Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 07 karya Kho Ping Hoo - Biarpun mulutnya masih cemberut, akan tetapi di dalam hatinya, Sui Lan merasa senang sekali. Pemuda yang tampan dan menarik hatinya ini biarpun mengeluarkan ucapan-ucapan yang sifatnya jenaka dan nakal menggoda, akan tetapi mengandung pujian-pujian terhadap dirinya yang benar-benar menggembirakan hatinya.
“Nona, sebenarnya siapakah kau dan di mana rumahmu?”
“Aku adalah orang dan rumaku tidak kubawa,” jawab Sui Lan jenaka.
”Tentu saja! Memangnya kau kura-kura yang membawa rumahnya ke mana-mana?” kata Sin Liong tertawa. “Jangan main-main, Nona. Kita telah bertemu dan bercakap-cakap seperti sahabat lama. Sudah sepantasnya kalau kita saling mengenal nama dan mengetahui riwayat masing-masing. Sekali lagi kuulangi dengan hormat. Di manakah tempat tinggalmu, siapa namamu, dan darimana hendak ke mana?”
“Kuterima pertanyaanmu dan kukembalikan kepadamu.”
“Apa artinya kata-katamu itu?”
“Kau harus menceritakan keadaan dirimu sebelum tiba giliranku.”
Sin Liong tersenyum. “Kau benar-benar nakal dan juga cerdik. Ditanya belum menjawab sudah berbalik menanyakan keadaan Si Penanya! Baiklah, memang pria selalu harus mengalah terhadap wanita. Dengarkan aku bercerita.”
Pemuda itu lalu duduk di atas sebuah batu dan Sui Lan yang juga merasa lelah karena pertempuran dan berlari-lari tadi, lalu duduk menghadapinya, di atas rumput.
“Namaku The Sin Liong dan aku seorang yatim piatu, tak berayah tak beribu.”
Baru saja menutur sampai di sini, entah mengapa, hati Sui Lan merasa amat terharu dan tak terasa lagi sinar matanya yang ditujukan kepada pemuda itu berubah mesra. Mungkin karena ia teringat akan keadaannya sendiri yang telah yatim piatu pula.
“Orang tuaku meninggal dunia ketika aku masih kecil,” pemuda itu melanjutkan penuturannya. “Baiknya aku mempunyai seorang paman yang baik hati dan yang membiayaiku bersekolah, kemudian setelah aku berusia sepuluh tahun aku lalu diajak tinggal di gedungnya dan dianggap sebagai puteranya sendiri. Aku benar-benar berhutang budi kepada pamanku itu. Kemudian aku bertemu dengan suhuku, yakni Pat-jiu Sin-kai Kwee Sin, dan menjadi muridnya. Selama hampir sepuluh tahun aku dibawa merantau oleh suhu, bersama seorang suhengku yang kini telah kembali ke rumah orang tuanya di kota raja. Sekarang karena aku telah tamat belajar, aku hendak mencari pamanku di kota raja, sekalian mencari suhengku yang bernama Souw Cong Hwi.”
Sin Liong memandang kepada gadis itu dengan mata berseri. “Dan tidak kusangksa sama sekali, sebelum sampai di kota raja, aku bertemu dengan kau di dalam hutan itu. Semenjak pertemuanku itu aku selalu terkenang dan ingin bertemu lagi, siapa kira harapanku itu terkabul dan hari ini kita bisa bercakap-cakap di tempat ini. sungguh Thian bersifat murah dan bukan main bahagianya hatiku dengan pertemuan ini.”
Mendengar pernyataan yang jujur dan ucapan yang menyindirkan perasaan hati pemuda itu terhadapnya, Sui Lan hanya menundukkan mukanya yang menjadi merah karena jengah. Ia diam saja sehingga setelah Sin Liong berhenti bercerita. Keadaan menjadi sunyi.
“Eh, mengapa kau diam saja? Sekarang tiba giliranmu untuk bercerita tentang dirimu,” kata Sin Liong.
“Aku she Yap....” Sui Lan memulai ceritanya.
“Ya, kau she Yap, dan namamu?”
“Namaku Sui Lan.”
“Nama yang indah!”
Sui Lan mengangkat muka dan memandang dan dua pasang mata bertemu. “Kalau kau tidak menutup mulutmu, aku takkan melanjutkan ceritaku!” katanya cemberut.
Sin Liong mengangkat alisnya dan tersenyum. “Baiklah aku akan menutup mulutku dan membuka telingaku selebar-lebarnya.”
“Namaku Yap Sui Lan,” gadis itu mengulang dan menahan geli hatinya ketika melihat betapa Sin Liong merapatkan bibirnya dan hanya mengangguk-angguk kepala sebagai sambutan, “dan aku yatim piatu pula.” Kemudian ia teringat bahwa pemuda itu telah melihat pula kedua enicnya, maka ia menyambung. “Dan aku hidup bertiga dengan dua orang enciku yang sekarang entah berada di mana.”
Sin Liong menggerakkan bibirnya yang hendak berkata, “Enci-encimu lihai sekali!” akan tetapi ia menahan ucapannya mengatupkan bibirnya lagi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sui Lan.
“Kami bertiga juga telah taman belajar silat dan turun gunung untuk... untuk... ah, hanya sekianlah ceritaku tentang keadaanku!”
Sin Liong memandang tak puas. “Sama sekali belum lengkap. Siapa gurumu dan kemana hendak kau pergi? Mengapa kau berpisah dari enci-encimu dan apakah benar kau anak murid Siauw-lim-pai?”
“Eh, eh, kau ini seperti hakim memeriksa pesakitan saja lagakmu!” tegur Sui Lan.
“Kau tidak adil! Yang kau ceritakan hanya singkat sekali dan sama sekali tidak merupakan penuturan riwayatmu. Aku... aku ingin sekali mengetahui sejelas-jelasnya, ingin mengetahui semua hal tentang kau!” Sin Liong bicara dengan bernafsu sekali sehingga kembali wajah Sui Lan memerah.
“Ceritaku sudah cukup untuk sekarang! Kita baru saja berkenalan.”
“Hm... kau tidak percaya kepadaku.”
“Guruku pernah berpesan agar supaya aku tidak menaruh kepercayaan kepada orang yang baru saja dikenal, terutama kalau orang itu laki-laki!”
“Ah, gurumu tentu seorang wanita!”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Hanya wanitalah yang bisa menaruh hati curiga seberat itu terhadap pria. Akan tetapi biarlah, karena kita memang baru berkenalan. Mengetahui namamu saja sudah cukup menggembirakan hati. Sui Lan... eh, tentu aku boleh menyebut namamu, bukan?”
“Tentu saja boleh, memang nama diadakan untuk disebut orang.”
“Bagus! Nah, Sui Lan, andaikata kau pun menuju ke jurusan yang sama, beranikah kau melakukan perjalanan bersama aku?”
“Mengapa tidak berani? Apa yang kutakutkan?”
“Bagus! Kalau begitu, mari kita melakukan perjalanan bersama!”
Sui Lan merasa betapa ia telah masuk perangkap. Alangkah jenaka dan cerdiknya pemuda ini. Akan tetapi ia tidak menyesal dan memang suka melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang selain lihai ilmu silatnya juga merupakan kawan yang jenaka dan menggembirakan ini.
“Boleh, asal kau tidak menggangguku. Akupun hendak pergi ke kota raja.”
Girang sekali hati Sin Liong mendengar ini, kentara dari mukanya yang tersenyum-senyum dan matanya yang berseri-seri. Mereka lalu melanjutkan perjalanan berdua dan hubungan mereka makin baik saja. Terdapat kecocokan watak antara keduanya dan perjalanan itu dilakukan dengan penuh kegembiraan.
Yang amat menarik hati Sui Lan adalah kenyataan bahwa pemuda itu, biarpun suka bergurau, akan tetapi selalu membatasi diri dan berlaku sopan santun terhadapnya, belum tentu pernah berani memperlihatkan sikap kurang ajar.
Tak heran apabila hati gadis itu makin tertarik. Juga Sin Liong merasa hatinya telah jatuh betul-betul. Melakukan perjalanan bersama gadis ini merupakan kebahagiaan yang luar biasa baginya. Segala apa yang nampak di perjalanan berubah menggembirakan.
Setiap tangkai bunga tersenyum-senyum kepadanya dan daun-daun seakan-akan menari dan melambai-lambai kepadanya, burung-burung bernyanyi gembira merayakan kebahagiaannya dan matahari bagaikan mencurahkan cahaya emas yang indah. Pendeknya dunia ini seakan-akan berubah menjadi surga sebagaimana yang diceritakan dalam dongeng.
