Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 06 karya Kho Ping Hoo - Anggota perampok yang diperintah itu lalu berlari ke dalam hutan dan tak lama kemudian, betul saja ia datang membawa sekantung uang. Ia memberikan kantung uang itu kepada Sui Lan dengan sikap menghormat.
Dan Sui Lan menerimanya sambil menimbang-nimbang beratnya dengan tangan kiri. Setelah membuka kantung dan mendapatkan kenyataan bahwa isinya betul uang perak, ia lalu tersenyum dan menyimpan kantung uang ittu ke dalam bungkusan pakaiannya.
“Nah, biarlah sedikit pajak ini menjadi pelajaran bagi kalian, bahwa ada kalanya merampas juga ada waktunya dirampas! Lain kali janganlah suka mengganggu gadis-gadis muda lagi dan jangan merampok secara sembarangan saja!”
Ia lalu mengangkat kakinya menendang ke arah punggung kepala rampok itu yang roboh terguling, akan tetapi sekaligus totokan yang membuatnya kaku tak dapat bergerak itu telah dapat disembuhkan! Ketika mereka memandang ternyata gadis yang luar biasa itu telah melompat jauh dan lenyap dalam sebuah tikungan jalan.
Senanglah hati Sui Lan setelah mendapatkan bekal ini karena ia tak usah merasa kuatir lagi dalam perjalanan. Beberapa hari kemudian, ia sampai di Propinsi Ho-nan dan ketika ia tiba di kota Kang-cu, ia berhenti dan bermalam di kota itu, karena ia amat tertarik dengan keindahan dan keramaian kota.
Ketika Sui Lan memasuki ruang sebuah hotel besar untuk mencari kamar, ia bertemu dengan tiga orang laki-laki yang sikapnya menunjukkan sebagai ahli-ahli silat, ia melihat tiga orang itu mengerlingkan dengan pandang tajam penuh kekaguman. Ia tidak melayani mereka dan pura-pura tidak melihatnya, akan tetapi memandangnya dengan penuh perhatian.
Hatinya mendongkol bukan main karena biarpun ia tidak merasa heran melihat mata laki-laki mengikutinya dan hal ini sudah seringkali dialaminya di mana-mana, akan tetapi memandang orang di dalam hotel seperti itu, sungguh terlalu sekali! Ia mendapatkan sebuah kamar di bagian belakang dan setelah memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa kamar itu cukup bagus, ia lalu memasuki kamar itu dan beristirahat.
Hari itu sudah mulai gelap, karena masih lelah, Sui Lan tidak mau keluar dari hotel dan mengambil keputusan untuk berjalan-jalan besok pagi saja. Setelah membersihkan tubuh dan makan malam, ia terus tinggal di dalam kamarnya, tidak keluar lagi. Akan tetapi, menjelang tengah malam, ia mendengar suara bisik-bisik di luar jendela kamarnya dan cepat ia melompat turun dengan hati-hati dan mengintai keluar. Ia melihat ada bayangan tiga orang berada di luar kamarnya dan mendengar percakapan mereka sambil berbisik,
“Jangan, Sute, jangan berlaku sembrono. Kalau diketahui oleh orang lain, nama kita akan rusak!”
“Aku tidak takut,” jawab suara lain, “Apa peduli orang lain dengan urusan kita? Bunga seindah itu sayang sekali kalau tidak dipetik!”
“Hush, jangan begitu, Sute. Kita sedang menghadapi urusan besar besok pagi, kalau sampai diketahui orang, apakah kita tidak malu terhadap anak-anak murid Go-bi? Jangan kita merendahkan nama sendiri. Soal bunga itu, mudah saja kita petik kalau sudah selesai urusan besok pagi, atau kita boleh mencegatnya di luar kota kalau ia pergi. Akan tetapi jangan sekarang, apalagi jangan di tempat ini!”
Bayangan itu pergi lagi dan Sui Lan merasa gemas dan mendongkol sekali. Ia maklum bahwa tiga bayangan itu adalah orang-orang yang siang tadi dilihatnya ketika ia memasuki hotel itu dan dari percakapan mereka, ia maklum pula bahwa mereka adalah bangsa jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang suka mengganggu anak bini orang.
Hal ini pernah ia dengar dari gurunya dan menurut pesan gurunya, apabila ia dan enci-encinya bertemu dengan penjahat macam ini, boleh terus dibunuh jangan diberi ampun lagi! Memang dapat dimaklumi perasaan dan kebencian hati wanita menghadapi perusak-perusak wanita ini.
Sui Lan berjanji di dalam hati sendiri untuk menyelidiki keadaan tiga orang itu dan kalau betul-betul mereka adalah penjahat-penjahat pemetik bunga seperti yang ia duga, ia akan membasmi mereka. Juga ia tertarik mendengar percakapan mereka yang menyebut-nyebut nama Go-bi-pai. Terang bahwa mereka bukan anak murid Go-pi-pai, dan entah apa hubungan mereka dengan Go-bi-pai.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sui Lan telah bangun dan bersiap sedia melakukan pengintaian. Ia tahu bahwa tiga orang yang hendak diselidikinya itu juga bermalam di situ, maka ketika ia melihat mereka keluar dari hotel, ia lalu cepat menyusul dan mengikuti mereka dari belakang. Mereka menuju ke tengah kita, pusat keramaian kota itu dan dari jauh Sui Lan telah mendengar suara gembreng dan tambur.
Tiga orang yang diikutinya itu langsung menuju ke tempat yang ramai itu dan ternyata di tengah-tengah lapangan yang penuh orang, terdapat sebuah panggung lui-tai (panggung tempat bermain silat) yang tingginya hampir dua tombak. Dia tas panggung yang lebar itu, terdapat dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, dan mereka inilah yang memukul tambur dan gembreng.
Sikap kedua orang ini menyatakan jelas bahwa mereka adalah orang-orang kuat yang mengerti ilmu silat dan mereka selalu memandang ke sana kemari seakan-akan menanti datangnya orang-orang lain.
Tiga orang dari hotel yang diikuti Sui Lan itu menghampiri lui-tai dan gerakan tangan mereka melompat ke atas panggung, disambut oleh dua orang itu yang melepaskan tetabuhan mereka dan segera mereka bercakap-cakap. Setelah itu, seorang di antara tiga orang yang diikuti oleh Sui Lan tadi, berdiri menghadapi penonton yang telah banyak berkumpul, mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata dengan suara lantang,
“Cuwi sekalian yang terhormat! Kami dan Go-bi-pai, hari ini sengaja membuka panggung lui-tai ini untuk mendemonstrasikan ilmu silat dari kedua cabang kami dengan harapan agar khalayak ramai dapat menikmati keindahan ilmu silat cabang Bu-tong-pai dan Go-bi-pai. Telah lama kami mendengar bahwa di kota ini terdapat banyak orang pandai dari berbagai cabang, di antaranya dari cabang Siauw-lim, cabang yang telah memberontak dan telah ditumpas oleh kerajaan itu. Dari para ahli silat lain cabang, kami mengharapkan petunjuk-petunjuk apabila terdapat kekurangan dalam pertunjukan kami, sedangkan apabila di sini masih terdapat sisa anak murid Siauw-lim-pai, kami menantang mereka untuk naik ke panggung dan mengadu kepandaian!”
Setelah anak murid Bu-tong-pai ini mengangkat bicara maka tambur dan gembreng dipukul lagi sedangkan para penonton makin banyak datang menonton. Sui Lan merasa mendongkol sekali mendengar ucapan itu dan ia memperhatikan dengan mata tajam. Orang yang bicara tadi usianya kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan matanya mengandung sifat kejam.
Orang kedua yang tadi diikutinya, adalah seorang yang berusia kira-kira tiga puluh tahun, berwajah tampan dan pakaiannya mewah, tanda bahwa ia seorang pesolek. Orang ketiga juga berusia kira-kira tiga puluh tahun dan bermuka hitam. Tiga orang ini kini mudah diduga bahwa mereka adalah anak murid Bu-tong-pai dan melihat cara mereka melompat ke atas panggung tadi, dapat diduga bahwa kepandaian mereka cukup lihai.
Dua orang anak murid Go-bi-pai itu pun nampak gagah. Yang seorang bermuka kuning dan biarpun tubuhnya tinggi besar, akan tetapi kelihatan kurus dan gerak geriknya lambat, tanda bahwa dia adalah seorang ahli lwee-keh yang memiliki tenaga lwee-kang tingkat tinggi. Orang kedua mempunyai gerak gerik gesit dan matanya lebar dan bundar menakutkan.
