Si Tangan Halilintar Jilid 01

Cerita silat Mandarin, Si Tangan Halilintar Jilid 01 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Si Tangan Halilintar Jilid 01 karya Kho Ping Hoo - Angin menderu-deru, bertiup kencang mengguncang pohon-pohon yang meliuk-liuk seperti menari-nari sambil berdesah panjang. Semakin besar dan tinggi pohon itu, semakin hebat pula ia terlanda angin yang mengamuk. Melihat betapa angin lebih hebat mempermainkan pohon kecil pendek.

Novel silat Mandarin Si Tangan Halilintar karya Kho Ping Hoo

Maka terasa kebenaran kaum bijaksana jaman dahulu yang mengatakan bahwa makin kaya dan makin tinggi kedudukan seseorang, makin banyak pula godaan menerpa dirinya. Karena itu orang bijaksana memilih menjadi orang kecil yang hidup sederhana dan tidak menonjol sehingga hidupnya tenteram dan damai.

Musim dingin telah tiba. Sejak tadi matahari tidak tampak karena terhalang awan dan mendung hitam tebal sehingga cuaca remang dan angin kencang membuat hawa terasa sangat dingin menyusup tulang. Hawa udara seperti itu amatlah buruknya dan semua orang tahu bahwa keadaan macam itu biasanya membawa datang bermacam-macam penyakit. Yang sudah pasti, akan banyak orang terserang panyakit batuk pilek.

Kota Lin-han-kwan yang biasanya cukup ramai itu, kini tampak sunyi. Toko-toko dan pintu-pintu rumah banyak yang tutup. Orang-orang, terutama yang berbadan lemah, merasa lebih aman untuk tetap tinggal dalam rumah, menghangatkan diri dengan baju atau selimut tebal dan mendekati perapian.

Jalan-jalan sunyi karena siapa yang mau dilanda sunyi karena siapa yang mau dilanda angin kencang yang mengamuk di luar rumah itu? Lebih baik terlindung di dalam rumah. Kecuali mereka yang terpaksa keluar rumah untuk bekerja, mereka yang hidup miskin dan mengandalkan hidupnya dari hari ke hari dari hasil pekerjaan mereka.

Sehari saja tidak bekerja, berarti besok tidak ada beras untuk dimakan keluarga! Mereka inilah yang tepaksa keluar rumah untuk bekerja, para pekerja kasar, kuli angkut dan segolongannya. Biarpun tubuh mereka hanya terbungkus kain kasar yang tidak tebal, namun tubuh yang sudah terbiasa dengan udara buruk itu telah menjadi kebal. Angin kencang itu agaknya tidk mampu menembus mereka yang sudah membaja. Kecuali para pekerja kasat yang miskin ini, tidak ada orang lain yang keluar rumah.

Pada saat itu, tampak adegan yang amat menarik perhatian seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun yang duduk dibalik kaca jendela sebuah rumah. Anak itu memandang dengan penuh perhatian kearah pohon-pohon yang diamuk angin. Dia melihat betapa hanya pohon-pohon yang besar tinggi yang diombang-ambingkan angin. Banyak pula pohon pohon tinggi yang patah-patah cabangnya. Hanya pohon cemara yang tinggi saja yang tidak patah.

Pohon-pohon cemara tinggi itu meliuk-liuk dengan lemas dan lenturnya, menyerah tanpa perlawanan dan karena inilah mereka itu selamat, tidak sampai patah atau rusak. Tiba-tiba pandang mata anak itu tertarik ketika dia melihat seorang laki-laki tua berjalan terhuyung-huyung di jalan simpang tiga, Laki-laki itu sudah tua, pakaiannya butut compang-camping, tubuhnya kotor tak terurus dan kurus, rambutnya yang banyak uban itupun kotor.

“Kasihan pengemis itu.…” Anak itu berbisik dan memandang penuh perhatian, sinar matanya membayangkan perasaan iba yang memenuhi hatinya.

Iba merupakan sebuah perasaan suci dan mulia yang merupakan satu di antara buah-buah dari pohon Kasih yang tumbuh dalam hati sorang manusia. Dan agaknya perasaan iba ini sudah ditanamkan oleh orang tua anak itu sejak dia masih bayi. Anak itu bernama Law Heng San, putera Law Cin dan istrinya Law Cin berusia empat puluh tahun dan istrinya berusia tigaluh dua tahun.

Mereka hidup bahagia dan tenteram di kota Lin-han-kwan itu. Lauw Cin pernah mempelajari ilmu pengobatan dan kini dia membuka sebua took obat di kota itu. Biarpun toko obatnya tidak begitu besar, namun penghasilannya cukup untuk membiayai kehidupan mereka bertiga. Juga nama Lauw Cin dikenal baik oleh penduduk kota itu karena Lauw Ci terkenal suka menolong orang.

Dia tidak pernah mencari banyak keuntungan, tidak memasang harga tinggi untuk obatnya biarpun yang beli orang kaya, dan bahkan dia siap memberikan obat secara Cuma-Cuma pada penderita sakit yang miskin. Karena ayah ibunya suka menolong orang dan murah hati itulah maka hengsan juga mudah merasa kasihan kepada orang yang menderita.

