Si Tangan Halilintar Jilid 03 karya Kho Ping Hoo - Akan tetapi, ketika Lauw Cin dan isterinya mendengar hal itu, mereka terkejut setengah mati dan keduanya cepat menyerbu kamar Heng San. Saat itu Heng San telah menceritakan pengalamannya kepada suhunya. Pat-jiu Sin-kai hanya tersenyum dan mengangguk-angguk membenarkan tindakan muridnya.
Pada saat mereka berbicara berdua sedang berbicara, masuklah Lauw Cin dan isterinya. Dari sikap orang tuanya yang menyerbu kamarnya dengan sikap tegang, maklumlah Heng San bahwa ayah ibunya sudah tahu akan apa yang terjadi di rumah peristirahatan pembesar Lauw itu.
”Heng San! Bagaimana sih engkau ini?” tegur ibunya, ”Engkau berani memukuli Bauw kongcu, putera jaksa Bauw sampai pingsan?”
”Barangkali engkau sudah gila!” bentak ayahnya, tidak peduli lagi bahwa Pat-jiu Sin-kai ada di situ. ”Engkau akan menyeret seluruh keluarga ini ke dalam malapetaka!”
”Ayah, Ibu, harap tenanglah. Aku sama sekali tidak bersalah. Bauw koncu itu dan selosin pengawalnya sedang hendak memerkosa tiga orang gadis baik-baik, apakah aku harus tinggal diam?”
Lauw Cin merasa mendongkol dan bingung sekali. Di lubuk hatinya, tentu saja dia dapat melihat bahwa perbuatan puteranya itu membela wanita-wanita yang diperkosa, bahwa perbuatan itu benar. Akan tetapi bagaimanapun juga hanya timbul dari hati sombong dan mengandalkan ilmu silat sehingga akibatnya mendatangkan permusuhan dan keributan.
”Huh, tahukah engkau bahwa perbuatanmu itu dapat membuat kita sekeluarga dijatuhi hukuman mati dengan tuduhan memberontak? Ah, anak bodoh! Aku harus cepat menghadap Bauw taijin!”
Lauw Cin segera berganti pakaian dan membawa semua uang tabungannya yang tadinya disimpan untuk persediaan kalau puteranya menikah dan untuk menambah modal. Kemudian sambil membawa semua uang itu pergilah dia ke rumah Bauw taijin.
Bauw taijin menerima Lauw Cin di ruangan tamu dan dia mengerutkan alisnya ketika pengawal memberitahu bahwa Lauw Cin datang menghadap. Ketika Lauw Cin muncul di pintu, dia segera menghardik. ”Hemmm, inilah yang bernama Lauw Cin, ayah dari pemuda pemberontah itu?”
Dengan kedua kaki gemetar Lauw Cin segera maju dan menjatuhkan dirinya berlutut. ”Saya mohon ampun sudilah kiranya paduka mengampuni anak saya yang bodoh. Ampunilah keluarga kami yang bodoh, taijin. Saya berjanji bahwa saya tidak berani melakukan kenakalan lagi. Semua ini hanya kesalah-pahaman, taijin, karena anak saya yang tolol itu tidak mengenal Bauw koncu. Untuk menyatakan penyesalan kami, saya mohon paduka sudi menerima sedikit bingkisan ini.”
Lauw Cin menyodorkan ”bingkisan”yang amat besar dan berat itu ke depannya dan kembali dia memberi hormat dengan membungkuk sambil berlutut sehingga berkali-kali dahinya menyentuh lantai. Akan tetapi pembesar itu menunjukkan pandang matanya ke bungkusan yang berat itu dan mengira-ngira berapa isinya.
”Anakmu itukah yang dikenal sebagai Heng San si pembunuh kerbau gila itu?” tanyanya.
”Betul, taijin. Anak saya hanya seorang pemuda kasar dan bodoh.”
”Hemm, dan anakmu itu juga yang telah mengalahkan guru silat Ciang Hok yang memimpin Hui-houw-bukoan itu, yang sekarang telah menutup perguruannya?”
”Be.... benar, tai-jin. Anak saya memang nakal sekali, suka membikin keributan. Akan tetapi saya berjanji untuk memperbaiki kelakuannya. Ampunkan kami, tai-jin yang mulia dan bijaksana.”
”Hemm, siapakah guru yang mengajar ilmu silat anakmu itu?”
