Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 04

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 04
Sonny Ogawa

Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 04 karya Kho Ping Hoo - Siang Lan merasa lega sekali dan ia melompat tinggi keluar dari kepungan itu dan berdiri di bawah pohon sambil memeramkan mata sejenak untuk membikin tenang hatinya dan menghilangkan kepeningan otaknya. Ia merasa betapa segala apa di sekelilingnya, pohon-pohon dan daun-daun, berputaran tadi.

Tiga Dara Pendekar Siauwlim karya Kho Ping Hoo

Maka cepat ia meramkan matanya lagi dan mengatur napasnya. Tak lama kemudian ia menjadi sembuh kembali dan dengan marah ia memandang ke arah kedua iblis itu. Akan tetapi mereka itu sedang berhadapan dengan seorang pemuda berpakaian serba putih yang memegang pedang di tanga.

Ia teringat akan ucapan yang ia juga dengar tadi dan menduga bahwa pemuda ini tentulah orangnya yang datang mengganggu Ang-hoa-tin, maka biarpun pemuda itu tidak sengaja menolongnya, akan tetapi ia merasa tertolong dan bersyukur sekali. Ia berdiri diam dan mendengarkan percakapan mereka.

Pemuda itu masih muda, paling banyak tentu baru berusia dua puluh tahun, wajahnya tampan dan gagah, mukanya bundar dan sepasang alisnya tebal dan panjang. Pada saat itu, ia tengah memandang kepada Ang-hoa Mo-li dengan mata penuh selidik, sehingga iblis perempuan itu menjadi merah mukanya dan berkata,

“Anak muda, siapakah kau? Melihat matamu, aku rasanya pernah bertemu dengan engkau, akan tetapi entah di mana!”

Suaminya lalu berkata dengan keras, “Niocu, ucapanmu mengingatkan aku pula. Pemuda ini mukanya seperti pernah kukenal. Eh, anak muda, siapakah kau dan apa maksudmu berlaku lancang datang ke tempat ini dan mengganggu urusan kami?”

Pemuda itu tersenyum dan nampak senang sekali mendengar ucapan mereka. “Tentu saja kau pernah melihat orang yang mukanya hampir sama dengan aku. Masih ingatkah kalian pada seorang pendekar bernama Kui Bok Beng?”

Mendengar disebutnya nama itu, tiba-tiba suami isteri Ang-hoa Siang-mo melangkah mundur dua tindak dan Ang-hoa Sin-mo memandang dengan mata terbelalak, sedangkan isterinya tiba-tiba menjadi pucat sekali.

“Anak muda, ada hubungan apakah kau dengan Kui Bok Beng?” tanya Ang-hoa Sin-mo dengan suara parau.

“Dia adalah ayahku! Kau berhutang nyawa kepada ayahku dan sekarang akulah yang datang menagihnya!” jawab pemuda itu.

Wajah Ang-hoa Sin-mo menjadi pucat dan terbayanglah olehnya peristiwa yang terjadi beberapa belas tahun yang lalu. Kui Bok Beng adalah sute (adik seperguruan) dari Ang-hoa Sin-mo yang bernama Lim Pok, menyerbu sarang perampok di Bukit Te-an-san. Ternyata bahwa gerombolan perampok itu dipimpin oleh seorang perampok wanita muda yang bukan lain ialah Ang-hoa Mo-li, seorang gadis anak perampok berusia dua puluh dua tahun dan berwajah cantik!

Terpikatlah hati Kui Bok Beng. Ang-hoa Mo-li pun merasa tertarik, akan tetapi juga melihat kegagahannya. Dengan tulus ikhlas, Ang-hoa Mo-li menyatakan takluk dan menyerah terhadap dua orang gagah itu. Terjalinlah rasa cinta kasih antara Ang-hoa Mo-li dan Kui Bok Beng.

Akan tetapi, di luar prasangka kedua orang muda itu diam-diam Lim Pok juga tergila-gila kepada Ang-hoa Mo-li! Ang-ho Mo-li yang semenjak kecil ikut ayahnya menjadi perampok, membujuk agar supaya Kui Bok Beng suka menjadi kepala rampok di gunung itu, akan tetapi tentu saja Kui Bok Beng tidak mau. Sebaliknya Lim Pok menyatakan bahwa ia suka menjadi perampok di situ sehingga antara dua orang saudara seperguruan ini timbul perselisihan pendapat.

Setelah setengah bulan mereka berada di puncak bukit itu, Kui Bok Beng berkasih-kasihan dengan Ang-hoa Mo-li, sedangkan Lim Pok diam-diam menaruh hati iri dan benci kepada sutenya, akan tetapi ia tidak berani menyatakan berterang karena merasa malu. Kebetulan sekali pada malam hari ke lima belas, sepasukan tentara negeri menyerbu sarang perampok di bukit itu sehingga terjadilah pertempuran hebat.

Dalam keributan inilah terjadi perpecahan antara Lim Pok dan Kui Bok Beng. Menurut Kui Bok Beng, mereka tak seharusnya melawan dan ia hendak mengajak Ang-hoa Mo-li melarikan diri dari jurusan lain, akan tetapi Lim Pok berkeras hendak melawan, bahkan lalu mengepalai anak buah perampok melakukan perlawanan!

Kui Bong Bek merasa penasaran melihat suhengnya menjadi tersesat dan berbalik pikir seperti itu, maka terjadilah percekcokan di antara mereka dalam keributan itu sehingga akhirnya mereka bertempur sendiri! Kepandaian Kui Bok Beng kalah setingkat apabila dibandingkan dengan Lim Pok yang menjadi kakak seperguruannya, maka akhirnya ia tewas dalam tangan suhengnya sendiri!

Setelah membunuh sutenya, Lim Pok lalu mengajak Ang-hoa Mo-li melarikan diri dan membiarkan anak buahnya dihancurkan oleh tentara negeri. Ternyata bahwa Ang-hoa Mo-li memang bukan seorang wanita baik-baik, karena setelah melihat kematian Kui Bok Beng, ia menerima menjadi isteri Lim Pok, bahkan dengan orang she Lim ini ia merasa lebih cocok!

Lim Pok amat dipengaruhi oleh isterinya yang cantik, maka setelah mereka mendapatkan tempat yang cocok di seberang rawa itu, mereka menjadi perampok dan mempunyai beberapa anak buah, kemudian atas anjuran isterinya, Lim Pok membuang namanya dan menggantinya dengan Ang-hoa Sin-mo.

Sehingga mereka berdua menjadi terkenal dengan sebutan Ang-hoa Siang-Mo (Sepasang Iblis Bunga Merah)! Kedua orang itu lalu mencipta ilmu silat Ang-hoa kun dan anak buahnya dilatih pula untuk mainkan ilmu silat ini sehingga mereka dapat membentuk sebuah Ang-hoa-ti yang lihai!

Putera Kui Bok Beng yang pada waktu itu masih kecil, baru berusia enam tahun dan dititipkan oleh Kui Bok Beng kepada seorang bibinya, tahu pula akan kematian ayahnya maka anak ini lalu berlatih ilmu silat tinggi dan bercita-cita membalas dendam.

Anak ini adalah Kui Hong An, yaitu pemuda yang telah berhasil mendapatkan tempat tinggal musuh dan yang kini telah berhadapan dengan Ang-hoa Siang-mo itu! Kedatangan Kui Hong An secara kebetulan sekali merupakan pertolongan bagi Siang Lan yang sedang terdesak hebat dalam barisan Ang-hoa-tin.

Ang-hoa Sin-mo dan Ang-hoa Mo-li yang mendengar bahwa pemuda baju putih yang tampan dan gagah ini adalah putera dari Kui Bok Beng, maklum bahwa pertempuran mati-matian takkan dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi mereka sama sekali tidak merasa takut, bahkan Ang-hoa Sin-mo lalu tertawa mengejek dan berkata,

”Anak muda, kalau begitu aku adalah supekmu sendiri. Ayahmu telah tewas karena ia tak tahu diri dan berani melawanku, maka kalau kau suka mendengar nasihatku, lebih baik kau pergi dan lupakanlah urusan yang terjadi antara ayahmu dan kami berdua, karena urusan itu adalah urusan antara kakak dan adik seperguruan! Kalau kau berkeras hendak membalas berarti kau hanya mengantarkan jiwamu untuk mati di tempat ini. Bukankah itu sayang sekali?”

Kui Hong An tersenyum. “Aku telah datang ke tempat ini setelah bertahun-tahun mencari kamu berdua. Setelah sekarang bertemu, apakah artinya kematian bagiku? Ang-hoa Sin-mo, bersiaplah untuk menerima pembalasan ayahku!” Setelah berkata demikian, pemuda baju putih melangkah maju dengan sikap mengancam.

“Nanti dulu!” Ang-hoa Sin Mo berkata, “Ketika kau datang, kami sedang hendak membereskan seorang gadis liar yang ingin mampus, maka kalau kau pun tak tahu diri dan ingin mampus pula, kau majulah bersama dengan gadis itu menghadapi Ang-hoa-tin kami!”

