Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 05

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 05
Sonny Ogawa

Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 05 karya Kho Ping Hoo - Juga jaksa yang tadinya tertarik oleh kecantikan Hwe Lan, merasa ngeri mendengar kata-katanya ini, maka ia menggebrak meja dan membentak,

Tiga Dara Pendekar Siauwlim karya Kho Ping Hoo

“Jangan membuka mulut lancang! Kau telah menyerang pasukan Kim-i-wi, itu berarti bahwa kau telah memberontak terhadap Hongte (Kaisar). Sebelum kami membuat keputusan, lebih dulu kau harus mengaku di mana adanya kedua kawanmu yang ikut menyerang itu!”

Tiba-tiba Hwe Lan tertawa nyaring dan sepasang matanya yang bagus itu memancarkan sinar mata tajam, “Taijin (Pembesar), kau bukalah telingamu lebar-lebar dan dengarkan tiga macam pernyataanku ini! Pertama, aku adalah anak murid Siauw-lim-pai akan tetapi aku tidak memberontak terhadap Hongte. Kedua, kedua kawanku itu adalah enci dan adikku sendiri dan aku tidak tahu kemana mereka pergi dan di mana mereka berada. Ketiga, aku sudah bosan melihat mukamu dan muka semua orang yang berada di sini dan sekarang hendak pergi!”

Bukan main marahnya jaksa mendengar ucapan ini, bahkan semua penonton menjadi bengong tak dapat berkata-kata! “Tangkap dia dan beri pukulan lima puluh kali!” dengan muka merah jaksa itu menuding dan memerintah kepada algojo. Gayanya ini baik sekali karena sudah amat biasa ia memberi perintah semacam ini.

Tiga orang algojo itu yang hendak membalas dendam segera melangkah maju. Hwe Lan berkata lagi sambil tertawa, “Taijin, masih ada satu lagi pernyataanku, yakni, aku merasa jijik melihat tiga ekor anjingmu ini dan sudah gatal-gatal tanganku hendak menghajarnya!”

Ketiga algojo marah, mereka maju menubruk dengan hebat, Hwe Lan miringkan tubuh ke kiri dan kakinya melayang ke arah dada algojo muka hitam itu. “Bluk!” dan untuk kedua kalinya tubuh tinggi besar itu terjengkang sehingga kepalanya terbentur pada lantai! Kali ini agak sukar baginya untuk merayap bangun karena selain kepalanya menjadi pening setelah terbentur lantai yang keras, juga napasnya menjadi sesak setelah ulu hatinya dicium oleh ujung sepatu Hwe Lan.

Dua orang kawannya maju dengan cambuk penyiksa di tangan, akan tetapi Hwe Lan lebih cepat lagi. Sebelum mereka bergerak, gadis itu mengulur kedua tangan dan sekali renggut saja ia dapat merampas dua batang cambuk itu. Kini ia mainkan cambuknya dan “plak! Plak! Plak!” hujan cambuk menghantam tubuh kedua algojo itu yang menutupi mukanya dengan sibuk karena cambuk itu dengan tepat menghantam muka mereka bertubi-tubi sehingga sebentar saja hidung mereka menjadi merah karena mengalirkan darah.

Hwe Lan tertawa nyaring ketika melihat algojo muka hitam bergerak dan hendak merayap bangun, ia cepat melompat ke dekatnya dan sekali ia menendang keras sambil berseru nyaring, tubuh Si Muka Hitam itu terlempar ke arah meja pengadilan dan tepat sekali jatuh menimpa jaksa dan pembantu-pembantunya sehingga mereka pun jatuh tunggang-langgang!

Para penonton menjadi panik dan segera mundur dan berlari keluar dari situ, karena mengira bahwa gadis pemberontak itu hendak mengamuk kepada semua orang! Sebelum Hwe Lan dapat melarikan diri dari situ, Wai Ong Koksu dan Gui Kok Houw telah melompat dan menyerangnya.

Tubuh Hwe Lan masih lemah dan biarpun ia melawan sedapatnya dan sekuatnya, namun sebentar saja ia telah tertawan lagi dan Gui Kok Houw lalu mengikat kedua tangannya dengan rantai besi yang dimintanya dari pengadilan itu. Wai Ong Koksu lalu berkata kepada pembesar-pembesar pengadilan di Ki-pang bahwa tawanan ini akan ia bawa ke kota raja.

“Urusan ini bukanlah urusan kecil, katanya.” Karena ternyata dari penuturan para perwira Kim-i-wi bahwa gadis ini benar-benar seorang yang ada hubungannya dengan mendiang Nyo Hun Tiong. Yang lebih penting lagi, dua orang saudaranya masih belum tertangkap, maka dengan ditawannya gadis ini di kota raja, kita dapat mengharapkan kedatangan mereka di kota raja pula untuk sekalian ditangkap!”

Pembesar-pembesar di kota itu tak dapat menghalangi kehendak ini dan mereka bahkan merasa lega telah terlepas dari seorang tawanan yang demikian liar dan berbahaya. Dengan kaki tangan terikat erat-erat, Hwe Lan dibawa oleh Wai Ong Koksu dan kawan-kawannya ke kota raja.

Souw Cong Hwi yang di dalam hatinya merasa kagum dan kasihan kepada gadis itu, tak berdaya sesuatu oleh karena ia melihat sendiri betapa gadis yang keras kepala itu melakukan hal-hal yang melanggar peraturan dan menghina orang. Ia hanya menjaga jangan sampai gadis ini diganggu oleh Gui Kok Houw, karena dari pandang mata perwira she Gui ini.

Ia maklum bahwa Gui Kok Houw mengandung maksud kurang bersih terhadap gadis jelita itu. Terhadap Wai Ong Koksu, ia percaya penuh karena tahu bahwa kakek tua yang kosen ini hanya mementingkan kedudukan dan jasa sama sekali tak ada tanda-tanda suka mengganggu seorang wanita.

Perjalanan menuju ke kota raja dilakukan cepat dan mengambil jalan lurus, maka tak sampai empat hari kemudian, tibalah mereka di kota raja. Selama dalam perjalanan itu, Hwe Lan kelihatan tabah saja, sama sekali tidak pernah kelihatan takut. Bahkan ia tidak kelihatan bersedih, dan selalu makan ransum yang diberikan oleh Souw Cong Hwi dengan muka gembira dan biasa saja.

Kepada pemuda ini ia merasa berterima kasih sekali karena berbeda dengan yang lain-lain, pemuda ini berlaku amat baik, sopan terhadapnya dan selalu berpihak dan membelanya! Akan tetapi, Hwe Lan memang angkuh dan tidak mau melayaninya sungguhpun ia tahu dari sinar mata Souw Cong Hwi, bahwa pemuda tampan ini berhati jujur terhadapnya.

Atas permintaan dan tanggungan Souw Cong Hwi, Wai Ong Koksu tidak keberatan untuk melepaskan Hwe Lan seorang diri duduk di atas seekor kuda dengan kedua tangan masih terikat belenggu besi dan rantai yang diikatkan pada belenggu itu dipegang ujungnya oleh Wai Ong Koksu yang duduk di atas lain kuda.

Hal ini merupakan pertolongan besar bagi Hwe Lan, karena ia merasa mendongkol dan marah sekali kalau harus duduk sekuda dengan Wai Ong Koksu, biarpun kakek ini tidak memperlihatkaan sikap kurang baik atau tidak sopan.

Ketika rombongan ini memasuki gerbang kota raja, semua orang memandang dengan penuh perhatian dan heran. Sebentar saja seluruh penduduk kota tahu belaka bahwa seorang gadis cantik jelita menjadi tawanan Koksu. Berita seperti ini cepat sekali menjalar dari mulut ke mulut. Menurut usul Wai Ong Koksu, Hwe Lan dimasukkan dalam pernjara dan dijaga keras. Bahkan Gui Kok Houw sambil tersenyum berkata,

“Jangan khawatir, Koksu, aku sendiri yang akan mengepalai penjagaan ini agar jangan sampai ia lolos!”

Sambil berkata demikian, ia melirik dengan senyum penuh arti kepada gadis itu, sehingga diam-diam Souw Cong Hwi menjadi gelisah dan juga mendongkol sekali. Ia dapat menduga bahwa Perwira Gui ini tentu mempunyai niat yang busuk sekali, maka diam-diam ia memutar otaknya.

Setelah Hwe Lan dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang terbuat dari dinding tebal dan berpintu baja yang amat kuat serta tangannya masih dibelenggu pula, Wai Ong Koksu lalu pergi menuju ke istana untuk memberi laporan kepada Kaisar.

