Pendekar Cengeng Jilid 13

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar Cengeng Jilid 13
Sonny Ogawa

Pendekar Cengeng Jilid 13 karya Kho Ping Hoo - “HA Ha Ha bagus sekali! Hap Tojin dan Liong Losu, puluhan tahun yang lalu kita berteman, kini berlawan. Memang hidup harus berganti-ganti, banyak bumbu baru gembira! Ha ha ha!”

Pada saat tiga orang kakek itu mengeroyok Ouw Beng Tat, sesosok bayangan berkelebat memasuki tempat itu dengan cara seperti tiga orang kakek tadi, yaitu melompat dari pohon. Bayangan itu bukan lain adalah Siok Lan yang segera menghampiri Thian te Sin kiam dan berseru.

“Kong kong… (kakek)!”

Pendekar Cengeng Jilid 12 karya Kho Ping Hoo

Sejenak pandang mata kakek ini berseri dan ia menggandeng tangan cucunya, lalu ia memandang lagi kearah pertandingan dengan mata mengandung kekhawatiran.

“Kong kong, mari kita bantu mereka…”

“Stttt... jangan sembrono Siok Lan. Engkau tidak boleh sembarangan turun tangan, takkan ada gunanya.”

Siok Lan memandang bengong dan melihat betapa panglima tinggi besar itu biarpun dikeroyok tiga namun ternyata pedangnya hebat bukan main. Tubuhnya yang tinggi besar itu berdiri kokoh kuat seperti menara besi, pedangnya bergerak dengan tenaga yang menggetar getar, terasa sampai jauh angin sambaran pedangnya.

Dan betapapun juga akan lihainya tiga orang kakek yang mengeroyoknya, namun tidak pernah senjata tiga orang ini dapat menyentuh. Tiap kali tertangkis pedang di tangan Ouw Beng Tat bahkan tongkat Liong Losu yang berat disertai tenaganya yang kuat sekalipun terpental dan hampir terlepas dari pegangan!

“Kong kong….“ Siok Lan berbisik lagi, “tiga orang kakek itu takkan menang, kenapa kong kong tidak membantu mereka...?”

“Ha ha ha! Tepat sekali desakan cucumu, Thian-te Sin-kiam. Hayo kau maju dan bantulah. Kau juga Dewi Suling!”

Siok Lan terkejut. Dia bicara bisik bisik kepada kakeknya, dan panglima itu sedang bertempur dikeroyok tiga orang kakek lihai, namun masih dapat mendengarnya dan menjawab. Sungguh hebat panglima tua itu!

“Aku tidak akan melakukan pengeroyokan Siok Lan.”

“Apakah… kong kong sanggup menandinginya….?”

“Sukar menangkan dia…. akan tetapi aku tidak takut. Kalau semua teman kalah, biarlah kuserahkan selembar nyawa dan tubuh tua ini.“

“Kong kong…”

“Stttt, mati hidup bukan apa apa lagi bagi seorang tua bangka seperti aku. Akan tetapi berbeda lagi dengan engkau, maka janganlah engkau sembrono. Apakah kau sudah bertemu dengan dia?”

“Siapa, kong kong?”

“Siapa lagi, Yu Lee tentu… bukanlah kau pergi mencari dia?”

Merah wajah Siok Lan dan dia menggeleng kepala, tidak menjawab. Ditanya tentang Yu Lee atau Pendekar Cengeng, teringat ia kepada Aliok dan timbul kekhawatirannya. Aliok tadi berlari-lari menyusulnya bagaimana kalau terlangkap oleh pasukan musuh? Akan tetapi karena pasukan musuh tidak atau belum bergerak menanti perintah Panglima Ouw Beng Tat agaknya kekhawatirannya hilang.

Dan ketika ia menolah ke kanan kiri dan belakang, ia terheran heran melihat Aliok sudah menyelinap di antara anak buah pejuang! Kalau saja keadaan tidak demikian menegangkan, tentu ia akan merasa heran bagaimana Aliok dapat sedemikian cepatnya menyusul ke situ padahal tadi ia mempergunakan ilmu lari cepat.

Kakenya tidak bertanya lagi, juga Siok Lan lupa akan Aliok ketika melihat betapa pertandingan sudah mencapai puncaknya. Baru kurang lebih tiga puluh jurus berlangsung, akan tetapi keadaan tiga orang kakek itu sudah payah! Mereka kini terus terhimpit dm tertekan oleh sinar pedang Panglima Ouw Beng Tat yang makin lama makin lebar gulungan sinarnya.

“Pengkhianat keji biar kau rasakan pedang ku!” Yang berteriak nyaring ini adalah Cui Hwa Hwa yang agaknya tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Wanita ini sudah meloncat ke depan.

Dan Thian te Sin kim dan Dewi Suling terkejut, hendak mencegah namun terlambat. Terdengar jerit mengerikan ketika terdengar suara kerincingan dan seperti keadaan tiga orang Hoang-ho Sam-liong tadi, tubuh Cui Hwa Hwa roboh berkelojotan, sebatang piauw menancap di antara kedua matanya dan ia tewas tak lama kemudian!

Sungguh hebat kepandaian Panglima Ouw Beng Tat, Cui Hwa Hwa terhitung orang lihai, jauh lebih lihai daripada tiga Huang-ho Sam-liong namun tetap saja ia tidak dapat menghindarkan diri dari serangan tiga batang piauw berkerincing yang sekaligus menyambarnya tadi. Ia dapat menghindarkan yang dua batang, namun piauw ketiga tak dapat ia hindarkan lagi.

Sambil tertawa Ouw Beng Tat mempercepat gerakan pedangnya dan Ang Kwi Han berseru perlahan, terhuyung ke belakang dan lengan kirinya sebatas liku terlepas dan jatuh ke atas tanah! Lengannya telah terbabat pedang Ouw Beng Tat!

Namun luar biasa sekali kegairahannya dan daya tahan ketua Ang-kin Kai-pang ini, karena sambil mengeluarkan suara gerengan ia menubruk maju dengan nekat, pedangnya bergerak cepat sekali. Ouw Beng Tat mundur dan menangkis, tangan kirinya kembali diayun dan tiga batang piauw menancap di antara mata leher dan ulu hati ketua pengemis itu yang segera roboh tak berkutik lagi.

“Auuuuggghhh…!!” Suara ini terdengar bergema keluar dari kerongkongan puluhan orang anggauta Ang-kin Kai-pang dan mereka sudah gatal gatal tangan untuk menerjang maju. Melihat ini Dewi Suling cepat mengangkat lengan ke atas dan berseru.

“Saudara saudara angauta kai-pang harap tenang! Orang gagah selalu memegang teguh janji! Kita sudah berjanji, diwakili Liem-locianpwe tadi untuk mengadu kepandaian antara pimpinan. Tidak sorangpun anak buah boleh turun tangan tanpa komando!”

Memang Dewi Suling paling disegani oleh para pejuang maka para pengemis yang menyaksikan sendiri betapa pangcu mereka terbunuh, menahan kemarahan dan hanya dapat mencucurkan air mata sambil merawat jenazah ketua mereka seperti yang dilakukan oleh anggauta anggauta Huang-ho Sam-liong terhadap ketua mereka dan terhadap jenazah Cui Hwa Hwa tadi.

Setelah Ang Kwi Han tewas, tentu saja Siauw bin-mo Hap Tojin dan Tho tee-kong Liong Losu menjadi makin repot menghadapi Ouw Beng Tat. Panglima ini tertawa-tawa mengejek lalu berkata.

“Mengingat akan persahabatan kita, tidaklah lebih baik kalian menyerah saja daripada mati konyol di ujung senjataku?”

“Omitohud pinceng tidak takut menghadapi kematian,” kata Tho tee kong sambil terus menggerakkan tongkatnya.

“He, he, he, Ouw Beng Tat panglima boneka. Siapa takut mati? Kalau kami mati di tanganmu, apa kau kira engkau kelak tidak akan mampus juga? Kami akan mati sebagai pejuang pejuang bangsa akan tetapi kelak engkau mampus sebagai pengkhianat, namamu akan tercemar sampai tujuh turunan ha ha ha!”

Marahlah Ouw Beng Tat. Ia megeluarkan suara gerengan yang menbuat seluruh tempat itu tergetar, pedangnya berkelebat menyilaukan mata. Akan tetapi kedua orang kakek gagah perkasa itu tidak gentar, menyambutnya dengan senjata masing masing, bahkan tongkat di tangan Tho tee kong berhasil “menyusup” masuk dan menggebuk pundak kiri Ouw Beng Tat.

“Bukkk!” Tho tee-kong terkejut ketika merasa betapa tongkatnya membalik dan tangannya sakit-sakit. Akan tetapi iapun girang ketika melihat Ouw Beng Tat terguilng roboh, ia mengira bahwa biarpun tubuh itu kebal dan dilindungi pakaian sisik besi, namun tenaga pukulan tongkatnya membuat panglima itu terguling. Ia dan Hap Tojin menubruk maju untuk mengirim serangan maut.

“Awas…!” Dewi Suling menjerit.

“Mundur…!” Thian-te Sin-kiam memperingatkan.

Namun terlambat karena kedua orang tua yang sudah mulai lelah itu sudah terlanjur menubruk ke depan. Pada saat itu, tangan kiri Ouw Beng Tat yang rebah miring diayun dan belasan batang piauw berkerincing menyambar cepat sekali dari jarak dekat ke arah dua orang kakek ini.

Tho tee-kong dan Siauw bin-mo terkejut, berusaha memutar senjata melindungi tubuh, akan tetapi tidak semua piauw dapat mereka tangkis. Sebatang piauw menancap di lambung Tho tee-kong dan sebatang lagi menancap leher Hap Tojin. Mereka terhuyung-huyung lalu roboh.

“Pengkhianat keji rasakan pembalasanku!” Teriakan ini keluar dan mulut Tan Li Ceng yang diikuti oleh Ci Sian, Gui Siong dan juga Ouwyang Tek. Empat orang muda yang melihat suhu mereka roboh itu tak dapat menahan diri lagi dan sudah mencabut senjata dan menerjang ke depan.

“Tahan… awas...!!” Dewi Suling menjerit, tubuhnya melayang ke depan dan sulingnya diputar cepat didepan empat orang muda itu yang terancam oleh belasan batang piauw yang menyambar sambil mengeluarkan suara kerincing riuh rendah membisingkan telinga.