Heng San bertubuh kurus dan wajahnya tampan, kulitnya putih bersih. Alisnya tebal dan hitam. Membuat wajah yang tampan itu tampak gagah. Sebagai anak tunggal, tentu saja Heng San sangat disayang dan dimanja orang tuanya. Mereka tidak mengundang seorang guru untuk mengajarkan ilmu membaca dan menulis kepada anak mereka. Suami istri itu adalah orang-orang yang pernah mempelajari kesusasteraan maka mereka sendiri yang mendidik Heng San sejak anak itu berusia lima tahun.

Kini dalam usia dua belas tahun, Heng San telah mahir sekali, bukan hanya membaca dan menulis huruf, bahkan dia pandai membaca kitab-kitab pelajaran Khong Hu Cu, pandai pula membaca kitab To Tek Keng dari agama To, dan selain kefasihan membaca itu diapun pandai mengarang dan menulis sajak dengan huruf-huruf yang indah.

Juga sudah lebih dari setahun anak ini mulai diberi pelajaran tentang ilmu pengobatan oleh ayahnya. Tiada cita-cita lain dalam hati Lauw Cin dan isterinya selain melihat putera mereka kelak menjadi ahli pengobatan yang pandai dan budiman sehingga dapat menggantikan pekerjaan orang tuanya.

Tiba-tiba sepasang mata Heng San yang bersinar lembut namun tajam itu terbelalak. Dia melihat kakek pengemis itu terhuyung-huyung lalu jatuh terpelanting ke tepi jalan. “Aduh celaka, dia jatuh…” kata Heng San dan melihat kakek itu tidak bangkit kembali, tanpa ragu dia lalu membuka dan melompat keluar kemudian berlari menghampiri kakek itu dengan maksud hendak menolongnya bangkit kembali.

Akan tetapi ketika dia berjongkok dan memeriksa, ternyata kakek itu tak dapat bergerak lagi dan tidak bergerak maupun menjawab ketika dia memanggil-manggilnya. “Kek! Kek! Bangunlah…!”

Dia mengguncang pundak yang kurus itu, akan tetapi kakek itu tetap tidak bergerak, seperti telah mati saja. Heng San yang telah mempelajari ilmu pengobatan, memegang nadi pergelangan tangan kakek itu, lalu meraba dadanya. Masih berdenyut, akan tetapi lemah sekali. Dia pingsan, piker Heng San dan dalam udara sedingin ini. Kalau dibiarkan, kakek itu tentu akan mati. Cepat dia berlari pulang dan mengetuk pintu depan dengan gencar.

Daun pintu terbuka dari dalam dan ibunya berdiri memandangnya dengan mata terbelalak, juga ayahnya berdiri di belakang ibunya dengan terheran-heran. “Aihh... Heng San! Bagaimana engkau dapat berada diluar? Cepat masuk Hawa sedingin ini berada di luar, bias masuk angin!” kata ibunya dambil menarik tangan anaknya ke dalam dan cepat menutup daun pintu karena begitu terbuka, dari luar sudah menyerbu angin yang amat dingin.

“Heng San, bagaimana engkau dapat di luar rumah?” Tanya ayahnya dengan sinar mata tajam menyelidik.

“Ayah, Ibu, aku tadi melihat dari jendela seorang pengemis tua terhuyung lalu jatuh terguling ke atas tanah. Aku lalu keluar dari jendela untuk menolongnya, ternyata dia pingsan, Ayah.”

Ayah dan Ibunya yang tadinya marah melihat Heng San keluar rumah tanpa pamit dalam cuaca seburuk itu, segera lenyap perasaan marah mereka begitu mendengar keterangan Heng San. Hati mereka yang penuh belas kasihan itu segera tertarik dan cepat mereka mengajak Heng San untuk keluar dan menunjukkan dimana pengemis tua itu berada. Setelah tiba di dekat tubuh kakek yang rebah miring itu, Lauw Cin cepat memeriksanya.

“Ah, masih hidup!” katanya penuh harapan dan dibantu Heng San, Lauw Cin segera memondong tubuh kakek itu dan membawanya masuk ke dalam rumahnya diikuti isterinya.

“Cepat sediakan air panas dan buatkan bubur encer!” perintah Lauw Cin kepada Isterinya. “Heng San, kau ambil arak, obat gosok dengan arak!" kemudia dia dibantu oleh Heng San menanggalkan pakaian kotor kakek itu. Tampak tubuh yang kurus kering dengan tulang-tulang menonjol dibawah kulit.

Lauw Cin lalu menggosok-gosok seluruh tubuh itu dengan obat dan arak mengusir dingin yang membuat tubuh itu menjadi kaku. Kemudia dia menyuruh Heng San mengambil seperangkat pakaian yang baru dan tebal lalu mengenakan pakaian itu pada tubuh kurus itu.