Pemuda itu tertawa mengejek. “Semua ucapan itu hanya menunjukkan betapa curang dan pengecut sifatmu, orang she Lim! Kau merasa ngeri untuk maju seorang diri, maka hendak menggunakan keroyokan dengan mengajukan barisanmu Ang-hoa-tin, dan untuk menutup rasa malu, kau suruh aku dan nona itu maju. Ha-ha-ha! Nona itu boleh jadi takut kepada Ang-hoa-tin, akan tetapi aku Kui Hong Ang, sama sekali tidak takut!”

Mendengar ucapan ini Siang Lan melompat dengan mata memandang marah. “Siapa bilang aku takut?” Sepasang mata nona itu menatap wajah Hong An dengan marah.

Pemuda itu memandangnya sambil tersenyum, lalu berkata, “Kalau Nona benar-benar tidak takut, mari kita hancurkan Ang-hoa-tin ini!”

Siang Lan tidak menjawab, hanya mempersiapkan diri dengan pedang dilintangkan di depan dada. Ang-hoa Sin-mo tidak mau banyak bicara lagi, lalu memberi tanda kepada kawan-kawannya dan mulailah tiga belas orang itu bergerak mengurung dua orang muda itu, dan mulai pula berlari-lari memutari kedua orang yang terkepung.

Ang-hoa Sin-mo hanya mencurahkan perhatiannya kepada Siang Lan yang sudah diketahui kelihaiannya, dan ia memandang rendah pemuda itu, karena ayah pemuda itu hanya seorang sutenya yang kepandaiannya masih kalah olehnya, apalagi puteranya.

Namun ketika Hong An melihat barisan itu telah bergerak, ia berseru, “Lim Pok, lihat pedang!” dan ia menyerang ke arah Ang-hoa Sin-mo dengan pedangnya.

“Pergilah!” bentak Ang-hoa Sin-mo sambil menggerakkan Coa-kut-thi-pian (Cambuk Besi Tulang Ular) dengan sekuat tenaga untuk menangkis pedang itu karena ia percaya bahwa dengan sekali tangkis saja pedang itu akan terlempar. Akan tetapi, ia menjadi kaget sekali ketika terdengar suara keras dari pertemuan antara cambuk besi dan pedang itu.

“Trang!” dan ketika Ang-hoa Sin-mo memandang, ternyata ujung cambuknya telah terpotong! Baiknya pada saat itu dari kanan kiri pemuda itu, dua orang anggota Ang-hoa-tin telah menubruk maju sehingga Hong An tak dapat melanjutkan dan terpaksa menangkis serangan dari kanan, sedangkan serangan dari kirinya ditangkis oleh Siang Lan yang tak dapat mendiamkan saja pemuda itu diserang dari kanan kiri.

Hong An memandangnya dan berkata, “Terima kasih!”

Akan tetapi Siang Lan dengan mulut cemberut lalu membalikkan tubuh dan menyerang pengurung yang berada di belakangnya! Juga Hong An lalu menggerakkan pedangnya lagi menyerang Ang-hoa Sin-mo yang kini tidak berani memandang rendah lagi!

Dua orang muda di dalam kurangan Ang-hoa-tin itu dengan berdiri saling membelakangi mulai melakukan serangan, akan tetapi kembali Ang-hoa-tin memperlihatkan ketangguhannya. Ketika Siang Lan dan Hong An mulai menyerang, barisan itu bergerak berputaran lagi dan dengan demikian, maka serangan-serangan kedua anak muda itu saling dihadapi oleh orang kedua atau ketiga dalam barisan.

Misalnya, Ang-hoa Sin-mo berputar sampai ke depan Sian Lan dan gadis ini dengan gemas menyerangnya, Iblis Bunga Merah ini melanjutkan pergerakannya memutar sehingga serangan itu dihadapi oleh orang yang berada di belakangnya yang menangkis dengan bantuan orang ketiga, sedangkan Ang-hoa Sin-mo dari samping membarengi serangan Siang Lan itu dengan serangan pula.

Demikianlah, barisan Ang-hoa-tin itu selalu menyambut setiap serangan dengan serangan-serangan pula dan tiap kali Siang Lan atau Hong An menyerang, ia langsung akan berhadapan dengan tiga atau empat orang! Yang lebih menyukarkan Siang Lan dan Hong An adalah karena di dalam kurungan yang sempit itu, mereka berdua tak dapat bergerak leluasa dan untuk memecahkan kurungan itu bukanlah hal yang mudah.

Sudah beberapa kali Siang Lan atau Hong An mencoba untuk membobolkan kurungan akan tetapi tak berhasil karena ke mana saja mereka bergerak, kurungan tiga belas orang yang terus berlari memutar itu secara otomatis telah mengurung mereka pula.

“Jangan bergerak, kita mencari akal!” Tiba-tiba Hong An berkata kepada Siang Lan.

Gadis ini menurut dan mereka berdiri saling membelakangi dengan pedang disiapkan untuk menangkis serangan, akan tetapi sebagaimana tadi ketika Siang Lan dikeroyok, barisan itu tidak mau menyerang dan hanya berputaran untuk membuat pening dan kabur pandangan mata kedua orang muda itu. Hong An memandang dengan penuh perhatian, demikian pun Siang Lan.

“Ah, ada jalan untuk memecahkannya!” Tiba-tiba Hong An berkata.

“Aku pun mempunyai jalan yang baik!” kata Siang Lan.

Mereka berdua ini bicara dengan tubuh saling membelakangi, jadi tidak dapat saling pandang. Mendengar ucapan Siang Lan yang kedengarannya tak mau kalah itu, Hong An tersenyum seorang diri dan bertanya, “Apakah jalanmu?”

“Katakan dulu apa jalanmu!” jawab Siang Lan tak mau kalah.

Kemudian Hong An tersenyum, alangkah tinggi hati gadis ini, pikirnya. “Kita harus ikut berlari ke arah berlawanan dengan mereka, dengan demikian mereka menjadi kacau pergerakannya dan perhatian mereka terpecah, kalau sudah demikian baru kita menyerang!”

“Jalanku lain lagi! Aku hendak mempergunakan thi-lian-ci untuk menghajar mereka dari dalam!”

“Bagus, sambil berlari kau menghajar mereka dengan thi-lian-ci dan aku menyerang dengan pedang sehingga kurungan ini terbuka!” kata pula Hong An.

Demikianlah, dua orang muda yang sama sekali tidak saling kenal dan secara kebetulan berada dalam keadaan yang sama ini, kini tanpa melihat muka masing-masing, telah mengadakan perundingan seperti dua orang kawan senasib!

Tiga belas orang anggota barisan Ang-hoa-tin itu menjadi heran dan curiga melihat dua orang yang mereka kurung hanya bercakap-cakap dan berbisik-bisik. Selagi Ang-hoa Sin-mo hendak memberi aba-aba untuk mulai dengan serangannya, tiba-tiba dua orang muda itu mulai bergerak dan berlari-lari dengan arah yang berlawanan!

Tentu saja semua anggota barisan itu menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat bagaimana. Belum pernah mereka mengalami hal ini dan belum pernah ada orang yang mereka hadapi melakukan hal yang aneh ini.

“Serang mereka bergantian!” Tiba-tiba terdengar Ang-hoa Sin-mo memberi aba-aba karena dengan berlari-larinya kedua orang muda itu, berarti bahwa usaha membuat mereka menjadi pening telah gagal sama sekali! Kini mereka mulai menggerakkan senjata dan mulai menyerang setelah lebih dulu berhenti berlari.

“Bagus!” seru Hong An dan Siang Lan hampir berbareng karena setelah ketiga belas orang itu tidak berlari-lari lagi, mudahlah bagi mereka untuk bergerak.

Dengan berbareng pula, Hong An memutar pedangnya menangkis serangan lawan, sedangkan Siang Lan melompat ke tengah dan tangan kirinya menyambar. Beberapa butir thi-lian-ci menyambar keluar dari tangan itu menuju ke arah ketiga orang anggota barisan itu yang menjadi terkejut sekali dan cepat mengelak. Akan tetapi kembali beberapa butir thi-lian-ci menyambar lagi dengan kecepatan luar biasa.

Dua orang di antara mereka masih dapat mengelak dan menyampok dengan golok, akan tetapi yang seorang kurang cepat gerakannya sehingga sebutir thi-lian-ci dengan cepat memasuki daging di pundaknya, membuat ia menjerit kesakitan!

Siang Lan tidak mau membuang waktu lagi dan cepat melompat dengan pedang diputar, mendesak orang yang telah terluka itu. Tiga orang kawannya membantunya dan menghadang untuk mencegah Siang Lan keluar dari kepungan akan tetapi kembali tangan kiri Siang Lan bergerak. Kini sembilan butir thi-lian-ci dengan cepatnya menyambar ke arah tiga orang itu yang cepat harus melompat jauh untuk menghindarkan diri dari senjata rahasia yang berbahaya itu.

