Pendekar Cengeng Jilid 14

Novel silat online karya Kho Ping Hoo. Pendekar Cengeng Jilid 14

Pendekar Cengeng Jilid 14 (Tamat) - MEREKA telah selesai makan dan Siok Lan merasa amat lelah dan mengantuk. Dua kali ia menguap, ditutupnya mulut dengan punggung tangan.

“Selain Pendekar Cengeng dan Dewi Suling, siapa lagi di antara tokoh pejuang yang hadir di sana?”

Pendekar Cengeng Jilid 12 karya Kho Ping Hoo

Pertanyaan Pui Tiong ini mengandung desakan, seolah olah pemuda ini tidak perduli bahwa Siok Lan sudah amat lelah dan mengantuk, akan tetapi Siok Lan tak meroperhatikan ini hanya menganggap bahwa ceritanya amat menarik hati dan orang muda yang baik hati-hati itu.

“Kakekku juga datang bersama Siauw bin mo dan Tho tee kong yang menjadi korban….”

“Thian-te Sin-kiam juga di sana...???” Ucapan ini terdengar dari luar pondok dan masuklah seorang tosu yang tinggi kurus dan bermuka kuning.

Siok Lan tidak mengenal tosu itu dan memandang tak acuh mengira bahwa ini tentu seorang diantar teman seperjuangan yang berada di situ. Akan tetapi Pui Tiong dan Can Bwee bangkit dan menjura sambil berkata hormat.

“Suhu…”

Siok Lan terkejut dan memandang penuh perhatian. Dia sudah pernah bertemu dengan tosu ini ketika tosu ini berkunjung kepada kakaknya, akan tetapi hal itu sudah terjadi tujuh tahun yang lalu sehingga ia sudah hampir lupa. Kini barulah ia tahu bahwa tosu ini adalah Gwat Kong Tosu dan ia mulai teringat. Sudah banyak ia mendengar perihal tosu bekas murid Kun lun pai yang pernah “menyeleweng” ini dari kakeknya dan segera ia berbangkit untuk menjura dan berkata,

“Harap totiang banyak baik…” Akan tetapi tiba-tiba Siok Lan mengeluh, tubuhnya menjadi lemas dan ia terhuyung.

Can Bwee cepat memeluknya dan Siok Lan sudah lemas dipelukan Can Bwee, setengah pingsan, kepalanya pening sekali dan segala apa tampak berputaran sehingga cepat cepat ia meramkan mata. Biarpun ia sudah lemas, akan tetapi lapat lapat telinganya masih dapat menangkap percakapan mereka. Terdengar suara tosu itu.

“Bagus, kalian sudah dapat merobohkannya Masukkan di dalam sumur kering, akan tetapi jaga jangan sampai mati kelaparan. Dengan dia sebagai umpan, kita akan dapat mengangkap Thian-te Sin-kiam dan terutama sekai Pendekar Cengeng!”

“Baik, suhu. Memang tujuan kita adalah menangkap Thian-te Sin-kiam dan terutama Pendekar Cengeng.” Terdengar Pui Tiong berkata.

Kemudian Siok Lan yang menjadi terkejut mendengar ini berusaha meronta, akan tetapi tahu-tahu ia merasakan tubuhnya tak dapat bergerak karena ditotok oleh Can Bwee. Kini mengertilah ia bahwa di dalam makanan itu dicampuri obut bius, dalam keadaan tertotok.

Dan setengah pingsan Siok Lan masih dapat mengetahui dia dibawa ke sebelah belakang pondok dan setelah dimasukan sebuah karung, tubuhnya lalu dikerek masuk ke dalam sumur yang amat dalam. Akhirnya ia pingsan setelah tubuhnya menyentuh dasar sumur yang gelap sekali.

Ketika Siok Lan siuman dari pingsan, ternyata malam telah berganti pagi. Ada sedikit sinar matahari pagi memasuki sumur itu sehingga ia dapat memperhatikan keadaan di mana ia berada. Tubuhnya sudah dapat digerakkan, kepalanya tidak pening lagi ini tandanya bahwa obat bius yang tercampur dalam makanannya malam tadi tidaklah berbahaya, dan bahwa totokan itu sudah buyar sendiri ketika ia tidur setengah pingsan.

Di dekatnya tampak sebuah panci tertutup berisi makanan dan sebuah botol berisi air minum. Akan tetapi ia tidak perdulikan makanan dan minuman ini, lalu meloncat bangun. Pedangnya sudah tidak ada, tentu dirampas.

“Keparat jahanam…!” Ia mengutuk, tahu sekarang bahwa Pui Tiong dan Can Bwee adalah pengkhianat pengkhianat yang berpura-pura menjadi pejuang. Juga guru mereka itu. Dan ia dapat menduga bahwa orang-orang muda yang mengaku pejuang itu tentulah anak murid Kim hong-pai dan bahwa Kim hong-pai tentu membantu pemerintah Mongol!

Kiranya kehadiran Pui Tiong dan Can Bwee sebagai “anggauta” pejuang yang baru itu hanyalah penyeludupan belaka. Dan ia kini ditawan sebagai umpan untuk menjebak kakeknya dan Pendekar Cengeng.

“Terkutuk tujuh turunan!” kembali ia memaki sambil memperhatikan dasar sumur. Ternyata biarpun di atasnya tidak begitu lebar hanya bergaris tengah satu setengah meter, namun dasar sumur ini amat lebar, bergaris tengah tidak kurang dari empat meter. Mungkin sumur buatan yang sengaja dipergunakan untuk mengeram tawanan.

Amat dalam sumur itu entah berapa meter sukar ditaksir, akan tetapi dari bawah tampak tinggi sekali mulut sumur itu sehingga keadaannya mengerikan. Hanya seekor burung saja yang agaknya akan dapat keluar dari dalam sumur!

“Pengkhianat terkutuk! pengecut jahanam!” Siok Lan memaki maki dengan suara keras sambil mendongak memandang ke mulut sumur di atas, kemudian menghela napas panjang dan duduk bersila di tengah dasar sumur untuk memulihkan tenaga dan menenteramkan hati. Ia perlu memulihkan tenaganya, perlu ia menenteramkan hatinya karena ia tahu bahwa ia menghadapi bahaya maut.

Seluruh dinding sumur itu di bagian bawahnya, setinggi empat meter lebih, terlapis besi sehingga tidak mungkinlah baginya untuk menggali, pendeknya tidak ada jalan keluar lagi baginya! Akan tetapi ia yakin bahwa ia tidak akan dibunuh, setidaknya dalam beberapa lama ini karena kalau mereka menghendaki nyawanya, tentu dengan mudah ia sudah dibunuh ketika pingsan. Pula, ia dilawan untuk memancing Thian te Sin kiam dan Pendekar Cengeng, maka ia belum putus asa.

Demikianlah dengan amat tekunnya Siok Lan bersamadhi dan perlahan napasnya menjadi normal kembali dan tubuhnya terasa hangat dan segar, pikirannya tidak kacau balau lagi. Kini yang dipikir olehnya hanya mencegah agar kedua orang itu terutama sekali kakek nya tentu saja, tidak sampai terjebak. Ia harus dapat memperingaktan kedua orang itu apabila mereka muncul di mulut sumur.

Setelah hatinya tenang ia membuka tutup panci dan mulailah ia mengisi parutnya dengan makanan dan minuman air. Ia perlu menjaga kesehatannya dan tidak perdulikan apakah makanan dan minuman itu diberi racun. Dan ternyata tidak, karena memang apa perlunya meracuni seorang tawanan yang sudah tak berdaya apa apa lagi?


Yu Lee menggunakan kepandaiannya untuk berlari cepat. Hatinya terasa tidak enak karena ia belum dapat menyusul Siok Lan. Kini ia tahu bahwa ia tidak akan dapat menyembunyikan rahasia dirinya lagi. Kinilah tiba saatnya harus berterus terang kepada gadis yang dicintainya itu.

Dahulupun ia sama sekali tidak bermaksud membohong dan mempermainkan Siok Lan, hanya untuk mercegah agar gadis yang keras hati itu tidak memusuhinya, maka terpaksa ia terus menggunakan nama samaran di depan Siok Lan.

Semalam suntuk Yu Lee tak pernah berhenti mencari. Karena tidak ada tanda tanda yang ditinggalkan sebagai jejak gadis itu, ia tersesat jauh, kembali lagi mencari di sekeliling tempat yang ia duga dapat dicapai oleh Siok Lan pada malam itu, namun sia sia belaka. Barulah pada pagi harinya, ketika mata hari telah bersinar, ia melihat sesuatu yang amat mengguncangkan hatinya. Pedang Siok Lan menggeletak diatas tanah, di luar sebuah hutan!