Anak murid Go-bi-pai yang bermata bundar ini lalu maju ke tengah panggung dan menjura keempat penjuru kepada penonton sambil berkata dengan suaranya yang besar dan parau, “Siauw-te Boan Swe memperlihatkan sedikit kebodohan!”
Setelah berkata demikian, ia lalu mencabut goloknya dan mulai bersilat. Ilmu goloknya dari cabang Go-bi-pai cukup indah dan cepat sehingga goloknya berkelebatan menyilaukan mata penonton. Semua orang menyambut permainan ini dengan tepuk tangan menyatakan kekaguman mereka.
Akan tetapi diam-diam Sui Lan mentertawakan karena permainan itu hanyalah di luarnya saja nampak indah dan menakutkan, akan tetapi sebenarnya kurang isi. Setelah Boan Swe selesai bersilat, murid Bu-tong-pai yang tertua maju ke tengah panggung dan berkata kepada para penonton,
“Cuwi sekalian. Tadi seorang saudara dari Go-bi-pai telah mempertunjukkan ilmu goloknya. Apabila di antara saudara sekalian ada yang sudi naik ke panggung untuk bermain-main dengan dia, maka kami akan berterima kasih sekali. Terutama kami tujukan kepada anak murid Siauw-lim-pai, kalau kebetulan ada yang berada di antara para saudara penonton, harap naik dan boleh mencoba-coba kepandaian!”
Di dekat tempat Sui Lan berdiri, terdapat empat orang pemuda yang berpakaian seperti pelajar. Mereka ini bicara bisik-bisik satu kepada yang lain dan Sui Lan yang berpendengaran tajam dapat menangkap sedikit kata-kata mereka ketika seorang di antaranya berkata,
“Lo-heng, tak perlu kita melayani segala macam orang kasar seperti mereka.”
“Akan tetapi hatiku amat panas, mendengar Siauw-lim-pai dipandang rendah seperti itu!!” kata seorang lain. “Biarlah aku mencobanya juga.” Setelah berkata demikian, orang yang bicara ini lalu melompat ke atas panggung.
“Ah, Twa-suheng terlalu gegabah,” kata seorang lain.
Ketika pemuda yang berpakaian putih itu melompat ke atas panggung, semua penonton bersorak karena mereka merasa gembira dan mengharapkan menonton pertandingan yang hebat. Pemuda itu menjura kepada murid Bu-tong-pai tadi dan berkata,
“Siuw-te seorang she Bun ingin menerima pelajaran.”
“Bagus!” seru orang Bu-tong-pai itu. “Aku bernama Gan Kong, tidak tahu saudara dari cabang persilatan manakah?”
“Siauw-te tidak termasuk anggota cabang persilatan yang manapun juga, akan tetapi siauw-te pernah mempelajari sedikit ilmu silat Siauw-lim.”
Bersinarlah mata Gan Kong mendengar ini. “Hm, jadi kau adalah anak murid Siauw-lim-pai?” Juga kawan-kawannya yang empat orang itu memandang penuh perhatian.
“Sudah kukatakan bahwa aku bukan anggota cabang persilatan manapun juga, jadi bukan anggota Siauw-lim-pai, akan tetapi aku pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim. Apakah hal ini juga merupakan sesuatu yang harus dipandang rendah?”
Mendengar percakapan mereka yang telah mulai „panas‟ itu, para penonton menjadi makin gembira dan tegang. Sementara itu, Gan Kong mengangguk-angguk dan tersenyum mengejek.
“Kalau saudara bukan anggota Siauw-lim-pai, itu bagus sekali. Lagi pula saudara tidak kelihatan seperti pemberontak, maka tentu saja saudara bukan anggota cabang persilatan penjahat itu! Dengan siapakah kau hendak bermain-main? Dengan saudara Boan dari Go-bi-pai tadi ataukah dengan aku atau sute-suteku dari cabang Bu-tong-pai?”
Sikap dan bicara orang she Gan ini amat memandang rendah dan berkali-kali ia menyatakan kebenciannya kepada Siauw-lim-pai, maka Sui Lan yang mendengar ini hampir saja tak dapat menahan kesabarannya lagi.
Pemuda baju putih she Bun itu tersenyum dan menahan kemarahannya. “Dengan siapa saja pun boleh!”
“Kalau begitu, biarlah aku yang melayanimu. Mari, mari, ingin kulihat sampai di mana kau mempelajari ilmu silat busuk dari cabang persilatan Siauw-lim-pai yang jahat itu!” kata Gan Kong dengan sombongnya sambil membuka jubah luarnya dan tersenyum simpul.
Melihat sikapnya ini, hampir sebagian besar para penonton segera menaruh simpati kepada pemuda baju putih itu dan diam-diam mengharapkan agar supaya pemuda itu akan berhasil mengalahkan Gan Kong yang sombong itu.
Sui Lan mendengar betapa Gan Kong mengeluarkan ucapan yang amat menghina Siauw-lim-pai, tentu saja menjadi panas perutnya dan sudah gatal-gatal tangannya hendak memberi hajaran keras kepada orang itu. Akan tetapi, oleh karena pemuda she Bun itu telah menghadapi Gan Kong, maka ia menahan sabar dan di dalam hatinya ia berjanji akan membantu pemuda she Bun yang pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai.
Gan Kong tertawa mengejek ketika melihat pemuda itu memasang kuda-kuda sambil tertawa-tawa ia mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah pelipis pemuda itu. Lawannya cepat merubah kedudukan kuda-kudanya dan merendahkan tubuh sambil mengangkat tangan menangkis lalu balas menyerang dengan sodokan ke arah perut Gan Kong yang cepat menarik tangannya dan mencengkeram ke arah tangan lawan yang memukul.
Pemuda itu kaget melihat gerakan Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Garuda) ini dan menarik tangannya lalu menyerang lagi dengan sambaran tangan kiri dari samping ke arah leher lawan.
Melihat gerakan pemuda ini, Sui Lan maklum bahwa pemuda itu telah mempelajari ilmu silat Lo-han Kun-hwat dari Siauw-lim-pai dan biarpun kepandaianya cukup baik serta kegesitannya juga lumayan, akan tetapi sebentar saja ia dapat mengetahui bahwa pemuda ini bukanlah lawan berat bagi Gan Kong yang memiliki kepandaian lebih tinggi dan tenaga yang lebih besar.
Dugaannya memang benar, karena pada saat pemuda she Bun itu melakukan serangan dengan pukulan keras ke arah dada Gan Kong, murid Bu-tong-pai itu sambil berseru keras lalu menangkis dari samping sehingga ketika kedua lengan tangan beradu.
Pemuda she Bun itu terhuyung mundur dan mukanya meringis kesakitan sedangkan tangannya nampak biru! Akan tetapi ia masih belum menerima kalah, juga tidak ada kesempatan untuk mengaku kalah, karena gan Kong sambil tertawa-tawa mengejek terus mendesak dengan pukulan-pukulan maut!
Sui Lan terkejut sekali karena kini Gan Kong akan mempergunakan ilmu Coat-meh-hoat, yakni ilmu tiam-hwat (totokan) dari Bu-tong-pai yang berbahaya. Coat-meh-hoat adalah ilmu totok yang dilakukan tanpa mencari urat-urat tertentu dan jari-jari tangan Gan Kong yang nampak hitam itu mempunyai kekuatan yang dapat menembus dinding bata dengan sekali tusuk!
Tiga jari tangannya, yakni telunjuk jadi tengah dan jari manisnya, karena selalu dilatih, menjadi sama panjangnya dan celakalah kalau pemuda she Bun itu sampai terkena tusukan jari-jari ini yang biarpun tidak runcing, akan tetapi akan dapat menembus kulit dan dagingnya!
Apalagi Gan Kong ternyata berhati kejam dan ganas sekali, terbukti dari serangan-serangannya yang selalu ditujukan ke tempat berbahaya dari lawannya! Ini bukanlah merupakan pibu (adu tenaga) lagi, bukan sekedar mengukur kepandaian, akan tetapi lebih tepat disebut usaha pembunuhan!
Dengan gerakan yang amat kuat, Gan Kong menusukkan jari tangan kanannya ke arah mata pemuda she Bun itu sambil berseru, “Shaaaat!” dan pemuda itu terkejut sekali cepat miringkan kepala dan menghindarkan diri dari tusukan itu, akan tetapi jari-jari tangan kiri Gan Kong menyusul cepat, ditusukkan ke arah lambungnya dengan cepat dibarengi bentakan, “Shiiii!”