Ibu Heng San memasuki kamar membawa bubur panas dan air mendidih. Lauw Cin mencampur obat dengan air panas, lalu menuangkan obat ke dalam mulut kakek itu. Kakek itu mengeluh lirih dan bergerak, akan tetapi masih memejamkan mata, seperti orang ngelindur. Law Cin lalu menyuapkan bubur kedalam mulutnya dan kakek itu menelan beberapa sendok bubur hangat.

Tak lama kemudian sadarlah pengemis tua itu dan membuka kedua matanya. Dia terbelalak heran, memandang ke kanan kiri, lalu kepada pakaian yang menutupi tubuhnya. Di luar dugaan semua orang tiba-tiba tubuh yang kurus lemah itu telah melompat dan bangkit duduk, matanya memandang ke sekeliling lagi dan berputaran aneh. Lalu dia memandang satu demi sau wajah ayah ibu dan anak itu dan mulutnya tersenyum getir. Terdengar suaranya penuh keluhan dan penyesalan.

“Hayaaaa…! Engkau telah memaksa aku harus mengaku engkau adalah In-kong (tuan penolong) bagiku! Kalau tadi kalian membiarkan tubuh tua bangka yang hampir rusak ini mati di jalan, sekarang aku tentu sudah senang. Akan tetapi sekarang kalian telah mengikat aku dan memberi tugas hidup yang baru untuk melunasi hutangku kepadamu Hayaaa…!” Pengemis itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang pendek.

Lauw Cin bertukar pandang dengan isterinya. Sungguh aneh orang ini. Ditolong tidak berterima kasih malah mengeluh dan mengomel panjang pendek!. “Paman, harap jangan sungkan. Kami menolongmu bukan untuk melepas budi, melainkan sekadar memenuhi kewajiban kami sebagai manusia. Kami tidak mengharapkan imbalan apapun.” kata Lauw Cin.

“Kek, kenapa engkau ingin benar cepat mati? Lihat, alangkah senangnya hidup. Kita bisa bermain-main, bisa makan enak,” kata Heng San dengan suara mencela ketika mendengar kakek itu berkata bahwa dia akan lebih senang mati.

Pengemis tua itu memandang Heng San dengan sinar matanya yang tajam dan aneh. Kemudia tiba-tiba kedua tangannya terulur ke depan dan dia sudah memegang kedua pundak anak itu. Jari-jari tangannya meraba-raba pundak, leher, punggung dan dada. Lalu jari-jari itu meraba-raba dan menekan-nekan kepala Heng San.

Anak itu merasa risi dan geli, akan tetapi dia tidak dapat melepaskan diri dari jari-jari tangan yang seolah-olah melekat pada tubuhnya itu. Kakek itu akhirnya melepaskan kedua tangannya dari tubuh Heng San, dia tertawa dan mengagguk-anggukkan kepalanya.

“Ha-ha-ha, tidak percuma…. Tidak percuma…!” selagi ibu, ayah dan anak itu terheran-heran, kakaek itu bertanya kepada Lauw Cin, “In-kong (tuan penolong), apakah anak ini puteramu?”

Lauw Cin mengangguk, “Benar, dia putera kami, anak tunggal kami.”

Kakek itu tiba-tiba melompat turun dari atas pembaringan, berdiri di atas lantai dan menari-nari sambil bertepuk-tepuk tangan. Lauw Cin, isteri dan anaknya hanya memandang bingung, mengira bahwa kakek itu kumat gilanya.

“Bagus! bagus sekali! Kalau begitu, tidak percuma engkau menolongku, In-kong. Aku tidak akan susah-susah lagi mencari jalan untuk membalas budimu! Ha ha ha ha!” Dia tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan ladi, menari-nari di sekeliling kamar itu.

“Paman yang baik, apa maksud kata-katamu itu?” Lauw Cin bertanya dan memandang heran. Isterinya mengerutkan alis dan merasa ngeri, mengira bahwa kakek itu adalah seorang yang miring otaknya. Kakek itu berhenti menari-nari dan berdiri di depan Lauw Cin.

“Paman yang baik? Ha ha, aku suka sebutan itu! Paman yang baik baik. Ah, sebutan yang enak didengar. Ketahuilah, In-kong, orang yang kau tolong hari ini, bukan sembarang pengemis, juga bukan sembarang orang! Aku adalah Pat-jiu Sinkai yang telah menjelajah dunia kang-ouw (dunia persilatan) selama puluhan tahun!”

Lauw Cin terkejut bukan main. Dia sudah banyak mendengar akan nama julukan Pat-Jiu Sinkai (Pengemis Sakti Tangan Delapan) ini yang amat terkenal sebagai seorang pendekar aneh yang selalu membasmi kejahatan menolong yang lemah, membela kebenaran dan keadilan. Seorang tokoh kang-ouw atau dunia persilatan sungai telaga yang ditakuti lawan disegani kawan. Lauw Cin lalu cepat memberi hormat dengan merangkap tangan depan dada dan membungkuk.