“Apakah kau juga mau menjaga terus di tempat ini, Kongcu?” tanya Gui-ciang-kun dengan bibir menyeringai penuh ejekan kepada Souw Cong Hwi.

Wajah pemuda itu menjadi merah dan ia lalu berpamit pulang tanpa banyak cakap lagi. Setibanya di rumah, Souw Cong Hwi lalu menceritakan dengan terus terang kepada ayah dan ibunya. Pangeran Souw Bun Ong adalah seorang terpelajar yang berhati mulia dan berbudi halus. Mendengar nasib gadis itu, ia pun merasa kasihan, akan tetapi ia hanya bisa menarik napas panjang dan berkata,

“Memang harus dikasihani nasib seorang dara muda yang telah tersesat sedemikain jauhnya. Akan tetapi apakah daya kita? Dia telah berlaku salah, biarpun andaikata dia bukan seorang pemberontak, akan tetapi setidaknya ia telah berlaku kasar dan menghina alat negara terutama sekali ia telah melakukan pembunuhan. Hal ini bukanlah soal ringan."

“Akan tetapi, ayah. Sebagai seorang pendekar wanita, tentu saja ia harus membunuh lawan-lawannya yang hendak mencelakakannya, dan tentang penyerbuannya terhadap para perwira yang hendak menggali kuburan Nyo Hun Tiong itu, kuanggap sebagai tanda bahwa dia benar-benar memiliki jiwa yang gagah. Aku sendiri andaikata menjadi dia, melihat kuburan seorang saudara seperguruan dibongkar orang, tentu takkan membiarkannya begitu saja!”

Ayahnya memandang tajam lalu berkata, “Eh, Cong Hwi, agaknya kau telah jatuh hati kepada gadis itu!”

Pemuda itu terkejut, menatap wajah ayahnya. Untuk beberapa saat pandang mata mereka bertemmu dan akhirnya pemuda itu menundukkan mukanya yang berubah merah. “Aku tidak tahu tentang hal itu, Ayah, hanya satu hal sudah pasti, yakni, betapapun juga, aku tidak rela melihat seorang gadis gagah seperti dia sampai mendapat bencana.”

Ia lalu menuturkan sikap Gui Kok Houw yang mencurigakan dan yang diduganya tentu mempunyai niat buruk. Akhirnya, Pangeran Souw Bun Ong yang amat memanjakan putera tunggalnya, menyetujui akal dan usaha pertolongan yang hendak dilakukan oleh pemuda itu.

Sebagai seorang putera pangeran yang berpengaruh, tentu saja banyak perwira yang tunduk dan setia terhadap Pangeran Souw Bun Ong, dan atas pertolongan perwira-perwira yang bekerja sama dengan Gui Kok Houw inilah Souw Cong Hwe menjalankan siasatnya. Ia diam-diam menghubungi mereka dan mereka menyanggupi untuk membantu usaha pemuda itu.

Malam hari itu, setelah mendengar dari pembantu-pembantunya bahwa Gui Kok Houw pulang ke gedungnya sebentar dengan cepat Souw Cong Hwi menuju ke penjara di mana Hwe Lan terkurung. Dengan mudah ia memasuki penjara menyamar sebagai penjaga dan dilindungi oleh para perwira yang telah menjadi pembantunya. Berkat bantuan para perwira itu pula, ia dapat masuk ke dalam kamar di mana Hwe Lan dikurung.

Pada saat itu Hwe Lan tengah duduk melamun dan ia mulai merasa gelisah juga. Ia tidak takut mati, akan tetapi ia bersedih kalau mengingat kepada kedua saudaranya. Di manakah mereka itu sekarang berada? Tugasnya membalas dendam kepada perwira Lee belum juga terlaksana dan ia sekarang telah tertimpa bencana. Apakah yang harus ia lakukan?

Ia telah mengambil keputusan bahwa ia takkan terbunuh begitu saja tanpa melawan. Sebelum terbunuh ia akan berusaha melepaskan diri dan mengamuk lebih dahulu. Semenjak siang tadi ia telah mengerahkan seluruh tenaganya dan akhirnya ia dapat berhasil mematahkan belenggu tangannya!

Hal ini tidak terjadi dengan mudah karena ia baru berhasil setelah kulit pergelangan tangannya menjadi biru tua dan berdarah. Akan tetapi, ia menghadapi pintu baja yang amat kuat. Percuma saja ia mencoba untuk membukanya, sampai habis tenaganya dalam usaha ini, akan tetapi sedikitpun pintu itu tidak dapat digerakkan. Pintu itu terbuat dari ruji-ruji baja sebesar lengan tangan yang bukan main kuatnya.

Menjelang tengah malam, ia melihat bayangan orang di luar pintu dan ketika ia memandang penuh perhatian, ia melihat bahwa bayangan orang itu bukan lain ialah Souw Cong Hwi, pemuda yang selama dalam perjalanan berlaku baik terhadapnya. Apakah maksud dan kehendak pemuda ini? Ia hendak membuka mulut akan tetapi Souw Cong Hwi memberi isyarat agar supaya gadis itu diam seja jangan mengeluarkan suara. Kemudian ia mengeluarkan anak kunci dan membuka pintu kamar itu dengan hati-hati sekali.

Setelah terbuka, ia lalu menyelinap masuk dan berbisik dengan tergesa-gesa, “Nona, jangan salah sangka. Aku datang hendak menolong kau keluar dari sini!” Sambil berkata demikian, pemmuda ini membuka buntalan kain yang tadi dibawanya dan ternyata kain itu berisi sebatang pedang dan sekantung uang perak. “Ini, terimalah, Nona dan lekas kau pergi dari sini. Jangan kau bunuh penjaga-penjaga di sini karena sebagian besar dari mereka itu bukanlah orang-orang jahat!”

Hwe Lan memandang dan matanya yang bagus itu terbelalak lebar. Ia benar-benar tercengang heran melihat tindakan pemuda ini yang demikian baiknya terhadap dia.

“Terimalah Nona, jangan ragu-ragu. Aku benar-benar tidak bermaksud jahat. Kalau kiranya Nona merasa sukar untuk keluar dari kota raja yang terjaga kuat, jangan Nona khawatir. Pergilah ke gedung Ayahku, yakni Pangeran Souw Bun Ong, gedungnya di ujung kota bagian utara, dikurung tembok merah. Nah, terimalah ini!” Souw Cong Hwi mendesak melihat nona itu agaknya merasa ragu-ragu.

“Akan tetapi... bagaimana kau sendiri...? Kalau diketahui oleh mereka, kau...kau...”

Aneh sekali, Cong Hwi merasa hatinya amat girang mendengar ucapan ini. Ia merasa bahagia sekali melihat nona itu menguatirkan keadaannya! “Aku? Ah, mudah saja, Nona. Kau lihat!” Sambil berkata demikian, pemuda ini lalu menggerakkan pedang yang diberikan kepada Hwe Lan dan yang belum diterimanya itu ke arah pundaknya sendiri. “Cap!” mata pedang yang tajam itu menembus pakaiannya dan melukai pundaknya, darah mengalir membasahi bajunya. Cong Hwi masih tersenyum memandang dan berkata, “Nah, kau telah merampas pedang dan melukai pundakku! Mudah saja bagiku bukan?”

Sambil berkata demikian, ia memaksa gadis itu menerima pedang dan kantung uang, dan berbisik, “Jangan lupa kalau tidak ada jalan keluar, datanglah ke gedung orang tuaku!” Kemudian, ia mendorong tubuh Hwe Lan supaya gadis ini berlari keluar, lalu ia berteriak-teriak keras, “Aduh, celaka! Tawanan terlepas.....Tangkap....!”

Hwe Lan maklum akan maksud pemuda itu yang benar-benar telah menolongnya secara luar biasa sekali. Dengan hati terharu, ia lalu berlari keluar melalui lorong kecil di dalam rumah penjara itu. Ia mendengar suara orang berlari dari depan dan lima orang penjaga telah mencegatnya dengan senjata di tangan. Ia teringat akan pesan pemuda itu yang melarangnya membunuh para penjaga.

Maka ketika mereka menyerbu, ia lalu memutar pedangnya dan beberapa kali gerakan saja senjata di tangan para penjaga itu telah terlepas semua! Hwe Lan mengayun kaki menendang roboh penjaga yang terdekat, lalu berlari cepat keluar. Beberapa orang penjaga datang lagi menyerbu, akan tetapi dengan mudah ia membuat mereka jatuh tunggang langgang tanpa mendatangkan luka parah, dan akhirnya ia tiba di luar penjara!