Pemuda she Bun itu merasa betapa tusukan jari tangan itu mendatangkan angin sehingga ia cepat-cepat memutar tubuh dan merubah kedudukan kakinya. Sungguhpun ia berhasil menghindarkan diri dari serangan ini, akan tetapi tubuhnya menjadi sulit kedudukannya dan Gan Kong tidak mau memberi ampun lagi kepadanya, terus melancarkan tusukan-tusukan dengan kedua tangannya yang dibuka jari-jarinya.
Jari tangan yang kuat itu ditusukkan secara bertubi-tubi ke arah leher, lambung, perut, mata, pusar dan sambung menyambung sehingga pemuda she Bun itu menjadi sibuk sekali menangkis, mengelak, dan sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk membalas! Akhirnya ketika keadaan sudah terdesak sekali, Gan Kong menyerang terus sambil tertawa masam dan mengejek.
“Ha-ha! Begini saja ilmu silat Siauw-lim yang buruk dan busuk! Ha-ha! Berkelitlah, tangkislah, larilah...!” Dan kini setiap kali ia menusuk, ia barengi dengan ejekan-ejekan, “Awas lehermu, awas perut! Awas mata!”
Dan ini pemuda she Bun itu hanya bisa mundur sambil melangkah berputar-putar di atas panggung dengan napas terengah-engah. Ketika tusukan ke arah matanya ia hindari, ia kurang cepat dan jari-jari tangan kiri Gan Kong yang kuat telah menyerempet pipinya sehingga robek kulitnya dan darah memenuhi bagian mukanyaini.
Pemuda itu terhuyung-huyung, akan tetapi Gan Kong tidak mau berhenti dan terus maju menyerang dengan tusukan ke arah ulu hati yang tentu akan mendatangkan maut apabila terkena. Pemuda she Bun itu cepat menjatuhkan dirinya untuk mengelak dari serangan maut ini, akan tetapi pada saat itu, kaki tangan Gan Kong menyambar sehingga ia terguling-guling di atas panggung.
Untung bahwa kaki itu hanya mengenai pahanya, akan tetapi Gan Kong benar-benar kejam. Sambil tertawa-tawa ia memburu dan kakinya yang bersepatu sol besi itu diangkat tinggi untuk diinjakkan keras-keras ke arah kepala pemuda she Bun!
Para penonton menahan napas, bahkan ada yang berseru ngeri dan pemuda she Bun yang maklum bahwa apabila kepalanya kena injak ia akan menderita luka hebat lalu berusaha sedapatnya untuk menghindarkan kepalanya dari serangan ini. Ia bergulingan dengan gerakan Naga Bermain-main Dengan Mustika. Tubuhnya bergulingan dengan cepat, akan tetapi sambil tertawa-tawa Gan Kong mengejar dengan injakan-injakan kedua kakinya. Benar-benar jiwa pemuda she Bun itu terancam hebat!
Pada saat itu, Sui Lan tak dapat menahan sabar lagi. Ia melihat betapa tiga orang kawan she Bun itu memandang pucat dan tak berdaya ke atas panggung, maka ia lalu mengeluarkan thi-lian-ci dan dua kali tangannya bergerak menyambit dengan thi-lian-ci berturut-turut ke arah Gan Kong.
Gan Kong yang sedang berusaha menginjak kepala lawannya, tiba-tiba mendengar sambaran angin dekat sekali dengan telinga kanannya. Ia terkejut dan maklum bahwa ada senjata rahasia yang menyambar, maka cepat ia miringkan kepala ke kiri. Tak terduga sama sekali pada saat itu senjata rahasia kedua menyambar ke arah telinga kirinya dan biarpun ia berusaha mengelak, akan tetapi sudah tak keburu lagi.
Ia berteriak kesakitan dan pinggir daun telinganya sebelah kiri menjadi robek tertembus thi-lian-ci! Darah mengucur dari daun telinganya dan ia menggunakan tangan untuk menutupi daun telinga kiri itu. Sementara itu pemuda she Bun telah melompat berdiri lalu cepat-cepat melompat turun dari panggung.
Bukan main marahnya Gan Kong. Mukanya menjadi merah bagaikan kepiting direbus. Sambil memegangi telinganya ia memandang ke arah dari mana datangnya senjata rahasia tadi. “Bangsat keji yang curang!” ia memaki. “Orang yang melepas senjata gelap, naiklah untuk terima binasa!”
Tak seorangpun melihat gerakan Sui Lan yang amat cepat itu, maka semua penonton terheran-heran melihat betapa tiba-tiba telinga orang kejam itu telah menjadi robek pinggirnya. Semua orang bersyukur melihat bahwa pemuda she Bun itu terhindar dari bahaya maut, akan tetapi sekarang mereka menjadi ketakutan ketika melihat Gan Kong menjadi demikian marah.
Sui Lan telah siap untuk melompat naik ke atas panggung, akan tetapi, tiba-tiba dari bawah panggung berkelebat bayangan putih dengan gerakan gesit sekali dan tahu-tahu di depan Gan Kong telah berdiri seorang pemuda yang tampan dan gagah, berpakaian putih bersih dan pinggangnya diikat sabuk sutera biru topinya juga berwarna biru dihias ronce-ronce benang emas.
Sui Lan tercengang dan memandang dengan mata terbelalak heran karena ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang menunggang kuda putih yang pernah bertemu bahkan bertempur dengan dia pada waktu ia baru saja turun dari gunung! Entah mengapa, ia melihat pemuda ini, hatinya berdebar girang, seakan-akan merasa bertemu dengan seorang sahabat lama yang baik!
Kalau sekiranya lain orang yang naik ke panggung, tentu ia takkan memperbolehkan dan akan melompat pula dan menggantikan orang itu. Akan tetapi, melihat pemuda itu yang melompat menghadapi Gan Kong ia bahkan merasa girang dan ingin sekali melihat sepak terjang pemuda itu, karena ia pun maklum bahwa ilmu kepandaian pemuda itu lihai sekali.
Dengan senyum lebar pemuda itu berdiri di depan Gan Kong yang memandangnya dengan mata bernyala. “Kaukah yang melakukan serangan am-gi (senjata gelap) secara pengecut tadi?” bentak Gan Kong dengan tangan terkepal karena menahan marahnya.
Pemuda itu tersenyum lucu dan menjawab sambil miringkan kepala dan memandang penuh ejekan, “Bukan, bukan aku. Akan tetapi aku merasa girang bahwa telingamu yang tebal seperti telinga keledai itu diberi sedikit hajaran. Hanya sayang sekali, pelempar thi-lian-ci tadi terlalu seji (sungkan-sungkan), karena seharusnya bukan hanya telingamu yang dihajar, akan tetapi juga mulutmu karena terlalu kurang ajar dan sombong!”
Bukan main herannya hati semua penonton mendengar ucapan pemuda yang luar biasa beraninya ini, dan bukan main marahnya hati Gan Kong mendengar sindiran ini sehingga ia mengertakkan gigi menahan marah. Bahkan Sui Lan juga merasa mendongkol sekali karena dicela oleh pemuda yang lihai itu. Diam-diam ia merasa kagum karena pemuda itu telah tahu bahwa senjata rahasia yang melukai telinga Gan Kong adalah thi-lian-ci.
Dan tiba-tiba Sui Lan merasa mukanya merah dan hatinya berdebar. Kalau pemuda itu telah tahu bahwa senjata rahasia tadi thi-lian-ci, tentu pemuda itu tahu pula bahwa dialah yang melepaskan am-gi itu, karena dulu ia pernah pula menyerang pemuda itu, bahkan encinya, Hwe Lan pernah menyerangnya dengan thi-lian-ci ke arah telinganya!
“Bangsat bernyali besar!” teriak Gan Kong dengan marah. “Aku tidak perlu dengan kau, yang kuminta naik adalah penyerang gelap tadi!”
Pemuda itu tersenyum pula penuh ejekan. “Bangsat bernyali kecil!” ia balas memaki. “Menurut aturan pibu, siapa yang maju lebih dulu, ia berhak ddilayani paling dulu pula! Tentang Si Penyerang dengan thi-lian-ci tadi, jangan khawatir, nanti dia juga tentu akan muncul untuk menambah dengan beberapa butir thi-lian-ci lagi pada mulut dan hidungmu sampai mukamu penuh dengan thi-lian-ci! Akan tetapi sekarang, akulah yang harus kau layani lebih dulu!”
Diam-diam Sui Lan tersenyum geli mendengar ucapan yang amat nakal dan jenaka itu, dan tanpa diketahuinya, sepasang matanya yang indah itu berseri gembira.