Saat ini digunakan oleh Siang Lan untuk menerjang orang yang terluka pundaknya tadi. Orang itu mencoba untuk menangkis dengan goloknya, akan tetapi ia kalah cepat dan biarpun ia berhasil menangkis pedang Siang Lan, namun tendangan gadis itu yang menyusul gerakan pedangnya dengan cepat mengenai dadanya sehingga ia menjerit kesakitan dan tubuhnya bergulingan di atas tanah!

Kini pecahlah kepungan di bagian Siang Lan dan gadis itu melompat keluar siap menanti serbuan lawan dengan pedang di tangan. Adapun Hong An yang juga bergerak cepat dengan pedangnya di tangan telah dikeroyok oleh empat orang, yakni Ang-hoa Sin-mo, Ang-hoa Mo-li dan dua orang anak buah mereka. Gerakan pedang ini demikian cepat dan hebat sehingga Ang-hoa Sin-mo diam-diam mengeluh.

Ternyata bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari Kui Bok Beng, dan sama sekali tidak memiliki ilmu silat cabangnya, yakni cabang Bu-tong-pai yang telah banyak dirubah. Melihat ilmu pedangnya, Ang-hoa Sin-mo dapat menduga bahwa Hong An tentu murid dari Kun-lun-pai yang terkenal memiliki ilmu pedang yang terkenal tangguh dan lihai.

Biarpun permainan cambuk besi dari Ang-hoa Sin-mo dan siang-kiam dari Ang-hoa Mo-li cukup tangguh, dibantu pula oleh dua orang anak buah mereka yang cukup tinggi ilmu silatnya, namun ilmu pedang Kui Hong An dapat mengimbangi serangan mereka, bahkan dapat membuat kacau permainan kedua orang anak buah perampok itu.

Untuk menghadapi sambaran cambuk besi dari Ang-hoa Sin-mo yang lihai dan sepasang pedang dari Ang-hoa Mo-li yang ganas, Hong An mempergunakan kegesitan dan gin-kangnya. Ia bergerak cepat dan tubuhnya berkelebat ke sana kemari, didahului oleh sinar pedangnya yang berkilauan.

Sementara itu, Siang Lan hanya menghadapi keroyokan tujuh orang anak buah perampok, menghadapi mereka dengan enak dan tenang. Dua orang di antara anak buah perampok telah rebah di tanah, yakni yang tadi ia tendang dan seorang lagi yang terkena pedangnya pada saat mereka menyerbu setelah ia keluar dari kepungan. Dengan robohnya dua orang, maka kini yang menghadapinya masih ada tujuh orang lagi.

Gadis ini sama sekali tidak merasa gentar dan pedangnya dimainkan sedemikian rupa sehingga pedang itu selain merupakan sinar gemilang yang melindungi seluruh tubuhnya, juga kadang-kadang melesat panjang dan jauh menyerang. Ia juga menggunakan thi-lian-ci, maka kacau balau para pengeroyoknya.

Dua orang berteriak mengaduh-aduh dan mundur dari pertempuran karena perut mereka kemasukan biji-biji besi itu! Hal ini membuat lima orang pengeroyok lain menjadi pucat ketakutan dan permainan mereka makin kacau balau lagi. Akan tetapi mereka ini masih membandel dan terus menyerang dengan buas.

Melihat kebandelan mereka, Siang Lan merasa gemas juga. Ia tidak mau membunuh banyak orang dan tidak suka pula melayani orang-orang kasar ini lebih lama lagi, maka ia berseru keras dan segera gerakan pedangnya dirubah cepat. Gerakan pedangnya timbul dari tenaga lwee-kangnya, dan permainannya pun luar biasa, karena ia mainkan ilmu pedang Tat-mo Kiam-hwat, yakni ilmu pedang ciptaan Tat Mo Couwsu yang sakti.

Terdengar teriakan-teriakan terkejut karena begitu Siang Lan menggerakkan pedangnya dengan luar biasa ini, dua orang pengeroyok melempar pedang dan memegangi tangan kanannya yang mengalirkan darah, sedangkan seorang lagi mengeluh kesakitan karena pundaknya terbabat oleh ujung pedang gadis pendekar itu!

Mereka kini menjadi takut betul-betul dan ketika menengok ke arah pemimpin-pemimpin mereka ternyata bahwa keadaan pemimpin mereka juga terdesak sekali maka dua orang pengeroyok yang masih belum terluka segera berseru,

“Lari...!” Orang yang telah menderita luka itu terhuyung-huyung lalu berlari cepat pergi dari situ, menyusul dua orang kawannya yang telah melarikan diri terlebih dulu.

Siang Lan tersenyum dan memandang ke arah pemuda yang masih bertempur itu. Ia menjadi kagum melihat betapa pemuda itu telah berhasil pula merobohkan dua orang kawan Ang-hoa Siang-mo sehingga kini ia hanya menghadapi suami isteri Iblis Kembang Merah itu. Sekali pandang saja maklumlah Siang Lan bahwa pemuda itu adalah seorang anak murid Kun-lun-pai yang memiliki gerakan cepat sekali sehingga diam-diam ia merasa kagum.

Tiba-tiba Siang Lan merasa betapa matanya menjadi merah ketika darah hangat menyerbur naik ke mukanya karena perasaan jengah dan malu mendorongnya. Mengapa ia merasa kagum dan tertarik kepada pemuda ini? Tak pantas bagi seorang gadis mempunyai perasaan semacam ini terhadap seorang pemuda yang baru saja dijumpainya.

Ia melihat betapa Hong An mendesak hebat suami isteri itu dengan pedangnya, bahkan kini Ang-hoa Mo-li hanya bermain dengan satu pedang saja karena pedang di tangan kirinya telah terlempar ketika ia menangkis pedang Hong An. Tiba-tiba Ang-hoa Mo-li melompat keluar dari kalangan pertempuran itu sambil berseru,

“Lim Pok, kau hadapi sendiri dia! Kaulah yang dulu bermusuhan dengan Bok Beng, bukan aku!” Setelah berkata demikian Ang-hoa Mo-li lari pergi dari situ!

Siang Lan merasa gemas sekali melihat ketidak setiaan iblis perempuan itu terhadap suaminya, maka ia mengambil segenggam thi-lian-ci dan disambitkan ke arah tubuh Ang-hoa Mo-li yang hendak melarikan diri.

“Ang-hoa Mo-lli bawalah hadiah ini dariku!” teriaknya.

Ang-hoa Mo-li cepat mengelak, akan tetapi karena sambitan thi-lian-ci yang dilepas oleh Siang Lan ini memang cepat sekali sambarannya, juga dilepas secara istimewa sehingga biji-biji teratai besi itu menyambar ketiga jurusan yakni tepat ke arah punggung dan sebagian ke arah kanan kiri tubuh Ang-hoa Mo-li, maka ketika iblis perempuan itu mengelak ke kiri, masih saja sebutir thi-lian-ci mengenai tangan kanannya!

Ia menjerit kesakitan, membalikkan tubuh dan memandang marah kepada Siang Lan. Akan tetapi, melihat gadis gagah itu berdiri dengan tersenyum mengejek, ia menjadi ngeri karena maklum bahwa kepandaiannya takkan dapat menangkan lawan tangguh ini, maka ia berseru,

“Dasar anak murid Siauw-lim-pai yang jahat! Hati-hati kau, lain kali akan datang saatnya aku membalas kekurangajaranmu ini!” Setelah berkata demikian, ia melompat maju dan melarikan diri.

Sementara itu, ketika melihat betapa isterinya lari meninggalkannya, hati Ang-hoa Sin-mo menjadi bingung sekali, dibantu oleh isterinya pun dia masih tak dapat menangkan pemuda ini, apalagi kalau menghadapinya seorang diri! Biarpun ia telah memutar-mutar cambuk besinya dengan nekat, namun tetap saja terdesak.

Pada saat yang baik, Hong An mendesaknya dengan serangan Po-in-kian-cit (Menyapu Awan Melihat Matahari), ujung pedangnya bagaikan kilat secepatnya menyabet ke arah leher Ang-hoa Sin-mo yang segera menangkis dengan cambuknya. Akan tetapi ketika pedang itu bertemu dengan cambuk, Hong An memutar pedangnya sehingga cambuk itu menggubat pedang.

Ang-hoa Sin-mo mengerahkan tenaga dan membetotnya dengan maksud untuk merampas pedang lawan, akan tetapi ternyata bahwa tenaga Hong An juga besar sekali sehingga jangankan untuk merampas pedang lawan, menggerakkannya saja pun Ang-hoa Sin-mo tidak sanggup!

Pada saat itu Hong An melancarkan serangan dengan kakinya yang bergerak bergantian dalam ilmu tendang Sa-tak-twi (Tendangan Segitiga). Ilmu tendang yang amat lihai dan cepat ini tak dapat dihindarkan oleh Ang-hoa Sin-mo sehingga dalam dua jurus saja pergelangan tangannya yang memegang thi-pian telah kena tendang sehingga senjatanya terlepas dan terlempar ke udara!