Suara teriakan para penjaga menggema dari rumah penjara itu. “Pemberontak wanita telah lepas! Tangkap! Kejar!” Dan para penjaga itu dengan hati takut, akan tetapi khawatir kalau akan mendapat hukuman berat karena terlepasnya tawanan itu, segera mengejar keluar.

Dan pada saat itu, Gui Kok Houw dan beberapa orang Kim-i-wi datang untuk melakukan ronda malam di rumah penjara itu! Melihat Hwe Lan telah berdiri di depan rumah penjara dengan pedang di tangan, mereka cepat menyerbu, dikepalai oleh Gui Kok Houw yang telah mengeluarkan senjatanya yang lihai, yakni tiga bola yang diikat rantai baja itu.

Hwe Lan berlaku gesit. Ketika melihat datangnya tiga bola itu menyambar ke arah tiga bagian tubuhnya, ia cepat mengelak ke samping dan sambil membabatkan pedangnya ke arah pinggang Gui-ciangkun, kakinya diangkat menendang seorang perwira Kim-i-wi yang segera menjerit dan roboh. Dua orang perwira lain bersama Gui Kok Houw mengeroyok dengan hebatnya, akan tetapi sambil memutar-mutar pedangnya, Hwe Lan mengamuk dan mencari kesempatan untuk melarikan diri.

Ia maklum bahwa kalau ia lebih lama melayani mereka, tentu akan datang pula perwira-perwira lain dan kalau Wai Ong Koksu ikut datang maka ia takkan dapat melarikan diri lagi. Sayang sekali bahwa ia tidak mempunyai thi-lian-ci lagi karena senjata-senjatanya telah dirampas. Akan tetapi, tiba-tiba, ia teringat akan kantung pemberian Cong Hwi tadi, maka cepat ia meroboh kantung yang telah digantungkan di pinggang itu dan mengeluarkan beberapa potong uang perak.

Ia juga pernah mempelajari cara menyambit dengan chi-piauw (senjata rahasia uang logam), maka ketika ia menggerakkan tangan kirinya, tiga sinar putih dari uang perak itu menyambar ke arah Gui Kok Houw. Perwira ini terkejut sekali dan cepat melompat untuk menghindarkan senjata rahasia yang hebat dan cepat sekali menyambarnya itu, dan saat ini dipergunakan oleh Hwe Lan untuk melompat ke atas genteng dan berlari cepat.

Pada saat itu, Souw Cong Hwi berlari keluar dari rumah penjara dan berteriak-teriak, “Tangkap penjahat itu!” Pemuda ini dengan pundak berlumuran darah lalu menggerakkan tangannya dan tiga batang hiang-leng-piauw (senjata rahasia pakai kerincingan) yang mengeluarkan suara berisik melayang ke arah bayangan Hwe Lan di atas genteng. Gadis ini diam-diam memuji kecerdikan dan juga kepandaian pemuda ini dan cepat ia mengelak, lalu melanjutkan larinya.

Gui Kok Houw berseru keras, “Bangsat perempuan hendak lari ke mana?” Lalu ia mengejar, diikuti oleh beberapa orang perwira dan juga oleh Souw Cong Hwi! Dengan ringan Gui-ciangkun mengejar ke atas genteng dan berlari cepat sekali. Ketika melihat empat orang perwira ikut mengejar, ia berkata,

“Seorang di antara kalian turun dan memberi tahu kepada seluruh penjaga kota agar supaya menjaga keras. Jangan sampai penjahat itu kabur keluar kota!”

Seorang perwira lalu melompat turun lagi untuk melakukan perintah ini dan yang lain-lain melanjutkan pengejaran mereka. Biarpun Hwe Lan memiliki ilmu lari cepat yang cukup tinggi, akan tetapi oleh karena bangunan-bangunan di kota raja tinggi-tinggi dan juga ia belum kenal jalan, maka para pengejarnya tidak tertinggal jauh. Untung baginya bahwa malam itu agak gelap, hanya diterangi oleh bintang-bintang, maka tidak mudah juga bagi para pengejarnya untuk menangkapnya.

Pada saat itu, Hwe Lan melihat bayangan-bayangan hitam dari depan, disusul pula oleh bayangan para perwira Kim-i-wi dari kanan yang juga telah diberitahu dan mulai ikut mengejarnya! Ia merasa terkejut sekali dan maklum bahwa sukar baginya untuk meloloskan diri dari kota raja, maka teringatlah ia akan pesan Cong Hwi tadi untuk bersembunyi di gedung Pangeran Souw Bun Ong.

Hwe Lan adalah seorang gadis yang cerdik, maka melihat betapa musuh di atas genteng makin banyak dan dirinya telah terkurung, ia lalu melompat turun dan berlari cepat sambil bersembunyi di antara bangunan-bangunan rumah! Ia sengaja berlari di tempat-tempat yang gelap dan karena penuh dengan bayangan rumah-rumah, maka di bawah ia merasa lebih aman.

Memang tindakan ini tepat sekali. Para pengejarnya di atas genteng yang tiba-tiba kehilangan bayangannya, menjadi bingung. Gui Kok Houw menyumpah-nyumpah dan membagi-bagi perintah mencari ke sana ke mari, menyuruh para penjaga memperkuat penjagaan di pintu-pintu gerbang kota untuk mencegah gadis itu melarikan diri keluar kota.

Akan tetapi pada saat itu, Hwe Lan telah berada di ujung utara kota dan berhasil menemukan bangunan besar yang bertembok merah. Ia lalu melihat ke kanan kiri dan ternyata para pengejarnya tidak ada yang mencari di bagian ini. Dengan gesit ia melompat ke atas pagar tembok dan langsung masuk ke dalam taman bangunan besar itu, terus menuju ke pintu belakang gedung. Sesosok bayangan orang muncul dari pintu dan menegurnya,

“Apakah kau Nona Yap?” tanya bayangan itu yang muncul dan berdiri di bawah lampu penerangan yang dipasang di atas pintu belakang.

Hwe Lan melihat seorang laki-laki setengah tua yang bersikap agung dan wajahnya menunjukkan kehalusan budi. Wajah ini melenyapkan keraguannya dan ia dapat menduga bahwa orang ini tentulah Pangeran Souw Bun Ong, ayah pemuda baik hati yang telah menolongnya, maka ia lalu menjura dengan hormat.

“Benar, Taijin. Aku adalah Yap Hwe Lan yang bernasib buruk dan hanya akan mengganggumu saja.”

“Ah, Nona, masuklah cepat!” kata pangeran itu yang telah sengaja menanti di situ, sesuai dengan petunjuk puteranya. Ketika Hwe Lan berjalan masuk melalui pintu itu, Pangeran Souw diam-diam mengagumi kecantikan gadis ini yang benar-benar luar biasa.

Tanpa diketahui oleh para pelayan yang telah tidur dan yang memang dilarang keluar pada waktu malam itu, Souw Bun Ong lalu mengajak Hwe Lan masuk ke ruangan dalam dan menemui isterinya. Nyonya Souw juga merasa kagum dan suka melihat Hwe Lan yang kecantikannya tidak kalah oleh puteri-puteri dari istana kaisar ini, dan segera mengajak gadis ini masuk ke dalam kamarnya.

Melihat keramahan dan kebaikan hati suami isteri bangsawan ini, Hwe Lan menjadi amat terharu dan tak dapat dicegah lagi ia lalu maju menjatuhkan diri berlutut. Souw-hujin (Nyonya Souw) memeluknya dan mengangkatnya bangun.

“Anak yang malang,” katanya perlahan, “biarlah untuk sementara kau tingga di dalam gedung ini dan anggap kami seperti orang tua sendiri.”

“Nona, sungguhpun kami belum tahu betul siapa adanya kau, akan tetapi kami telah mendengar dari Cong Hwi tentang pengalamanmu. Kau tak perlu merasa khawatir setelah berada di dalam gedung ini, karena takkan ada orang yang dapat mencarimu ke sini.”

Tiga orang itu lalu berunding dan bercakap-cakap. Menurut pendapat mereka, agar jangan sampai menarik perhatian lain orang dan agar supaya persembunyian Hwe Lan sempurna, maka gadis akan menyamar sebagai orang pelayan dalam yang melayani Souw-hujin. Hwe Lan mengambil keputusan untuk bersembunyi di tempat aman ini sampai keadaan tenang kembali.

“Kurasa para perwira akan menjadi penasaran dan akan menjaga seluruh kota mencari-carimu sampai dapat. Dalam satu dua bulan ini, tak mungkin bagimu keluar dari gedung ini tanpa menimbulkan kecurigaan. Aku akan berdaya upaya agar bisa mendapatkan jalan bagimu keluar dari kota tanpa ketahuan,” kata Pangeran Souw Bun Ong.