Setelah melakukan perjalanan dengan Sin Liong selama kurang lebih sepuluh hari, Sui Lan tak merasa ragu-ragu lagi bahwa pemuda ini memang seorang pendekar muda yang budiman dan boleh dipercaya. Maka, ketika pemuda itu mengulangi pertanyaannya tentang riwayat hidupnya, ia tidak mau merahasiakannya lagi.
Hal ini terjadi ketika mereka bermalam di sebuah dusun, dalam sebuah kelenteng tua. Bulan purnama menerangi seluruh permukaan bumi dan mendatangkan suasana yang amat romantis bagi orang-orang muda. Sui Lan dan Sin Liong duduk di pekarangan kelenteng itu, di atas bangku-bangku tua yang terbuat dari batu.
“Sui Lan,” pemuda itu mulai membuka percakapan, “Sesungguhnya apakah yang kau kehendaki pergi ke kota raja? Apakah kau mencari seseorang di sana atau hanya untuk melancong saja?”
“Untuk menjawab pertanyaanku ini, aku harus menceritakan riwayatku, Sin Liong,” jawab gadis itu.
“Mengapa tidak kau ceritakan saja? Aku telah lama ingin sekali mendengarkannya.”
“Sin Liong, pernahkah kau mendengar tentang orang yang bernama Nyo Hun Tiong dan Yap Sian Houw?”
Sambil bertanya demikian, Sui Lan memandang tajam. Ia mengambil keputusan untuk menggunakan jawaban pemuda itu atas pertanyaan ini sebagai dasar dari keputusannya melanjutkan penuturan riwayatnya atau tidak.
Sin Long mengerutkan kening mengingat-ingat. “Kalau tidak salah, itu adalah nama dua orang pendekar gagah perkasa dan menjadi tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang dibasmi oleh Kaisar.”
Legalah hati Sui Lan mendengar jawaban ini, karena kalau saja pemuda itu menyebut mereka sebagai pemberontak-pemberontak, tentu ia tidak akan mau melanjutkan ceritanya!
“Ketahuilah, untuk membalaskan sakit hati kedua orang pendekar itulah maka aku dan kedua enciku pergi ke kota raja. Semenjak kecil, kami bertiga dipelihara oleh pendekar Yap Sian Houw itu yang kami anggap sebagai ayah sendiri, dan kami adalah murid-murid dari Toat-beng-Sian-kouw.”
Sin Liong mengangguk-angguk. “Aku pernah mendengar nama pertama wanita yang lihai ini dari Suhu. Pantas saja kepandaianmu demikian hebat.”
“Seperti yang pernah kau dengar, Nyo Hun Tiong terbunuh mati oleh seorang perwira kerajaan ketika ia memimpin pasukan petani untuk menumbangkan pemerintah yang dianggapnya tidak adil dan jahat, sebagai usahanya membalas sakit hati karena Siauw-lim-si dibakar!”
“Hal ini aku kurang mengerti, karena semenjak kecil aku telah belajar silat dan ikut Suhu merantau. Sebelum ikut Suhu, aku masih terlampau kecil untuk mengetahui urusan dunia, apalagi karena orang tuaku tinggal di dusun yang jauh dari kota raja,” jawab Sin Liong.
“Seperti yang telah kuceritakan tadi, Nyo Hun Tiong dibunuh oleh seorang perwira kerajaan, dan kemudian setelah kami menjadi murid-murid Toat-beng-Sian-kouw, pada suatu hari Yap Sian Houw yang kami anggap sebagai ayah sendiri itu datang dengan luka parah dan tak lama kemudian meninggal dunia. Dan tahukah kau siapa pembunuhnya? Tak lain ialah perwira yang dulu membunuh Nyo Hun Tiong! Maka, kami bertiga lalu turun gunung untuk mencari perwira itu dan membalaskan sakit hati Nyo Hun Tiong dan Yap Sian Houw dan kami tidak ragu-ragu untuk mengaku bahwa kami adalah anak-anak murid Siauw-lim-pai, sungguh pun guru kami tak dapat disebut tokoh Siauw-lim-pai!”
Sin Liong mengangguk-angguk. “Aku dapat memahami perasaanmu dan enci-encimu. Hutang budi memang berat. Kalian bertiga telah berhutang budi kepada mendiang Yap Sian Houw dan menganggap pendekar tua itu sebagai ayah sendiri. Kalau dia terbunuh oleh musuh, dan kini kau mencari musuh itu untuk membalas dendam, itu namanya berbakti. Aku tak dapat menyalahkan tindakan ini, bahkan seorang anak memang harus berbakti kepada orang tuanya, dan dalam hal ini, orang tuamu adalah pendekar she Yap itu.”
Bukan main girangnya hati Sui Lan mendengar pernyataan ini. tanpa disadarinya lagi ia mengulurkan tangan dan menyentuh tangan pemuda yang duduk di hadapannya itu sambil berkata, “Ah, Sin Long! Kau memang baik sekali. Aku girang bahwa kau menyetujui usaha kami untuk membalas dendam, dan karena aku selama hidup belum pernah pergi ke kota raja dan sekarang telah berpisah dari enci-enciku, maka aku mengharapkan bantuanmu sebagai seorang kawan untuk mencari tahu tempat tinggal perwira musuhku itu!”
Dengan hati berdebar Sin Liong memegang tangan gadis itu dan kedua tangan itu saling berpegang erat. “Sui Lan, demi Tuhan! Aku bersumpah di bawah sinar bulan purnama, bahwa aku akan membantu dan membelamu, biarpun untuk itu aku harus berkorban nyawa sekalipun!”
Ucapan ini dikeluarkan dengan bibir gemetar dan Sui Lan tak berani menentang pandang mata pemuda itu lebih lama lagi. Ia menunduk akan tetapi jari-jari tangannya masih saling berpegang dan menekan jari-jari tangan Sin Liong, tanda bahwa dari dalam hati mereka mengalir keluar perasaan yang sama hangatnya melalui urat-urat saraf dan sampai pada ujung jari-jari tangan mereka yang saling menggenggam itu. Akan tetapi Sui Lan segera menarik tangannya kembali dan bibirnya berbisik perlahan.
“Terima kasih, Sin Liong. Kau memang seorang kawan yang baik.”
“Sui Lan, kalau sampai di kota raja, aku akan minta paman meminangmu untuk menjadi jodohku..”
“Sst! Tahanlah perasaanmu dan simpanlah kata-katamu tadi sampai aku bertemu kembali dengan kedua enciku, karena dalam hal seperti ini, kedua enciku adalah wakil ayah ibu yang akann mengambil keputusan!”
Sin Liong dapat menguasai dirinya kembali dan sambil tersenyum girang ia duduk kembali agak jauh dari gadis itu. “Sui Lan, bagaimanakah kau sampai dapat berpisah dari enci-encimu?”
Sui Lan lalu menuturkan tentang pertempuran-pertempuran di depan makam Nyo Hun Tiong. Sebagaimana diketahui Siang Lan mengejar perwira she Thio dan Hwe Lan menyuruh ia menyusul untuk membantu encinya itu sehingga akhirnya ia tidak bertemu kembali dengan kedua encinya.
“Ah, hebat sekali permusuhanmu dengan orang-orang Kim-i-wi!” kata Sin Liong sambil menarik napas panjang dengan hati khawatir sekali. “Hal ini amat hebat, karena ketahuilah bahwa dalam barisan Kim-i-wi terdapat orang-orang yang amat lihai dan tinggi kepandaiannya.” Kemudian pemuda itu teringat akan pertanyaan yang semenjak tadi hendak ia ajukan.
“Sui Lan, sebetulnya siapakah perwira yang telah membunuh Nyo Hun Tiong dan Yap Sian Houw itu? Apakah dia lihai kepandaiannya sehingga kedua orang pendekar itu sampai kalah olehnya?”
Mata Sui Lan memancarkan sinar berapi ketika ia menjawab, “Entah sampai di mana tingkat kepandaian anjing itu! Yang kuketahui hanya bahwa perwira jahanam itu berpangkat Busu dan she-nya Lee!”
Tiba-tiba Sin Liong melompat berdiri setelah mendengar ucapan gadis itu. “Apa katamu?? Dia she Lee? Siapakah namanya??”
Sui Lan terkejut sekali melihat sikap Sin Liong ini dan ia pun bangkit berdiri. “Aku tidak tahu siapakah namanya, akan tetapi yang sudah pasti ia she Lee dan ahli ilmu panah. Bahkan Nyo Hun Tiong dan ayah angkatnya juga mati karena anak panahnya!”