Karena ingin mendapatkan ampun, Lauw Cin tidak berani berbohong. ”Yang mengajarnya adalah seorang... pengemis tua, tai-jin”
”Hehhh....? seorang pengemis?”
”Ya, dia sudah sepuluh tahun tinggal dirumah kami.”
”Siapakah namanya?”
”Kami tidak tahu siapa namanya, tetapi hanya mengetahui nama julukkannya saja, yaitu pat-jiu Sin-kai, tai-jin.”
Pembesar itu diam saja, akan tetapi diam-diam dia merasa terkejut bukan main. Dia sudah mendengar akan nama Pat-jiu Sin-kai ini sebagai seorang tokoh kang-ouw yng terkenal sakti, bahkan dia mendengar pula bahwa tokoh ini merupakan orang yang menjadi perhatian pemerintah karena dianggap sebagai orang yang anti pemertintahan Mancu.
Gentarlah hari Jaksa Bauw. Dia menekan kemarahannya, bukan saja melihat uang sogokan yang banyak itu, melainkan terutama sekali dia takut akan pembalasan Heng San dan gurunya kalau dia bertindak keras.
”Baiklah, sekali ini kami mengampuni keluargamu, akan tetapi kalau anakmu itu masih banyak ulah lagi, kami akan mengerahkan pasukan untuk menangkap dan menghukum seluruh kelaurgamu! Nah pergilah!”
”Terima kasih, tai-jin, terima kasih!” Lauw Cin memberi hormat berkali-kali lalu mengundurkan diri dengan hati lega akan tetapi juga jengkel sekali terhadap puteranya.
Setibanya di rumah dan melihat Heng San duduk di ruangan dalam bersama Pat-jiu Sin-kai, dia segera mendamprat anaknya didepan kakek itu. ”Heng San, engkau anak durhaka! Perbuatanmu memukuli Bauw kongcu dan para pengawalnya itu sungguh keterlaluan sekali! Aku memperbolehkan engkau belajar silat kepada gurumu bukan untuk membikin engkau menjadi seorang tukang pukul dan merendahkan nama orang tuamu saja! Engkau memancing permusuhan dan mencelakakan keluarga kita sendiri.”
”Akan tetapi, ayah. Orang-orang itu memang pantas dipukul!”
Lauw Cin menggebrak meja dengan marah ”Engkau yang pantas dipukul! Kenapa engkau usil dan suka mencampuri urusan orang lain? Dengar baik-baik, mulai sekarang engkau kularang keluar dari rumah ini. Mulai sekarang engkau harus membantu aku mengurus pekerjaanku, dan belajar bekerja. Aku sudah tua, siapa yang akan menjadi penggantiku kalau aku mati, kecuali engkau? Engkau bukan belajar menjadi penolong orang dan mempelajari pengobatan, sebaliknya engkau malah menjadi pemukul dan mencelakai orang orang lain!” setelah berkata demikian, ayah yang marah itu meninggalkan Heng San dan Pat-jiu Sin-kai yang sejak tadi hanya diam saja.
Tak lama kemudian, ibu Heng San memasuki kamar itu sambil menangis. ”Ah, ada apakah, ibu?” Heng San bangkit dan merangkul ibunya.
Nyonya Lauw merangkul anaknya sambil menangis. Setalah reda tangisnya, nyonya itu berkata, ”Aduh, Heng San, kenapa engkau membikin ayahmu marah dan ibumu bersedih hati? Tahukah engkau akibat dari pemukulanmu terhadap Bauw kongcu? Ayahmu menguras semua harta simpanan kita untuk diberikan kepada Bauw tai-jin agar pembesar itu tidak mencelakai kita. Padahal..... semua harta itu dikumpulkan selama bertahun-tahun, disediakan untuk pernikahan dan modal usaha.” Ibu itu menangis lagi.
Heng San membujuk dan menghiburnya. Setelah berhenti menangis, nyonya Lauw meninggalkan ruangan itu, tanpa berkata apapun bahkan tanpa menoleh kepada Pat-jiu Sin-kai. Heng San merasa sedih sekali, dia tidak dapat mengerti mengapa ayahnya marah dan mengapa pula ayahnya menyerahkan semua simpanan hartanya kepada bauw tai-jin. Bukankah putera pembesar Mancu itu yang bertindak jahat mengganggu gadis dan bahkan hendak memperkosanya?
