir berbareng.
“Lekas kalian tolong! Terlalu banyak lawan tangguh tadi sehingga aku tidak sempat menolong. Di pondok sebelah kiri dari sini... kalian lekas tolong!”
Belum habis ucapan Dewi Suling, dua orang muda itu sudah berlari cepat seperti berlumba menuju ke arah pondok kecil yang dijadikan tempat jaga di sebelah kiri hanya sejauh satu li dari situ. Mereka mengerahkan seluruh ginkang mereka untuk cepat cepat dapat menolong dua orang gadis yang menjadi pujaan hati mereka.
Dalam waktu yang sebentar saja Ouwyang Tek dan Gui Siong telah tiba di luar pondok. Mereka melihat sinar api di dalam pondok akan tetapi kedaannya sunyi saja sehingga mereka semakin curiga. Setelah bertukar pandang mereka menerjang pintu pondok dengan pedang di tangan. Sekali tendang saja, pintu pondok itu jebol dan mereka melompat masuk dan keduanya berdiri terbelalak dengan muka pucat.
Apakah yang mereka lihat? Lauw Ci sian dan Tan Li Ceng benar-benar berada dalam pondok itu, di atas pembaringan rebah terlentang tak dapat berkutik sama sekali, agaknya tertotok, dan yang lebih hebat lagi kedua orang gadis itu berada dalam keadaan telanjang bulat sama sekali, tubuh mereka yang berkulit putih itu tidak tertutup sehelai benang pun, nampak jelas di bawah sinar lampu yang dibesarkan!
Ouwyang Tek dan Gui Siong tertegun, juga terpesona, kemudian mereka sadar, saling pandang lalu keduanya menubruk maju. Otomatis Gui Siong melompat ke dekat Li Ceng sedangkan Ouwyang Tek melompat ke dekat Ci Sian, melihat betapa pakaian kedua gadis itu sudah hancur berkeping keping di bawah pembaringan, mereka sudah cepat merenggut baju luar mereka dan menyelimutkan baju luar pada kedua orang gadis itu, kemudian membebaskan totokan mereka.
Ci Sian dan Li Ceng mengeluh. Kalau tadi mereka rebah terlentang dengan air mata membasahi pipi, kini mereka terisak perlahan.
“Apakah yang terjadi? Mana musuh…?” Tanya Ouwyang Tek, matanya liar memandang ke kanan kiri.
“Siapa yang melakukan ini adik Li Ceng? Siapa…? Biar kurobek dadanya...!” bentak Gui Siong.
Ci Sian dan Li Ceng turun dari pembaringan membetulkan letak jubah luar yang cukup besar dan panjang menutupi tubuh mereka dari leher sampai ke lutut. Mereka menyusut air mata kemudian Ci Sian menggeleng kepala, berkata perlahan.
“Kami tertipu.. tidak ada musuh....”
“Apa? Apa artinya ini? Mengapa? Siapa?” Ouwyang Tek main beringas.
Li Ceng terguguk, lalu menghela napas panjang. “Kami tidak mengerti, akan tetapi... enci Ma Ji Nio yang melakukan ini kepada kami. Dia… dia secara tiba-tiba menotok kami, membawa kami ke sini kemudian merobek robek pakaian kami lalu pergi….”
“Akan tetapi, mengapa mereka melakukan perbuatan terkutuk ini…?” tanya Ouwyang Tek dengan membelalakkan matanya.
“Dan dia pula yang memberi tahu kepada kami bahwa kalian ditawan musuh!” kata pula Gui Siong terheran-heran.
“Aaaah… begitukah?” Kata Ci Sian yang sudah bertukar pandang dengan Li Ceng, kemudian keduanya menundukkan kepalanya.
“Bagaimana? Mengapa?” Ouwyang Tek dan Gui Siong mendesak.
“Kurasa, kami mengerti sekarang… jiwi twako… dan ah, dia telah membuka mata kami, betapa bodohnya kami berdua selama ini.”
Mendengar ucapan Li Ceng ini, kedua orang muda itu makin bingung. Mereka saling pandang seolah olah akan dapat keterangan dari pandang mata masing masing akan tetapi ternyata keduanya berpandang kosong.
“Apa artinya ini?” desak Gui Siong kepada Li Ceng. “Ceng moi, kau berilah penjelasan jangan membikin bingung kami.”
“Terima kasih kepada enci Ma Ji Nio....” kata Ci Sian dan ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Ouwyang Tek cepat menundukkan muka sambil tersenyum malu malu.
“Apakah kalian tidak dapat menerka? Bukankah kalian tadi melihat… melihat keadaan kami?” kata Li Ceng.
Gui Siong mengangguk angguk, akan tetapi dia belum mengerti. “Habis mengapa kalian begitu?”
Li Ceng melotot kepadanya, “Eh, masih belum mengerti? Apakah yang kalian lihat tadi?”
“Apa...? Apa…? Penglihatan indah, eh….” Gui Siong makin bingung karena Li Ceng tiba-tiba memandang marah.
“Maafkan, maksudku eh… kalian dalam keadaan telanjang bulat, oooohh! Mengerti aku sekarang!” Gui Siong menepuk dahinya sendiri. Kemudian ia memegang lengan suhengnya. “Suheng, Dewi Suling sengaja menipu kita, sengaja menotok dan menelanjangi kedua orang nona agar kita dapat melihat mereka telanjang, ah... betapa bodohnya kita berempat selama ini.”
Akan tetapi Ouwyang Tek tidaklah secerdas Gui Siong. Dia masih terlongo dan tidak mengerti. “Kalau sudah begitu, mengapa?”
Ci Sian dengan halus menerangkan. “Ouwyang koko, bukankah engkau sudah melihat aku dalam keadaan seperti yang pernah terlihat Pendekar Cengeng, bahkan lebih lagi karena aku terlentang dan api begitu terang.... bukankah aku harus membunuhmu atau.....”
“Haiiiit! Benar juga! Tidak membunuhku karena aku calon suami!” ouwyang Tek yang kini sudah sadar lalu memeluk Ci Sian yang balas memeluk pria yang dikasihinya itu penuh kebahagiaan.
Juga Gui Siong sudah merangkul dan mendekap kepala gadis yang dikasihinya itu ke dada, seolah-olah dia takut kalau kalau ia akan kehilangan wanita pujaan hatinya. Mereka saling peluk di dalam pondok itu, tak bergerak-gerak, penuh kebahagiaan, tidak malu malu lagi, dan sampai api padam karena kehabisan minyak mereka tidak sadar dan masih saling peluk!
