Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 01

Novel silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo. Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 01
Sonny Ogawa

Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 01 Karya Kho Ping Hoo - Di antara cabang persilatan yang besar dan terkenal, Siauw-lim-pai memiliki nama besar dan nama ini amat disegani oleh cabang-cabang persilatan lain, tidak saja kerena ilmu silat Siauw-lim-pai memang tinggi tingkatnya, akan tetapi, terutama sekali oleh karena Siauw-lim-pai terkenal sebagai cabang persilatan yang dipimpin oleh orang-orang berjiwa patriot dan gagah berani.

Tiga Dara Pendekar Siauwlim karya Kho Ping Hoo

Hal ini terbukti dari usaha perjuangan para anak murid dan tokoh-tokoh Siauw-lim-pai untuk menumbangkan kekuasaan Kerajaan Ceng-tiauw (penjajah dari utara) dan membangun kembali Kerajaan Beng-tiauw. Dan selain ini, banyak pula anak murid Siauw-lim-pai mengembara di seluruh daratan Tionglok untuk melakukan darma baktinya kepada rakyat, membela pihak yang tertindas dan menghancurkan petualangan-petualangan jahat yang mengganggu keamanan kehidupan rakyat jelata.

Pada jaman dinasti Ceng-tiauw, tidak ada penjahat yang lebih kejam dan jahat daripada pembesar negeri. Mereka ini merupakan pengkhianat-pengkhianat bangsa, menjadi hamba kerajaan penjajah dan menggunakan kekuasaan kedudukannya untuk melakukan pemerasan dan penindasan kepada para petani, bangsa mereka sendiri.

Pembesar-pembesar macam inilah yang oleh rakyat miskin disebut srigala bertopeng kulit domba. Di luarnya saja ia menjadi seorang pembesar yang berkedudukan tinggi, bersopan santun seperti seorang pelajar, halus tutur sapanya, lemah lembut gerak-geriknya dan pakaiannya indah-indah.

Padahal di dalamnya bersembunyi jiwa jahat yang amat kejam, yang dapat melihat orang mati kelaparan sambil menikmati hidangan lezat. Orang-orang yang melakukan pemerasan kepada para petani dengan menggunakan segala macam peraturan dan pajak sebagai kedok kejahatan mereka.

Tokoh-tokoh Siauw-lim-pai paling benci terhadap pembesar-pembesr macam ini, maka banyak pembesar jahat yang dibunuh atau dilukai, diancam bahkan dirampas harta bendanya oleh para pendekar Siauw-lim-pai. Hal ini tentu saja membuat Siauw-lim-pai dibenci oleh para pembesar dan dianggap sebagai sebuah cabang persilatan yang berbahaya sekali bagi keselamatan kedudukan mereka.

Mulailah mereka menggosok-gosok atasan mereka sampai kepada Kaisar, mengusulkan agar cabang persilatan Siauw-lim-pai ini dibasmi saja, karena ada gejala-gejala bahwa Siauw-lim-pai hendak memberontak! Memang pada waktu itu, kata-kata memberontak itu merupakan senjata yang paling ampuh untuk menjatuhkan seorang atau suatu perkumpulan.

Namun, para pembesar tinggi sampai kepada Kaisar sendiri, tidak berani sembarangan mengganggu Siauw-lim-pai yang pada saat itu merupakan perkumpulan silat yang amat kuat dan besar. Di mana-mana telah dibuka perkumpulan ini, merupakan kuil Siauw-lim-si di mana terdapat banyak sekali pemuda-pemuda mempelajari ilmu silat tinggi.

Cabang-cabang persilatan yang lain seperti Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain memang telah lama iri hati melihat kejayaan Siauw-lim-pai dan sering kali terjadi bentrokan yang timbul karena anak murid masing-masing tak mau saling mengalah. Maka, biarpun tokoh-tokohnya tidak ikut dalam pertikaian ini, setidaknya di dalam hati mereka telah timbul perasaan tidak enak dan bermusuhan.

Kini mendengar betapa Siauw-lim-pai mulai dibenci oleh kalangan pembesar di kota raja, cabang-cabang persilatan yang lain itu bersikap masa bodoh terhadap penjajahan bangasa Boan di tanah air mereka.

Kaisar dan para pembaesar yang merasa sangsi untuk mengganggu Siauw-lim-pai, lalu menggunakan akal dan muslihat yang amat licin, yakni mereka lalu mencari hubungan dengan cabang persilatan lain dan meminjam tangan mereka untuk memukul Siauw-lim-pai. Dengan siasat Kaisar, cabang-cabang persilatan itu dihasut dan diadu dombakan dengan Siauw-lim-pai!

Maka terjadilah pertempuran hebat yang menjalar kepada tokoh-tokoh besar masing-masing. Padahal, ketua dari berbagai cabang persilatan itu sesungguhnya masih saudara seperguruan sendiri, misalnya Ketua Siauw-lim-pai di Hok-kian yang bernama Cie Sian Siansu dengan ketua-ketua dari Bu-tong-pai dan Go-bi-pai pada waktu itu.

Ketua Bu-tong-pai yang berkedudukan di Ouw-pak bernama Pang To Tek, sedangkan ketua Go-bi-pai di Su-coan bernama Pek Bi Tojin. Tiga tokoh yang amat terkenal ini masih saudara seperguruan, karena mereka pernah belajar silat di bawah pimpinan Seng Liong Tianglo.

Dengan adanya permusuhan dan pertempuran antara cabang persilatan ini, lemahlah kedudukan Siauw-lim-pai sehingga akhirnya, Kaisar dan kaki tangannya berhasil juga menghancurkan Siauw-lim-pai dan membakar Kuil Siauw-lim-si yang besar dan megah. Tokoh-tokoh Siauw-lim-pai selain banyak yang tewas, juga sebagian besar lalu melarikan diri tersebar di mana-mana mencari tempat persembunyian masing-masing.

Semenjak itu, orang tidak mendengar lagi adanya anak murid Siauw-lim-pai, karena para tokoh yang berhasil melarikan diri itu, bersembunyi di gunung-gunung, di tempat sunyi, dan yang berada di dunia ramai tidak menyatakana diri sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai!

Akan tetapi semangat mereka tak pernah padam, dan para pendekat Siauw-lim-pai ini, biarpun tidak kuat menentang Kaisar, masih tetap melakukan darma baktinya terhadap rakyat dengan jalan menolong mereka dan membasmi kejahatan-kejahatan setempat dengan mempergunakan kepandaian mereka yang tinggi.

Kaisar sendiri maklum bahwa biarpun Kuil Siauw-lim-si telah dibakar, akan tetapi bahaya dari pihak mereka masih belum lenyap, bahkan Kaisar asing ini yang sangat cerdik selalu mencurigai perkumpulan silat, maka dengan menggunakan pengaruh uang, Kaisar mulai menarik tenaga para ahli silat yang diberi kedudukan tinggi untuk menjaga keselamatan Kaisar dan istana.

Banyak orang-orang gagah dapat dibujuk dan diberi pangkat. Mereka ini dikumpulkan di kota raja dan terbentuklah barisan-barisan pengawal Kaisar seperti Kim-i-wi (Pasukan Pengawal Kaisar Berpakaian Sulam Emas) dan lain-lain. Namun, biarpun kedudukan Kaisar di kota raja amat kuat, para orang gagah yang masih bercita-cita menumbangkan kedudukannya, benar-benar tak kenal takut!

Apalagi anak murid Siauw-lim-pai yang masih muda-muda dan berdarah panas. Mereka merasa sakit hati sekali kepada Kaisar ini dan berkali-kali, sambil mengerahkan tenaga para rakyat petani, mereka datang menyerbu dan memberontak di kota raja, membunuh banyak pembesar tinggi, akan tetapi akhirnya mereka sendiri terbunuh oleh para busu (Pahlawan Kaisar) yang gagah perkasa.

Cerita ini dimulai dengan penyerbuan pemberontak yang terdiri dari para petani di bawah pimpinan pendekar muda itu di kota raja. Para pemberontak yang terdiri dari seratus orang lebih, menyerbu ke dalam kota raja dan di waktu malam gelap itu, terjadilah pertempuran yang hebat sekali. Banyak gedung pembesar tinggi dibakar oleh para pemberontak itu sehingga kota raja menjadi geger dan gaduh.

Setelah para perwira istana keluar memimpin pasukan penjaga barulah para pemberontak dapat dipukul mundur, meninggalkan kawan mereka yang luka atau tewas. Pasukan penjaga mengejar mereka dan pertempuran itu terjadi lagi di luat tembok kota. Karena ternyata bahwa para pemberontak itu dipimpin oleh orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka korban yang jatuh di pihak pengejar banyak juga.