Bukankah para pengawal itupun hendak memperkosa dua orang gadis pembantu itu? Bukankah dengan menghajar mereka dan dia telah menolong tiga orang gadis itu dan telah membuat jera laki-laki jahat yang mengganggu keamanan penduduk Lin-han-kwan? Mengapa bahkan ayahnya mengatakan dia tukang pukul orang dan tukang mencelakai orang?
Dia duduk termenung, tenggelam ke dalam kesedihan sehingga lupa bahwa gurunya juga duduk dalam ruangan itu dan sejak tadi mengamatinya sambil tersenyum.
”Seorang laki-laki tidak perlu bersedih atau kecewa dan putus asa menghadapi segala persoalan yang datang, melainkan sepatutnya menghadapinya sebagai tantangan. Di mana kejantananmu? Tidak perlu bersedih, tidak perlu melamun, yang perlu bertindaklah!"
”Bagaimana teecu harus bertindak, suhu? Sekali ini teecu bukan menghadapi sembarang orang yang dengan mudah saja dapat teecu lawan! Teecu menghadapi kemarahan ayah dan kesedihan ibu, bagaimana teecu dapat bertindak.”
”Heng San, aku tidak terlau menyalahkan ayah ibumu. Mereka adalah orang-orang yang baik budi namun lemah. Mereka tidak tahu apa-apa tentang kegagahan dan keadilan yang dijunjung tinggi orang-orang gagah dunia kang-ouw seperti kita.”
”Lalu, apa yang harus teecu lakukan suhu? Ayah melarang teecu keluar rumah dan mengharuskan teecu menbantu pekerjaan ayah di toko obat. Teecu tidak berani membantah dan menentang kehendaknya.”
Pat-jiu Sin-kai tersenyum dan mengelus jenggotnya yang jarang. ”Hemmm, terserah kepadamu. Kalau begitu, turuti saja kemauan ayahmu.”
Heng San mengehela napas dan mengerutkan sepasang alisnya yang hitam tebal. ”Teecu tidak suka, suhu. Teecu tidak suka berdiam saja dirumah, terkurung dan menjadi ketak dalam sumur, tidak dapat melihat keadaan dunia di luar sumur.”
Pat-jiu Sin-kai mengangguk-angguk dan tersenyum lebar. ”Memang demikianlah sifat seorang pendekar silat, Heng San, selalu ingin merantau meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman, ingin menegakkan kebenaran dan keadilan. Muridku, aku berhutang nyawa kepada ayahmu dan sampai matipun aku tidak mau menyakiti hatinya. Akan tetapi kini kulihat bahwa engkau memang tidak berjodoh untuk menjadi tukang obat seperti ayahmu. Engkau bertulang pendekar.
"Semua ilmu kepandaianku sudah kuajarkan kepadamu dan aku tidak memyombong kalau kukatakan bahwa tingkat kepandaianmu sudah cukup tinggi dan engkau tidak perlu kuatir lagi menghadapi para penjahat. Bekal kepandaianmu cukup untuk menjadikan engkau seorang pendekar yang disegani, walaupun tentu saja masih banyak orang yang tingkatnya sama bahkan lebih tinggi darimu.”
”Lebih tinggi, suhu? Teecu ingin bertemu dengan mereka dan meluaskan pengetahuan dengan belajar dari mereka.”
Pat-jiu Sin-kai tersenyum lebar. ”Demikianlah seharusnya semangat orang muda. Selalu tidak mau kalah dan ingin memperoleh kemajuan. Akan tetapi, Heng San, sesungguhnya untuk masa ini, tidaklah mudah mencari orang yang pantas menjadi gurumu. Tingkat kepandaianmu sudah cukup tinggi, hanya belum matang. Kalau saja engkau merantau di dunia kang-ouw selama tiga atau lima tahun saja, pengetahuanmu juga bertambah dan kepandaianmu dengan sendirinya akan meningkat."
"Merantau seperti para pendekar, seperti yang sering suhu ceritakan itu?"
"Ya, seperti para pendekar itulah, menjalankan darma bakti dengan menolong sesama manusia yang mendapatkan kesukaran dan terutama yang tertindas. Membela kebenaran dan keadilan, membasmi mereka yang jahat dan yang meng gunaki:m kekuatan dan kekuasaan menindas kaum lemah. Dengan begitu, maka tidak akan sia-sialah engkau bersusah payah mempelajari ilmu silat selama sepuluh tahun ini."
"Ah, suhu! Itulah yang menjadi cita-citaku, yang kupikirkan siang malam."