Ang-hoa Sin-mo terkejut sekali dan karena tidak ada harapan untuk menang, ia lalu melarikan diri ke arah rawa! Dengan sekali lompatan jauh, ia telah berada di pinggir rawa dan segera meloncat ke atas bambu yang terdekat.

“Lim Pok, jangan lari! Hutangmu belum lunas!” teriak Hong An mengejar dan tanpa sangsi lagi melompat ke atas bambu di mana Lim Pok Si Iblis Bunga Merah telah berdiri.

Mendengar seruan ini dan maklum bahwa pemuda itu mengejarnya, tiba-tiba Ang-hoa Sin-mo lalu membalikkan tubuh dan tangan kanannya bergerak melemparkan sesuatu ke arah Hong An. Pemuda itu cepat menggerakkan tubuhnya sehingga miring dan sambitan itu tidak mengenai sasaran.

Ternyata yang disambitkan oleh Ang-hoa Sin-mo itu adalah hiasan emas berbentuk bunga merah yang tadinya menghias rambutnya. Memang di antara bunga-bunga merah yang asli yang menghias dan memenuhi rambutnya, terdapat beberapa bunga terbuat dari emas yang indah sekali.

Biarpun Hong An dapat mengelakkan diri dari sambitan itu, akan tetapi karena ia menggerakkan tubuh sebelum menginjak bambu, kini ia turun tidak tepat di atas bambu! Seekor buaya yang berada di dekat tempat itu ketika melihat tubuh pemuda itu jatuh dari atas lalu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dari atas permukaan air dengan mulut terbuka lebar!

“Bagus!” Hong An memuji dengan girang oleh karena binatang ini merupakan penolong baginya. Ia menurunkan kakinya yang sebelah kanan lebih dulu ke arah mulut yang terbuka itu sebagai umpan! Ketika buaya itu menggerakkan mulut yang ditutup dengan tiba-tiba, Hong An menarik kaki dan kini kaki kirinya menginjak mulut yang telah terkatup itu dan secepat kilat ia menggunakan kepala buaya itu sebagai panjatan dan melompat lagi ke atas bambu itu.

Ang-hoa Sin-mo tadinya telah bergirang hati karena menyangka bahwa pemuda itu pasti akan mati di dalam mulut buaya. Alangkah terkejutnya melihat betapa dengan berani sekali pemuda itu dapat menghindarkan serangan buaya bahkan mempergunakan binatang buas itu sebagai jembatan! Ia merasa menyesal mengapa ia berhenti untuk melihat hasil serangannya.

Kini untuk melarikan diri sudah tidak ada waktu lagi karena Hong An segera menyerbunya. Terjadilah perang tanding yang mati-matian di atas sebatang bambu yang terapung di atas air! Sementara itu, melihat betapa bambu itu tenggelam di bawah permukaan air karena terlalu berat bebannya, buaya-buaya di kanan kiri bambu itu dengan cepat berenang mendekat dengan mulut dibuka lebar-lebar.

“Kalau bukan kau, tentu aku!” Tiba-tiba Ang-hoa Sin-mo berseru keras dengan menggerakkan tubuhnya menubruk dengan sepasang tangannya dipentang lebar ke arah lawannya!

Hong An hanya berdiri di atas sebatang bambu, maka tentu saja sukar baginya untuk menghindarkan diri dari terkaman nekat ini. Ia melihat betapa jari tangan dari lawannya itu dibuka bagaikan kuku garuda dan maklum bahwa ia tidak dapat menyambut serangan ini dengan pukulan atau tendangan.

Karena tentu orang yang nekat itu akan menangkap kaki atau tangannya dan mengajaknya mati bersama di dalam air yang penuh buaya buas itu! Jalan lain tidak ada lagi bagi Hong An, maka ia lalu berseru keras dan tubuhnya mencelat ke atas dengan cepat bagaikan menyambar kilat!

Ang-hoa Sin-mo menubruk tempat kosong dan tentu saja gerakannya yang hebat dan nekat ini membuat tubuhnya meluncur ke depan dan akhirnya jatuh ke dalam air mengeluarkan suara bercebur ketika air muncrat ke atas. Buaya-buaya buas yang telah menanti-nanti korban itu segera memburu dengan mulut terbuka lebar!

Ang-hoa Sin-mo menggerakkan kedua tangannya dan dua ekor buaya terpukul ke kanan kiri! Memang hebat pukulan Ang-hoa Sin-mo ini, akan tetapi di dalam air menghadapi sekian banyaknya binatang buas, ia tak berdaya dan tak lama kemudian terdengar pekik ngeri dan tubuhnya diseret ke dasar rawa!

Sementara itu, tubuh Hong An yang melompat ke atas itu, ketika melayang turun ke bawah kembali, agaknya juga akan mengalami nasib yang sama pula dengan Ang-hoa Sin-mo, karena di bawahnya tidak ada sesuatu yang dapat menahan tubuhnya. Sekali ia terjatuh di dalam air, akan tamatlah riwayatnya. Pemuda itu memandang ke bawah dengan mata terbelalak lebar.

Ia tidak merasa takut, akan tetapi tak berdaya. Kalau saja ada seekor buaya yang kebetulan timbul di permukaan air itu, tentu ia bisa mempergunakannya sebagai batu loncatan. Akan tetapi sebagian besar binatang itu sedang berpesta di dasar rawa dan sebagian pula berenang di dalam air.

Tiba-tiba dari pinggir rawa, melayang sebatang bambu yang jatuh tepat di bawah pemuda itu! Hong An turun dan menginjak bambu itu untuk melompat kembali ke arah bambu yang berada di pinggir rawa, kemudian dengan dua kali lompatan lagi, sampailah ia di depan Siang Lan dan menjura dengan wajah berseri.

“Nona, terima kasih, aku Kui Hong An berhutang budi dan nyawa kepadamu, terimalah hormat dan terima kasihku.”

Memang yang melontarkan bambu untuk menolong Hong An tadi adalah Siang Lan. Kini menghadapi pemuda yang menjura dan menghaturkan terima kasihnya itu, kembali Siang Lan merasa betapa mukanya menjadi merah karena hatinya berdebar keras. Ia membalas memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke dada sambil berkata,

“Tak usah bicara tentang budi dan terima kasih. Kalau kau tidak cepat datang tadi ketika aku dikeroyok, tentu aku telah tewas dan kau sekarang akan tewas pula di dalam rawa! Saling bantu dalam usaha menghadapi si jahat, sudah menjadi keharusan yang sepantasnya. Perlu apa banyak upacara lagi?”

Hong An tersenyum dan mengangkat mukanya memandang. Kebetulan sekali Siang Lan juga sedang menatap wajahnya, maka tanpa disengaja dua pasang mata bertemu pandang. Entah mengapa, dua pasang mata itu seakan-akan tertarik oleh sesuatu yang mempunyai pengaruh sihir, empat buah mata itu terbuka lebar dan sampai lama tidak berkedip! Akhirnya Siang Lan yang mengalihkan pandangan matanya lebih dulu, sedangkan Hong An lalu bertanya,

“Bolehkah aku mengetahui nama Nona dan mengapa pula Nona bermusuhan dengan Ang-hoa Siang-mo?”

Semenjak pertemuan pandang mata tadi, Siang Lan merasa jantungnya masih berdebar tidak karuan sehingga ia maklum bahwa kalau ia bicara, suaranya tentu terdengar gemetar. Oleh karena itu ia tidak menjawab, bahkan lalu menggerakkan kaki menuju ke pinggir rawa.

Hong An merasa heran dan mengejarnya. “Eh, Nona, mengapa kau seperti orang marah? Kalau aku tidak boleh mengetahui namamu, tidak apa, akan tetapi jangan marah kepadaku!”

Siang Lan menggigit bibirnya. “Siapa marah? Dan tentang nama.., apa perlu kau yang tidak kukenal mengetahuinya. Aku bertempur dengan Ang-hoa Siang-mo karena mereka penjahat-penjahat kejam! Sudahlah aku harus pergi dari sini!” Ia lalu melompat ke atas bambu dan segera menyeberangi rawa itu untuk mencari kedua orang adiknya!

Hong An berdiri bengong di pinggir rawa, mengikuti bayangan nona yang jelita itu dengan pandang matanya sampai bayangan Siang Lan lenyap dari pandangan. Ia menarik napas panjang berulang-ulang. “Sayang... sayang... aku tak kenal namanya.”


Sekarang baiklah kita mengikuti pengalaman Hwe Lan gadis yang keras hati itu. Sebagaimana telah dituturkan di bagian pertama, ketika melihat Siang Lan mengejar perwira muka hitam, Hwe Lan menyuruh adiknya, Sui Lan, untuk menyusul encinya itu karena ia merasa tidak enak hati melihat encinya itu mengejar musuhnya seorang diri.

Perwira-perwira Kim-i-wi yang mengeroyok tinggal tiga orang lagi dan mereka ini bukan apa-apa bagi Hwe Lan yang gagah perkasa. Setelah Sui Lan pergi untuk menyusul encinya Hwe Lan lalu memutar-mutar pedangnya sedemikian rupa sehingga dalam beberapa jurus saja kembali seorang perwira roboh mandi darah tertusuk oleh pedangnya.

