Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 02 Karya Kho Ping Hoo - To-kouw itu tersenyum kepada Siang Lan dan berkata, “Tidak apa-apa, nak, aku suka kepada kalian. Marilah, kalian maju, pinni tidak akan marah. Kita boleh main-main sebentar, hendak pinni lihat bakat kalian sampai di mana!”
Karena desakan ini, Siang Lan tak dapat melarang kedua adiknya lagi dan kedua adiknya lalu maju menyerang to-kouw itu dengan pukulan mereka!
“Kaupun majulah! Pinni takkan menangkis dan hanya mengelak. Kalau kalian dapat menangkap ujung jubah pinni, celaanku tadi akan kutarik kembali.”
Siang Lan memandang dan merasa heran mengapa kedua adiknya dapat dielakkan sedemikian mudahnya oleh to-kouw itu. Wanita tua itu agaknya tidak menggerakkan kedua kakinya, hanya tubuhnya saja miring ke kanan ke kiri, akan tetapi pukulan atau tangkapan tangan Sui Lan dan Hwe Lan selalu mengenai angin.
Ia merasa penasaran dan segera maju dengan gerakan pukulan To-tui-kim-ciang (Dorong Roboh Lonceng Emas), yakni dengan memukulkan kepalannya ke arah pinggang to-kouw itu sambil mengerahkan tenaga lwee-kangnya.
Melihat betapa to-kouw itu tidak mengelak sama sekali, Siang Lan menjadi girang dan menyangka bahwa pukulannya pasti akan mengenai sasaran. Akan tetapi, ia merasa heran sekali ketika merasa betapa setelah kepalannya dekat dengan pinggang orang tua itu, tiba-tiba ia merasa ada tenaga besar yang menolak kepalannya sehingga pukulan itu menyimpang dan tidak mengenai sasaran.
Ia menjadi penasaran sekali dan menyerang lebih hebat lagi. Siang Lan paling tekun belajar dan pukulannya yang disertai tenaga lwee-kang bukan tak berbahaya dan biarpun ia baru berusia empat belas tahun, akan tetapi laki-laki dewasa biasa saja jangan harap akan dapat menang melawannya.
Akan tetapi, ia kecele menghadapi to-kouw yang luar biasa ini karena benar saja, dia dan kedua adiknya sama sekali tidak dapat mendekati to-kouw itu sungguhpun to-kouw itu semenjak tadi tidak pernah memindahkan kedua kakinya.
“Hm, kalian berbakat baik dan sekaligus mendapat didikan Siauw-lim-pai dan Thai-san-pai! Sayang sekali cara mengajarnya kurang benar! Kedua gurumu disesalkan telah menyia-nyiakan bakat sebaik ini!” seru to-kouw itu. “Lebih baik kalian ikut pinni saja, mempelajari ilmu silat yang tinggi!”
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring, “To-kouw siluman jangan kau ganggu anak-anakku!” dan muncullah Thian Hwa Nikouw dengan pedang di tangan.
Melihat kedatangan Thian Hwa Nikouw, Siang Lan dan kedua adiknya lalu melompat mundur, sedangkan to-kouw itu segera tersenyum mengejek.
“Aneh sekali, di dunia ini memang banyak terjadi hal-hal aneh! Seorang nikouw gundul seperti kau bagaimana bisa mempunyai tiga orang anak semungil ini? Sungguh mengherankan!”
Merahlah muka Thian Hwa Nikouw mendengar ini, akan tetapi karena ia adalah seorang beribadat, ia dapat menahan marahnya dan segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangannya ke dada dengan jari diluruskan seperti orang menyembah.
“Mereka itu bukanlah anak-anak sendiri, akan tetapi pinni boleh menganggap mereka sebagai anak angkat atau murid. Apakah mereka itu berlaku kurang ajar kepada suthai maka kau hendak mengganggu mereka?”
“Aku memang hendak membawa mereka, karena anak-anak dengan bakat sebaik ini akan sia-sia saja apabila tidak diberi pimpinan seorang ahli. Dan dalam ilmu silat, melihat gerakan mereka tadi, biarpun kau memiliki dasar-dasar Thai-san-pai cukup baik, akan tetapi kepandaiannya masih terlampau rendah untuk mendidik bakat-bakat yang baik ini."
Melihat ucapan dan lagak yang sombong itu, marah juga hati Thian Hwa Nikouw. Ia dapat menduga bahwa to-kouw ini tentu memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi tidak seharusnya seorang yang berkepandaian tinggi begitu memandang rendah kepada orang lain. Oleh karena ini, ia ingin sekali mencoba sampai di mana kelihaian to-kouw itu.
“Agaknya suthai memiliki kepandaian yang tinggi, maka dapat mengeluarkan ucapan seperti itu.”
To-kouw itu tertawa. “Tidak tinggi, tidak tinggi! Siapakah di dunia ini yang betul-betul tinggi kepandaiannya? Akan tetapi, tidak serendah kepandaianmu!”
Thian Hwa Nikouw merasa panas hatinya mendengar ucapan to-kouw itu. “Hm, kalau begitu sahabat, berilah sedikit pelajaran kepada Thian Hwa Nikouw!”
Mendengar nama ini to-kouw itu kembali tersenyum. “Eh, jadi kau murid Pek Kong Hosiang dari Thai-san-pai? Bagus! Hal ini sudah kuduga dan marilah kau maju! Sudah lama aku tidak melihat berkelebatnya pedang dalam ilmu pedang Thai-san-pai!”
Thian Hwa Nikouw makin kuat dugaannya bahwa to-kouw ini tentulah seorang tokoh persilatan tingkat tinggi karena telah mengenal suhunya, maka ia tidak berani berlaku sembarangan. “Keluarkanlah senjatamu dan mari kita main-main sebentar!” katanya akan tetapi to-kouw itu menjawab.
“Jangan khawatir, gerakkanlah pedangmu!”
Thian Hwa Nikouw merasa betapa to-kouw ini benar-benar terlalu dan mempunyai watak yang tinggi, maka tanpa ragu-ragu lagi karena sudah beberapa kali mengalah, ia lalu mulai menggerakkan pedangnya menyerang dengan hebat. Nikouw ini adalah murid tersayang dari Pek Kong Hosiang, tokoh Thai-san-pai yang amat terkenal, maka tentu saja ilmu pedangnya lihai sekali.
Juga ia adalah ahli lwee-keh yang memiliki lwee-kang dan gin-kang yang tinggi tingkatnya, maka serangan yang ia lakukan berbahaya. Pedangnya berkelebat bagaikan burung garuda menyambar-nyambar dan tubuh Thian Hwa Nikouw tak kelihatan lagi oleh mata Siang Lan dan kedua adiknya!
Bukan main kagumnya ketiga orang anak perempuan itu karena biarpun mereka pernah menerima latihan ilmu silat dan ilmu pedang dari Thian Hwa Nikouw, akan tetapi mereka hanya menerima latihan dasarnya saja dan belum sampai ke tingkat sedemikian tingginya.
Akan tetapi, yang paling merasa terkejut, dan heran adalah Thian Hwa Nikouw sendiri oleh karena dia yang telah memiliki gin-kang yang tinggi itu kini sama sekali tidak berdaya menghadapi to-kouw ini! Ke mana saja pedangnya berkelebat, selalu to-kouw itu dapat mengelak dan menangkis, mempergunakan ujung lengan bajunya yang kalau membentur pedangnya membuat tangannya seakan-akan menjadi lumpuh.
Setelah menyerang puluhan jurus lamanya, maklumlah Thian Hwa Nikouw bahwa lawannya ini jauh lebih tinggi tingkat kepandaiannya dari kepandaiannya sendiri, bahkan mungkin lebih tinggi dari kepandaian suhunya.
Yang mengherankan ialah mengapa to-kouw itu seakan-akan mengetahui semua perubahan gerakan ilmu pedangnya dan selalu dapat menempatkan diri sedemikian baiknya sebelum pedangnya melanjutkan gerakan serangannya! Maka ia lalu hendak mencobanya dan tiba-tiba ia berseru keras dan tubuhnya melompat ke belakang membuat pok-sai (salto) tiga kali di udara.
“Bagus, itulah Liu-seng-koan-goat (Bintang Mengejar Bulan) yang bagus sekali!” to-kouw itu berseru.
Mendengar seruan ini, Thian Hwa Nikouw tidak ragu-ragu lagi untuk melanjutkan serangannya yang paling berbahaya, yakni gerakan menyambit dengan pedangnya. Gerakan ini disebut Liu-seng-koan-goat dan menjadi gerakan yang paling berbahaya dari Thai-san Kiam-hwat.