“Harap maafkan kami, Lo-enghiong (pendekar tua), kami tidak tahu bahwa kami berhadapan dengan seorang pendekar yang terkenal gagah perkasa dan budiman. Terimalah hormat saya.”

“Huh, apa ini? Aku tidak suka penghormatan yang berlebihan. Sudah kukatakan bahwa aku lebih senang disebut paman yang baik. Jangan sebut-sebut aku lo-enghiong segala macam. Aku memang tidak pernah dikalahkan orang gagah dan jagoan manapun. Akan tetapi hari ini aku harus tunduk kepada keperkasaan alam dan jatuh sakit, hampir mati tak berdaya sehingga kelihatan bahwa aku sebetulnya hanyalah seorang manusia yang lemah. Kebetulan sekali engkau yang menolongku. Aku si tua bangka ini belum pernah berhutang budi tanpa dibalas. Sekarang aku melihat bahwa anakmu ini bertulang pendekar dan berkakat baik sekali. Maka perkenankanlah aku mengangkat dia sebagai muridku, dengan demikian aku dapat membalas budimu.”

Selagi Lauw Cin dan isterinya termangu dan tidak tahu harus bersikap bagaimana mendengar ucapan kakek pengemis itu, Heng San yang juga pernah mendengar akan nama besar kakek itu segera saja menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Pat-jiu Sinkai sambil mengangguk-anggukkan kepala dan berkali-kali menyebut, “Suhu….”

Pat-Jiu Sin-kai memandang anak itu, lalu tertawa dan berkata girang “Ha ha, muridku yang baik! Muridku yang baik!”

Tiba-tiba di memegang kedua pundak Heng San, lalu mengangkat tubuh anak itu dan melemparkan tubuh itu ke atas, diterima kembali dengan kedua tangan ketika tubuh itu meluncur turun, dilempar dan diterima lagi sampai berulang kali, seolah-olah tubuh anak itu menjadi sebuah bola yang dibuat mainan sesuka hati. Heng San sama sekali tidak pernah berteriak ketakutan, bahkan merasa gembira juga kagum akan kekuatan kakek yang kelihatannya kurus kering berpenyakitan itu.

Lauw Cin dan isterinya tentu saja memandang adegan itu dengan mata terbelalak dan hati khawatir, akan tetapi merasa sungkan untuk melarang, apa lagi mereka melihat Heng San tersenyum-senyum girang diperlakukan seperti bola mainan itu. Ketika Heng San diturunkan ternyata wajah anak yang taadinya pucat kedinginan kini tampak segar, kedua pipinya kemerahan dan matanya bersinar-sinar gembira! Tentu saja Lauw Cin merasa girang.

“Ha-ha-ha, tidak salah pilihanku! Aku merasa beruntung sekali mendapatkan murid seperti… heii, aku belum mengenal namamu! Juga belum mengenal nama in-kong, penolongku!” tiba-tiba kakek itu berseru.

Lauw Cin tersenyum dan berkata “Paman yang baik,” dia tidak berani lagi menyebut dengan sebutan lain, “Nama saya adalah Lau Cin dan anak kami bernama Lauw Heng San.”

“Lauw Heng San? Bagus, biarlah kelak dia menjadi sekokoh San (Gunung). Dan katakan terus terang, apakah kalian suami isteri tidak merasa keberatan kalau aku tinggal disini dan menjadi guru anak kalian ini?”

“Ah, sama sekali tidak, paman Pat-jiu Sin-kai. Kami malah merasa gembira dan berterima kasih sekali.” Lauw Cin berkata, kemudian suami isteri itu segera mengatur dan menyediakan sebuah kamar untuk menjadi kamar tidur kakek itu.

Demikianlah, mulai hari itu Pat-jiu Sin-kai tinggal dirumah keluarga Lauw Cin dan menjadi guru Hengsan. Diapun kini mau membersihkan badannya dan mengenakan pakaian bersih sehingga biarpun masih tampak kurus, namun sehat dan bersih. Dia juga tidak menolak ketika Lauw Cin membuatkan obat untuk memulihkan kesehatannya.

Pada malam pertama Pat-jiu Sin-kai tinggal dirumah itu, Lauw Cin dan isterinya tidak dapat tidur. Mereka memperbincangkan anak mereka dan Pat-jiu Sin-kai. Tadinya isteri Lauw Cin menyatakan kekhawatirannya dan tidak membiarkan anak tunggalnya menjadi murid kakek yang aneh dan terkadang seperti tidak waras otaknya itu. Akan tetapi setelah dibujuk suaminya dan mendengarkan alasan-alasannya, ia menurut juga.

Suami isteri itu tidak tahu kalau percakapan mereka dapat didengar oleh Pa-jiu Sin-kai yang rebah diatas pembaringan dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar suami isteri itu. Mereka tidak tahu bahwa kakek itu memiliki banyak kesaktian. Diantaranya ilmu-ilmunya, dia menguasai ilmu yang disebut Hok-te Teng-seng (mendekam di tanah mendengarkan suara).