Dua orang perwira yang masih mengeroyoknya kehabisan semangat dan keberanian, maka mereka lalu memutar badan lari tunggang-langgang! Akan tetapi Hwe Lan tidak membiarkan mereka melarikan diri dari sebelah selatan. Sibuklah kedua orang perwira itu ketika melihat bahwa nona yang kosen itu mengejarnya.

Pada saat itu, dari jauh datang tiga bayangan orang berlari-lari secepat terbang. Seorang di antara mereka, yang lari paling depan adalah seorang laki-laki pendek gemuk yang berkepala gundul akan tetapi pakaiannya ganjil sekali, karena di luar ia memakai jubah pendeta namun di sebelah dalam ia mengenakan pakaian perwira tinggi!

Kakek ini larinya cepat sekali biarpun ia nampak berjalan seenaknya. Di ketiak kirinya terkempit sebatang tongkat yang pada kedua ujungnya bulat seperti bola. Kakek ini bukanlah orang sembarangan, karena ia bukan lain adalah Wai Ong Koksu atau guru negara, karena sesungguhnya kakek ini adalah seorang sakti dari Bu-tong-san, dan ilmu silatnya sudah mencapai tingkat tinggi sekali.

Wai Ong Koksu ini adalah seorang tokoh besar Bu-tong-pai yang menjadi kakak seperguruan dari tokoh Bu-tong-pai yang bernama Pang To Tek! Memang telah lama Wai Ong Hosiang ini mengasingkan diri di atas pegunungan sebelah utara. Ketika ia mendengar bahwa Kaisar memerlukan seorang guru silat dan juga penasehat, ia lalu turun gunung dan berhasil mendapatkan kedudukan tinggi itu.

Pangkat Koksu ini dikehendaki oleh banyak sekali jago-jago silat dan tokoh-tokoh kang-ouw, akan tetapi, mereka semua terpaksa mundur ketika melihat Wai Ong Hosiang karena maklum akan kelihaian kakek gundul ini. Beberapa orang jago silat yang belum mengetahuinya dan mencoba untuk merebut kedudukan itu, seorang demi seorang jatuh dalam tangan Wai Ong Hosiang yang lihai.

Sayang sekali bahwa seorang pendeta yang sakti dan berkepandaian setinggi dia ini, masih mempunyai kelemahan terhadap kedudukan tinggi dan harta serta kemuliaan!

Orang kedua adalah seorang perwira tinggi dari kerajaan yang berpangkat bu-su dan juga merangkap menjadi pelatih para perwira. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya kuning membayangkan kekejaman hati. Matanya tajam tanda bahwa ia berotak cerdik. Dia ini juga bukan orang sembarangan dan tidak kalah terkenal di kalangan perwira kerajaan, karena ia adalah Gui Kok Houw yang berpangkat bu-su semenjak belasan tahun yang lalu dan mendapat kepercayaan penuh dari Kaisar.

Sungguhpun Gui Kok Houw masih kalah pengaruhnya jika dibandingkan dengan Wai Ong Koksu, akan tetapi di antara semua perwira, boleh dibilang ia menduduki tingkat paling tinggi dan pengaruhnya paling besar. Juga ilmu silat Gui Kok Houw amat lihai, karena selain mengerti banyak macam ilmu silat dari pedalaman, ia pun mengerti pula dengan baiknya tentang ilmu silat dari Mongol.

Senjata yang biasa dipakainya juga amat luar biasa dan sukar dilawan, yakni tiga butir bola-bola berduri terbuat dari baja yang diikat dengan tali-tali baja. Apabila ia mainkan bola-bola berduri ini, maka tiga bola itu akan menjadi beberapa belas banyaknya dalam pandangan lawan, dan lihainya bukan main!

Orang ke tiga yang larinya paling akhir adalah seorang pemuda yang berpakaian seperti bangsawan. Usianya kurang lebih sembilan belas tahun, wajahnya tampan sekali sehingga kalau ia mengenakan pakaian wanita, tentu ia akan menjadi seorang gadis yang amat cantik sekali. Gerak-geriknya lemah lembut dan sopan-santun, tanda bahwa ia mendapat pendidikan baik dan telah mempelajari kebudayaan dan kesusasteraan.

Namun, tindakan kakinya cukup gesit dan menunjukkan bahwa ia telah memiliki bu-ge (ilmu silat) yang cukup lihai. Orang ini adalah seorang putera pangeran yang paling berkuasa di waktu itu, yakni Pangeran Souw Bun Ong yang selain kaya raya juga menduduki pangkat tinggi di istana dan menjadi tangan kanan Kaisar sendiri.

Pemuda putera Pangeran Souw ini bernama Souw Cong Hwi, putera tunggal yang amat dimanja, seorang pemuda bangsawan yang selain tampan, juga dapat disebut seorang bun-bu-cwan-jai (ahli sastra dan ahli silat).

Dua orang perwira yang dikejar-kejar oleh Hwe Lan dan sedang berlari ketakutan itu, tadinya telah merasa putus harapan ketika melihat gadis yang lihat itu mengejar dengan cepatnya. Akan tetapi ketika mereka melihat bayangan Wai Ong Koksu, mereka menjadi gembira sekali dan segera berteriak-teriak,

“Koksu yang mulia, tolonglah jiwa kami...” Akan tetapi belum habis mereka berteriak, mereka menjerit dan roboh dengan punggung mereka bolong-bolong karena ditembusi beberapa butir thi-lian-ci yang dilepas oleh Hwe Lan secara luar biasa sekali!

“Omitohud! Ganas sekali...!” Wai Ong Koksu berseru melihat sepak terjang Hwe Lan ini. “Gadis liar dari manakah kau berani sekali mencelakai perwira-perwira kerajaan?”

Akan tetapi, ketika melihat bahwa tiga orang yang datang ini juga pihak musuh, karena yang dua berpakaian seperti perwira, Hwe Lan tidak banyak cakap dan kembali tangannya bergerak menyebar thi-lian-ci ke arah Wai Ong Koksu dan Gui Busu yang datang lebih dulu.

Gui Kok Houw melompat ke kiri dan mengelakkan diri dari sambaran thi-lian-ci, akan tetapi Wai Ong Koksu tidak mengelak dan hanya mengebutkan tangan bajunya ke arah dua butir thi-lian-ci yang menuju ke arah matanya. Thi-lian-ci yang lain, yakni ada dua butir lagi yang menuju ke arah dadanya, ia biarkan saja dan ketika dua butir biji teratai besi mengenai badannya, senjata rahasia kecil ini terpental dan runtuh ke atas tanah!

Hwe Lan menjadi terkejut sekali melihat kelihaian perwira tua yang gundul ini. ia telah menyambit dengan membidik jalan-jalan darah, akan tetapi ternyata sambaran thi-lian-ci yang dilepaskannya tadi mengenai bagian anggota badan lain. Ia takkan heran melihat kekebalan kakek itu, akan tetapi karena ia maklum bahwa senjata rahasianya dengan tepat menghantam jalan darah.

Maka ia dapat menduga dengan terkejut bahwa kakek ini tentulah memiliki ilmu Pi-ki-hu-hiap (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah), semacam ilmu khi-kang yang baru saja diajarkan oleh gurunya dan baik ia sendiri, maupun kedua saudaranya, belum dapat mempergunakannya dengan baik!

Ia maklum bahwa kini ia menghadapi lawan yang bukan main lihainya, sedangkan gerakan Gui Kok Houw ketika mengelak sambaran thi-lian-ci tadi saja cukup menunjukkan bahwa orang tinggi besar muka kuning ini pun memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

Akan tetapi, Hwe Lan memang seorang gadis yang mempunyai keberanian yang luar biasa dan memang sudah menjadi wataknya tidak mau kalah terhadap lawan, maka ia sama sekali tidak merasa takut dan bersiap sedia menghadapi pertempuran yang bagaimana berbahayanya pun!

Pada saat itu, seorang di antara dua orang perwira yang tadi roboh oleh thi-lian-ci yang disambitkan Hwe Lan, dapat merangkak bangun dan segera berseru, “Koksu... dia... perempuan itu... dia adalah pemberontak Siauw-lim-pai...!”

Mendengar ucapan ini, berubalah wajah Wai Ong Koksu. Dia memang menaruh hati dendam dan membenci Siauw-lim-pai, apalagi sebagai guru negara ia harus membasmi setiap pemberontak. “Bagus, biar aku tangkap dia!”

Sambil berkata demikian, tiba-tiba tubuh kakek tua ini berkelebat dan sepasang ujung lengan bajunya menyambar ke arah kedua pundak Hwe Lan menyerang jalan darah Kin-ceng-hiat. Serangan ujung lengan baju ini demikian keras, sehingga sebelum pukulan sampai, angin pukulannya telah terasa oleh Hwe Lan.