Ketika tubuhnya telah berjungkir balik sampai tiga kali tiba-tiba ia berseru keras dan pedang di tangannya itu meluncur cepat sekali ke arah tenggorokan to-kouw itu! Saking keras dan cepatnya luncuran pedang itu, sampai terdengar suara angin melengking.
Siang Lan pernah mempelajari sambitan Liu-seng-koan-goat ini, dan sungguhpun ia tidak dan belum dapat melakukan gerakan ini secara sempurna, akan tetapi ia cukup maklum sampai dimana lihai dan bahayanya sambitan ini. Kini melihat gurunya melakukan serangan sehebat itu, diam-diam ia terkejut dan merasa khawatir sekali kalau to-kouw itu akan celaka! Juga Hwe Lan dan Sui Lan merasa ngeri melihat pedang itu mengeluarkan cahaya berkilauan menyambar ke arah leher to-kouw itu.
Tidak demikian dengan Thian Hwa Nikouw, karena pendeta ini mengerti bahwa to-kouw itu tentu takkan celaka. Tadipun ia tak berani melanjutkan serangannya apabila ia tidak yakin akan kelihaian to-kouw itu, dan sambutannya ini hanyalah sekedar ujian belaka dan sama sekali bukan dilakukan dengan maksud jahat atau hendak membunuh.
Menurut pelajaran ilmu silat Thai-san-pai, untuk menghindarkan diri dari sambitan pedang ini, terdapat semacam gerakan khusus, yang disebut Kwan Im Siu-hwa (Dewi Kwan Im Memetik Bunga). Ia mengharapkan untuk melihat to-kouw itu mempergunakan gerakan ini karena dari gerakan Kwan-im Siu-hwa, ia akan dapat menilai kepandaian to-kouw itu dalam hal ilmu silat dari Thai-san-pai.
Akan tetapi ia benar-benar menjadi tertegun ketika menyaksikan to-kouw itu dengan amat tenang mengulur tangannya, bukan untuk melakukan gerakan Kwan-im Siu-hwa dan menerima gagang pedang itu dengna jalan menyambar dari pinggir, akan tetapi to-kouw itu mempergunakan jari tangannya menjepit pedang itu bagaikan orang menjepit sumpit saja. Setelah melakukan tangkapan yang aneh dan lihai ini, to-kouw itu berseru.
“Awas, lakukan gerakan Kwan-im Siu-hwa baik-baik!” dan sekali ia mneggerakkan tangannya, pedang yang tadinya dijepit dengan jari itu meluncur cepat menuju ke arah leher Thian Hwa Nikouw!
Pendeta wanita gundul itu terkejut sekali dan ia melakukan gerakan Kwan-im Siu-hwa untuk menerima pedangnya sendiri itu, dan biarpun ia berhasil menangkap gagang pedang, ia merasa betapa telapak tangannya bergetar! Thian Hwa Nikouw cepat menyimpan pedangnya dan menjura dengan hormat sekali sambil berkata,
“Terima kasih banyak atas petunjuk suthai yang murah hati, teecu (murid) Thian Hwa Nikouw benar-benar merasa takluk.”
To-kouw itu tersenyum, akan tetapi ia tiba-tiba mengerutkan jidatnya dan berkata, “Ah, agaknya Si Harimau Tanduk Satu itu yang datang!”
Semua orang menengok dan benar saja, beberapa saat kemudian, datang Yap Siang Houw berlari-lari dan ketika melihat to-kouw itu, ia merasa tercengang sekali. sebelum Thian Hwa Nikouw dan tiga orang muridnya itu menegur, Yap Sian Houw segera maju ke depan to-kouw itu dan menjatuhkan diri berlutut di depannya.
“Sukouw (Bibi Guru), teecu Yap Sian Houw menghaturkan hormat.”
To-kouw itu tersenyum dan Thian Hwa Nikouw merasa terkejut sekali. bagaimana Yap Sian Houw bisa menyebut bibi guru kepada seorang to-kouw? Ia tahu betul bahwa Yap Sian Houw adalah murid dari Ci Sian Siansu ketua Siauw-lim-pai, dan ia pernah mendengar pula bahwa Ci Sian Siansu ini mempunyai banyak saudara seperguruan yang menjadi murid dari Seng Liong Tianglo.
Misalnya Peng To Tek, ketua Bu-tong-san, Pek Bi Tojin, ketua Go-bi-san, Ngo Bwe Nikouw, Lie Pa San, Biauw Hian, Sian Ceng, dan lain-lain tokoh persilatan tinggi yang kebanyakan telah meninggal dunia. Akan tetapi, belum pernah ia mendengar bahwa Ci Sian Siansu mempunyai seorang sumoi (adik perempuan seperguruan) yang menjadi to-kouw!
“It-kak-houw,” kata to-kouw itu kepada Yap Sian Houw, “kebetulan sekali kau datang. Tiga orang anak perempuan ini selain menerima pelajaran dari Thian Hwa Nikouw, juga menerima pelajaran silat dari kau, bukan?”
Yap Sian Houw mengangguk. “Benar, sukouw, memang mereka murid-murid teecu yang bodoh.”
“Bukan mereka yang bodoh akan tetapi kau yang tidak memiliki bakat mengajar. Kalau mereka ini murid-muridmu harap kau mengalah dan memberikan padaku untuk dilatih. Bakat mereka baik sekali.”
Bukan main girang hati Yap Sian Houw mendengar ini, karena memang inilah yang menjadi cita-citanya. Ia mengharapkan munculnya seorang pandai dan sekarang ia bertemu to-kouw ini! Ah, dasar nasib ketiga anak ini baik, pikirnya. Ia lalu menceritakan kepada to-kouw tentang riwayat Siang Lan dan kedua adiknya itu bahwa memang telah menjadi keinginannya mencarikan guru yang pandai untuk mereka.
Kepada Thian Hwa Nikouw, Yap Sian Houw memperkenalkan to-kouw itu dan Thian Hwa Nikouw segera memberi hormat ketika ia mendengar siapa adanya to-kouw itu yang ternyata adalah seorang tokoh besar di dunia kang-ouw yang telah lama mengundurkan diri.
To-kouw ini diberi julukan Toat-beng Sian-kouw (Pendeta Wanita Pencabut Nyawa) dan namanya telah menggetarkan seluruh daerah pedalaman oleh karena setiap orang jahat yang bertemu dengan to-kouw ini, jangan harap mendapatkan ampun lagi. Oleh karena itu, semua tokoh jahat di dunia hek-to (dunia penjahat) lalu menyebutnya Pendeta Wanita Pencabut Nyawa.
Memang Toat-beng Sian-kouw ini tidak menjadi adik seperguruan langsung dari Ci Sian Siansu, dan ia hanya menerima pelajaran satu macam pukulan saja dari Seng Liong Tianglo, yakni guru Ci Sian Siansu. Hal ini merupakan sebuah cerita tersendiri yang amat menarik. Dan baiklah kita ikuti dengan secara singkat.
Ketika Toat-beng Sian-kouw ini masih muda dan darahnya masih panas sehingga dia tak pernah memberi ampun kepada setiap orang jahat, iapun suka sekali mengajak pibu (adu kepandaian) kepada semua orang gagah yang ia dengar namanya. Jarang sekali ia dikalahkan dalam sebuah pibu dan akhirnya ia mendengar pula nama Seng Liong Tianglo yang dianggap sebagai orang yang berilmu tinggi di jaman itu.
Ia tidak gentar mendengar nama Seng Liong Tianglo dan pergi mencari orang tua itu untuk diajak pibu pula. Akan tetapi kali ini ia terbentur karang. Dalam sepuluh jurus saja, ia dikalahkan oleh Seng Liong Tianglo sehingga ia merasa takluk dan bahkan mengangkat Seng Liong Tianglo sebagai suhunya!
Karena inilah, setelah ia menerima satu macam ilmu silat dari orang tua itu, ia dianggap sebagai murid Seng Liong Tianglo dan ini pula yang membuat ia dianggap sebagai bibi guru oleh Yap Sian Houw.
Sebetulnya, Toat-beng Sian-kouw ini adalah murid tunggal dari seorang pertapa sakti yang bernama Im Yang Cinjin, yang bertapa di puncak bukit Go-bi-san sebelah barat (bukan termasuk Go-bi-pai yang dipimpin oleh Pek Bi Tojin!). Ketika Toat-beng Sian-kouw bertemu dengan suhunya itu dan menceritakan pengalamannya ketika ia bertemu dengan Seng Liong Tianglo dan dikalahkan, suhunya tertawa dan berkata,
“Dasar kau yang kurang teliti! Tahukah kau siapa Seng Liong itu? Dia itu adalah supekmu (uwa gurumu) sendiri! Mana kau bisa menangkan dia? Ha-ha-ha dan kau sudah diberi ilmu pukulan darinya? Bagus, bagus!”