Gurunya memandang penuh selidik, lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Heng San, bagaimanapun juga, lebih baik aku berterus terang kepadamu. Ketahuilah bahwa segala sesuatu di dunia ini mempunyai dua permukaan yang berlawanan. Permukaan yang baik dan permukaan yang buruk. Merantau sebagai seorang pendekar meluaskan pengalaman, memang ada baiknya, akan tetapi juga ada buruknya."
"Apakah buruknya, suhu?"
"Permukaan atau segi buruknya banyak, Heng San. Banyak sekali godaan bagi orang yang hidup merantau. Kehidupannya menjadi liar, tidak tetap, bahaya mengancam dari mana-mana. Dan jika engkau tidak berhati-hati, banyak hal yang dapat menyeretmu ke jalan sesat yang selalu menjanjikan kenikmatan dan kesenangan. Lihatlah aku ini sebagai contoh. Aku tukang merantau, malang melintang di dunia kang-ouw. Apa jadinya dengan diriku?
"Setelah tua, aku menjadi seorang gelandangan yang berpenyakitan, tiada gunanya, seorang pengemis tua yang tentu sudah mati kedinginan di tepi jalan kalau saja ayahmu tidak demikian baik hati menolongku. Memang, ada benarnya juga ayahmu memaksa engkau mengikuti jejaknya. Kalau engkau menjadi pengganti ayahmu, engkau akan dikawinkan, berumah tangga, memiliki anak-anak dan hidup bahagia dengan keluarga, tidak menghadapi bahaya dan dapat hidup damai dan tenteram."
"Akan tetapi teecu tidak suka, suhu. Teecu merasa bosan dengan kehidupan tenteram tanpa tantangan. Teecu justeru ingin dihadapkan tantangan dan bahaya, ingin menempuh bahaya, ingin menguji kekuatan sendiri, dan ingin hidup bebas seperti seekor burung di udara."
Pat-jiu Sin-kai memandang muridnya dan kedua matanya berputaran, mulutnya tersenyum lebar. "Memang begitulah darah pemuda! Nah, kalau sudah tetap pendirianmu, tidak pergi sekarang mulai dengan pengembaraanmu, mau tunggu kapan lagi?"
Heng San terkejut dan menatap wajah gurunya dengan mata terbelalak. "Sekarang, suhu?"
"Ya, sekarangl Takutkah engkau? Masih ragu-ragu?"
"Tidak, suhu. Apakah, suhu hendak pergi juga? Mari kita merantau bersama, suhu."
"Hemm, engkau menghendaki kawan? Takutkah engkau pergi seorang diri? Kalau takut, lebih baik tidak usah pergi, Heng San."
"Bukan takut, suhu. Akan tetapi kalau suhu hendak pergi, bukankah lebih baik kalau kita pergi bersama?"
"Tidak, Heng San. Kita harus berpisah. Sudah sepuluh tahun engkau belajar silat dariku. Kini aku sudah tua, tubuhku sering sakit. Aku harus mengaso. Engkau pergilah sendiri, akan tetapi ingat baik-baik. Jangan sekali-kali membiarkan dirimu diperhamba nafsu sendiri, jangan mempergunakan semua ilmu yang selama ini kau pelajari untuk berbuat jahat. Kalau sampai engkau tersesat dan menecemarkan nama baik orang tuamu dan gurumu dengan perbuatanmu yang jahat, aku akan mencarimu dan menghukummu!"
"Tee-cu akan selalu menaati semua petunjuk dan perintah suhu. Malam hari ini juga teecu akan berangkat pergi, harap suhu dapat menutupi kepergian teecu sehingga ayah dan ibu tidak akan tahu sebelum besok pagi."
"Baiklah, Heng San."
Heng San lalu menjatuhkan diri berlutut di de pan suhunya. "Teecu menghaturkan ban yak terima kasih at as semua bimbingan suhu selama ini."
Pat-jiu Sin-kai mengangkat bangun pemuda itu dan Heng San lalu berkemas. Setelah malam tiba, dia menggendong buntalan pakaian dan bekalnya, meninggal kan sepucuk surat dalam sarmpul yang sudah ditulisnya tadi, kemudian dia melompat keluar dari jendela kamarnya, menyelinap dalam kegelapan malam dan meninggalkan rumah orang tuanya.