Dengan ilmu ini, kalau dia menempelkan telinganya di atas tanah, dia dapat mendengarkan jejak langkah kaki yang datang dari jauh. Kini, dengan mengempelkan telinga pada tembok, dia dapat pula mendengarkan percakapan Lauw Cin dan isterinya dengan jelas solah-olah dia hadir dalam kamar tidur itu.

Lauw Cin mengatakan pendapatnya kepada isterinya yang merasa tidak setuju anaknya menjadi murid Pat-jiu Sin-kai. “Aku sendiripun tidak merasa suka melihat wataknya yang aneh dan menakutkan itu, akan tetapi bagaimana kita dapat menolak permintaannya untuk mendidik Heng San? Dia seorang yang amat terkenal dan sepanjang pendengaranku, dia adalah seorang pendekar besar yang banyak mencurahkan tenaganya untuk menolong orang-orang yang tertindas dan sengsara. Jadi, kalau dipikir-pikir, dia masih segolongan dengan kita. Bukankah kita juga bercita-cita untuk mendidik Heng San menjadi orang pandai dan budiman yang kelak menjadi penolong orang yang sengsara?”

“Akan tetapi kita menolong orang-orang menggunakan kelembutan, bukan dengan kekerasan seperti para pendekar silat!” bantah isterinya.

"Memang benar, akan tetapi harus kita ingat bahwa sekarang ini jamannya sudah berubah. Negara dijajah bangsa Mancu, dimana-mana terjadi perang dan pemberontakan melawan penjajah. Timbul pula banyak orang jahat yang mempergunakan kesempatan selagi Negara kacau untuk melakukan perampokan dan segala macam kejahatan. Hidup menjadi tidak aman. Maka, aku kira tidak ada jeleknya kalau Heng San mempelajari sedikit ilmu silat agar tubuhnya kuat dan dia kelak dapat menanggulangi segala macam bahaya kekerasan dengan tabah dan dapat menjaga diri terhadap serangan orang-orang jahat."

Isterinya menghela napas panjang. “Hem, ya sudahlah kalau begitu. Mudah-mudahan apa yang kau katakan itu semua benar demi kebaikan anak kita.”

Pat-jiu Sin-kai tidak mendengarkan lagi dan dia tersenyum puas dalam tidurnya.


Par-jiu Sin-kai dahulu tinggal di dekat kota raja Peking dan dia terkenal sebagai seorang guru silat yang memiliki kepandaian silat tinggi. Ketika pasukan Mancu menyerbu Peking dengan bantuan Bu Sam Kui dan mengalahkan pemberontak yang telah menjadi Kaisar Dinasti Beng yang baru, maka Pat-jiu Sin-kai juga ikut berjuang mempertahankan kota raja Peking.

Setelah pasukan kerajaan itu kalah dan terpukul mundur, keluar meningkalkan Peking, Pat-jiu Sin-kai pulang ke kampungnya. Akan tetapi alangkah kaget dan sedihnya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa dusunnya telah dibakar ketika terjadi perang, bahkan isteri dan anak tunggalnya dikabarkan tewas dalam keributan perang itu.

Walalupun tidak ada kuburan untuk isteri dan anaknya, Pat Jiu Sin-kai percaya bahwa mereka sudah mati. Dia begitu sedih dan terguncang hatinya sehingga dia menjadi seperti orang kehilangan semangat dan tak lama kemudia orang-orang mendapatkan dia mengembara dengan pakaian awut-awutan sebagai seorang pengemis. Dia merantau kemana saja kakinya membawanya dan dia sudah tidak ingat lagi akan namanya sendiri.

Akan tetapi karena watak pendekarnya masih ada, dimanapun dia berada, dia selalu menentang kejahatan. Banyak sekali penjahat telah dia robohkan, bahkan banyak jagoan-jagoan berilmu tinggi kalah olehnya sehingga dunia kangouw memberikan julukan Pat-jiu Sin-kai kepada orang yang telah melupakan namanya sendiri itu. Dia agaknya juga tidak pernah melupakan bahwa anak isterinya mati karena penyerbuan pasukan Mancu.

Maka dia menganggap bahwa Mancu sebagai musuh besarnya. Dimanapun dia berada, kalau bertemu dengan pembesar Mancu, tentu dia akan menyerang dan membunuhnya. Karena itu, selain nama Pat-jiu Sin-kai dikagumi dunia kang-ouw, nama itupun dibenci pemerintah baru Mancu dan para pembesar mengerahkan pasukan untuk dapat menangkap atau membunuhnya.

Pat-jiu Sin-kai sudah tidak memperdulikan dirinya lagi, tidak menjaga diri, tidak memperhatikan kesehatannya, tidak menjaga makannya yang tidak menentu, sehingga akhirnya dia terserang penyakit. Seringkali dia terserang penyakit jantung dan seringkali jatuh pingsan. Ketika dia lewat di dekat rumah Lauw Cin, penyakitnya kambuh dan dia jatuh pingsan ditepi jalan yang ketika itu amat sunyi. Untung baginya bahwa Heng San melihatnya. Kalau tidak, dia tentu sudah mati kaku kedinginan di luar rumah itu.