“Lan moi…!” ia berbisik. Jantungnya berdebar sambil dipungutnya pedang itu diteliti. Tak salah lagi. inilah pedang kekasihnya. Sudah lama ia berdekatan dengan gadis itu sehingga hafal olehnya semua benda milik nona itu. Dari pakaiannya sampai pita rambutnya, sepatu dan pedang perak serta jarum peraknya. Ia mengenal bahwa kalau nona itu sudah melepaskan pedang, berarti dia telah kalah dalam menghadapi lawan. Ia meloncat bangun, mencari cari dengan pandang matanya.

“Akhh...!” ia melihat sebatang jarum, jarum perak berkilauan di atas tanah tertimpa sinar matahari pagi. Cepat ia meloncat dan dipungutnya jarum itu. Jarum milik Siok Lan! Ternyata bukan hanya sebatang, disebelah depan ada lagi dan terus ada lagi terpisah kira kira sepuluh meter. Jarum itu seperti tercecer atau memang sengaja dilempar lempar untuk meninggalkan jejak!

Makin berdebar jantung Yu Lee. Ia tahu betapa cerdiknya kekasihnya itu. Mungkin Siok Lan kalah oleh musuh, tertawan dan sengaja melempar lemparkan jarum nya agar dia dapat mengikuti jejaknya. Jejak itu masuk ke dalam hutan yang besar! Akhirnya jarum itu habis dan sebagai gantinya tampaklah sehelai kain, robekan kain yang kecil sekali hanya setengah jari lebarnya!

Yu Lee meneliti dan hatinya gelisah. Robekan kain dari baju Siok Lan! Tidak salah lagi. Siok Lan ditahan musuh dan meninggalkan jarum jarumnya dan kemudian setelah jarum jarumnya habis, gadis ini mulai merobek robek bajunya dan meninggalkan robekan robekan baju ini di sepanjang jalan!

“Lan moi…!” Kembali ia mengeluh dan kini ia dapat maju dengan lebih cepat karena robekan-robekan kain itu lebih mudah ditemukan. Jejak itu membawa masuk sampai ke tengah hutan dan tiba-tiba tampaklah olehnya pondok di tengah hutan itu dan robekan kain pun habis sampai di depan pondok.

Yu Lee menjadi marah dan juga timbul harapannya untuk menemukan Siok Lan di dalam pondok, ia mengerahkan sinkangnya kemudian telah meloncat, ia telah meluncur ke depan, ditendangnya pintu pondok dan ia melompat masuk. Pondok itu kosong, dan di sekitar pondokpun kosong, tidak ada bayangan seorang pun manusia. Ia menjadi kecewa dan penasaran.

Ditelitinya tanah di sebelah belakang dan tampak olehnya jejak jejak kaki manusia. Jejak sepatu dan kaki itu besar tanda bahwa itu adalah jejak kaki seorang pria. Jelas jejak itu yang terus ia ikuti. Jejak itu berhenti sampai di dekat sebuah sumur dan di tempat sunyi itu di dekat sumur, terdapat sepulung tali.

Yu Lee cepat menghampiri mulut sumur dan menjenguk ke bawah. Ia merasa ngeri. Alangkah dalamnya sumur ini pikirnya, tidak seperti sumur biasa sempit dan amat dalam, lima enam kali sedalam sumur biasa. Akan tetapi mengapa tidak ada airnya? Tiba-tiba ia bergidik. Tentu tempat tahanan!

“Siok Lan...!!” ia berteriak memanggil ke dalam sumur, dan alangkah girangnya ketika ia melihat bayangan manusia di bawah, di tengah dasar sumur kemudian dari dalam sumur itu terdengar suara Siok Lan nyaring sekali akan tetapi terbungkus gema suara yang membuat suara itu tidak dapat terdengar jelas oleh Yu Lee dari atas sumur.

Dari atas, Yu Lee hanya melihat bayangan manusia di bawah itu, tidak begitu jelas hanya tampak warna hijau pupus dan hal ini saja sudah meyakinkan hatinya ia tahu warna itu adalah warna kesayangan Siok Lan sehingga boleh dibilang semua pakaian gadis itu berwarna hijau pupus. Juga robekan-robekan kain yang menuntunnya ke tempat itu juga berwarna hijau pupus.

“Tunggulah dan tenangkan hatimu, moi moi… Aku akau menolongmu….!”

Yu Lee meneliti keadaan d sekeliling tempat itu. Ia harus berhati-hati dan menghindarkan jebakan musuh ia meloncat ke atas pohon yang tertinggi di situ dan dari atas puncak ia melakukan pemeriksaan. Sunyi sekitar tempat itu tidak tampak bayangan manusia, hanya berkelebatnya binatang binatang hutan yang mencari makan dan burung burung beterbangan di antata pohon pobon.

Ia merasa lega lalu meloncat turun kembali, kemudian tanpa ragu ragu sedikitpun, ia mengambil gulungan tali dan mengikatkan ujungnya ke batang pohon yang tumbuh dekat sumur. Dilepasnya gulungan tali memasuki sumur dan ternyata bahwa tali itu panjang sekali, namun tidak cukup panjang untuk mencapai dasar sumur.

“Lan moi….! Dapatkah kau mencapai ujung tali?” Yu Lee berseru keras dan nyaring, akan tetapi ia sendiri tidak dapat mendengar suaranya karena segera tersusul suara gema yang riuh rendah.

Dilihatnya bayangan kecil di bawah itu bergerak gerak dan meloncat loncat akan tetapi tetap saja tidak dapat mencapai ujung tali yang tergantung itu, Yu Lee kembali mencari-cari dengan paandang matanya. Tidak ada benda untuk menyambung tali itu, dan kalau ia harus mencari lebih dulu, akan terlalu lama Siok Lan harus cepat cepat ditolong, dikeluarkan dari dalam sumur.

Ia harus memasuki sumur itu. Melihat dinding sumur ia parcaya bahwa dengan ilmu Sin kong-ciang ia dapat merayap ke atas kembali sampai dapat mencapai tali, atau kalau perlu, sampai ke mulut sumur. Siapa tahu di bawah sana Siok Lan terancam bahaya maut!

Tanpa ragu ragu Yu Lee lalu menyambar tali yang tergantung ke dalam sumur itu dan cepat merayap turun melalui tali itu. Terdengar olehnya betapa suara suara dari bawah makin nyaring, seolah-olah gadis di bawah itu berkata-kata dalam keadaan tegang. Akan tatapi telinganya yang penuh dengan gema suara yang tidak karuan itu membuat ia tidak dapat menangkap kata-kata Siok Lan dan mengira bahwa gadis itu menyuruh ia cepat-cepat menolongnya.

Karena berpikir demikian, Yu Lee mempercepat gerakannya meluncur turun sehingga ia tiba di ujung tali. Kiranya ujung tali itu masih agak jauh dari dasar sumur. Pantas saja Siok Lan tidak dapat mencapainya. Kini mulailah ia mendengar ucapan gadis itu.

“Ah, kiranya engkau... Kukira kong-kong….! Kau pergilah....! Cepat kau kembali keatas... kau sedang terjebak.....!”

Yu Lee terkejut. Selagi ia tidak tahu harus kembali ke atas atau terus ke bawah, tiba-tiba terdengar suara ketawa terbahak-bahak dari atas. Sesosok bayangan kelihatan di mulut sumur dan sekali bayangan itu menggerakkan tangan, tali itu putus dan tuhuh Yu Lee melayang ke bawah.

Yu Lee cepat mengerahkan ginkangnya dan ia berhasil menusukkan jari-jari tangannya ke dinding sumur, kemudian ia merayap turun sambil menyelidiki keadaan dinding yang ternyata di bagian bawah kurang lebih empat meter tingginya dilapisi baja. Ia meloncat dan berada di dasar sumur, berhadapan dengan Siok Lan.

Mereka saling pandang, kini sinar matahari sudah cukup banyak memasuki sumur sehingga mereka dapat sailng pandang dengan jelas. Sejenak mereka lupa bahwa mereka berada di dasar sumur, lupa bahwa mereka berada dalam ancaman bencana dan maut. Yang teringat dan tampak hanya orang yang berdiri di depannya. Akhirnya, Siok Lan terisak dan membanting bantingkan kakinya, mulutnya berkata gemetar.

“Kau…! Kau…! Ah, betapa benciku padamu!”

Ya Lee menundukkan mukanya. “Adik Siok Lan kau maafkanlah aku… hanya bila terpaksa aku telah…. telah membodohimu seolah-olah mempermainkanmu….”

Makin marah tampaknya gadis itu. Kini dua titik air mata meloncat ke atas pipinya yang kemerahan. Ia mengertak gigi dengan gemas lalu melangkah maju, tangan kanannya menyambar,

“Plakk plakk plakk…!!!”

Tiga kali pipi Yu Lee ditamparnya dengan keras sehingga ada bekas tapak tangan merah membayang di pipi pamuda itu.