“Cring, cring, cring, cring….!!”

Belasan batang piauw itu beterbangan kena sampokan suling Dewi Suling, akan tetapi sebatang piauw masih meleset dan menancap di bahu kiri Dewi Suling, membuat wanita ini terhuyung-huyung. Tan Li Ceng cepat memeluknya dan membawanya mundur, di mana Dewi Suling mengeluarkan obat dan mengomel.

“Kalian berempat ini apa sudah bosan hidup? Lebih baik mengurus suhu kalian dan berusaha mengobati.”

Empat orang muda itu menjadi pucat. Mereka maklum bahwa kalau tidak ada Dewi Suling, tadi mereka sendiri tidak akan mampu menyelamatkan diri dari pada sambaran belasan batang piauw yang hebat itu, Dewi Suling diam-diam juga kaget dan kagum, sambil memandang ke arah empat orang muda yang kini menolong guru masing-masing yang masih belum tewas. Dewi Suling dapat menduga bahwa nyawa dua orang kakek itu takkan dapat tertolong lagi.

Hal ini ia ketahui dari hebatnya sambaran piauw yang ditangkis, sulingnya yang menangkis piauw piauw itu sampai tergetar hebat, berarti bahwa piauw itu disambitkan dengan tenaga dahsyat sekali, sepuluh kali lebih hebat daripada senjata senjata rahasia yang dipergunakan ahli senjata rahasia. Pantas saja kalau Huang ho Sam liong bertiga, Cui Hwa Hwa, Ang Kwi Han. Orang-orang yang begitu lihai tak ada yang dapat menyelamatkan diri daripada sambaran piauw dari tangan Ouw Beng Tat.

“Suhu...!” Tan Li Ceng dan Lauw Ci Sian menangisi guru mereka yang menggigit bibir.

“Suhu….!” Gui Siong dan Ouwyang Tek juga memanggil gurunya perlahan dengan hati hancur. Mereka melihat betapa guru mereka itu dalam keadaan terancam mati masih tersenyum-senyum memandang mereka, namun jelas bahwa luka suhu mereka itu takkan dapat ditolong lagi. Piauw itu menancap dalam dalam di leher sehingga untuk mencabutnya malah mengkhawatirkan.

“Bagaimana… dengan mereka...?” Siauw bin-mo menoleh ke arah kedua orang gadis murid Liong Losu. “Kulihat… kalian berempat... hemm… bagaimana….?”

Melihat betapa sukarnya suhunya bicara dengan leher seperti tercekik karena tertancap piauw itu. Gui Siong yang maklum akan watak suhunya, menjadi terharu dan tidak tega. Ia maklum bahwa sebelum mati gurunya ingin bertanya tentang usul perjodohan mereka dengan murid murid Liong Losu!

“Mereka setuju suhu! Kami berempat tinggal menanti ijin suhu…” Gui Siong berkata dengan muka merah dan menahan air mata.

“Ha ha ha…! Ha ha ha! Setuju… setuju…!” Dan Siauw bin-mo Hap Tojin tertawa terus sampai akhirnya berhenti sama sekali karena napasnya telah putus!

Tho tee-kong Liong Losu keadaannya tidak lebih baik daripada Hap Tojin. Piauw menancap di lambung dekat jantung dan piauw yang mengandung racun hebat itu sudah meracuni semua darahnya, ia terengah-engah dan hanya membuka mata ketika mendengar suara ketawa terakhir Hap Tojin.

“Apa maksudnya….?” Ia bertanya kepada tan Li Ceng.

Tan Li Ceng maklum betapa pentingnya menyampaikan berita baik kepada suhunya yang dahulu merasa amat kecewa oleh penolakan mereka, maka kini dengan memberanikan hati menekan rasa malu ia berbisik di dekat telinga suhunya “Suhu… kami berdua sudah sepakat menjadi.... jodoh kedua muridnya….”

“Omitohud… lega hatiku…. ahh, Siauw bin-mo, engkau benar… hidup tidaklah begitu membosankan kalau hati kita lega….“ Hwesio ini menghela napas panjang berkali-kali dan keadaan sungguh sebaliknya daripada Hap Tojin. Kalau sahabatnya itu mati sambil tertawa-tawa hwesio ini mati sambil menghela napas!

Ketika melihat betapa para pejuang menyaksikan kematian dua orang kakek itu dengan terharu dan suasana menjadi kosong mengharukan sejenak, Ouw Beng Tat lalu tertawa dan berkata keras.

“Apakah kalian masih berkeras kepala, tidak mau menyerah dan ingin mati konyol seperti yang lain lain? Thin te Sin kiam, sudah terlalu banyak tenaga tenaga baik mati konyol karena keras hati dan kepala batunya. Yang kupandang hanya lima orang di antara kalian yang patut melawanku.

"Yang tiga sudah tewas, seorang sudah terluka, tinggal engkau. Apakah engkau tidak dapat melihat gelagat dan menyerah saja? Hemm, jangan kau kira aku Ouw Beng Tat seorang yang berhati kejam. Sesungguhnya aku menangis dalam hati harus membunuh bekas-bekas sahabat baik.

"Akan tetapi karena keadaan memaksa, apa boleh buat. Harap saja kau orang tua berpemandangan lebih luas dan aku sudah akan merasa puas kalau dapat menggiringkan engkau, Dewi Suling dan empat orang anak muda itu sebagai pimpinan pemberontak ke kota raja,”

Saking marahnya. Thian-te Sin-kiam tidak menjawab melainkan perlahan lahan tangan nya bergerak dan pedang yang sudah belasan tahun menganggur itu dicabutnya. Melihat ini Siok Lan memegang lengan kong kongnya.

“Kong kong, biarlah aku melawannya,” kata gadis itu.

“Ha ha ha, Thian-te Sin-kiam. Engkau sudah terlalu tua untuk berkelahi. Lebih baik engkau menyerah dan aku berjanji tidak akan melawan cucumu yang gagah ini. Selain itu, jangan mengira bahwa mereka yang kutawan dan kubawa ke kota raja tentu akan dihukum mati. Tidak sama sekali. Karena kerajaan Goan amat bijaksana dan dapat menghargai tenaga orang-orang pandai dan….“

“Tutup mulutmu, Ouw Beng Tat! Aku tidak sudi menjadi pengkhianat, lebih baik seribu kali mati daripada hidup menjadi pengkhianat bangsa seperti engkau!” teriak Thian-te Sin-kiam dan dadanya bergelombang saking marahnya. Kakek ini menggerakkan pedangnya, diputar-putar di atas kepala.

Dan terpaksa Siok Lan mundur dan memandang kakeknya penuh kegelisahan. Lawan terlampau lihai dan kakeknya itu biarpun dahulu terkenal sebagai seorang pendekar pedang yang sukar dicari bandingnya, namun sejak dahulu sudah kalah tinggi ilmunya oleh Ouw Beng Tat, dan sekarang sudah amat tua dan mulai lemah.

“Thian-te Sin-kiam sungguh-sungguh engkau bodoh dan keras kepala! Engkau membikin hatiku merasa tidak enak sekali. Bagaimana aku dapat senang kalau harus mengadu pedang dengan orang yang dahulu menjadi anak buahku dan sudah banyak jasanya? Liem Kwat Ek, sabelum kita bertanding pedang, kau cobalah hadapi senjata rahasiaku. Kalau kau cukup tangguh menghadapi piauw-piauwku, barulah kau berharga untuk bertanding pedang denganku.”

Setelah berkata demikian, kedua tangan Ouw Beng Tat bergerak dan pedangnya yang sudah dipegangnya tahu-tahu sudah kembali ke sarang pedang. Tangan kiri dan kanan kini merogoh piauw dari kantong-kantong piauw di pinggang kanan dan dada, dan begitu kedua tangan bergerak ke depan dan terdengarlah suara nyaring dan hiruk pikuk bunyi kerincingan dibarengi dengan menyambarnya puluhan batang piauw yang menyambar ke arah jalan darah di seluruh tubuh Thian te Sin kiam!

“Cring, cring, cring, cring, cring...!!”

Hebat gerakan pedang Thian-te Sin-kiam. Biarpun ia sudah tua, namun sekali kakek ini memutar pedang tubuhnya seolah-olah dilindungi benteng baja yang dibentuk oleh gulungan sinar-sinar pedang yang berkeredepan menyilaukan mata. Sambaran dua puluh piauw itu semua dapat ia runtuhkan dengan tangkisan pedangnya.

Biarpun semua piauw runtuh namun diam-diam Thian te Sin kiam terkejut bukan main karena lengan kanannya yang memegang pedang seperti lumpuh rasanya saking kuatnya tenaga yang terkandung dalam senjata rahasia yang kecil seperti itu sehingga ketika menangkis tadi terpaksa ia mengerahkan seluruh tenaganya.

“Ha ha ha, hebat kau! Coba terima ini!” Kembali terdengar suara berkerincingan nyaring sekali lebih nyaring dari pada tadi dan yang berkelebat menyambar adalah tujuh batang piauw yang terbang menjadi satu dengan kecepatan luar biasa menuju dada Thian-te Sin-kiam. Kakek ini tidak dapat mengelak lagi terpaksa menangkis dengan pedangnya sambil mengeratkan tenaga.

“Tranggg...!” Tujuh batang piauw yang menjadi satu itu terpukul runtuh akan tetapi pedang itu sendiri terlepas dari pegangan tangan Thian-te Sin-kiam! Kiranya tujuh batang piauw itu mengandung tenaga yang amat dahsyat sehingga tidak kuat Thian-te Sin-kiam menahan pedangnya yang terlepas dan runtuh bersama tujuh batang piauw yang ditangkisnya.

Ouw Beng Tat tertawa-tawa dan kini kedua tangannya melempar lemparkan piauw ke arah Thian te Sin kiam membuat kakek ini terpaksa mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana ke mari. “Ha ha ha, engkau takkan dapat menghindar dari piauwku Liem Kwat Ek, akan tetapi kalau kau meayerah aku akan mengampuni nyawamu!”

“Kau boleh pergi ke neraka, Ouw Beng Tat! Bunuhlah aku kalau kau mampu, aku tidak takut mati!”