“Sebetulnya, mengapa pula harus pergi keluar kota?” kata isterinya sambil memandang wajah Hwe Lan yang manis. “Apa salahnya kalau Nona Yap tinggal di sini seterusnya?”

Hwe Lan benar-benar merasa terharu mendengar ucapan-ucapan kedua suami isteri yang amat memperhatikan nasibnya ini. Tak pernah disangkanya bahwa di kota raja ia akan bertemu dengan pemuda sebaik Cong Hwi dan bangsawan-bangsawan semulia Pangeran Souw dan isterinya ini. Teringat akan pengorbanan Cong Hwi yang melukai pundaknya sendiri, ia menjadi amat terharu dan tiba-tiba ia menjadi khawatir sekali akan keselamatan pemuda itu, maka ia lalu berkata,

“Taijin, harap Taijin suka menengok keadaan puteramu, aku khawatir kalau-kalau terjadi hal yang kurang baik dengan dia.” Ia lalu menceritakan betapa untuk menolongnya, Souw Cong Hwi telah datang melepaskannya dari kurungan dan melukai pundaknya sendiri.

Pangeran Souw menggeleng-gelengkan kepala. “Memang puteraku yang hanya seorang itu aneh sekali. Sebetulnya, dengan jalan halus mungkin aku pun akan dapat menolongmu, akan tetapi ia berkeras hati dan mengambil jalan menurut caranya sendiri. Dia benar-benar seorang petualang yang suka membikin onar!”

Mari kita melihat pengalaman Souw Cong Hwi, putera pangeran yang begitu berjumpa telah jatuh hati kepada Hwe Lan sedemikian rupa sehingga tak segan-segan untuk berkorban guna menolong gadis itu.

Sebagaimana diceritakan di depan, pemuda itu melukai pundaknya sendiri dengan pedang, kemudian sambil berteriak-teriak ia mengejar pula keluar, pura-pura ikut mengejar Hwe Lan, bahkan di depan Gui Kok Hwa, ia telah menyambit Hwe Lan dengan senjata rahasianya, yakni hiang-leng-piauw.

Gui Kok Houw merasa heran dan terkejut melihat munculnya pemuda itu di situ, dan timbullah kecurigaan besar di dalam hatinya. Akan tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk bertanya dan melakukan penyelidikan. Yang terpenting pada saat itu ialah mengejar dan menangkap kembali tawanan yang melarikan diri itu.

Ia memang semenjak ditangkapnya Hwe Lan, telah merasa curiga terhadap pemuda itu dan ia menganggap pemuda itu merupakan seorang penghalang besar bagi maksudnya yang jahat terhadap Hwe Lan.

Ia telah tergila-gila terhadap kecantikan gadis tawanan itu dan kedatangannya di malam buta ini pun bukan sekedar hendak mencari kesempatan untuk mengganggu Hwe Lan, gadis jelita yang membuatnya tak dapat tidur nyenyak dalam beberapa malam ini.

Setelah ternyata bahwa gadis itu lenyap tak dapat tertangkap, barulah ia kembali ke rumah penjara untuk melakukan penyelidikan. Dan ia merasa makin heran melihat Souw Cong Hwi telah berada di situ pula, sedang bercerita dan didengarkan oleh beberapa orang perwira bahkan Wai Ong Koksu juga telah berada di situ pula!

“Souw-kongcu!” datang-datang Gui Kok Houw menegur dengan suara keras. “Apa perlunya kau malam-malam datang ke tempat penjara ini?”

Souw Cong Hwi memandang dan sedikit pun tidak merasa takut. “Gui-ciangkun, semenjak kapankah aku harus melapor kepadamu lebih dulu sebelum aku pergi ke mana-mana?” ia balas bertanya dengan pandang mata menantang.

Gui Kok Houw marah sekali, akan tetapi ia tidak berani berlaku kasar terhadap putera pangeran itu, dan melihat kepala penjaga penjara berdiri dengan tubuh gemetar di situ, ia lalu maju dan menampar dengan tangan kanan sehingga tubuh penjaga itu terguling ke atas tanah.

“Babi bodoh!” ia memaki marah. “Bagaimana kau sampai berani melepaskan tawanan itu? Kau harus menggantinya dengan kepalamu!”

Kepala penjaga itu takut dengan tubuh menggigil karena takut lalu berkata, “Mohon ampun, Ciangkun. Sebetulnya bukan hamba yang salah. Souw-kongcu ini diserang oleh penjahat perempuan tadi..” dan ia lalu menuturkan betapa ia dan kawan-kawannya mendengar teriakan Souw Cong Hwi yang terluka pundaknya dan mengejar-ngejar tawanan itu yang tahu-tahu telah terlepas dari kurungan.

Gui Kok Houw memandang kepada Souw Cong Hwi dengan mata tajam dan mulut menyeringai lalu berkata, “Hm, agaknya hanya Souw-kongcu, sendirilah yang tahu bagaimana nona manis itu sampai dapat melepaskan diri!” Kata-katanya penuh mengandung sindiran.

Juga Wai Ong Koksu bertanya heran. “Bagaimanakah dia bisa meloloskan diri, Kongcu?”

Souw Cong Hwi menarik napas panjang dan menjawab, “Memang aku yang bodoh, mudah saja tertipu oleh nona itu. Aku yang merasa ikut bertanggung jawab dan aku ikut pula menangkap nona itu, sengaja datang hendak memeriksa karena khawatir kalau-kalau dua orang kawannya datang menolong, dan pula aku merasa khawatir juga kalau terjadi apa-apa yang tidak selayaknya dengan tawanan itu..." sampai di sini ia memandang kepada Gui Kok Houw dengan tajam penuh arti, "maka aku datang menjenguk kurungan di mana nona itu berada. Ketika aku tiba di depan pintu kurungan, aku terkejut sekali melihat nona itu rebah telungkup dalam keadaan yang menunjukkan bahwa ia sedang pingsan, bahkan tadinya kusangkah ia telah mati. Aku lalu meminjam kunci dan membuka kurungan itu dengan pedang di tangan. Ketika aku membungkuk dan memeriksa, tiba-tiba nona yang kusangka pingsan itu menyerangku dengan tak tersangka-sangka sama sekali sehingga pedangku terampas dan ia melukai pundakku. Kemudian ia melarikan diri, aku berusaha mengejar, akan tetapi ia lebih cepat. Selanjutnya Cu-wi sekalian telah tahu apa yang terjadi.”

“Aneh sekali,” seru Gui Kok Houw, suaranya mengandung ketidak percayaan. “Bagaimana Souw-kongcu yang gagah perkasa sampai dapat tertipu sedemikian mudahnya seperti seorang anak kecil? Benar-benar aneh dan hampir tak mungkin!”

“Tidak percayakah Gui-ciangkun kepadaku?” kata Souw Cong Hwi sambil menatap wajah perwira itu.

“Penuturanmu tak masuk diakal dan amat meragukan,” kata perwira itu terus terang.

Gui Kok Houw juga memandang dengan tajam dan dua orang itu saling pandang dengan marah, keadaan menjadi tegang karena mereka telah menjadi panas hati.

Wai Ong Koksu lalu melangkah maju dan berkata, “Sudahalah, hal ini tak perlu diperpanjang lagi. Lebih baik kita berusaha agar tawanan itu dapat ditangkap kembali. Gui-ciangkun, penjagaan di pintu gerbang kota harap diperkuat dan semua orang yang keluar dari kota harus diperiksa dengan teliti.”

“Tapi, Souw-kongcu bertanggung-jawab atas lolosnya tawanan ini,” kata Gui Kok Houw yang masih merasa penasaran.

Pada saat itu, malam telah berganti pagi dan tiba-tiba para penjaga menyambut kedatangan serombongan orang dengan penuh hormat. Rombongan ini ternyata adalah Pangeran Souw Bun Ong yang dikawal oleh pengawal pribadinya. Melihat kedatangan Pangeran Souw ini, Gui Kok Houw lalu memberi hormat, juga Wai Ong Koksu menjura dengan hormat. Pangeran Souw membalas penghormatan mereka dan langsung menghampiri Souw Cong Hwi.

“Benarkah kau terluka oleh pemberontak yang melarikan diri?” tanya pangeran ini sambil memandang kepada puteranya dengan muka khawatir.

“Hanya sedikit luka di pundak, ayah. Tidak apa-apa. Yang lebih hebat adalah tuduhan Gui-ciangkun yang seakan-akan menimpakan semua kesalahan kepadaku dan bahkan ia menyangka bahwa aku sengaja melepaskan tawanan itu.”