Beberapa kali dia harus menoleh dan memandang rumah yang diselimuti kegelapan malam itu, rumah di mana dia terlahir dan di mana selama duapuluh dua tahun dia hidup dan tumbuh dewasa. Ketika dia teringat akan orang tuanya, terutama ibunya, kedua matanya menjadi panas dan basah. Hampir saja dia membatalkan kepergiannya. karena merasa iba kepada ibunya.
Akan tetapi dalam telinga nya terngiang kata-kata suhunya, "Seo-rang jantan yang gagah perkasa harus berani mengambil keputusan, tabah dan tidak cengeng!"
Dia lalu melompat dan pergi meninggalkan rumah itu, meninggalkan kota Lin-han-kwan dan pergi tanpa tujuan tertentu karena memang niatnya merantau, ke mana saja hati dan kedua kakinya akan membawanya.
Pada keesokan harinya, ketika matahari telah naik tinggi namun belum melihat Heng San keluar dari kamarnya, Nyonya Lauw lalu mengetuk daun pintu kamar puteranya. Tidak ada jawaban. Ia mendorong pintu dan ternyata daun pintu terbuka. Kamar itu kosong, pembaringan tampak rapi, tidak kusut. Jendela kamar itu juga terbuka.
Ketika melihat sebuah sampul tertutup di atas meja, Nyonya Lauw merasa jantungnya berdebar tegang. Diambilnya sampul surat itu dan berlari mencari suaminya yang berada di depan, di toko obat mereka. Kedua tangan nyonya itu gemetar, seolah ia merasakan firasat yang tidak baik.
"Kamar Heng San kosong, pembaringannya tidak ditiduri dan dia tidak ada. Aku menemukan surat bersampul ini di atas meja dalam kamarnya." katanya dan suaranya juga gemetar.
Lauw Cin mengerutkan alis dan menerima surat itu, lalu sampul dibukanya dan surat dibacanya. Setelah membaca surat itu, wajahnya menjadi pucat dan kemudian berubah merah sekali. "Dasar anak put-hauw (tidak berbakti)!" serunya sambil melempar surat itu ke atas meja.
Isterinya cepat menyambar surat itu dan membacanya dengan kedua tangan yang memegang surat itu gemetar. Belum habis ia membacanya, ia telah menangis tersedu-sedu. Lauw Cin merampas surat itu dari tangan isterinya dan seperti orang yang masih penasaran dan tidak percaya, dia membaca sekali lagi surat itu
"Ayah-ibu yang tercinta,
Saya mohon beribu ampun bahwa saya pergi tanpa pamit dan tanpa Ijin ayah-ibu. Saya ingin sekali merantau, meluaskan pengalaman. Saya akan merasa sengsara kalau diharuskan selalu tinggal di dalam rumah seperti seorang anak perempuan. Harap ayah dan ibu tidak terlalu marah, dan jagalah kesehatan ayah dan ibu, jangan sampai jatuh sakit. Sekali lagi. ampunkan saya dan saya mohon doa ayah ibu. Kalau saya telah kenyang merantau, pasti saya akan pulang dan siap menerima hukuman yang hendak ayah ibu jatuhkan kepada saya.
Dari anak yang tidak berbakti, Lauw Heng San."
"Ini semua gara-gara pengemis tua itu! Dia harus bertanggung jawab. Kalau Heng San tidak belajar silat darinya, tentu dia tidak akan meninggalkan kita." Ia lalu menangis tersedu-sedu.
Lauw Cin juga marah sekali. Diikuti isterinya, dia lalu melangkah lebar menuju ke dalam, mencari Pat-jiu Sin-kai yang duduk termenung dalam kamarnya. Kakek itu segera bangkit berdiri melihat Lauw Cin yang merah mukanya itu memasuki kamarnya bersama Nyonya Lauw Cin yang menutupi muka sambil menangis.
"Lauw-inkong dan toanio, selamat pagi." kata Pat-jiu Sin-kai sambil memberi hormat.
"Kau... kau harus bertanggung jawab atas semua ini" bentak Lauw Cin marah sambil melemparkan surat yang ditinggalkan Heng San kepadanya.
Dengan sikap tenang Pat-jiu Sin-kai menangkap surat itu. Dia tidak terkejut atau heran karena dia sudah menduga bahwa kedua orang tua muridnya itu tentu akan menyalahkannya dan dia sudah siap untuk menghadapi mereka. Diapun tahu bahwa saatnya untuk meninggalkan tempat itu sudah tiba. Setelah membaca surat itu, dia mengembalikannya kepada Lauw Cin, lalu memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk, dan berkata.