Ouw Beng Tat menjadi marah dan sengaja ia melepaskan sebatang piauw dengan pengerahan tenaga khusus, tidak seperti piauw piauw lain yang dilepas hanya untuk mempermainkan jago pedang tua itu, Piauw ini luar biasa sekali, menyambar cepat.

Dan terdengarlah Thian-te Sin-kiam Liem Kwat Ek mengeluh dan tubuhnya terhuyung, Piauw itu telah menyerempet pahanya. Biarpun tidak hebat lukanya, namun membuat kakinya setengah lumpuh karena pengarah racun yang terkandung di ujung piauw.

“Ha, ha, ha, kau masih belum menyerah? Ingin semua kubunuh termasuk cucumu.”

“Lebih baik kami mati semua daripada menyerah, manusia busuk!” Siok Lan memaki sambil menolong kakeknya.

Dewi Suling yang sudah mengobati bahu kirinya meloncat dan berteriak, suaranya lantang, “Ouw Beng Tat, jangan kira bahwa kami adalah orang-orang pengecut seperti engkau! Kami akan melawan sampai titik darah terakhir, dan selelah kami para pimpinan tewas jangan mengira bahwa anak buah kami akan suka tunduk begitu saja. Merekapun adalah patriot patriot sejati, orang-orang gagah yang memilih kematian daripada menjadi abdi penjajah terkutuk!”

Ucapan ini bukan merupakan pengingkaran janji, melainkan merupakan pembakaran semangat yang sengaja diucapkan Dewi Suling setelah menyaksikan betapa fihaknya akan kalah. Ucapannya disambut sorak sorak riuh dan gemuruh oleh para anak buah pasukan pejuang yang mengacung acungkan senjata. “Kami lawan! Kami lawan sampai mati…!!”

Tadinya para anak buah pasukan pejuang sudah mengendur semangat juangnya, gentar karena menyaksikan betapa fihak pimpinan mereka banyak yang tewas. Terutama sekali anak buah Ang-kin Kai-pang yang kehilangan ketuanya, anak buah Huang-ho Sam-liong yang kematian tiga orang pemimpin dan hanya anak buah pimpinan Ouwyang tek, Gui Siong, Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng saja, bekas bekerja paksa itulah yang masih bersemangat tinggi.

Akan tetapi melihat sikap Thian-te Sin-kiam yang biarpun sudah tua namun masih bersemangat baja, dan sikap Dewi Suling yang gagah perkasa timbul kembali semangat mereka sehingga dengan suara bulat mereka bertekad untuk melawan sampai titik darah orang terakhir!

Melihat sikap semua pejuang ini, kemarahan Ouw Beng Tat tak dapat ditahan lagi. Ia menggerakkan tangan hendak mengeluarkan perintah membasmi semua pemberontak yang dianggapnya tak tahu diri itu, akan tetapi sebelum mengeluarkan aba-aba tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

“Ouw Tat ciankkun sebagai seorang panglima tinggi seperti engkau, apakah tidak malu menjilat ludah yang dikeluarkannya sendiri?”

Kagetlah Ouw Beng Tat dan kini ia memandang. Yang menegurnya itu adalah seorang pemuda tampan dan gagah, berpakaian putih yang berdiri menghadapinya dengan tatap mata tajam dan sikap garang, menudingkan senjata yang berada di tangan pemuda ini berbentuk sebatang ranting kayu kecil yang yang masih ada dua helai daunnya di ujung ranting.

Ia tidak mengenal pemuda ini juga tidak melihat ada diantara para pimpinan pemberontak. Sikap dan pakaian pemuda ini, seperti memang biasa saja, sama sekali tidak menimbulkan kesan, akan tetapi pandang matanya demikian mengerikan, tajam menembus jantung dan penuh keangkeran.

“Hm, siapa engkau dan apa artinya ucapan yang lancang tadi?” Ouw Beng Tat membentak, suaranya mengguntur karena ia marah sekali. Kalau seorang tokoh besar seperti Thian-te Sin-kiam masih tidak mampu melawannya apa pula pemuda sederhana ini?

Ouw Beng Tat bukanlah seorang pengecut dan kejam terhadap bangsa seperti yang ia katakan. Dia merasa tidak senang harus bertanding melawan bekas sahabat seperjuangan dahulu, hatinya sakit karena ia harus membunuh orang-orang seperti Hap Tojin dan Liong Losu bekas anak buahnya. Akan tetapi, dia orang yang setia akan tugasnya.

Sikap nya menghadapi para pemberontak adalah sikap yang menyayang bangsa dan bekas sahabat, maka ia tidak begitu saja membasmi mereka yang sesungguhnya sudah berada di dalam telapak tangannya, melainkan ia mengajukan usul bertanding agar mereka itu dapat ia taklukkan tanpa pembunuhan, atau kalaupun ada pembunuhan, tidaklah banyak.

Tentu saja dia bukan seorang bodoh dan sembrono. Adanya dia berani menantang bertanding adalah karena dia yakin bahwa di antara para pimpinan pemberontak itu tidak seorangpun dapat mengalahkannya! Kini ada seorang pemuda yang berani menantangnya.

Biarpun ia belum mengenalnya dan belum mengetahui sampai di mana kelihaiannya, akan tetapi tentu saja ia memandang rendah. Pemuda ini usianya tentu takkan lebih dari dua puluh lima tahun, sepandai pandainya juga mana mungkin mampu melawan dia yang pengalamannya saja sudah lebih lama dari pada usia si pemuda?

“Namaku tidak menjadi soal, Ouw ciangkun, akan tetapi perlu kau ketahui bahwa aku adalah seorang di antara para pejuang. Ucapanku tadi tidak lancang, karena sesungguhnya amat memalukan kalau seorang panglima seperti engkau menjilat ludah sendiri. Bukankah engkau janjikan kebebasan apabila kau kalah dalam pertandingan? Nah, pertandingan belum juga habis engkau sudah hendak mengerahkan pasukan untuk membasmi kaum pemberontak.”

“Apa kau bilang? belum habis? Eh, orang muda dengarkan dengan kata-kataku. Semua pimpinan pemberontak sudah ku kalahkan. Siapa lagi yang masih berani melawan aku? Hayo, siapa lagi orangnya di antara para pemberontak yang berani menghadapi pedang dan piauwku? Siapa berani bertanding dengan panglima besar Ouw Beng Tat?”

Pemuda itu dengan sikap tenang lalu berkata, mengejutkan dan mengherankan Ouw Beng Tat dan semua anak buahnya. “Akulah yang akan melawanmu, Ouw ciangkun!”

“Aliok…! Jangan…. kau nanti mati…!”

Yang menjerit ini adalah Siok Lan. Gadis yang sudah jatuh cinta kepada bekas “pelayan” ini begitu kaget dan khawatir mendengar ucapan Yu Lee sehingga ia menjerit dan dengan tak disadarinya lagi ia sudah meloncat dan lari meninggalkan kakeknya, menghampiri Yu Lee dan memegang lengan pemuda itu.

“Aliok, apa kau gila? Kau hendak melawan dia? Banyak jalan kematian, mengapa memilih mati konyol! Dia bukan lawanmu. Biarlah aku yang menggantikan mu! Hayo, Ouw Beng Tat, kau lawan aku saja!” Gadis ini dengan sikap gagah mencabut pedang.

Yu Lee tersenyum, memegang kedua lengan gadis itu, berkata dengan suara halus dan penuh perasaan. “Adik, Siok Lan, harap kau mundur, ah… kau tenang-tenang saja, Aliok mu ini tidak akan mudah saja dibunuh orang…”

Siok Lan hendak meronta akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika ia merasa betapa kedua lengannya sama sekali tidak dapat digerakkan dalam genggaman tangan bekas pelayannya itu. Ia penasaran dan mengerahkan seluruh sinkang di tubuhnya disalurkan ke arah kedua lengan, namun sia-sia, sedikit pun ia tidak dapat bergeming. Dengan keheranan menjadi-jadi ia mengangkat muka menatap wajah pemuda itu yang tersenyum-senyum kepadanya.

“Siok Lan…!” Panggilan ini datang dari mulut Thian-te Sin-kiam.

“Kong-kongmu memanggil, kau kesanalah dan tenangkan hatimu, moi-moi…!”

Semua peristiwa ini demikian mengherankan dan mengejutkan hati Siok Lan. Ia merasa seperti dalam mimpi. Aliok menyebut “adik” dengan sebutan begitu mesra, Aliok memegang kedua lengannya dan ia sama sekali tidak mampu bargerak.

Aliok kini menantang untuk bertanding melawan Panglima Ouw Beng Tat yang demikian lihai sehingga kakeknya sendiripun tidak mampu mengalahkannya! Seperti dalam mimpi, mendengar kata-kata terakhir Aliok. Siok Lan lalu berjalan perlahan menghampiri kakeknya.

Thian-te Sin-kiam yang pahanya terluka itu sudah ditolong oleh Dewi Suling yang menaruhkan obat dan membalutnya. Kini kakek ini sudah bangkit berdiri memandang cucunya dengan mata terbelalak dan segera ia menegur Siok Lan begitu gadis itu datang dekat.

“Siok Lan! Bagaimana engkau begitu berani kurang ajar? Kau… kau menyebut dia… Aliok? Apa-apaan ini? Siapa itu Aliok?”

“Dia Aliok pelayanku, kong-kong…“ kata Siok Lan terheran-heran melihat betapa kong-kongnya itu memandangnya dengan mata terbelalak seperti itu.

“Apa? Pel… pe... pelayanmu? Dia... pelayanmu? Ha, ha, ha, ha! Setua ini baru kali ini aku mendengar urusan begini lucu dan gila, ha ha, ha, ha. ha…!”

Kakek itu tertawa terbahak-bahak sehingga mengejutkan semua orang yang memandangnya dengan khawatir, takut kalau-kalau kakek itu menjadi gila karena menyesal melihat pihaknya menderita kekalahan. Tubuhnya bergoyang.

Dan Siok Lan cepat memegang lengan kakeknya. “Kong-kong… Mengapa…?”

Thian-te Sin-kiam memeluk cucunya menghentikan tertawanya ketika sadar bahwa sikapnya itu mengherankan semua orang. “Diamlah, dan kau lihat saja. Lihat baik-baik dan kau akan mengerti, cucuku,” katanya.