Di antara pemberontak ini terdapat seorang laki-laki tinggi besar yang gagah sekali kalau kawannya bertempur melawan pengejar, ia sendiri bahkan melarikan diri dari situ di atas seekor kuda sambil membawa lari tiga anak kecil yang diikat menjadi satu dan ditaruh di atas kudanya. Anak-anak itu menangis, akan tetapi mereka tidak berdaya dan sebentar saja kuda dan laki-laki itu telah lenyap ditelan malam gelap.

Pemimpin pasukan pengejar, seorang perwira tinggi besar dan bersenjata golok, segera mengejar pula dengna cepat. Akan tetapi kuda yang ditunggangi oleh orang yang dikejarnya itu lebih baik dan lebih cepat larinya sehingga sukar baginya untuk menyusul.

“Hun Tiong, kau tidak mau mengembalikan anak-anakku?” teriak perwira itu dengan marah sambil mengeluarkan gendewa dan anak panahnya.

“Kembalikan?” teriak laki-laki itu tanpa menoleh. “Aku akan penggal kepala mereka di depan anak isteriku! Ha-ha-ha...!” dan ia lalu membalapkan kudanya makin cepat.

Perwira itu mementang gendewannya dan “Ser! Ser! Ser!” tiga batang anak panah meluncur cepat menuju ke arah punggung orang itu. Laki-laki itu tangan kirinya memeluk tiga orang anak tawanannya, dengan tangan memegang kendali kuda, sedangkan tangan kanannya memegang sebatang pedang.

Ia sabetkan pedangnya ke belakang ketika mendengar suara anak panah, akan tetapi anak panah itu lihai dan cepat sekali. Ia berhasil menangkis dan meruntuhkan dua batang, akan tetapi yang ketiga dengan cepat menancap pada punggungnya.

“Aduh...!” laki-laki itu menegluh, akan tetapi ia menggigit bibir menahan sakit dan cepat membalapkan kudanya maju ke depan.

“Hun Tiong...! Berhenti...!” terdengar seruan perwira itu, akan tetapi oleh karena malam itu gelap dan laki-laki itu kini telah masuk ke dalam sebuah hutan, perwira tadi tak dapat mengejarnya lagi dan segera kehilangan musuhnya. Ia mencari-cari sampai fajar, berputar-putar di dalam hutan itu, akan tetapi hasilnya nihil. Pada keesokan harinya, perwira itu terpaksa menjalankan kudanya menuju ke kota raja kembali dengan kepala ditundukkan dan wajahnya pucat sekali.

“Hun Tiong... betul-betulkah kau akan membunuh tiga anakku...?” bisiknya lemah dan teringatlah ia akan peristiwa beberapa bulan lalu di dusun Kian-bun-cung. Ketika itu, dikabarkan bahwa beberapa orang pemberontak sedang berkumpul di dusun itu dan sedang menghasut penduduk ikut memberontak. Hal ini diketahui oleh para penyelidik yang lalu membuat laporan ke kota raja.

Ia dan pasukannya ditugaskan melakukan pembersihan di dusun itu dan ketika peasukannya tiba di situ, benar saja ia menghadapi perlawanan yang hebat dari para pemberontak yang dipimpin oleh Nyo Hun Tiong. Pasukannya lebih kuat dan pemberontak dapat dipukul mundur bahkan rumah yang dijadikan sarang itu telah dapat dibakar oleh anak buahnya.

Akan tetapi, sungguh-sungguh tak dinyana bahwa di dalam rumah besar itu terdapat beberapa orang wanita dan kanak-kanak menjadi keluarga para pemberontak, dan di antaranya terdapat isteri Nyo Hun Tiong dan dua orang anaknya. Ketiga orang ini mati di dalam gedung yang terbakar itu. Perwira itu menarik napas panjang. Kini Nyo Hun Tiong telah berhasil menculik ketiga orang puterinya yang masih kecil dan ia tahu bahwa pemimpin pemberontak itu tentu tak mau mengampuni anaknya.

Anak-anaknya tentu akan dibunuh sebagai pembalasan sakit hatinya dulu. Tak terasa pula dua butir air matanya menitik turun dari pelupuk mata perwira yang tinggi besar itu. Ke mana ia harus mengejar? Ia maklum bahwa Nyo Hun Tiong tak begitu bodoh untuk membawa anak-anak yang diculiknya itu ke Kian-bun-cung dan akan percuma saja kalau ia mengejar ke sana.

Setelah bertemu dengan anak buahnya di luar hutan, perwira itu lalu kembali ke kota raja untuk membuat laporan. Di sepanjang jalan ia tunduk saja dan tidak mau bicara, sedangkan seluruh anggota pasukan juga tidak ada yang berani membuka mulut karena mereka tahu akan bencana yang menimpa keluarga perwira itu. Agaknya para pemberontak yang menyerbu kota raja kali ini sengaja datang untuk membalas dendam kepada perwira yang malang ini.

Pada saat rombongan pengawal dari istana ini kembali ke kota raja yang masih beberapa puluh li jauhnya dari situ Nyo Hun Tiong masih menjalankan kudanya menuju ke selatan. Ia sudah nampak lelah sekali dan mukanya pucat bagaikan mayat. Anak panah yang dilepas oleh perwira malam tadi masih saja menancap di punggungnya.

Ternyata bahwa Nyo Hun Tiong ini berwajah gagah dan tampan sekali, akan tetapi melihat kumis dan jenggotnya yang tidak karuan dan pakaiannya yang kotor, dapat diduga orang ini sedang mengalami kedukaan hebat dan sama sekali tidak memikirkan keadaan dirinya sendiri. Memang semenjak isteri dan dua anaknya tewas dalam penyerbuan Kaisar dan mati terbakar di rumah itu, ia seperti menjadi gila dan hidupnya hanya diisi dengan satu tujuan, yakni membalas dendam.

Tiga orang anak perempuan yang kini berada di atas kudanya ini, tadi ia tangkap di dalam gedung perwira yang dulu memimpin pasukan penyerbu Kian-bun-cung sehingga menewaskan anak isterinya. Melihat tiga orang anak ini, timbul dendam hatinya dan ia lalu menangkap dan menculik mereka, diikat menjadi satu dengan ikat pinggangnya lalu dinaikkan ke atas kuda dan dibawa lari.

Semenjak diculiknya, ketiga orang anak kecil itu tiada hentinya menangis dan menjerit-jerit, akan tetapi ia seakan-akan menjadi tuli dan tidak mendengar suara mereka sama sekali, bahkan yang terdengar tangis anaknya yang tewas dimakan api! Kini, anak-anak itu tertidur karena lelahnya dan untuk pertama kalinya Nyo Hun Tiong memandang kepada mereka.

Dengan pinggang masing-masing terikat sabuk sutera, dan tubuh mereka didudukkan di atas kuda dalam keadaan tumpang tindih, keadaan mereka itu tiada ubanya seperti tiga ekor anak kelinci yang baru saja tertangkap di dalam hutan. Nyo Hun Tiong menjalankan kudanya perlahan karena kuda itupun telah menjadi lelah sekali dan ia memandang kepada tiga orang anak perempuan itu dengna perhatian haru.

Harus diakui bahwa anak-anak ini sangat mungil, berkulit putih bersih dan sehat-sehat. Dua anaknya yang mati terbakar dulu tidak semungil anak-anak perempuan ini. Mereka ini masih kecil-kecil, yang besar paling banyak umur lima tahun dan yang kecil tak lebih dari dua tahun.

Tiba-tiba Nyo Hun Tiong menggigit bibir dan mengatupkan kedua matanya. Punggungnya terasa sakit sekali dan rasa panas perih memanggang seluruh tubuhnya. Sakitnya terasa sampai ke ujung jari kakinya, berdenyut-denyut dan yang membuat kepalanya pening. Ketika ia membuka matanya sebentar, pohon-pohon dan tanah di depan kudanya seolah-olah berputar-putar.

Ia mengeluh dan tak kuat menahan lagi. Kendali kudanya terlepas, juga pelukan tangan kirinya kepada anak-anak itu mengendur, ia merasa lelah sekali, lelah dan lemas akhirnya tanpa dapat ditahan lagi tubuhnya terguling dari atas kudanya.

Untuk beberapa lama ia tak tahu apa-apa, tidak ingat apa-apa dan tidak merasa sesuatu karena ia telah roboh pingsan. Ketika ia jatuh dari atas kudanya, sungguh malang baginya ia jatuh terlentang dan anak panah yang menancap di punggungnya menjadi makin dalam menancapnya dan menjadi patah gagangnya.

Ketika ia siuman kembali dan pelupuk matanya mulai bergerak-gerak, ia merasa tubuhnya ringan sekali seakan-akan terapung-apung. Sayup-sayup sampai ia mendengar suara tangis perlahan sekali, akan tetapi makin lama makin jelaslah suara tangis itu, seakan-akan yang menangis makin datang mendekat. Padahal pendengarannyalah yang makin lama makin kuat dan kini ia mendengar suara tangis yang jelas sekali. ia memperhatikan tanpa membuka matanya. Tangis anaknya! Benar tangis anaknya!