"Baiklah, Lauw-inkong dan Lauw-toanio, kalau ji-wi (kalian berdua) menyalahkan aku karena kepergian Heng San, aku menerimanya. Aku hendak pergi mencarinya dan tidak akan kembali sebelum menemukannya. Harap ji-wi tidak terlalu khawatir tentang diri Heng San. Dia telah memiliki kegagahan dan kepandaian yang cukup kuat untuk menjaga diri. Aku orang tua yang tiada guna ini sudah cukup lama menjadi beban, sudah cukup lama menerima budi jiwi dan sampai matipun aku tidak akan lupa bahwa di dunia ini terdapat sepasang suami isteri yang budiman. Nah, selamat tinggal!"
Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan tubuhnya. Suami isteri itu hanya melihat sesosok bayangan berkelebat cepat keluar dari ruangan itu. Mereka berdua hanya menghela napas panjang dan pada hari-hari berikutnya Lauw Cin harus selalu menghibur isterinya dan mereka berdua hampir setiap malam menyalakan hio-swa (dupa biting) untuk bersembahyang dan mohon kepada Tuhan agar putera mereka dilindungi.
Heng San melakukan perjalanan dalam perantauannya, tanpa tujuan tertentu. Mula-mula, perjalanannya itu mendatangkan kegembiraan dalam hatinya. Apa saja yang dilihatnya dalam perjalanan itu merupakan pemandangan baru. Kalau dia melakukan perjalanan melalui pegunungan, dia melihat betapa luasnya dunia ini dan betapa indahnya pemandangan alam.
Kalau dia memasuki sebuah kota yang besar dan ramai, dia mendapat kenyataan betapa kota Lin-han-kwan sebetulnya hanya merupakan kota yang kecil. Dia merasa kagum dan gembira dan mulai dapat menikmati perantauannya.
Pada suatu hari dia memasuki kota Leng-koan. Kota ini merupakan kota terbesar yang pernah dilihatnya selama dalam perjalanannya. Dia berjalan-jalan di sepanjang jalan yang ramai. Ketika dia melihat sebuah toko obat yang besar dengan papan nama "Pao-an-tong" dia teringat akan ayah ibunya dan tiba-tiba saja dia merasa rindu sekali kepada mereka.
Tak terasa dia sudah meninggalkan rumah selama hampir enam bulan atau setengah tahun. Teringat akan orang tuanya, maka terkenanglah dia akan kota Lin-han-kwan, membuat dia berdiri termenung sampai lama di depan toko obat itu. Seorang setengah tua keluar dari toko dan menghampirinya.
"Tuan hendak mencari obat apakah?" tanya orang itu.
Heng San terkejut mendengar pertanyaan ini dan dia segera sadar dari lamunannya. "Saya tidak mencari apa-apa," jawabnya sambi! menggeleng kepalanya.
Mendengar jawaban ini, tiba-tiba orang setengah tua itu mengubah sikapnya. Kalau tadi dia ramah dan sopan, kini dia cemberut, mukanya merah dan ucapannya kasar. "Kalau tidak mencari apa-apa, mengapa berdiri sejak tadi dan melihat-lihat seperti orang mencari-cari? Apa kau hendak mencuri?"
Merah muka Heng San mendengar ini. Darah naik ke kepalanya dan ingin dia memukul orang itu. Akan tetapi perasaan ini ditahannya. Dia tidak ingin membikin ribut. Orang itu demikian sombongnya dan hal ini sungguh di luar dugaannya. Disangkanya bahwa semua pemilik toko obat orangnya ramah dan lembut seperti ayahnya. Akan tetapi orang ini demikian kasar dan tidak sopan. Tanpa menengok lagi diapun meninggalkan orang itu dengan muka merah.
Heng San mengambil keputusan untuk bermalam di kota itu selama dua tiga hari untuk melihat-lihat kota yang ramai. Akan tetapi ketika dia mencari kamar di rurnah penginapan, ternyata semua rumah penginapan telah penuh. Hari itu kebetulan ada perayaan gotong toapekong di kota itu sehingga banyak pengunjung datang dari kota-kota lain untuk membayar kaul atau sekedar nonton keramaian. Akhirnya, setelah berputar-putar, dia mendapatkan juga sebuah kamar berukuran kecil di sebuah rumah penginapan sederhana.