Sebagai seorang yang berwatak pendekar, dia tidak mau menerima budi orang tanpa membalas. Terutama sekali setelah melihat Heng San, dia teringat akan anak laki-lakinya sendiri dan dia suka pula melihat Heng San berbakat. Maka dia mengambil keputusan untuk menunda perantauannya yang tak ada ujung pangkalnya itu dan dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada Heng San.

Pat-jiu Sin-kai tidak tanggung-tanggung mewariskan ilmunya kepada Heng San. Dia menggembleng anak itu sedemikian rupa sehingga boleh dibilang tidak ada satu haripun terlewat tanpa latihan berat. Akan tetapi Heng San tidak pernah merasa berat, tidak pernah malas. Dia senang betul berlatih silat. Dia mulai mengabaikan pelajarannya tentang kesusasteraan dan lebih suka berlatih silat.

Lauw Cin dan isterinya tentu saja tidak senang melihat ini, akan tetapi mereka tidak berdaya. Mereka terlalu sungkan kepada Pat-jiu Sin-kai dan merekapun tidak tega menghentikan putera mereka dari kesenangannya. Mereka terlalu memanjakan Heng San. Maka merekapun diam saja.

Tubuh Heng San yang tadinya kurus lemah itu, tahun demi tahun mengalami perubahan besar. Walaupun dia masih kurus akan tetapi tubuh itu tampak tegap berisi dan kuat sekali. Terutama tangan kanan Heng San memiliki tenaga yang luar biasa kuat karena gurunya memberi pelajaran bermacam-macam ilmu yang lihai kepadanya, dari latihan memukul dan meremas pasir panas sampai meremas bubuk besi!

Akan tetapi ketika Pat-jiu Sin-kai hendak memberi ilmu silat yang menggunakan senjata tajam, Lauw Cin dan isterinya melarangnya. Ayah dan ibu ini merasa ngeri melihat putera mereka memainkan senjata tajam, seolah-olah mereka melihat anak mereka membunuhi orang dengan senjata-senjata itu atau setidaknya melukai orang. Padahal Lauw Cin adalah orang yang suka mengobati orang-orang sakit atau terluka.

Karena permintaan yang sangat dari kedua orang tua Heng San, Pat-jiu Sin-kai tidak memaksakan kehendaknya. Pengemis tua yang lihai ini masih tetap menaruh hormat kepada Lauw Cin yang disebutnya sebagai in-kong (tuan penolong). Maka diapun menggembleng Heng San dengan ilmu-ilmu silat tangan kosong yang amat lihai. Bahkan dia mengajarkan semacam ilmu silat tangan kosong khas untuk melawan dan menghadapi musuh-musuh yang bersenjata tajam.

Untuk menjadi ahli silat tangan kosong yang betul-betul tangguh, Heng San harus memiliki kepandaian silat tangan kosong yang lengkap. Ginkangnya (ilmu meringankan tubuhnya) harus tinggi agar dia dapat bergerak dengan gesit dan lincah seperti seekor kera.

Selain tenaga otot yang biasa disebut gwa-kang (tenaga luar) harus kuat, lwee-kang (tenaga dalam) harus terlatih baik, bahkan sin-kang (tenaga sakti) harus ditimbulkan dan dapat dikendalikannya dengan baik. Juga berdasarkan sin-kang ini dia diberi pelajaran Tiat-pouw-san (Baju Besi), semacam ilmu kebal sehingga senja baja biasa saja belum tentu dapat melukainya.

Setalah Heng San dilatih Pat-jiu Sin-kai selama lima tahun, Lauw Cin dan isterinya menganggap bahwa putera mereka sudah cukup lama mempelajari ilmu silat. Dia dan siterinya menemui Pat-jiu Sin-kai dan menyatakan pendapatnya.

"Paman yang baik, kami kira sudah cukup lama Heng San mempelajari ilmu silat, telah kurang lebih lima tahun. Dia kini sudah mulai dewasa, usianya sudah tujuh belas tahun. Sudah tiba waktunya bagi Heng San untuk memperdalam pengetahuannya tentang ilmu pengobatan agar dia dapat menggantikan kedudukanku dan melanjutkan usahaku."

Akan tetapi Pat-jiu Sin-kai memutar-mutar kedua matanya dan menggelengkan kepalanya. ”Belum, In-kong, Belum!” dia selalu menyebut In-kong (tuan penolong) kepada Lauw Cin. ”kepandaiannya masih belum matang dan belum cukup. Dia harus belajar lima tahun lagi!”

”Lima tahun lagi?” Suami Isteri itu berteriak hampir berbareng saking kagetnya mendengar ucapan pengemis tua yang kini berpakaian rapi dan bersih, dan tidak pantas disebut pengemis itu. ”Paman, untuk apa dia harus belajar lima tahun lagi?” teriak Lauw Cin penasaran. ”Apa gunanya? Apakah dia bisa tenang karena main silat? Apa dia bisa menghasilkan sesuatu dengan ilmu silatnya?”