Adapun Siok Lan yang mengintai dari balik pohon, tadi kaget sekali mendengar ucapan Dewi Suling tentang serbuan musuh. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya dan kini ia menyaksikan adegan yang dianggapnya lebih aneh daripada tadi, Dewi Suling kini berdiri di depan Pendekar Cengeng yang masih berdiri membelakanginya.
Ia dapat melihat jelas wajah Dewi Suling, tersinar bulan tampak putih kemerahan, dengan sepasang mata seperti bintang memandang Pendekar Cengeng, kemudian tersenyum memperlihatkan deretan gigi yang putih berkilau.
“Ah, Dewi Suling, engkau membohongi mereka, apa maksudmu? Engkau tadi mengintai lalu pergi dan kembali dengan berita bohong. Apa kehendakmu? Selama ini aku mendengar akan sepak terjangmu engkau telah berobah sama sekali. Hatiku amat bersyukur mendengar itu, akan tetapi mengapa malam ini agaknya kambuh kembali penyakitmu?”
“Yu taihiap... Yu koko... jangan salah sangka aku hanya ingin membuka mata mereka dan mata kedua gadis itu, betapa bodoh mereka menyusahkan engkau. Dan tadi sesungguhnyakah kata-katamu terhadap kedua orang muda itu, ataukah hanya untuk alasan mencari jalan keluar saja?”
“Apa maksudmu?”
“Yu taihiap, benar benarkah engkau telah mempunyai pilihan hati? Ahhh, betapa jantungku ini menggetar seperti hendak pecah. Yu taihiap, harap lekas katakan, engkau orang yang paling kuharapkan di dunia ini… yang sekaligus telah merobah hidupku… katakanlah secara retus terang, siapakah wanita yang telah kau cinta itu? Apakah mungkin dia itu... aku orangnya? Aku seorang wanita hina, akan tetapi aku mencintaimu. Yu koko, aku… aku bersedia melakukan apa saja untukmu.''
Siok Lan yang mengintai dan dapat melihat Dewi Snling, memandang dengan mata terbelalak. Ia melihat wajah Dewi Suling yang cantik kini menjadi pucat sekali, matanya mengeluarkan pandangan sayu bahkan wanita itu kini telah menjatuhkan diri berlutut di depan Pendekar Cengeng, kedua lengannya dikembangkan, sikapnya penuh permohonan, dan minta dikasihani, Siok Lan menggigit bibirnya.
Wah, tunangannya ini benar benar digilai banyak perempuan! Macam apa sih wajahnya? Ingin sekali ia melihat wajahnya, akan tetapi Pendekar Cengeng sejak tadi tidak pernah menghadap ke arahnya. Untuk meloncat keluar, ia merasa tidak enak dan malu karena akan ketahuan bahwa ia menjadi pergintai.
Kini ia melihat Pendekar Cengeng mengulurkan kedua tangan dan memegang kedua tangan Dewi Suling. Ia merasa heran sekali mengapa secara tiba-tiba hatinya menjadi panas! Tidak senang ia menyaksikan mereka saling memegang tangan.
Hanya sebentar Pendekar Cengeng memegang tangan Dewi Suling karena tadi ia memegangnya untuk membangunkan wanita itu. Terdengar suaranya halus dan terharu, akan tetapi penuh wibawa, “Bangkitlah Dewi Suling dan sadarlah…! Sayang sekali bahwa yang kumaksudkan bukanlah engkau orangnya. Dia seorang gadis yang paling hebat di dunia ini, paling cantik, paling pandai, juga paling keras hati dan pendeknya, dalam pandanganku dia merupakan seorang wanita yang paling mulia di dunia ini. Dan itu hanya berarti bahwa aku mencintainya, Dewi Suling. Engkau tentu mengerti akan perasaanku ini...”
Dewi Suling menundukkan mukanya dan Siok Lan melihat betapa air mata berlinang turun dari kedua mata Dewi Suling. Akan tetapi dia sendiri menahan air matanya yang juga sudah memanaskan matanya. Tidak, dia tidak boleh menangis seperti Dewi Suling! Mengapa mesti menangis? Biar Pendekar Cengeng mencinta seribu orang wanita lain, dia tidak perduli? Dia membencinya! Wanita paling cantik, paling pandai, paling keras hati? Huhh, dasar laki-laki mata keranjang tidak setia kepada ikatan janji!
Dewi Suling sudah bangkit dan terdengar suaranya lemah, “Sudah ku khawatirkan demikian…. memang aku tidak berharga untuk mu... dan hidupku hanya untuk menebus dosa-dosaku, betapa mungkin Tuhan akan memberi karunia kebahagiaan kepada seorang penuh dosa dan noda seperti aku? Maafkan kelancanganku tadi Yu taihiap…“
“Ah, Dewi Suling, aku sama seali tidak menganggapmu demikian. Akulah yang minta maaf telah mengecewakan hatimu.”
Akan tetapi dengan suara isak tertahan. Dewi Suling sudah berkelebat lenyap di atas pohon dan hanya sebentar daun daun pohon bergerak. Siok Lan menanti sampai bayangan Dewi Suling lenyap, kemudian ia menoleh ke arah Pendekar Cengeng, ternyata laki-laki itupun sudah berjalan pergi.
“Heii…! Kau...!! Tunggu….!” Ia berseru sambil melompat keluar dan mencabut pedangnya. Akan tetapi bayangan di sebelah depan itu tidak pernah menengok dan terus saja bergerak maju.
“Heiii....! Pendekar Cengeng! Yu Lee…! Berhenti kau...!” Siok Lan berseru dengan suara nyaring namun bayangan itu tetap tidak menengok dan terus lari ke depan, Siok Lan makin marah dan mengejar sambil mengerahkan ginkang, mempengunakan ilmu lari cepat Cou sang hui (Terbang di Atas Rumput) sehingga tubuhnya bergerak cepat bukan main seperti larinya seekor rusa betina muda. Akan tetapi tetap saja jarak antara dia dan si bayangan putih tidak pernah berkurang jauh.
“Heiii…! Pendekar Cengeng! Yu Lee…! Berhenti kau, kalau tidak mau berhenti kumaki kau!” kembali ia berteriak setelah mengejar lebih sejam lamanya.
Tetap saja orang yang dikejarnya tidak mau berhenti, menengokpun tidak, seolah olah tidak tahu bahwa ada orang mengejarnya. Padahal tidak mungkin dia tidak tahu karena betapapun cepatnya Siok Lan mengejar tak pernah gadis itu dapat menyusul.