Gan Kong memandang tajam kepada pemuda itu dengan penuh perhatian. Ia melihat bahwa pemuda yang cakap ini usianya paling banyak dua puluh tahun, sikapnya lemah lembut dan cara ia menegakkan kepalanya seperti seorang bangsawan. Dari balik punggungnya nampak gagang pedang yang dironce benang merah.
“Kau siapakah? Apakah kau juga anak murid Siauw-lim-pai? Siapakah namamu?”
“Kau ingin mengetahui namaku? Baiklah, kau memang harus mengetahui namaku agar supaya kau tahu siapakah orangnya yang telah mengalahkan kesombonganmu. Aku bernama The Sin Liong, dan tentang cabang persilatanku, aku harus menyatakan bahwa aku tidak mempunyai cabang persilatan. Aku tidak mau membawa-bawa nama perguruan untuk dipakai menyombong dan menghina lain orang seperti kau dan kawan-kawanmu ini. Kalau kau memang mempunyai sedikit kepandaian, majulah dan kita boleh main-main sebentar. Sebaliknya kalau kau tidak becus apa-apa, lebih baik kau simpan kesombonganmu, pulang kembali ke tempat perguruanmu untuk belajar sedikitnya sepuluh tahun lagi!”
Orang-orang yang menonton mulai merasa gembira mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda ini. Dengan sikapnya yang lucu dan sama sekali tidak mempedulikan kemarahan orang yang diganda tersenyum saja itu, pemuda yang bernama The Sin Liong ingin melenyapkan suasana tegang dan menimbulkan kegembiraan dalam hati para penonton.
Pada saat itu, orang Go-bi-pai yang bermuka kuning dan kurus itu berdiri dan berkata kepada Gan-kong, “Gan-loheng, biarlah siauw-te yang menghadapi pemuda ini. Kau telah bertempur dan lebih baik beristirahat dulu sambil merawat luka di telingamu.”
Gan Kong memang hendak menyiapkan tenaganya untuk menghadapi orang yang telah melukai telinganya, dan karena darah dari daun telinganya masih membasahi leher, ia pikir lebih baik mundur dulu dan memberi giliran kepada kawannya ini. maka ia mengangguk dan melompat mundur.
Murid Go-bi-pai ini yang bermuka kuning dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia ahli lwee-keh yang pandai, lalu menghadapi pemuda itu dan berkata, “Saudara muda yang gagah, sebenarnya datang dari perguruan manakah? Aku Boan Kin dari Go-bi-pai mohon penjelasan.”
Melihat sikap anak murid Go-bi-pai ni tidak sesombong Gan Kong, pemuda ini lalu berkata sambil memandang tajam, “Saudara Boan Kin, lupakah kau akan pelajaran dari perguruanmu bahwa anak murid Go-bi-pai tidak boleh bergaul dengan orang-orang jahat? Akan tetapi kau tidak saja berkawan dengan orang-orang kasar dan jahat, bahkan sambil bersekutu dengan mereka kau hendak menyombongkan nama perguruan dan kepandaianmu, menghina orang lain secara sewenang-wenang? Kalau Pek Bi Locianpwe (Pek Bi Tojin) masih hidup, bukankah kau akan mendapat hukuman berat karena pelanggaran ini?”
Boan Kin tercengang dan wajahnya pucat. Tentu saja sebagai murid Go-bi-pai ia mengerti tentang pelajaran itu dan mengerti pula bahwa Pek Bi Tojin ketika hidupnya amat keras terhadap anak muridnya yang melanggar larangan-larangan. Akan tetapi, tidak sembarangan orang dapat melihat cacat diri sendiri. Ia tidak merasa salah bergaul dengan anak murid Bu-tong-san, dan tidak merasa salah pula menghina orang-orang Siauw-lim yang pernah bermusuhan dengan cabang persilan Go-bi-pai.
“Anak muda!” katanya dengan suara mulai menyatakan kemarahannya. “Jangan mencoba untuk menjadi penasehatku. Urusan peraturan dan lain-lain dari Go-bi-pai adalah urusan perkumpulan kami, kau sebagai orang luar tak berhak ikut campur! Terus terang saja, aku amat benci pada murid-murid Siauw-lim-pai dan kalau kau seorang murid Siauw-lim-pai, kita boleh mengadu jiwa di atas panggung ini. sebaliknya kalau kau bukan murid Siauw-lim-pai dan tidak mempunyai permusuhan dengan kami, lebih baik kau turun saja atau boleh saja kita mengadakan pibu untuk perkenalan!”
“Aduh galaknya!” kata Sin Liong sambil tersenyum. “Memang sukar melihat bisul di punggung sendiri!”
“Apa maksudmu?” tanya Boan Kin.
“Melihat bisul di punggung sendiri berarti insaf akan kekeliruan diri sendiri. Baiklah, kau anggap saja aku seorang lancang yang naik ke panggung ini untuk mencoba sampai di mana kelihaian anak-anak murid Go-pi-pai dan Bu-tong-pai yang sombong. Kulihat di sini terdapat dua orang murid Go-bi-pai, mengapa kau tidak maju dengan saudaramu itu?” Sambil berkata demikian, Sin Liong menuding ke arah anak murid Go-bi-pai yang lebih muda dan yang bermata lebar itu.
Para penonton makin terasa heran. Apakah pemuda ini sudah gila dan tidak terlalu gegabah? Sementara itu murid Go-bi-pai yang bermata lebar itu sebetulnya adalah adik kandung Boan Kin dan bernama Boan Swe, watak Boan Swe tidak sesabar kakaknya dan ia terkenal berangasan sekali. Oleh karena itu, mendengar ejekan dan tantangan pemuda itu, ia melompat ke atas panggung dan sepasang matanya yang besar itu makin melebar dan bola matanya berputar-putar mengerikan.
“Bangsat pemuda yang sombong!” teriaknya gemas sambil menuding ke arah hidung pemuda itu. “Apakah kau sudah bosan hidup maka berani bertingkah sesombong ini?”
“Bangsat tua!” Tha Sin Liong balas memaki dan sengaja menyebut bangsat tua sebagai balasan, sungguhpun Boan Swe baru berusia tiga puluh tahun lebih. “Kalau aku sudah bosan hidup, nanti aku naik ke panggung ini. Jangan banyak membuka mulutmu yang besar dan jangan pula menakut-nakuti aku dengan sepasang matamu yang seperti mata kerbau itu, kau dan saudaramu ini majulah!”
Akan tetapi, Boan Kin masih merasa ragu-ragu dan malu untuk mengeroyok seorang pemuda seperti ini, karena hal ini akan menjatuhkan namanya, maka ia bertanya, “Anak muda, benar-benarkah kau menghendaki kami berdua maju bersama? Jangan kau main-main!”
“Saudara yang baik,” kata Sin Liong sambil tersenyum sabar, “Aku pernah mendengar bahwa seorang tokoh besar dari Go-bi-pai pernah menciptakan ilmu golok pasangan yang disebut Im Yang Siang-to-hwat dan yang amat kuat apabila dimainkan oleh dua orang. Kau dan kawanmu ini menggendong golok telanjang di punggung, tentu kalian adalah ahli-ahli ilmu golok tersebut. Oleh karena itu, biarlah kalian maju bersama mainkan ilmu golok itu agar aku dapat mengenal kelihaiannya!”
Kembali Boan Kin tercengang mendengar ini, tidak saja terkejut melihat ketabahan pemuda ini, akan tetapi juga heran mengapa pemuda ini tahu tentang Im Yang Siang-to-hwat. Memang dia dan adiknya pernah mempelajari ilmu golok ini, bahkan ilmu ini pula yang mereka berdua andalkan dan yang telah membuat keduanya jarang terkalahkan.
“Baiklah, orang muda she The. Kau sendiri yang minta, bukan kami yang sengaja mendesak!” Sambil berkata demikian, Boan Kin mencabut goloknya, diturut pula oleh Boan Swe. Kedua kakak beradik ini lalu mengambil tempat di kanan kiri pemuda itu yang masih berdiri tenang-tenang saja.
Kemudian, Sin Liong mengangkat kedua lengannya dengan pangkal lengan menempel iga, tangan diangkat ke pundak dan telapak tangannya dikembangkan ke kanan kiri, seperti orang sedang memikul. “Mulailah!” katanya.