Gadis ini terkejut sekali dan maklum bahwa tenaga khi-kang kakek ini tak boleh dibuat main-main, maka ia lalu mengandalkan ilmu meringankan tubuh, mengelak ke kiri dengan cepat, kemudian dari kiri ia membalas dengan serangan pedang dalam gerak tipu Merak Sakti Mematuk Cacing. Pedangnya dari arah kiri meluncur cepat bagaikan anak panah menusuk lambung lawan.

Wai Ong Koksu cepat memutar lengan bajunya dengan sabetan keras. Ia bermaksud untuk melibat pedang gadis muda itu untuk kemudian dirampas, akan tetapi ia menjadi terkejut sekali karena gadis itu dengan gerakan yang luar biasa cepatnya menarik kembali pedangnya dan kini menusuk lagi ke arah mata!

“Bagus” teriaknya memuji dan timbul keheranan besar dalam hatinya, karena sungguh tak pernah ia menyangka bahwa gadis ini memiliki ilmu silat yang demikian hebat. Karena tusukan ke arah matanya itu amat cepatnya, terpaksa untuk mengelak ia harus menarik kepalanya kebelakang dan berbareng dengan gerakan ini, kedua tangannya bergerak ke depan sehingga ujung lengan bajunya yang panjang itu menyambar ke arah pinggang Hwe Lan!

Makin kagum dan terkejutlah hati Wai Ong Koksu melihat bagaimana gadis itu melepaskan diri dari serangannya ini. Dengan gin-kang yang luar biasa, tiba-tiba Hwe Lan melompat ke atas sehingga sambaran dua ujung lengan baju itu lewat di bawah kakinya, kemudian bagaikan seekor burung terbang, dara itu menukik dengan kepala ke bawah dan menyambar dari atas dengan pedang diputar-putar menyerang kepala yang gundul dari Wai Ong Koksu.

“Benar-benar lihai!” Kakek gundul itu berseru dan cepat ia melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serbuan dari atas ini. Ia benar-benar terkejut melihat betapa baiknya gerakan garuda menyambar ular yang dilakukan oleh gadis itu, dan tahulah ia bahwa untuk mengalahkan gadis ini, ia harus mempergunakan sebagian besar dari kepandaiannya.

Maka Wai Ong Koksu lalu menggulung lengan bajunya yang panjang kemudian sambil berseru keras ia menyerang dengan kedua tangannya! Guru besar ini masih merasa sungkan dan malu untuk mempergunakan senjatanya, yakni tongkatnya yang tadi ia tancapkan di atas tanah, karena ia tidak mau ditertawakan orang-orang gagah.

Masa seorang guru negara yang berkepandaian tinggi seperti dia harus mempergunakan senjatanya untuk menghadapi seorang dara muda yang lebih patut disebut anak-anak ini. Kakek ini bergerak maju dengan langkah yang tetap dan cepat sedangkan kedua lengannya bergerak-gerak secara luar biasa sekali sehingga menimbulkan angin menyambar-nyambar.

Hwe Lan terkejut juga melihat gerakan ini dan tahulah ia bahwa kakek yang lihai ini hendak melawannya dengan ilmu silat Kong-ciu-cip-ban-kiam (Dengan Tangan Kosong Memasuki Laksaan Padang)! Ia pernah melihat gurunya mendemonstrasikan ilmu silat yang lihai ini dan pernah pula mempelajarinya, akan tetapi karena sukarnya gerakan ilmu silat ini, maka kepandaiannya dalam ilmu silat ini masih jauh dari sempurna.

Kini ia melihat betapa kakek ini menggerakkan tangannya sedemikian rupa sehingga menurut penglihatannya, tidak kalah oleh gurunya sendiri. Akan tetapi, dalam kamus hati Hwe Lan tiada terdapat kata-kata gentar atau takut. Ia memutar pedangnya dan memainkan ilmu pedang Bidadari Menyebar Bunga, semacam ilmu pedang yang diciptakan oleh gurunya. Ilmu pedang ini berdasar ilmu pedang Tat Mo Kiam-hoat dan Lian Gi Kiam-hoat.

Maka gerakannya pun aneh dan sukar diduga perubahannya. Melihat gerakan pedangnya yang hampir sama dengan gerakan pedang cabang persilatannya sendiri ini, Wai Ong Koksu menjadi kaget, akan tetapi ia terheran-heran karena setelah diperhatikan, ternyata berlainan juga. Memang, Lian Gi Kiam-hoat adalah ilmu pedang dari Bu-tong-pai sehingga tentu saja ilmu pedang ini dimengerti baik oleh Wai Ong Koksu yang menjadi pentolan Bu-tong-pai.

Maka heranlah kakek ini menyaksikan ilmu pedang yang aneh ini, aneh dan lihai sekali sehingga biarpun ia mempergunakan ilmu silat Kong-ciu-cip-kiam yang biasanya cukup kuat untuk menghadapi keroyokan belasan orang yang berpedang dengan hanya bertangan kosong saja, akan tetapi menghadapi ilmu pedang Hwe Lan, kakek gundul ini benar-benar merasa terdesak!

Wai Ong Koksu sama sekali tidak takut akan pedang Hwe Lan, karena pedang ini adalah pedang biasa yang takkan dapat melukai tubuhnya yang kebal dan ia memiliki ilmu Pi-ki Hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) sehingga ia pun tidak takut terhadap totokan.

Akan tetapi Hwe Lan yang amat cerdik dan tahu akan kelihaian lawan, selalu menunjukkan pedangnya pada bagian-bagian tubuh yang lemah. Pedangnya berkelebat menyambar ke arah mata, leher, pusar dan urat-urat besar yang tersembul di bawah kulit sehingga akan dapat terputus oleh pedangnya.

Biarpun Wai Ong Koksu tidak terdesak atau terancam oleh pedang Hwe Lan, akan tetapi kakek ini maklum bahwa dengan bertangan kosong saja, agaknya amat sukarlah baginya untuk mengalahkan gadis luar biasa ini. Kalau sampai ia tidak berhasil mengalahkan, apalagi kalau sampai ia terluka oleh gadis ini, alangkah akan malunya!

Lebih baik ia mempergunakan senjatanya, Wai Ong Koksu berpikir. Tak perlu ia merasa malu mempergunakan senjata, karena biarpun masih muda, gadis ini benar-benar memiliki kepandaian tinggi dan hal ini disaksikan pula oleh dua orang kawannya.

Memang, kedua kawannya itu semenjak tadi menonton pertempuran ini dengan bengong. Gui Hok Houw memandang dengan penuh kekaguman, tidak saja untuk kelihaian gadis itu, akan tetapi terutama sekali karena kecantikan dan potongan tubuh Hwe Lan yang menggairahkan dan yang membuat semangatnya seakan-akan terbang meninggalkan tubuhnya!

Gui Kok Houw terkenal sebagai seorang perwira gila perempuan, dan biarpun sudah banyak sekali ia berjumpa dengan wanita-wanita cantik, akan tetapi kali ini ia harus akui bahwa ia belum pernah melihat seorang gadis sejelita dara ini! apalagi yang memiliki ilmu silat seperti ini!

Orang ketiga, yakni Souw Cong Hwi pemuda yang tampan itu, semenjak tadi pun memandang dengan mata menyatakan kekagumannya melihat ilmu pedang Hwe Lan, akan tetapi bibirnya dikatupkan rapat-rapat karena hatinya mengandung kekhawatiran hebat sekali. Baru melihat sekali saja, timbul rasa suka dan simpati dalam hatinya terhadap dara ini.

Wajahnya yang manis dan jelita itulah yang menimbulkan rasa suka dan sikapnya yang gagah perkasa mendatangkan simpati. Souw Cong Hwi maklum akan kelihaian Wai Ong Koksu, maka ia sangat gelisah menyaksikan pertempuran ini. Diputar-putarlah otaknya untuk mencari daya upaya bagaimana ia dapat menolong gadis yang amat menarik dan yang mendebarkan hatinya ini.

Ketika ia melihat Wai Ong Koksu berseru keras dan mencabut tongkatnya yang tadi ditancapkan di atas tanah, Souw Cong Hwi terkejut sekali dan ia melompat dengan gerakan ringan ke dekat kakek itu. “Koksu yang baik, harap sabar dulu!” katanya.

Wai Ong Koksu memandang dengan heran. Biarpun, Souw Cong Hwi hanya seorang pemuda, akan tetapi ia tidak memandang rendah kepada pemuda ini. pertama karena pemuda ini adalah putera tunggal dari Pangeran Souw Bun Ong yang selain berpengaruh besar di dalam istana, juga sikapnya amat baik terhadap semua pembesar dan bahkan ketika dulu diadakan pemilihan Koksu, Pangeran Souw Bun Bong yang membujuk Kaisar agar supaya Wai Ong Hosiang menjadi guru negara.

Kedua, pemuda yang masih muda ini adalah murid terkasih dari seorang tokoh persilatan yang dikenalnya baik dan yang telah terkenal pula serta disegani oleh para tokoh besar persilatan. Guru pemuda ini adalah Pat-jiu Sin-kai Pengemis Dewa Bertangan Delapan karena memang orang tua ini hidup sebagai seorang pengemis, mengandalkan makan sehari-hari dari pemberian orang-orang yang menaruh hati kasihan kepadanya, pakaiannya tambal-tambalan.