”Benar sekali kata-kata suamiku, paman!” kata pula isteri Lauw Cin yang ikut menjadi penasaran. ”Untuk apa dia harus membuang-buang waktu untuk mempelajari ilmu silat lima tahun lagi? Dia sudah dewasa, harus mendapatkan jodohnya. Apakah kelak dia harus memberi makan anak dan isterinya dengan ilmu silat? Buktinya, dia bersusah payah mempelajari ilmu silat lima tahun dan apa hasilnya?”

Kakek itu menghela napas lalu melompat ke atas pembariangan dan duduk bersila. ”Hasilnya? Lihat saja sore nanti, pasti Heng San akan memperlihatkan hasil belajar silat selama ini.” Setelah berkata demikian, Pat-jiu Sin-kai lalu memejamkan kedua matanya, bersemedi seperti biasanya.

Melihat kakek bersamadhi, Lauw Cin dan isterinya tidak berani mengganggu lagi dan keluar dari kamar kakek itu. Mereka merasa penasaran dan tidak puas.

”Apa sih yang dimaksudkan ketika dia berkata bahwa sore nantu Heng San akan memperlihatkan hasilnya belajar silat selama ini?” isteri Lauw Cin mengomel ketika mereka sudah berada di dalam toko obatnya.

Pada sore harinya, ketika Lauw Cin dan isterinya sedang sibut membungkus obat, terjadilah keributan di atas jalan depan rumah dan toko mereka. Ada seorang anak penggembala menggiring tiga ekor kerbaunya, agaknya hendak diajak pulang ke kandang.

Tiba-tiba seekor dari kerbau-kerbau itu yaitu yang paling besar dan kuat karena kerbau itu jantan dan sudah dewasa, menguak dengan keras, lalu mendengus-dengus, mengguncang-guncang kepala yang bertanduk melengkung dan runcing itu, kemudian lari ke kanan kiri dan mengamuk.

”Awas...! Kerbau gila mengamuk! Lari...! Lari...!" terdengar beberapa orang berteriak dan semua orang yang berada di jalan itu berlarian cerai-berai.

Sebuah kereta dorong yang berada ditepi jalan, didepan toko Lauw Cin, diseruduk kerbau yang mengamuk itu sehingga menjadi berantakan dan pecah-pecah. Pendorongnya melompat dan lari sambil berteriak ketakutan. Kini kerbau yang mengamuk itu berada di dekat toko Lauw Cin.

Melihat kerbau yang matanya merah itu mendengus-dengus marah, Lauw Cin dan isterinya memandang ketakutan, bahkan Nyonya Lauw Cin menjadi pucat dan gemetaran. Apalagi ketika mereka melihat Heng San tiba-tiba melompat keluar dari toko dan dengan tenangnya pemuda itu menghadapi kerbau yang mengamuk.

”Heng San larilah...! Cepat lari Lauw Cin!" dan Isterinya menjerit-jerit.

Pemuda itu menoleh kepada mereka lalu tersenyum, ”Tenanglah, ayah dan ibu.” katanya. Kerbau gila itu kini melihat Heng San. Dia mendengus marah, mendudukan kepalanya, kaki depannya menggaruk-garuk tanah lalu menerjang ke depan.

”Heng San... Heng San... !!” kemudian ia terkulai lemas dalam pelukan suaminya. Pingsan!

Menghadapi serudukan kerbau itu Heng San bersikap tenang namun dengan gerakan tenang namun dengan gerakan lincah dia menghindar ke samping sehingga serudukan kerbau itu sempat membalik untuk menyerang lagi, dia melompat dekat ke samping kerbau, menggunakan tangan kiri menangkap tanduk kerbau dan tangan kanannya lalu menyambar dengan pukulan kilat ke arah kepala kerbau.

Lauw Cin yang memeluk isterinya dan memandang ke arah puteranya, mata terbelalak dan mukanya pucat, jantungnya berdebar tegang dan khawatir, hanya mendengar suara ”krakk” yang nyaring dan dia melihat betapa tubuh kerbau yang besar itu menjadi lemas dan roboh diatas tanah, tak begerak lagi, darah mengalir dari kepalanya yang pecah. Bukan Lauw Cin dan mereka yang kebetulan melihat peristiwa ini.

Bahkan Heng San sendiri jelas tampak heran dan terkejut sampai berdiri terbelalak memandang bangkai kerbau itu. Kemudian, seperti orang penasaran yang tidak percaya akan apa yang dilihatnya sendiri, pemuda itu membungkuk dan memeriksa kepala kerbau itu dan dia membersihkan tangannya yang berlepotan darah pada kulit leher kerbau itu.