Pangeran Souw Bun Ong memandang kepada Gui Kok Houw yang segera menundukkan kepalanya, memberi hormat kepada pangeran itu dan berkata,

“Maaf, maaf, bukan hamba menuduh secara membabi buta, akan tetapi sudah menjadi kewajiban hamba untuk mendapatkan kembali tawanan itu.” Setelah berkata demikian, perwira ini kembali memberi hormat dan mengundurkan diri dengan hati mendongkol sekali.

Pangeran Souw Bun Ong lalu mengajak puteranya pulang dan tak seorang pun yang berani melarangnya, sedangkan Wai Ong Koksu lalu menjumpai Gui Kok Houw untuk merundingkan hal itu. Wai Ong Koksu juga merasa curiga kepada Cong Hwi, maka ia menghibur Perwira Gui dan berkata,

“Menghadapi Pangeran Souw, kita tak boleh berlaku sembrono. Jangan sampai urusan tawanan kecil ini saja menjadikan kau bermusuhan dengan Pangeran Souw, itu berbahaya sekali. Kurasa gadis liar itu masih berada di kota raja dan kalau kita melakukan penjagaan keras dan mencari di dalam kota menyebar mata-mata, tentu kita akan dapat menangkapnya kembali.”

Demikianlah, semenjak saat itu, pintu gerbang kota raja dijaga dengan keras, dan banyak mata-mata dan penyelidik disebar untuk mengetahui di mana bersembunyinya tawanan yang lolos itu.

Sementara itu, Souw Cong Hwi merasa girang sekali mendengar dari ayahnya bahwa Hwe Lan telah datang ke gedungnya dan bersembunyi di situ menyamar sebagai seorang pelayan.

“Kau cinta padanya?” tanya ayahnya.

Dengan muka merah Cong Hwi menjawab, “Entahlah ayah. Akan tetapi aku... aku suka kepadanya, aku bersimpati padanya dan aku ingin melihat dai selamat dan berbahagia.”

Ayahnya menghela napas. “Hm, itu artinya bahwa kau mencinta padanya.” Pangeran itu mengangguk-angguk dan meraba-raba jenggotnya yang panjang dan hitam. “Aku dan ibumu pun suka kepada gadis itu. Dia cukup cantik dan bersikap sopan. Akan tetapi... hm, kau tahu, Cong Hwi bagaimanapun juga, kita adalah bangsawan yang dihormati orang. Bukan kehendakku untuk berlaku kukuh dan memandang rendah orang lain, akan tetapi... kita harus ketahui dulu asal-usul gadis itu. Kalau memang ia keturunan baik-baik dan ada alasan yang kuat mengapa ia sampai menyerang pasukan Kim-i-wi, tentu aku dan ibumu akan memikirkan tentang perasaanmu terhadap dia itu.”

Souw Cong Hwi maklum sepenuhnya maksud ayahnya ini. Akan tetapi, ternyata bahwa dirinya, dan jarang sekali ia bicara tentang riwayatnya. Harus diakui bahwa gadis itu rajin sekali, melakukan semua pekerjaan seperti seorang pelayan tulen. Pelayan-pelayan lain dalam gedung itu tentu saja merasa heran dengan adanya pelayan baru ini, akan tetapi dengan cerdik, Nyonya Souw menyatakan bahwa pelayan ini adalah puteri seorang kenalan di dusun dan datang pada malam hari, dan diangkat menjadi pelayan dalam, melayani keperluan Nyonya Souw sendiri.

Souw Cong Hwi adalah seorang pemuda terpelajar dan sopan, juga ia merasa malu-malu kepada Hwe Lan, maka jarang sekali dua orang muda ini bercakap-cakap. Pertemuan mereka dalam gedung itu hanyalah sepintas lalu saja.

Sepekan kemudian, ketika Cong Hwi tengah duduk seorang diri di ruang dalam tiba-tiba Hwe Lan datang ke ruang itu dan bertanya tentang peristiwa pelariannya itu. Dengan terus terang Cong Hwi menceritakan pengalamannya dan kemudian berkata,

“Karena itu, Nona, lebih baik kau jangan keluar dari gedung ini. mereka tahu bahwa kau masih belum keluar dari kota raja dan setiap hari kulihat mata-mata berkeliaran di dalam kota mencari-carimu, sedangkan untuk keluar dari pintu gerbang, amat sukar sekali. Jangankan kau, sedangkan aku sendiri pun selalu diamat-amati oleh para penyelidik, karena Gui-ciangkun merasa curiga terus kepadaku.”

“Ah, kalau begitu, aku telah menerima budi besar sekali darimu, Kongcu, dan aku hanya membikin susah kau saja.”

“Jangan berkata demikian, Nona. Sudah selayaknya kalau manusia saling menolong. Aku... aku percaya bahwa kau adalah seorang pendekar yang berbudi dan kepercayaanku akan lebih mendalam kalau saja kau suka berterus terang menceritakan riwayat hidupmu, agar aku dan orang tuaku mengetahui siapakah sebetulnya kau ini dan mengapa pula kau memusuhi Kim-i-wi.”

Hwe Lan menarik napas panjang. Ia memang merasa berhutang budi dan menganggap pemuda ini sebagai seorang yang amat baik dan patut dikagumi serta dipercaya, akan tetapi, untuk menceritakan riwayatnya kepada seorang pemuda yang bukan apa-apanya, ia masih merasa berat.

“Souw-kongcu, tidak ada apa-apanya yang menarik dalam riwayat hidupku, dan sukar bagiku untuk menceritakannya kepadamu. Hanya satu hal yang perlu kuceritakan, yakni bahwa aku mempunyai seorang enci dan seorang adik perempuan. Mereka berdua sewaktu-waktu akan memasuki kota raja dan mencariku. Maka, apabila kau melihat mereka tolonglah beritahu kepadaku. Kalau tidak ingin menanti mereka, agaknya aku pun takkan berani mengganggu rumahmu lebih lama lagi.”

Souw Cong Hwi biarpun masih muda akan tetapi ia dapat mengetahui bahwa gadis ini adalah seorang gadis yang selalu tabah sekali, juga berhati keras. Maka ia tidak mau mendesak karena tahu bahwa biarpun didesak akan percuma saja. Ia hanya menyanggupi untuk melihat kalau-kalau kakak dan adik gadis itu sudah datang.

Diam-diam ia merasa khawatir juga mendengar bahwa dua orang gadis lain akan datang ke kota raja, karena kalau sampai terlihat oleh Gui-ciangkun dan Wai Ong Koksu, bukanlah itu berarti bahwa dua orang gadis itu hanya akan menghadapi bencana?

Sementara itu, setelah tinggal di dalam gedung sampai hampir sebulan dan belum juga ia mendengar tentang keadaan Siang Lan dan Sui Lan, Hwe Lan mulai gelisah dan tak tenang. Sampai berapa lama ia harus menanti? Ia sudah tak sabar lagi, ingin lekas-lekas mencari dan membalas dendam kepada perwira she Lee yang membunuh Nyo Hun Tiong dan gurunya, yakni Yap Sian Houw yang sudah dianggap sebagai orang tua sendiri.

Akan tetapi, kalau sendiri mencarinya, kemana ia harus mencari? Ia sendiri masih menjadi orang buruan, maka berbahaya sekali kalau ia berusaha mencari di kota raja. Lalu ia teringat kepada Cong Hwi. Pemuda ini ilmu silatnya tidak rendah mungkin setingkat dengan kepandaiannya. Kalau pemuda ini dapat berkorban menolongnya, mengapa ia tidak berterus terang saja dan menaruh kepercayaan kepada Cong Hwi?

Malam hari itu, Cong Hwi sedang duduk di dalam taman bunga. Hatinya kecewa dan berduka. Ia benar-benar jatuh cinta kepada Hwe Lan, akan tetapi gadis itu agaknya tidak mempedulikannya. Bahkan tidak mempercayainya, buktinya gadis itu tidak mau menuturkan riwayat hidupnya. Padahal ayah ibunya takkan mau mengambil menantu seorang gadis yang tidak diketahui riwayat hidupnya. Andaikata ayah ibunya mau, belum tentu pula Hwe Lan suka menerimanya!

Memikirkan semua ini, Cong Hwi benar-benar menjadi patah hati dan ia duduk melamun memandang ke arah bulan purnama yang membuat taman itu nampak makin indah. Akan tetapi tidak indah dalam pandangan Cong Hwi, bahkan melihat bulan berjalan-jalan seorang diri di angkasa itu membuat ia merasa lebih kesunyian lagi!

Tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki di belakangnya dan ketika ia menengok, ia melompat dengan girang. Ternyata, Hwe Lan yang datang itu. “AH, kau...Nona Hwe Lan?” katanya.

“Kongcu, aku datang sengaja mencarimu untuk menuturkan riwayat hidupku dan juga untuk minta tolong kepadamu.”

Bukan main girang hati Cong Hwi mendengar ini, seakan-akan suara ini datang dari bulan yang kini tersenyum indah. “Katakanlah, Nona. Pertolongan apakah yang kau kehendaki? Tentu akan kulakukan sedapat mungkin.”

Hwe Lan lalu menceritakan riwayatnya secara singkat. Ia menuturkan betapa ia dan kedua saudaranya adalah anak pemberontak Yap Sian Houw, seorang tokoh Siauw-lim-pai yang dimusuhi oleh para perwira. Ia ceritakan pula bahwa Nyo Hun Tiong pernah menolong jiwa mereka bertiga ketika masih kecil.

Betapa kemudian mereka belajar silat di bawah pimpinan Yap Sian Houw, Thian Hwa Nikouw, dan akhirnya digembleng oleh Toat-beng Sian-kouw, kemudian ia menuturkan pula betapa Yap Sian Houw yang mereka anggap sebagai ayah sendiri itu telah dibunuh oleh seorang perwira she Lee yang pandai mempergunakan panah.

“Demikianlah,” ia menutup penuturannya. “Kami bertiga telah bertekat untuk mencari perwira she Lee itu untuk membalas dendam ini. Dan itu pula yang membuat kami bertiga menyerbu pasukan Kim-i-wi yang membongkar kuburan Nyo Hun Tiong Tahiap. Kami sama sekali tidak bermaksud memberontak terhadap Kaisar, sakit hati karena terbunuhnya banyak orang yang kami anggap sebagai orang tua dan penolong.”

Souw Cong Hwi mengangguk-angguk mendengar penuturan ini. Hatinya amat terharu dan kasihan terhadap gadis yang malang ini. terutama sekali karena gadis ini adalah murid Toat-beng Sian-kouw sedangkan pendeta wanita itu adalah kawan baik sekali dari gurunya sendiri, bahkan ia pernah bertemu muka satu kali dengan pendeta wanita yang sakti itu.

“Kalau begitu, sebenarnya kita adalah orang sendiri,” katanya setelah penuturan gadis itu habis. “Aku kenal gurumu itu karena Toat-beng Sian-kouw adalah sahabat baik dari Suhu.”

“Siapakah suhumu?” tanya Hwe Lan tertarik.

“Suhuku adalah Pat-jiu Sin-kai Kwee-Sin.”

“Aku pernah mendengar guruku menyebut nama ini. pantas saja ilmu silatmu demikian lihai.” “Ah, jangan terlalu memuji, Nona. Sekarang, ceritakanlah, pertolongan apakah yang dapat kulakukan untukmu? Dan kalau kau tidak berkeberatan, katakanlah sebetulnya kau ini anak siapakah? Siapakah ayah ibumu? Kau belum menceritakan hal ini tadi. Hanya kuketahui bahwa mendiang Yap Sian Houw adalah ayah angkatmu.”

Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba berubahlah wajah gadis itu, ia menjadi pucat dan hanya kekerasan hatinya yang dapat membuat ia kuat menahan jatuhnya air mata. Ia nampak terharu sekali.

Cong Hwi terkejut melihat hal ini. “Nona Hwe Lan, maafkan kalau pertanyaanku ini kau anggap kurang ajar.”

Hwe Lan menggeleng kepalanya dan setelah ia dapat menetapkan kembali hatinya, ia menjawab, “Souw-kongcu, kau adalah seorang yang telah banyak melepas budi kepadaku, perlu apakah aku harus menyembunyikan sesuatu lagi? Baik, kau ketahuilah. Memang benar bahwa Yap Sian Houw hanyalah ayah angkatku, sedangkan ayah kandungku sendiri pun telah terbunuh oleh perwira she Lee itu.

"Ketika hal itu terjadi, kami bertiga masih kecil dan kami tertolong oleh Nyo-taihiap yang kuburannya dibongkar oleh perwira-perwira Kim-i-wi itu! Sekarang kau mengerti mengapa kami bertiga mengamuk melihat kuburan penolong itu dibongkar orang. Kami masih demikian kecil sehingga kami tidak ingat lagi siapakah orang tua kami yang sebenarnya, bahkan kami tidak tahu lagi siapakah she (nama keturunan) kami!”

Sampai di sini, Hwe Lan tak dapat menahan lagi keluarnya dua titik air mata dari pelupuk matanya. “Karena itu, Kongcu,” akhirnya ia dapat melanjutkan kata-katanya, “Tolonglah beritahukan kepadaku, di mana tempat tinggal perwira bangsat she Lee itu, karena aku tidak sabar lagi menanti kedatangan enci dan adikku. Aku hendak membalas dendam sekarang juga!”

Cong Hwi terkejut mendengar ini. “Nona, kau tidak tahu! Perwira she Lee yang kau maksudkan itu tentulah Lee Song Kang yang bergelar Sin-to (Golok Sakti) dan yang berpangkat busu. Siapa lagi kalau bukan dia yang pandai mempergunakan anak panah? Dia memang gagah perkasa dan selain anak panahnya juga ilmu goloknya amat lihai. Akan tetapi, dia sekarang tidak tinggal di kota raja lagi dan telah pindah ke kota Siang-kan-bun di Propinsi Kiang-si untuk menjabat pangkat komandan barisan penjaga di sana. Kau... kau tidak bisa dan tidak boleh pergi ke sana seorang diri!”

Bukan main girang hati Hwe Lan setelah mengetahui tempat tinggal musuh besarnya itu, akan tetapi ia kecewa karena ternyata musuh besarnya itu tidak tinggal lagi di kota raja. Mendengar kalimat terakhir dari pemuda itu yang melarangnya pergi ke sana, kedua matanya terbelalak heran. “Mengapa tidak bisa? Dan apa sebabnya tidak boleh? Sekarang juga aku mau pergi ke sana!”

“Jangan...! Jangan, Hwe Lan!”

Mendengar sebutan namanya ini, tanpa panggilan Nona seperti biasanya, Hwe Lan memandang makin heran dan mukanya menjadi merah.

“Kalau kau pergi, hal itu berbahaya sekali,” kata Cong Hwi pula yang tidak sadar bahwa tanpa disengaja ia menyebut nama nona itu begitu saja, “Sebelum kau keluar kota raja, kau tentu telah tertangkap! Penjagaan masih dilakukan keras sekali.”

“Aku tidak peduli. Kalau memang aku akan tertangkap, biarlah, aku tidak takut. Bagaimanapun juga besar bahayanya, aku harus berusaha membalas dendam guruku, dendam orang tuaku, dan aku harus mencari keparat she Lee itu!”

“Hwe Lan... kalau sampai kau terkena celaka...ah, tidak tahukah kau bahwa orang satu-satunya yang akan kehilangan dan akan merasa berduka, adalah aku sendiri...?” Bagaikan mimpi Cong Hwi membuka rahasia hatinya.

Hwe Lan melangkah mundur dengan muka merah. “Apa...? Apa maksudmu Kongcu...?”

Cong Hwi menundukkan mukanya dan berkata perlahan, “Hwe Lan, aku... aku cinta kepadamu, telah kurundingkan dengan ayah ibuku untuk... meminangmu sebagai isteriku!”

Bukan main terkejutnya hati Hwe Lan mendengar pengakuan ini. Ia melangkah mundur lagi dua tindak dengan mata terbelalak dan muka merah. “Tidak, Kongcu!” katanya dengan napas tersengal. “Aku tidak berharga! Kau seorang putera pangeran, seorang bangsawan yang mulia dan berkedudukan tinggi! Sedangkan aku... aku seorang yatim piatu yang hina dina. Pula, aku harus membalas dendam ini. hanya inilah satu-satunya cita-cita hidupku, yang lain itu aku belum pernah memikirkan!” Setelah berkata demikian, gadis itu lalu berlari menuju ke kamarnya meninggalkan Cong Hwi yang berdiri bengong.

Kemudian Cong Hwi teringat bahwa Hwe Lan akan pergi, maka ia cepat bangun berdiri. “Aku harus melarangnya pergi, kalau ia sampai celaka...!”

Ia tidak dapat melanjutkan jalan pikirannya yang membuatnya berduka dan ngeri ini. Ia lalu berlari ke dalam gedung menemui ayah ibunya dan menceritakan segala percakapannya yang dilakukan demi gadis itu. Pemuda ini dengan muka pucat minta kepada ayah ibunya supaya membujuk gadis itu jangan pergi menempuh bahaya. Pangeran Souw Bun Ong beserta isterinya lalu pergi ke kamar Hwe Lan dan membujuknya.