Pat-jiu Sin-kai tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, mengembara ke seluruh penjuru dan namanya terkenal sekali karena di manapun ia berada, ia merupakan algojo bagi setiap penjahat dan merupakan pelindung bagi semua orang yang tertindas. Wai Ong Koksu mendengar cegahan pemuda ini ketika ia memegang senjatanya, lalu berkata,

“Souw Kongcu, mengapa kau menyuruh aku bersabar?”

Souw Ceng Hwi menunjuk kepada Hwe Lan yang masih berdiri gagah dengan pedang di tangan dan tangan kirinya bertolak pinggang, sambil berkata, “Koksu, kurasa bukanlah perbuatan yang bijaksana untuk membunuh seorang nona muda yang belum diketahui betul kesalahannya. Ketika kau tadi melawannya dengan tangan kosong dan berusaha menangkapnya, hal itu masih merupakan perkara kecil.

"Akan tetapi melihat kau memegang senjata dan aku tahu bahwa sekali kau menggerakkan senjata maka jarang ada orang yang dapat keluar dengan nyawa masih di dalam tubuhnya, kurasa lebih baik Koksu bersabar dulu dan jangan sampai salah tangan.

"Menurut pendapatku yang bodoh, biarpun para perwira yang pengecut tadi menyatakan bahwa nona ini adalah pemberontak Siauw-lim-pai, akan tetapi, ketika tadi bertempur melawanmu, gerakan-gerakannya menunjukkan bahwa ia sama sekali bukanlah seorang ahli dari Shiauw-lim-pai, biarpun ada beberapa gerakannya yang berasal dari Siauw-lim!

"Soal kedua, apakah kesalahannya maka kau sampai berkeras hati hendak mengangkat senjata terhadap seorang nona muda seperti dia ini? Harap Koksu sudi mempertimbangkan dengan baik dan jangan sampai melakukan hal-hal yang akan menimbulkan aib bagi nama sendiri!”

Hwe Lan yang mendengarkan ucapan pemuda itu, memandang dengan kagum, heran, dan juga mendongkol. Ia kagum mendengar kata-kata yang amat lancar, teratur dan penuh cengli (aturan) ini. Ia heran karena pemuda yang nampak lemah ini ternyata dapat melihat bahwa gerakan silatnya, dan ia mendongkol karena pemuda itu seakan-akan hendak membelanya hendak menolongnya, seolah-olah ia berada dalam keadaan yang amat terancam.

Tiba-tiba perwira muka kuning itu pun berkata, “Kokcu, ucapan Souw-kongcu betul juga. Sayang nona secantik ini kalau sampai dibunuh!”

Makin dongkol dan marahlah hati Hwe Lan mendengar ucapan ini dan melihat pandang mata perwira muka kuning itu yang ditujukan kepadanya penuh gairah dan nafsu birahi. Ingin ia menusuk mampus perwira ini. “Bangsat-bangsat rendah, apakah kau kira aku takut menghadapi kalian? Majulah kalian bertiga, tak usah banyak membuka mulut!”

Wai Ong Koksu yang tadi mendengar ucapan kedua orang kawannya, sudah mulai sabar kembali dan merasa juga bahwa tidak sepantasnya kalau dia, sebagai orang terpandai dan paling gagah dalam kerajaan, hendak mempergunakan senjata, membunuh seorang gadis demikian cantik lagi muda. Apalagi kalau ia teringat akan permainan silat gadis ini memang bukan seperti anak murid Siauw-lim. Akan tetapi, kini mendengar bentakan Hwe Lan yang galak, ia tersenyum memandang kepada mereka dan berkata,

“Coba kalian dengar, apakah anak perempuan jahat ini tak perlu dirobohkan. Kita harus tawan dia untuk dibawa ke pengadilan, karena setidaknya ia telah merobohkan perwira Kim-i-wi.”

Tiba-tiba perwira yang tadi terluka oleh thi-lian-ci milik Hwe Lan, berkata lagi, “Bukan hanya merobohkan, bahkan ia telah membunuh beberapa orang kawan-kawan kami!”

Terkejut juga hati Souw Cong Hui, dan Gui Kok Houw mendengar ini, dan Wai Ong Koksu tanpa banyak cakap lagi lalu menggerakkan tongkatnya menyerang Hwe Lan! Gadis ini dengan tabah sekali menghadapi serangan Wai Ong Koksu dengan serangan balasan yang tak kalah hebatnya. Gui Kok Houw juga tidak mau tinggal diam dan begitu tangannya bergerak, tiga bolanya telah bergerak-gerak menyambar ke arah Hwe Lan.

Akan tetapi, gadis itu sama sekali tidak merasa gentar dan memutar pedangnya dengan hebat, mengerahkan seluruh kepandaian dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Memang patut dikagumi kegagahan Hwe Lan. Seorang gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja turun dari tempat perguruan, ternyata dengan gigihnya dapat menghadapi Wai Ong Koksu dan Gui Kok Houw, dua orang jago paling pandai dari Kaisar!

Akan tetapi, betapapun juga, dua orang kosen itu bukan lawannya dan Hwe Lan hanya dapat mempertahankan diri sampai dua puluh jurus, karena kini ia mulai terdesak hebat! Tongkat di tangan Wai Ong Koksu amat kuatnya dan sambaran tongkat itu membuat ia harus berloncat-loncatan ke sana kemari, karena untuk menangkis dengan pedang ia tidak berani, maklum akan kehebatan tenaga kakek itu.

Sementara itu, tiga bola di tangan Gui Kok Houw juga berbahaya sekali, karena bola-bola yang diikat tali baja itu bergerak-gerak mengarah jalan darahnya sehingga Hwe Lan harus mempergunakan gin-kangnya untuk mengelak dan balas menyerang.

Akhirnya, tali baja dari bola Gui Busu itu berhasil melibat pedangnya, tongkat Wai Ong Koksu telah menyambar ke arah pergelangan tangannya! Terpaksa Hwe Lan harus melepaskan gagang pedangnya untuk mengelak dari sabetan ini karena kalau tidak, tulang lengannya pasti akan remuk!

Pada saat itu, bayangan Souw Cong Hwi berkelebat cepat di belakang Hwe Lan dan tanpa dapat dicegah lagi, jari tangan Souw Cong Hwi menotok jalan darah di punggung gadis itu sehingga Hwe Lan merasa tubuhnya lemas tak berdaya dan tentu akan roboh kalau tidak cepat ditangkap oleh Souw Cong Hwi.

“Aku sudah dapat menangkapnya!” kata Souw Cong Hwi sehingga Wai Ong Koksu dan Gui Kok Houw menarik kembali senjata mereka dan memandang dengan senang.

Hwe Lan benar-benar tak berdaya, tubuhnya lemas kehilangan tenaga dan hanya matanya saja yang masih memandang tajam penuh ketabahan, akan tetapi ia tidak kuasa membuka mulutnya.

“Souw-kongcu, biarkan aku yang memondong nona manis ini. Ha-ha-ha!” kata Gui Kok Houw sambil mengulurkan lengan hendak memegang lengan Hwe Lan.

Dengan muka sungguh-sungguh Souw Cong Hui berkata, “Gui-ciangkun! Patutkah kata-kata itu keluar dari mulutmu? Kau seharusnya malu!”

“Ha-ha-ha!” Gui Kok Houw masih saja tertawa sambil menudingkan jari tangannya kepada Souw Cong Hwi. “Kau sungguh pandai, Souw-kongcu! Pandai mencela orang, akan tetapi tidak melihat diri sendiri. Kau melarang aku memondong nona jelita ini agar supaya kau dapat memondongnya sendiri! Ha-ha-ha!”

“Cukup! Hatiku tidak secabul kau!” Souw Cong Hwi membentak marah dan karena marahnya ia melepaskan tubuh Hwe Lan yang terguling dan rebah miring di atas tanah.

“Hm, kalian orang-orang muda selalu ribut apabila menghadapi wanita cantik biarlah aku tua bangka yang membawa gadis ini. Mari kita bawa dia dan menyerahkannya ke dalam tangan Tan-tihu di Ki-pang karena kota itulah yang terdekat. Biarlah pengadilan di Ki-pang yang akan memeriksa perkaranya!” kata Wai Ong Koksu.

Pada saat itu, datang belasan orang perwira Kim-i-wi lain lagi yang datang untuk mengirim bala bantuan karena mereka telah mendengar tentang pertempuran itu. Mereka ini datang berkuda dan segera menolong para perwira yang telah mati dan terluka di dekat kuburan Nyo Hun Tiong itu.

Setelah Wai Ong Koksu dan yang lain-lain memeriksa kuburan dan memerintahkan anak buahnya untuk menggali dan mengambil rangka pemberontak Nyo Hung Tiong, mereka lalu pergi dari situ. Hwe Lan yang masih dalam keadaan tak berdaya itu dinaikkan kuda dan dipegang oleh Wai Ong Koksu. Rombongan perwira Kim-i-wi ini lalu pergi ke Ki-pang dan menemui jaksa di kota itu.