Kini Sin Liong memandang pucat bagaikan gadis yang berada di depannya itu tiba-tiba berubah menjadi iblis. “Dia she Lee, ahli panah dan..dan..tahukah kau ia bersenjata apa?”
Sui Lan makin heran memandang pemuda itu, akan tetapi ia menjawab juga, “Menurut mendiang ayah angkatku ia bergelar Sin-to, tentu saja bersenjata golok!”
“Ya Tuhan...! Benar dia...! Dan kau...kau hendak mencari dan membunuhnya?” Sin Liong mengangkat kedua tanganna menutup mukanya seakan-akan tidak mau melihat sesuatu yang mengerikan.
“Sin Liong, kenapakah kau?” Sui Lan melangkah maju dan menyentuh lengan pemuda itu dengan cemas.
Tiba-tiba pemuda itu menurunkan tangannya, memegang pundak gadis itu dengan kedua tangannya dan berkata keras, “Tidak! Tidak! Kau tidak boleh mencarinya, tidak boleh membunuhnya!”
Melihat muka pemuda itu menjadi pucat sehingga di bawah sinar bulan nampak kehijau-hijauan, Sui Lan terkejut sekali. Ia angkat kedua tangannya melepaskan pegangan Sin Liong dan bertanya, “Sin Liong, kenapakah kau? Mengapa kau berkata demikian?”
“Sui Lan, ingatkah kau akan penuturanku dulu tentang pamanku yang baik hati, yang menjadi pelindungku, menjadi penolongku, dan yang kuanggap seperti ayah sendiri? Dia itu bernama Lee Song Kang, seorang perwira berpangkat Busu di kota raja, berjuluk Sin-to dan pandai menggunakan anak panah!”
Kini Sui Lan yang menjadi pucat dan tak terasa lagi ia melangkah mundur sampai tiga tindak. “Apa...?? Jadi dia itu... pamanmu itu... adalah jahanam yang menjadi musuhku?”
“Jangan memaki dia! Kau tidak boleh menghinanya, tidak boleh membunuhnya! Aku... aku akan menghadapi siapa saja yang hendak mengganggu pamanku itu!”
“Bagus!” dengan mata berapi-api, Sui Lan mencabut pedangnya. “Jadi kau hendak membela seorang jahanam? Tak peduli dia itu pamanmu, atau ayahmu sendiri, aku akan mencari dan membunuhnya!”
“Tidak boleh!” Sin Liong juga mencabut pedangnya. “Aku akan menghalanginya!”
“Bagus! Kalau begitu kaulah yang harus mati lebih dulu!” seru Sui Lan sambil melompat ke depan dan menyerang dengan tusukan hebat.
Sin Liong menangkis dan menahan pedang gadis itu dengan pedangnya, suaranya gemetar ketika ia berkata, “Sui Lan... jangan kau mengangkat pedangmu padaku... Sui Lan... aku cinta kepadamu. Ah... bagaimana sampai terjadi begini. Bagaimana nasib bisa begini kejam, mempertemukan kau orang yang kucintai sepenuh jiwaku sebagai seorang musuh. Jangan, Sui Lan, demi cinta kita, jangan kau lanjutkan permusuhan ini. Aku tak kuasa menentangmu dengan pedang!”
Sui Lan tersenyum menyindir. “Jangan bicara sembarangan tentang cinta! Cinta itu palsu belaka! Lupakah kau kepada sumpahmu tadi bahwa kau hendak membantu dan membelaku? Cih! Ucapan seorang laki-laki yang tak berharga! Bukan laku seorang gagah untuk menjilat kembali ludah sendiri yang telah dikeluarkan!” Setelah berkata demikian, Sui Lan menarik pedangnya dan menyerang lagi.
“Tunggu, Sui Lan...!” Sin Liong cepat mengelak. “Tadi aku tidak tahu bahwa orang yang hendak kau bunuh itu adalah pamanku sendiri! Katakanlah bahwa kau hendak memusuhi perwira lain, jangankan baru seorang, biarpun seluruh Kim-i-wi dari kerajaan, akan kubantu dan kubela kau! Akan tetapi jangan dia, jangan perwira Lee Song Kang, jangan pamanku!”
“Pengecut! Tak usah banyak cakap. Lihat pedangku!” Sui Lan menyerang lagi dengan sengit dan dalam pandangan matanya, kini pemuda itu telah berubah menjadi musuh besarnya yang harus dibunuh!
Terpaksa Sin Liong menangkis dan dengan hati sedih pemuda itu melayani Sui Lan bertanding pedang. Mereka sama lincah, sama cepat dan ilmu pedang mereka sama kuatnya sehingga pertempuran itu benar-benar hebat dan sengit sekali.
Pedang mereka berkelebat menyambar-nyambar, tubuh mereka lenyap dan selimutan sinar pedang, dan dibawah sinar bulan purnama, mereka kelihatan bagaikan dua ekor ular bersayap yang beterbangan dan bermain-main di alam mega-mega putih!
Lima puluh jurus telah lewat, enam puluh, tujuh puluh, seratus jurus! Dan mereka masih saja bertanding mati-matian, tidak ada yang mau mengalah! Sebetulnya pedang yang digunakan oleh Sin Liong adalah sebatang pedang pusaka dan kalau ia mau dan sengaja hendak mengadu kekuatan senjata, dengan mudah ia akan dapat membikin patah pedang Siu Lan.
Akan tetapi Sin Liong tidak mau melakukan hal ini dan ia hanya mengimbangi serangan gadis itu dengan ilmu pedangnya pula. Tipu dibalas tipu, tenaga dilawan tenaga dan mereka telah mengerahkan seluruh kepandaian mereka, akan tetapi benar-benar mereka sama kuat. Sui Lan merasa kecewa, menyesal, sedih dan juga marah sekali sehingga hilanglah kesabarannya. Ia berseru keras dan tiba-tiba ia menyerang dengan gerakan yang nekat.
Dengan gerak tipu Sian-jin-tit-lou (Dewa Menunjuk Jalan) ia menusuk ke arah dada lawannya yang dilakukan dengan tenaga penuh dan cepat sekali. Sin Liong merasa terkejut melihat serangan ini dan dengan membuang diri ke samping barulah ia terhindar dari tusukan ini dan secepat kilat ia menyabetkan pedangnya dari atas. Terdengar bunyi „traaaang!‟ yang nyaring sekali dan pedang Sui Lan terlepas dari pegangan dan menancap ke atas tanah!
Bukan main malu dan gemasnya hati Sui Lan. Ia pandang muka pemuda itu dengan penuh kebencian, sepasang matanya mulai meneteskan air mata. Sedangkan Sin Liong yang melihat ini, tiba-tiba hatinya menjadi lemah.
“Sui Lan... maafkan aku... Sui Lan! Akan tetapi, Sui Lan tiba-tiba mencabut pedangnya kembali dan mengirim bacokan ke arah lehernya! Pada saat itu Sin Liong sedang merasa terharu sekali dan sedih maka kewaspadaannya berkurang dan tubuhnya juga terasa lemah, maka ia tidak keburu menangkis atau mengelak. Agaknya lehernya akan putus karena sabetan itu.
Akan tetapi melihat wajah pemuda itu, kebencian yang tadi membayang di mata Sui Lan tiba-tiba lenyap bagaikan awan tersapu dengan angin dan ia menahan pedangnya yang telah meluncur ke arah leher. Namun terlambat, karena ujung pedangnya masih saja menyerempet pundak Sin Liong hingga kulit pundak itu terluka, dan robek berikut bajunya. Darah merah mulai membasahi pakaian Sin Liong!
“Ah...!” Sui Lan berseru terkejut dan wajahnya menjadi makin pucat. Akan tetapi ia melihat pemuda itu tetap tersenyum memandangnya, sedikit pun tidak menjadi marah.
“Sui Lan, akan kau teruskankah pertempuran gila ini? Aku tidak! Kalau kau merasa penasaran, tusukkanlah pedangmu pada dadaku, aku takkan melawan! Lebih baik kau bunuh dulu aku sebelum kau bunuh pamanku!”
Akan tetapi, sebagai jawaban, Sui Lan hanya menangis terisak-isak menutupi mukanya dan air mata mengalir di antara celah-celah jari tangannya.
“Sui Lan...” Sin Liong melangkah maju hendak memeluk gadis itu, akan tetapi tiba-tiba Sui Lan mengelak dan melompat pergi, terus berlari cepat sambil menangis! Sin Liong hanya menarik napas panjang.