“Pendekar Cengeng... ngeng... ngeng! Laki-laki sombong! Laki-laki pengecut Kau! Kalau memang pendekar dan .memiliki kepandaian, hayo berhenti dan bertanding sampai sejuta jurus melawan aku! Ini aku Sian li Eng cu Liem Siok Lan sudah datang hendak mengambil nyawamu! Hayo berhenti kau, Yu Lee....!
Akan tetapi yang dimakinya tetap lari sampai keluar dari hutan, naik turun gunung dan Siok Lan yang mengejarnya tidak tahu lagi dimana mereka kini berada. Mereka berlari-lari sampai hampir pagi dan ia tidak ingat lagi berapa banyaknya hutan yang dilaluinya. Menjelang pagi, bayangan putih itu berkelebat lenyap di dalam sebuah hutan. Siok Lan mencari-cari, akhirnya gadis ini menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon dan menangis!
Ia menangis sesenggukan, sampai berguncang-guncang pundaknya terguguk karena hatinya merasa tidak keruan. Kemarahannya menjulang ke langit, bercampur kekecewaan, gemas dan juga malu. Tanpa bertempur sekalipun sudah jelas bahwa dia kalah. Baru mengejar saja sampai semalam suntuk tidak dapat menyusul. Semua perasaan yang berkumpul itu ditambah oleh kelelahan yang hebat.
Baru terasa kini betapa napasnya sudah terengah-engah, seluruh tubuhnya berpeluh, dua kakinya lemas sekali. Akhirnya Siok Lan yang mencurahkan kegemasan dan kelelahannya dengan menangis mengguguk itu tertidur pula di bawah pohon, tidur nyenyak dengan kedua pipi masih basah air mata dan dari dadanya kadang-kadang keluar isak sesegukan, sisa tangis tanpa disadarinya.
Siok Lan menggeliat setelah mengejap-ngejapkan matanya. Perutnya terasa lapar sekali dan ketika ia membuka mata, ia menggunakan tangan menutupi matanya yang menjadi silau oleh sinar matahari yang menembus celah celah daun pohon. Kiranya matahari telah naik tinggi!
Tiba-tiba ia teringat akan si bayangan putih yang dikejarnya. Matanya mendadak menjadi beringas dan bergerak gerak! Kedua biji matanya mencari cari ke kanan kiri. Ketika ia melihat seorang laki laki berpakai putih duduk tak jauh dari tempat ia rebah secepat kilat ia meloncat bangun sambil mencabut pedangnya dan menodongkan pedang kepada orang itu.
“Eh..... eh... nona... mau apa ini....??”
Siok Lan membelalakkan mata dan tangan yang memegang pedang menjadi terkulai, pedangnya cepat disarungkan kembali dan ia lalu duduk menghadapi orang itu dengan alis berkerut dan pandang mata penuh teguran. “Aliok, minggat ke mana saja engkau selama ini?”
Aliok, atau Yu Lee tersenyum. Alangkah rindunya ia selama ini kepada Siok Lan. Rindu yang ditahan-tahannya karena ketika ia menjadi Pendekar Cengeng, tentu saja ia tidak mau menemui gadis ini yang ia tahu akan marah sekali dan akan timbul heboh apabila mengetahui bahwa dialah sebenarnya si Pendekar Cengeng.
Sering kali di dalam hutan, jika gadis ini sudah tidur pulas, barulah ia secara diam-diam berani mengintai dan memandang gadis kekasihnya simpai berjam-jam tanpa mengenal bosan. Sekarang, begitu berjumpa, gadis itu sudah menegurnya dengan galak, dan justeru watak inilah yang membuat ia tergila-gila, membuat cintanya makin mesra dan mendalam.
“Maafkan saya, nona. Karena selalu terjadi pertempuran-pertempuran, maka Yu taihiap melarang saya untuk keluar dari tempat persembunyian, khawatir kalau-kalau saya kena celaka, harap nona maafkan saya. Sekarang, setelah pertempuran mereda, baru saya berani keluar….”
“Hemmm, agaknya kau lebih senang bersama kongcu mu itu daripada bersama aku, ya?”
Yu Lee menggerutkau kening dan cepat menjawab, “Ah, mana bisa begitu, nona? Nona tentu lebih maklum betapa rindu… eh, betapa inginnya hati saya untuk bersama dengan nona...“
Melihat sikap pemuda itu, kemarahan Siok Lan mencair. “Eh, bagaimana dengan luka didadamu? Sudah sembuhkah?”
Pertanyaan tiba-tiba yang memperlihatkan perhatian terhadap dirinya ini membuat Yu Lee girang dan terharu. “Sudah, sudah sembuh, nona.”
“Betulkah? Coba kulihat sebentar, takut kalau kalau masih berbahaya bekasnya.”
Yu Lee tidak membantah, lalu membuka bajunya, memperlihatkan dadanya yang berkulit putih bersih dan lebar. Jelas tampak tenaga membayang di balik kulit dada bersembunyi diantara daging dan otot yang kuat, Siok Lan memandang dan melihat bahwa luka itu benar-benar telah sembuh, hampir tak tampak bekasnya. Hatinya menjadi lega dan untuk sejenak ia tak dapat menahan kekaguman membayang di dalam pandang matanya melihat dada yang kuat itu.
“Hemm, sudah sembuh. Sukurlah.” Ia melihat pemuda itu mengancingkan bajunyn dan diam-diam merasa heran bagaimana seorang pelayan dapat memiliki dada yang demikian kuat dan bidang.
“Bagaimana nona bisa sampai di tempat ini? Tempat ini adalah tempat persembunyian saya dan jauh dari hutan di mana teman seperjuangan nona tinggal!”
Tiba-tiba saja Siok Lan seperti diingatkan akan Pendekar Cengeng dan matanya berubah beringas. “Di mana dia?” Tiba-tiba ia membentak.
“Eh, siapa maksud nona?”
“Siapa lagi kalau bukan kongcumu itu, Pendekar Cengeng laki-laki sombong dan pengecut? Tadi aku mengejarnya dan ia lenyap di hutan ini. Hayo katakan, Aliok dimanakah dia?”