“Kau….! Kau….! Tidak hanya memandang rendah keluargaku, mengingkari janji orang tua, acuh tak acuh karena merasa sebagai seorang berderajat tinggi dan berkepandaian tinggi. Semua itu masih ditambah dengan mempermainkan aku, diam-diam menertawakanku, membuat aku seperti seorang badut menggelikan! Kau... kau…!” Siok Lan lalu menutupi muknya dengan kedua tangan dan menangis!

Sejenak Yu Lee memandang bengong. Pipinya yang kini masih terasa panas akan tamparan keras tadi, akan tetapi hatinya mencair melihat Siok Lan menangis seperti itu. Gadis yang keras hati ini, yang seperti api, kiranya dapat menangis seperti seorang wanita yang cengeng. Hatinya mencair dan terharu sehingga tak dapat tahan lagi air matanyapun berhamburan turun.

“Lan moi… engkau tidak tahu, engkau telah keliru menduga. Aku sama sekail tidak pernah memandang rendah keluargamu, apalagi mengingkari janji. Aku bersumpah, sebelum bertemu dengan engkau sebelum engkau menceritakan tentang hubungan keluargamu dengan keluargaku aku tidak tahu! Agaknya keluargaku tidak sempat menceritakan hal itu kepadaku keburu taerbasmi habis….!” Yu Lee berhenti dan menyusut air matanya.

Kini Siok Lan sudah melepaskan tangannya dan dengan muka basah memandang kepadanya.

“Setelah mendengar dari penuturanmu, aku mencari keluargamu, aku menghadap ayah dan kong-kongmu kuceriterakan semua... dan aku minta maaf... kong-kongmu tahu akan semua hal. Lan moi, sungguh aku Yu Lee biarlah dikutuk Thian kalau tadinya mengetahui akan ikatan jodoh itu dan mengabaikan mu. Adapun tentang Aliok... tadinya aku tidak sengaja memparmainkanmu… kita bertemu di kuburan keluargaku, terhadap para musuh aku mengaku pelayan, kau datang membantuku.... kemudian kau menyatakan bencimu terhadap Yu Lee, tentu saja aku terus menyamar sebagai Aliok, karena aku... karena aku mencintaimu moi-moi.”

Berubah pandangan Siok Lan. Matanya redup setengah terpejam. Pipinya masih basah dan seperti tadi ketkka ia menampar, kini iapun melangkah maju dan merangkul leher Yu Lee. Diusapnya pipi yang masih merah bekas tamparan tadi, kemudian ia menarik leher yang diraihnya itu mencium pipi yang tadi ditamparnya.

“Aliok... kau maafkan aku... aku pun mencintaimu, Aliok…”

Yu Lee mengeluarkan suara setengah menangis setengah tertawa. Ia memeluk dan mendekap kepala gadis iiu, diangkatnya muka itu dan diciumnya mata yang terpejam, mulut yang masih menahan isak.

“Siok Lan, jangan kau menggodaku terus, aku sudah minta ampun… kau adalah Liem Siok Lan dan aku adalah Yu Lee. Engkau tunanganku calon isteriku... bagaimana mungkin kau tergila-gila kepada Aliok...?”

Siok Lan membuka matanya dan ia bersandar kepada dada yang bidang itu lalu katanya manja, “Biar aku tunangan Yu Lee sejak kecil, aku tidak mencinta Yu Lee. Buat apa pemuda yang cengeng itu? Biar pendekar besar, akan tetapi Pendekar Cengeng. Aku mencintai Aliok…”

“Lan moi hentikan itu! Aku bisa cemburu kepada Aliok si pelayan tolol!"

"Biarpun tolol ia setia dan mencintaiku!”

“Sudah, sudah, biar sekarang kuoper kesetiaan dan kecintaan Aliok. Kalau tidak aku akan datangi Aliok dan akan kubunuh dia karena cemburu!”

Siok Lan tersenyum manja dan mereka saling rangkul penuh kemesraan, lupa bahwa mereka masih berada di dasar sumur. Sampai lama mereka terbuai cinta kasih yang menggelora yang mereka terima seperti bunga di musim kering menerima turunnya hujan pertama. Ketika mendengar bergemanya suara ketawa dari atas sumur barulah mereka terkejut, sadar akan keadaan mereka dan otomatis meraka saling melepaskan pelukan.

“Lan moi, kita harus keluar dari sini!”

“Bagaimana, koko? Bagaimana mungkin….”

“Jangan khawatir. Aku akan menggunakan Sin kong-ciang sehingga dapat merayap melalui dinding sumur. Kaui katkan ujung tali ini pada pinggangmu dan kaupun merayap naik kubantu dengan tali ini.” Yu Lee memungut tali yang tadi dipotong dari atas dan jatuh ke dasar sumur.

Siok Lan cepat mengikatkan ujung tali pada pinggangnya ia mempunyai kepercayaan sepenuhnya kepada Yu Lee. Bukankah pemuda ini Aliok, pemuda yang amat mencintainya dan amat setia kepadanya dan yang rela membelanya dengan seluruh jiwa raganya? Bukankah pemuda ini juga Yu Lee si Pendekar Cengeng yang memiliki kesaktian hebat?

Yu Lee lalu mengunakan kedua tangannya yang diisi getaran hawa sakti dari Sin kong-ciang untuk mulai merayap naik. Dengan tingkat kepandaiannya biarpun tidak sekuat dan secepat Yu Lee, Siok Lan juga dapat melakukan ilmu merayap seperti itu akan tetapi untuk melakukan hal itu dia akan terlalu banyak membuang tenaga dalam, ia menanti sampai Yu Lee berada agak tinggi sehingga ia dapat menggantung dan merayap naik melalui tali yang akan dipanjatnya.

“Awas…!!” Tiba-tiba Yu Lee yang baru merayap setinggi tiga meter itu berseru kaget dan meloncat turun kembali, mengejutkan Siok Lan.

Tanpa memberi penjelasan lagi karena tidak sempat lagi, Yu Lee menabrak Siok Lan dan membawa gadis itu tiarap di atas tanah di dasar sumur. Tiga buah benda yang dilontarkan dari atas terbanting di atas dasar sumur mengeluarkan suara ledakan tiga kali dan asap putih mengebul tebal, memenuhi tempat itu.

“Gas racun...! Tahan napas....!” Yu Lee berseru sambil mendekap kepala kekasihnya yang ia lindungi dengan tubuhnya.

Yu Lee dan Siok Lan menahan napas dan terbaring mepet di dinding lubang sumur itu di bagian atas sempit di bagian bawah lebar sehingga dengan mepet di dinding, mereka tidak tampak dari atas dan tidak diserang senjata rahasia. Akan tetapi betapapun saktinya, Yu Lee dan terutama Siok Lan hanyalah manusia-manusia biasa saja. Bagaimana mungkin mereka dapat menahan napas sampai berjam-jam?

Benda yang meledak dan mengandung gas yang dilemparkan dari atas itu adalah buatan Mongol diisi racun pembius yang kuat, yang dibuat oleh Gwat Kong Tosu. Kakek ketua Kim hong-pai ini selain lihai ilmu silatnya juga terkenal sebagai ahli racun. Dan kini benda-benda itu terus dilempar ke bawah sehingga asap tebal tak pernah mengurang.

Akhirnya setelah melindungi Siok Lan yang sudah pingsan lebih dulu, Yu Lee tidak kuat menahan lagi, ia terengah dan asap memasuki paru-paru berikut bau harum yang aneh dan pingsanlah Pendekar Cengeng dengan tubuh masih melindungi tubuh kekasihnya.

Siok Lan sadar lebih dahulu dari pada pingsannya. Gadis ini membuka matanya dan menggerakkan kaki tangannya akan tetapi kaki tangannya terikat. Ia kini sadar betul dan mendapatkan dirinya tidak berada di dasar sumur lagi, melainkan di dalam pondok rebah di atas sebuah dipan bambu. Di sudut ia melihat Yu Lee rebah pula masih pingsan dan dalam keadaan terikat kaki tangannya pula. Dan di situ penuh dengan murid Kim hong-pai, juga tampak Gwat Kong Tosu ketua Kim hong pai duduk di atas kursi.

Siok Lan mengerahkan tenaga, berusaha meronta dan memberontak agar terlepas dari belenggu kaki tangan. Namun sia-sia karena ternyata selain dibelenggu juga tubuhnya dalam keadaan tertotok sehingga kaki tangannya menjadi setengah lumpuh, tak dapat ia mengerahkan sin kang.

Maka dengan kemarahan meluap ia menoleh ke arah Gwat Kong Tosu yang tertawa melihat ia berusaha meronta tadi, lalu memaki, “Engkau tosu tua bangka keparat! Siapa menduga bahwa engkau sekarang menjadi seorang jahat yang terkutuk, curang dan pengecut. Kalau kong-kong tahu... ah betapa dia akan heran, kecewa dan marah!”