Sin Liong yang berpisah dari Sui Lan melanjutkan perjalanannya ke kota raja dengan hati sedih, sedangkan Sui Lan yang merasa bingung itu melanjutkan perjalanannya dengan berlari cepat dan tidak mau bertanya kepada orang-orang di jalan, sehingga akibatnya ia tersasar. Ia berada di Propinsi Ho-nan dan menurut petunjuk gurunya, seharusnya ia pergi ke kota raja melalui Propinsi San-tung yang berada di timur laut.
Akan tetapi tanpa diketahuinya ketika melalui persimpangan jalan, ia mengambil jalan yang membelok ke selatan sehingga ia memasuki Propinsi Kiang-si! Setelah beberapa pekan kemudian ia tiba di kota Nam-kang barulah ia tahu bahwa ia telah tersasar ke selatan, padahal ia pergi ke utara!
Oleh karena sudah kepalang, maka Sui Lan lalu mengambil keputusan untuk berpesiar dulu di daerah yang cukup indah itu untuk menghibur hatinya yang merasa kecewa dan berduka semenjak perpisahannya dengan Sin Liong. Ia harus mengakui di dalam hatinya bahwa setelah berpisah ia melakukan perjalanan seorang diri yang paling tidak enak dan jauh berbeda dari perjalanan yang ia lakukan dengan pemuda itu. Kalau tadinya ia bergembira-ria dan merasa bahagia sekali, kini ia merasa patah hati.
Tentu saja ia tidak pernah menyangka bahwa musuh besarnya yang ia cari-cari yakni perwira she Lee itu, kini telah pindah ke kota Siang-kan-bun di Propinsi Kiang-si, tidak jauh letaknya dari tempat di mana ia berada, yakni di Nam-kang. Dan lebih-lebih ia tak pernha mengira bahwa kedua encinya juga sedang menuju ke Kiang-si dengan cepat, datang dari kota raja.
Tidak tahu pula bahwa selain kedua orang encinya, terdapat beberapa orang lagi menuju ke selatan, dan di antaranya terdapat Sin Liong. Untuk beberapa hari lamanya, sampai hampir sebulan, Sui Lan berputar di daerah Kiang-si, dan nafsunya untuk mencari musuh besarnya di kota raja banyak mengurang. Ia merasa ragu-ragu untuk pergi ke kota raja dan mencari perwira she Lee itu.
Karena segan kalau-kalau ia harus bertanding melawan Sin Liong! Ia sama sekali tidak merasa takut menghadapi Sin Liong, hanya segan, karena ia maklum bahwa baik Sin Liong, maupun dia sendiri, takkan sampai hati untuk saling melukai apalagi membunuh!
Kita tinggalkan dulu Sui Lan yang sedang bimbang ragu dan berputar-putar di sekitar daerah Kiang-si tanpa tujuan, akan tetapi yang kebetulan sekali membawanya makin dekat dengan tempat tinggal musuh besarnya itu! Kita sekarang menengok perjalanan Siang Lan yang telah lama kita tinggalkan.
Semenjak perpisahannya dengan kedua orang adiknya, Siang Lan melanjutkan perjalanan dengan cepatnya, sesuai dengan kehendak suhunya, yakni melalui Propinsi Syen-si, Ho-pai, Ho-nan, San-tung, dan akhirnya ia sampai di kota raja. Di sepanjang jalan, pengalamannya bertempur dengan Ang-hoa Siang-mo.
Dan bantuan yang ia dapatkan dari pemuda yang amat menarik hati, Kui Hong An anak murid Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi itu, selalu terbayang di muka matanya. Ia tak dapat melupakan Hong An dan diam-diam ia mengharapkan perjumpaannya kembali dengan pemuda itu.
Ketika Siang Lan tiba di luar tembok kota raja, ia mengalami hal yang amat mengherankan hatinya. Hari itu amat panas dan sinar matahari amat teriknya. Di luar gerbang kota raja, terdapat seorang penjual arak dan teh di pinggir jalan dan dagangannya ini laris manis sekali oleh karena setiap orang yang keluar maupun memasuki pintu gerbang itu merasa haus dan berhenti sebentar di tempat itu untuk membasahi kerongkongan. Siang Lan juga merasa haus dan lelah, maka ia pun berhenti di situ, mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku bambu memesan teh.
Di tempat itu hanya terdapat tamu-tamu lelaki dan semua mata memandang ke arah gadis yang amat cantik jelita ini dengan sinar mata menyatakan kagum dan gairah, sungguhpun mereka tidak berani memandang secara langsung oleh karena gagang pedang yang tersembul di belakang punggung Siang Lan itu memperingatkan mereka bahwa gadis ini bukanlah gadis yang boleh diganggu secara sembarangan saja.
Akan tetapi Siang Lan sama sekali tidak memperhatikan mereka dan ketika pelayan datang mengantarkan air teh yang dipesannya, ia minum menghilangkan hausnya. Selain orang-orang yang terdiri dari pedang, pelancong dan pengembara yang berada di tempat itu, juga terdapat pula belasan orang tentara penjaga, dan juga beberapa orang pengemis yang berdiri atau duduk di atas lantai di luar warung.
Ketika para penjaga itu melihat Siang Lan, terjadilah hal yang aneh. Mata mereka jelalatan seperti melihat setan di tengah hari, bahkan mereka yang baru minum segera menunda minumnya. Seorang demi seorang, para penjaga itu meninggalkan bangkunya dan pergi dari situ seperti orang ketakutan!
Hal ini tentu saja diketahui oleh Siang Lan yang merasa heran, akan tetapi dia diam saja, hanya berlaku hati-hati dan waspada, karena ia selalu tidak menaruh kepercayaan kepada tentara kerajaan. Juga para tamu yang berada di situ dapat melihat sikap para penjaga ini, maka kini pandangan mereka terhadap Siang Lan mengandung keseganan dan ketakutan.
Pada saat itu, seorang di antara para pengemis yang berada di luar warung, berseru, “Pada saat makan dan minum, teringat kepada orang-orang yang lapar dan haus, barulah disebut orang budiman. Siapakah di antara orang di sini yang berhati budiman?”
Pengemis itu berulang-ulang mengucapkan kata-kata ini sehingga para tamu memandangnya sambil tersenyum dan menganggapnya orang gila, akan tetapi tak seorangpun yang mau meladeninya. Sebaliknya, Siang Lan merasa kasihan ketika melihat bahwa yang bicara itu adalah seorang pengemis tua yang kurus kering dan rambut kepalanya botak.
“Lopeh (Uwa Tua),” katanya dengan halus, “Biarpun aku bukan seorang budiman, akan tetapi kalau Lopeh suka, pesanlah makanan dan minuman, biar aku yang membayarnya.”
Pengemis tua itu memandangnya dengan penuh perhatian. Pandangan matanya menatap tubuh gadis itu dari rambut sampai ke sepatunya, kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, “Nona muda, kau baik, kau baik! Apakah tawaranmu itu hanya berlaku untukku seorang?”
Siang Lan mengerling ke arah kumpulan pengemis yang jumlahnya tidak kurang dari tujuh orang itu. Ia berpikir bahwa menolong orang miskin tidak boleh berat sebelah, maka sambil tersenyum manis, ia berkata, “Aku menawarkan kepada siapa saja yang membutuhkan makan dan minum, Lopeh.”
“Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Hai, setan-setan kelaparan! Ada rezeki datang, mengapa tidak lekas menyerbu? Ayo pesanlah sesukamu, jangan sungkan-sungkan lagi!”
Maka menyerbulah tujuh orang pengemis itu ke warung dan memesan makanan dan minuman. Semua memesan bakpau dan daging serta arak. Pengemis kurus kering tadi bahkan memesan seguci arak wangi yang berharga mahal.
Para tamu yang berada di situ merasa sebal melihat tingkah laku para pengemis ini. Tak tahu diri, pikir mereka. Ada yang menolong, lalu berbuat sesuka hatinya! Akan tetapi, biarpun uangnya tinggal tak berapa banyak lagi, Siang Lan tersenyum saja melihat kelakuan mereka itu, bahkan ada rasa terharu dalam hatinya.
Ia maklum bahwa kerakusan mereka itu bukan memang menjadi watak mereka akan tetapi timbul oleh karena nafsu telah dikekang dan terpaksa dibatasi tiap hari. Mungkin telah berbulan-bulan atau bertahun-tahun mereka itu merindukan arak dan daging dan baru hari ini mereka berkesempatan menikmatinya.
Setelah para pengemis itu mengisi perut mereka sampai menjadi gendut dan kekenyangan, seorang demi seorang lalu keluar dari warung itu, ada yang terus pergi dari situ, ada pula yang merebahkan diri di bawah pohon dan tidur mendengkur bagaikan babi, sehingga tinggal pengemis kurus kering itu saja.