Yu Lee menghela napas panjang, kemudian berkata, “Nona, mengapa nona demikian membenci Yu kongcu? Tidakkah nona dapat memaafkannya? Kuharap nona sudi memandang mukaku dan… biarlah saya yang mintakan ampun untuk…“
Siok Lan memandang wajah pelayannya yang memandang kepadanya penuh permohonan, penuh kasih sayang, penuh kemesraan. Tiba-tiba warna merah menyelimuti muka gadis ini dan ia tidak dapat menahan lagi pertemuan pandang mata mereka. Ia teringat akan pernyataan cinta kasih pemuda ini ketika mereka duduk beradu punggung di atas kuda. Masih teringat di telinganya semenjak itu, dan sekarangpun ia seperti mendengar suara pemuda ini menggetar penuh perasaan,
“Aku mencinta nona dengan seluruh jiwa ragaku, biarpun berkorban nyawa sekalipun untuk nona, aku rela….“ kemudian terbayang dipelupuk matanya betapa pemuda ini telah memeluk dan mencium mulutnya ketika menghadapi maut.
“Nona Siok Lan sudilah nona mengampuni Yu Lee?”
Siok Lan mengangkat muka sehingga kembali pandangan mereka saling bertemu, bertaut dan saling melekat sampai lama, kemudian Siok Lan mengeras hatinya, menggeleng kepala dan berkata. “Tidak! Aku harus membunuhnya….“
“Nona….”
“Aliok, tidak mengertikah engkau? Aku harus membunuhnya, karena kalau tidak… kalau tidak kubunuh dia... bagaimana aku dapat….?”
“Apa maksudmu, nona? Teruskanlah!”
Siok Lan memandang dengan penuh perasaan, matanya bersinar-sinar menyatakan isi hatinya. Betapa ia akan menyambut cinta kasih Aliok yang telah ia terima dan balas dalam hatinya itu kalau ia masih menjadi calon isteri Pendekar Cengeng? Akan tetapi Aliok agaknya tidak mengerti dan amat beratlah rasanya lidah gadis itu untuk menerangkan dengan kata kata. Karena jengah dan malu, Siok Lan mengalihkan pandang mata ke atas tiba-tiba wajahnya berubah pucat dan mulutnya berseru.
“Aiihhh! Kong kong (kakek) berada dalam bahaya dan perlu bantuan!”
Yu Lee terkejut dan menengok ke belakang ke arah langit dan ia masih sempat melihat meluncurnya panah api yang berwarna merah.
“Aliok aku harus membantunya!” Siok Lan sudah meloncat dan lari.
“Nona, kau tunggu aku….!”
“Kau boleh menyusul aku. Aku harus cepat-cepat menolong kong-kong. Kau ikuti saja jurusan ini” Siok Lan menunjuk ke depan ke arah meluncurnya anak panah tadi tanpa mengendurkan larinya. Tentu saja ia tidak tahu betapa mudahnya Yu Lee menyusulnya, bahkan mendahuluinya.
Apakah yang terjadi di hutan yang dijadikan sarang kaum pejuang? Benarkah dugaan Siok Lan bahwa kakeknya berada dalam bahaya di tempat itu ketika ia melihat tanda anak panah api melayang di udara?
Malam hari itu, para pejuang yang sudah lama tidak bertempur dan menganggap bahwa keadaan mulai berangsur baik setelah markas Thian an-bun dipimpin oleh panglimanya yang baru, yaitu Ouw Beng Tat, agak lengah dan sebagian besar tidur nyenyak. Mungkin hanya ada lima orang saja di antara para pejuang yang pada malam hari itu tidak tidur sama sekali, tenggelam dalam perasaan hati masing-masing.
Mereka ini tentu saja adalah Ouwyang Tek yang bercakap cakap dan berkasih kasihan dengan Lauw Ci Sian, Gui Siong dengan Tan Li Ceng, dan Dewi Suling yang duduk termenung seorang diri, kadang-kadang menghela napas panjang, kadang-kadang terisak perlahan menangisi nasibnya.
Matahari telah naik tinggi ketika pada keesokan harinya para pejuang ini mulai dengan kesibukan masing-masing. Ada yang mandi atau mencuci muka di sungai, ada yang membuat api untuk memasak air, nasi dan lain lain, ada yang mencuci pakaian.
Mereka sama sekali tidak ada yang tahu bahwa menjelang pagi tadi pasukan besar telah bergerak dengan rahasia, mengepung tempat itu, dipimpin langsung oleh Panglima Ouw Beng Tat sendiri bersama para pembantunya, yaitu perwira-perwira perkasa dan pilihan dari barisan pengawal istana!
Maka, dapat dibayangkan betapa terkejut dan paniknya para pejuang ini ketika tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan tambur yang hiruk pikuk di sekeliling hutan kemudian tampak bala tentara Mongol dengan pakaian seragam bersenjata lengkap muncul dari segenap penjuru, mengurung tempat itu seperti sebuah dinding tebal.
Dihitung sepintas lalu tidak akan kurang dari tiga ratus orang! Ada barisan tombak, ada barisan panah yang sudah tiap, ada pula yang memegang senjata aneh meraka yang menggiriskan para pejuang, yaitu bola-bola peledak! Betapapnn kaget dan paniknya para pejuang, mereka itu adalah orang-orang yang sudah siap mempertaruhkan nyawa untuk perjuangan mereka, maka terdengarlah seruan di antara mereka.
“Siaaaappp…! Anjing anjing Mongol datang….!” Dan berserabutanlah mereka itu lari mencari senjata masing-masing.
“Tahan semua senjata! Kalau kalian melawan, kalian akan kami basmi habis!” Bentakan ini nyaring sekali sehingga terdengar menggema dan mengandung wibawa besar sehingga banyak kaum pejuang menjadi gentar memandang panglima yang tinggi besar itu.
Biarpun belum pernah mengenalnya, namun para pejuang dapat menduga dia inilah yang bernama Ouw Beng Tat. Dugaan itu memang benar. Yang berseru tadi adalah Ouw Beng Tat. Biarpun usianya sudah tua, lewat enam puluh tahun, namun tubuhnya yang tinggi besar itu masih kelihatan gagah. Pakaiannya indah, disebelah luar tertutup dengan pakaian perang yang berlapis sisik sisik baja di bagian dada, perut, lengan dan paha.
Sebatang pedang panjang tengantung di pinggang kiri sedangkan di pinggang kanan dan depan dada terdapat kantong kantong senjata rahasianya yang terkenal sekali, yaitu hiang-leng-piauw semacan sebuah senjata piauw yang memakai kerincingan.
Kalau senjata ini dilontarkan menyerang lawan, akan terdengar bunyi berdencing nyaring makin lama makin keras dan suara ini dapat membuat lawan menjadi panik dan kurang waspada sehingga dapat dirobohkan dengan piauw kedua atau ketiga yang menyusul cepat.