“Ha ha ha…! cucu Liem Kwat Ek mulutnya sungguh tajam, seperti kakeknya! Justeru mengingat akan ketajaman mulut kakekmu dahulu yang membuat pinto (aku) terlempar keluar dari Kun-lun-pai, maka hari ini engkau yang membayar, bocah! Engkau dan Pendekar Cengeng kekasihmu, ha ha ha…”

Tiba-tiba kedua pipi Siok Lan menjadi merah sekali teringat akan keadaannya dengan Yu Lee yang tadi saling menumpahkan kasih sayang dan agaknya kakek keparat ini mengetahuinya, maka kini ia diam saja tidak mau bicara lagi.

Gwat Kong Tosu lalu mengeluarkan dua batang jarum yang berwarna hijau. Sambil tersenyum ia berkata lagi kepada Siok Lan yang membuang muka tidak mau memandangnya. “He he he, nona muda! Kini hanya ada dua jalan bagi kalian. Pertama, menaluk dan tunduk kepada pemerintah Goan sehingga selain memperoleh kebebasan, juga tentu akan diberi kedudukan yang sesuai dengan kepandaian kalian. Terutama Pendekar Cenceng. Jalan kedua adalah jalan maut jika kalian menolak karena andaikata kalian dapat membebaskan diri sekalipun, kalian tidak mampu menyelamatkan nyawa dari jarum-jarumku ini Ha ha Ha!”

Mau tidak mau Siok Lan menoleh ke arah dipan bambu di mana Pendekar Cengeng menggeletak pingsan ketika ia mendengar kakek itu melangkah menghampiri tunangannya. Matanya terbelalak dan mukanya menjadi pucat sekali ketika melihat betapa Gwat Kong Tosu menusukkan jarum ke arah punggung Yu Lee yang masih pingsan.

“Kau tua bangka iblis pengecut! Kalau berani lepaskan belenggu dan mari kita bertanding sampai mampus!” Siok Lan meronta-ronta lagi dan memaki-maki akan tetapi tentu saja semua itu sia-sia belaka karena rontaannya itu hanya menghasilkan sedikit gerak pada kaki tangannya.

Kemudian sambil tersenyum lebar Gwa Kong Tosu menghampiri, dengan tangan kiri mendorong tubuhnya miring dan tiba-tiba Siok Lan merasa punggungnya sakit dan panas ketika kakek itu menusukkan jarum kedua ke punggung gadis ini. Jarum itu ditusukkan sampai dalam sehingga ujungnya rata dengan kulit punggung!

Pada saat Siok Lan menggigit bibir menahan rasa nyeri ini terdengar Yu Lee mengerang perlahan dan kini pemuda itupun sudah siuman dari pingsannya. Tiba-tiba suara Yu Lee terhenti dan pemuda itu sudah tahu akan keadaan dirinya dan kini memandang ke arah Gwat Kong Tosu dengan mata tajam. Terdengar suara Yu Lee penuh ketenangan.

“Gwat Kong Totiang, sebagai ketua Kim hong-pai tentu totiang tidak melakukan sesuatu hal dengan sembrono dan selalu ada maksud dan dasarnya yang kuat. Totiang menawan nona Liem Siok Lan kemudian menjebak aku menggunakan gas beracun, kemudian kalau aku tidak salah, menusukkan jarum racun ngo-tok-ciam ke punggungku. Apakah artinya semua ini?”

Ada sinar kagum terbayang di wujah tosu itu. Pemuda ini benar-benar hebat, pikirnya begitu siuman dari pingsan telah mengetahui segalanya dan sikap serta kata-katanya demikian tenang seperti seorang tokoh yang sudah berpengalaman puluhan tahun saja. Benar-benar merupakan tenaga yang hebat kalau mau disuruh mengabdi kepada pemerintah Goan.

“Ah, Yu taihiap benar-benar mengagumkan. Setelah mengenal ngo-tok-ciam (jarum lima racun) yang lihai tentu maklum bahwa selain dari pinto, tidak ada obat penawarnya terhadap racun itu. Sedangkan untuk menyedotnya, tak mungkin dilakukan dengan mulut karena hal ini akan menewaskan si penyedotnya. Jelas bahwa nyawa kalian berdua berada di tangan pinto dan kalian tidak perlu dibelenggu lagi. Ha ha ha!”

Gwat Kong Tosu melangkah maju, menggerakkan tangan beberapa kali ke arah belenggu kaki tangan Yu Lee yang segera terbebas. Demikian pula kakek ini membebaskan Siok Lan dari pada belenggu dan totokan. Siok Lan menjadi beringas. Begitu kaki tangarmya bebas ia meloncat turun dan menerjang ke arah Gwat Kong Tosu.

“Lan moi, jangan….!”

Siok Lan terguling roboh tanpa disentuh Gwat Kong Tosu dan cepat-cepat Yu Lee menghampiri dan mengangkatnya bangun. Wajah Siok Lan pucat. Tadi ketika ia meanerjang maju. Ia mengerahkan lweekang dari pusar naik ka atas, akan tetapi tiba-tiba ketika hawa lewat di punggung, punggungnya itu seperti dibakar membuat seluruh tubuhnya lemas dan ia terguling.

Kini Yu Lee yang memegang pundaknya berkata halus dan perlahan, “Lan-moi kita berada dalam cengkeraman racun hebat, jangan kau mengerahkan tenaga. Tenang dan bersabarlah kurasa Gwat Kong Totiang tidak mempunyai niat jahak terhadap kita.”

“Tidak punya niat buruk apa? Monyet tua bangka hina dan tak tahu malu ini. Dia hendak memaksa kita menjadi kaki tangan penjajah, si keparat!”

Gwat Kong Tosu tetap tenang dan tersenyum, sama sekali tidak memperdulikan kemarahan Siok Lan yang memaki-makinya ia menghadapi Yu Lee dan berkata. “Yu taihiap seorang yang berpandangan luas. Naik turunnya kerajaan dan kaisar adalah urusan yang sudah ditentukan Tuhan. Manusia mana mampu mencegah kehendak Tuhan? Sudah ditakdirkan bahwa pemerintah Goan timbul, maka sudah menjadi kewajiban kita orang-orang gagah untuk mendukung kehendak Tuhan ini dan membantu pemerintah baru mengatur ketenangan dan tenteraman. Ouw ciangkun adalah seorang demikian gagah perkasa, namun beliau dapat melihat kenyataan dan….”

“Cukup, lotiang! Dalam hal ini, kita berbeda pendapat dan akan sia-sia belaka kalau totiang hendak membujuk kami. Kami tetap tidak rela menyaksikan negara dan bangsa dijajah bangsa Mongol, dan andaikata kami tidak berdaya menentang sekalipun, di dalam hati kami tetap akan menentang. Kurasa semua orang gagah berpendapat demikian dan hanya menanti saat dan kesempatan untuk mengusir penjajah dari tanah air.”

“Wah, kau keras kepala dan sombong seperti kakekmu Yu Tiang Sin. Yu Lee, apakah kau belum sadar bahwa nyawamu berada di telapak tanganku? Tidak akan sayangkah engkau yang masih muda ini mati secara konyol dan sia-sia? Dan tunanganmu ini? Bukankah kau mencintainya? Relakah kau melihat tunanganmu yang kau cinta ini mati konyoi pula?”

Yu Lee tersenyum sambil memandang kekasihnya, “Totiang, engkau agaknya tidak dapat menyelami jiwa orang-orang gagah sejati, juga tidak pernah tahu agaknya akan isi hati dua orang yang saling mencinta! Ketahuilah betapa besar bahayanya, namun seorang gagah lebih baik mati daripada mengkhianati tanah air dan bangsanya sendiri dan dua orang yang saling mencinta dengan murni lebih rela melihat kekasihnya tewas sebagai seorang patriot dari pada hidup makmur sebagai seorang pengkhianat. Sadarlah bahwa kami berdua mati demi tanah air kami, totiang.”

Siok Lan girang dan bangga sekali kepada kekasihnya. Sungguh cocok dengan isi hatinya. Maka ia memandang Yu Lee dengan sinar mata penuh cinta kasih mesra, bibirnya tersenyum matanya membasah ia rela seribu kali mati bersama kekasihnya yang hebat ini!

Gwat Kong Tosu menjadi marah. Ia merasa mukanya seperti ditampar. Teringat ia akan semua pengalamannya dahulu. Dahulu ketika ia menjadi murid Kun -un-pai, ia melakukan pelanggaran, yaitu ia melakukan hubungan jina dengan seorang wanita yang tinggal di lereng, wanita yang sudah menjadi isteri seorang petani.