Sambil tersenyum senang pengemis botak ini lalu menghampiri Siang Lan yang merogoh saku menghitung-hitung uangnya yang tak berapa itu. Pengemis botak ini dengan amat beraninya lalu mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk pundak Siang Lan sambil berkata,
“Nona yang baik, kau benar-benar mengagumkan orang!”
Siang Lan terkejut sekali ketika merasa betapa tangan yang menepuk pundaknya itu amat beratnya dan ia maklum bahwa pengemis ini menggunakan tenaga Jeng-kin-lat (Tenaga Seribu Kati) untuk mencobanya! Tak pernah disangkanya, bahwa pengemis ini adalah seorang pandai.
Maka diam-diam ia lalu mengumpulkan tenaga dalam dan mengerahkan ilmu Sia-kut-hwat (Melepaskan Tulang Melemaskan Tubuh) sehingga ketika tangan pengemis itu menekan pundaknya, pengemis itu merasa betapa pundak itu lemas dan lunak seperti tak bertulang dan tenaga tekanannya lenyap dengan sendirinya!
“Bagus sekali, Nona yang baik. Hendak pergi kemanakah kau?”
“Lopeh, aku adalah seorang pengembara yang tidak mempunyai tujuan tetap. Karena telah berada di luar gerbang kota raja, tentu saja aku tidak sia-siakan kesempatan ini dan melihat-lihat kota raja."
“Ha-ha-ha! Tiada guna, tiada guna. Apakah yang patut ditonton di kota raja. Sambil berkata demikian, pengemis itu lalu menyeret kakinya keluar dari warung dan duduk di emper warung itu menyandar di dinding, terus tidur mendengkur!
Para tamu merasa gemas sekali melihatnya. Alangkah kurang ajarnya pengemis tua bangka itu. Sudah ditolong berani menepuk-nepuk pundak gadis cantik itu, dan sekarang tanpa ucapan terima kasih sedikitpun, ia keluar dan mendengkur di luar warung seakan-akan tak pernah ada orang yang menolong dan memberinya makan minum!
“Berapakah jumlah semuanya?” tanya Siang Lan kepada pemilik warung yang mulai menghitung-hitung dengan sui-poa (alat penghitung).
“Lima tahil delapan chi!” katanya dan para tamu merasa heran sekali karena sesungguhnya tak usah semahal itu. Ternyata bahwa pemilik warung yang cerdik itu hendak menggunakan kesempatan ini untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin.
Siang Lan juga merasa terkejut karena ia teringat bahwa uangnya tinggal empat tahil lagi. Akan tetapi ketika ia merogoh sakunya, bukan main herannya karena uangnya yang tinggal empat tahil itu, entah bagaimana telah bisa bisa beranak dan kini menjadi sembilan tahil! Darimanakah datangnya tambahan lima tahil ini?
Tiba-tiba ia teringat bahwa tadi pengemis itu menekan pundaknya dan ia merasa seperti ada yang bergerak pada bagian kantung bajunya, maka ia merasa terkejut dan mukanya berubah. Tak bisa salah lagi, tentu pengemis aneh itu yang memasukkan uang lima tahil ke dalam kantungnya!
Tanpa banyak cakap Siang Lan membayarkan uang itu kepada pemilik warung dan ia lalu melangkah keluar hendak mencari pengemis tadi. Akan tetapi, baru saja ia tiba di luar warung, ia melihat rombongan penjaga tadi telah datang ke situ, mengiringkan seorang perwira yang dari pakaiannya dapat diketahui bahwa ia adalah seorang perwira Kim-i-wi berpangkat busu, tubuhnya tinggi besar, mukanya kuning dan di tangannya memegang senjata yang aneh, yakni tiga buah bola baja yang bertali.
Dengan langkah lebar perwira ini menghampiri Siang Lan dan tersenyum mengejek. Perwira ini bukan lain adalah Gui Kok Houw yang dulu pernah menangkap dan menawan Hwe Lan. Melihat Siang Lan yang berdiri memandangnya dengan tenang, perwira ini tidak ragu-ragu bahwa gadis yang berada di hadapannya tentu Hwe Lan yang dulu ditawannya dan kemudian dapat melarikan diri itu, maka ia tertawa sambil berkata,
“Ha-ha-ha! Tidak tahunya kau masih berada di sini! Ha-ha-ha! Sekali ini aku akan menawanmu dan mengurungmu dalam kamarku sendiri, kujaga siang malam hingga tak mungkin kau dapat minggat lagi!” Setelah berkata demikian, ia menubruk maju dan mengulur tangan kirinya untuk menangkap pundak Siang Lan.
Gadis ini merasa terkejut, heran, dan juga marah sekali melihat sikap dan mendengar omongan yang kurang ajar ini. Melihat sambaran tangan kiri yang kuat itu, ia maklum bahwa perwira ini memiliki tenaga besar, maka ia pun lalu memiringkan pundak dan tangan kanannya bergerak menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Plak!” Dua lengan itu beradu keras dan tubuh Gui Kok Houw terhuyung-huyung ke belakang. Perwira ini memandang dengan mata terbelalak heran. Bagaimana dalam waktu sebulan saja tenaga gadis ini telah meningkat sedemikian hebatnya?
Sementara itu, Siang Lan yang merasa mendongkol lalu menuding dan bertanya, “Perwira gadungan dari manakah datang-datang berani menghina orang?”
Gui Kok Houw mendongkol sekali melihat sikap gadis ini yang disangkanya sengaja pura-pura tidak mengenalnya maka ia lalu membentak marah, “Gadis pemberontak dari Siauw-lim. Kau masih berpura-pura menyembunyikan dirimu yang sebenarnya? Ha-ha! Biarpun kau akan pergi bersembunyi di neraka sekalipun, kami takkan melepaskanmu."
Setelah berkata demikian, perwira itu menggerakkan senjatanya dan tiga buah bola baja itu menyambar ke arah Siang Lan pada tiga bagian tubuh!
Siang Lan terkejut mendengar ucapan itu. Dari mana perwira ini tahu bahwa dia adalah murid Siauw-lim? Akan tetapi ia tidak sempat banyak berpikir tentang itu karena serangan perwira itu tidak boleh dibuat main-main. Cepat ia melompat mundur dan mencabut pedangya, kemudian dengan waspada ia menanti datangnya serangan lawan.
Ketika Gui Kok Houw menyergapnya lagi dengan tiga bola bajanya ia cepat menangkis dan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya sehingga sebentar saja kedua orang ini bertempur dengan seru dan sengit, ditonton oleh para penjaga dan para tamu yang menjadi ketakutan.
Pengemis yang tadi tertidur, menjadi kaget dan segera pergi dari tempat itu ketika melihat pertempuran hebat ini akan tetapi pengemis kurus kering yang botak itu masih tetap duduk menyandar dinding warung. Akan tetapi kini matanya tidak tertutup lagi, ia telah terbangun dan duduk menonton pertempuran dengan tertarik sekali.
Sungguhpun kepandaian Gui Kok Houw amat tinggi, akan tetapi menghadapi Siang Lan, ia merasa seakan-akan menghadapi sebuah dinding baja yang amat kuatnya. Gadis ini bertempur dengan gerakan yang tenang sekali, teliti dan hati-hati dalam setiap penyerangan atau tangkisan, dengan disertai tenaga yang amat mengagumkan.
Ketenangannya membuat gerakan pedangnya menjadi luar biasa kuatnya dan setiap serangan dari Gui Kok Houw dengan tiga buah bola bajanya dapat ditangkis atau dielakkan dengan amat mudah. Betapapun juga, amat sukar pula bagi Siang Lan untuk mendesak lawan dengan ilmu silat dan senjatanya yang lihai itu.
Maka diam-diam Siang Lan mengeluh. Baru saja tiba di luar tembok kota, ia telah bertemu dengan pengemis lihai dan sekarang perwira yang lancang dan kurang ajar ini pun ternyata lihai sekali! Apalagi kalau aku sudah berada di dalam kota, pikirnya.
Pada saat itu terdengar suara yang nyaring bicara seperti orang bernyanyi, “Seribu orang sahabat masih terlalu sedikit, seorang musuh sudah terlalu banyak. Mengapa mencari permusuhan? Perwira besar mengganggu gadis muda, bukankah ini lucu dan keterlaluan?”
Begitu kata-kata itu berhenti, nampak berkelebat bayangan yang cepat sekali gerakannya bagaikan kilat menyambar dan tahu-tahu di tengah-tengah antara dua orang yang sedang bertempur itu, telah berdiri pengemis tua kurus kering dan botak tadi!