Kedua saudara Boan itu sama sekali tak pernah menduga bahwa pemuda ini hendak melawan mereka dengan tangan kosong saja, maka mereka merasa heran berbareng marah dan mendongkol karena terang saja anak muda itu memandang enteng kepada mereka. Sambil berseru keras Boan Swe yang berangasan lalu menyerbu dan goloknya yang lebar dan berkilau saking tajamnya itu menyambar ke arah leher Sin Liong dengan maksud memenggal leher pemuda itu dengan sekali tebas saja. Dan hampir berbareng pada saat yang sama pula, golok di tangan Boan Kin telah menyambar pula, akan tetapi yang diserang adalah sepasang kaki pemuda itu.
“Bagus!” Sin Liong berseru dan untuk mengelak dari dua serangan atas dan bawah ini, tubuhnya melompat ke depan dan ia hendak mengambil kedudukan berhadapan dengan kedua lawannya, akan tetapi dengan cepat pula Boan Kin telah melompat ke sebelahnya dan kembali ia berada di tengah-tengah dan kedua lawannya itu mengurung di kiri kanan. Kalau ia menghadapi yang seorang maka orang kedua akan berada di belakangnya.
Kini Boan Kin yang melakukan serangan lebih dulu dengan menusukkan goloknya dari arah kiri sedangkan Boan Swe lalu menyusul dengan tusukan dari arah kanan. Kembali Sin Liong mengelak dan selanjutnya pemuda ini mempergunakan gin-kangnya yang luar biasa sehingga tubuhnya seakan-akan tubuh seekor burung walet yang amat gesitnya, menyambar-nyambar di antara kedua golok yang berkelebat bagaikan dua ekor naga mengamuk.
Memang ilmu golok kedua orang itu lihai sekali gerakannya, dan selalu digerakkan dengan cepat dan dalam keadaan berlawanan. Kalau golok pertama menyerang dari kanan, golok kedua menyerang dari kiri, kalau yang pertama menyerang dari atas, yang kedua menyerang dari bawah. Demikianlah, maka kedua batang golok itu seakan-akan mengurung rapat-rapat dan tidak memberi jalan keluar kepada lawan yang amat gesit itu.
Para penonton menahan napas menyaksikan pertempuran hebat ini. Mereka mmerasa kagum sekali melihat betapa dengan bertangan kosong, pemuda yang tampan itu berani menghadapi serangan dua batang golok yang demikian lihainya dan sebentar kemudian, para penonton menjadi melongo karena kini mereka tak dapat melihat pula tubuh pemuda itu yang berubah menjadi bayangan putih berkelebat ke sana kemari di antara sinar golok yang putih berkilau seperti ular-ular perak.
Gan Kong yang melihat ini, merasa terkejut sekali dan diam-diam bersukur bahwa tadi ia tidak bertempur melawan pemuda ini, karena betapa dengan tangan kosong pemuda itu dapat mempermainkan Boan Kin dan Boan Swe yang mainkan ilmu golok selihai itu, ia merasa sangsi apakah ia akan dapat kalahkan pemuda ini.
Sui Lan juga merasa kagum sekali, dan diam-diam megakui bahwa dalam hal gin-kang, pemuda itu tidak kalah dari dia! Akan tetapi, ia maklum bahwa kalau pertempuran itu dilanjutkan oleh pemuda itu dengan tangan kosong saja, sukarlah baginya untuk memperoleh kemenangan bahkan banyak sekali bahayanya ia akan terluka oleh golok yang datang menyerang bagaikan hujan lebat itu.
The Sin Liong bukanlah seorang pemuda yang bodoh, dan ia tahu pula tentang kenyataan ini. tadipun ia hanya ingin mengukur sampai di mana tingkat kepandaian kedua orang murid Go-bi-pai itu. Maka setelah ia mempergunakan kegesitan dan gin-kangnya yang tinggi untuk melawan kedua lawannya sampai empat puluh jurus, tiba-tiba ia tertawa dan berkata,
“Sekarang sudah tiba saatnya kalian harus melepaskan golok itu!” Dan berbareng dengan itu, tahu-tahu ia telah mencabut pedang yang tergantung di punggung dan bersama dengan menyambarnya sinar kebiru-biruan menyilaukan mata, terdengar bunyi “trang!” dan kedua saudara Boan itu cepat melompat mundur sambil berseru kaget, karena ternyata bahwa dengan sekali babat saja golok mereka telah putus menjadi dua potong!
“Bagus, Saudara The. Kau benar-benar lihai sekali! Akan tetapi kekalahan kami adalah karena kau mempergunakan po-kiam (Pedang Mustika) yang baik. Kami masih belum puas. Mari kita bertanding lagi mengandalkan kaki dan tangan!” kata Boan Kin sambil melemparkan golok yang tinggal gagangnya saja itu.
Sin Liong tersenyum dan menyimpan pedangnya, sedangkan para penonton menjadi berisik karena orang-orang membicarakan pertempuran tadi dengan penuh kekaguman dan memuji-muji pemuda tampan itu.
“Tangan dan kaki adalah senjata yang kita bawa semenjak lahir, dan kegunaannya tidak kalah oleh pedang atau golok,” kata Sin Liong, “Saudara Boan, kau adalah ahli lwee-kang sedangkan kawanmu ini ahli gwe-kang, apakah kalian berdua hendak mempergunakan ilmu silat dua serangkai Hok-thian Hok-te (Balikkan Langit dan Bumi) untuk mengeroyok dan menjatuhkan aku?”
Kembali Boan Kin tertegun mendengar ucapaan ini, karena ternyata bahwa pemuda itu dapat menduga tepat sekali, tanda bahwa dalam hal ilmu-ilmu silat tinggi dari Go-bi-pai, pemuda ini telah mempunyai pandangan yang luas sekali.
“Apakah kau takut?” tanyanya dengan senyum sindir.
Sin Liong tertawa sinis dan sepasang matanya yang tajam itu berseri gembira. Takut? Ha-ha-ha, itulah pantangan besar bagi Suhuku Pat-jiu Sin-kai!”
Terkejutlah Boan Kin dan Boan Swe mendengar bahwa pemuda ini adalah murid Pat-jiu Sin-kai (Pengemis Sakti Bertangan Delapan) yang namanya amat terkenal di kalangan persilatan tingkat atas!
“Hm, jadi kau adalah murid dari Pat-jiu Sin-kai Kwe Sin? Pantas, pantas! Tak heran kau begini lihai. Akan tetapi, Go-bi-pai tak usah kalah nama dengan suhumu itu!” kata Boan Kin.
“Siapa bilang Go-bi-pai kalah nama? Go-bi-pai adalah cabang persilatan yang tinggi tingkatnya, akan tetapi kaulah yang masih amat rendah tingkatmu, dan karena kau baru bertingkat lima dalam kedudukan Go-bi-pai, maka kepandaianmu yang masih rendah inilah kiranya yang membuat kau berlaku sombong dan bergaul dengan segala macam orang jahat!”
Kembali Boan Kin merasa terheran. Bagaimana pemuda ini bisa mengetahui bahwa tingkatnya adalah tingkat kelima? Akan tetapi, karena ia masih merasa penasaran sekali ia lalu membentak, “Marilah kita coba!”
Dan ia lalu maju menyerang dengan hebat. Pukulannya kelihatan perlahan dan tak bertenaga, akan tetapi karena ia mempergunakan lwee-kang, maka angin pukulannya mendatangkan hawa dingin pukulannya mendatangkan hawa dingin mendahului pukulan itu sendiri. Juga Boan Swe bergerak mendahului dan memukul pemuda itu dengan pukurannya yang keras dan dilakukan dengan tenaga kasar.
Di dalam latihannya, Boan Swe dapat mempergunakan kekerasan kepalannya untuk memukul pecah sampai hancur lebur sepuluh bata merah yang ditumpuk-tumpuk, maka apa bila kepalan tangannya yang dipukulkan ke arah kepala Sin Liong itu mengenai sasaran, tentu kepala Sin Liong akan pecah pula!
Akan tetapi, kedua saudara Boan ini benar-benar tidak tahu diri dan kurang hati-hati. Seharusnya, sebagai orang-orang sudah memiliki ilmu silat cukup tinggi, mereka tahu bahwa dari ucapannya dan juga dari gerakannya ketika bertempur melawan mereka dengan tangan kosong tadi, pemuda ini memiliki tingkat kosong tadi, pemuda ini memiliki tingkat kepandaian yang sedikitnya sebanding dengan ahli silat Go-bi-pai tingkat dua!