“Hong-ji...” mulutnya berbisik menyebut anaknya yang kini didengar tangisnya itu. Ah, bukan hanya tangis anak sulungnya, karena ia mendengar bahwa yang menangis ada dua atau tiga orang anak, kedua anaknya yang menangis itu! Ah, mengapa ibunya tidak mau menolongnya? Mengapa dibiarkan saja kedua anaknya menangis demikian sedihnya?

Hampir saja Nyo Hun Tiong menjadi marah dan mengeluarkan makian kepada isterinya yang dianggap keterlaluan. Akan tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa mereka telah mati! Ia membuka matanya dan... ternyata bahwa yang menangis itu adalah tiga orang anak kecil yang tadi diculiknya.

Ketika ia terjatuh dari atas kuda, ketiga orang anak yang tertidur itupun terguling ke bawah karena mereka tidak ada yang memegang lagi. Dalam keadaan tertidur dan terikat, mereka berjatuhan ke bawah berhimpit-himpitan, hingga mereka menjadi terkejut, kesakitan dan menangis keras. Kuda yang tadi mereka tunggangi, terkejut dan berlari congklang, pergi dari tempat itu.

Biarpun ketiga orang anak kecil itu menangis sekuat-kuatnya, namun siapakah yang akan mempedulikan mereka? Siapa yang mendengar mereka? Orang satu-satunya yang ada di dekat mereka rebah di atas tanah dalam keadaan terlentang dan sama sekali tidak bergerak bagaikan mayat.

Melihat anak-anak ini, timbullah kemarahan di hati Nyo Hun Tiong. Inilah musuh-musuhnya! Ia telah berusaha untuk membalas dendam kepada perwira itu, akan tetapi perwira itu terlalu tangguh, terlalu pandai ilmu silatnya dan ia tidak berdaya membalas dendam. Akan tetapi anak-anak ini?

Mereka adalah anak-anak dari perwira itu, biarlah ia membunuh ketiga orang anak itu, kalau ia tidak berhasil membalas dendam perwira itu. Biar dirasakan oleh perwira jahanam itu betapa sengsara dan sedihnya kematian anak seperti yang dia alami sendiri.

Pikiran Nyo Hun Tiong sudah tak beres lagi. Ia menjadi beringas dan wajahnya seram sekali. Ia mengambil keputusan untuk membunuh ketiga orang anak kecil itu. “Harus kubunuh sekarang... aku tak kuat membawa mereka ke makan anak isteriku...” bisiknya dan dengan marah ia lalu menggerakkan tubuh hendak melompat berdiri.

Akan tetapi ia menjerit ngeri karena gerakan tubuhnya itu mendatangkan sakit yang luar biasa dan tak tertahankan hingga ia roboh lagi. “Aduh...” ia mengeluh sambil merintih menahan sakit, “Aku tak kuat lagi... aduh... aku harus kuatkan... kuatkan tubuh sebentar lagi... aku harus membunuh mereka dulu sebelum menyerah pada maut...”

Sambil menggigit bibir dan menahan rasa sakit yang membuat peluhnya memenuhi mukanya, Nyo Hun Tiong berusaha sedapat mungkin untuk menghampiri ketiga orang anak-anak itu. Biarpun dengan amat sukar, namun dengan menggunakan tangan, kaki, dan dagunya, ia dapat juga maju sedikit-sedikit!

Alangkah girangnya ketika akhirnya ia dapat juga tiba di dekat anak-anak itu. Mata Nyo Hun Tiong menjadi merah dan melebar, mulutnya menyeringai seakan-akan seekor harimau siap hendak menerkam kelinci. Ia ingin menikmati kepuasan terakhir dari pembalasan dendamnya, ingin menikmati kepuasaan nafsu dendam dan marah.

Sepasang matanya menjadi bundar karena dipentang lebar dan tak pernah berkedip lagi. Ia menatap anak-anak itu, berganti-ganti dan mendengar tangis mereka yang riuh rendah itu ia tersenyum, seakan-akan mendengar nyanyian yang merdu. Ia mengangkat tangan kanan yang memegang pedangnya ke atas, menatap anak itu sekali lagi dan... tiba-tiba ia berseru keras,

“Hong-ji...!” ia melemparkan pedangnya ke belakang dan menubruk, memeluk anak yang terbesar, menciumnya dan menangis. “Hong-ji... anakku... Hong-ji...”

Nyo Hun Tiong benar-benar telah menjadi gila! Anak yang terbesar itu dalam pandangan matanya berubah menjadi anaknya sendiri yang telah tewas dimakan api! Memang anak itu hampir sama besarnya dengan anak perempuannya sendiri yang amat disayanginya.

Kini Nyo Hun Tiong mengerahkan sisa tenaganya untuk melepaskan sabuk sutera yang mengikat pinggang ketiga anak itu. Kedua tangannya gemetar karena tenaganya telah lemah dan hampir habis. Maka ia lalu menggigit putus sabuk itu. Karena ia masih belum dapat bangun dan melakukan hal ini sambil tubuhnya masih menelungkup, maka tentu saja kelihatan ganjil sekali.

Akhirnya Nyo Hun Tiong berhasil juga melepaskan ikatan itu dan dengan nafas terengah-engah ia memandang kepada ketiga orang anak yang masih menangis perlahan dan memandangnya dengan ketakutan itu. “Hong-ji... kau... kau harus membalaskan sakit hati ayahmu... kelak kau harus membunuh jahanam yang bernama Lee Song Kang.”

Karena terlampau menggunakan tenaganya, Nyo Hun Tiong menjadi lemah sekali dan kembali ia roboh pingsan dalam keadaan menelungkup. Ketiga orang anak itu hanya memandang dengan bingung dan ketakutan. Lebih-lebih anak terbesar yang usianya telah empat tahun lebih dan disangka anak sendiri oleh Nyo Hun Tiong tadi, anak ini berhenti menangis seakan-akan tertarik oleh sesuatu, ia mendekati Nyo Hun Tiong, meraba-raba rambut kepalanya dan bertanya,

“Kau... kau sakitkah? Punggungmu penuh darah... tentu kau sakit sekali! Baiklah! Aku akan membunuh Lee Song Kang.” Anak yang telah menderita ketakutan dan kekagetan hebat ini tiba-tiba merasa amat kasihan kepada orang yang melepaskan ikatan dia dan kedua adiknya tadi.

Pada saat itu, dari jauh berkelebat bayangan putih yang gesit sekali gerakannya dan tahu-tahu seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih telah berdiri di tempat itu. “Nyo Hun Tiong...!” laki-laki itu berseru terkejut sekali dan berlutut di dekat tubuh Nyo Hun Tiong yang tak bergerak.

Ia memeriksa nadi tangan dan ketika melihat anak panah yang menancap di punggung itu, ia menggelengkan kepalanya. Ia lalu menggigit bibirnya dan mencabut keluar anak panah itu. Akan tetapi, ternyata bahwa dari luka itu tidak keluar darah, karena darahnya telah mengering. Kembali orang itu menggelengkan kepalanya, lalu mengeluarkan guci arak di dalam saku bajunya dan memberi minum mulut Nyo Hun Tiong yang kini dipangku kepalanya.

Nyo Hun Tiong siuman kembali dan menggerakkan bibirnya perlahan. “Hong-ji... kau harus bunuh... Lee Song Kang...”

“Nyo Hun Tiong...!” laki-laki setengah tua itu memanggil perlahan dan Nyo Hun Tiong membuka matanya memandang. “Yap-supek...!” Nyo Hun Tiong berbisik dan suaranya telah terdengar kosong.

“Siapa yang melakukan hal ini?” tanya Yap Sian Houw, atau supek (uwa guru) dari Nyo Hun Tiong itu.

“Siapa lagi...? Lee Song Kang... yang telah membunuh anak isteriku... membunuh pula banyak kawan-kawan... ahh...”

Yap Sian Houw memandang ke arah tiga anak itu dengan heran. “Anak ini siapakah?”

Nyo Hun Tiong mengerling ke arah mereka. Kini ia telah sadar dan tidak melihat anak-anak itu sebagai anaknya sendiri, akan tetapi nafsu untuk membunuhnya telah lenyap bersama dengan semangatnya, ia merasa lemah... lemah sekali jasmani dan rohani.

“Mereka ini...?” tiba-tiba Nyo Hun Tiong menggerakkan kedua bola matanya dengan aneh sehingga Yap Sian Houw memandang gelisah. Pergerakan mata seperti ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah berubah ingatannya.