“Nona Hwe Lan,” kata Pangeran Souw, “Kami tahu tentang maksudmu membalas dendam dan tentu saja kami tak dapat menghalangi kehendakmu itu. Akan tetapi segala hal harus dilakukan dengan hati-hati dan sempurna. Apakah artinya usahamu membalas dendam kalau kau tertangkap sebelum dapat keluar dari kota? Apakah itu bukan berarti membuang jiwa secara murah? Mari kita bekerja sama, kami akan membantumu keluar dari kota. Tunggulah beberapa hari lagi, kami akan mencari jalan yang baik bagimu.”

Mendengar ucapan ini, terpaksa Hwe Lan menurut karena ia anggap bahwa usul ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, Pangeran Souw lalu mempergunakan pengaruhnya dan ia berhasil mengatur sedemikian rupa sehingga tiga malam kemudian, penjaga pintu gerbang di sebelah utara terdiri dari orang-orang kepercayaannya sendiri yang telah dipesan bahwa malam hari itu ia hendak menyelundupkan seorang pemuda keluar dari kota raja, agar supaya jangan diganggu. Setelah beres, ia lalu memberitahu kepada Hwe Lan yang telah menanti-nanti tak sabar lagi.

“Malam ini kau boleh keluar kota, Nona,” kata Pangeran Souw. “Akan tetapi kau harus menyamar sebagai seorang pemuda dan keluar dari pintu utara. Para penjaga takkan mengganggu lagi. Akan tetapi, berhati-hatilah kau dan semoga kau selamat serta tercapai cita-citamu.”

Nyonya Souw yang telah menganggap gadis itu sebagai keluarga sendiri, sambil mencucurkan air mata berkata, “Hwe Lan, mengapa kau berkeras hendak pergi? Kau harus kembali lagi, Nak. Kau harus berjanji akan kembali lagi, kalau tidak, aku tidak rela melepasmu pergi...”

Hwe Lan terharu juga melihat kecintaan nyonya ini kepadanya. Ia memeluk nyonya itu dan tidak dapat menahan air matanya sendiri yang mengalir membasahi pipinya. “Aku akan kembali...” bisiknya.

Dan Cong Hwi yang mendengarkan semua itu sambil menundukkan kepalanya, ketika mendengar suara ini lalu mengangkat muka memandang. Pada saat mengucapkan kata-kata itu, Hwe Lan memang memandang kepada pemuda itu, maka untuk sekejab, dua pasang mata, bertemu, mengandung janji yang hanya dimengerti oleh pemiliknya. Kemudian, Hwe Lan lalu mengadakan persiapan, dan dibantu oleh Nyonya Souw, ia menyamar sebagai seorang pemuda yang tampan!

Tanpa diketahui atau diduga sedikitpun oleh Hwe Lan, pada malam hari itu, seorang gadis lain berada pula di dalam kota dan gadis ini bukan lain ialah Siang Lan! Bagaimanakah Siang Lan bisa berada di kota raja?

Sebelum menceritakan tentang Siang Lan, marilah kita bersama mengikuti lebih dulu perjalanan Sui Lan, gadis lincah gembira yang termuda di antara tiga dara pendekar Siauw-lim itu agar jangan terlalu lama kita berpisah dari dia!

Sui Lan yang terpisah dari kedua encinya, setelah tak berhasil bertemu dengan Hwe Lan atau Siang Lan, dengan bingung lalu melanjutkan perjalanannya seorang diri. Betapapun juga, ia harus menurut petunjuk gurunya, dan melanjutkan perjalanannya sesuai dengan rencana yang telah diatur, yaitu melalui Propinsi Hu-pei, Ho-nan, Sian-tung, dan terus ke kota raja.

Ia menduga bahwa kedua saudaranya, entah lebih dulu atau belakangan, tentu juga mengambil jalan ini dan akhirnya ia mengharapkan untuk bertemu dengan kedua encinya itu di kota raja atau di tengah jalan. Yang agak membingungkan hatinya adalah bahwa uang bekalnya telah habis sama sekali, karena ia memang tidak membawa uang dan kantung uang dibawa oleh Hwe Lan.

Akan tetapi, dasar ia bernasib baik, ketika ia sedang berjalan dengan bingung melalui sebuah hutan besar dan liar, tiba-tiba dari belakang gerombolan pohon berlompatan keluar delapan orang tinggi besar yang bersikap kasar. Sekali lihat saja tahulah Sui Lan bahwa mereka itu adalah perampok-perampok kejam, akan tetapi Sui Lan pura-pura tak melihat mereka dan berjalan terus ke depan.

Seorang di antara mereka yang bermuka merah melompat di tengah jalan, menghadangnya, sedangkan kawannya lalu melangkah maju pula dan mengurung gadis itu sambil tertawa-tawa menyeringai. Terpaksa Sui Lan menghentikan tindakan kakinya dan sambil tersenyum ia berkata,

“Eh, eh, kalian ini orang-orang apakah? Agaknya kalian ini yang biasa disebut orang-orang hutan, betulkah?”

Biarpun dimaki orang hutan, akan tetapi oleh karena gadis itu luar biasa cantik jelita dan juga tersenyum-senyum dengan mata berseri gembira, para perampok itu tidak menjadi marah, bahkan mereka semua lalu tertawa gembira.

“Ha-ha-ha!” Kepala rampok yang bermuka merah itu tertawa sambil memegangi perutnya yang besar dengan kedua tangan. “Kau benar, Nona cantik! Kita memang orang-orang hutan dan aku adalah rajanya, raja hutan yang kuat dan gagah! Dan kau patut menjadi permaisuriku, ha-ha-ha!”

“Ah, perutmu mengingatkan aku akan perut kerbau! Siapa sudi menjadi permaisurimu?” kata Sui Lan yang masih saja bersikap jenaka.

Kata-katanya ini kembali disambut gelak tertawa. “Kau pilih yang kecil perutnya? Lihat, perutku kecil sekali, Nona manis!” kata seorang anggota perampok yang melompat maju.

Sui Lan memandang perampok itu yang bertubuh kurus kering dan tinggi bagaikan batang bambu. Tentu saja perutnya kecil sekali seakan-akan sudah sebulan perutnya tidak kemasukan sesuatu. Sui Lan memicingkan matanya dan bibirnya cemberut. “Hm, kau seperti cacing tanah! Geli aku melihatnya!”

Berganti-ganti para perampok itu maju menawarkan dirinya, dan kesemuanya dicela oleh Sui Lan yang menyebutkan cacat-cacatnya. Akhirnya kepala rampok itu berkata, “Gadis manis, kau hendak pergi kemanakah?”

“Aku sedang melancong. Mengapa kalian menghadang di jalan? Minggirlah dan beri jalan padaku.”

“Ha-ha-ha! Enak sekali kau bicara. Kau sungguh sembrono sekali melakukan perjalanan seorang diri di dalam hutan ini. Seorang gadis cilik yang cantik jelita seperti kau, sungguh aneh, sungguh aneh! Ayah ibumu benar-benar tega sekali membiarkan kau melakukan perjalanan seorang diri. Serahkanlah bungkusanmu itu dan kau harus ikut dengan kami, agar jangan hidup seorang diri seperti ini. Sungguh kasihan sekali!”

Sui Lan tersenyum. “Hm, tak salah lagi. Kalian tentu perampok-perampok orang-orang hutan yang berlagak seperti manusia. Aku mendengar bahwa perampok-perampok mengumpulkan harta kekayaan dari orang-orang yang lewat dan karena sekarang aku perlu sekali uang bekal, maka kalian harus membayar pajak padaku!”

Para perampok itu saling pandang dan tertawa mengejek. Baru kali ini mereka mendengar ada orang seorang gadis cantik pula, minta pajak dari mereka! Biasanya merekalah yang minta pajak jalan atau pajak hutan kepada para korban yang lewat di situ.

“Kau benar-benar mengagumkan, begini tabah dan berani, sama sekali tidak takut! Alangkah baiknya kalau kau menjadi permaisuriku!” kata kepala perampok itu yang segera bergerak maju hendak memeluk.

Sui Lan memandang dengan lagak yang mengejek dan berkata, “Pernah ada orang bilang bahwa orang hutan pandai menari seperti monyet, hendak kulihat kebenaran ucapan itu!”