Ketika mereka menyerang, sambil tersenyum Sin Liong melompat ke atas dan ketika membalas dengan serangan-serangan kilat, kedua saudara Boan itu menjadi sibuk sekali! Sin Liong telah melakukan serangan dengan gerak tipu Sam-hoan-to-goat (Tiga Lingkaran Membungkus Bulan), sebuah ilmu silat yang luar biasa sekali gerakannya dan sukar diduga perubahannya. Mereka seakan-akan melihat lawannya telah berubah tiga orang dan berputar-putar di sekeliling tubuh mereka, membuat mereka menjadi pening dan pandangan mata mereka kabur.
Hal seperti ini selama hidup baru satu kali mereka alami, yakni ketika dulu su-couw (kakek guru) mereka, Pek Bi Tojin, pernah menguji kepandaian mereka dan kakek guru ini pun bersilat dengan cepatnya sehingga mereka menjadi pening seperti keadaan mereka sekarang!
Akan tetapi, kedua saudara Boan ini memang keras kepala dan tidak mau mengaku kalah. Mereka memukul membabi buta dengan nekat sambil mengerahkan seluruh tenaga. Pada suatu saat, hampir bersamaan, Boan Kin memukul dari sebelah kiri dengan gerak tipu Cio-po-thian-keng (Batu Meledak Langit Gempur), sedangkan Boan Swe dari sebelah kanan memukul pula dengan gerak tipu Pai-bun-twi-san (Atur Pintu Tolak Gunung).
Pukulan kedua orang ini sama cepat dan kerasnya dan dilakukan dalam keadaan mata berkunang dan kepala pening. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Sin Liong yang merendahkan diri hampir berjongkok sambil menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri. Pukulan kedua orang itu melesat arahnya karena disentuh oleh tangan Sin Liong dan tak dapat ditahan lagi kepalan mereka menuju ke tubuh lawan sendiri.
“Bluk! Blek!” Dan kedua orang itu terjengkang ke belakang dalam keadaan pingsan. Boan Kin terpukul dadanya oleh adiknya, sedangkan Boan Swe terkenal pukulan lwee-kang pada pundaknya oleh kakaknya sendiri!
“Eh, eh, bagaimanakah ini?” Sin Liong tersenyum mengejek dan menghampiri kedua orang itu. Dua kali tangannya bergerak ke arah dada mereka dan kedua saudara Boan itu siuman kembali, merangkak-rangkat sambil mengaduh-aduh! “Eh, mengapa saling pukul sendiri? Jangan begitu, ah. Antara adik dan kakak sendiri mengapa saling pukul? Apakah kalian sedang memperebutkan warisan??”
Bukan main malunya kedua saudara Boan itu, terutama ketika mendengar suara ketawa riuh rendah dari penonton yang menyambut kemenangan Sin Liong dengan kagum dan gembira. Mereka berusaha bangkit sendiri dan Boan Kin lalu menjura kepada Sin Liong. “Kepandaianmu sungguh lihai! Memang kami berdua harus belajar lagi sedikitnya sepuluh tahun!”
Setelah berkata demikian, ia lalu ajak adiknya melompat turun dan pergi dari situ tanpa pamit lagi kepada ketiga orang kawannya, murid-murid Bu-tong-pai itu!
Sin Liong menengok ke arah Gan Kong, murid tertua dari Bu-tong-pai itu dan berkata sambil tersenyum, “Nah, sekarang tiba giliranmu untuk maju! Apakah kau masih menantang Si Penyambit thi-lian-ci tadi?”
Gan Kong dengan marah lalu melompat ke atas panggung. “Tentu saja! Kecuali kalau pelempar gelap itu seorang pengecut, biarlah aku ampunkah jiwa ajingnya!”
Sin Liong tertawa terbahak-bahak. “He, pelempar thi-lian-ci! Benarkah kau seorang pengecut? Kalau bukan, lekas kau maju!” Sambil berkata demikian, Sin Liong melompat turun dari panggung dan berdiri menonton dibaris terdepan dari kelompok penonton yang makin banyak jumlahnya itu.
Bukan main panasnya hati Sui Lan mendengar ucapan ini. “Tua bangka! Apakah kau kira kau saja yang berani mempermainkan tikus-tikus kelaparan?” Sui Lan tujukan kata-katanya itu kepada Sin Liong yang disebutnya „tua bangka‟ karena dulu Sin Liong menyebutnya bocah.
Akan tetapi tentu saja yang mengerti sindirannya ini hanya Sin Liong sendiri yang segera tertawa dan berkata dari bawah panggung, “Bocah nakal!” Hati-hatilah kau menghadapi tikus-tikus gunung itu!”
Para penonton merasa heran mendengar percakapan dua orang dari bawah panggung itu, dan ketika pada saat itu tubuh Sui Lan melayang naik ke atas panggung dan tahu-tahu mereka melihat seorang gadis cantik jelita berdiri di situ dengan gagah dan manisnya, pecahlah sorak-sorai yang gembira. Tak mereka sangka sama sekali akan melihat gadis muda sedemikian cantiknya naik kek atas lui-tai untuk menghadapi Gan Kong yang galak dan menakutkan itu.
Inikah penyambit yang telah melukai telinga Gan Kong? Sukar untuk dipercaya. Nampaknya gadis ini demikian lemah lembut, demikian cantik jelita, demikian halus, dan putih kulit mukanya. Dan sepasang matanya yang bercahaya bagaikan bintang kejora itu bergerak-gerak lincah dan berseri, mendatangkan kegembiraan hati kepada siapa saja yang melihatnya.
Sementara itu, Gan Kong dan kedua orang sutenya (adik seperguruannya), ketika melihat gadis ini, tak terasa pula membelalakkan mata selebar-lebarnya. Inilah gadis jelita yang bermalam di hotel itu, dan yang semalam hampir mereka ganggu. Bunga indah yang telah mereka intai dan yang akan mereka petik itu kini tahu-tahu telah berada di hadapan mereka! Untuk sekejab ketiganya saling pandang dengan sinar mata penuh arti.
“Apakah benar kau yang menyambitku dengan am-gi (senjata rahasia) tadi?” tanya Gan Kong dengan hati-hati dan kurang percaya.
Sui Lan tersenyum, demikian manisnya sehingga Gan Kong dan dua orang sutenya merasa seakan-akan semangat mereka terbetot oleh senyum itu. “Kalian adalah penjahat-penjahat cabul yang bersembunyi di balik nama Bu-tong-pai yang besar dan kau biasa memetik bunga dan bahkan kau tadi juga hampir saja menjalankan perbuatan terkutuk. Memetik sedikit daun telingamu, bukankah itu hanya merupakan sedikit peringatan saja? Untuk apakah kau ribut-ribut?”
Gan Kong menjadi pucat mendengar ucapan ini karena ia merasa terkejut, demikian pula kedua sutenya. Bagaimana nona ini bisa tahu akan kebiasaan mereka menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)? Tentu malam tadi gadis ini telah mengetahui perbuatan mereka ketika berada di luar jendela kamar nona itu! Untuk menutup malunya dan mengalihkan percakapan kepada soal lain, Gan Kong lalu membentak,
“Jangan ngaco belo! Apakah kau juga seorang anak murid Siauw-lim-pai, maka kau membantu orang Siauw-lim-pai yang akan kuhajar tadi?”
Semenjak tadi, Sui Lan telah meluap kemarahannya karena mendengar Gan Kong menyebut-nyebut dan menghina nama Siauw-lim-pai, maka kini dengan mengangkat dada ia berkata, “Bukalah matamu lebar-lebar dan dengarkan baik-baik! Nonamu adalah seorang anak murid Siauw-lim-pai asli! Tadinya nonamu masih tidak tega untuk mencelakakan kau dan dua sutemu yang sebetulnya pantas dibikin mampus ini, akan tetapi karena kau membuka mulut besar, terpaksa nonamu hendak turun tangan. Benar seperti yang dikatakan oleh tua bangka tadi, kali ini nonamu takkan turun tangan dengan murah hati, dan daun telinga kalian akan kupetik semua!”
Sebenarnya dalam ucapan ini, Sui Lan menyatakan mendongkolnya kepada Sin Liong yang disebutnya tua bangka, akan tetapi oleh karena Gan Kong tidak mengerti maksudnya, ia hanya memandang dengan tak mengerti dan marah karena mendapat kenyataan bahwa gadis ini adalah seorang anak murid Siauw-lim.
Para penonton juga merasa heran mendengar ucapan gadis itu yang bagi mereka juga tidak karuan artinya, akan tetapi mereka tetap gembira karena maklum bahwa tiap kali ini akan terjadi pertandingan yang tak kalah hebatnya dengan pertandingan yang tadi.