“Ha-ha-ha!” Nyo Hun Tiong tertawa geli, “Mereka ini juga korban-korban dari keganasan Lee-ciangkun, bangsat rendah itu! Mereka ini anak seorang anggota pasukanku, dan tentu akan mampus di tangan bangsat Lee kalau aku tidak segera menolongnya... Yap-supek, terimalah permohonan teecu yang penghabisan! Tolonglah supek didik anak-anak ini, beri pelajaran ilmu silat tinggi agar kelak dapat membalaskan sakit hatiku dan sakit hati orang tua mereka, agar mereka dapat membunuh mampus bangsat she Lee itu...!” setelah berkata demikian Nyo Hun Tiong tiba-tiba menangis tersedu-sedu dan jatuh pingsan lagi!

Tiga orang anak kecil itu mendengar suara orang menangis, ikut pula menangis, bahkan yang terbesar berkata, “Akan kubunuh bangsat she Lee itu...!”

Yap Sian Houw menggeleng-geleng kepalanya melihat keadaan ini dan betapapun ia berusaha, kali ini Nyo Hun Tiong pingsan dan tak dapat siuman kembali karena ia telah menghembuskan napas terakhir! Setelah mendapat kenyataan bahwa Nyo Hun Tiong telah mati, Yap Sian Houw lalu menggali lubang tanah, di bawah sebatang pohon pek, lalu ia mengubur jenazah Nyo Hun Tiong dengan sederhana.

Kemudian ia menggunakan pedangnya untuk mencoret-coret beberapa huruf di batang pohon itu dan melihat dari gerak pedangnya yang sekali digerakkan saja sudah dapat mencetak huruf yang indah dan bergaya gagah, dapat diketahui bahwa laki-laki setengah tua ini memiliki tenaga lwee-kang dan kepandaian amat tinggi! Kemudian Yap Sian Houw memandang kepada tiga orang anak kecil itu dan ia merasa suka sekali kepada mereka, anak-anak ini benar-benar mungil dan manis.

“Siapa nama kalian?” tanyanya kepada orang terbesar.

“Namaku Siang Lan,” jawab yang terbesar, lalu menuding kepada adiknya yang hampir sama besarnya dan sama pula mukanya dengan dia. “Dan ini adikku Hwe Lan.”

“Aku Sui Lan!” kata yang terkecil dengan cepat dan cedal sehingga Yap Sian Houw tersenyum geli. Anak-anak ini benar-benar lucu dan harus dikasihani.

“Siapa nama ayahmu dan kalian siapa?” tanyanya pula.

Akan tetapi ketiga orang anak itu saling pandang, agaknya tidak mengerti maksud pertanyaannya. Orang tua itu mengulang pertanyaannya kepada yang terbesar yang mengaku bernama Siang Lan, akan tetapi anak-anak ini benar-benar tidak tahu, hanya menjawab, “Ayahku tinggi besar dan baik sekali. Pakaiannya indah dan pandai bermain-main!”

“Namanya siapa?”

“Namanya...? Namanya... Tia-tia (Ayah)!”

Orang tua itu menggelengkan kepalanya. “Sudahlah, kalau kalian tak tahu nama ayahmu, kau she apa?”

Akan tetapi kembali pertanyaan ini sulit dimengerti oleh anak-anak kecil itu yang hanya memandang bodoh. “Lapar...!” tiba-tiba Sui Lan yang berusia dua tahun lebih itu berteriak mulai mewek.

Orang tua itu menjadi bingung dan berkata. “Sabarlah, biar kucarikan makanan di jalan.”

“Ayo kita pergi dari sini!” ia lalu menggendong Sui Lan dan mengajak anak yang lain untuk mulai berjalan, akan tetapi Hwe Lan cemberut dan berkata, “Akupun minta digendong!”

Yap Sian Houw tertawa dan terpaksa ia menggendong Hwe Lan pula yang manja itu. Akan tetapi, biarpun Siang Lan diam saja, dan berusaha untuk berjalan sambil lari-lari agar jangan sampai tertinggal, namun memang bagi Yap Siang Houw sukar sekali untuk berjalan bersama seorang anak-anak yang usianya baru empat tahun lebih. Kalau ia mengajakn anak kecil itu berjalan kaki, sampai kapankah ia akan sampai ke tempat tinggalnya yang jauhnya puluhan li itu?

“Siang Lan mari kau kugendong sekalian!” katanya dan menurunkan Hwe Lan dan Sui Lan.

“Jangan turunkan adikku, biarlah aku berjalan saja, kau gendong mereka!” kata Siang Lan yang menyangka bahwa kedua adiknya akan disuruh berjalan kaki.

Di dalam hatinya, Yap Sian Houw memuji sifat anak ini yang biarpun masih kecil, akan tetapi sudah dapat mengalah dan memiliki watak membela adik-adiknya. “Aku akan menggendong kalian ketiga-tiganya!” kata Yap Sian Houw.

Dan ia lalu membuat selendang dari ikat pinggangnya yang dikalungkan ke punggung dan kemudian ia menggendong Siang Lan dan Hwe Lan di atas punggungnya, terikat dengan selendangnya itu. Adapun Sui Lan yang terkecil ia pondong dengan tangan kiri, dan dengan cara demikian, pendekar tua itu lalu dapat melakukan perjalanan dengan cepatnya.

“Lopek, apakah kita akan pulang ke rumah ibu?” tiba-tiba Siang Lan bertanya dari belakang pundaknya.

Mendengar pertanyaan Siang Lan ini, kedua adiknya yang tadinya tertawa-tertawa senang karena digendong dan dibawa lari hingga mereka lupa kepada ayah ibu, kini mereka teringat dan mulai menangis.

“Pulang... pulang ke rumah ayah!” Hwe Lan yang menjadi kesayangan ayahnya mulai menjerit-jerit.

“Mana ibu...! Aku mau ikut ibu...! Lapar...!” Sui Lan juga memekik-mekik dan menangis.

Bukan main bingung hati Yap Sian Houw melihat keadaan ini. Ia adalah seorang yang tak pernah menikah dan tak pernah punya anak, maka biarpun ia sayang melihat anak-anak kecil ini, ia sama sekali tidak tahu bagaimana caranya menghibur mereka. Tiba-tiba ia teringat akan sahabat baiknya yang tiggal di dalam sebuah kuil tak jauh dari situ yakni Thian Hwa Nikouw yang baik hati itu.

Setelah mengambil keputusan ini, Yap Sian Houw lalu merubah arah perjalanannya ke barat. Biarpun tempat yang ditujunya ini lebih dekat dengan tempat tinggalnya sendiri dan ia mempergunakan ilmu lari cepat Hui-heng-sut (Ilmu Lari Terbang), namun setelah hari menjadi senja, barulah ia tiba di depan kuil tua itu di kaki bukit Liong-cu-san. Di tengah jalan ia memetik buah-buahan untuk memberi makan kepada anak-anak itu.

Kedatangan Yap Sian Houw disambut oleh seorang nikouw (pertapa wanita pemeluk agama Buddha) gundul yang usianya lima puluh tahun lebih. Nikouw ini memandang heran melihat kedatangan sahabatnya yang membawa tiga orang ank perempuan kecil. “Eh, Yap-enghiong, siapakah anak-anak yang mungil dan manis ini? Apakah muridmu?”

“Memang muridku, karena mau tidak mau aku harus menerima mereka ini sebagai murid. Akan tetapi, terus terang saja, Suthai, kalau kau tidak mau membantuku merawat dan mendidik anak-anak ini, rasanya aku takkan sanggup!”

“Mengapa begitu?” tanya nikouw itu.

Makin keraslah tangisnya dan kini Hwe Lan yang melihat adiknya menangis keras lalu mulai ikut-ikutan menangis pula. Siang Lan yang terbesar lalu memeluk kedua adiknya dan juga menangis, sungguhpun tangisnya berbeda dengan tangis kedua adiknya, karena anak ini menangis dengan perlahan dan hanya air matanya yang mengucur deras, berbeda dengan kedua adiknya yang seakan-akan saling berlomba tak mau kalah keras tangisnya.

“Nah, inilah yang menjadi sebab mengapa aku tidak sanggup!” kata Yap Sian Houw sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Thian Hwa Nikouw tersenyum, lalu ia pondong Hwe Lan dan Sui Lan, dibawa masuk dan Siang Lan digandengnya, dibujuk-bujuk dan ia mengambil klenengan kecil dari meja sembahyang, dibunyikan dan diberikan kepada dua orang anak itu yang segera menjadi diam karena tertarik dan suka hatinya.

“Dan ini pula sebabnya maka terpaksa aku mohon kebaikanmu untuk membantuku mendidik anak-anak ini, Thian Hwa Suthai!” kata Yap Sian Houw pula setelah nikouw itu keluar lagi dengan tiga orang anak perempuan yang sekarang telah diam itu.

