Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 08 karya Kho Ping Hoo - Siang Lan tersenyum dengan tenang dan sabar. Ia maklum bahwa kekacauan ini disebabkan oleh persamaannya dengan Hwe Lan dan orang telah salah lihat dan tak dapat membedakan antara dia dan Hwe Lan, adiknya itu. Maka ia diam-diam menjadi geli sekali.
“Kalian telah salah lihat! Yang bernama Hwe Lan itu adalah adikku, namaku adalah Siang Lan! Memang kami serupa dan sebentuk.”
Semua orang menjadi bengong, dan tiba-tiba Sin Liong melompat ke atas. “Aha, kalau begitu, kau adalah enci dari Sui Lan!”
“Di mana dia?” Siang Lan bertanya girang. “Di mana adanya Sui Lan dan di mana adanya Hwe Lan?”
“Duduklah, nona,” terdengar Pangeran Souw Bun Ong berkata dengan suaranya yang tenang. “Banyak sekali hal-hal yang ruwet perlu dijelaskan dalam urusan yang ruwet ini. Bahkan ada sebuah hal lagi yang amat penting, yang agaknya akan membuka rahasia yang selama ini menggegerkan orang, dan mungkin sekali kenyataan terbukanya rahasia ini akan merupakan berita yang amat tak terduga olehmu.”
Siang Lan duduk dengan sikapnya yang tenang sehingga semua orang menjadi kagum melihat sikap gadis muda yang gagah ini. Souw Bian Ong lalu menceritakan tentang pengalaman Hwe Lan yang telah tinggal di situ selama sebulan lebih dan baru tadi pergi keluar kota raja untuk mencari dan menyusul musuh besarnya di kota Siang-kan-bun di Propinsi Kiang-si.
“Karena kebetulan sekali waktu datangmu bersamaan dengan waktu perginya maka terjadilah hal yang lucu dan kacau balau ini,” kata Pangeran Souw Bun Ong. “Sebelum aku melanjutkan pembukaan rahasia yang kusebutkan tadi biarlah The-hiante ini menceritakan dulu kepadamu tentang pertemuannya dengan adikmu yang bungsu, sebagaimana yang telah ia tuturkan kepada kami!”
Dengan girang Siang Lan memandang pemuda baju putih yang tampan dan lincah itu untuk mendengarkan penuturannya tentang keadaan Sui Lan. Pemuda ini menuturkan pengalamannya dan pertemuannya dengan Sui Lan, dan menutup penuturannya dengan ucapan yang mengejutkan hati Siang Lan,
“Hubungan kami yang baik sebagai dua orang sahabat akhirnya pecah ketika Sui Lan menyatakan bahwa ia hendak membalas sakit hatinya terhadap seorang perwira bernama Lee yang tinggal di kota raja, karena perwira itu, yang nama lengkapnya Lee Song Kang, bukan lain adalah Pamanku sendiri! Kami berselisih dan bahkan telah bertempur!”
Mendengar penuturan sampai di sini, tiba-tiba sepasang mata Siang Lan yang indah itu memancarkan cahaya berapi-api yang mengingatkan Cong Hwi kepada sepasang mata Hwe Lan.
Melihat hal ini cepat-cepat Sin Liong melanjutkan penuturannya, “Maaf, harap kau jangan tersinggung dan marah, nona! Biarpun kami bertempur, akan tetapi pertempuran itu tidak kami lanjutkan dan kami lalu berpisah. Aku cepat-cepat menuju ke kota raja hendak mencari Pamanku itu yang terancam bahaya karena aku mendengar dari Sui Lan bahwa selain dia, masih ada dua orang encinya yang hendak membalas dendam pula!
"Ternyata setibaku di sini, Pamanku itu telah pindah ke daerah Kiang-si. Dalam gugupku yang disertai kekhawatiran, aku lalu singgah di rumah suhengku ini yang belum tahu bahwa aku adalah keponakan perwira Lee Song Kang itu. Alangkah kagetku ketika aku mendengar dari orang tua suhengku ini tentang rahasia yang hebat itu!” pemuda ini lalu diam karena penuturannya telah habis.
“Nona,” Cong Hwi, “setelah mendengar penuturan suteku ini, dan melihat adanya rahasia yang akan dituturkan nanti oleh ayahku, aku ajak sute menyusul Hwe Lan, akan tetapi kami tidak berjumpa dengan Hwe Lan, sebaliknya bertemu dengan kau yang kami kira Hwe Lan.”
Siang Lan mendengarkan semua penuturan ini dengan penuh perhatian, kemudian ia memandang kepada Pangeran Souw Bun Ong untuk mendengarkan uraian pangeran itu tentang adanya rahasia yang disebutnya hebat itu.