Siang Lan dan Gui Kok Houw terkejut sekali dan menahan senjata masing-masing. Ketika perwira itu melihat Si Pengemis Tua tadi, ia menjadi pucaat dan segera menjura sambil berkata, “Ah, tidak tahunya Pat-jiu Sin-kai Pengemis Sakti Tangan Delapan) yang datang! Terimalah hormatku, Kwee-lo-cianpwe.”
Akan tetapi pengemis itu tidak menghiraukannya, bahkan lalu menghadapi Siang Lan dan berkata, “Tidak lekas melanjutkan perjalananmu, mau tunggu kapan lagi?”
Siang Lan sadar bahwa pengemis ini telah menolongnya, maka ia pikir bahwa kalau tidak lekas-lekas masuk ke kota raja, setelah bentrok dengan perwira itu, sukarlah baginya untuk kelak memasuki kota. Maka ia mengangguk tanda terima kasih, lalu berlari cepat memasuki kota raja melalui gerbang yang terbuka. Para penjaga tidak berani menghalanginya.
Ketika Gui Kok Houw hendak mengejar, Pat-jiu Sin-kai Kwee Sin, pengemis itu, lalu mengangkat lengannya ke atas dan berkata, “Gui-ciangkun, tidak layak bagi seorang perwira menghina seorang gadis muda seperti dia!”
Gui Kok Houw memandang gemas. “Locianpwe tidak tahu bahwa dia adalah seorang tawanan kerajaan yang melarikan diri! Dia adalah seorang pemberontak Siauw-lim yang harus ditangkap!”
Pengemis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sejak kapan aku mencampuri urusan pemberontakan? Aku tidak peduli gadis itu murid Siauw-lim-pai atau bukan, akan tetapi ia telah melakukan kebaikan dan melepas budi kepadaku. Kalau kau tidak percaya, kau boleh bertanya kepada semua tamu warung ini, bahwa dia tadi telah menjamu aku dan pengemis-pengemis lain sampai kenyang! Oleh karena itu, di depan mataku, tak seorangpun boleh mengganggunya!”
Setelah berkata demikian, sekali kakek itu berkelebat, tubuhnya telah lenyap dari depan Gui Kok Houw, hanya suara tawanya saja masih terdengar di sebelah belakang warung arak itu!
Gui Kok Houw tidak mempedulikan kakek pengemis itu lagi dan cepat memandang ke arah gadis itu tadi berlari, akan tetapi bayangan Sui Lan tak nampak lagi. Dengan gemas Gui Kok Houw lalu berlari mengejar, memesan kepada para penjaga agar supaya penjagaan diperkuat sehingga gadis pemberontak itu takkan dapat lolos lagi.
Dengan enak saja Siang Lan memasuki sebuah hotel besar dan menyewa kamar. Ia sedikitpun tidak pernah merasa curiga dan tidak tahu bahwa sebetulnya seluruh penjaga di kota dikerahkan oleh Gui Kok Houw untuk menangkapnya dan bahwa Siang Lan dianggap sebagai pemberontak yang telah melarikan diri dari tahanan!
Demikianlah, pada malam hari itu pada saat Hwe Lan meninggalkan gedung Pangeran Souw Bun Ong, Siang Lan juga bersiap dan setelah memadamkan lampu di dalam kamarnya dan mempersiapkan pedang dan kantung thi-lian-ci di pinggang, ia lalu melompat keluar dari jendela kamarnya dan langsung melompat naik ke atas genteng!
Sebagaimana telah diketahui, Hwe Lan menyamar sebagai seorang pemuda dan mendapat pesan dari Pangeran Souw Bun Ong untuk keluar dari kota melalui pintu gerbang sebelah utara di mana para penjaganya telah dapat „dibeli‟ oleh pangeran itu. Pada malam hari, pada waktu Siang Lan sedang melompat keluar dari kamarnya dan berada di atas genteng hotelnya, Hwe Lan yang menyamar sebagai seorang pemuda berjalan di atas jalan raya menuju ke utara.
Akan tetapi, dia yang enak-enak berjalan itu sama sekali tidak tahu bahwa malam hari itu sebagai akibat dari kedatangan Siang Lan ke kota raja, penjagaan telah diperkuat dan diatur oleh perwira Gui Kok Houw yang mengerahkan semua barisan Kim-i-wi untuk menjaga di tiap gerbang kota!
Tentu saja para penjaga yang telah disuap oleh Pangeran Souw Bun Ong, tidak berdaya terhadap para perwira Kim-i-wi itu, dan mereka telah menanti datangnya „pemuda‟ yang dijanjikan Pangeran Souw itu dengan hati berdebar, karena dengan adanya para perwira Kim-i-wi, tentu saja mereka takkan dapat membiarkan pemuda itu lewat dan keluar dari pintu gerbang begitu saja!
Tanpa menaruh curiga sedikit pun, Hwe Lan berjalan menuju ke pintu gerbang itu yang nampaknya sunyi saja. Akan tetapi, begitu ia tiba di bawah lampung teng yang tergantung di pintu gerbang itu, tiba-tiba muncul enam orang perwira yang tinggi besar. Mereka ini bukan lain adalah perwira-perwira Kim-i-wi yang bertugas menjaga di situ dan tak lama kemudian para penjaga juga muncul di belakang perwira-perwira itu sehingga jumlah mereka tidak kurang dari dua puluh orang!
“Siapa kau? Dan hendak pergi ke mana?” tegur seorang di antara para perwira itu.
Hal ini benar-benar di luar dugaan Hwe Lan, karena tadinya ia mengira bahwa semua sudah dibereskan oleh Pangeran Souw dan penyamarannya itu hanya untuk memudahkannya menuju ke gerbang itu. Ia maklum bahwa kalau ia membuka mulut dan bersuara, tentu mereka akan tahu bahwa ia adalah seorang wanita, karena ia tidak sanggup merubah suaranya.
Oleh karena ini, tanpa mempedulikan mereka, Hwe Lan lalu melompat dan berlari menuju ke arah pintu gerbang itu untuk berlari keluar, akan tetapi dengan cepat pula, pintu itu telah tertutup sebelum ia sempat keluar dan para perwira itu telah mengurungnya dengan senjata di tangan dan berteriak-teriak,
“Tangkap dia!”
Hwe Lan beradat keras dan ia tidak mau membuang banyak waktu untuk bicara karena dianggap tidak berguna maka melihat sikap mereka ini, ia segera mencabut pedangnya dan sebentar saja gadis yang berpakaian pria itu mengamuk dengan pedangnya dikeroyok oleh enam orang perwira Kim-i-wi dan beberapa orang penjaga lain!
Hati gadis ini merasa mendongkol sekali, karena tidak disangka ia akan menghadapi halangan yang sebesar ini. Ia mengeluarkan kepandaiannya dan ketika pedangnya diputar-putar cepat dan hebat, enam orang Kim-i-wi itu tidak berani mengurung terlalu cepat. Seorang Kim-i-wi yang memandang rendah, baru saja berlagak hendak mendesak, telah terluka lengannya dan goloknya terpental jauh! Hal ini cukup membuat kawan-kawannya tak berani mendekat.
Setelah mengeroyok beberapa lama dan melihat permainan pedang gadis ini, para Kim-i-wi dapat mengenali Hwe Lan sebagai gadis pemberontak yang melarikan diri! Maka cepat-cepat mereka lalu menyuruh seorang penjaga mencari bala bantuan dan tak lama kemudian, serombongan Kim-i-wi yang dikepalai oleh Wai Ong Koksu datang berlari ke tempat itu!
Bukan main terkejutnya hati Hwe Lan melihat pendeta gundul yang gemuk pendek itu! Ia telah maklum bahwa kepandaian perwira tua gundul itu lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri. Akan tetapi Hwe Lan tidak merasa takut sedikitpun dan ia telah mengambil keputusan untuk mengamuk dan mengadu nyawa di tempat itu!
Wai Ong Koksu ketika melihat „pemuda‟ ini, tertawa mengejek dan berkata, “Nona, kau benar-benar nakan dan cerdik! Akan tetapi kau terlalu memandang rendah kepada kami. Kau kira dengan penyamaranmu itu kami tidak akan dapat menangkapmu kembali? Ha-ha-ha!
Setelah berkata demikian, Wai Ong Koksu lalu menggerakkan tongkatnya dan menyerang ke arah Hwe Lan yang sedang dikeroyok itu dengan pukulan yang bukan main hebatnya. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika dari tempat gelap, tiba-tiba melayang keluar seorang tinggi kurus yang menggunakan tongkat kecil menangkap sambaran tongkatnya.