Sui Lan bermain klenengan kecil, Hwe Lan mendapat tambur kecil, dan Siang Lan diberi setangkai bunga merah yang dibuat dari kain merah. Selain itu ketiga orang anak itu masing-masing memegang sepotong roti pemberian nikouw itu.

Thian Hwa Nikouw tersenyum. “Yap-enghiong, bisa saja kau mengganggu ketenteraman hidupku. Akan tetapi, ini bukan berarti aku menolak permintaanmu. Tidak, bahkan aku menerima dengan senang sekali. Pinni (Aku) merasa seakan-akan cahaya matahari yang mulai surut itu bertambah hangat dan bercahaya. Anak-anak ini akan kupelihara baik-baik dan akan menghibur jiwaku. Aku suka menerima mereka, Yap-enghiong. Akan tetapi mereka ini anak-anak siapa dan bagaimana mereka kau bawa ke sini?”

Yap Sian Houw tidak dapat banyak bercerita tentang anak-anak itu karena dia sendiri juga tidak tahu. Dia hanya menuturkan bahwa dia bertemu dengan Nyo Hun Tiong, murid keponakannya yang terkenal sebagai seorang pemimpin rakyat yang memberontak terhadap pemerintah penjajah Mancu, dan bahwa Nyo Hun Tiong telah terluka parah, hampir mati sambil membawa anak-anak ini.

“Menurut dia, anak-anak ini adalah anak dari seorang kawan seperjuangannya yang hampir saja menjadi korban keganasan perwira-perwira kerajaan dan yang berhasil ditolongnya. Entah siapa nama orang tua mereka karena Nyo Hun Tiong tak sempat memberitahukan kepadaku dan anak-anak ini sendiri sudah tak ingat lagi siapa nama orang tua mereka, bahkan she sendiri merekapun telah lupa atau mungkin juga belum tahu!”

Demikianlah, secara singkat Yap Sian Houw menuturkan pengalamannya kepda Thian Hwa Nikouw sehingga pertapa wanita itu menaruh hati kasihan kepada mereka. Sambil mengelus-elus rambut kepala Siang Lan, ia berkata,

“Kasihan sekali anak-anak ini, Nyo Hun Tiong berkata benar, anak-anak ini harus dididik baik-baik dan diberi pelajaran tinggi agar kelak mereka bisa menjaga diri, dan bisa melanjutkan cita-cita orang tua mereka, menjadi pembela kebenaran dan keadilan. Ah, pinni berterima kasih sekali kepadamu yang telah membawa anak-anak ini kemari, Yap-enghiong. Akan tetapi, kaulah yang bertugas memberi pelajaran ilmu silat kepada mereka, karena aku sendiri tak mempunyai kepandaian apa-apa selain mendidik mereka dengan sedikit ilmu menulis dan membaca!”

“Aah, jangan terlalu merendahkan diri, suthai. Siapa yang tidak kenal akan kelihaian gin-kang dan lwee-kang dari Thai-san-pai? Dan siapa pula yang tak kenal akan kehebatan senjata rahasiamu Thi-lian-ci (Biji Teratai Besi).”

“Tidak, Yap-enghiong. Mereka ini harus menjadi muridmu, harus memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang tinggi. Tentu saja pinni akan mengajarkan apa yang pinni bisa, akan tetapi, pinni tidak mengangkat sebagai murid, bolehlah pinni dianggap sebagai wali mereka.”

“Bagus, itupun sama saja!” kata Yap Sian Houw. “Maksudkupun mareka ini hanya akan kuberi pelajaran dasar-dasarnya saja dan kelak apabila aku berhasil mencari dan berjumpa dengan tokoh-tokoh perguruan Siauw-lim-pai yang terpencar dan belum diketahui tempatnya, aku akan mohon pertolongannya mereka untuk melatih anak-anak yang bernasib malang ini!”

Demikianlah, semenjak hari itu, ketiga orang anak perempuan itu, yakni Siang Lan, Hwe Lan, dan Sui Lan, tinggal di dalam kuil itu dengan perawatan yang amat telaten dan penuh cinta kasih dari Thian Hwa Nikouw. Karena mereka masih terlampau kecil untuk dilatih silat, maka Yap Sian Houw meninggalkan tempat itu dan berjanji akan sering kali datang menengok. Pendekar ini tidak lupa meninggalkan beberapa potong uang emas kepada sahabatnya untuk membantu biaya pemeliharaan tiga orang anak itu.

Siapakah sebenarnya Yap Sian Houw dan Thian Hwa Nikouw ini? Karena mereka berdua ini penolong-penolong dan guru pertama dari tiga anak perempuan yang menjadi calon tokoh terpenting dalam cerita ini, maka perlu kita mengenal mereka lebih baik lagi.

Yap Sian Houw adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang sudah menduduki tingkat tinggi juga, karena ia adalah seorang murid dari Cie Sian Siansu yang menjadi ketua dari Siauw-lim-pai. Yap Sian Houw ini terkenal sebagai seorang pendekar perantau yang baik hati dan gagah perkasa, dan biarpun usianya empat puluh tahun lebih, akan tetapi ia masih tinggal membujang.

Hal ini menunjukkan kesetiaan hatinya, karena sesungguhnya ketika ia masih muda, Yap Sian Houw pernah ditunangkan dengan seorang gadis yang cantik. Akan tetapi, tiba-tiba gadis itu menderita penyakit berat dan meninggal dunia karena penyakitnya ini. Semenjak itu, Yap Sian Houw hidup menyendiri dan hatinya yang terluka dan berduka itu lalu mengambil keputusan untuk tinggal membujang saja selama hidupnya.

Di kalangan kang-ouw, namanya sudah terkenal sekali, dan banyak orang-orang gagah memuji-muji namanya. Pendekar ini bertubuh sedang dan berkulit kuning dengan sepasang mata yang amat tajam. Wajahnya boleh disebut tampan dan di tengah-tengahnya jidat terdapat sebuah tanda hitam yang agak menonjol seperti daging jadi, dan oleh karena ini di kalangan kang-ouw ia mendapat nama julukan It-kak-houw (Harimau Tanduk Satu).

Adapun Thian Hwa Nikouw yang kini menjadi wali dari ketiga orang anak perempuan itu, juga bukan sembarang orang. Dia adalah seorang anak murid Thai-san-pai yang memiliki ilmu pedang Thai-san Kiam-hwat yang luar biasa dan dalam ilmu gin-kang (meringankan tubuh), ia amat terkenal sekali.

Iwee-kangnya juga sudah matang dan kepandaiannya yang teristimewa adalah senjata rahasianya thi-lian-ci yang membuat banyak penjahat kejam bergidik apabila mengingatnya. Senjata rahasia ini terbuat dari besi dan berbentuk seperti biji-biji bunga teratai yang kecil.

Thian Hwa Nikouw telah mempelajari ilmu menyambitkan thi-lian-ci ini sedemikian hebatnya sehingga bukan saja ia telah memiliki kepandaian yang biasa disebut “seratus kali lepas seratus kali kena”, akan tetapi juga ia dapat menyambitkan segenggam thi-lian-ci sekaligus yang menyebar ke seluruh tubh lawan mengarah jalan-jalan darah yang paling berbahaya.

Kalau Yap Sian Houw suka memakai pakaian putih, nikouw ini selalu menggunakan pakaian berwarna kuning. Keduanya telah menjadi sahabat semeenjak enam tahun lebih, yakni ketika mereka kebetulan sekali bertemu di atas Bukit Lin-san untuk membasmi segerombolan penjahat kejam, yang suka merampok dan mengganggu rakyat yang tinggal di dusun-dusun sekitar bukit itu.

Tentu saja mereka menjadi girang sekali karena bertemu dengan seorang kawan sehaluan, dan bersama-sama mereka mengobrak-abrik sarang penjahat itu, membunuh para pimpinannya dan memberi nasehat pada anak buahnya, kemudian membakar sarang itu. Semenjak itu keduanya menjadi sahabat baik dan sering sekali saling mengunjungi, atau lebih tepat lagi, Yap Sian Houw sering kali datang menyambangi sahabat baik itu.

Setelah ketiga anak perempuan itu tinggal di Kuil Mustika Naga di kaki bukit Liong-cu-san, paling lama sebulan sekali Yap Sian Houw pasti datang ke tempat itu, bahkan setelah Siang Lan berusia enam tahun, pendekar ini sering sekali tinggal di situ sampai berbulan-bulan, karena selain ia memberi pelajaran silat kepada Siang Lan dan Hwe Lan, juga bujang tua ini terikat hatinya oleh anak-anak itu dan timbullah kasih sayang seorang ayah di dalam hatinya.