Selain tinggi besar, juga wajah Ouw Beng Tat membayangkan kekuatan. Sepasang matanya yang lebar itu bundar dan biji matanya menjendul keluar, seolah-olah mata itu sukar dipejamkan. Mukanya bundar tampan, kumisnya lebat namun dipotong pendek, demikian pula jenggotnya, hidungnya besar mulutnya lebar. Ia mirip sekali dengan Thio Hwi, tokoh dalam cerita Sam Kok yang juga merupakan seorang panglima yang kosen dan sukar dicari bandingannya.
”Siapa takut padamu!” Bentakan ini di keluarkan oleh Ouwyang Tek yang sudah tiba disitu bersama Lauw Ci Sian, diikuti oleh Gui Siang dan Tan Li Ceng. Ouwyang Tek membentak sambil menghampiri Ouw Beng Tat, menyerangnya dengan pukulan tangan kanan ke arah dada panglima tinggi besar itu.
Ouw Beng Tat tertawa parau, tidak bergerak dari tempatnya hanya lengan kirinya saja menangkis dan tubuh Ouwyang Tek terlempar ke belakang sampai tiga meter lebih! Lauw Ci Sian menjadi marah dan sudah menerjang pula, diikuti oleh Tan Li Ceng dan Gui Siong.
Mereka bertiga melawan secara beruntun menyerang dengan pukulan pukulan ampuh, akan tetapi panglima tua itu masih tetap tertawa dan hanya menggerakkan ke dua lengannya menangkis dan beruntun pula tubuh ketiga orang muda ini terlempar seperti halnya Ouwyang Tek tadi!
Namun empat orang muda yang tabah ini tidak menjadi gentar, mereka melompat bangun sambil mancabut pedang masing-masing. Juga temanteman mereka sudah bersiap-siap, ketiga Huang ho Sam liong yang pada waktu itu sudah berkumpul di situ, Cui Hwa Hwa dan lain lain, sudah siap untuk melawan mati-matian.
Akan tetapi tiba-tiba Dewi Suling berbisik kepada mereka. “Harap sabar dan tenang, jangan sembrono."
Mereka semua tidak suka kepada Dewi Suling mengingat akan watak dan perbuatan wanita ini dahulu, akan tetapi mereka harus mengakui bahwa Dewi Suling sudah amat banyak jasanya dalam perjuangan, dan mereka maklum pula bahwa diantara mereka semua Dewi Suling merupakan orang yang paling tinggi ilmu kepandaiannya, maka mereka sedikit banyak menjadi segan dan mendengar bisikan itu, mereka taat dan tak seorangpun berani bergerak.
Dengan pandang mata yang tajam Dewi Suling menyapu keadaan musuh dan risaulah hatinya. Benar-benar musuh amat lihai dapat melakukan pengepungan secara diam-diam dan tahu-tahu mereka semua telah terkurung rapat. Jumlah musuh sedikitnya tiga kali lebih banyak dan keadaan sungguh mengkhawatirkan. Jalan satu satunya harus dapat membekuk atau merobohkan para pemimpinnya, terutama panglima tinggi besar itu sendiri, untuk melumpuhkan semangat para perajurit musuh.
Maka diam diam ia mengerahkan sinkangnya, tangan kanan menggenggam ujung suling erat erat dan secara tiba-tiba tubuhnya telah menyambar dengan kecepatan luar biasa sekali ke arah Panglima Ouw Beng Tat. Yang terdengar hanyalah lengking nyaring mengerikan dan bayangan putih berkelebat didahului sinar merah suling di tangannya. Semua orang dari fihak musuh maupun fi'hak pejuang terkejut dan kagum.
“Trang trang trang… Weess….!”
Tiga kali terdengar suara nyaring ketika suling dan pedang di tangan Ouw Beng Tat bertemu cepat sekali, disusul muncratnya bunga api kemudian tahu tahu tubuh Dewi Suling terlempar ke belakang sampai lima meter lebih dan ketika turun ke atas tanah ia agak terhuyung dan mukanya berubah! Dalam segebrakan saja ternyatalah bahwa Dewi Suling bukan tandingan panglima yang kosen itu.
“Ha, ha, ha, ha!“ Panglima Ouw Beng Tat tertawa bergelak. Gerakan kakek ini amat mengagumkan karena orang tidak dapat mengikuti kecepatannya mencabut dan menyarungkan kembali pedangnya dalam menghadapi terjangan Dewi Suling tadi. Seolah-olah ia tidak pernah mencabut pedang, begitu cepatnya pedang itu kembali ke sarung pedang yang tengantung di pinggang kiri!
“Ha, ha, ha! Tentu engkaulah yang disebut Dewi Suling, yang telah membunuh Panglima Ban Ciang. Hemm... dengan kepandaian seperti itu saja, jangan harap kau akan dapat membunuhku! Kalau aku mau, apa sukarnya menumpas kalian kaum pemberontak ini? Kalau aku menghendaki, tidak seorangpun diantara kalian yang dapat lolos hidup-hidup!” Kembali ia tertawa, suara ketawanya keras penuh nada mengejek.
Dewi Suling yang maklum akan kehebatan kepandaian panglima tinggi besar ini, menoleh ke kanan kiri mencari-cari Pendekar Cengeng. Bahkan mulutnya tanpa disadari mengeluh, “Ah, dia tidak berada di sini… telah pergi...“
Ouwyang Tek dan Gui Siong saling pandang. Mereka berdua maklum siapa yang dimaksudkan Dewi Suling karena mereka pun tahu bahwa untuk menghadapi lawan selihai Panglima Ouw Beng Tat ini, mereka hanya dapat mengandalkan Pendekar Cengeng.
Akan tetapi, Pendekar Cengeng itu tidak tampak mata hidungnya dan kedua orang pemuda ini merasa menyesal sekali karena mereka dapat menduga bahwa pendekar itu tentu pergi karena urusan semalam, karena telah mereka tantang bertanding sampai mati! Karena penyesaalan ini, kedua orang muda itu maju dan hampir berbareng membentak ke arah musuh.
“Kami berdua tidak takut! Hayo bunuhlah kalau mau bunuh!”
Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng sudah mendengar penuturan kekasih masing-masing akan peristiwa semalam maka keduanya kini mengerti betapa besar penyesalan hati kekasih mereka. Mereka saling pandang dan diam-diam mereka sadar bahwa kesalahan kedua orang pemuda terhadap Pendekar Cengeng itu adalah kesalahan yang menjadi akibat dari sikap mereka berdua.