Demikianlah, maka betapapun juga, memang masih ada juga hubungan perguruan antara semua cabang persilatan itu. Oleh karena pada hakekatnya, semua cabang persilatan itu berasal satu. Ketika Thian Hwa Nikouw mendengar ini, ia lalu minta maaf bahwa ia telah berlaku lancang, dan iapun dengan tulus ikhlas menyetujui apabila tiga orang anak itu mendapat didikan ilmu silat dari Toat-beng Sian-kouw.
Karena tempat tingganya sendiri jauh dari tempat itu, yakni untuk bertahun-tahun Toat-beng Sian-kouw bertapa di sebuah bukit yang terletak di tapal batas utara, maka Toat-beng Sian-kouw lalu mencari tempat di puncak bukit Liong-cu-san dan mendirikan pondok sederhana. Ia melatih tiga anak perempuan itu di puncak gunung ini sehingga dengan demikian, Siang Lan dan adik-adiknya dapat dengan mudah mengunjungi kuil tempat tinggal Thian Hwa Nikouw bilamana saja ia kehendaki.
Di bawah asuhan Toat-beng Sian-kouw, ketiga anak perempuan ini mendapat gemblengan hebat. Tidak saja mereka mendapat pelajaran pokok dari dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, akan tetapi juga menerima pelajaran ilmu silat tinggi yang pada jaman itu jarang dimiliki oleh ahli silat lain. Toat-beng Sian-kouw yang telah mempelajari banyak ilmu pedang itu, memberi pelajaran ilmu pedang yang menjadi dasar dari semua ilmu pedang yang paling lihai untuk diajarkan.
Dengan amat rajin dan tak pernah ditunda-tunda, Toat-beng Sian-kouw setiap hari menggembleng ketiga orang muridnya itu sehingga tiga tahun kemudian kepandaian tiga anak perempuan itu telah menjadi demikian maju dan hebat sehingga Thian Hwa Nikouw sendiri merasa kewalahan apabila bertanding ilmu pedang dengan ketiga bekas muridnya itu.
Pada suatu hari, ketika tiga orang remaja tengah berlatih silat, Toat-beng Sian-kouw dan Thian Hwa Nikouw sedang bercakap-cakap karena Thian Hwa Nikouw datang mengunjungi mereka di puncak Liong-cu-san, tiba-tiba Hwe Lan berhenti bermain pedang dan berseru,
“Ada orang datang!”
Siang Lan dan Sui Lan juga menunda latihan mereka, dan mereka mendengar pula suara kaki kuda yang datang ke arah mereka. Pendengaran mereka sudah menjadi sedemikian tajam sehingga mereka dapat mendengar suar kuda yang masih jauh itu. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa berkat gemblengan dari Dewi Pencabut Nyawa, tingkat kepandaian tiga remaja itu sudah meningkat secara luar biasa sekali dalam waktu tiga tahun itu.
Ketika penunggang kuda telah kelihatan, bukan main heran dan kagetnya hati ketiga dara muda itu karena yang menunggang kuda itu bukan lain ialah Yap Sian Houw! Tentu saja mereka heran karena bekas guru mereka ini tak pernah naik kuda, dan mereka kaget melihat betapa wajah orang tua itu demikian lemah! Mereka segera lari menyambut dan ketika melihat orang tua itu demikian lemah sehingga untuk turun dari kuda saja agaknya sukar sekali, Siang Lan segera bertanya,
“Suhu, mengapa kau?” ia maju memegang tangan suhunya untuk dibawa turun dari kuda. Akan tetapi ia terkejut sekali karena tangan kanan suhunya itu terasa panas sekali dan ketika ia memandang, ternyata tangan kanan itu tergantung lumpuh.
Hwe Lan dan Sui Lan juga terkejut dan mereka segera membantu orang tua itu yang setengah dipondong oleh mereka, diturunkan dari atas kuda. Dengan langkah terhuyung-huyung dan wajah yang menyedihkan sungguhpun Yap Sian Houw berusaha untuk tersenyum, ia berjalan menuju ke pondok Toat-beng Sian-kouw dibantu oleh tiga dara itu. Toat-beng Sian-kouw dan Thian Hwa Nikouw menyambut kedatangan Yap Sian Houw, dan kedua nenek pendeta itu keluar dari pintu.
“Ah, Yap-enghiong, kau terluka berat!” seru Thian Hwa Nikouw dengan kaget sekali. Sebagai seorang ahli pengobatan ia sekali lihat saja tahu bahwa sahabatnya ini menderita luka berat.
Yap Sian Houw menggigit bibir menahan rasa sakit lalu menarik napas dalam dan berjalan terhuyung-huyung ke depan. “Aku bertemu dengan pasukan Kim-i-wi... mereka tahu, aku seorang murid Siauw-lim-pai... aku dikeroyok... berhasil melarikan diri, akan tetapi... ah...” dan Yap Sian Houw lalu roboh pingsan di dalam pelukan tiga orang muridnya!
Yap Sian Houw lalu diangkat ke dalam pondok itu dan setelah Thian Hwa Nikouw memeriksa dan membuka bajunya, ternyata di dada sebelah kanan pendekar itu terdapat luka yang mengerikan, dan mudah diduga bahwa luka ini ditimbulkan oleh sebatang anak panah, karena kecil dan amat dalam!
Ketika Thian Hwa Nikouw memeriksa luka itu, ia menjadi terkejut sekali karena mendapat kenyataan bahwa kepala anak panah yang terbuat dari baja tertinggal dalam dada. Agaknya ketika Yap Sian Houw mencabut anak panah itu, anak panah yang ujungnya memakai kaitan itu patah dan tertinggal di dalam.
Ia maklum bahwa nyawa sahabat baiknya itu tak dapat tertolong lagi, maka ia tidak berani melakukan pembedahan untuk mengeluarkan anak panah yang terpendam di dekat paru-paru. Ia hanya memberi obat bubuk yang ditempelkan pada luka itu dan memberi minuman dua putir yo-wan (pel) merah untuk menghilangkan atau mengurangi rasa sakit yang diderita oleh Yap Sian Houw.
Dengan tenang, setelah melakukan semua ini, Thian Hwa Nikouw berkata kepada Toat-beng Sian-kouw dan ketiga orang muridnya, “Luka Yap-enghiong amat parah dan tidak dapat ditolong lagi. Pinni hanya dapat memberi obat untuk mengurangi rasa sakit.”
Bagi Toat-beng Sian-kouw dan Thian Hwa Nikouw, keadaan Yap Sian Houw ini tidak menimbulkan tekanan batin, karena kematian seseorang bagi kedua nenek yang telah banyak mengalami penderitaan hidup ini, bukanlah merupakan hal yang aneh atau mengagetkan.
Akan tetapi, berita ini diterima oleh Siang Lan dan kedua adiknya dengan muka pucat. Mereka saling pandang, perasaan sedih dan haru memenuhi dada tiga dara remaja ini. Siang Lan hanya memandang kepada wajah Yap Sian Houw dengan muka pucat dan mata sayu. Sedangkan Hwe Lan dan Sui Lan segera menangis terisak-isak.
Mereka bertiga telah menganggap Yap Sian Houw seperti ayah mereka sendiri, karena orang pertama yang berlaku baik terhadap mereka adalah Yap Sian Houw ini sehingga terhadap pendekar tua ini mereka mempunyai perasaan cinta kasih seperti terhadap seorang ayah sendiri.
Tak lama kemudian, Yap Sian Houw membuka kedua matanya, yang pertama dipandangnya adalah ketiga orang anak perempuan itu. Mulutnya tersenyum girang ketika ia melihat mereka memandangnya dengan mata basah oleh air mata. Kakek yang selama hidupnya dalam keadaan sunyi tak berkeluarga ini, merasa bahagia yang amat besar menyelubungi hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa keadaannya ada yang menyedihi! Akan tetapi, ia lalu berkata dengan suara menghibur,
“Siang Lan..., Hwe Lan, dan Sui Lan... anak-anakkua yang baik... jangan kalian berduka! Aku... aku tidak apa-apa...!” ia mencoba untuk tertawa. “Ha-ha! Mereka anjing-anjing Kaisar Boan itu, sekarang tahu bahwa tidak mudah merobohkan It-kak-houw! Tdak mudah membasmi orang-orang Siauw-lim-pai yang gagah berani...!”
“It-kak-houw, bagaimanakah terjadinya sehingga kau sampai mendapat luka ini?” tanya Toat-beng Sian-kouw.
Yap Sian Houw memandang kepada Dewi Pencabut Nyawa itu, lalu berkata perlahan, “Sukouw, mereka itu benar-benar terlalu berat bagiku, terlalu banyak yang mengeroyokku... dan terutama... perwira bangsat she Lee itu...” dengan suara terputus-putus dan lemah, Yap Sian Houw lalu menceritakan pengalamannya.