Tiap kali datang, ia selalu membawa oleh-oleh makanan enak dan pakaian indah maupun barang mainan indah sehingga anak-anak itu tidak kekurangan pakaian dan mereka mulai melupakan ayah bundanya dan mulai jadi gembira.


Sepuluh tahun kemudian, pada suatu pagi yang indah, di lereng Bukit Liong-cu-san nampak tiga anak perempuan lari-lari berkejaran dengan gembira. Mereka ini bukan lain adalah Siang Lan dan adik-adiknya. Selama beberapa tahun ini mereka telah mendapat gemblengan ilmu silat dari guru mereka, Yap Sian Houw, dan juga dari Thian Hwa Nikouw mereka diberi pelajaran ilmu menulis dan ilmu silat Thai-san-pai.

Kedua orang tua itu merasa girang dan puas sekali oleh karena mendapat kenyataan bahwa tiga anak perempuan itu berbakat baik sekali dan ketiganya mempunyai kecerdikan otak yang mengagumkan.

Setelah menginjak usia belasan tahun, mulai kelihatanlah kecantikan mereka. Yang paling mengherankan adalah persamaan antara Siang Lan dan Hwe Lan. Makin besar, persamaan itu mkin sukar dibedakan, dan karena tubuh Hwe Lan sama tingginya, maka dua anak perempuan ini seakan-akan saudara kembar. Apabila mereka mengenakan pakaian serupa, sukarlah bagi Thian Hwa Nikouw, terutama Yap Sian Houw, untuk membedakan mana Siang Lan dan mana Hwe Lan.

Keduanya memang sebentuk, serupa benar rambut yang hitam tebal dengan beberapa ikal rambut berjuntai di atas alis itu, sepasang mata yang bening tajam dan membayangkan kecerdikan, hidung yang kecil mancung dan bibir yang merah tipis, yang luar biasa manis kalau tersenyum, akan tetapi yang ditarik membayangkan kekerasan hati dan kemauan. Wajah serupa, tubuh sebentuk pendeknya, sukarlah membedakan mana kakak mana adik.

Sungguhpun amat besar persamaan wajah dan bentuk tubuh mereka, sebesar itulah perbedaan antara watak mereka. Siang Lan berwatak pendiam, tak suka banyak bicara, halus dan lembut tutur katanya, lemah lembut gerak geriknya dan ia penyabar benar. Semenjak kecil sudah nampak sifat-sifatnya ini dan selain itu, Siang Lan memiliki pertimbangan yang masak dan pandangan yang mendalam.

Oleh karena inilah maka kedua adiknya amat tunduk kepadanya dan biarpun ia selalu mengeluarkan kata-kata dengan halus lembut penuh kasih sayang, namun kedua adiknya itu tak pernah berani membantahnya.

Sebaliknya, Hwe Lan berwatak keras, mudah sekali marah, dan luar biasa tabah dan beraninya. Semenjak kecilpun ia telah mempunyai keberanian yang luar biasa. Pernah ketika baru berusia enam tahun ia pergi bermain-main seorang diri ke atas gunung dan ketika dicari, tahu-tahu ia berada di atas puncak sebatang pohon besar yang tinggi sekali, mencari sarang burung!

Akan tetapi, kenakalan dan kekerasan hatinya bukan terdorong oleh sifat yang jahat, karena ia mempunyai tabiat yang jujur, adil dan sifatnya terbuka, tak suka memakai tedeng aling-aling dalam percakapannya.

Sui Lan mempunyai kecantikan yang melebihi encinya. Dalam usia dua belas tahun telah kelihatan jelas bahwa kelak ia akan menjadi seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Terutama sekali sepasang matanya yang lebar dan bening bagaikan mata burung Hong itu, bercahaya gemilang seperti bintang pagi, dan dari sinar matanya yang indah ini saja orang dapat menduga bahwa ia berwatak gembira, jenaka dan suka sekali menggoda orang lain.

Selain matanya yang indah ini, wajahnya mirip dengan kedua encinya, hanya ia lebih manis karena di kanan kiri bibirnya terdapat dikik yang membuat dunia ikut bergembira apabila ia tersenyum. Tidak mengherankan apabila gadis cilik ini merupakan matahari kedua dari Kuil Mustika Naga itu dan menjadi kekasih semua orang yang berada di situ.

Bahkan Hwe Lan yang berwatak galak dan tidak mau mengalah itu terhadap adiknya ini bersikap lemah lembut penuh kasih sayang dan biarpun Sui Lan tidak luput dari kemarahan-kemarahannya, akan tetapi Hwe Lan selalu mengalah.

Dalam hal kemajuan ilmu silat, sukar disebut siapa yang disebut lebih lihai, karena mereka ini masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri, sesuai dengan bakat masing-masing. Siang Lan lebih tekun dan rajin dan karena dalam hal pelajaran mengatur napas, bersamadhi dan mengheningkan cipta, ia memang lebih kuat dan lebih sabar, maka ia mendapatkan tenaga lwee-kang yang lebih kuat daripada adiknya.

Juga gerakan kaki tangannya di waktu bersilat, Siang Lan lebih tenang, tepat dan sikapnya waspada sehingga sering sekali Thian Hwa Nikouw diam-diam memuji dalam hatinya bahwa murid yang tertua ini kelak akan merupakan lawan yang luar biasa tangguh dan uletnya bagi setiap orang yang bertempur dengannya.

Hwe Lan mempunyai gerakan yang cepat, ganas, dan setiap pukulan yang dilakukan jika ia bersilat, merupakan serangan yang amat berbahaya. Gadis cilik ini agaknya tidak mau membuang waktu sia-sia dalam setiap gerakan dan selalu mempergunakan gerakan yang tersulit, akan tetapi, yang paling berbahaya bagi lawan.

Juga, dalam ilmu menyambit thi-lian-ci, Thian Hwa Nikouw sendiri sampai merasa terkejut dan heran karena gadis ini cilik benar-benar mengagumkan. Sambitannya cepat, keras, dan jitu, bahkan memiliki gaya tersendiri. Ia maklum bahwa kalau sudah berlatih lama, gadis cilik ini mungkin akan memiliki kepandaian bermain am-gi (senjata rahasia) yang lebih tinggi dari dia sendiri.

Sui Lan benar-benar menggembirakan hati semua orang. Bahkan dalam ilmu silat, gadis ini tiada hentinya memperlihatkan wataknya yang gembira, jenaka dan suka menggoda orang. Sering kali dalam latihan silat, ia membuat kedua encinya terkekeh-kekeh dan tertawa geli, bahkan sering kali Yap Sian Houw sendiri terbahak-bahak sambil memegangi perutnya karena dalam latihan bersilat itu Sui Lan tiada hentinya melucu.

Akan tetapi, jangan dikira gadis cilik ini tidak dapat kemajuan dalam ilmu silat, karena ia cerdik sekali dan dalam kejenakaannya itu, ia telah menciptakan pukulan yang amat mengherankan hati Yap Sian Houw. Gadis cilik yang amat jenaka ini dalam tiap gerak tipu pukulan, selalu memberi tambahan gaya palsu yang timbul dari sifat kejenakaan dan kelucuannya tanpa disadarinya, gerak tipu yang timbul karena hendak melucu ini bahkan membuat ilmu silatnya menjadi sulit diikuti oleh lawan dan karenanya menjadi berbahaya.

Pada pagi hari itu juga, mereka bertiga meninggalkan kuil dan bermain di lereng bukit Liong-cu-san, ini adalah atas ajakan Sui Lan yang nakal. Tadinya Siang Lan tidak membolehkan karena pada waktu itu, Yap Sian Houw telah hampir sepuluh hari pergi dari kuil, sedang Thian Hwa Nikouw berkunjung ke sebuah dusun tak jauh dari kuilnya untuk menolong seorang petani yang menderita sakit. Wanita ini sedikit mengerti tentang ilmu pengobatan, maka tiap kali ada orang kampung datang minta tolong, ia selalu mengulurkan tangan dan menolong sedapat mungkin.

Siang Lan yang amat taat kepada dua gurunya itu, tadinya melarang adik-adiknya yang ingin bermain-main ke lereng gunung, akan tetapi ketika melihat betapa Hwe Lan merengut dan Sui Lan merengek-rengek, terpaksa Siang Lan menurut kehendak mereka, dan dengan gembira kedua adiknya itu lalu berlari-lari ke lereng gunung itu.

“Ah, benar-benar indah di bagian ini!” Sui Lan yang berusia dua belas tahun itu menari-nari di atas rumput hijau dan tertawa-tawa. Memang lereng sebelah barat ini benar-benar indah. Di situ terdapat padang rumput dengan rumput yang hijau segar dan rata bagaikan air samudra yang tenang. Di sana sini nampak bunga-bunga hutan tumbuh tak teratur, akan tetapi menambah sedap pemandangan karena menimbulkan pemandangan yang masih asli buatan alam.