Kembali dia menghadapi sikap yang membuatnya mendongkol. Pengurus rumah penginapan itu menyambutnya dengan pandang mata penuh selidik akan tetapi jelas yang diselidiki itu bukan dia, melainkan pakaiannya yang sederhana, dan tidak baru. Dia kehabisan bekal pakaian bersih, semua pakaiannya kotor dan dia belum sempat mencucinya, maka sejak kemarin dia belum berganti pakaian.
"Sewanya semalam sepuluh logam tembaga dan harus bayar di mukaI" katanya dengan nada memandang rendah dan penuh kecurigaan.
Mukanya yang masih merah karena marah menghadapi sikap kurang ajar pemilik toko obat tadi menjadi semakin merah. Dia marah dan malu. Marah melihat sikap pengurus rumah penginapan dan malu karena sesungguhnya uangnya memang tinggal sedikit sekali, paling banyak tinggal dua tail dan beberapa potong logam tembaga. Ketika meninggalkan rumah, dia membawa lima puluh tail akan tetapi uang itu habis untuk biaya makan dan penginapan selama setengah tahun.
Dia mengeluarkan uang yang dua tail perak dan menyerahkannya kepada pengurus penginapan itu. "Terimalah dua tail ini dulu."
Orang pendek kurus itu mencabut pipa tembakau yang tadi menancap di mulutnya, lalu mementang mulut yang giginya menghitam karena candu tembakau itu dan keluar ucapannya yang galak. "Mana ada aturan begini? Kalau tidak bisa membayar uang muka lima tail, lebih baik pergi."
"Sobat, kelak kalau kurang, pasti akan kulunasil" kata Heng San.
"Tidak bisa! Sekarang tidak punya uang, kapanpun tidak punya uang. Engkau mau mengakali aku? Tidak bisa, harus penuh lima tail perak untuk uang muka, tidak boleh kurang satu thi (logam tembaga) pun. Bayar sekarang atau pergi sekarang jugal" orang itu mengusir dengan lagak sombong sekali.
Heng San tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Akan tetapi dia masih ingat dan tidak memukul orang, hanya dia menggenggam uang dua tail perak itu dan mengacungkan uang yang dikepal itu di depan hidung pengurus penginapan dan menghardik, "Kalau engkau tidak menahan mulutmu yang kotor dan penuh candu itu, akan kuhancurkan seperti uang ini!"
Dia menggenggam uang perak itu dan ketika dia membuka kepalan tangannya dia memperlihatkan dua potong uang perak yang telah pecah berkeping-keping dalam tangannya! Pengurus penginapan itu memandang telapak tangan Heng San dengan mata terbelalak dan wajahnya menjadi pucat. Sikapnya berubah seketika dan dia membungkuk-bungkuk sambil berkata,
"Maaf, tai-ong (raja besar), maafkan saya. Mari silakan, tempatilah kamar yang kosong ini, soal uang pembayaran kapanpun boleh"
"Engkau manusia brengsek. Jangan sebut aku tai-ong, apa kau kira aku ini kepala rampok?"
"Maaf, tai-hiap (pendekar besar), harap maafkan sikap saya tadi. Di sini seringkali terjadi penipuan. Orang-orang datang minta kamar dan setelah pergi mereka tidak mau membayar. Karena itu kami minta uang muka sebanyak lima tail lebih dulu."
"Hemm, engkau harus mempergunakan matamu baik-baik dan dapat membedakan siapa penipu dan siapa bukan."
Dengan hati masih gemas Heng San memasuki kamar satu-satunya yang masih kosong itu. Sebuah kamar yang kedl dan kotor sekali. Melihat kamar yang kotor itu, uang sewa sepuluh tjhi juga masih mahal. Marahlah hatinya. Ah, benar-benar orang kota inl penipu dan pemeras. Dia berteriak memanggil pelayan.
Seorang palayan tua berlari-Iari memasuki kamarnya. Berbeda dengan pengurus tadi, pelayan itu sikapnya cukup hormat sehingga agak redalah kemarahan dalam hati Heng San. "Siauw-ya (tuan mluda) memerlukan apakah?" tanyanya.
"Kamar ini kotor sekali. Coba tolong bersihkan dan pasanglah kain tilam kasur yang leblh bersih."
Pelayan itu memandang Heng San dengan sinar mata heran. "Siauw-ya hendak menyewa kamar ini?"
"Ya, kenapa?" Heng San balik bertanya.