Pada hari kemarin, menjelang senja ia bertemu dengan serombongan perwira Kim-i-wi, yakni para perwira-perwira kerajaan yang berpakaian seragam indah karena baju mereka disulam benang emas. Yap Sian Houw melanjutkan perjalanannya tanpa mempedulikan mereka, akan tetapi tiba-tiba seorang dari para perwira itu telah mengenalnya dan berseru,
“Dia itu Yap Sian Houw, murid Ci Sian Siansu!” perwira-perwira yang berjumlah dua belas orang itu segera menahan kuda mereka dan menghadang perjalanan Yap Sian Houw.
Pendekar itu terkejut sekali mendengar ucapan ini dan ketika ia memandang, ia mengenal bahwa perwira yang mengenalnya tadi adalah Thio Kim Cai, seorang murid dari Pek Bi Tojin. Thio Kim Cai ini pernah bertemu dengan dia ketika dulu terjadi pertempuran antara orang-orang Siauw-lim-pai dengan orang-orang dari Go-bi-pai dan dalam pertempuran itu, ia telah menendang roboh orang she Thio ini.
Melihat orang ini, tahulah Yap Sian Houw bahwa ia harus menghadapi mereka dengan pertempuran, maka ia lalu mencabut keluar senjatanya, sebuah pedang panjang. “Hm, Thio Kim Cai! Ternyata kau telah menjadi anjing penjilat telapak kaki Kaisar asing!” ia memaki.
“Bangsat pemberontak Siauw-lim-si, tangkap dia! Bunuh!” teriak Thio Kim Cai dan semua perwira ketika mendengar bahwa orang inii adalah seorang murid Siauw-lim-si, segera mencabut senjata mereka dan melompat turun dari kuda terus menyerang dengan ganas.
Kaisar memang menjanjikan hadiah besar bagi seorang yang dapat menangkap atau membunuh seorang tokoh Siauw-lim-si. Di antara para perwira ini, yang terlihai kepandaiannya adalah seorang perwira bertubuh tinggi besar dan bermuka gagah yang bersenjata sebatang golok. Perwira ini benar-benar gagah perkasa dan ialah yang menjadi pemimpin pasukan ini. Ilmu goloknya amat cepat dan tenaganya besar.
Sebetulnya, kalau hanya menghadapi perwira ini tanpa keroyokan orang lain, belum tentu Yap Sian Houw akan kalah. Akan tetapi, karena semua perwira yang mengeroyoknya itu rata-rata memiliki kepandaian yang setingkat dengan kepandaian Thio Kim Cai murid Go-bi-pai itu, tentu saja ia menjadi terdesak hebat.
Yap Sian Houw maklum bahwa tidak ada jalan baginya kecuali mengadu jiwa, maka ia lalu menjadi nekat dan oleh karena ini, gerakan pedangnya menjadi hebat dan ganas sekali. Tak lama kemudian, terdengar jerit-jerit kesakitan dan robohlah dua orang pengeroyok tersambar pedang Yap Sian Houw yang lihai.
Dengan mencampur adukkan permainan Lo-han-to (Ilmu Golok Pendekar Tua) dari Siauw-lim-si dan Tat Mo Kiam-hwat, ia mengamuk tanpa mempedulikan keselamatan tubuh sendiri sehingga para pengeroyoknya menjadi kecut juga melihat sepak terjang yang amat gagah ini. Kembali ujung pedangnya berhasil merobohkan tiga orang pengeroyoknya yang kurang gesit gerakannya.
Setelah ia berhasil merobohkan lima orang pengeroyok, para perwira Kim-i-wi yang masih mengeroyoknya menjadi terkejut sekali. Mereka ini rata-rata berkepandaian silat tinggi dan nama mereka terkenal sebagai Cap-ji-enghiong (Selusin Pendekar) dari kota raja yang merupakan pasukan pilihan. Akan tetapi kini mengeroyok seorang saja, lima orang kawan mereka roboh!
Terutama sekali perwira tinggi besar yang memimpin pasukan itu. Sepasang alisnya sampai berdiri saking marah dan penasarannya. “Bangsat pemberontak!” serunya sambil memutar-mutar goloknya. “Kalau hari ini tak berhasil membunuhmu, jangan sebut aku Lee Song Kang si Golok Dewa lagi!” juga kawan-kawannya yang masih ada enam orang itu mengurung Yap Sian Houw lebih rapat lagi.
Yap Sian Houw mulai merasa lelah karena ia harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya ketika menjatuhkan lima orang lawan tadi. Kini musuh yang mengurungnya masih tujuh orang dan permainan senjata mereka kini semata-mata ditujukan untuk membunuhnya berbeda dengan tadi yang masih ingin memelihara nyawanya agar dapat ditangkap hidup-hidup, maka tentu saja ia merasa bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan roboh juga!
Maka ia lalu mencari kesempatan, dan ketika ia melihat lubang, ia berseru keras dan menyerang sambil merangsek maju dan memutar-mutar pedangnya dengan hebatnya. Lawan-lawannya terpaksa melangkah mundur dan saat itu digunakan oleh Yap Sian Houw untuk melompat keluar dari kepungan dan dengan tangkasnya ia melompat ke atas punggung seekor kuda dari para musuhnya.
“Kejar!” Lee Song Kang berseru marah dan perwira inipun melompat ke atas kudanya dan mengejar, bersama beberapa orang kawannya. Akan tetapi kawan-kawannya tertinggal di belakang.
Yap Sian Houw hendak mempergunakan keadaan yang mulai menjadi gelap itu untuk menyelamatkan diri, akan tetapi tak tersangka-sangka, ia mendengar suara kaki kuda mengejarnya dan jarak mereka telah makin dekat. Ketika melihat bahwa pengejarnya hanya satu orang, Yap Sian Houw menahan kendali kudanya dan membalikkan kuda itu, menyerang kepada pengejarnya dengan pedang terangkat!
Akan tetapi, tak pernah diduganya bahwa perwira yang mengejarnya itu akan berlaku curang. Ternyata bahwa perwira yang bukan lain adalah Lee Song Kang itu, telah mempersiapkan gendewa dan anak panahnya dan ketika melihat Yap Sian Houw membalikkan kuda dan hendak menyerangnya, maka ia lalu melepaskan lima batang anak panah sekaligus!
Yap Sian Houw merasa terkejut sekali dan segera memutar pedangnya, akan tetapi terlambat! Biarpun ia dapat menangkis empat batang anak panah, yang sebatang lagi masih menembus di antara sinar pedangnya dan menancap di dada kanannya! Memang hebat sekali ilmu memanah dari perwira she Lee itu.
Yap Sian Houw merasa betapa dadanya sakit sekali, maka sebelum lawannya dapat melepas anak panah lagi, ia terus menyerang dengan pedangnya di tangan kiri, karena tangan kanannya digunakan untuk menekan dadanya yang terasa linu dan sakit.
Lee Song Kang merasa kagum dan khawatir juga melihat kehebatan Harimau Tanduk Satu itu. Bagaimana mungkin seorang yang telah tertancap anak panah di dadanya, masih dapat melakukan serangan sehebat ini? Perwira she Lee ini cepat mempergunakan goloknya untuk menangkis.
Akan tetapi hampir saja goloknya terlepas dari pegangan karena serangan Yap Sian Houw ini dilakukan dengan tenaga sepenuhnya! Untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan susulan, Lee-ciangkun melompat turun dari kudanya dan menghilang di balik rumpun pohon.
Yap Sian Houw merasa tak kuat bertempur terus, maka ia lalu melarikan kudanya secepat mungkin. Sambil menahan rasa sakit ia mencabut keluar anak panah itu, akan tetapi ia berteriak keras dan terguling dari kuda karena merasa luar biasa sakit pada dadanya, ketika ia mencabut keluar anak panah itu, karena ujung anak panah patah dan tertinggal di dalam dadanya!
Menjelang pagi ia siuman dari pingsannya dan dengan girang ia mendapatkan kuda yang tadi dirampas dan ditungganginya malam tadi masih berada di situ. Maka ia lalu menguatkan tubuh dan mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk menunggangi kuda itu kembali dan melarikannya menuju ke Liong-cu-san.
Biarpun ia merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan lemas sedangkan setengah tubuhnya sebelah kanan seakan-akan telah mati, ia masih dapat mempertahankan diri dan mencapai puncak Liong-cu-san di mana ia disambut oleh Siang Lan, Hwe Lan dan Sui Lan.
Demikianlah, dengan suara terputus-putus dan sukar sekali, Yap Sian Houw menceritakan pengalamannya. Begitu penuturannya habis, ia tak kuat lagi dan sambil berseru perlahan, ia jatuh pingsan lagi. Thian Hwa Nikouw berusaha menolongnya, akan tetapi pendekar itu, hanya dapat siuman satu kali lagi saja sambil mengeluarkan kata-kata pesan kepada ketiga orang muridnya.