Melihat sikap gadis ini yang amat tenang dan jauh lebih matang apabila dibandingkan dengan Hwe Lan, Nyonya Souw merasa amat tertarik dan juga kasihan, maka ia lalu duduk mendekati gadis itu dan menepuk-nepuk lengannya. Siang Lan juga merasa bahwa nyonya pangeran ini berhati mulia, maka ia memandang dengna tersenyum dan hormat.
“Nona, dengarlah penuturanku dengan hati tenteram,” Pangeran Souw Bun Ong mulai dengan kata-katanya. “Tadinya kami semua sedikitpun tak pernah menduga akan adanya hal yang amat rahasia ini. Setelah The-hiante ini datang dan mendengar penuturannya, kami lalu berpikir-pikir dan menggabung-gabungkan segala penuturan adikmu Sui Lan yang dituturkannya kepada The-hiante, dan juga penuturan adikmu Hwe Lan yang diceritakannya kepada Cong Hwi.
"Maka timbullah dugaan kami yang membuat hati kami berdebar, terutama setelah mendengar bahwa kau tiga kakak beradik hendak membalas dendam kepada Lee-ciangkun. Karena masih penasaran, kami sore tadi setelah adikmu berangkat, yakni Hwe Lan yang menyamar sebagai laki-laki dan tak lama kemudian The-hiante datang, lalu kami bertanya kepada pembesar yang mengetahui betul akan hal ini dan ternyata bahwa dugaan kami cocok!”
Siang Lan mengerutkan keningnya. Semua ucapan itu sama sekali tidak dimengerti olehnya, akan tetapi karena memang ia berwatak sabar dan tenang, ia hanya mendengarkan dengan penuh perhatian. Agaknya sukar sekali bagi Pangeran Souw untuk menceritakan atau membuka rahasia itu, ia berdehem-dehem dengan gagap. Isterinya merasa kasihan kepadanya dan berkata,
“Biarlah aku yang melanjutkan cerita ini,” katanya. Suaminya mengangguk dan memandang kepada isterinya dengan pernyataan terima kasih, lalu meneguk araknya, sedangkan Pat-jiu Sin-kai dengan tenang mendengarkan juga sambil kadang-kadang minum araknya.
“Sebelum aku melanjutkan cerita ini,” Nyonya Souw mulai dengan keterangannya, “Lebih dulu harap kau suka menerangkan dengan sejelasnya, nona, karena penuturan kedua adikmu dulu juga sambil lalu saja dan tidak begitu jelas. Kau yang tertua dan kau yang agaknya paling tenang dan cerdik di antara ketiganya. Bagaimanakah kau dulu bertemu dengan Nyo Hun Tiong dan apakah kau sama sekali tidak ingat akan orang tuamu?”
Biarpun hatinya berdebar dan merasa tidak enak, akan tetapi dengan memusatkan pikiran dan dengan suara tenang, Siang Lan menjawab, “Telah lama hal itupun kami ingat-ingat, akan tetapi kami tak dapat mengingatnya lagi. Kami hanya tahu bahwa pada saat pendekar Nyo Hun Tiong terkena anak panah yang menewaskannya, kami bertiga berada bersama dia, dan kemudian kami ditolong oleh ayah angkat kami Yap Sian Houw yang kemudian mejadi guru kami.” Dengan singkat Siang Lan lalu menceritakan pengalamannya sampai ia dan adik-adiknya diangkat murid oleh Toat-beng Sian-kouw.
Pangeran Souw dan isterinya saling pandang dan mengangguk-angguk. “Tidak salah, memang betul sekali dugaan kami,” kata nyonya itu setelah mendengar penuturan Siang Lan. “Dengarlah baik-baik, nak. Dulu, setelah Siauw-lim-si dibasmi dan kelentengnya dibakar, masih banyak anak muridnya yang berhasil melarikan diri. Seorang di antara mereka adalah Nyo Hun Tiong itu yang agaknya menaruh hati dendam kepada semua perwira kerajaan.
"Maka sering kali ia memimpin kawan-kawannya dan orang-orang tani untuk melakukan pemberontakan dan terutama sekali ia berusaha membunuh sebanyak mungkin perwira-perwira kerajaan. Pada suatu hari, ia berhasil menyerbu kota raja dan selain membunuh dan membakar, ia juga menculik tiga orang anak perempuan seorang perwira kerajaan.
"Perwira itu mengejarnya dan akhirnya dapat melukainya, akan tetapi Nyo Hun Tiong masih berhasil melarikan diri bersama tiga orang anak perwira itu. Perwira itu kemudian pulang dengan sedih dan keadaannya hampir gila karena kehilangan ketiga orang puterinya itu.”