Yu Lee juga menengok ke arah mereka dan ketika bertemu pandang dengan Siok Lan, mengedipkan sebelah matanya.

Ouw Beng Tat juga mendengar percakapan antara kakek dan cucunya itu, maka ia tertawa. “Ha ha ha, kiranya engkau ini pelayan cucu Thian-te Sin-kiam? Seorang pelayan berani menantangku? Apakah kau sudah gila?”

“Ouw ciangkun, sudah kukatakan tidak perduli aku siapa, akan tetapi saat ini aku mewakili semua pejuang menghadapimu. Asal saja engkau tidak menjilat ludah sendiri. Kalau kau kalah terhadap aku, engkau akan membebaskan semua pejuang yang berada di sini. Benarkah itu?”

Ouw Beng Tat menjadi penasaran. Dia seorang panglima besar, bagaimana ia harus merendahkan diri melawan seorang pelayan? Selain Ouw Beng Tat, juga Siok Lan terheran-heran, bahkan mendongkol kepada Aliok. Gilakah Aliok! Mewakili semua pejuang? Mencari mati konyol?

“Thian-te Sin-kiam, benarkan pemuda ini menjadi wakil kalian?”

Thian-te Sin-kiam tertawa lebar dan mengangguk, “Benar, lawanlah dia kalau memang engkau lihai Ouw Beng Tat! Sekali ini engkau akan mendapat malu!”

Ouw Beng Tat masih penasaran dan menoleh ke arah Dewi Suling yang sejak tadi menundukkan mukanya yang menjadi pucat mendengar percakapan antara Thian-te Sin-kiam dan cucunya tentang pemuda yang ia kenal sebagai Yu Lee Si Pendekar Cengeng, satu-satunya pria yang dicintainya dan yang telah menolak cintanya itu.

“Dewi Suling, engkau juga setuju pemuda ini menjadi wakil kalian dan kalau dia kalah dariku, kalian semua akan tunduk akan semua keputusanku?”

“Dia memang wakil tunggal kami Ouw ciangkun. Dialah jago kami yang sejak tadi kami nanti-nanti!” jawab Dewi Suling tanpa ragu-ragu lagi.

Siok Lan melongo. Gilakah semua orang ini? Ataukah dia yang sudah gila dan telinganya tidak dapat menangkap ucapan orang dengan benar lagi?

Namun Ouw Beng Tat masih juga meragu. Ia tidak ingin dipermainkan dan dikatakan pengecut merendahkan diri hanya berani melawan seorang pelayan rendah. Maka ia berkata kepada Yu Lee. “Orang muda, sebelum aku melawanmu hendak kulihat apakah kau cukup berharga untuk menjadi lawanku! Ia menoleh ke belakang dan berkata kepada seorang perwira gemuk pendek yang memegang sebatang cambuk besi. “Kau wakili aku, hancurkan kepala budak hina ini!”

Perwira gedut pendek itu adalah seorang tokoh pengawal istana, seorang ahli silat yang bertenaga besar dan senjatanya itu, sebatang cambuk besi, amatlah hebatnya. Cambuk itu terbuat daripada baja lemas panjangnya tidak kurang dari tiga meter. Dengan senyum mengejek perwira itu melangkah maju, cambuknya digerakkan dan diputar-putar di atas kepala menimbulkan suara meledak-ledak keras sekali seperti halilintar.

Yu Lee maklum bahwa senjatanya, yaitu sebatang ranting berani menghadapi segala macam senjata keras, kecuali cambuk yang lemas, karena ada bahayanya ranting itu akan terbabat putus oleh cambuk yang lemas sifatnya. Maka ia lalu menyelipkan rantingnya di pinggang, lalu bertolak pinggang sambil berkata “Baiklah Ouw ciangkun. Aku akan menghadapi pembantu mu ini dengan tangan kosong!”

Ucapan ini tentu saja dianggap takabur oleh pihak lawan, dan memang ini yang diharapkan Yu Lee agar tidak diketahui orang akan rahasia kelemahan senjatanya yang amat sederhana ini. Siok Lan menjadi pucat, menganggap bahwa Aliok benar-benar miring otaknya.

Perwira gendut itu marah sekali, merasa dipandang rendah dan dihina. Maka sambil berseru keras ia menyerang maju sambil menggerakkan cambuknya. “Tar tar tar…” cambuk baja itu melecut-lecut dan ujungnya menari-nari di atas kepala Yu Lee, seolah olah mengancam hendak benar-benar menghancurkan kepala pemuda yang tampak tenang saja itu.

Melihat betapa pemuda itu tenang-tenang saja menghadapi ancaman-ancaman ujung cambuknya, si perwira gendut makin marah dan dengan bentakan keras ia kini benar-benar menyerang. Ujung cambuknya menyambar ke arah jalan darah di leher Yu Lee setelah meledak dengan suara nyaring.

Namun dengan amat mudanya Yu Lee mengelak. Ujung cambuk terus menyambar-nyambar dan terjadilah pemandangan yang membuat Siok Lan melongo. “Pelayannya” itu kini bergerak-gerak indah sekali, indah dan cepatnya sampai membuat matanya kabur dan kepalanya pening. Itulah ginkang yang jarang ia saksikan.

Tubuh pemuda itu seolah-olah berubah menjadi asap, begitu ringannya ia bergerak, seolah-olah ujung cambuk yang menyambar-nyambar itu lebih dulu membuat tubuhnya melayang sebelum tiba sehingga tak pernah satu kalipun ujung cambuk dapat menyentuh bajunya yang putih kasar.

Benarkah itu Aliok, pelayannya? Kalau begitu, selama ini dia seperti seorang buta, tidak melihat bahwa pelayannya itu sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada dia sendiri! Akan tetapi mengapa Aliok berpura-pura bodoh?

Dan kakeknya mengapa terkejut mendengar bahwa Aliok pelayan dan seakan-akan telah mangenal pelayannya itu? Mengapa pula semua pejuang, termasuk Dewi Suling, secara sewajarnya menerima Aliok sebagai jago mereka, seolah-olah sudah mengenalnya dengan baik dan tahu akan kepandaiannya?

Akan tetapi Siok Lan terpaksa harus menghentikan keheranannya karena ia amat tertarik menonton pertandingan itu. Yu Lee yang tadinya berloncatan menghindarkan diri dari sambaran sambaran cambuk, kini tiba-tiba berdiri tegak dengan kedua kaki di pentang lebar dan kedua tangan bertolak pinggang, menanti datangnya serangan musuh!

Perwira gendut itu berseru girang dan juga beringas, cambuknya menyambar ke arah dada Yu Lee. Pemuda ini tadi memang sengaja mengelak terus untuk mengenal dasar gerakan ilmu cambuk lawan. Kini ia sudah dapat mengukur dan mengenal, maka ia berdiri tegak menanti datangnya cambuk. Begitu ujung cambuk sudah dekat dengan kulit dadanya tangan kanannya meraih dan ujung cambuk itu telah ditangkapnya dengan mudah.

Perwira itu marah membetot-betot sekuat tenaga untuk merampas kembali senjatanya, namun sia-sia belaka, ujung cambuk baja itu tak dapat terlepas dari genggaman tangannya Yu Lee. Kembali si perwira mengerahkan tenaganya yang besar, sampai mulutnya mengeluarkan suara “ah ah uh uh” dan tiba-tiba Yu Lee melepaskan ujung cambuk itu bukan hanya dilepaskan begitu saja, melainkan ia lontarkan dengan pengerahan tenaga sinkang di tangannya.

Ujung cambuk melesat ke depan, kearah tubuh perwira gendut yang terhuyung-huyung kebelakang karena dorongan tangannya yang membetot tadi tanpa dapat dielakkan lagi ujung cambuk yang berubah menjadi seperti anak panah yang meluncur cepat ini menusuk perutnya.

“Crattt…!” Ujung cambuk dari baja itu menusuk perut terus menembus punggung. Perwira gendut itu terjengkang dan berkelojotan, mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih.

Melihat temannya roboh tewas, enam orang perwira Mongol tanpa diperintah lagi sudah meloncat maju dan langsung menyerang Yu Lee. Pemuda ini berseru “Bagus!” dan ranting yang tadi terselip di pinggang sudah dicabutnya dan mulailah ia manghadapi pengeroyokan enam orang perwira yang bersenjata pedang dan golok itu.

“Curang…! Curang...!” teriak Siok Lan. Tidak perduli pemuda itu Aliok si pelayan atau bukan, namun sudah jelas bahwa antara pemuda itu dan dia ada tali percintaan yang membuat ia siap membelanya. Dengan pedang di tangan ia hendak menyerbu, akan tatapi tiba-tiba lengannya di pegang kakeknya yang berbisik.

“Jangan bergerak, kau lihat saja. Dia tidak akan kalah…”

Siok Lan melihat kesekelilingnya dan semua pejuang menonton pertandingan itu dengan wajah tenang, ia menoleh kepada kakeknya dan berkata, “Kong-kong, apakah aku mimpi? Apakah dia itu bukan Aliok pelayanku?”

“Sssttt, kau lihat saja dan kau akan mengerti...”

Siok Lan menyimpan pedangnya kembali lalu menonton dengan jantung berdebar tegang. Pelayannya ini benar-benar hebat bukan main, sungguh jauh dari dugaannya. Memang pernah ia mengira bahwa sedikit banyak Aliok tentu memiliki kepandaian ilmu silat sebagai bekas pelayan keluarga Dewa Pedang Yu. Akan tetapi tidak dengan tingkat setinggi itu!

Kini mengertilah ia bahwa Aliok dahulu itu bukan secara kebetulan saja dapat mempermainkan Cui Hwa Hwa, dan mulailah ia mengerti pula yang memundurkan para tokoh pengemis Ang-kin Kai-pang bahkan yang mengundurkan ketuanya yang sekarang sudah tewas di tangan Ouw Beng Tat, bukan lain adalah pelayannya ini.

Itulah pelayannya tentu telah membantunya secara diam-diam dan teringat akan ini semua otomatis bulu kuduk Siok Lan meremang dan ia merasa malu kepada diri sendiri!

Kemudian teringat ia betapa Aliok pernah menciumnya di atas kuda, dan kini bukan hanya bulu tengkuknya yang meremang, bahkan semua bulu tubuhnya bangkit dan pipinya berubah menjadi merah sekali sampai leher dan telinganya!