“Kalian harus mencari dan membunuh perwira she Lee yang lihai ilmu panahnya itu... dialah yang membunuh Nyo Hun Tiong dan aku...” Maka meninggallah Yap Sian Houw, Harimau Tanduk Satu yang gagah perkasa itu, ditangisi dengan sedihnya oleh Siang Lan, Hwe Lan dan Sui Lan.
Hwe Lan berdiri sambil mengepal tinjunya dan berkata kepada gurunya, yaitu Toat-beng Sian-kouw, “Suthai, perkenankan teecu turun gunung dan mencari jahanam Lee Song Kang itu untuk membalas dendam ini!”
Sui Lan juga berdiri dan berkata, “Juga bangsat Thio Kim Cai harus dimusnahkan dari muka bumi!”
Hanya Siang Lan yang menundukkan muka dan tak berkata sesuatu, akan tetapi dari pandang matanya ternyata bahwa iapun merasa sakit hati sekali terhadap pembunuh-pembunuh Yap Sian Houw.
Toat-beng Sian-kouw tersenyum. “Hwe Lan dan Sui Lan, kalian berdua terlalu sembrono! Hanya mengandalkan keberanian dan kenekatan saja, orang takkan dapat mencapai maksud dan cita-cita, bahkan keberanian yang tak dikendalikan akan membawa kalian kepada kekalahan dan kekecewaan. Kalian melihat sendiri betapa gurumu Yap Sian Houw sendiri tidak kuat menghadapi mereka itu, apalagi kalian yang masih hijau ini! Kalian kira akan dapat mengalahkan jago-jago istana itu?”
Mendapat teguran ini, kedua gadis cilik itu terpukul hatinya dan menundukkan kepala dengan sedih sehingga gurunya merasa kasihan juga dan melanjutkan kata-katanya,
“Memang harus kukatakan bahwa sebenarnya dalam hal ilmu pedang dan ilmu silat, belum tentu tingkatmu berada di bawah Yap Sian Houw. Akan tetapi, dalam hal pengalaman bertempur kalian masih kalah jauh sekali sehingga aku yakin bahwa kalau Yap Sian Houw tidak kuat menghadapi mereka, tak mungkin kalian akan dapat mengalahkan mereka itu! Lihatlah sikap Siang Lan, nah, kalian harus selalu menurut petunjuk dan pimpinannya.
"Anak-anak muda harus bersikap sabar, tenang, akan tetapi waspada, jangan menurutkan nafsu hati belaka. Sekarang ini belum waktunya bagi kalian bertiga untuk turun gunung. Banyak ilmu pukulan yang penting-penting belum kalian latih secara sempurna. Aku ingin melihat kalian berlatih dengan rajin selama sedikitnya dua tahun lagi, baru kalian boleh turun gunung. Sebelum itu, jangan harap kalian akan dapat turun dari sini!”
Ucapan Toat-beng Sian-kouw ini memang keras, sesuai dengan wataknya dan ia memang merasa khawatir kalau murid-muridnya yang masih muda ini dibiarkan turun gunung. Memang ia telah memberikan pelajaran ilmu silat-ilmu silat tinggi yang jarang sekali dilihat orang pada masa itu.
Akan tetapi karena murid-muridnya itu adalah gadis-gadis muda yang usianya baru lima belas, enam belas dan tujuh belas tahun dan belum mempunyai pengalaman sama sekali serta belum matang betul ilmu silatnya, maka amat berbahayalah kalau mereka dilepas turun gunung.
Jenazah Yap Sian Houw dimakamkan di puncak Liong-cu-san dengan upacara sederhana. Dan semenjak itu, mereka bertiga melatih diri dengan amat giatnya sehingga mereka mendapat kemajuan pesat. Juga Thian Hwa Nikouw telah memberikan seluruh kepandaiannya kepada mereka, terutama sekali penggunaan thi-lian-ci yang mereka pelajari secara sempurna dan kini mereka telah dapat menggunakan am-gi (senjata rahasia) itu secara baik sekali, tidak kalah oleh Thian Hwa Nikouw sendiri!
Dua tahun berlalu dengan amat cepatnya dan selama ini tiga dara muda di puncak Liong-cu-san itu melatih diri dengan amat tekun dan rajin sehingga puaslah hati Toat-beng Sian-kouw.
“Sekarang tingkat kepandaian kalian telah cukup dapat kupercaya bahwa takkan mudah kalian dikalahkan orang dalam kepandaian silat. Dengan dasar membela kebenaran, kurasa jarang ada orang yang akan dapat mengalahkan kalian dalam sebuah pertempuran, kecuali kalau kalian melakukan hal yang salah.
"Aku maklum bahwa di hati kalian yang masih muda ini terkandung dendam terhadap perwira she Lee itu dan juga perwira she Thio anak murid Go-bi-pai itu. Hal ini aku tidak mau ikut campur, oleh karena terus terang saja aku harus menyatakan bahwa permusuhan antara Siauw-lim-pai dengan Go-bi-pai dan Bu-tong-pai ini tidak menarik hatiku.
"Bagaimana aku bisa mencampuri urusan mereka yang sebenarnya masih saudara-saudara seperguruan itu? Ketua Siauw-lim-pai adalah suhengku sendiri, demikian juga ketua Bu-tong-pai dan Go-bi-pai masih saudara seperguruan sungguhpun ilmu silatku berasal dari lain guru.
"Akan tetapi, betapapun juga, melihat anak-anak murid Bu-tong dan Go-bi banyak yang merendahkan diri menjadi perwira-perwira kerajaan, dan melihat kegagahan anak murid Siauw-lim-pai yang bersikap sebagai ho-han (pahlawan sejati), di dalam hati aku lebih condong kepada Siauw-lim-pai.
"Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak suka mencampuri permusuhan antara saudara sendiri akan tetapi aku tidak melarang apabila kalian murid-muridku memusuhi orang-orang jahat, tak peduli mereka itu saudara atau bukan.
"Hanya satu pesanku, jangan kalian mengaku sebagai murid-muridku dan jangan menyeret aku yang sudah tua ini untuk menghadapi anak-anak murid suheng-suhengku sendiri. Kalau kalian bertempur dengan orang-orang Go-bi-pai atau Bu-tong-pai, maka kalian adalah anak-anak murid Siauw-lim, bukan murid Toat-beng Sian-kouw! Mengerti?”
“Baiklah, suthai. Teecu bertiga tentu akan memperhatikan dan memenuhi segala pesan suthai yang berbudi,” jawab Siang Lan mewakili kedua adiknya.
Masih banyak pesan dan wejangan Toat-beng Sian-kouw kepada tiga orang dara itu, juga Thian Hwa Nikouw memberi wejangan pula. Toat-beng Sian-kouw mengeluarkan tiga batang pedang yang diberikan kepada ketiga orang muridnya, seorang satu. Biarpun pedang itu bukan pedang pusaka, akan tetapi cukup baik dan tajam.
“Ingat murid-muridku,” katanya sebagai pesan terakhir, “pedang ini bukan dibuat untuk melukai dan membunuh orang yang tidak bersalah. Usahakanlah agar pedang ini menjadi pencegah kejahatan dan penegak keadilan, jangan sekali-kali sampai menjadi alat pembunuh orang!”
Juga Thian Hwa Nikouw memberi hadiah tiga kantong thi-lian-ci kepada tiga orang muridnya yang telah dianggap seperti anaknya sendiri itu. Semua pakaian dan uang tiga gadis itu yang selama ini disediakan oleh Yap Sian Houw yang mencinta mereka seperti anak sendiri, dibungkus menjadi tiga buntalan oleh Thian Hwa Nikouw.
Akhirnya, setelah berpelukan dengan Thian Hwa Nikouw dan memberi hormat sambil berlutut kepada Toat-beng Sian-kouw, ketiga dara itu berangkatlah turun gunung untuk melakukan tugas mereka sebagai pendekar wanita pembela kebenaran dan penegak keadilan.
Tiga dara yang turun dari puncak Liong-cu-san itu benar-benar merupakan tiga orang bidadari yang turun dari kahyangan. Demikian cantik, manis dan demikian gagah sikapnya. Mereka turun dari gunung sambil mengerahkan tenaga dan kepandaian mereka dalam ilmu lari cepat Jouw-sang-hui (Terbang di Atas Rumput) dan gerakan mereka demikian ringan sekali seakan-akan rumput yang mereka injak tidak bergoyang sedikitpun.
Mereka berlari-lari sambil tertawa gembira, merasa seakan-akan menjadi burung yang terlepas di udara bebas, atau sebagai tiga ekor kupu-kupu cantik indah dan beterbangan mencari madu di antara bunga. Sui Lan berjalan paling depat. Cantik jelita menarik hati, berusia tujuh belas tahun, bagaikan kuntum mawar hutan yang mulai mekar, harus semerbak dan sedap.