Melihat bahwa yang datang membawa seorang tangkapan adalah Wai Ong Koksu dari kota raja, maka jaksa di Ki-pang itu dengan tergopoh-gopoh lalu membuka persidangan pada waktu itu juga. Penduduk Ki-pang yang mendengar bahwa ada pemberontak wanita ditangkap dan hendak diadili, berduyun-duyun datang melihat.

Di ruang pengadilan telah lengkap hadir jaksa dan para pembantunya, tak ketinggalan tiga orang algojo yang pekerjaannya menyiksa pesakitan apabila ada pesakitan tidak mau mengakui dosa-dosa yang didakwakan kepadanya. Algojo-algojo ini tubuhnya tinggi besar dan nampak kejam.

Para perwira yang terluka oleh senjata tiga dara di depan makam Nyo Hun Tiong, telah hadir pula di situ, duduk di kursi rendah karena sungguhpun mereka itu perwira-perwira Kim-i-wi, akan tetapi di dalam persidangan, mereka harus memandang jaksa sebagai orang yang berkedudukan tinggi karena jaksa yang sedang memeriksa perkara adalah wakil Kaisar!

Tak lama kemudian para penonton memandang dengan mata terbuka lebar. Pesakitan digiring memasuki ruang pengadilan. Hwe Lan diiringkan Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw dan Souw Cong Hwi. Dara ini telah dibebaskan dari totokan dan berjalan dengan dada terangkat tinggi dan sikap yang angkuh. Ia masih merasa lemah karena hampir sehari berada dalam keadaan setengah lumpuh.

Hatinya mendongkol dan marah sekali, akan tetapi dia cukup cerdik untuk berlaku sabar pada saat kekuatannya belum kembali. Ia tahu bahwa tiga orang yang selalu menjaganya, yakni Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw dan Souw Cong Hwi adalah orang-orang berkepandaian tinggi, dan akan percuma belaka apabila ia memberontak. Maka ia berlaku cerdik dan menurut saja ketika digiring ke pengadilan, akan tetapi dia dalam hatinya siap sedia untuk memberontak dan melepaskan diri, mencari kesempatan baik.

Hwe Lan tidak memperdulikan pandang mata para penonton yang ditujukan ke arahnya dengan sinar mata terheran, kagum dan juga kasihan. Mereka tak pernah mengira bahwa pemberontak wanita yang ditangkap itu adalah seorang dara muda yang demikian cantik jelita.

Dengan langkah tetap dan gagah Hwe Lan disuruh menghadap di depan meja hakim. Ia berdiri lurus dan tegak sedangkan Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw dan Souw Cong Hwi mengambil tempat duduk di kursi-kursi yang telah disediakan untuk mereka. Untuk mereka ini yang berkedudukan tinggi dan tidak termasuk orang-orang yang diperiksa, disediakan kursi-kursi tinggi.

Melihat betapa gadis itu berdiri dengan angkuhnya di depan meja hakim, seorang algojo yang bermuka hitam melangkah maju dan menghardiknya. “Jangan tak tahu aturan! Berlutut!”

Hwe Lan menggerakkan kepalanya perlahan, menatap wajah algojo yang kasar dan buruk hitam itu, lalu tersenyum mengejek. Semua orang yang berada di luar ruangan itu memandang dengan hati khawatir. Mereka maklum bahwa algojo yang bermuka hitam ini adalah seorang yang paling kejam di antara semua algojo yang berada di situ.

Kini Si Muka Hitam ini menyeringai kejam dan ia lalu melakukan pekerjaannya yang biasa dilakukan apabila menghadapi seorang pesakitan yang bandel. Algojo ini berhati keras dan tidak dapat dilemahkan hatinya oleh wajah yang jelita maupun tubuh yang ramping dari seorang wanita.

Ia mengangkat kedua tangannya yang besar dengan lengan berbulu itu untuk menekan kedua pundak Hwe Lan, dibarengi dengan tendangan ke arah lutut gadis itu! Semua penonton memandang ngeri karena gadis yang cantik itu tentu akan menjerit kesakitan dan terpaksa berlutut.

Akan tetapi, mereka segera membelalakkan mata dengan terheran-heran. Bukan gadis itu yang menjerit dan berlutut bahkan algojo muka hitam itu sendiri yang terdengar memekik kesakitan dan tubuhnya yang besar itu terpental ke belakang dan terguling-guling! Ternyata bahwa biarpun tubuhnya masih lemas namun Hwe Lan masih cukup lihai kalau hanya menghadapi seorang kasar seperti algojo itu saja.

Sebelum kedua tangan dan kaki algojo itu menyentuh tubuhnya Hwe Lan telah mendahului dan dengan cepat jari tangan kanan gadis ini „memasuki‟ lambung Si Algojo yang tak ampun lagi lalu terpental. Ia merasa perutnya seperti diremas-remas dari dalam dan untuk beberapa lama hanya bergulingan sambil merintih-rintih! Kemudian ia dapat menahan sakitnya, lalu melompat berdiri dan kini bersama dua orang kawannya ia hendak turun tangan membereskan pesakitan bandel yang berani berlaku kurang ajar itu!

Akan tetapi, tiba-tiba Souw Cong Hwi pemuda putera pangeran itu, berdiri dari kursinya dan berkata sambil mengangkat tangan kanan ke atas. “Tahan! Jangan menggunakan kekerasan. Apakah kalian hendak mengacaukan pemeriksaan? Mundur!”

Para algojo melihat pemuda ini, segera mengundurkan diri. Mereka tahu siapa pemuda ini, maka mereka tidak berani melanggar perintahnya. Souw Cong Hwi lalu berpaling kepada hakim dan berkata,

“Harap Taijin suka melanjutkan pemeriksaan ini tanpa banyak upacara lagi.”

Sebetulnya, hakim, jaksa dan lain-lain pembesar pengadilan merasa terhina sekali dengan sikap Hwe Lan ini. Pada masa itu, seorang yang berani menghina pengadilan dan tidak mau berlutut saja sudah cukup menjadi alasan untuk menjatuhkan hukuman pukul pinggul lima puluh kali! Akan tetapi, mereka tahu bahwa pada saat itu mereka tidak dapat memperlihatkan gigi, karena di situ hadir pula Souw Cong Hwi, putera pangeran yang amat berpengaruh, juga terdapat pula Wai Ong Koksu, Gui Kok Houw Busu dan lain-lain perwira berkedudukan tinggi.

Jaksa lalu memanggil para perwira yang terluka oleh Hwe Lan dan saudara-saudaranya, lalu minta keterangan dari mereka ini tentang terjadinya peristiwa di dalam hutan. Seorang perwira yang tersabet pedang pundaknya oleh Hwe Lan lalu menuturkan dengan suara lantang,

“Kami di bawah pimpinan Thio Kim Cai Ciangkun sedang bekerja untuk membongkar kuburan pemberontak Nyo Hun Tiong untuk dibawa ke kota raja dan dijadikan barang bukti bahwa pemberontakan itu telah mampus. Tiba-tiba perempuan liar ini bersama dua orang perempuan liar lainnya, datang dan menyerang kami dengan senjata rahasia. Mereka bertiga lalu menyerbu dan terjadi pertempuran dengan kami.

Akan tetapi, mereka benar-benar liar dan lihai sehingga kami semua kena dirobohkan oleh mereka. Dua orang perempuan liar lain yang menjadi kawannya berlari pergi, mengejar Thio-ciangkun yang sampai sekarang tak dapat diketemukan di mana adanya. Mungkin sekali sudah dibunuh pula oleh pemberontak-pemberontak itu. Demikianlah sampai datang Wai Ong Koksu yang akhirnya berhasil menangkap perempuan liar ini.”

Kini jaksa memandang kepada Hwe Lan, dan juga semua mata para hadirin di ruang itu memandang kepada Hwe Lan. Gadis ini semenjak tadi hanya berdiri tegak dan diam, akan tetapi diam-diam ia telah mengatur napas untuk memulihkan jalan darahnya sehingga kini ia tidak merasa lemas lagi.

“Perempuan muda, siapakah namamu dan mengapa kau berani mati menyerang, melukai dan membunuh para perwira Kim-i-wi!” tanya jaksa itu dengan suara angkuh, akan tetapi pandang matanya yang ditujukan ke arah Hwe Lan nampaknya nyata bahwa ia mengagumi kecantikan gadis itu!

Hwe Lan yang luar biasa tabah dan keras hatinya itu kembali tersenyum sinis dan menjawab, “Aku she Yap dan tentang namaku tak perlu kuberitahukan kepada kalian karena tidak ada perlunya! Aku menyerang anjing-anjing kotor itu karena melihat mereka sedang menggali sebuah kuburan, mungkin hendak makan sisa-sisa tulang mayat yang dikubur di situ!”

Terdengar seruan-seruan heran dan terkejut di antara para penonton. Alangkah beraninya gadis ini, menyebut pasukan Kim-i-wi sebagai anjing-anjing kotor....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.