Sekali ini Yu Lee harus benar-benar mengeluarkan kepandaiannya. Ia tahu bahwa kalau ia tidak mampu merobohkan enam orang pengeroyoknya dalam waktu singkat. Panglima Ouw Bang Tat akan memandang rendah kepadanya dan usahanya menolong para pejuang akan gagal.

Ouw Beng Tat adalah seorang yang gagah perkasa yarg tentu akan memegang janjinya asal saja ia dapat memperlihatkan bahwa dia cukup lihai dan patut untuk menandingi panglima itu. Ia harus mendatangkan kesan tinggi dalam pandangan panglima itu. Oleh karena ini begitu melihat enam orang pengeroyoknya maju menerjangnya tanpa banyak aturan lagi karena marah menyaksikan kematian seorang kawan mereka.

Yu Lee lalu mengeluarkan suara melengking nyaring tubuhnya mendadak lenyap berubah menjadi bayangan putih yang melengking-lengking, tongkat ranting di tangannya menjadi gulungan sinar kehijauan yang melingkar-lingkar dan mengurung para pengeroyoknya. Bagaikan beruntun terdengar jerit-jerit disusul robohnya keenam orang pengeroyoknya.

Ketika orang melihat, masih pening oleh gerakan yang amat cepat itu, ternyata enam orang perwira itu telah mati karena totokan-totokan maut dan Yu Lee berdiri memegang ranting memandang ketujuh orang korbannya dengan pipi basah air mata!

“Pendekar Cengeng…” seruan ini mengandung rasa takut dan gentar, keluar dari mulut para anak buah pasukan Mongol.

Pucat wajah Siok Lan. Ia berdiri dengan jari-jari didepan bibir, mata terbelalak memandang ke arah “Aliok”, jantung berdebar tidak karuan. Akhirnya ia terisak dan bibir mengeluarkan bisikan lirih. “Dia... dia… Aliok… dia Pendekar Cengeng...!”

“Siok Lan… Siok Lan…!” Thian-te Sin-kiam memanggil, akan tetapi gadis itu telah lenyap menerobos diantara kepungan tentara musuh yang tidak menghalanginya karena mereka semua sedang tegang memandang ke arah Pedekar Cengeng. Thian-te Sin-kiam hendak mengejar, akan tetapi ia terhuyung dan tentu roboh terguling karena luka di pahanya kalau saja lengannya tidak cepat-cepat disambar oleh Dewi Suling.

“Harap locianpwe tenang, kita menghadapi urusan yang lebih gawat. Biarkanlah, adik Siok Lan sedang bingung dan kaget, kalau sudah beres akan kususul dia.”

Thian-te Sin-kiam mengangguk dan menghela napas panjang, memandang lagi ke arah Yu Lee yang kini berhadapan dengan Panglima Ouw Beng Tat. Suara pemuda itu halus akan tetapi penuh wibawa ketika ia berkata kepada panglima tinggi besar itu.

“Terpaksa aku merobohkan pembantu pembantumu, Ouw ciangkun. Engkau telah menewaskan tujuh orang teman kami, dan aku telah menewaskan tujuh orang pembantu mu, berarti keadaan kita seri, tidak ada yang lebih unggul.”

Ouw Beng Tat memandang dengan sinar mata penuh kekaguman, juga penasaran. Ia mengangguk-angguk dan berkata, “Hemm, tidak apa. Mereka mati sebagai orang-orang gagah seperti juga teman-temanmu. Jadi kiranya engkau ini Pendekar Cengeng? Engkau cucu Yu Tiang Sin yang terlepas dari cengkeraman maut yang disebar oleh Hek-siauw Kui-bo? Hemm, bocah, siapa namamu?”

“Nama saya Yu Lee, di waktu kecil pernah kong-kong bercerita tentang kegagahan Ouw ciangkun. Karena itu, bisalah saya mewakili mendiang kong kong, mohon kebijaksanaan ciangkun untuk membebaskan semua pejuang yang ada di sini.”

“Ha ha ha! Jangan takabur, orang muda! Apa kau kira setelah berhasil mengalahkan tujuh orang pembantuku yang masih bodoh, kau dapat membuat hati Ouw Beng Tat menjadi jerih? Ha ha ha, biar ada lima orang muda seperti engkau aku masih belum mau tunduk dan tetap mempertahankan perintahku, yaitu menawan kalian semua yang memimpin pemberontakan ini, termasuk engkau Pendekar Cengeng.”

Berkerut alis Yu Lee. Sudah ia duga bahwa panglima yang keras hati ini tidak akan mudah dapat ditundukkan dengan kata-kata. Maka iapun lalu berkata, suaranya nyaring tegas. “Kalau begitu, terpaksa aku menantangma Ouw ciangkun!”

“Bagus! Memang keadaan kita masih seri bukan? Nah, sekarang tinggal pertandingan terakhir. Engkau cukup berharga untuk menjadi lawanku. Kalau sekali ini engkau kalah olehku, mati atau hidup, maka fihakmu barus tunduk dan taat kepada perintahku tadi.”

“Baik, kami berjanji!” Tiba-tiba Thian-te Sin-kiam berseru. “Akan tetapi, bagaimana kalau kau yang kalah oleh Pendekar Cengeng Ouw Beng Tat?”

“Ha ha ha! Tak mungkin sekali itu! Akan tetapi seandainya aku kalah, kalian semua boleh bebas, aku akan menarik mundur tentaraku?” Ouw Beng Tat masih memandang rendah lawannya sehingga ia katakan bahwa kalau ia kalah ia masih mampu menarik mundur tentaranya, berarti ia kalah dalam keadaan seri, ia tidak percaya bahwa orang muda itu mampu menewaskannya!

“Kalau begitu mulailah, ciangkun, omongan orang gagah sudah dikeluarkan, sekali keluar, biar dunia kiamat takkan dilanggarnya!” kata Yu Lee.

“Aku sudah mulai awas…..”

“Cet cet cet cet cet…..!!”

Sinar berkilauan menyambar-nyambar dari kedua tangan panglima tua itu, bagaikan kilat berkelebat menyerang Yu Lee. disusul suara berkerincingan nyaring memenuhi udara. Sedikitnya ada tiga puluh batang piauw menyambar secara bertubi-tubi tidak hanya ke arah belasan jalan darah di sebelah depan tubuh Yu Lee.

Bahkan sebagian pula menyambar ke kanan kiri dan atas menutup jalan keluar jika pemuda itu hendak mengelak. Satu-satunya jalan mengelak bagi Yu Lee hanyalah masuk ke dalam bumi, akan tetapi, bagaimana mungkin hal ini ia lakukan? Bahaya maut mengancam diri pemuda itu, kuku-kuku cengkeraman maut menjangkaunya dari segenap penjuru.

Thian-te Sin-kiam sendiri sampai menahan napas menyaksikan hebatnya serangan piauw ini, jauh lebih hebat daripada yang pernah ia saksikan selama hidupnya. Juga Dewi Suling sampai menjadi pucat mukanya karena wanita ini cukup maklum betapa sukarnya menyelamatkan diri dari sambaran piauw yang susul menyusul itu.

Yu Lee bukan tidak tahu akan kelihaian senjata rahasia lawan, juga ia tidak berani memandang rendah. Pemuda ini sudah sejak tadi mengerahkan sinkang di tubuhnya sampai tubuhnya mengeluarkan getaran, hawa sakti yang dahsyat, terutama sekali pada Kedua lengannya.

Tangan kanan yang memegang ranting bergerak cepat memukul atau memecut ke arah piauw piauw yang berdatangan sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka melakukan gerakan sakti Sin-kong-ciang di dorongkan ke arah depan. Hebat sekali kesudahannya. Barang kecil yang bergerak cepat itu menyambut setiap piauw yang menyambar.

Dan begitu terpukul ujung ranting, piauw-piauw itu membalik dengan kecepatan lebih cepat lagi ada yang membentur piauw-piauw lainnya ada pula yang terus menyerang Ouw Beng Tat. Sedangkan piauw-piauw lainnya yang terkena hawa pukulan tangan kiri Yu Lee runtuh dan mencelat ke kanan kiri!

Ouw Beng Tat memandang terbelalak sambil menyambar beberapa piauw yang di “dipukul kembali” oleh Yu Lee. Mukanya berubah dan ia berkata seperti diluar kehendaknya. “Ilmu silat Tu-kui tung-hoat, ilmu pukulan Sin-kong-ciang. Hei, Pendekar Cengeng ada hubungan apa engkau dengan Han ongya (sebutan untuk Raja Muda Han it Kong)?”

“Sin kong-ciang Han It Kong adalah suhuku yang mulia,” jawab Yu Lee.

Panglima itu menggerakkan alisnya, wajahnya menjadi agak pucat, “Ah....! Kiranya begitu? Sungguh tidak kebetulan bagiku! Han ongya adalah bekas junjunganku, juga setengah guruku karena beliaulah yang memberi banyak petunjuk dan bimbingan kepadaku. Andaikata Han ongya sendiri yang kini datang menghadapiku, aku Ouw Beng Tat bukan seorang yang tak kenal budi. Aku akan menyerahkan jiwa ragaku kepada beliau…”

Terkejut juga Yu Lee mendengar pengakuan ini. Gurunya dahulu tidak pernah bicara tentang panglima yang kosen ini. Yu Lee seorang pemuda cerdik, ia hendak menggunakan kesempatan itu demi keuntungan teman-temannya, maka cepat ia menjura dan berkata,

“Nah, kalau begitu, kita adalah orang-orang sendiri, bahkan ciangkun masih terhitung suheng (kakak seperguruan) dariku. Mengingat akan budi suhu, hendaknya ciangkun sudi mengalah dan membebaskan semua pejuang agar diantara kita tidak usah ada pertentangan lagi.”

Ouw Beng Tat termenung sampai agak lama. Semua orang menanti dengan hati cemas dan penuh harapan. Akan tetapi panglima itu menggeleng kepala dan berkata, suaranya tegas dan parau.