Sui Lan benar-benar telah menjadi seorang gadis yang sifatnya “liar”, jenaka, gembira, dan sepasang matanya yang indah itu bergerak-gerak ke kanan ke kiri memandang dunia dengan penuh kegembiraan. Bibirnya yang berbentuk indah dan selalu berwarna merah segar itu selalu menyungging senyum simpul yang manis sekali.
Sesuai dengan wataknya yang gembira, Sui Lan mengenakan pakaian dari sutera dengan dasar warna kuning dan berkembang-kembang merah dan pedang pemberian gurunya tergantung di pinggang kiri, kantung thi-lian-ci tergantung di pinggang kanan. Buntalan pakaiannya diikat di belakang punggungnya, dan buntalan ini berwarna biru.
Rambutnya yang hitam dan halus itu dikuncir dua dan kuncirnya tergantung di atas pundaknya, ujungnya diikat dengan sutera biru pula. Melihat gadis ini, tak dapat tidak orang pasti akan merasa ikut gembira dan tertarik.
Hwe Lan berlari di belakang adiknya. Juga gadis yang berusia delapan belas tahun ini cantik dan menarik sungguhpun kecantikannya berbeda dengan Sui Lan. Bentuk tubuhnya dan raut mukanya memang banyak persamaannya dengan Sui Lan, akan tetapi sinar matanya dan tarikan mulutnya sungguh jauh berbeda.
Mata Hwe Lan tidak liar seperti mata Sui Lan, akan tetapi memandang dengan mata tajam yang seakan-akan menusuk dan menembus dada orang yang dipandangnya sehingga sukar untuk menyembunyikan perasaan terhadap gadis ini.
Alis matanya yang hitam tebal berbentuk golok kecil memanjang itu membuat wajahnya tampak gagah dan menimbulkan rasa hormat dan ngeri dalam hati orang lain. Yang paling jelas membayangkan kekerasan hatinya adalah mulutnya. Sungguhpun mulutnya dengan bibir yang seindah dan semerah bibir adiknya itu amat menarik hati, akan tetapi ditarik keras dan memperlihatkan kesungguhan dengan sunggingan senyum yang disebut senyum mengejek.
Pakaian gadis ini juga indah berwarna biru, karena seperti juga dengan yang lain, Yap Sian Houw selalu memperhatikan kesukaan ketiga orang muridnya yang terkasih ini dan selalu membelikan pakaian baru apabila ia berkunjung. Seperti Sui Lan, gadis inipun menguncir rambutnya menjadi dua.
Akan tetapi, dua kuncir ini tidak bergantung dengan lucu di atas pundak seperti kuncir rambut Sui Lan, hanya diselipkan di dalam baju di bagian lehernya. Pedang dan kantung thi-lian-ci tergantung di pinggang sedangkan buntalannya juga digendong di atas punggung.
Yang paling belakan adalah Siang Lan. Orang yang melihat Siang Lan berdiri di dekat Hwe Lan, akan merasa heran dan bingung, karena memang sukarlah membedakan dua orang gadis yang serupa ini. Tubuh sebentuk, muka serupa, kulit sama. Pendeknya, persamaan dua gadis ini adalah persamaan dua orang kembar.
Padahal mereka bukanlah saudara kembar. Bahkan alis yang hitam dan berbentuk indah membayangkan kegagahan itupun sama pula. Kalau saja Siang Lan memakai pakaian yang sama dan mengatur rambutnya sama pula dengan Hwe Lan, orang akan benar-benar menjadi bingung dan tak dapat membedakan mana kakak mana adik.
Akan tetapi Siang Lan mengenakan pakaian warna kuning, sedangkan rambutnya tidak dikuncir dan digantungkan ke bawah, melainkan disanggul ke atas dengan indahnya. Sebagai tusuk kondenya, ia menggunakan hiasasn dari perak yang berbentuk bunga teratai putih.
Sungguhpun besar sekali persamaan muka dan bentuk badannya dengan Hwe Lan, akan tetapi kalau benar-benar diperhatikan, terdapat perbedaan yang amat besar, yakni dalam sinar matanya dan tarikan bibirnya.
Memang mata itu sama bening, sama indah, akan tetapi sinar mata Siang Lan penuh kehalusan, membayangkan kelembutan hati, dan keluhuran budi. Bibirnya yang sama indahnya dengan bibir Hwe Lan dan Sui Lan itu, dihiasi senyum yang sabar dan tenang.
Sifat-sifat yang sabar dan tenang dari gadis yang berusia sembilan belas tahun ini bukan hanya pembawaannya, akan tetapi juga karena terdorong oleh rasa tanggung jawabnya terhadap kedua adiknya, dan ia menganggap diri sendiri sebagai pengganti ayah ibu untuk kedua adiknya ini!
Demikianlah perbedaan tiga dara ini. Kalau diumpamakan bunga, maka Sui Lan adalah bunga mawar hutan yang liar dan bergerak-gerak tertiup angin menimbulkan kegembiraan. Hwe Lan lebih patut diumpamakan bunga seruni yang cantik dan seakan-akan penuh mengandung rahasia. Adapun Siang Lan boleh diumpamakan sebatang pek-lian (teratai putih) yang halus dan bergerak-gerak tenang di atas air.
Sui Lan yang berwatak gembira itu bersama kedua orang encinya berlari turun dari gunung dengan senang. Kicau burung di pohon-pohon, tiupan angin membuat rumput dan daun-daun bergerak menari-nari, cahaya matahari pagi yang cerah dan hangat, semua ini mendatangkan kegembiraan yang luar biasa dan ketiga gadis remaja ini merasa berbahagia sekali.
Menurut petunjuk dari Toat-beng Sian-kouw, mereka harus turun gunung dari sebelah barat, lalu menuju ke selatan sampai ke propinsi Syen-si, terus ke propinsi Hu-pei, lalu membelok ke utara memasuki propinsi Ho-nan, propinsi San-tung, dan baru menuju ke utara, ke kota raja untuk mencari musuh-musuh mereka.
Semua pesan guru mereka ini mereka taati dan Toat-beng Sian-kouw sengaja menyuruh ketiga orang muridnya menjelajah lima propinsi dengan maksud tertentu. Pendeta wanita ini maklum bahwa sungguhpun ilmu kepandaian murid-muridnya ini telah mencapai tingkat tinggi, namun mereka ini sama sekali belum mempunyai pengalaman bertempur, oleh karena itu, amat berbahayalah apabila mereka itu langsung menuju ke kota raja untuk berhadapan dengan pasukan-pasukan istana yang amat tangguh.
Di kota raja banyak sekali orang-orang berilmu tinggi, sehingga untuk menghadapi mereka ini, ketiga orang muridnya harus ada persiapan terlebih dahulu. Ia sengaja menyuruh murid-muridnya mengambil jalan yang memakan waktu sedikitnya seratus hari untuk memasuki kota raja.
Waktu ini rasanya cukup untuk menguji dan mematangkan ketiga orang murid-muridnya, oleh karena ia maklum bahwa perjalanan murid-muridnya itu tentu akan menemui banyak sekali rintangan orang-orang jahat sehingga mereka akan mendapat kesempatan melatih diri dalam pertempuran-pertempuran melawan para penjahat itu.
Sui Lan yang sebelum turun gunung itu telah diberi tahu oleh Siang Lan ke mana harus mengambil jalan, mendahului kedua encinya dan berlari dengan gembira. Tiba-tiba ia mendengar kaki kuda yang berderap menggema di kaki gunung. Suara ini menambah kegembiraannya, karena suara “keteprak, keteprak!” bunyi kaki kuda ini memang mendatangkan kegembiraan di pagi hari yang sunyi itu.
Karena semenjak turun gunung itu, ia belum pernah bertemu dengan orang lain. Ia mempercepat larinya, mengejar suara kaki kuda itu. Pada sangkaannya, tentu penunggang kuda itu seorang kakek dusun, maka ia ingin menyusul hanya untuk mengucapkan selamat pagi dan mengajaknya bercakap-cakap sebentar.
Akan tetapi setelah ia membelok di sebuah tikungan dan penunggang kuda itu kelihatan, ia tercengang. Penunggang kuda itu bukan seorang kakek dusun yang tua, akan tetapi seorang pemuda yang gagah sekali. Mukanya putih bersih dan tampan, topinya yang biru itu dironce benang kuning emas yang bergantungan ke bawah.
Pakaiannya putih bersih dengan ikat pinggang warna biru pula, sama dengan warna topinya. Kudanya berbulu putih pula dengan belang-belang hitam. Kuda ini tinggi besar dan potongan tubuhnya kuat serta bagus, tanda bahwa kuda itu adalah kuda yang mahal dan baik.