Dari sikap mereka berdua, dari pada kebodohan mereka berdua sehingga membuat dua orang pemuda yang mencinta mereka itu berlaku nekad seperti itu. Kini melihat kekasih mereka nekad menghadapi musuh yang amat tangguh, mereka berkuda cepat maju dan menyambung.
“Kami akan melawan sampai mati!”
Melihat dua pasang orang muda itu dengan pedang di tangan siap bertempur dengan semangat meluap meluap, pada hal tadi mereka telah mengenal kesaktiannya. Panglima Ouw Beng Tat diam-diam menjadi kagum dan mengerti mengapa pasukan Mongol berkali-kali mengalami pukulan hebat, kiranya kaum pemberontak dipimpin oleh pemuda pemuda yang begini besar semangat dan keberaniannya. Ia menghela napas panjang dan berkata.
“Hemm, sayang orang muda-muda seperti kalian, yang belum banyak menikmati hidup, membuang nyawa sia-sia, hanya karena menuruti jiwa petualang...”
Panglima tua ini teringat betapa dia sendiri hanya mempunyai seorang putera akan tetapi anaknya itu meninggal dunia ketika baru berusia enam tahun karena penyakit. Kalau anaknya itu hidup, kiranya sudah sebesar pemuda pemuda yang gagah perkasa ini! Andaikata anaknya itu hidup, belum tentu ia kini menjadi panglima kerajaan Mongol!
Melihat keraguan Panglima Ouw Beng Tat Dewi Suling yang cerdik segera maju dan berkata lantang. “Ouw ciangkun! Engkau tentu sudah tahu bahwa kami kaum pejuang memperjuangkan nasib para pekerja paksa dan para wanita tak berdosa, kami mengacau dan memusuhi pasukan pasukan Mongol karena mereka menyengsarakan rakyat tak berdosa, menyuruh rakyat bekerja sampai mati dan menyiksa mereka, menculik dan memperkosa wanita-wanita tak berdosa.
"Semenjak engkau memimpin Thian an-bun kami sudah mendengar akan perubahan perubahan yang kau lakukan ke arah kebaikan nasib rakyat yang dipekerjakan, juga tidak ada lagi penculikan penculikan, bahkan wanita-wanita yang dikeram di dalam benteng telah kau bebaskan dan suruh antar pulang.
"Mengingat akan kebaikan kebaikan yang kau lakukan itulah maka kami para pejuang berdiam diri, tidak memusuhi benteng Thian an-bun selama kau menjadi pemimpin di sana. Akan tetapi mengapa kini secara pengecut sekali engkau diam-diam membawa barisan besar mengepung kami?”
“Hemm, manusia manusia sombong, bocah bocah tak tahu diri!” Ouw Beng Tat menjawab dengan suara lantang. Apakah kalian kira bahwa peraturan peraturan yang kuadakan di Thian an-bun itu menjadi tanda bahwa aku takut kepada kalian? Ha ha ha!
"Sama sekali tidak, bukan bocah nakal! Memang para panglima yang lalu kurang becus mengatur. Memang sengaja aku mendiamkan kalian semenjak aku datang karena yang penting adalah mengatur keadaan di Thian an-bun untuk memperlancar jalannya pekerjaan menggali terusan.
"Sekarang, setelah semua lancar barulah aku teringat kepada kalian dan karena kalian ini anak-anak yang memberontak, harus diberi hukuman! Sekarang pilih saja, kalian semua kutumpas sampai habis, tak seorangpun lolos, atau memenuhi syarat yang kuajukan!”
Para pejuang menjadi panas telinganya mendengar ucapan yang memandang rendah mereka itu Ie Cu Lin, oraag tertua dari Huang ho Sam liong, yang beralis putih dengan marah lalu melangkah maju dan menudingkan telunjuknya.
“Ouw Beng Tat, kita tua sama tua, jangan kau bicara seperti terhadap anak anak! Engkau boleh jadi gagah perkasa, akan tetapi sudah terbukti engkau mengabdi kepada penjajah asing! Kami biarpun tidak berani menyebut diri pandai masih memiliki jiwa patriot. Aku Ie Cu Lin rela mengorbankan nyawa untuk tanah air dan bangsa, aku menantang kau bertanding sampai mati.“
“Ha ha ha, cecunguk yang tak tahu malu! Siapa tidak mengenalmu? Engkau orang tertua Hoang-ho Sam-liong? Kepala bajak! Bangsa bajak yang kerjanya hanya membajak dan mengganggu rakyat, masih berani bilang seorang patriot? Sungguh tak tahu malu, seperti seekor harimau yang keluar tak lain hanya gonggongan menjijikan!
Ie Cu Lin tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat maju menerjang dengan senjatanya diikuti Ie Kiok Soe dan Ie Bhok kedua orang adiknya. Dengan senjata di tangan, tiga orang Hoang-ho Sam-liong ini menerjang dari depan penun kemarahan. Agaknya, Panglima Ouw Beng Tat sudah lebih dahulu memesan anak buahnya tidak bergerak kalau tidak diperintah, atau memang para anak buahnya amat takut kepada pemimpin baru ini.
Buktinya melihat tiga orang penerjang hebat dan mengancam keselamatan pemimpin mereka semua memandang tajam. Kiranya semua perajurit dan perwira itu sudah seratus prosen percaya akan kesaktian pemimpin mereka yang benar-benar hebat dan terbukti. Ketika ketiga orang saudara Ie itu menerjang maju. Ouw Beng Tat masih tertawa dan sama sekali tidak bersiap siap menyambut.
Akan tetapi tiba-tiba kelihatan tangan kiri kakek itu bergerak, terdengar suara berkerincing nyaring sekali dan tampak sinar berkilauan menyambar ke depan, dari tangan kiri panglima itu, menyambar ke arah tiga orang Huang-ho Sam-liong yang berturut-turut terjungkal sambil berseru kaget dan kesakitan.
Senjata di tangan mereka terlepas dan mereka berkelojotan sebentar lalu tak bergerak lagi, tampak di dahi mereka, tepat di antara kedua mata, sudah tertusuk senjata-senjata rahasia ampuh itu yang menancap sampai dalam memecahkan balok kepala menembus otak?
Peristiwa itu terlalu hebat sehingga kedua pihak sampai tercengang. Huang-ho Sam-liong bukanlah orang-orang lemah. Sebaliknya dari pada itu mereka adalah orang-orang yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi, akan tetapi dalam segebrakan saja mereka tewas oleh piauw-piauw panglima itu.