“Sui-moi, jangan ke sana!” tiba-tiba Siang Lan menegur adiknya itu yang menuju ke sebuah hutan yang gelap. “Kata Suthai dulu di hutan siong itu terdapat banyak binatang buas dan duri-duri berbisa!”

“Enci Lan, siapa takut binatang buas. Mereka takkan lebih galak dari Enci Hwe Lan!” jawab Sui Lan yang berlari terus sambil tertawa-tawa.

Mendengar godaan ini, Hwe Lan menjadi marah. “Awas, Sui Lan! Di tempat itu ada harimau dan kalau kau diserang harimau aku tak mau menolongmu!”

Akan tetapi bukannya takut mendengar ucapan ini, Sui Lan bahkan berlari sambil berlompatan dan mulutnya mengeluarkan gerengan menirukan bunyi aum harimau yang sering kali terdengar dari kuil di waktu malam.

Terpaksa Siang Lan dan Hwe Lan menyusul adiknya yang nakal itu dan setelah mereka menyeberangi lautan rumput itu, mereka tidak mencegah Sui Lan lagi oleh karena pemandangan di hutan depan itu tak kalah indahnya.

“Enci Lan! Ence Hwe! Lekas lari, di sini banyak buah tho yang sudah matang.” Sui Lan berteriak sambil berdiri mendongakkan kepala memandang buah yang sudah masak itu.

Ketika Siang Lan dan Hwe Lan sudah dekat, Sui Lan lalu memanjat pohon itu dan memetik buah yang masak itu dengan girangnya. Akan tetapi, pada saat itu, di sebelah atasnya terdapat gerakan keras dan tiba-tiba sebuah bayangan yang besar menerkamnya dari cabang sebelah atas.

Sui Lan menjerit, akan tetapi gadis cilik ini cepat meloncat turun. Terdengar gerakan hebat dan seekor macan tutul yang besar melompat pula turun dari cabang ke cabang sambil mengembang kempiskan hidungnya dan memperlihatkan giginya yang tajam.

“Enci... ada kucing besar...!” tariak Sui Lan terbelalak lebar. Memang gadis cilik ini belum pernah melihat harimau, baru mendengar suaranya saja, maka kini melihat macan tutul itu, ia menganggapnya kucing besar.

Sementara itu Siang Lan dan Hwe Lan yang sudah tiba di situ menjadi terkejut melihat seekor kucing sedemikian besarnya. “Awas, inilah barangkali yang disebut harimau!” seru Hwe Lan dan gadis yang amat berani itu telah melompat paling depan, seakan-akan hendak melindungi adik dan encinya. Dan pada saat itu, macan tutul tadi menerkam dari atas.

“Enci Hwe awas!” Sui Lan berseru sambil melompat jauh dan Hwe Lan yang diserang harimau itu cepat pula melompat ke kiri sehingga harimau itu menubruk tempat yang kosong. Binatang buas itu menggereng marah dan tubuhnya mendekam di tanah, menanti saat baik untuk menerkam. Tubuh binatang yang besar dan kuat itu membuat Sui Lan merasa ketakutan, sedangkan Siang Lan masih dapat menenangkan hatinya dan berkata.

“Hwe Lan, keluarkan thi-lian-ci!”

Mendengar seruan ini, Hwe Lan dan Sui Lan segera merogoh kantung mereka dan mengeluarkan beberapa butir biji teratai besi itu. Ketika itu, Sui Lan berdiri di dekat Siang Lan, di bagian belakang harimau itu, sedangkan Hwe Lan dengan berani dan mata bersinar merah, berdiri di depan binatang itu. Gadis cilik ini sama sekali tidak takut matanya menatap mata harimau, tangan kanan kiri mengepal biji teratai besi dan kedua kakinya memasang kuda-kuda dengan kaki kiri di depan kaki kanan di belakang, tubuh agak membongkok, siap sedia untuk melawan binatang itu!

Melihat harimau itu mengancam Hwe Lan, Sui Lan merasa ngeri dan takut kalau encinya itu diterkam, maka sambil berseru, “Kucing besar jangan ganggu enciku,”

Ia menyambitkan thi-lian-ci di tangan kanannya yang cepat menyambar ke arah tubuh binatang itu. Biji-biji teratai yang disambitkan ini jumlahnya ada empat butir, dan karena disambitkan dalam keadaan gugup, maka Sui Lan hanya menyambit asal keras dan kena saja sehingga biji teratai besi itu menghantam tubuh belakang harimau.

Akan tetapi kulit harimau itu agaknya tebal karena ketika thi-lian-ci itu mengenai punggung dan bagian perutnya, hanya beberapa helai bulunya saja yang rontok, akan tetapi ia tidak terluka! Sebutir thi-lian-ci itu meleset dari kulit punggungnya dan terus meluncur kedepan. Kebetulan sekali thi-lian-ci ini mengenai daun telinga harimau itu yang segera mengerang kesakitan!

Berbeda dengan kulit tubuhnya ternyata daun telinganya cukup perasa ketika disambar thi-lian-ci, terasa perih sekali. Harimau itu membalikkan tubuhnya menghadapi Sui Lan dan setelah mengeluarkan gerengan hebat, ia lalu melompat ke atas menerkam Sui Lan.

Gadis cilik ini masih bengong melihat betapa thi-lian-ci yang disambitkannya tidak melukai kulit binatang itu, maka ketika harimau itu menerkam, ia agaknya terlambat untuk mengelak dan menjerit ngeri melihat tubuh harimau itu menyambar ke atas kepalanya!

“Pengecut, jangan serang anak kecil!” Hwe Lan berseru marah dan melompat ke depan, menubuk harimau itu! Gerakan gadis itu amat cepat dan kecepatan lompatannya melebihi kecepatan harimau itu sehingga sebelum tubuh harimau itu sempat menubruk tubuh Sui Lan, ekornya telah dipegang oleh Hwe Lan dan disentakkan ke belakang.

Harimau itu terpaksa melompat turun sebelum sempat mencakar tubuh Sui Lan yang segera melompat mundur dan kini binatang itu meronta-ronta hendak melepaskan ekornya yang dipegang oleh Hwe Lan. Akan tetapi, biarpun tenaganya besar sekali, namun pegangan gadis cilik itu amat eratnya sehingga pegangan itu tak dapat terlepas. Tubuh Hwe Lan sampai terhuyung ke kanan kiri karena ekor harimau itu bergerak dengan kuatnya untuk melepaskan diri.

Siang Lan cepat maju dan memutar ke kiri, lalu kakinya menendang ke arah lambung harimau itu. Tendangan ini dilakukan dengan tenaga lwee-kang yang cukup berat sehingga harimau itu menggaung kesakitan terhuyung-huyung ke kanan membawa Hwe Lan yang terseret ke belakangnya.

“Hwe-moi, lepaskan ekornya!” seru Siang Lan karena keadaan adiknya itu memang berbahaya sekali.

Akan tetapi Hwe Lan yang tabah itu tidak mau mekepaskannya, bahkan meniru gerakan encinya dan mengirmm tendangan dari belakang. Ia memegang ekornya dengna erat dan menendang keras, maka harimau itu menggereng kesakitan dan makin keras usahanya untuk melepaskan ekornya. Akan tetapi, Sui Lan yang merasa gembira melihat betapa harimau itu terganggu hebat oleh Hwe Lan, lalu melompat dari belakang dan membantu Hwe Lan memegangi ekor itu sambil menendang.

Harimau itu mengerahkan tenaganya melompat ke depan sekuat tenaga dan kedua anak yang memegang ekor itu berteriak kaget dan ternyata ekor itu terlepas dari tangan mereka. Mereka hanya menggenggam segenggam bulu ekor saja. Saking kerasnya gerakan harimau itu, kedua anak ini sampai jatuh telungkup ketika pegangan mereka terlepas.

“Celaka!” Siang Lan berseru kaget melihat hal ini, akan tetapi sebelum harimau itu membalikkan tubuh untuk menyerang kedua anak yang jatuh telungkup itu, gadis yang berhati tenang ini telah menghujani dengan serangan thi-lian-ci ke arah mukanya.

Harimau iru mengaum-aum dan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan marah, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Hwe Lan dan Sui Lan untuk melompat bangun. Tiba-tiba Siang Lan teringat akan kepandaian Hwe Lan mempergunakan thi-lian-ci, maka ia berkata, “Hwe-moi, bidik ke arah kedua matanya!”

Hwe Lan mengerti maksud encinya, maka ia segera mengeluarkan dua butir thi-lian-ci dan setelah memandang tajam, tiba-tiba tangannya bergerak dan dua butir thi-lian-ci menyambar bagaikan anak panah cepatnya ke arah kedua mata harimau itu. Sungguh mengagumkan kepandaian Hwe Lan, karena sambitannya ini tepat sekali. Biarpun kulit harimau itu tebal dan dapat menahan sambitan mereka, akan tetapi matanya tidaklah sekebal itu.