Ketika si petani, suami wanita itu, mempergoki perbuatan mereka, dalam keadaan tertangkap basah dan gugup ia memukul dada petani itu sehingga si petani menderita luka dalam. Kemudian si petani bertemu dengan Liem Kwat Ek yang merupakan seorang murid Kun-lun-pai yang gagah, melaporkan perbuatannya itu kepada pimpinan Kun-lun-pai sehingga ia lalu ditendang keluar dari Kun-lun-pai dengan tidak hormat.

Ia mendendam sakit hati dan perasaan, akan tetapi hal ini ditahan dan disembunyikan pada hatinya, ia seolah-olah menyesali kedosaannya, bersikap baik terhadap Kun-lun-pai maupun terhadap Liem Kwat Ek. Bahkan ketika terjadi pergolakan ia ikut pula menentang gelombang orang Mongol dan membawa semua muridnya untuk melakukan perlawanan bersama para pejuang lainnya.

Akan tetapi setelah melihat betapa kekuasaan Mongol makin kuat, ia lalu “membalik”. Dahulu ia dihina Liem Kwat Ek, sekarang kembali ia merasa dihina oleh cucu musuh besarnya itu bersama tunangannya.

“Seret mereka keluar! Ikat pada tonggak ditengah lapangan! Biarkan mereka kepanasan dan kehausan. Kalau masih berkepala batu, kita seret ke kota raja sebagai tawanan!” katanya lalu melangkah keluar dan pondok dengan muka sebentar pucat sebentar merah.

Para murid Kim hong-pai yang kini kesemuanya telah menjadi kaki tangan pemerintah Mongol, lalu menangkap Yu Lee dan Siok Lan yang tidak berani melakukan perlawanan. Dua orang muda ini lalu diikat pada tonggak yang berdiri di sebuah lapangan luas yang pohon pohonnya telah ditebang semua. Tempat itu terbuka dan matahari dapat menimpa tempat itu sepenuhnya, Yu Lee dan Siok Lau diikat pada tonggak yang membelakangi.

Hati mereka girang karena dengan demikian jari jari tangan mereka dapat saling sentuh dan selama mereka itu berdekatan, hati mereka besar. Kemudian mereka ditinggalkan serta diawasi dari jauh. Anak buah Kim-hong-pai maklum akan kehebatan racun ngo-tok-ciam. Sekali memasuki tubuh lawan, hanya guru mereka saja yang mampu menyelamatkannya. Andaikata dua orang itu terbebas sekalipun dari mereka, tetap saja keduanya takkan terbebas dari maut.

“Koko... benarkah kita tidak ada harapan untuk hidup lagi?”

Yu Lee yang pada lahirnya tetap tenang itu, menekan perasaannya ia terharu dan merasa kasihan kepada kekasihnya. Masih begitu muda, begitu cantik jelita dan sekali ini agaknya memang tiada harapan lagi. “Jangan hilang harapan selama kita masih hidup, Lan-moi. Memang racun ngo-tok-ciam hebat sekali. Akan tetapi, belum tentu tidak dapat disembuhkan. Kau tenang saja, biarpun kita tidak boleh mengerahkan lweekang, agaknya dengan tenaga luar aku dapat melepaskan belenggu tangan kita. Akan tetapi, mereka tentu mengintai dan menjaga, maka kita tunggu sampai malam nanti.”

Sehari itu penderitaan kedua orang muda ini amat hebat. Panas amat teriknya dan sejak mereka terjerumus ke dalam sumur malam tadi, mereka merasa amat lelah, lapar dan haus. Kelelahan dan kelaparan masih dapat mereka tahan akan tetapi rasa haus benar-benar amat menyiksa. Leher terasa kering mencekik, mulut kering dan napas mereka serak.

Melihat penderitaan kekasihnya, Yu Lee menjadi kasihan sekali. Biarpun Siok Lan tidak pernah mengeluh dan tidak pernah nenyatakan rasa hausnya yang dapat membuat orang menjadi gila, namun Yu Lee maklum bahwa tentu gadis itu tidak beda dengan keadaannya, dicekik dan disiksa oleh rasa haus.

“Lan moi…”

“Hemmm…” Suara Siok Lan lemah dan hanya berbisik.

“Engkau lelah dan lapar...?”

“Tidak, koko. Hanya… haus setengah mati!” Dalam mengucapkan kata-kata ini, terdengar kemarahan gadis itu, marah kepada musuh musuhnya yang membuatnya sengsara.

“Memang akupun haus. Akan tetapi kita harus bersabar, moi-moi. Eh, baru kemarin aku mendapatkan sebuah tomat yang masaknya bukan main karena lapar ku makan buah itu. Wah, seluruh urat dalam mulutku sampai kaku karena masamnya. Tahukah engkau buah yang lebih masam dari pada buah tomat yang ini?”

Siok Lan mengingat-ingat segala buah masam yang dikenalnya. Kemudian ia menyebutkan beberapa macam buah dan akhirnya mengomel, “Koko, bagaimana sih engkau ini! Dalam keadaan begini masih membicarakan… heee, mendadak mulutku menjadi basah mengingat buah buah masam itu...!”

Siok Lan meegecap-ngecap mulutnya dan menelan ludah sendiri sehingga kerongkongannya tidak sekering tadi. Kini mengertilah ia akan akal tunangannya itu. Dengan mengingat buah masam timbul air liur yang membasahi mulut dan biarpun hal ini bukan merupakan pertolongan besar, namun sedikitnya mencegah mulut dan kerongkongan menjadi kering.

Setelah hari berganti senja, Gwat Kong Tosu datang membawa secawan besar air jernih. Sambil memegangi cawan itu ia berkata, “Bagaimana, apakah kalian masih juga berkeras kepala?”

“Totiang, engkau seorang tosu yang menyeleweng daripada kebenaran. Sudah bulat keputusan kami, lebih baik mati sebagai seorang gagah dari pada hidup seperti engkau, seorang pengkhianat pengecut!” kata Yu Lee.

“Tosu bau yang terkutuk! Biar berpakaian begitu namun lebih jahat dari pada iblis, lebih keji dan hina diripida semua penjahat yang paling hina!” Siok Lan yaog lebih pandai memaki itu menyambung.

Gwat Kong Tosu tertawa dan minum air dari cawan sampai air itu tertumpah. Siok Lan dan Yu Lee yang menoleh ke arah tosu itu mau tidak mau menelan ludah yang tidak ada lagi, akan tetapi kekerasan hati mereka dapat mengatasi keinginan ini dan mereka membuang muka.

“Baik, kalian memang lebih suka sengsara!” gerutu kakek itu lalu memerintahkan anak muridnya, “Jaga mereka baik-baik, biarkan malam ini mereka menderita terus, besok baru kita seret mereka ke kota raja. Dan bagaimana yang mencari Pui Tiong dan Can Bwee?”

“Sudah teecu cari ke mana-mana tidak ada suhu.”

“Goblok, hayo cari lagi. Bukankah tadipun mereka ikut berjaga-jaga?”

Kembaii Siok Lan dan Yu Lee ditinggal dan dijaga dari jauh. Setelah malam tiba, Yu Lee berbisik. “Moi-moi akan kulepaskan ikatan ini. Kalau sudah bebas, biar aku melarikan diri ke selatan, memancing mereka mengejarku agar engkau dapat melarikan diri, sebaliknya engkau lari ke barat, memasuki hutan yang lebih lebat…”

“Tidak! Aku tidak mau berpisah dari sampingmu, koko. Kita berdua sudah keracunan, tinggal menanti mati. Kalau matipun, aku ingin bersamamu.”

“Moi-moi…” Yu Lee terharu dan terisak.

“Ihhh...! Engkau tidak boleh lagi meruntuhkan air mata, koko. Kalau tetap begitu, aku selamanya tidak akan mencinta Yu Lee, melainkan lebih mencinta Aliok. Aku tidak suka melihat... eh, kekasihku cengeng!”

Mau tak mau Yu Lee tersenyum. Dengan Siok Lan disampingnya, dunia ini akan selalu merupakan sebuah tempat yang menyenangkan dan menggembirakan sehingga iapun tidak akan mendapat kesempatan untuk menangis lagi. Iapun maklum akan kekerasan hati Siok Lan, dibujuk dipaksa pun akan percuma.

“Baiklah kita lari bersama mudah-mudahan dapat melarikan diri dalam gelap. Jika Thian menghendaki kita akan berhasil.”

Yu Lee lalu mulai berusaha mematahkan ikatan. Biarpun ia tidak berani mengerahkan sinkangnya karena hal ini berarti akan membuat racun di punggungnya mengamuk, namun tubuh pemuda ini tergembleng sejak kecil sehingga dia memiliki otot yang kuat. Setelah berusaha beberapa lama, akhirnya jari-jari tangannya berhasil merenggut lepas ikatan tangannya.

Ia masih membelakangi Siok Lan ketika ia mulai berusaha membebaskan kekasihnya. Ia melakukan hal ini secara diam-diam tidak berani merobah kedudukan karena tahu bahwa mereka diawasi orang-orang Kim hong-pai dari jauh. Setelah bebas, keduanya berdiri diam beberapa lama untuk membiarkan jalan darah di pergelangan tangan pulih kembali!