Padahal kalau tiga orang itu diserang senjata piauw oleh lawan biasa, senjata piauw itu tentu dengan mudah dapat mereka elakan atau tangkis. Melihat ini saja makin yakin hati Dewi Suling bahwa Panglima Ouw Beng Tat benar-benar merupakan tandingan yang amat berat!
Pada taat itu, selagi para pejuang menjadi gelisah dan sudah mengambil keputusan untuk membela diri dengan mati matian, akan tetapi terdengar ledakan bertubi tubi tidak begitu keras, akan tetani tampaklah di angkasa anak panah berapi, Ouw Beng Tat hanya mengerling ke atas sedikit lalu ia mendesak.
“Dewi Suling agaknya engkau yang menjadi pemimpin di sini. Dengarlah syaratku. Aku tidak menumpas semua pemberontak karena mereka itu tidak tahu apa yang mereka lakukan. Aku hanya ingin menangkap semua pemimpinnya untuk mempertanggung-jawabkan pemberontakan mereka di depan pengadilan kaisar.
"Adapun para anak buah, akan diampuni nyawanya asal suka kembali bekerja, membantu penggalian terusan dan tidak usah khawatir lagi, kini mereka dijamin dan kalau sudah habis waktu kerja, mereka akan dipulangkan ke kampung dan diberi pesangon.”
Dewi Suling merasa ragu-ragu untuk menjawab. Ia menyesal sekali mengapa Pendekar Cengeng tidak berada di situ. Kalau ada, tentu pendekar itu mampu mencari jalan keluar, atau setidaknya mengimbangi kelihaian Panglima Ouw Beng Tat ini. Kalau dia menolak syarat itu, berarti semua pejuang yang berada di situ akan tewas semua!
Kalau ia menerima, dia dan banyak teman akan ditangkap. Dia sendiri tidak perduli kalau ia ditangkap atau terbunuh sekalipun, akan tetapi bagaimana dia tega untuk membiarkan Ouwyang Tek, Gui Siong dan dua orang nona kekasih mereka yang sedang menghadapi hidup bahagia memadu kasih itu ditangkap dan dihukum pula?
Selagi Dewi Suling ragu-ragu dan bingung tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dari atas pohon yang berdekatan dengan tempat itu. “Ha ha ha! Ouw Beng Tat sungguh tak tahu malu, mengabdi kepada orang Mongol mengkhianati bangsa sendiri!”
Ucapan ini disusul melayangnya tiga bayangan orang dari atas pohon melalui kepala orang-orang dan turun ke depan Ouw Beng Tat.
Semua orang memandang dan dua pasang orang yang sedang gelisah itu segera berseru girang, “Suhu…”
“Ha! Bagus sekali. Thian-te Sin-kiam sudah tiba!” Seru Ang Kwi Han atau Ang Kai-ong ketua Ang-kin Kai-pang dengan suara lega. Sejak tadi kakek pengemis ini diam saja dan dia yang merupakan orang kedua dalam pasukan pejuang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi disamping Dewi Suling, tadi diam-diam telah memberi isyarat kepada anak buahnya dan sudah siap siap mengeroyok Panglima Ouw Beng Tat yang kosen.
Memang, yang datang itu adalah tiga orang kakek yang memiliki gerakan seringan burung. Orang pertama adalah Thian te Sin kiam Liem Kwat Ek, kakek atau juga guru dari Liem Siok Lan, seorang tokoh ilmu pedang yang amat terkenal, sejajar dengan nama besar Yu kiam sin. Kakek ini usianya sudah tua, rambutnya sudah putih tubuhnya tinggi kurus, akan tegapi sinar mata yang tajam membayangkan kekerasan hati dan kegagahan.
Adapun orang kedua adalah Tho-tee kong Liong Losu, hwesio gendut bertelanjang dada, tenang dan serius, kini memandang kepada kedua orang muridnya dengan alis berkerut, akan tetapi menjadi lega ketika melihat bahwa dua orang muridnya dalam keadaan sehat dan selamat.
Adapun orang ketiga, adalah Siauw bin mo Hap Tojin yang usianya juga sudah amat tua, tujuh puluh tahun lebih akan tetapi sikapnya gembira dan jenaka masih seperti dulu, muka nya makin tua makin kehijauan, matanya makin sipit sehingga hampir terpejam, akan tetapi mulutnya tersenyum senyum, tangan kiri memegang guci arak yang menghamburkan bau harum, pedang bututnya masih menempel di punggung.
Sebetulnya, sudah agak lama tiga orang sakti ini datang dan melihat ketika pasukan pejuang dikurung oleh barisan besar yang dipimpin sendiri oleh Ouw Beng Tat, mereka bertiga kaget dan khawatir. Mereka Cukup maklum akan kelihaian Ouw Beng Tat. Lebih lebih lagi Thian te Sin kiam Liem Kwat Ek yang tidak melihat cucunya di antara para pejuang hatinya amat gelisah.
Maka ia lalu melepaskan panah apinya untuk memberi tanda agar kalau cucunya berada di sekitar tempat itu dapat maklum bawa dia telah datang. Dan memang betul panah apinya terlihat oleh Siok Lan, akan tetapi waktu itu Siok Lan berada di tempat yang jauh sehingga tidak dapat cepat cepat tiba di situ.
Melihat munculnya dua orang kakek yang dikenalnya dengan baik ini Ouw Beng Tat tertawa lalu menjura dan berkata dengan suara gembira. “Wah, kalian bertiga kakek kakek tua bangka kiranya masih hidup? Ha ha ha sungguh lucu sekali dapat berjumpa dengan kawan kawan lama dalam keadaan seperti ini. Ha ha ha ha!”
Thian-te Sin-kiam Liem Kwat Ek yang lebih tua daripada semua tokoh yang berada disini, menudingkan telunjuk ke arah Ouw Beng Tat dan suaranya tegas dan bernada marah ketika ia berkata.
“Ouw Beng Tat, antara engkau, kami bertiga dan mendiang Yu kiam sian, dahulu terjalin persahabatan erat sebagai teman teman seperjuangan melawan orang-orang Mongol, bahkan kami berempat boleh dibilang menjadi anak buahmu ketika engkau masih menjadi seorang Panglima Sung yang gagah perkasa dan kami berempat menjadi pejuang sukarela menentang penjajah. Siapa mengira, engkau dapat terbujuk dan menjadi kaki tangan kerajaan Mongol, dan kini malah tidak segan-segan menentang para pejuang bangsa sendiri!