“Tidak bisa! Tidak bisa! Pertama, kalau aku membatalkan pertandingan, orang akan menyangka bahwa aku Ouw Beng Tat takut bertanding melawan Pendekar Cengeng! Kedua, aku berhutang budi kepada Han ongya, bukan kepada muridnya. Ketiga aku masih belum yakin karena belum ada bukti bahwa engkau adalah murid Han ongya.”

“Ouw ciangkun, engkau sudah menyaksikan Tu-kui tung-hoat dan Sin kong-ciang, bukti apa lagi yang engkau kehendaki?”

“Hemm, belum meyakinkan. Kalau engkau benar murid tersayang Han ongya, engkau tentu akan dapat mengalahkan aku, barulah aku akan percaya bahwa engkau murid Han ongya!”

Panas juga hati Yu Lee. Orang ini tak mungkin dapat diajak berunding secara damai lagi, pikirnya, maka dengan sikap dingin ia berkata, “Begitukah kehendakmu? Nah menunggu apa lagi? Aku sudah siap menghadapimu Ouw ciangkun.”

“Singgg…!” Pedang yang tercabut itu mengeluarkan suara mendesing keras dan nyaring. Baru sekarang Ouw Beng Tat benar-benar hendak menggunakan kepandaiannya, tadi semua lawan ia robohkan hanya dengan serangan senjata rahasianya yang ampuh saja.

Pedang itu masih menggetar ujungnya ketika ia pegang dengan tangan kanan di atas kepala dengan lengan melengkung adapun tangan kiri meraba dada sendiri, dekat kantong piauw, kedua kaki memasang kuda kuda, siap menerjang maju, sepasang matanya memandang tajam ke arah Yu Lee.

Pendekar Cengeng yang maklum akan kelihaian lawan, juga tidak mau memandang rendah. Ia segera memasang kuda-kuda, ranting yang dipegang tangan kanan itu melintang di dada, tangan kiri dengan jari-jari terbuka miring di depan dahi, kedua kaki di pentang lebar depan belakang, matanya memandang tajam ke depan, dicurahkan kepada gerakan lawan yang akan datang.

Melihat tangan kiri lawan, pemuda ini maklum bahwa betapapun berbahaya pedang panjang lawan itu namun yang lebih berbahaya lagi adalah tangan kiri yang setiap saat, dalam detik detik tak terduga, dapat menyambitkan piauw dari kantong itu.

Di lain fihak, Ouw Beng Tat kini tidak lagi berani memandang rendah pemuda ini. Kalau benar pemuda ini murid terkasih Han It Kong akan sukarlah baginya untuk mencapai kemenangan, ia sudah tahu betapa hebatnya ilmu ilmu Sin kong-ciang dan Ta-kui tung-hoat yang tak mungkin ia dapat tandingi.

Dia pernah digembleng Han It Kong ketika menjadi anak buah raja muda perkasa itu, akan tetapi karena bukan muridnya, maka raja muda itu tidak menurunkan kepadanya kedua macam ilmu kesaktian yang menjadi inti dari pada Han It Kong itu.

Ia tahu bahwa ranting kecil itu lebih berbahaya dari pada senjata macam apapun juga, maka ia tidak mau memandang ringan apa lagi tangan kiri yang terbuka itu karena ilmu pukulan Sin kong-ciang amat dahsyat dan sudah mengangkat tinggi nama besar Han It Kong di dunia kangouw.

Semua orang menahan napas menyaksikan kedua orang jago, yang seorang muda yang seorang tua dan saling berhadapan memasang kuda kuda tanpa bergerak atau berkedip sedikit pun. Ouw Beng Tat maklum bahwa pemuda itu amat hati-hati, tentu tidak akan suka menyerangnya terlebih dahulu ia menanti saat yang baik menanti pemuda itu berkedip atau bergerak salah satu bagian syarafnya.

Namun betapa kagum hatinya menyaksikan pemuda itu diam tak bergerak seperti arca batu, sikapnya tenang sekali dan teguh kokoh kuat sukar dicari kelemahannya. Maka ia lalu berteriak keras sekali dan mulailah ia menerjang dengan gerakan dahsyat pedangnya berdesing-desing ketika ia gerakkan dalam penyerangan berantai, yaitu pedangnya itu berputaran seper kitiran angin, demikian cepatnya sehingga membentuk segalung sinar yang berkeredepan dan bertubi tubi menyambar ke arah tubuh Yu Lee.

Pemuda itu menggunakan keringanan tubuhnya bergerak lincah mengelak setiap kali gerakan gerakan sinar pedang itu menyambar ke arahnya, akan tetapi karena pedang itu berputar cepat maka tiap kali dielakkan sudah datang lagi, membuat pemuda itu sibuk dan terdesak dalam usahanya menghindarkan diri ini Yu Lee maklum bahwa tidak baik bagi kedudukannya kalau mengelak terus.

Maka bergeraklah rantingnya, bukan langsung menangkis pedang melainkan pada sepersepuluh detik setelah pedang menyambar lewat pengelakannya, rantingnya meluncur menotok pergelangan tangan yang memegang pedang. Totokan bukan sembarangan totokan, melainkan totokan dari jurus ilmu Tongkat Ta-kui tung-hoat sehingga kalau mengenai sasaran, biarpun orang selihai Ouw Beng Tat tentu akan melepaskan pedangnya karena urat nadinya putus!

Ouw Beng Tat mengenal bahaya. Cepat ia menarik tangannya dan berhentilah putaran pedangnya. Namun tidak berhenti serangan nya. Sambil menarik tangan ia menggerakkan pergelangan tangan dan pedangnya dari atas menyambar ke bawah, mengancam leher Yu Lee dengan bacokan dahsyat yang mengeluarkan suara berdesing.

Kembali Yu Lee dengan mudahnya mengelak cepat dan sinar bergulung gulung dari gerakan rantingnya yang melakukan serangan balasan bertubi tubi mengurung semua gerakan tubuh Ouw Beng Tat.

Kini panglima itulah yang menjadi sibuk sekali, mengelak dan menangkis karena ia maklum betapapun kecilnya ranting itu, namun sekali ia tersentuh, akan celakalah dia. Ia menggertak gigi dan memutar pedang melindungi tubuh, pedangnya seolah olah berubah menjadi benteng baja yang menyelimuti dirinya.

Makin lama makin seru pertandingan itu, makin dahsyat dan berjalan cepat sekali sehingga dalam waktu tidak berapa lama mereka saling serang sebanyak lima puluh jurus! Keduanya diam-diam merasa kagum dan harus mengakui bahwa baru sekali ini mereka menghadapi lawan yang benar benar hebat.

Bagi Yu Lee, baru pertama kali ini ia menghadapi lawan yang benar benar tangguh, yang dapat menandingi Ta kui tung hwat sampai lima puluh jurus. Sebaliknya Ouw Beng Tat yang melakukan pertandingan entah berapa ribu kali selama ia hidup, harus mengakui pula bahwa belum pernah ia menghadapi lawan semuda Pendekar cengeng dengan kepandaian sehebat itu.

Makin lama Ouw Beng Tat menjadi makin penasaran. Betapapun lihai pemuda lawannya ini bahkan biarpun dia murid Han It Kong sekalipun, pemuda ini belum lahir ketika ia sudah jagoan! Masa ia tidak mampu mengalahkannya? Dengan hati penuh kemarahan dan penasaran ouw Beng Tat mengeluarkan seruan nyaring dan menerjang dengan mempercepat gerakannya. Tubuhnya yang tinggi besar sampai lenyap terbungkus gulungan sinar pedangnya yang membentuk lingkaran lingkaran lebar!

Yu Lee mengimbanginya dan terdengarlah lengking panjang kemudian lenyap pula bentuk tubuh pendekar sakti ini, terbungkus sinar kehijauan dari ranting yang diputar cepat. Yang tampak kini hanya dua gulungan sinar saling belit, saling tindih saling himpit dan hanya kadang-kadang tampak bayangan tubuh mereka atau berkelebatnya kaki yang menginjak tanah menimbulkan debu mengebul di sekeliling tempat itu.

Saking hebatnya hawa sakti yang keluar dari dua gulungan sinar itu daun daun pohon yang berdekatan melayang layang turun dengan gagang yang cepat seperti dibabat dengan senjata yang tajam!

“Siingggg…. plakkkk…. Plakkkk…. Brettt….!!”

Tidak ada yang dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan jelas, bahkan dua orang sakti seperti Dewi Suling dan Thian-te Sin-kiam juga menjadi pening menyaksikan pertandingan itu dan berusaha mengikuti dengan pandangan mata. Tahu-tahu kini keduanya mencelat ke belakang gulungan sinar lenyap dan tampak Ouw Beng Tat menyumpah dan meraba paha kirinya.

Belakang pahanya tampak karena celananya telah robek kulit paha itu terdapat guratan membiru. Kiranya ranting dengan ilmu tongkat Ta-kui tung-hwat telah membuktikan keampuhannya, yaitu dapat menerjang tubuh belakang lawan dari depan. Biarpun hanya terobek celananya dan tergurat kulitnya namun hal ini cukup mengagetkan Ouw Beng Tat sehingga ia meloncat ke belakang yang diturut pula oleh Yu Lee.

Pemuda ini amat hati-hati, tidak mau sembarangan mendesak karena loncatan musuh ke belakang itu dapat juga dijadikan perangkap. Kini mereka saling berhadapan agak jauh, terpisah kurang lebih sepuluh meter. Kembali separti tadi pada saat awal pertandingan mereka saling pandang dengan sinar mata tajam. Hanya tampak perbedaan pada keduanya.

Yu Lee agak berubah wajahnya, agak pucat tetapi sikapnya masih tenang, tidak tampak napasnya terengah, juga hanya pada leher dan dahinya saja agak basah oleh peluh. Di lain fihak, Ouw Beng Tat kelihatan merah sekali mukanya, merah karena marah, muka penuh dengan keringat yang masih menetes netes turun, napasnya agak terengah engah.

“Kau hebat, Pendekar Cengeng. Akan tetapi jangan tertawa dulu, kau lihat seranganku!” Tiba-tiba panglima itu mengeluarkan suara gerengan yang seperti harimau marah, keluar dari perut melalui kerongkongannya. Tubuh nya melayang ke atas, lalu menukik ke depan tangan kirinya borgerak cepat.

“Cat cat cat cat!” tujuh batang piauw mengeluarkan suara berkerincingan ketika menyambar ke bawah ke arah Yu Lee yang menjadi terkejut sekali.