Sementara itu, Gan Kong yang maklum bahwa gadis ini tentu memiliki ilmu silat tinggi, dan juga karena ia merasa marah sekali melihat orang yang telah melukai telingan, cepat mencabut pedangnya dan berkata, “Perempuan busuk dari Siauw-lim! Jangan kau banyak cakap lagi dan kalau kau betul seorang anak murid dari Siauw-lim, jangan harap akan dapat meninggalkan tempat ini dengan selamat!" berkata demikian, ia menggerak-gerakkan pedangnya, menyabet ke kanan-kiri sehingga pedangnya menerbitkan angin. Lagaknya ini hanya dibuat-buat untuk menentramkan hatinya yang agak ngeri setelah melihat kelihaian pemuda tampan tadi.
Akan tetapi Sui Lan tetap tersenyum gembira dan memandang dengan mata mengejek dan menganggap rendah sekali. Dengan gerakan lucu ia menggerakkan kepalanya ke arah dua orang kawan Gan Kong sambil berkata, “Apa gunanya dua ekor anjing banci dan muka hitam itu? Suruh mereka maju sekalian. Melawan kau seorang diri saja kepalang tanggung bagiku!” Sui Lan memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaian agar jangan sampai kalah „muka‟ dengan pemuda yang bernama The Sin Liong tadi!
Meledaklah suara ketawa para penonton mendengar dan menyaksikan gadis itu berkata-kata. Ternyata gadis ini lebih berani, lebih lucu, dan lebih hebat dari pemuda tampan tadi, maka ingin sekali mereka melihat apakah kepandaian dara jelita ini pun sehebat kepandaian pemuda tadi.
Muka Gan Kong menjadi merah padam sedangkan kedua orang sutenya pun marah sekali. Orang kedua dari Bu-tong-pai itu yang berwajah tampan dan berpakaian merah serta pesolek sekali, merasa dihina karena disebut anjing banci, maka ia lalu melompat dengan pedang di tangan, demikian pula Si Muka Hitam. Akan tetapi Gan Kang memberi tanda agar kedua sutenya itu jangan bergerak dulu.
Setidaknya ia merasa malu untuk melakukan pengeroyokan. Coba saja pikir, masa tiga orang laki-laki gagah perkasa, anak murid Bu-tong-pai, harus mengeroyok seorang dara muda dari Siauw-lim-pai? Kalau dunia kang-ouw mendengar akan hal ini, kemana mereka harus menaruh muka?
“Bangsat perempuan. Kau berani menghina anak murid Bu-tong-pai?” teriak Gan Kong sambil menusukkan pedangnya ke arah dada Sui Lan tanpa mempedulikan kenyataan bahwa gadis itu masih belum memegang senjata.
“Jelek sekali!” seru Sui Lan dan secepat kilat ia memiringkan tubuh ke kiri, disusul dengan tusukan dua jari tangan ke arah mata Gan Kong dengan tangan kiri, akan tetapi ketika Gan Kong dengan kaget memiringkan kepalanya untuk menghindarkan matanya yang hendak dicongkel keluar, tiba-tiba tangan gadis itu yang sebelah kanan telah bergerak cepat menghantam jari-jari tangan Gan Kong yang menggenggam pedang.
“Plak!” Tangan kanan Sui Lan dengan jari terbuka berhasil mengetok jari tangan Gan Kong yang memegang pedang dan trang...!” pedang itu terlepas dari pegangannya, terjatuh di atas lantai panggung! Gerakan lihai yang baru saja dilakukan oleh Sui Lan dengan berhasil baik sekali ini adalah satu gerak tipu dari ilmu silat Bi-cong-kun (Ilmu Silat Kepalan Menyesatkan) yang penuh gaya-gaya palsu dan tipu-tipu yang benar-benar membingungkan dan menyesatkan dugaan lawan.
Sambil tertawa ha-ha hi-hi Sui Lan mengejek lawannya, “Nah, apa kataku tadi! Jangan kau maju sendiri, ajaklah kedua sutemu itu maju bersama. Kau bandel sih!”
Mendengar ucapan dan melihat lagaknya yang seperti seorang ibu menegur dan memarahi anaknya itu, para penonton gelak tertawa dengan hati puas, mentertawakan Gan Kong yang memandang dengan penuh keheranan. Dia sungguh tidak mengerti bagaimana dalam segebrakan saja gadis ini berhasil membuat pedangnya terlepas dari pegangan!
Sebagai seorang ahli silat yang mahir, tentu saja ia pun tahu bahwa gerakan tadi adalah jurus dari ilmu silat Bi-ciong-kun, akan tetapi jari tangan gadis itu menghantam tangannya, gerakan ini tidak termasuk gerakan Bi-ciong-kun lagi dan hampir mirip dengan ilmu silat Eng-jiauw-kang dari Bu-tong-pai sendiri!
Ia tidak tahu bahwa pukulan ke arah tangannya yang dilakukan oleh Sui Lan tadi adalah sebuah jurus dari Kiauw-ta Sin-na yakni gabungan kim-na dari Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai yang terdiri dari seratus dua puluh jurus dan yang telah dipelajari secara sempurna oleh gadis itu!
Dengan muka merah karena marah dan malu, Gan Kong mengambil pedangnya. Kini tanpa malu-malu lagi ia memberi tanda kepada kedua orang sutenya yang segera melompat maju untuk mengeroyok. Sui Lan tersenyum dan berkata,
“Nah, begitu baru betul!” Kemudian ia melihat ke arah penonton dan berkata jenaka, “Saudara penonton sekalian! Kalau tadi sudah dipertunjukkan kisah Bu-siong-bhak-houw, sekarang dipertontonkan kisah Bhok-lan-ta-sam-go!”
Para penonton tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan ini. Kisah Bu-siong-bhak-houw (Pendekar Bu Siong pukul Harimau) adalah sebuah cerita klasik dan amat terkenal di antara rakyat jelata, dan dengan ucapannya itu, Sui Lan hendak mengumpamakan Sin Liong sebagai pendekar Bu Siong dan kedua murid Go-bi-pai itu sebagai harimau-harimaunya.
Adapun Bhok-lan-ta-sam-go berarti Bhok Lan Memukul Tiga Ekor Buaya. Hoa Bhok Lan juga terkenal sebagai seorang pahlawan wanita yang gagah perkasa dan dipuji-puji namanya, akan tetapi sebetulnya dalam cerita pahlawan wanita itu, tak pernah terjadi Hoa Bhok Lan memukul tiga ekor buaya. Ini adalah ucapan yang merupakan ejekan belaka untuk membikin panas perut ketiga orang murid Bu-tong-san itu.
Benar saja, Gan Kong dan dua orang sutenya menjadi marah sekali dan sambil berseru keras mereka lalu menggerakkan pedang dan menyerang dengan hebat. Sui Lan berseru nyaring dan tubuhnya lalu mencelat ke atas, berpoksai (membuat salto) sampai empat kali di udara dan turun di tempat yang agak jauh, berdiri tersenyum-senyum menanti datangnya serangan baru!
Para penonton memuji dan bersorak melihat gerakan yang hebat itu. Juga Gan Kong merasa terkejut karena ia tahu bahwa gadis itu telah melakukan gerakan Sin-liong-seng-tian (Naga Sakti Naik ke Langit), dengan amat indahnya. Maka ia tidak berani memandang rendah, lalu bersama sute-sutenya Gan Kong mendesak sambil mainkan ilmu pedang dari Bu-tong-pai yang cukup kuat dan dahsyat.
Sui Lan adalah murid terkasih dari Toat-beng Sian-kouw, seorang ahli silat yang telah banyak mempelajari ilmu silat Bu-tong-pai, maka sekali melihat saja Sui Lan maklum bahwa ketiga orang lawannya itu mainkan ilmu pedang Liang Gi Kiam-hwat dari Bu-tong, semacam ilmu pedang yang telah dikenalnya dengan baik.
Maka dengan mudah ia lalu mempergunakan ilmu gin-kangnya yang lihai, mengelak ke sana kemari dengan gerakan Jiauw-pouw-poan-san (Tindakan Berputar-putar), berloncat-loncatan sesuai dengan Toa-su-siang-hong-wi (Kedudukan Empat Penjuru Angin) sehingga tubuhnya lenyap dari pandangan mata!
Sorak sorai para penonton making menggegap gempira karena pertunjukan ini benar-benar amat menarik, jauh sekali ramai dari tadi ketika Sin Liong mempermainkan kedua orang lawannya.