Akan tetapi, sikap pemuda yang gagah dan gagang pedangnya yang nampak tersembul dari balik punggungnya, tanda bahwa pemuda itu seorang ahli silat, tidak membikin Sui Lan mundur teratur. Bahkan ia lalu menahan senyum gelinya ketika melihat betapa pemuda itu menjalankan kudanya perlahan-lahan, menikmati keindahan pagi hari di hutan itu. Tubuh pemuda itu duduk dengan lurus dan tegak, bergoyang-goyang menurutkan gerak punggung kuda.
Sui Lan melihat banyak buah ang-cho busuk di atas tanah, buah-buah yang telah terlalu matang dan tidak dipetik orang sehingga jatuh sendiri, maka ia lalu mendapat pikiran untuk menggoda pemuda itu yang duduk enak-enakan di atas kudanya. Ia menahan ketawanya karena dapat membayangkan betapa kuda itu akan terkejut dan berjingkrak-jingkrak, mungkin akan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sehingga pemuda yang aksi itu akan terbanting jatuh!
Akan tetapi ia menjadi kecele, karena seperti yang tidak disengaja, tubuh kuda itu tiba-tiba bergerak ke kiri sehingga sambitannya mengenai tempat kosong! Sui Lan memandang dengan melongo. Mungkinkah di dunia ini ada seekor kuda yang begitu lihai, yang dapat mengerakkan pantatnya untuk mengelak dari sebuah sambitan? Ia menjadi penasaran sekali dan kembali tangannya bergerak menyambit ke arah tubuh belakang kuda itu.
Dan kini terjadi hal yang membuatnya heran sekali, akan tetapi dibarengi rasa terkejut dan kagum. Tanpa menengok, pemuda itu seakan-akan tanpa disengaja menggerakkan cambuk kudanya di tangan kanan itu ke belakang dan buah ang-cho busuk yang menyambar pantat kuda itu terpukul jatuh!
Akan tetapi Sui Lan benar-benar bandel dan nakal. Dua kali kegagalan gangguannya itu tidak membuatnya menjadi kapok, bahkan ia kini mengambil dua butir buah busuk itu melangkah maju sehingga jaraknya dari penunggang kuda itu tinggal beberapa tombak lagi. Kini ia menggerakkan tangannya dengan cepat dan meluncurlah dengan cepat, sebutir ke arah kuda, yang sebutir lagi meluncur ke arah pinggang pemuda itu!
Kali ini Sui Lan menggerahkan tenaganya, tetapi biarpun cepatnya ke arah sasaran, pemuda itu benar-benar lihai dengan cambuknya, ia dapat menangkis buah yang menyambar ke arah pinggangnya itu, tanpa memandang ke belakang, akan tetapi tak disangkanya, buah kedua yang disambitkan ke arah kuda itu tepat mengenai sasaran. Kuda itu meringkik keras karena kesakitan dan terkejut, dan benar saja seperti dugaan Sui Lan, kuda itu lalu mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sambil meringkik-ringkik.
Akan tetapi, berlawanan dengan dugaan Sui Lan, pemuda itu sama sekali tidak terguling jatuh, bahkan dengan seruan keras tubuh pemuda itu mencelat ke atas dan melayang ke arah Sui Lan dengan kedua tangan terpentang bagaikan seekor burung garuda menyambar kelinci!
Ketika mereka berdua telah berada dekat dan saling pandang, keduanya terheran-heran dan pemuda itu karena tak dapat menahan gerakannya, terpaksa melanjutkan serangannya dari udara dengan mencengkeram leher gadis itu! Pemuda ini terheran-heran karena tidak pernah menyangka sama sekali bahwa pengganggunya adalah seorang dara yang demikian cantiknya.
Sedangkan Sui Lan selain tercengang menyaksikan gerakan Naga Sakti Balikkan Tubuh yang amat indah itu, juga merasa heran melihat pemuda itu betul-betul tampan dan menarik! Ia cepat meloncat ke samping untuk menghindari diri dari serangan pemuda itu dan tiba-tiba dalam pikirannya yang penuh kenakalan, Sui Lan lalu ingin sekali menguji kepandaian pemuda itu!
“Eh, bocah!” katanya sambil tersenyum menggoda. “Kudamu yang mencak-mencak kenapa kau marah-marah kepadaku?”
Biarpun pemuda itu tadi merasa tercengang dan kagum melihat dara yang jelita ini, akan tetapi ia menjadi marah juga digoda seperti itu. Sudah jelas gadis ini yang menyambit kudanya, akan tetapi sekarang masih berani menggoda dengan kata-kata yang memerahkan telinga. “Setan perempuan yang jahat!” ia memaki. “Apa kau kira aku takut padamu?”
“Takut atau tidak itu bukan urusanku, akan tetapi sudah nyata kau tidak becus naik kuda, hanya aksinya saja yang hebat!” kata pula Sui Lan menggoda.
“Anak kecil kurang ajar, kau harus dihajar!” seru pemuda itu. Sebetulnya ia merasa segan dan malu-malu untuk berurusan dengan seorang dara cantil seperti itu, akan tetapi karena ia merasa marah digoda sedemikian rupa, ia lalu sengaja menyebut Sui Lan “anak kecil”.
“Kakek tua bangka, cobalah kau maju kalau berani!” Sui Lan balas menantang dan merasa mendongkol disebut anak kecil, maka ia sengaja menyebut kakek tua bangka kepada pemuda yang usianya paling banyak lebih tua satu atau dua tahun dari dia sendiri itu!
“Anak kecil banyak tingkah!” pemuda itu tidak mau kalah memaki dan segera maju menyerang. Akan tetapi, oleh karena ia mengira bahwa Sui Lan hanyalah seorang gadis yang memiliki ilmu silat rendah saja, ia hanya bermaksud untuk mendorong atau menamparnya sebagai pembalasan kekurang ajarannya tadi.
Serangannya yang pertama adalah gerak tipu yang ringan saja, yakni gerakan Harimau Lapar Menubruk Kambing. Akan tetapi, kepalan tangan yang seharusnya memukul dada, ia robah menjadi serangan dengan jari tangan terbuka yang ditujukan ke arah pundak Sui Lan dengan maksud mencengkeram pundak atau mendorong.
Biarpun tadi melihat gerakan melompat yang indah dari pemuda itu ketika turun dari kuda, akan tetapi setelah kini melihat cara pemuda ini menyerangnya dengan gerakan Go-houw-pok-yang (Harimau Lapar Tubruk Kambing) itu, tak terasa lagi ia tersenyum menyindir dan menduga bahwa pemuda ini hanya memiliki ilmu silat pasaran belaka! Maka dengan enaknya ia mengelak ke samping dan tiba-tiba berseru keras,
“Tua bangka! Rasakan tendangan cucumu!” kaki kirinya lalu bergerak cepat menendang ke arah pantat pemuda itu dari samping kiri! Gerakan ini bukan main cepatnya sehingga pemuda itu merasa terkejut sekali karena untuk menangkis atau mengelak sudah tidak ada waktu lagi. Tak pernah disangka bahwa gadis kecil yang hanya memiliki “ilmu silat rendah” ini ternyata dapat bergerak begitu cepat dan aneh. Terpaksa lalu ia mengerahkan lwee-kangnya ke arah bagian tubuh yang menerima tendangan.
“Buk!” kaki Sui Lan dengan tepat mengenai bagian tubuh belakang pemuda itu dan kali ini dara itulah yang terkejut bukan main. Tubuh bagian belakang yang banyak dagingnya itu seharusnya empuk dan ia hanya mengerahkan sedikit tenaga untuk membuat pemuda itu terpental saja tanpa melukainya, tidak tahunya, ketika kakinya mengenai tubuh lawannya, bagian tubuh yang tertendang itu terasa keras bagaikan batu karang sehingga kakinya yang menendang terpental kembali!
“Aya...!” serunya sambil melompat mundur dengan terheran-heran. Tak disangka sama sekali bahwa pemuda yang hanya memiliki “ilmu silat pasaran” ini ternyata memiliki lwee-kang yang demikiat hebat!
Juga pemuda itu melihat betapa kaki gadis itu tidak apa-apa ketika terbentur oleh tubuhnya yang mengandung tenaga kuat. Demikianlah, dua orang muda-mudi yang tadinya saling memandang rendah itu, kini sebaliknya mengagumi lawan masing-masing dan berlaku hati-hati.
“Tendanganmu seperti tahu!” pemuda itu menyindir sambil tersenyum, membuat Sui Lan merasa gemas sekali.
“Begitu? Nah, rasakanlah tahu ini!” dan kini Sui Lan mengirim tendangan lagi yang jauh bedanya dengan tendangan tadi, karena kini ia mengeluarkan tendangan berantai yang disebut Kim-kong-twi.