Di serang dari jarak begitu dekat dengan ancaman piauw dan pedang musuh, benar-benar tidak boleh dibuat main-main. Ia mengelak, lalu menjatuhkan diri bergulingan, akan tetapi setiap saat menghadap ke atas, mengelak lagi dan ketika pedang lawan datang menyambar.

Ia menangkis dari samping dengan rantingnya, meminjam tenaga lawan ini untuk mencelat ke atas bangun berdiri dan pada saat terakhir, dengan pukulan Sin-kong Ciang ia berhasil meruntuhkan sebatang piauw yang menyusul paling akhir.

Serangan hebat itu gagal dan dengan seruan kecewa, tiba-tiba panglima itu menggulingkan diri, terus kini bergulingan ke arah Yu Lee, tangan kirinya tetap bergerak dan, “cat cat cat…!”

kembali tujuh batang piauw menyambar ke arah pemuda itu, kini dari bawah menyambar ke arah bagian bagian tubuh terpenting lalu disusul tubuhnya sendiri mencelat ka atas menyusul serangan tujuh batang piauw itu dengan babatan pedangnya! Hebat bukan main serangan tujuh batang piauw itu, lebih berbahaya dari pada jurus pertama yang menyerang dari atas tadi.

Yu Lee maklum bahwa ia menghadapi saat yang gawat, terutama sekali oleh susulan serangan pedang yang membebat, cepat mengerahkan sinkang, disalurkan ke arah ranting di tangannya lalu dari samping ia menangkis, terus menggunakan tenaga menempel dan mendorong pedang lawan, menambah tenaga luncuran pedang sehingga pedang itu menyeleweng ke kiri dan membabat lengan Ouw Beng Tat yang kiri! Cepat bukan main terjadinya sehingga sukar diduga dan sukar pula diikuti dengan pandangan mata.

Tujuh batang piauw dapat dielakkan oleh Yu Lee dan dikebut dengan pukulan Sin kong-ciang, akan tetapi kiranya panglima tua itu masih menyembunyikan sebatang piauw lagi yang dengan jari-jari tangan kiri disentil sedemikian rupa sehingga piauw itu menyambar ke dada Yu Lee! Yu Lee yang sedang mengerahkan tenaga menempel pedang dan modorong, kaget dan miringkan tubuhnya.

“Capp…. crokk….!!”

Ouw Beng Tat mengeluarkan teriakan serak seperti suara binatang liar, tangan kirinya sebatas pergelangan tangan telah terbabat putus oleh pedangnya sendiri sehingga ia terhuyung-huyung ke belakang, wajahnya pucat memandang lengannya yang sudah buntung, darah muncrat-muncrat.

Sebaliknya, biarpun sudah miringkan tubuh, Yu Lee masih tak dapat menghindarkan piauw itu yang menancap di bahu kanannya. Pemuda inipun terhuyung huyung ke belakang, mencabut piauw dan membuangnya. Darah mengucar dari bahunya, akan tetapi tentu saja keadaannya tidak sehebat Ouw Beng Tat.

“Tangan kirimu terlalu jahat, terpaksa dilenyapkan… ciangkun….!” kata Yu Lee terengah-engah menahan rasa nyeri di bahunya. “Apakah ciangkun masih belum mau mengalah?”

Sejenak Ouw Beng Tat diam, melotot dan menggereng-gereng perlahan, kemudian ia membungkuk menyambar tangan kirinya yang menggeletak di atas tanah itu dengan tangan kanan setelah menggigit padangnya, memandang tangan itu sebentar lalu mengantonginya.

Setelah itu, dengan darah dingin ia menotok jalan darah di lengan kirinya menghentikan aliran darah sehingga tidak mengucur keluar dan menotok jalan darah yang mengurangi rasa nyeri, kemudian mengambil pula pedangnya di tangan kanan.

“Belum ….! Aku belum kalah... hayo teruskan....!” Setelah berkata demikian, ia menggunakan pedangnya menubruk maju.

“Luar biasa sekali engkau ciangkun!” Seru Yu Lee. Pemuda ini, seperti juga semua orang yang menyaksikan pertandingan hebat itu memandang penuh kagum kepada panglima tua itu yang benar-benar amat gagah perkasa. Terpaksa pamuda ini menghadapi lawannya dengan tenang.

Setelah kini lawannya tak dapat lagi menggunakan tangan kiri untuk menyerang dengan piauw tentu saja dia jauh lebih unggul. Biarpun pundaknya terluka piauw tadi namun Yu Lee masih cukup kuat untuk menggerakkan ranting menangkis pedang, kemudian tangan kirinya menyusul dengan pukulan Sin-kong'ciang. Pukulan yang tidak menyentuh kulit lawan, namun hawa pukulan sakti itu cukup hebat sehingga Ouw Beng Tat terjengkang dan terguling guling!

“Masih belum cukupkah ciangkun?” tanya Yu Lee, suaranya sunsguh sungguh, sama sekali tidak mengandung maksud mengejek.

“Aku belum kalah…” Ouw Beng Tat sudah meloncat bangun lagi sambil menyerang hebat. Panglima tua ini merasa betapa tubuhnya lemas, separoh tubuh bagian kiri sakit menusuk-nusuk jantung, akan tetapi sesuai dengan wataknya yang pantang mundur dan pantang menyerah selama ia masih mampu melawan, ia terus nekad menerjang.

Yu Lee merasa kagum juga penasaran. Kakek ini benar-benar keras hati dan keras kepala, pikir nya, ia maklum bahwa kalau kakek ini belum dibikin tak berdaya, tentu takkan mau mengaku kalah.

Pedang yang panjang itu menyambar dengan kekuatan dan kecepatan dahsyat yang sukar untuk dihindarkan oleh lawan pandai sekalipun. Namun Yu Lee yang bersikap tenang itu sengaja berlaku lambat. Baru setelah pedang menyambar dekat leher ia secara tiba-tiba merendahkan tubuhnya dan tongkat ranting di tangannya menyambar, tatapi sekali ini menotok ketiak kanan lawan hingga pedang yang dipegang tangan yang tertotok ini terlepas.

Tangan kirinya cepat mendorong dengan Sin kong-ciang dan hanya menyentuh sedikit dada Ouw Beng Tat, namun sekali ini cukuplah. Pedang panglima itu terampas dan tubuh yang tinggi itu terjengkang lalu terbanting ke atas tanah!

Ouw Beng Tat mengeluh perlahan, berusaha bangkit akan tetapi tidak sanggup, sehingga ia hanya mampu duduk sambil mengelus elus dadanya dengan tangan kanan. Napasaya serasa terhenti oleh sentuhan pukulan Sin kong ciang tadi. Satelah napasnya agak normal kembali, ia memandang Yu Lee dan berkata suaranya tersendat sendat.

“….kau hebat... Sin-kong-ciang dan Ta-kui tung-hwat benar-benar hebat... engkau benar muridnya… murid Han ongya.... aku mengaku kalah....”

Yu Lee menjura dengan hormat, “Ouw ciangkun juga hebat, gagah perkasa sukar dicari bandingannya. Apakah sekarang ciangkun suka membebaskan teman pejuang yang berada di sini ini?”

Ouw Beng Tat menarik napas panjang. “Aku seorang panglima, membebaskan para pemberontak berarti sebuah kedosaan terhadap pemerintah dan biarlah aku akan hadapi hukumannya karena akupun seorang yang menjunjung kegagahan dan tidak akan menjilat ludah kembali. Aku telah berjanji…. aku sudah kalah…. orang muda, kau ajaklah teman-temanmu pergi dari sini.... kubebaskan kalian…“

“Terima kasih, Ouw ciangkun.” Yu Lee menjura lalu ia menghampiri teman-temannya dan minta kepada mereka supaya cepat-cepat pergi meninggalkan hutan ini.

Ketika para pejuang itu dengan pimpinan masing-masing membawa teman yang terluka dan mereka meninggalkan, didiamkan saja oleh pasukan Mongol. Yu Lee ditegur oleh Thian-te Sin-kiam.

“Mengapa engkau mengaku sebagai Aliok kepada Siok Lan? Ah, apa pula artinya sandiwara itu…..”

Yu Lee yang sejak tadi mencari dengan matanya, mendengar pertanyaan ini karena memerlukan jawaban panjang lebar, bahkan ia balas bertanya, “Liem locianpwe, di mana dia?”

“Hemnm, dia telah pergi melarikan diri ke selatan sana setelah mendapat kenyataan bahwa pelayannya Aliok itu tarnyata adalah Pendekar Cengeng, Dewi Suling tadi telah menyusulnya...“

“Ah, maaf locianpwe. Saya harus mengejarnya!” Setelah berkata demikian, tubuh Yu Lee berkelebat dan lenyap dari depan kakek itu.

Thian-te Sin-kiam Liem Kwat Ek menggeleng-geleng kepala sambil menarik napas panjang. Teringat ia akan semua pengalamannya di masa muda dahulu dan tahulah ia apa yang sedang dirasakan oleh orang-orang muda itu, maka sambil berjalan perlahan agak terpincang meninggalkan tempat itu bersama para pejuang lainnya ia berkata perlahan seorang diri, “ hem… orang muda.... dan cinta….”


Sian-li Eng-cu Liem Siok Lan lari secepatnya sambil menangis terisak-isak, air matanya bercucuran seperti air hujan menuruni kedua pipinya tanpa ia perdulikan. Ada butir butir air mata yang setiba di pipi, di kanan kiri mulut, menyeleweng mengikuti lekuk pipi terus ke ujung bibirnya, terasa asin, tetapi inipun tidak ia perdulikan dan ia lari terus.

Hatinya terasa tidak keruan. Dia sendiri tidak tahu mengapa ia menangis dan melarikan diri! Kalau ia meneliti perasaan hati dan jalan pikirannya, ia bisa gila! Betapa tidak? Dia seharusnya merasa girang mendapat kenyataan bahwa Aliok pemuda yang dicintainya itu ternyata bukanlah seorang pelayan biasa saja, dan juga bukan seorang bodoh.