“Sekarang...!” bisik Yu Lee dan sambil menggandeng tangan kekasihnya, pemuda ini lalu mengajak Siok Lan lari dari situ. Keduanya tidak berani mempergunakan ginkang karena hal ini pun akan mencelakakan mereka, maka mereka hanya lari dengan menggunakan otot-otot kaki saja.

“Heii, mau lari ke mana…?”

Dua orang muda itu lari ke arah selatan dan muncullah empat orang murid Kim-hong-pai yang menjaga di selatan. Yang lain-lain juga melihat kedua orang itu lari, akan tetapi karena mereka semua sudah maklum akan akibat racun ngo-tok-ciam, mereka memandang rendah dua orang muda itu yang tidak mungkin lagi mempergunakan tenaga dalam mereka. Inilah yang menyebabkan mereka menjaga di tempat masing-masing dan menyerahkan kepada empat orang saudara mereka yang menjaga di selatan untuk menangkap kembali dua orang tawanan itu.

Andaikata Yu Lee dapat bergerak dan mempergunakan hawa sakti tubuhnya seperti biasa, jangankan hanya empat orang murid Kim hong pai, biar ada empat puluh orang sekalipun tentu dapat ia atasi dengan mudah. Bahkan Siok Lan sendiri saja akan dapat mengalahkan empat orang ini dengan mudah. Akan tetapi mereka kini terpaksa hanya mengandalkan tenaga kasar tangan kaki mereka, bahkan kegesitan mereka, banyak berkurang karena tidak dapat menggunakan ginkang.

Mereka bergerak dan empat orang itu roboh, akan tetapi dapat cepat meloncat bangkit kembali dan menyerang kalang kabut mengeroyok dan menubruk dari kanan kiri. Yu Lee mempergunakan ilmu silatnya, mengelak dan membalas, akan tetapi pukulan tenaga kasar tidak mempengaruhi empat orang anak buah Kim-hong-pai yang sudah terlatih itu.

Siok Lan marah dan menerjang maju, dalam hatinya hendak sekali serang menewaskan empat orang lawan lunak itu. Saking marahnya ia terlupa dan dalam penyerangannya ini ia mengerahkan lweekangnya.

“Desss dessss….!”

Dua orang pengeroyok roboh dengan kepala pecah terkena pukulan tangan Siok Lan, akan tetapi gadis itu menjerit dan roboh, muntah darah!

Yu Lee terkejut sekali, cepat berjongkok hendak menolong kekasihnya. Saat itu dipergunakan oleh dua orang murid Kim-hong-pai yang lain untuk menerjangnya, membuat Yu Lee terguling guling dan luka di punggungnya menghebat. Pemuda inipun pingsan di samping Siok Lan.

Pada saat itu, berkelebat bayangan putih dan terdengar teriakan ngeri dua orang Kim-hong-pai tadi yang roboh tak bergerak lagi, mati seperti dua orang temannya yang terbunuh oleh Siok Lan. bayangan putih ini bukan lain adalah Dewi Suling yang cepat menyambar tubuh Yu Lee dan Siok Lan, lalu meloncat dan menghilang di dalam gelap.

“Kejar…! Tangkap…!”

Gegerlah orang-orang Kim-hong-pai. Obor obor dinyalakan dan mereka ini dipimpin oleh Gwat Kong Tosu yang marah-marah lalu melakukan pengejaran. Akan tetapi gerakan Dewi Suling cepat sekali. Wanita sakti itu sudah lenyap dan para anggauta Kim-hong-pai lalu mencari-cari diseluruh hutan. Jauh dipinggir hutan diantara para pencari ini menemukan mayat dua orang saudara mereka yang merupakan murid murid terpandai dari Gwat Kong Tosu yaitu Pui Tiong dan Can Bwee!

Apakah yang telah terjadi? Siapa pembunuh Pui Tiong dan Can Bwee, dua orang murid pilihan Kim-hong-pai yang telah berhasil menjebak Siok Lan dan Yu Lee? Dan mengapa pula Dewi Suling yang tadinya mengajar Siok Lan dapat muncul tiba-tiba di malam hari itu?

Pembunuh kedua orang murid Kim-hong-pai itu bukan lain adalah Dewi Suling. Seperti telah kita ketahui Dewi Suling membantu Thian-te Sin-kiam pergi mengejar dan mencari Siok Lan yang melarikan diri. Karena jarak diantara mereka amat jauh, Dewi suling tidak tahu ke mana perginya Siok Lan dan ia mencari-cari sampai menyeleweng jauh.

Ia melampaui hutan di mana Siok Lan ditawan, kemudian setelah amat jauh tersesat, ia kembali lagi dan sore hari itu di pinggir hutan ia melihat berkelebatnya dua orang manusia. Ia cepat menyelinap dan mengintai, kemudian berindap menghampiri ketika mendengar suara pria dan wanita bersenda gurau dan ketawa cekikikan.

Kiranya dua bayangan itu adalah Pui Tiong dan Can Bwee. Dua orang muda yang masih saudara seperguruan ini kiranya mempunyai hubungan cinta secara rahasia. Kini di tempat yang mereka anggap sunyi tidak ada manusia lain itu, mereka dapat menumpahkan cinta kasih mereka dengan bebas. Mereka bersembunyi di balik rumpun bunga, bercakap-cakap dan becumbu mesra.

Tentu orang akan merasa heran sekali kalau melihat betapa di tempat umum kedua orang ini saling menghormat dan seolah-olah tidak ada hubungan apa-apa di antara mereka. Pui Tiong sebagai sute yang baik dan Can Bwee sebagai suci yang pendiam.

Namun Dewi Suling tidak heran, hanya marah bukan main ketika mendengar percakapan mereka karena mereka membicarakan Siok Lan dan Yu Lee.

“Kau gila! Kau kira aku tertarik kepada Sian-li Eng-cu? Huh, biar dia cantik dia amat galak dan dibandingkan dengan engkau, kekasihku bagaikan bumi dan langit. Sepatutnya engkau yang tertarik kepada Pendekar Cengeng…” kata Pui Tiong sambil mencium bibir Can Bwee.

Sejenak mereka tenggelam dalam kemesraan, kemudian Can Bwee melepaskan diri dan mencubit dagu Pui Tiong sambil berkata cemberut. “Cih kau cemburu? Kalau aku tertarik kepada segala laki-laki, masa aku masih sudi melayanimu? Kau tahu betapa besar cintaku kepadamu, betapa setiaku...” Kembali mereka berpelukan.

Dewi Suling menanti dengan sabar. Ia ingin mendengar tentang Siok Lan yang dicari-carinya dan tentang Yu Lee yang juga sudah mengejar dan agaknya pendekar itu lebih beruntung, lebih dulu bertemu dengan Siok Lan.

“Hi hik, gadis cantik itu tidak cantik lagi sekarang. Kulihat tadi betapa dia kehausan. Kenapa suhu tidak membunuh saja Siok Lan dan Pendekar Cengeng? Mengapa mesti menanti-nanti lagi?”

“Ihhh, kenapa kau begini bodoh,...?”

Can Bwee mencubitnya “Kurang ajar, aku ini kakak seperguruanmu, tahu? Kau berani memaki bodoh?”

Pui Tiong cepat cepat berlutut, “Ampunkan aku, suciku yang manis…”

“Cih… ceriwis kau...!” Kembali mereka bercumbuan sehingga hampir saja Dewi Suling kehabisan kesabarannya.

“Suhu mengharapkan mereka. Terutama Pendekar Cengeng suka takluk dan membantu pemerintah. Kalau suhu berhasil, bukan kecil jasa Kim-hong-pai terhadap pemerintah.“

“Ah mana mungkin! Dia keras kepala apa lagi gadis galak itu. Orang-orang macam mereka lebih baik lekas dibunuh, karena kalau sampai terlepas dapat menimbulkan kekacauan,”

“Mana mungkin terlepas?” Pui Tiong membantah “Kau mengerti sendiri, orang yang sudah terkena ngo-tok-ciam, apalagi di tusukkan pada jalan darah di punggung seperti mereka itu tentu akan mati kalau tidak ditolong oleh suhu sendiri. Mereka itu terpaksa harus menakluk kalau tidak mau mati. Andaiakata dapat lolos juga tentu mati. Siapa orangnya mau menolong?