Orang-orang datang berduyun-duyun untuk melihat jelas bahwa kerbau gila yang mengamuk itu telah tewas. Tiada habisnya mereka memuji ketangkasan dan kehebatan Heng San. Ramailah orang sekota membicarakan peristiwa itu. Mereka selain kagum juga terheran-heran karena sebelumnya tidak ada yang tahu bahwa Heng San telah mempelajari ilmu silat dari seorang sakti. Mereka memang tahu bahwa di rumah Lauw Cin tinggal seorang Kakek kurus kering yang tampak lemah. Lauw Cin hanya mengatakan bahwa kakek itu masih pamannya yang kini tinggal bersamanya.

Setelah memapah isterinya yang masih belum sadar benar dan masih lemas itu, Lauw Cin memanggil puteranya. Seorang pembantu toko disuruh menjaga toko dan Heng San memasuki kamar itu dengan senyum bangga karena kini baru dia menyadari bahwa selama bertahun-tahun tekun belajar silat, kini tampak bukti dan hasilnya. Pat-jiu Sin-kai juga berdiri diambang pintu kamar sambil tersenyum.

”Bagaimana pendapatmu tentang hasil latihan silat Heng San, Lauw In-kong?” tanya kakek itu.

Lauw Cin tidak dapat menjawab, hanya memandang wajah puteranya dengan kagum. Pada saat itu, Nyonya Lauw telah siuman kembali bangun duduk dan matanya mencari-cari. ”Heng San..., Heng San....”

Heng San segera menghampiri ibunya dan duduk disamping ditepi pembaringan. ”Aku disini, Ibu, jangan takut, aku tidak apa-apa.”

Ibunya memandang penuh kasih sayang dan ia menghela napas lega melihat anaknya berada didekatnya dengan selamat. Ia merangkul Heng San dan berkata, ”Ahh, Heng San, jangan engkau membuat ibumu kaget setengah mati seperti tadi. Engkau tidak terluka? Dan bagaimana kerbau itu tadi?”

”Kerbau itu tidak melukaiku dan aku berhasil memukulnya mati, ibu.”

”Ah, sukurlah.” kata ibunya kagum.

”Aku harus mengganti kerugian kepada pemilik kerbau itu!” kata Lauw Cin dan dia lalu menugaskan pembatunya menyelesaikan penggantian kerugian karena matinya kerbau itu. Kemudian, untuk merayakan kemenangan puteranya, Lauw Cin menyuruh orang membagi-bagikan daging kerbau itu kepada para tetangga.

”Nah, sekarang baru kalian suami isteri percaya bahwa apa yang kuajarkan kepada putera kalian tidak sia-sia, bukan?” kata Pat-jiu Sin-kai setelah mereka duduk makan malam bersama di ruangan makan.

”Saya girang sekali bahwa dia menjadi seorang pemuda yang kuat tangkas dan pemberani, paman. Banyak terima kasih atas bimbingan paman selama lima tahun ini.” kata Lauw Cin dan isterinya mengangguk menyetujui.

”Sekarang harap kalian tidak keberatan lagi membiarkan Heng San melanjutkan silatnya selama lima tahun lagi, agar dia menjadi seorang yang benar-benar kuat dan pandai sehingga kalian tidak perlu mengkhawatirkan keselamatannya lagi. Kalau dia sudah tamat belajar jangankan baru seekor kerbau mengamuk, biar ada seratus ekor kerbau gila sekalipun, di akan dapat menjaga diri dengan mudah. Pula, dia akan dapat menjadi seorang pendekar budiman sehingga nama kalian sebagai orang tuanya akan terangkat dan menjadi buah bibir dan pujian rakyat..”

Mendengar ucapan ini, Heng San kembali mendahului orang tuanya dan dia berlutut didepan gurunya. ”Suhu (guru), teecu (murid) mohon bimbingan Suhu sampai selesai.”

Pat-jiu Sin-kai tertawa girang ”Tentu saja aku akan lakukan itu Heng San, karena engkau memang aku ingin melihat engkau belajar sampai tamat.”

”Heran sekali, bagaimanakah kerbau itu tiba-tiba menjadi gila dan mengamuk?” Lauw Cin bertanya kepada Pat-jiu Sin-Kai yang tertawa bergelak mendengar pertanyaan itu dan kedua biji matanya semakin cepat berputaran.

”Sudah kukatakn tadi pagi bahwa Heng San akan memperlihatkan hasil pelajarannya. Sekarang setelah terbukti, kuharap kalian tidak ragu-ragu lagi dan merelakan hati kalian kalau aku melatih Heng San barang lima tahun lagi, agar dia kuat menjaga keselamatan diri sendiri, juga keselamatan orang tuanya dan menjunjung tinggi namaku sebagai gurunya.” Sambil masih tertawa girang, kakek itu lalu meninggalkan keluarga itu.

Tak seorangpun mengetahui bahwa kakek aneh itu tadi ketika tiga ekor kerbau yang digiring itu lewat depan rumah keluarga Lauw, menggunakan kepandaiannya menyambitkan sebatang jarum yang tepat mengenai belakang telinga kerbau terbesar sehingga binatang itu menjadi terkejut dan kesakitan lalu mengamuk. Dan diapun telah memesan untuk menghadapi kerbau yang mengamuk agar jangan sampai mencelakai orang-orang dijalan.

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.