Melainkan dialah pendekar sakti yang dikagumi semua orang, yaitu Pendekar Cengeng, itulah sebetulnya pribadi Aliok yang hanya sebuah nama samaran saja. Dan Yu Lee atau pendekar Cengeng ini jelas mencintainya, sudah pernah menciumnya sudah beberapa kail melindunginya, membelanya, berkorban untuk nya, membiarkan dadanya terluka untuknya.

Semestinya ia girang dm bahagia. Akan tetapi, Pendekar Cengeng adalah orang yang selama ini ia benci sekali karena telah menganggap dan memandang rendah kepadanya sebagai seorang calon jodoh. Mengapa Yu Lee berpura-pura menjadi Aliok? Apakah semua itu bukan untuk mempermainkannya? Untuk mengejek? Dan terhadap Aliok ia sudah mengungkapkan semua perasaan bencinya kepada Yu Lee!

Alangkah memalukan hal ini! Dia merasa girang, jaga marah juga malu! Beberapa kali Siok Lan berhenti dan membanting-banting kaki sambil menangis, lalu teringat kalau-kalau ia dikejar “pelayan” itu maka ia lari lagi secepatnya. Ia lari tanpa tujuan dan tidak lagi lurus menuju ke selatan, melainkan membelok-belok tidak karuan karena dia sendiri tidak tahu harus pergi kemana, pokoknya asal lari pergi menjauhi laki laki yang ducinta dan dibencinya, yang menimbulkan gembira dan marah itu.

Dalam keadaan kacau perasaan dan pikirannya seperti itu, Siok Lan kehilangan kewaspadaannya. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi ada belasan pasang mata memandangnya dan ada belasan orang mengikuti setiap gerak geriknya lalu membayanginya. Ia tidak tahu bahwa makin lama ia tersesat makin jauh di daerah yang sama sekali tidak dikenalnya, tanpa tujuan.

Ia terus berlari dan berjalan sampai hari menjadi hampir gelap dan daerah yang dilaluinya makin lama makin liar dan tidak tampak seorangpun manusia. Sesungguhnya gadis ini bagaikan seekor katak telah memasuki guha sarang ular berbisa. Daerah itu menjadi tempat rahasia di mana orang-orang yang bertugas sebagai mata mata pemerintah Mongol bersarang.

Memang pemerintah Mongol amat pandai. Selain mengandalkan pasukan pasukannya yang besar dan kuat, juga pemerintah berhasil menarik hati orang-orang pandai. Diantara orang-orang pandai ini ada yang diangkat menjadi petugas sipil maupun militer seperti halnya Ouw Beng Tat.

Akan tetapi ada pula yang diberi tugas untuk bekerja sebagai penyelidik dan mata mata rahasia sehingga tidak saja pemerintah penjajah ini dapat mengetahui semua peristiwa dan keadaan para pejuang yang mereka sebut pemberontak juga dapat mengetahui keadaan sehingga mudah untuk kelak menindasnya.

Diantara sekian banyak pasukan mata-mata yang bekerja secara rahasia ada kelompok yang bersarang di daerah yang kini dimasuki Siok Lan tanpa disadarinya itu! Semenjak ia masuk daerah ini, ia telah diikuti secara diam-diam oleh belasan orang yang bergerak ringan dan gesit, tanda bahwa mereka itu memiliki kepandaiannya yang tinggi juga.

Akan tetapi agaknya mereka ini menerima tugas rahasia sehingga tidak turun tangan menangkap atau menawan Siok Lan hanya mengikuti dari jauh dan meneliti untuk mendapat kepastian bahwa gadis ini memasuki daerah itu seorang diri saja tidak membawa kawan kawan seperjuangan.

Siok Lan merasa lelah dan lapar. Hari sudah mulai gelap, ia memasuki hutan dan bermaksud mencari pengisi perut dan air minum. Selagi ia celingukan mencari cari dengan pandang matanya, dari jauh tampak berkelebat bayangan dua orang dan terdengar orang memanggil.

“Sian-li Eng-cu….!”

Siok Lan meraba gagang pedangnya, siap menghadapi segala kemungkinan. Akan tetapi setelah dua sosok bayangan itu mendekat, ia melepaskan gagang pedangnya dan memandang dengan hati lega. Kiranya yang muncul itu adalah seorang pemuda tampan berbaju biru, berusia dua puluh sembilan tahun, yaitu Pui Tiong murid Kim hong-pay yang pernah ia temui dalam perjamuan di tempat Hoang-ho San-liong. Adapun orang kedua adalah Can Bwee, suci pemuda itu yang berusia tiga puluh tahun, pendiam dan cantik.

“Ah, kiranya ji-wi (kalian) yang memanggil, sampai terkejut hatiku. Eh, bagaimana ji-wi dapat tiba-tiba muncul di tempat sunyi ini? Dan kenapa ji wi tidak muncul ketika kami para pejuang menghadapi musuh dan hampir saja terbasmi habis?”

Pui Tiong menjura dan berkata. “Ah, nona tidak tahu barangkali. Memang kami dan kawan-kawan seperjuangan menjadikan tempat ini markas kami. Kami mendengar tentang pertempuran pertempuran di sana, akan tetapi karena kami sendiri menghadapi musuh disebelah sini, kami belum dapat membantu.”

Can Bwee menggandeng tangan Siok Lan “Marilah, adik yang gagah. Mari singgah di tempat kami, makan minum sambil bercerita. Aku ingin mendengar bagaimana keadaan teman teman seperjuangan di sana. Aku mendengar di sana pasukan pejuang diperkuat oleh Pendekar Cengeng dan Dewi Suling? Apakah mereka banyak berhasil mengacau Thian an-bun? Dan setelah Thian an bun dipimpin Ouw ciangkun, mengapa tidak ada gerakan lagi?”

Siok Lan adalah seorang gadis yang masih belum dapat meneliti dan mengenal watak orang, ia tidak merasa heran melihat betapa Can Bwee yang biasanya pendiam itu kini dapat bersikap ramah dan sekaligus menghujankan pertanyaan demikian banyak seperti lagak seorang penceloteh yang cerewet.

Ia membiarkan dirinya ditarik karena kata kata “makan minum” tadi membangkitkan seleranya dan membuat perutnya makin lapar, lehernya makin haus. “Memang di sana ada Pendeka Cengeng dan Dewi Suling, tapi….. tapi baru saja kami disergap dan dikurung oleh pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Ouw beng Tat.”

“Ahhh??” Enci adik seperguruan itu saling pandang kemudian Can Bwee mempercepat langkahnya sambil menggandeng Siok Lan. “Adik Siok Lan marilah kita cepat cepat ke markas dan di sana kau ceritakanlah semua nya tentu amat menarik ceritamu. Marilah.”

Mereka bergegas memasuki hutan yang gelap dan di tengah hutan itu terdapat sebuah pondok besar. Ke pondok itulah mereka ini masuk. Hanya ada tiga orang yang bersikap seperti pelayan berada di pondok dan melayani mereka makan minum. Siok Lan memandang ke kanan kiri. “Di mana teman teman seperjuanganmu?”

“Ah, pasukan kami tidak berapa besar dan mereka itu berpencaran di dalam hutan. Biarlah kupanggil mereka yang kebetulan berada dekat pondok ini!” Kata Pui Tiong sambil berdiri. Dia membawa dua buah jari ke dalam mulutnya lalu bersuit keras sekali tiga kali kemudian ia baru daduk lagi.

Tak lama kemudian, bermunculan belasan orang dari pintu pondok. Mereka ini rata rata masih muda, dan delapan orang laki laki dan empat orang wanita yang usianya antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun sikap mereka rata rata gagah dan tangkas sehingga Siok Lan memandang kagum. Ia bangkit berdiri dan memberi hormat yang dibalas oleh semua orang.

Seorang diantara mereka berkata, “Harap Sian-li Eng-cu banyak baik dan silakan mengaso dan makan minum.”

Siok Lan tersenyum dan duduk kembali. Belasan orang itu lalu mengaso di dalam pondok. Ada yang berdiri bersandar ke dinding ada yang jongkok, dan duduk di mana saja dan ada pula yang tidur.

“Silakan, nona!” kata Pui Tiong.

“Eh bagaimana aku bisa makan minum sendiri? Hayo kalian semua menemani aku!”

“Kami semua sudah makan. Biarlah suci dan aku saja menemanimu. Marilah.”

Siok Lan bukanlah seorang pemalu! Karena memang ia lapar dan haus, ia segera mulai menyikat hidangan di atas meja dan mendorongnya masuk ke perut dengan arak atau minuman teh yang disediakan di situ. Pui Tiong dan Can Bwee menemaninya hanya minum saja karena sudah makan.

Sambil makan minum, mulailah Siok Lan menceritakan keadaan pertempmn di hutan yang dijadikan sarang pejuang. Ia menceritakan betapa para pejuang suka akan perubahan peraturan yang diadakan Ouw Beng Tat maka tidak mengacau di Thian an bun lagi. Kemudian dia menceritakan munculnya Ouw Beng Tat dengan pasukan besar yang mengurung pasukan pejuang.

Kemudian tentang pertandingan perorangan di mana Ouw Beng Tat menewaskan tujuh orang pemimpin pejuang. Diceritakan pula tentang munculnya Pendekar Cengeng dan dalam menceritakan sepak terjang Pendekar Cengeng ini, Siok Lan mengandung kebanggaan!

“Hebat sekali Pendekar Cengeng jauh lebih hebat dari pada Ouw Beng Tat!” kata Siok Lan dengan mata bersinar-sinar karena pada saat ia berkata itu ia menganggap bahwa Pendekar Cengeng adalah tunangannya.

“Dengan kesaktiannya yang hebat ia membalas dan membunuh tujuh orang perwira pembantu Ouw Beng Tat dalam waktu singkat! Kemudian Pendekar Cengeng menantang Ouw Beng Tat untuk bertanding dengan taruhan bahwa jika Ouw Beng Tat kalah, panglima itu harus membebaskan semua pejuang yang terkurung."

“Aiihhh….!” Can Bwee mengeluarkan seruan kaget, akan tetapi cepat disambungnya dengan kata-kata berlawanan, “Bagus sekali! Pendekar Cengeng benar benar hebat sekali! Kemudian bagaimana? Siapa yang kalah....?“

“Tentu saja Pendekar Cengeng menang. Akan tetapi aku tidak tahu, aku lalu pergi meninggalkan tempat itu, hanya aku yakin dia pasti menang…..“

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.