"Ouw Bag Tat, aku tadi telah mendengar semua. Sekarang jelas bahwa di antara kita harus menyambung nyawa. Sahabat sahabat pejuang semua…! Bersiaplah, bentuk lingkaran menghadapi musuh! Kita satu lawan tiga akan tetapi tidak perlu takut. Mempertaruhkan nyawa demi tanah air dan bangsa.....!”
Kakek itu masih bersemangat dan teriakannya mengingatkan orang akan sepak terjangnya di waktu muda dahulu. Bangkitlah semangat para pejuang dan otomatis mereka bergerak, membentuk barisan lingkaran untuk menghadapi musuh yang sudah mengepung mereka.
Melihat ini Ouw Beng Tat tertawa terbahak bahak. “Ha ha na, Liem Kwat Ek, ternyata nyalimu masih belum lenyap dan engkau tak pernah tua. Ketahuilah, seorang bijaksana harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan, melawan secara membabi buta tanpa perhitungan bukanlah laku seorang bijaksana, melainkan seorang tolol! Aku adalah seorang panglima yang bertanggung jawab dan setia kepada tugas dan kedudukanku.
"Aku harus membasmi setiap orang pemberontak. Akan tetapi aku masih mengingat bangsa sendiri, maka aku mengajukan usul. Para anak buah pemberontak dapat kuterima menjadi pekerja pekerja kembali dan diampuni dosa dosa mereka. Akan tetapi pemimpin pemimpinnya termasuk engkau, Siauw bin mo dan Tho tee kong, harus menyerahkan diri untuk kujadikan tawaran ke kota raja!”
“Hem, apakah kau kira demikian mudah kau akan dapat menangkap kami? Ha ha ha, panglima anjing bangsa Mongol, cobalah kau tangkap Siauw bin"mo!” kata kakek muka hijau Hap Tojin sambil tertawa-tawa mengejek.
“Bagus! Sekarang biarlah aku menghadapi kalian dengan aturan dunia persilatan! Kalau aku mengerahkan barisanku, tentu kalian semua akan terbasmi habis dan aku tidak menghendaki ini. Sekarang biarlah kita mengadu kepandaian antara para pemimpin pemberontak dengan aku dan para perwira bawahanku. Kalau kalian kalah, anak buah kalian harus menurut menjadi pekerja pekerja kembali, sebaliknya kalau aku dan teman temanku kalah, biarlah kalian semua kubiarkan bebas dan aku tidak akan mengerahkan barisanku.”
''Nah, itu barulah ucapan seorang gagah. Ouw Beng Tat kiranya engkau masih ingat akan sopan santun dunia kangouw. Nah, sekarang aku Ang Kwi Han ketua Ang-kin Kai-pang yang akan menjadi pelopor melawanmu. Lihat pedangku.“
Kakek yang berpakaian aneh itu meloncat maju. tongkatnya bergerak dan tahu tahu tongkat itu sudah berubah. Sebatang pedang dengan ronce ronce merah, gerakannya cepat sekali dan pedangnya mengeluarkan angin berkesiutan. Memang kakek ini terkenal dengan ilmu pedang Soan hong-kiam (Pedang Angin) dan dengan ilmu pedang inilah maka Ang-kin Kai-pang menjadi terkenal.
Tingkat Kepandaian Ang Kwi Han sudah amat tinggi dan kiranya hanya Dewi Suling seorang diantara para pejuang yang dapat mengimbangi kepandaiannya. Kalau tadi ketua pengemis ini tidak segera turun tangan adalah karena dia merupakan seorang yang banyak pengalamannya dan tidak sembrono. Ia tahu bahwa Ouw Beng Tat amat kosen.
Dan baru setelah kini ia melihat datangnya tiga orang teman yang kepandaiannya boleh diandalkan sungguhpun masih diragukan apakah dapat menang menghadapi panglima itu, ia maju lebih dulu untuk membuktikan bahwa dia adalah seorang pejuang yang pantang mundur dan rela mempertaruhkan nyawa!
“Wirrr… trang…!!”
Pedang angin yang amat cepat gerakannya dari Ang Kwi Han tahu tahu telah tertangkis oleh pedaag panjang di tangan Ouw Beng Tat dan begitu api muncrat ke kanan kiri akibat benturan kedua pedang itu tampak Ouw Beng Tat mundur dua langkah, akan tetapi pangcu (ketua) itu terhuyung dan mukanya berubah agak pucat.
“Ha ha ha! Ang-kin Kai-ong (Raja Pengemis Ang) memang tidak bernama kosong belaka!”
“Yang lain lain dapat dihadapi perwira-perwira, akan tetapi engkau Dewi Suling, Siau bin mo, Tho tee kong dan Thian te Sin kiam sendiri adalah lawan lawanku. Kalian berlima boleh maju bersama, boleh maju berbareng agar dapat membuktikan kelihaian Ouw Beng Tak, ha ha ha!”
Sungguh sombong sekali ucapan panglima itu, akan tetapi Thian-te Sin-kiam dan dua orang kakek lain, yaitu Siauw bin-mo dan Tho tee-kong maklum bahwa kesombongan itu bukan kosong belaka. Mereka ini tahu bahwa memang ilmu kepandaian Ouw Beng Tat amat tinggi maklum dahulupun mendiang Yu kiam-sian masih tidak dapat menandinginya! Andai kata mereka berlima sekalipun, belum tentu mereka berlima akan dapat dengan mudah mengalahkan Beng Tat.
Akan tetapi sebagai orang-orang gagah mereka agak segan untuk melakukan pengeroyokan, terutama sekali Thian-te Sin-kiam yang sudah memiliki nama besar sebagai seorang tokoh pedang yang bertingkat tinggi. Turun tangan mengeroyok berarti mencoreng muka sendiri dan merendahkan derajat mencemarkan nama sendiri.
Akan tetapi, hati dan pendirian Tho tee-kong Liong Losu dan Siauw bin-mo Hap Tojin tidaklah sakeras Thian te Sin kiam. Mereka berdua ini dulu pernah berjuang di bawah pimpinan Ouw Beng Tat dan sudah maklum betapa tinggi ilmu panglima itu, maka kini menyaksikan Ang Kwi Han bertanding dan dalam beberapa jurus saja sudah tertindih dan tertekan mereka berseru keras dan meloncat maju.
Tho tee-kong Liong Losu menggerakkan tongkat hwesio di tangannya dan senjata yang berat ini sudah mengaung-ngaung seperti seekor naga mengamuk. Adapun Siauw bin-mo Hap Tojin sambil tertawa-tawa, sudah mencabut pedangnya dan tampaklah segulung sinar pedang berkilauan menyambar nyambar dan mengurung Ouw Beng Tat...