"Ngo-tok-ciam itu hanya dapat dicabut dengan mulut dan menggunakan khikang dan sinkang juga racunnya dapat disedot keluar dengan pengerahkan sin-kang yang tinggi. Akan tetapi penyedotnya tentu akan mati dan siapa mau mengobati mereka secara begitu? Kecuali hanya suhu yang tahu cara mengobatinya, sedangkan kita sendiri saja tidak diberi tahu akan rahasia penyembuhan Ngo-tok-ciam itu,”

Sudah cukup bagi Dewi Suling percakapan itu. Ia tahu bahwa Siok Lan dari Yu Lee tertawan musuh dan telah terluka hebat, berada di ambang pintu kematian. Marahlah Dewi Suling. Terdengar suara melengking ketika ia meloncat ke balik semak-semak rumpun kembang itu disusul jeritan mengerikan dari kedua orang muda yang sedang bermain cinta, berkasih-kasihan dengan mesra itu tak dapat menghindarkan diri dari pada serangan maut Dewi Suling!

Dewi Suling lalu memasuki hutan itu dan mencari cari. Akhirnya ia melihat betapa Yu Lee dan Siok Lan berusaha melarikan diri dan dikeroyok empat orang anak murid Kim hong pai. Ia terheran heran menyaksikan kelemahan dua orang itu, padahal ia tahu bahwa orang-orang Kim-hong-pai itu tidak dapat dianggap lihai. Melihat betapa Siok Lan yang menyerang dengan pengerahan sinkang lalu roboh sendiri muntah darah.

Mengertilah Dewi Suling bahwa dua orang itu telah keracunan hebat sehingga tidak boleh mengerahkan sinkang dan mengertilah ia mengapa dua orang itu kelihatan begitu lemah. Maka ia cepat turun tangan membunuh dua orang Kim hong pai dan menyambar tubuh kedua orang itu yang dikempitnya dengan kedua lengan lalu ia meloncat dan melarikan diri dengan cepat.

Dewi Suling maklum bahwa keadaan dua orang itu amat berbahaya, sungguhpun ia belum tahu pasti apa sebabnya dan mengapa mereda keracunan karena ia belum mendapat waktu dan kesempatan untuk memeriksa, ia harus lebih dahulu menyelamatkan diri mereka dari pengejaran orang-orang Kim-hong-pai yang ia tahu diketuai oleh Gwat Kong Tosu yang cukup lihai. Maka ia lari terus semalam itu tak pernah berhenti, keluar masuk hutan dan naik turun gunung.

Setelah malam berganti pagi dan matahari telah bersinar, ia tiba di dalam sebuah hutan yang liar. Barulah ia berhenti menurunkan dua orang itu dari kempitannya dan merebahkan mereka di atas tanah berumput. Dan mulailah ia memeriksa mereka yang masih pingsan, ketika ia menemukan jarum yang menancap di punggung dan melihat betapa kulit dan daging sekitar luka itu hitam kehijauan, ia terkejut sekali.

Dewi Suling juga tahu akan racun karena gurunya, Hek-siauw Kui-bo adalah seorang ahli racun pula, dan iapun ahli menggunakan jarum-jarum beracun. Akan tetapi baru sekarang ia menyaksikan akibat racun yang begini hebat. Mukanya pucat ketika ia teringat akan cerita gurunya akan hebatnya lima racun ngo-tok-ciam yang dicampur teh menjadi adonan racun yang amat jahat.

Untuk menyedot racun ngo tok ini, hanyalah dapat dilalukan dengan pertolongan batu pek seng (bintang putih). Kalau disedot dengan mulut mempergunakan sin kang, akan berhasil juga akan tetapi selain harus mengerahkan sinkang yang amat kuat, juga racun itu sedemikian bebatnya sehingga kalau memasuki mulut si penyedot, tentu ia akan mati!

Sejenak Dewi Suling memandang wajah Yu Lee yang masih rebah pingsan. Wajah yang semenjak ia kembali ke jalan benar, selalu menjadi kembang mimpi, selalu terkenang dan teringat. Wajah orang yang amat dikasihinya, ia melihat betapa wajah Yu Lee yang pingsan itu tenang seperti orang sudah mati.

Tak tertahankan lagi ia menubruk pundak dan terisak, menciumi muka pemuda itu. Kemudian keharuan hatinya rela dan ia menoleh kearah Siok Lan. Gadis yang masih remaja, segar dan bersih. Sungguh tepat menjadi isteri Yu Lee, pikirnya. Tidak, ia tidak cemburu, tidak iri hati. Dia memang sama sekali tidak patut bersanding dengan Yu Lee.

Teringat ia akan semua perbuatannya di masa muda, jantungnya terasa hendak putus. Dia dahulu jahat, jahat sekali. Dia telah kotor, tak mungkin dicuci bersih sehingga patut menjadi sisihan Yu Lee. Biar di cuci dengan perbuatan perbuatan baik sekalipun! Ia harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di depan Thian! Dan Yu Lee akan sengsara hidupnya kalau kehilangan Siok Lan.

Makin dipikir, makin nelangsa hatinya dan tanpa ragu-ragu lagi, bahkan agak beringas seperti laku orang nekad, ia lalu membungkuk, merobek baju Siok Lan yang ia miringkan tubuhnya, kemudian menempelkan mulutnya pada luka di punggung Siok Lan. Ia menahan napas, mengerahkan khikang dan menyalurkan sinkang menyedot luka itu sampai mulutnya terasa beku.

Cepat ia meludahkan darah biasa yang mengandung racun itu, kemudian menyedot lagi. Tiga kali ia menyedot sampai akhirnya darah yang disedotnya adalah darah merah yang segar. Pening kepala Dewi Suling. Pandangan matanya berkunang, mulutnya kaku tak dapat di gerakkan. Lidahnya mengembung hampir memenuhi mulut. Mukanya berubah agak kehijauan.

Ia cepat meninggalkan tubuh Siok Lan yang ia tahu telah terbebas daripada cengkeraman maut, lalu ia bersila bersemadi mengatur napas, menyedot sebanyaknya hawa segar dan berusaha menentang racun yang mulai menguasainya. Setelah kepalanya tidak begitu pening lagi dan ia telah dapat memulihkan tenaganya ia lalu menghampiri tubuh Yu Lee yang masih rebah terlentang.

Ia mendorong miring tubuh laki laki yang dicintainya ini, dibuka bajunya dan dikecupnya luka itu, seperti tadi ia menggigit jarum mencabutnya keluar. Alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa luka di punggung Yu Lee lebih berat dari pada luka di punggung Siok Lan.

Agaknya ketua Kim-hong-pai yang tahu bahwa pemuda ini amat lihai, menusukkan jarum yang lebih banyak racunnya di punggung pemuda ini. Dewi Suling mengerahkan tenaganya menyedot. Baru setelah tujuh kali menyedot racun itu habis dan ia menyedot darah segar.

“Ahh…“ Yu Lee mengeluh membuka mata dan bangkit duduk. Begitu melihat Dewi Suling duduk di dekatnya dan muka wanita ini kehitaman, mulutnya membengkak, ia kaget sekali dan tahulah ia akan apa yang telah dilakukan wanita ini. Ia melirik ke arah Siok Lan. Gadis itu sudah sembuh pula mukanya tidak membayangkan keracunan, napasnya teratur, dan dalam tidur pulas.

“Kau…?” Dewi Suling yang duduk bersila meramkan mata dan bangkit duduk, Yu Lee bergidik. Mata itupun bersinar kehitaman, penuh hawa racun!

Dewi Suling menggoyang kepala berkata lemah suaranya pelo karena lidahnya membengkak. “Himpun tenagamu... bersamadhi... lekas…”

Yu Lee maklum bahwa keadaannyapun sudah selamat dan pada cengkeraman bahaya akan tetapi ia masih lemah iapun maklum dengan sekali pandang saja bahwa tidak ada kekuataan manusia di dunia ini yang dapat menolong Dewi Suling yang seolah-olah telah mengoper semua hawa beracun dari tubuh dia dan Siok Lan. Bukan main terharu hatinya, akan tetapi ia tidak mau menyia-nyiakan pengorbankan Dewi Suling, ia lalu berisila dan duduk bersamadhi untuk memulihkan tenaga.

Akan tetapi betapa sukarnya sekali ini mengheningkan cipta. Air mata mengalir dari kedua pipinya, membasahi kedua pipinya. Perbuatan dan pengorbanan Dewi Suling selalu teringat dan terbayang, ia membuka matanya kembali lalu merangkul wanita itu, teringat akan cinta kasih yang demikian besar ia mencium dahi Dewi Suilng.

Dewi Suling membuka mata dan meneteslah beberapa air matanya, mulut yang bengkak itu mencoba tersenyum, lalu menggeleng kepala lagi, minta dengan pandangan matanya agar Yu Lee bersamadhi. Pemuda itu setelah mencium dahi dengan penuh perasaan sukur, terharu dan berterima kasih, lalu duduk bersamadhl dan kali ini ia berhasil.