“Prak!” Dua tongkat itu, biarpun yang satu besar dan yang satu kecil, ketika beradu di tengah udara, keduanya terpental ke belakang dan Wai Ong Koksu merasa betapa telapak tangannya tergetar oleh benturan hebat itu. Ia cepat memandang dan bukan main terkejutnya ketika melihat seorang pengemis tinggi kurus berdiri di hadapannya sambil tersenyum-senyum mengejek.
“Pat-jiu Sin-kai!” seru Wai Ong Koksu setelah mengenal pengemis tua itu.
Akan tetapi Pat-jiu Sin-kai tidak menjawab, hanya menggerakkan tongkatnya menyerbu dan membantu Hwe Lan. Karena hebatnya gerakan tongkatnya, para Kim-i-wi yang mengepung Hwe Lan bertolak mundur dan merasa menjadi ketakutan.
“Ha, Nona budiman! Kau benar-benar aneh, baru saja tadi masuk kota, sekarang sudah mau keluar lagi! Benar-benar kau orang aneh. Kau mau keluar, bukan? Lekaslah keluar, biar aku yang menyambut mereka!” Setelah berkata demikian, pengemis tua itu berdiri membungkuk menghadapi Wai Ong Koksu dan para perwira dan penjaga yang memandang dengan heran dan marah.
Hwe Lan juga terheran-heran mendengar ucapan pengemis ini. Ia belum pernah selama hidupnya bertemu dengan orang ini, mengapa pengemis ini mengatakan bahwa baru siang tadi ia masuk kota? Akan tetapi ia tidak mau berpanjang-panjang tentang itu. Ia tahu bahwa kakek ini tentulah seorang pendekar sakti, maka ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia melompat ke atas pintu gerbang yang masih tertutup.
Dua orang penjaga yang melihatnya, hendak menyerang, akan tetapi dua kali ia menggerakkan kaki, penjaga-penjaga itu tertendang sampai terguling-guling, kemudian ia membuka pintu gerbang dan berlari keluar! Wai Ong Koksu dan para perwira Kim-i-wi yang lain hendak mengejar akan tetapi Pat-jiu Sin-kai memalangkan tongkatnya di tengah jalan.
“Jangan ganggu dia!” katanya dengan tegas.
“Pat-jiu Sin-kai! Mengapa kau ikut mencampuri urusan kami? Gadis itu adalah seorang pemberontak! Apakah kau orang tua hendak membela seorang pemberontak?”
Pengemis tua itu mengeluarkan suara jengekan dari hidung. “Hah, kalian ini mudah saja mengecap orang sebagai pemberontak! Aku tahu bahwa kalian menganggap gadis itu seorang murid Siauw-lim, maka kalian lalu mengecapnya sebagai pemberontak. Wai Ong! Kau seorang tokoh Bu-tong-pai, bukan anak kecil lagi. Apakah kau hendak meniru kesesatan Pang To Tek, sutemu yang melakukan permusuhan dengan Siauw-lim-pai itu? Siauw-lim-pai telah dimusnahkan karena permusuhan itu dan andaikata benar bahwa gadis itu seorang murid Siauw-lim-pai, apakah dosanya maka kau menganggapnya bahwa ia memberontak? Lucu sekali!”
“Pat-jiu Sin-kai, kau benar-benar orang tua usilan dan suka mencampuri urusan orang lain! Kau tidk tahu bahwa gadis itu telah melukai beberapa orang Kim-i-wi, bahkan ada beberapa orang pula yang tewas di dalam tangannya? Bukankah itu sudah merupakan bukti cukup bahwa ia memberontak?”
“Ha-ha-ha!” Enak saja kau mengambil keputusan. Orang baru disebut pemberontak kalau ia menentang Kaisar, apakah kalian ini bangsa Kim-i-wi sudah mengangkat diri sendiri sedemikian tinggi sehingga sama dengan Kaisar. Sudah banyak kudengar tentang kelakuan Kim-i-wi, maka aku tidak heran kalau tindakan mereka yang sewenang-wenang. Wai Ong, daripada kau mengganggu orang yang tidak berdosa, lebih baik kau lebih memperhatikan dan menjaga kelakuan para Kim-i-wi yang merupakan penjahat-penjahat berkedok!"
“Pengemis busuk, kau benar-benar mencari perkara!” teriak Wai Ong Koksu yang cepat menyerang dengan tongkatnya yang besar dan panjang.
Pat-jiu Sin-kai cepat mengelak dan membalas dengan serangan tongkatnya yang biarpun kecil, akan tetapi digerakkan secara tepat dan istimewa kuatnya. Pertempuran hebat terjadi antara dua orang tokoh persilatan kalangan atas yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini.
Gerakan mereka sedemikian cepat dan kuat, sehingga tidak saja tubuh mereka hanya merupakan bayang-bayang bagaikan dua setan sedang bertempur, akan tetapi juga debu-debu beterbangan tinggi dan angin pukulan mereka membuat pakaian para Kim-i-wi yang berdiri mengelilingi pertempuran itu menjadi berkibar seperti tertiup angin!
Tak seorangpun dari Kim-i-wi berani maju mengeroyok, karena mereka maklum bahwa kepandaian mereka masih terlampau rendah dan kalau mereka maju, tidak saja mereka mencari celaka sendiri, akan tetapi mereka bahkan akan merupakan gangguan bagi Wai Ong Koksu. Maka mereka hanya menonton sambil membantu Wai Ong Koksu dengan suara saja.
Pertandingan itu benar-benar hebat dan ramai sekali, dan ternyata bahwa keadaan mereka seimbang, sungguhpun harus diakui bahwa pengemis itu hanya berkelahi dengan tertawa-tawa seperti orang main-main saja, sedangkan Wai Ong Koksu berkelahi dengan bernafsu sekali.
Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, kedua mata Wai Ong Koksu mulai berkunang karena ia harus mengakui bahwa dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh), kakek pengemis itu tingkatnya masih lebih tinggi darinya dan gerakannya benar-benar cepat sekali. Terutama sekali karena tongkat yang dimainkan oleh kakek pengemis itu jauh lebih kecil dan ringan, maka tentu saja sambarannya lebih cepat dari tongkatnya yang besar dan berat.
Pantas saja kakek itu dijuluki Pengemis Sakti Bertangan Delapan, karena tongkat kecil yang bergerak-gerak bagaikan ular menyambar-nyambar itu seakan-akan dimainkan oleh delapan tangan, demikian cepatnya melakukan serangan-serangan yang seakan-akan mengurung seluruh tubuhnya!
Untuk menghadapi desakan Pat-jiu Sin-kai, Wai Ong Koksu lalu memainkan tongkatnya dengan ilmu toya Hok-liong-kun-hwat (Ilmu Toya Penakluk Naga) dan tongkatnya bergerak-gerak dengan keras, berputar-putar menutup tubuhnya merupakan benteng baja yang kuat sekali. Andai kata orang yang menyiramnya dengan air, maka air itu hanya dapat mendekati tubuhnya kira-kira tiga kaki saja dan segera akan terpental karena benturan toyanya!
Tiba-tiba Pat-jiu Sin-kai tertawa gembira melihat ilmu toya lawannya ini dan gerakannya makin cepat, sehingga tongkat kecil di tangannya dapat menerobos di antara pertahanan pendeta gundul itu. Tiba-tiba, dengan gerak pukulan Ang-liong-chut-tong (Naga Merah Keluar Gua), tongkat kecil itu dapat menerobos masuk di antara bayangan tongkat besar dan „bret!‟ jubah Wai Ong Koksu di bagian dada terkena ujung tongkat dan robek!
Pat-jiu Sin-kai tertawa lagi dan melompat ke atas sambil berseru, “Cukup, Wai Ong! Cukup kenyang kita main-main!”
Akan tetapi Wai Ong Koksu yang merasa penasaran, malu, dan marah sekali, menyabetkan tongkatnya ke arah tubuh lawannya yang masih berada di atas dengan gerak tipu Leng-kong-sauw-goat (Di Tengah Udara Menyapu Bulan). Hebat sekali gerakan ini dan agaknya pinggang kakek pengemis itu akan terpukul tongkat.
Kalau hal ini terjadi biarpun pinggang itu tidak akan terpotong menjadi dua setidaknya semua tulang di bagian pinggang itu akan patah-patah. Ternyata bahwa Pat-jiu Sin-kai benar-benar hebat sekali ilmu gin-kangnya, dalam keadaan berbahaya itu, ia dapat menarik kedua kakinya ke atas, berjungkir balik dan ketika tongkat Wai Ong Koksu menyambar di bawah kakinya yang telah turun lagi.