Pelayan itu menoleh ke kanan kiri, agaknya takut kalau-kalau ada orang lain akan mendehgarnya. "Siauw-ya, berapakah siauw-ya membayar untuk menyewa kamar ini?"
Heng San cemberut teringat akar kekurang-ajaran pengurus tadi. "Aku harus membayar sepuluh chi semalam dan memberi uang muka sebanyak lima tail. Kenapakah?"
Pelayan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terlalu... terlalu...! Memang aku tahu, orang she Leng itu penipu besar. Masa kamar semacam ini disewakan ke orang, dan semahal itu? Ah, siauw-ya, kalau engkau percaya omongan seorang tua seperti saya, lebih baik carilah kamar di lain penginapan, karena di penginapan ini sudah penuh dan tidak ada kamar lain kecuali yang ini."
"Eh? Apa maksudmu dengan ucapan itu, paman? Heng San memandang penuh selidik dan terheran. "Aku mencari di mana-mana, semua penginapan sudah penuh maka aku terpaksa menerima kamar ini."
"Orang she Leng itu telah menipumu. Kamar ini adalah.... kamar hantu! Siapapun tidak pernah bermalam di sini. Tidak seorangpun berani. Jangankan disuruh bayar uang muka lima tail, diberi upahpun tidak akan ada yang berani." Pelayan tua itu bergidik, merasa seram.
Sepasang mata Heng San terbelalak. "Apa katamu? Kamar hantu?"
"Sstt...., jangan keras-keras bicara, siauw-ya. Dengar keteranganku, siauwya. Sudah sejak kurang lebih tiga bulan yang lalu sampai sekarang, tidak seorang pun berani tidur di kamar ini. Tiap kali ada orang tidur di sini, pada tengah malam dia tentu diganggu hantu sehingga malam-malan dia lari keluar sambi berteriak-teriak ketakutan.
"Bahkan telah ada beberapa orang tabah dan merasa jagoan bermalam di sini untuk membuktikan, akan tetapi mereka itupun berteriak-teriak dan berlari keluar pada tengah malam dan semenjak itu, tak seorangpun berani bermalam di kamar ini. Dan sekarang, orang she Leng itu memberikan kamar ini kepada siauw-ya hanya karena siauw-ya orang luar kota dan tidak tahu akan rahasia kamar hantu ini, bahkan ditambah dengan membayar uang muka lima tail. Sungguh terlalu..... terlalu sekali....."
Diam-diam Heng San mengerling dan memandang ke sekeliling dalam kamar akan tetapi tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan. "Hemm, harap engkau jangan main-main, paman. Benarkah apa yang kau ceritakan itu?"
"Ah, saya sudah tua, siauw-ya. Untuk apa saya berbohong kepadamu?"
"Mengapa orang-orang yang tidur di sini berlarian ketakutan? Apa yang mengganggu mereka?"
"Macam-macam cerita mereka. Ada yang merasa dirinya diangkat orang dan tahu-tahu telah pindah di kolong tempat tidur. Ada yang melihat bayangan setan. Ada yang tahu-tahu tubuhnya terasa kaku tidak mampu bergerak untuk beberapa lamanya. Ah, macam-macamlah cerita mereka. Pokoknya mereka merasa terganggu oleh sesuatu yang mengerikan. Maka akan lebih baik bagimu kalau engkau pindah saja, siauw-ya."
"Pindah ke mana, paman?"
"Ke mana saja, asal tidak di dalam kamar hantu ini."
"Akan tetapi, sudah kukatakan bahwa semua penginapan agaknya sudah penuh tamu."
"Kalau perlu, siauw-ya boleh tidur di rumah saya, yaitu kalau siauw-ya sudi tidur di rumah gubuk yang bobrok."
Heng San memandang orang tua itu dengan senyum terima kasih dan girang. Kiranya tidak semua orang di kota ini berhati buruk, pikirnya. Pelayan miskin dan tua ini adalah seorang yang berhati baik dan bersih.
"Paman," katanya dengan suara lembut dan ramah. "Terima kasih atas kebaikanmu. Tidak, aku tidak takut. Biarlah aku mencoba pula bagaimana rasanya diganggu hantu."
Pelayan tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan memandang heran. "Siauwya aneh, sungguh aneh sekali..." dan dia mulai membersihkan kamar itu seperti diminta Heng San, kemudian dia meninggalkan pemuda itu setelah memandangnya sekali lagi dengan heran dan menggeleng kepalanya...