Dan ketika dua butir thi-lian-ci yang disambitkan oleh Hwe Lan tepat memasuki matanya, harimau itu mengeluarkan pekik kesakitan yang mengerikan dan bergema sampai jauh di dalam hutan itu, lalu ia menggulingkan tubuhnya ke atas tanah mempergunakan kedua kaki depan untuk menggaruk-garuk muka sendiri. Kemudian harimau itu bangun berdiri dan berlari menubruk sana menabrak sini.

Melihat keadaan harimau itu, Sui Lan tertawa girang dan lenyaplah ketegangan dan ketakutan yang tadi menggangu hatinya. Ia bertepuk tangan dan bersorak. “Nah, rasakanlah hadiah dari enci Hwe! Lihat, lihat, dia lari ke sana ke mari seperti gila. Hai, kucing besar! Kau sedang mencari tikus? Nah, ini, tikusnya berada di sini!”

Sungguh kebetulan, harimau yang sedang bingung dan kesakitan itu, kini berlari ke arah Sui Lan, seakan-akan ia mendengar suara panggilan gadis itu.

“Sui-moi, awas!” teriak Siang Lan yang cepat melompat dan menarik tangan adiknya itu ke kiri.

Harimau itu terus berlari ke depan, menabrak-nabrak, jatuh bangun dan terus berlari ke dalam hutan.

“Ayo kita kejar dia!” seru Hwe Lan.

“Eh, untuk apa, Hwe-moi? Jangan ganggu dia lagi, biarkan saja, karena biarpun telah buta kedua matanya, harimau itu masih berbahaya sekali!”

“Aku hendak bunuh dia, cici. Kasihan sekali keadaannya lebih baik dibunuh sekalian!” jawab Hwe Lan yang terus berlari.

“Adik Hwe Lan, janga mencari penyakit! Hutan ini berbahaya, lebih baik kita pulang.”

“Kita bunuh dulu harimau itu, baru pulang,” kata Hwe Lan dengan bandel dan berlari terus, sehingga terpaksa Siang Lan dan Sui Lan menyusulnya, mengejar harimau yang telah buta itu.

Memang demikianlah Hwe Lan. Ia adil dan berbudi, tidak tega melihat penderitaan harimau itu dan dianggapnya lebih baik binatang itu mati daripada tersiksa seperti itu, dan sekali ia telah mengambil keputusan, sukar sekali untuk mencegahnya. Hatinya keras dan keberaniannya luar biasa.

Tidak sukar bagi Siang Lan dan adiknya untuk mengejar harimau itu, karena binatang yang telah buta itu larinya tidak karuan, menabrak sana sini sambil mengerang-gerang kesakitan. Setelah dapat menyusul, mereka lalu menyerang harimau itu dengan thi-lian-ci dari segala penjuru dan karena kali ini mereka dapat menyambit dari jarak dekat, dan harimau itu sedang kebingungan tak dapat mengerahkan tenaga, maka sebentar saja ia telah menderita, banyak sekali luka-luka berdarah karena sambitan thi-lian-ci.

Tiba-tiba Sui Lan berseru, “Enci... ada harimau lain!” gadis cilik ini berseru sambil menunjuk ke depan.

Kedua encinya terkejut bukan main karena mengira bahwa tentu ada binatang buas lain yang datang hendak menyerang mereka. Maka tanpa banyak pikir lagi, ketika melihat gerombolan pohon bergoyang-goyang, mereka lalu menyambit dengan thi-lian-ci untuk mendahului binatang itu dan mengusirnya.

Belasan thi-lian-ci yang dilempat oleh ketiga gadis cilik itu melayang dan menyambar ke arah daun yang bergerak itu dan alangkah kaget mereka ketika melihat tiba-tiba seorang to-kouw (pendeta wanita pemeluk agama To) keluar dari semak-semak itu.

Melihat belasan thi-lian-ci yang menyambar ke arahnya, to-kouw itu tersenyum dan dengan perlahan menggerakkan ujung lengan bajunya yang panjang. Biji teratai besi itu, ketika terkena angin sambaran ujung lengan baju itu, terpental ke kanan ke kiri seakan-akaan tertangkis sebuah perisai yang amat kuat! Tentu saja Siang Lan dan adik-adiknya merasa heran dan juga kagum.

To-kouw itu lalu melihat harimau yang masih kebingungan dan menabrak ke sana ke mari, dengan cepat tubuhnya bergerak. Tahu-tahu ia telah melompat sedemikian ringannya bagaikan sedang melayang saja dan tiba di depan harimau itu. Sekali ia ulurkan jari tangannya dan menotok ke leher harimau itu, binatang yang ganas itu menjadi lumpuh dan mendekam tak dapat bergerak lagi.

To-kouw itu menyebut “Siancai... siancai...” lalu memeriksa harimau itu. Ia mengangguk-angguk lega dan mengeluarkan sebungkus obat bubuk dari saku jubanya. Setelah menaruh sedikit obat itu pada kedua mata harimau yang terluka tadi, ia lalu menepuk pundak harimau itu yang segera berdiri dan lari cepat.

“Kejar dia!” teriak Hwe Lan.

“Jangan ganggu dia!” to-kouw itu mencegah sambil menghadang di jalan dan mementangkan kedua lengannya.

“Suthai, bukan kami yang menggangunya, bahkan harimau itu yang mengganggu kami, kalau kami kurang hati-hati, tentu dia telah makan habis kami bertiga!” Siang Lan berkata.

“Hiii, alangkah tidak enaknya berada di dalam perut harimau itu!” kata Sui Lan sambil menggerak-gerakkan pundaknya. “Apalagi bertiga, tentu akan berdesak-desakan dan panas sekali!”

To-kouw yang tadinya memandang kepada Siang Lan dengan senyum lembut kini senyumnya melebar dan matanya berseri ketika melihat Sui Lan dan mendengar kelakar itu. “Anak-anak yang baik, kalau dia mengganggu kalian, rasanya sudah cukup kalian membalasnya. Kalian sudah melukainya, apakah kalian masih saja hendak menyiksanya? Ah, masa kalian sekeji itu?”

Kini Hwe Lan melangkah maju, sepasang matanya menatap tajam dan ia marah sekali. “Orang tua! Jangan kau lancang menyebut kami kejam! Kaulah yang sebenarnya amat kejam. Untuk membela diri, terpaksa harimau itu kami jadikan buta dan melihat keadaannya, kami tidak tega dan merasa lebih baik dia dibunuh saja daripada menderita semacam itu. Akan tetapi, sekarang kau datang melepaskannya, membiarkan ia menderita siksaan. Ia telah buta, bagaimana ia dapat hidup lebih lama lagi?”

To-kouw itu memandang kepada Hwe Lan dan ia benar-benar merasa kagum. Tak pernah disangkanya akan bertemu dengan tiga orang anak perempuan yang mengagumkan di tempat yang sesunyi itu!

“Anak-anak yang baik, kalian cukup gagah berani, akan tetapi kurang cerdik atau barang kali mendapat pelajaran ilmu silat kurang baik. Kalau kepandaianmu lebih baik, tentu dengan mudah harimau itu kau bunuh, tak usah disiksa dulu. Ketahuilah bahwa mata harimau itu tidak rusak sama sekali dan akan sembuh kembali. Oleh karena itu pinni lepaskan!”

Ketiga orang anak itu melengak dan terheran. To-kouw itu tersenyum dan berkata lagi. “Melihat gerakan kalian tadi, agaknya kalian mendapat didikan yang benar, akan tetapi aneh sekali mengapa belum mampu merobohkan seekor harimau saja.”

“Orang tua, kau sombong sekali!” seru Hwe Lan dengan berani. “Agaknya harimau itu adalah kucing peliharaannya, maka ia sekarang hendak menghina kita!” kata Sui Lan sambil memicingkan mata.

“Pinni tidak menghina, juga tidak sombong. Kalian mau bukti, anak-anak. Nah, cobalah kalian serang pinni agar pinni dapat melihat sampai di mana kepandaian kalian.”

Hwe Lan memandang enci dan adiknya. “Mari kita serang dia, aku ingin tahu juga sampai di mana kepandaian orang tua ini!”

“Sst, jangan berlaku kurang ajar, Hwe Lan!” Siang Lan menegur dan memandang marah sehingga Hwe Lan dan Sui Lan tidak berani maju. Kalau Siang Lan sudah memandang marah seperti itu, biasanya dua orang anak ini tak berani membantah. “Tidak baik berlaku kurang ajar kepada seorang tua seperti suthai ini...!”

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.