Tendangan ini dilakukan dengan kedua kaki secara bertubi-tubi dan susul menyusul, dilakukan cepat sekali dan sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk melakukan serangan balasan. Yang hebat adalah bahwa setiap tendangan kaki ini diisi dengan lwee-kang yang tinggi sehingga jangankan kulit dan daging bahkan batu karang yang keras akan menjadi hancur terkena tendangan ini!
Bukan main terkejutnya pemuda itu. Tidak saja tendangan ini dilakukan dengan sempurna sekali, akan tetapi sebelum tendangan datang dekat, angin tendangan itu telah terasa olehnya! Ia memandang dengan mata terbelalak hampir tak percaya bahwa gadis semuda ini telah memiliki ilmu kepandaian yang begini lihai!
“Kim-kong-twi yang hebat!” serunya sambil mempertahankan diri dengan gerakan Tiu-po-lian-hoan (Tindakan Mundur Berantai) secara cepat dan tepat sekali sehingga tendangan Sui Lan selalu mengenai tempat kosong.
Dara ini merasa kagum dan heran, karena pemuda itu ternyata baru segebrakan saja telah mengenal ilmu tendangnya, bahkan mempergunakan gerakan Tiu-po-lian-hoan untuk menghadap Kim-kong-twi, yakni gerakan mundur sambil mengelak, gerakan yang memang paling tepat untuk menghindarkan diri dari serangan Kim-kong-twi ini.
Akan tetapi, ia tidak begitu gemas lagi, karena sebagai pengganti sindiran bahwa tendangannya adalah tendangan “tahu”, kini pemuda itu memujinya dan menyebut tendangannya “hebat”! Nah, tahu rasa kau sekarang, pikirnya. Ia lalu merubah serangannya dan kini ia mulai menyerang dengan pukulan paling lihai.
Pertama-tama ia menyerang dengan gerak tipu Pek-wan-hian-ko (Lutung Putih Persembahkan Buah) dengan tangan kanan menyambar ke arah lawan dan tangan kiri menyusul menotok jalan darah di bagian pundak kiri, yakni jalan darah Kin-ceng-hiat!
Pemuda itu maklum akan kehebatan serangan ini maka ia cepat menyelematkan kepalanya dengan mengelak dalam gerakan Hong-hong-tiam-thouw (Burung Hong Menganggukkan Kepala), dan untuk totokan dara itu ke arah pundaknya, ia menangkis dengan gerakan tangan kanan.
Tangkisannya bukanlah tangkisan biasa, karena ia melakukan itu sambil membuka tangannya untuk mempergunakan gerakan Eng-jiauw-kang (Pukulan Kuku Garuda) untuk mencengkeram atau menangkap pergelangan tangan yang menotok itu.
Sui Lan tentu saja tidak membiarkan tangannya terpegang, maka ia lalu menarik kembali tangan kirinya dan tangan kanannya kembali menyerang dan dipukulkan ke arah pemuda itu. Melihat perubahan yang cepat dan tak terduga dalam ilmu silat gadis itu, pemuda ini makin kagum saja dan menduga-duga siapakah gerangan gadis muda yang demikian lihai itu!
Ketika ia melihat pukulan ke arah dadanya demikian cepat dan kuat, ia lalu mengulur tangan yang dibuka telapaknya dan dengan berani ia lalu mengerima pukulan itu dengan telapak tangannya. Maksudnya untuk mencoba tenaga gadis itu.
Sui Lan merasa gemas dan ingin memberi “rasa” kepada lawannya, maka ia tidak menarik kembali tangannya, bahkan lalu mengerahkan tenaga Thai-lek Gin-kong-cu, yakni tenaga lwee-kang yang dikerahkan dalam perut sehingga kekuatan pukulannya menjadi berlipat kali lebih hebat.
Tenaga ini mempunyai daya dorong yang sanggup mendorong batu yang ribuan kati beratnya! Ia tidak tahu bahwa diam-diam pemuda itu mengerahkan tenaga Ban-kin-lat (Tenaga Selaksa Hati).
“Bluk!!” telapak tangan mereka bertemu, membawa dua tenaga raksasa yang hebat sekali. Keduanya merasa betapa tangannya bergetar, akan tetapi oleh karena bhe-si (kuda-kuda) kedua orang ini kuat dan teguh sekali, maka benturan tenaga itu hanya membuat mereka terhuyung-huyung ke belakang sampai empat lima langkah. Hal ini tak pernah diduga oleh kedua pihak sehingga mereka saling pandang dengan penuh kekaguman dan keheranan.
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dari jauh, “Bangsat hina-dina! Jangan kau berani mengganggu adikku!” berbareng dengan suara ini, muncullah dua dara jelita dengan gerakan luar biasa cepatnya.
Pemuda itu melihat dengan kagum dan heran karena dua orang dara itu wajahnya demikian sama seperti kembar. Yang membentak tadi adalah Hwe Lan, akan tetapi sebelum ia bergerak, ia telah didahului encinya. Siang Lan merasa khawatir kalau Hwe Lan akan berlaku sembrono, maka ia mendahului melompat ke tempat pertempuran itu dan menyangka bahwa Sui Lan telah dikalahkan oleh pemuda itu.
Melihat lompatan yang hebat ini, yang dilakukan dengan gerakan burung walet menembus awan, pemuda itu kembali terkejut. Akan tetapi ketika ia tadi mendengar bentakan yang menyatakan bahwa yang datang ini enci dari gadis yang tadi bertempur dengan dia, maka ia menyangka bahwa Siang Lan hendak menyerangnya. Oleh karena itu, ia mendahului dengan sebuah tamparan untuk menggagalkan serangan gadis itu.
Siang Lan merasa penasaran melihat betapa orang ini datang-datang menyerangnya, maka iapun menangkis dengan tangannya yang digerakkan dengan tenaga sepenuhnya. Ketika dua tangan itu beradu, pemuda itu menahan seruannya dan ia terhuyung-huyung mundur, sedangkan Siang Lan hanya melangkah setindak saja ke belakang. Ternyata tenaga lwee-kang dari gadis ini bahkan lebih hebat dari Sui Lan, dan lebih kuat dari pemuda itu.
Celaka, demikian pemuda itu berpikir. Yang seorang ini bahkan lebih lihai lagi daripada yang nakal tadi! Ia baru saja sebulan lebih turun gunung dari pegunungan Kun-lun-san dan kini sedang menuju pulang, tak disangkanya dia di jalan bertemu dengan gadis yang luar biasa lihainya ini! Maka pemuda itu lalu mengambil keputusan untuk “cao” (melarikan diri) saja yang dianggapnya lebih aman dan selamat daripada menghadapi bidadari berbahaya ini! Ia lalu berseru,
“Maafkan siauw-te yang lancang!” dan tubuhnya lalu melompat ke belakang dengan cepatnya, berpoksai (membuat salto) beberapa kali lalu turun setelah berada di atas kudanya. Tentu saja ketiga dara muda itu memandang dengan kagum, akan tetapi Hwe Lan yang mengira bahwa adiknya diganggu pemuda itu, masih merasa penasaran melihat pemuda itu hendak melarikan kudanya.
“Tinggalkan dulu daun telingamu!” teriak Hwe Lan yang segera mengerahkan kedua tangannya. “Ser! Ser!” dua buah thi-lian-ci dengan cepatnya menyambar ke kanan kiri kepala pemuda itu, mengarah daun telinga dengan jitu dan cepat sekali.
Pemuda itu terkejut bukan main dan segera menundukkan kepalanya. Dua butir thi-lian-ci itu lewat di dekat telinganya dan angin sambarannya terasa pada daun telinga. Akan tetapi, kembali telah menyusul dua butir thi-lian-ci yang baru lagi dan menyambar kedua daun telinganya, terpaksa pemuda itu membuang diri ke kiri sambil melarikan kudanya dan berhasil mengelak.
Namun, dua butir lagi telah menyambar dan mengejar telinganya. Ia cepat membuang diri ke kanan dan mendengar suara thi-lian-ci yang berturut-turut menyambar tiada hentinya itu, ia menjadi ngeri sekali. sambil berseru keras ia mencambuk kudanya yang lari makin cepat dan ketika dari belakang ia mendengar beberapa butir thi-lian-ci menyambar lagi, ia melompat ke atas dan melayang ke depan sehingga enam butir thi-lian-ci yang kini terbang menyambar, lewat di bawah kakinya.
Pemuda itu lalu melayang ke bawah dan tepat pula duduk di atas kudanya yang masih berlari. Benar-benar gerakan yang bukan main indahnya sehingga Hwe Lan menjadi bengong karena kagumnya dan lupa untuk mempergunakan thi-lian-ci lagi...