Siok Lan mengeluh perlahan, membuka mata dan pertama-tama yang dilihatnya adalah Dewi Suling yang bermuka kehitaman dan bermulut bengkak, duduk bersila tak jauh dari situ. Ia terkejut sekali, dan segera menoleh ke arah kiri di mana ia lihat Yu Lee juga duduk bersamadhi. Wajah kekasihnya itu terang dan tenang, jelas telah bersih dari pada hawa racun ia menengok keadaannya sendiri, melihat bajunya yang robek, cepat cepat dibenarkan, lalu meraba punggung dan tahulah ia bahwa, iapun telah sembuh, terbebas dari pada racun!

Ia mencoba pernapasannya, menahan napas mengerahkan sinkang. Ia benar-benar telah sembuh! Rasa girang menyelubungi hatinya akan tetapi begitu ia memandang kembali kepada Dewi Suling, wajahnya menjadi pucat. Mengertilah Siok Lan, tentu Dewi Suling telah menolong dia dan Yu Lee, menolong dengan jalan menyedot racun dari luka luka mereka.

Dewi Suling menolong mereka dan mengorbankan dirinya, ia bergidik. Wajah Dewi Suling yang semula cantik manis itu kini jadi mengerikan, seperti wajah iblis sendiri! Karena tahu bahwa dua orang itu bersamadhi, Siok Lan pun lalu bersila dan meramkan mata mengatur pernapasan memulihkan tenaga.

Belum lama mereka bersamadhi, terdengar suara banyak orang dan tahu tahu Gwat Kong Tosu bersama dua puluh orang anak muridnya telah mengurung tempat itu! Tosu ini begitu melihat keadaan tiga orang duduk bersila, maklum bahwa racunnya telah dipunahkan oleh wanita yang kini keracunan hebat.

“Dia Dewi Suling…!” kata seorang di antara anak buahnya.

Marahlah Gwat Kong Tosu “Tangkap…!”

Akan tetapi tiba-tiba wanita bermuka iblis itu meloncat ke atas, terdengar suara melengking hebat dan belasan batang jarum berhamburan menyerang kepada mereka yang mengurung, empat orang anak murid Kim-hong-pai menjerit dan roboh tak dapat bangkit kembali. Gwat Kong Tosu setelah menyampok jarum-jarum dengan ujung lengan bajunya, mencabut pedang dan menerjang Dewi Suling. Murid-muridnya membantu dan dikeroyoklah Dewi Suling.

Akan tetapi Dewi Suling yang mukanya berubah seperti setan itu berkelahi dengan kenekatan luar biasa, kenekatan orang yang tahu bahwa ia akan mati. Dalam beberapa gebrakan saja, tiga orang anak murid Kim-hong-pai lainnya terguling oleh hantaman dan totokan sulingnya. Akan tetapi Dewi Suling pundaknya tergores ujung pedang Gwat Kong Tosu.

Yu Lee dan Siok Lan juga sudah meloncat bangun, akan tetapi mereka itu masih lemah sekali, masih belum dapat mempergunakan kekuatan dalam. Kini mereka dikurung dan di keroyok sehingga Yu Lee dan Siok Lan tidak dapat membantu Dewi Suling seperti yang mereka kehendaki.

Dewi Suling mengamuk makin hebat, akan tetapi kini kepalanya pening sekali, kedua kakinya gemetaran dan berkali kali ia terkena pedang Gwat Kong Tosu dan murid-muridnya. Seluruh pakaiannya robek robek berikut kulitnya dan tubuhnya sudah penuh luka akan tetapi ia masih terus mengamuk dan bunyi melengking itu makin lama makin jarang.

Akhirnya Dewi Suling terhuyung huyung, tubuhnya basah semua oleh darah, suling masih terpegang di tangannya, pakaiannya yang putih kini menjadl merah. Ia terhuyung ke belakang, didesak Gwat Kong Tosu.

Pada saat itu, terdengar bentakan keras, “Gwat Kong, kau benar-benar telah menyeleweng jauh!” Dan berkelebatlah bayangan orang yang mempergunakan pedang menangkis pedang Gwat Kong Tosu.

Ternyata bayangan ini adalah Thian-te Sin-kiam yang datang menyusul bersama empat orang muda perkasa, yaitu Ouwyang Tek, Gui Siong, Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng. Empat orang muda ini mengamuk dengan pedang masing masing, membuat para anak murid Kim-hong-pai yang tadi mengeroyok Yu Lee dan Siok Lan menjadi kacau balau dan banyak yang roboh.

Dewi Suling sejenak berdiri memandang pertandingan dahsyat antara Gwat Kong Tosu melawan Thian-te Sin-kiam yang mendesaknya, kemudian ia tersenyum dan roboh terguling. Pertempuran itu tidak berlangsung lama, Gwat Kong Tosu, bekas anak murid Kun-lun-pai, tentu saja tidak dapat mengatasi ilmu pedang Thian-te Sin-kiam Liem Kwat Ek seorang tokoh Kun-lun-pai yang lebih tinggi tingkatnya.

Belum sampai tiga puluh jurus pedang Thian-te Sin-kiam telah menusuk amblas ke dalam dadanya, dan ketika pedang di cabut, ketua Kim-hong-pai itu berteriak keras roboh berkelojotan. Anak-anak muridnya pun kocar kacir dan akhirnya tak seorangpun diantara mereka dapat lolos, semua tewas dalam tangan Thian-te Sin-kiam dan empat orang muda yang gagah.

Yu Lee dan Siok Lan menghampiri Dewi Suling berlutut di dekat tubuh wanita itu. Yu Lee mengangkat kepala Dewi Suling dan menyandarkannya di dadanya. Dewi Suling berada dalam keadaan mengerikan sekali. Siok Lan terisak menangis, tidak tega menyaksikan wanita yang telah mengorbankan diri untuknya dan untuk kekasihnya ini.

Dewi Suling menggerakkan bibir, terpaksa Yu Lee dan Siok Lan mendekatkan telinga. Bibir yang membengkak itu berbisik lirih. “...bahagialah... kalian... aku hanya... minta... doa... semoga Thian sudi... mengampuni dosa-dosaku...” Tubuh itu lemas dan napasnyapun terhenti.

Sejenak Yu Lee meramkan mata mencegah air matanya, akan tetapi tetap saja air matanya mengalir turun. Siok Lan sudah menangis terisak dan terdengar suara Yu Lee perlahan. “Dewi Suling... biarlah air mataku ini merupakan tangis penghabisan kali, tanda untukmu. Engkau pernah menyeleweng, akan tetapi engkau mengakhiri hidupmu sebagai seorang gagah seorang budiman dan seorang pejuang... semoga Thian mengampuni dosa-dosa mu...”

Jenazah Dewi Suling kemudian dimakam secara layak dan Thian te Sin kiam menghela napas panjang mendengar pengalaman mereka yang amat mengharukan dan pengorbanan Dewi Suling. Kemudian bersama mereka meninggalkan tempat itu.


Keadaan para pekerja kini menjadi jauh lebih baik dan karenanya pemberontak pemberontak juga berkurang banyak. Hal ini bukan berarti bahwa para pendekar dan patriot rela tanah airnya dijajah bangsa Mongol, hanya karena belum terdapat kerjasama baik maka mereka belum juga berhasl menggulingkan pemerintahan penjajah. Semangat perjuangan tak pernah terlepas dari benak budi masing masing.

Dengan upacara sederhana, Yu Lee si Pendekar Cengeng menikah dengan Sian-li Eng-cu Liem Siok Lan. Hidup bahagia di San-si. Adapun Ouwyang Tek dan Gui Siong menjadi pengantin kembar dengan Lauw Ci Sian dan Tan Li Ceng, dirayakan oleh orang tua Tan Li ceng yang agak mampu keadaannya.

Demikianlah cerita ini selesai sampai di sini, dengan catatan, betapapu jauh manusia menyeleweng dari pada kebenaran dan tersesat dalam kemaksiatan, masih belum terlambat baginya kalau SEKARANG JUGA dia sadar akan segala penyelewengannya, bertaubat tidak akan mengulangi semua kemaksiatan, dan kejahatan lalu memutar kemudi hidup sembilan puluh derajat dibelokkan ke arah pemupukan kebaikan antara manusia.

Pengarang berpendapat bahwa jauh lebih baik, baik bagi diri pribadi maupun bagi keluarga, mengawali hidup dalam penyelewengan, namun mengakhirinya dalam kebaikan dari pada mengawali hidup dalam kebaikan namun mengakhirinya dalam kejahatan.

Betapapun juga tentu saja paling baik adalah kalau manusia dapat selama hidupnya dapat membersihkan diri dari pada kemaksiatan dan hidup sebagai hamba kebajikan dan memupuk kasih sayang antara manusia.

Jalan menuju kemaksiatan itu mudah dan yang menuju kebajikan itu sukar. Sukar? Memang, akan tetapi hidup adalah belajar, dan marilah bersama pengarang kita ini belajar hidup benar dan baik! Mudah-mudahan!

Pilih Jilid,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.