The Sin Liong yang menonton di bawah panggung, diam-diam menarik napas kagum, dan hatinya yang memang telah tertarik oleh „bocah nakal‟ yang mengganggunya di dalam hutan dulu, kini makin tertarik lagi. Kalau tadi Sin Liong mempermainkan kedua saudara Boan dari Go-bi-pai dengan mengelak ke sana kemari dengan gesitnya, kini Sui Lan berlaku lebih hebat lagi.
Tidak saja gadis ini mempergunakan kelincahannya untuk mengelak akan tetapi ia juga membalas dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang sengaja ditujukan ke arah belakang kepala dan belakang tubuh lawan. Maka berkali-kali terdengarlah suara “plak! Plak!” ketika belakang kepala Gan Kong dan sute-sutenya ditempeleng oleh telapak tangan Sui Lan, dan suaran “bak! buk!” ketika belakang tubuh mereka kena ditendang!
Gadis yang mempunyai watak nakal dan suka menggoda orang itu sengaja tidak memukul atau menendang keras untuk menimbulkan luka parah, akan tetapi cukup mendatangkan rasa sakit pada tubuh dan hati!
Para penonton benar-benar mendapat hiburan yang menggembirakan dan tiada hentinya terdengar suara mereka tertawa dan bersorak, seakan-akan mereka sedang menonton pertunjukan anak-anak wayang sedang melawak. Tiba-tiba para penonton di bagian kiri panggung menjadi panik dan ketakutan ketika serombongan perwira Kwi-i-wi mendesak dan mendekati panggung.
“Mana adanya pemberontak Siauw-lim yang membuat kekacauan?” seru mereka dan ketika melihat ke atas panggung dan mendapat kenyataan bahwa yang disebut „pemberontak Siauw-lim-pai‟ yang sedang mengacau sebagaimana laporan yang mereka terima dari kedua saudara Boan tadi.
Ternyata adalah seorang gadis cantik jelita yang dengan lincah dan jenaka sedang mempermainkan Gan Kong dan kedua orang sutenya! Tak terasa lagi, sembilan orang Kim-i-wi itu berdiri bengong dan bahkan ikut menonton!
Sementara itu, Sui Lan yang sudah mulai merasa bosan dengan main-main ini, lalu bergerak cepat dan kini ia menyerang dengan Hun-kin-coh-kut-jiu-hwat (Ilmu Pukulan Putuskan Otot Lepaskan Tulang). Dengan gerakan-gerakan yang cepat sekali ia mendesak dan terdengarlah teriakan-teriakan kesakitan, disusul dengan robohnya ketiga orang pengeroyok itu seorang demi seorang dengan tulang lutut terlepas atau otot-otot terkelecoh karena pukulan-pukulan Sui Lan!
Pada saat itu barulah para perwira Kim-i-wi itu sadar dan dengan cepat mereka lalu berlompatan ke atas panggung sambil berteriak, “Tangkap pemberontak Siauw-lim!”
Melihat kedatangan orang-orang ini, Sui Lan terkejut dan mencabut pedangnya. Dan terjadilah pertandingan hebat di atas panggung di antara Sui Lan dengan para Kim-i-wi yang banyak jumlahnya itu.
Tiba-tiba dari bawah panggung melompatlah bayangan putih dan ternyata bahwa yang melompat itu adalah The Sin Liong yang membantu Sui Lan sambil mainkan pedangnya dan berseru, “Bocah nakal, jangan takut, aku membantumu!”
“Kakek tua renta!!” Sui Lan membalas. “Siapa takut dan siapa pula membutuhkan bantuanmu?”
Akan tetapi Sin Liong tidak peduli, hanya tertawa dan tetap membantu. Adapun para Kim-i-wi ini rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan juga sehingga pertempuran berjalan seru dan hebat. Para penonton berlari pergi dari situ dengan ketakutan sehingga tempat itu menjadi sunyi sekali.
Baru saja Sui Lan dan Sin Liong berhasil merobohkan dua orang pengeroyok, tiba-tiba dari jauh datang serombongan perwira lagi yang dikepalai oleh seorang perwira tinggi besar gagah.
Sin Liong yang melihat perwira ini datang berkuda dari jauh, cepat berkata kepada Sui Lan, “Nona, mari kita pergi! Makin banyak yang datang!”
Mendengar sebutan pemuda itu, Sui Lan maklum bahwa Sin Liong tidak main-main, maka ia pun lalu melompat keluar dari panggung, akan tetapi ia teringat akan sesuatu dan melompat naik lagi! Sebelum para pengeroyok tahu akan maksudnya, secepat kilat Sui Lan menyerbu kepada tiga orang murid Bu-tong-pai yang masih duduk mengaduh-aduh dan tiga kali pedangnya berkelebat, terdengar teriakan tiga kali dan daun-daun telingan sebelah kanan dari Gan Kong dan dua orang sutenya telah terbabat putus!
Sui Lan tertawa nyaring dan berkata, “Biarlah hukuman ini membuat kalian tidak berani lagi melakukan pekerjaan memetik bunga!” Kemudian, sebelum para pengeroyoknya mendesak lagi, ia lalu mempergunakan ilmu lompat jauh yang disebut Liok-te-hui-teng-kang-hu dan tubuhnya melayang dari atas panggung itu, menyusul bayangan Sin Liong yang sudah lari jauh!
Karena gin-kang dari Sui Lan telah tinggi, maka sebentar saja ia dapat meninggalkan para pengejarnya. Akan tetapi ia merasa mendongkol sekali melihat betapa Sin Liong berlari terus sipat kuping bagaikan dikejar setan! Pemuda itu berlari cepat sekali tanpa menoleh dan betapa pun cepat Sui Lan mengejar, tetap saja jarang antara dia dan pemuda itu tidak berubah. Setelah tiba di sebuah padang rumput di lereng sebuah bukit kecil, Sui Lan lalu berteriak keras,
“Haaaii...!! Tua bangka penakut...Tunggu dulu...!!”
Teriakannya ini keras sekali dan pemuda di depannya itu lalu berhenti. Ketika Sui Lan tiba pula di tempat itu dengan mulut cemberut, dan hendak marah karena pemuda itu demikian sombong dan hendak mengajaknya mengadu kepandaian, tiba-tiba rasa marahnya lenyap karena ia melihat betapa pemuda itu nampak pucat dan ketakutan!
“Eh, eh, kau kenapakah?” tanya Siu Lan dengan heran.
Pemuda itu menarik napas panjang beberapa kali untuk menenteramkan hatinya, barulah ia berkata sambil mencoba tersenyum, “Kau telah membikin aku bermusuhan dan bertempur dengan barisan Kim-i-wi. Kalau mereka tahu bahwa aku adalah keponakan seorang perwira, tentu celakalah aku!”
Sui Lan cemberut. “Siapa suruh kau membantu? Aku tidak membutuhkan bantuanmu, bahkan kau lancang sekali berani membantuku tadi!”
Pemuda itu memandang dengan lucu dan senyumnya melebar. “Teruskan marahmu. Aku senang sekali melihat kau marah-marah!”
Kini Sui Lan memandangnya dengan heran dan melihat sepasang mata yang tajam itu berseri seakan-akan mentertawakan, ia makin marah. “Mengapa kau senang melihat aku marah? Apakah kau anggap aku orang gila?”
Sin Liong menggeleng kepala dan senyumnya makin melebar tanda hatinya gembira sekali. “Nah, nah, makin besar marahmu, makin kau tajamkan dan cemberut, makin manislah kau!”
“Tua bangka ceriwis!” bentak Sui Lan dan tangannya melayang untuk menampar pipi Sin Liong.
Sin Liong tidak mengelak atau menangkis, bahkan ia mengangkat mukanya untuk menerima tamparan itu. Setelah tangan Sui Lan dekat dengan pipi pemuda itu, Sui Lan cepat menarik kemabli tangannya karena sebetulnya ia pun tidak ingin menampar sungguh-sungguh. Tidak tega dia melihat wajah tampan yang mandah saja menerima tamparan itu!
Sin Liong tersenyum. “Nah, nah, kau tidak jadi menampar! Memang sudah kuduga hal ini maka aku tidak mengelak."
“Bagaimana kau bisa menduga lebih dulu? Kalau aku melanjutkan tanganku bukankah pipimu akan menjadi bengkak-bengkak dan gigimu akan copot?”
Sin Liong menggelengkan kepalanya. “Tak mungkin. Aku sudah menduga bahwa dara secantik kau ini tak mungkin berhati kejam. Orang seperti kau harus memiliki hati yang mulia...”