Ia menotolkan kaki di atas ujung tongkat itu dan sambil berseru keras sekali ia meminjam tenaga sabetan tongkat itu untuk melayangkan tubuhnya, langsung naik ke atas genteng rumah dan menghilang di tempat gelap. Hanya gema suara ketawanya saja yang masih terdengar sayup-sayup.
Wai Ong Koksu merasa marah sekali karena gadis yang dikejarnya tadi telah lama pergi dan tak mungkin dapat ditangkap lagi karena tidak tahu ke mana perginya, sedangkan di luar tembok kota keadaan demikian gelap. Ia memeriksa padanya dan dengan terkejut ia mendapat kenyataan betapa bajunya telah berlubang dan ia maklum kalau kakek pengemis itu berlaku kejam, mungkin nyawanya telah melayang!
Sementara itu, di atas genteng sebuah gedung yang tinggi, terjadi lain pertempuran yang tidak kalah hebatnya, yakni pertempuran antara Siang Lan yang dikeroyok oleh para perwira Kim-i-wi di bawah pimpinan Gui Kok Houw! Karena mata-matanya telah tersebar di mana-mana, maka dengan mudah Gui Kok Houw dapat mengetahui di mana gadis yang dikejar-kejarnya tadi menginap dan ia telah bersiap sedia mengepung tempat itu.
Demikianlah, ketika Siang Lan melompat naik ke atas genteng untuk melakukan penyelidikan dan mencari tempat tinggal musuh besarnya, yakni perwira Lee, dan baru saja gadis ini melompat ke atas sebuah bangunan besar dan tinggi, tiba-tiba dari empat penjuru muncul perwira-perwira Kim-i-wi yang dipimpin oleh Gui Kok Houw!
“Ha-ha-ha! Pemberontak perempuan hendak lari ke manakah kau?” perwira tinggi besar bermuka kuning itu berkata sambil memutar-mutar tiga bolanya dengan hebat, dibantu oleh perwira-perwira Kim-i-wi yang jumlahnya tidak kurang dari sepuluh orang!
Hal ini sungguh di luar dugaan Siang Lan. Tidak ada lain jalan baginya, selain melawan mati-matian. Ia putar pedangnya tanpa berkata sesuatu dan sebentar kemudian di atas wuwungan genteng itu terjadilah pertempuran yang hebat sekali. Sedangkan menghadapi Gui Kok Houw, seorang lawan seorang saja sudah merupakan lawan berat.
Apalagi kini perwira Gui itu dibantu oleh sembilan orang kawan-kawannya yang memiliki kepandaian lumayan, maka paerlahan-lahan Siang Lan mulai terdesak dan hanya dapat menangkis sambil mempergunakan gin-kangnya untuk mempertahankan diri.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Siang Lan, tiba-tiba berkelebat dua bayangan orang, dan terdengar suara nyaring, “Nona, jangan takut, aku datang membantumu!”
Dua bayangan itu adalah dua orang pemuda, yang seorang berbaju serba putih dan berwajah tampan dengan sepasang mata yang berseri, sedangkan orang kedua kelihatannya juga seorang muda, akan tetapi mukanya memakai kedok saputangan sutera biru sehingga tidak dapat dikenal siapakah sebenarnya orang ini.
Akan tetapi, ketika datang tadi, yang mengeluarkan ucapan itu adalah Si Kedok Biru ini, seakan-akan hendak memperkenalkan suaranya kepada Siang Lan. Akan tetapi Siang Lan tentu saja sama sekali tidak mengenal suara ini, karena belum pernah ia bertemu dengan orang berkedok biru. Hanya Si Pemuda Baju Putih serasa pernah melihatnya, akan tetapi ia lupa lagi entah dimana.
Datangnya dua orang muda ini membuat kepungan para Kim-i-wi menjadi kocar-kacir! Begitu pedang dua orang ini berkelebat, maka cepat sekali para Kim-i-wi yang kini terpecah menjadi tiga bagian, terdesak hebat dan tak lama kemudian terdengar suara mereka berteriak kesakitan dan terpentalnya beberapa batang pedang dan golok!
Kepandaian kedua orang muda itu lihai sekali dan agaknya tidak di sebelah bawah kepandaian Siang Lan atau Gui Kok Houw, maka begitu mereka menyerbu, para Kim-i-wi tidak berdaya dan dapat dipukul mundur. Dengan datangnya bantuan ini, bangkit pula semangat Siang Lan dengan cepat pedangnya membuat serangan yang hebat.
Terdengar pekik ngeri dan seorang Kim-i-wi yang masih mengeroyoknya kena cium ujung pedangnya pada pipinya sehingga kulit pipi itu robek dan darah mengalir membasahi mukanya! Siang Lan mendesak lagi dan kembali seorang Kim-i-wi terluka tangannya yang memegang golok sehingga goloknya terlepas dan orangnya cepat melompat mundur.
Karena para Kim-i-wi yang lain harus menghadapi dua orang pemuda itu, maka kini menyerang Siang Lan tinggal Gui Kok Houw sendiri dan kembali kedua orang ini melanjutkan pertandingan mereka yang dilakukan siang tadi di luar tembok kota! Dengan amat cepatnya, kedua orang pemuda itu telah berhasil memukul mundur semua Kim-i-wi dan kini mereka menyerbu dan mengeroyok Gui Kok Houw.
Tentu saja perwira ini tidak kuat menghadapi tiga orang lawannya yang lihai itu dan dengan mengeluarkan suara keras, ketika tiga pedang dari tiga orang muda itu bergerak, bola-bola bajanya sebanyak tiga buah itu mencelat karena rantainya terbabat putus dan jatuh di atas genteng. Terpaksa Gui Kok Houw melompat turun dari atas genteng dengan keringat dingin mengucur di jidatnya!
Siang Lan hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh pemuda yang berkedok itu sambil berbisik, “Hwe Lan... jangan kejar dia! Lihat Wai Ong Koksu datang!” benar saja, dari jauh nampak datang perwira-perwira Kim-i-wi yang dipimpin oleh pendeta gundul itu!
“Mari, Hwe Lan! Mari kita pergi cepat-cepat!” si Topeng Biru itu lalu menarik tangan Siang Lan dan ketiganya melompat jauh, dan menghilang di dalam gelap, menuju ke gedung pangeran Souw Bun Ong! Pemuda berkedok itu bukan lain adalah Souw Cong Hwi sendiri, sedangkan pemuda baju putih itu adalah The Sin Liong, sute dari Souw Cong Hwi. Kedua orang muda ini adalah murid-murid dari Pat-jiu Sin-kai Kwee Sin!
Bagaikan mimpi, Siang Lan menurut saja dibawa ke dalam gedung. Hatinya berdebar keras karena ia maklum bahwa pemuda ini tentu menyangka dia Hwe Lan! Apakah adiknya itu telah berada di kota raja?
Setelah tiba di gedungnya, Souw Cong Hwi lalu membuka kedoknya dan Siang Lan melihat seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali. ketika ketiganya melompat turun dan memasuki gedung itu dari pintu belakang terus ke ruang dalam mereka melihat bahwa di dalam ruang itu, selain terdapat Pangeran Souw Bun Ong dan isterinya, juga terdapat Si Pengemis Tua Pat-jiu Sin-kai duduk di atas sebuah bangku sambil minum arak!
Nyonya Souw memandang kepada Siang Lan dengan heran, kemudian maju memeluknya sambil berkata, “Hwe Lan... kau sungguh membikin hatiku khawatir sekali!” kemudian ia melihat pakaian Siang Lan dan menjadi semakin heran. “Hwe Lan, kau berangkat dengan pakaian laki-laki, akan tetapi mengapa sekarang telah berganti pakaian lagi? Dan kau... kau agak berubah! Apakah yang terjadi denganmu?”
Juga Pangeran Souw Bian Ong memandang dengan mata terbelalak heran, sedangkan Souw Cong Hwi melangkah maju dan menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian.
“Aneh... aneh...!” tiba-tiba pengemis tua itu berkata sambil menunda minum araknya. “Nona yang baik!” katanya kepada Siang Lan sambil memandang dengan wajah lucu. “Ketika kau menjamu arak padaku dan kawan-kawanku kau berpakaian seperti ini, akan tetapi tadi kau berlari keluar dari pintu gerbang kota menyamar sebagai laki-laki, mengapa sekarang kau muncul lagi dalam pakaian seperti ini pula? Aneh, aneh! Kau selain budiman, juga ajaib sekali!”
Sementara itu, The Sin Liong juga berkata, “Aah... aku ingat sekarang! Kau pernah bertemu dengan aku di dalam hutan itu, betul tidak, nona...?”