Begitu ucapan ini habis, ia bergerak cepat dan kakinya menendang ke arah kaki seorang anggota perampok yang berdiri dekat. Perampok itu hendak mengelak, akan tetapi ia kalah cepat dan tulang kering pada kakinya telah berkenalan dengan ujung sepatu Sui Lan yang menendang keras.

“Plak!” dan orang itu meringis-ringis kesakitan, mengaduh-aduh dan tanpa dapat ditahan karena sakitnya, ia mengangkat kaki yang tertendang itu dan berloncat-loncatan dengan sebelah kaki seperti orang berjingkrak-jingkrak menari!

“Aduh...aduh...aduh...!” tiada hentinya ia mengeluh dan melompat-lompat dengan sebelah kakinya.

Sui Lan tertawa geli dan menuding dengan tingkah lucu. “Ha, benar saja, orang hutan pandai menari. Terus, terus! Alangkah lucunya."

Kawanan perampok itu merasa geli juga melihat kawan mereka ini, akan tetapi mereka juga mendongkol karena kawan mereka itu dipermainkan sedemikian rupa oleh gadis ini. Dua orang segera menyergap hendak memeluk gadis yang cantik dan lincah itu, akan tetapi Sui Lan telah mendahului mereka dan menggerakkan kakinya. Kembali dua orang itu kena ditendang tulang kakinya sehingga seperti orang pertama tadi, mereka pun berjingkrak-jingkrak karena kaki itu terasa sakit sekali dan tulangnya mungkin telah retak!

“Aduh, lucunya...” Sui Lan bertepuk-tepuk tangan dengan girang. “Sekarang ada tiga monyet yang menari-nari! Ayo monyet yang mana lagi ingin menari?”

Para perampok tadinya mengira bahwa perbuatan Sui Lan yang pertama tadi hanya kebetulan saja, akan tetapi kini mereka maklum bahwa hal ini bukanlah terjadi secara kebetulan, akan tetapi memang gadis ini memiliki kepandaian. Kepala rampok menjadi marah dan mencabut goloknya diturut oleh empat orang anak buahnya, sedangkan tiga orang yang telah tertendang kakinya itu hanya dapat menonton sambil duduk di atas tanah dan mengurut-ngurut kakinya yang terasa sakit sekali.

“Eh, tidak tahunya kau dapat juga bersilat!” kata kepala rampok itu sambil menuding kepada Sui Lan dengan goloknya. “Pantas saja kau berani melakukan perjalanan seorang diri. Akan tetapi, jangan harap kau akan dapat keluar dari tempat ini sebelum menyerah kepada kami, baik menyerah hidup-hidup atau menyerah mati!”

Sui Lan tersenyum. “Siapa yang mau keluar lekas-lekas? Kalau kau belum memberi pajak yang kuminta, yakni seratus tail perak dengan kantungnya yang baik agar mudah dibawa, jangan harap aku mau keluar dari tempat ini!” Juga gadis ini menggunakan telunjuknya menuding dan meniru sikap kepala rampok itu.

Kepala rampok itu menjadi marah dan dengan seruan keras ia lalu mengayun goloknya menyabet ke arah leher Sui Lan diturut pula oleh kawan-kawannya yang menyerang dengan hebat. Akan tetapi, tentu saja orang-orang kasar ini bukanlah lawan Sui Lan yang berkepandaian tinggi.

Sekali tubuh gadis itu berkelebat, para perampok menjadi melongo karena gadis itu telah lenyap dari depan mereka dan tahu-tahu telah terdengar suara ketawanya di belakang tubuh mereka!

Dengan cepat mereka berbalik dan menyerang lagi, akan tetapi mengandalkan gin-kangnya yang tinggi, Sui Lan bergerak cepat ke sana kemari dan mempermainkan mereka bagaikan seorang dewasa mempermainkan lima orang anak-anak kecil!

Sambil mengelak ke kiri, tangannya yang dibuka jari-jarinya merupakan golok menyambar ke arah lawan dan „ngek!‟ seorang perampok terguling roboh karena perutnya kena dimasuki tangan itu. Ia bergulingan di atas tanah karena perutnya tiba-tiba menjadi „mulas‟ dan sakit sekali. Sui Lan tertawa-tawa kemudian tubuhnya menyambar lagi dengan kaki diayun.

“Buk!” tubuh seorang pengeroyok terpental sampai lima kaki lebih dan jatuhnya kebetulan sekali menimpa seorang di antara tiga orang perampok yang kakinya kena ditendang tadi sehingga keduanya bergulingan sambil mengaduh-aduh. Tenyata orang itu kena ditendang pantatnya dengan keras oleh kaki Sui Lan!

Kini pengeroyoknya tinggal tiga orang lagi. Kepala rampok muka merah itu merasa penasaran sekali, dan juga terkejut. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis ini demikian lihai sehingga dengan tangan kosong sanggup menghadapi keroyokan lima orang bersenjata, bahkan dengan amat mudahnya telah merobohkan dua orang pengeroyok.

Ia memutar-mutar goloknya dengan cepat dan ingin sekali dengan bacokan goloknya ia membuat tubuh gadis yang kecil itu terpotong menjadi dua. Kini nafsunya untuk mendapatkan gadis cantik itu lenyap, terganti nafsu untuk membunuh karena marah dan mendongkol.

Akan tetapi, dengan enaknya dan sambil tersenyum-senyum, Sui Lan mempermainkan mereka bertiga dan pada saat dua orang anak buah perampok menyerang dari kanan kiri, Sui Lan mengelak cepat, lalu kedua tangannya bergerak ke kanan kiri. “Plok! Plok!” kedua telapak tangannya telah menyambar muka dua orang itu sehingga keduanya berteriak.

“Aduh...!” lalu menutupi muka mereka yang kena ditampar, karena tamparan tadi mengenai mata mereka sehingga terasa pedas dan kepala mereka menjadi pening. Sebelum mereka tahu harus berbuat apa, tiba-tiba rambut kepala mereka ada yang menjambak dan tiba-tiba...

”Duk!” kepala mereka diadu satu kepada yang lain sehingga seakan-akan pecahlah dunia ini bagi mereka. Pandangan mereka berkunang-kunang dan tubuh mereka berputar-putar terhuyung-huyung ke kanan kiri, kemudian mereka roboh terguling dalam keadaan pingsan!

Tinggallah Si Kepala Rampok seorang yang masih melawan dengan goloknya, akan tetapi diam-diam ia mengeluh. “Celaka! Kali ini aku bertemu dengan siluman!”

Akan tetapi Sui Lan tidak mau membiarkan kepala rampok itu menduga-duga lebih lama lagi. Sekali tangannya digerakkan, ia telah berhasil menotok jalan darah tai-hwi-liat di punggung kepala rampok itu sehingga Si Muka Merah berdiri dengan tubuh kaku!

Biarpun ia masih berdiri dengan kuda-kuda kuat, kaki kanan di belakang dan kaki kiri di depan, tangan kirinya dikepal dan didekatkan di pinggang, sedangkan tangan kanan memegang golok yang diangkatnya untuk membacok, akan tetapi ia tidak kuasa menggerakkan tubuhnya lagi!

Sui Lan tertawa bergelak dan berkata, “Bagus, kau seperti sebuah patung penjaga kelenteng!”

“Lihiap, ampunkan kami...” kepala rampok itu masih dapat bicara, walaupun suaranya terdengar perlahan sekali.

“Kau suruh dulu anak buahmu mengambil uang pajak seratus tail perak itu!” kata Sui Lan.

Akan tetapi, kepala rampok itu agaknya berat untuk melakukan perintah ini dan diam saja tak menjawab. Sui Lan menjadi tak sabar dan sekali ia ulur tangan, golok di tangan kanan rampok itu telah ia rampas. Dengan golok itu ia lalu menuding ke arah perut Si Kepala Rampok yang gendut itu sambil berkata,

“Kalau tidak lekas kau keluarkan pajak itu, akan kubelah perutmu dan hendak kulihat apakah sebenarnya isi perutmu yang besar ini!”

Kepala perampok itu diam saja sedangkan anak buahnya yang telah siuman kembali memandang dengan ketakutan dan muka pucat. Mereka benar-benar telah membentur karang yang luar biasa kerasnya kali ini!

“Kau tidak rela memberi pajak itu? Baik, mari kita sama-sama lihat isi perutmu!” Sui Lan menggerakkan goloknya ke arah perut itu dan sengaja menusuk sedikit kulit perut di balik pakaian itu. Kepala perampok itu berjengit lalu berkata ketakutan,

“Baik, Lihiap, baik...” Ia lalu berkata kepada seorang anak buahnya yang masih dapat berjalan untuk mengambil uang yang diminta itu dari sarang mereka yang berada di dalam hutan...

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.