Mulai pucatlah wajah Siang Lan mendengar ini, akan tetapi ia masih dapat menenteramkan pikiran dan memandang kepada nyonya pangeran itu dengan mata tidak pernah berkedip.
“Nona, nama dari ketiga orang anak perempuan itu ialah Siang Lan, Hwe Lan dan Sui Lan dan perwira itu...”
“Siapakah dia...?” tanpa disadarinya lagi Siang Lan bangun bergiri dan memandang dengan muka pucat. “Siapa perwira... ayahku itu...?”
Dengan air mata berlinang saking terharunya, Nyonya Souw berkata perlahan, “Perwira itu bernama Lee Song Kang... ayahmu sendiri yang kini hendak kau cari dan kau bunuh!”
“Ayah...?” tubuh gadis itu menjadi limbung dan lemas, ia jatuh ke dalam pelukan Nyonya Souw dalam keadaan pingsan!
Hwe Lan yang berhasil lari keluar dari kota raja atas pertolongan pengemis tua yang masih belum diketahuinya siapa adanya itu, cepat berlri menuju ke selatan, memutari tembok kota. Di tengah jalan ia melihat seorang penunggang kuda dan ketika penunggang kuda itu sudah dekat, ia melihat bahwa orang itu berpakaian seperti penjaga.
Cepat gadis itu merogoh kantung di sebelah kanan dan mengeluarkan tiga butir thi-lian-ci. Sekali tangannya bergerak, orang di atas kuda itu berteriak dan roboh terguling dari atas kudanya. Hwe Lan cepat melompat dan menunggang kuda itu, dan terus membalapkan kudanya dengan secepatnya.
Pada keesokan harinya, ketika tiba di dalam sebuah hutan, ia menanggalkan pakaian pemuda itu dan menggantikan dengan pakaiannya sendiri. Memang ia tidak senang untuk menyamar, tidak sesuai dengan wataknya yang pemberani dan jujur. Setelah berganti pakaian biasa Hwe Lan merasa lebih senang dan enak, lalu menjalankan kudanya lagi menuju ke Kiang-si, untuk mencari musuh besarnya di kota Siang-kan-bun.
Beberapa hari kemudian, Hwe Lan tiba di sebuah kota. Tadinya ia hendak melanjutkan saja perjalanannya, karena ia telah mulai menginjak Propinsi Kiang-si dan kota Siang-kan-bun tidak jauh lagi, akan tetapi tiba-tiba ia melihat orang berbondong-bondong menuju ke satu jurusan, sehingga hatinya tertarik sekali dan sambil menuntun kudanya yang telah lelah itu, ia mengikuti rombongan orang-orang itu, ingin tahu apakah yang mereka hendak lakukan.
Rombongan orang-orang itu ternyata menuju ke sebuah kelenteng besar yang bercat merah. Melihat semua orang memasuki pekarangan kelenteng yang telah penuh dengan orang itu, Hwe Lan lalu menambatkan kudanya pada sebaang pohon dan ikut masuk pula. Ia melihat bahwa keadaan kelenteng itu aneh sekali. Sungguhpun semua patung dewa masih berdiri di tempat masing-masing seperti di kelenteng-kelenteng lain.
Akan tetapi dewa-dewa di kelenteng ini agaknya suka akan warna merah karena mereka semua dicat merah pakaiannya! Juga dindingnya bergambarkan bunga-bunga merah uang bentuknya aneh, mirip bunga lian-hwa (teratai) dan juga mirip bunga bwe! Di depan pintu kelenteng itu tergantung papan yang ditulis dengan huruf-huruf merah besar dan berbunyi: SORGA DARI ANG-HOA-KAUW (Agama Bunga Merah).
Melihat betapai lian-lian yang tergantung di situ terbuat dari sutera-sutera indah, maka dapat diduga bahwa kelenteng ini mempunyai banyak penyumbang dan keadaannya mewah sekali. Nampak di situ para penjaga dan pelayan yang berpakaian seperti jubah pendeta, akan tetapi jubah itupun berwarna merah dan rambut para pendeta itu panjang terurai, dihias dengan setangkai kembang warna merah di atas kepala!
Keadaan ini benar-benar menimbulkan keheranan besar dalam hati Hwe Lan, maka ia maju lebih dekat dan memperhatikan keadaan di situ. Tak lama kemudian, dari dalam pintu sebelah dalam, keluarlah seorang pendeta yang bertubuh gemuk pendek, bermuka bundar dan bermata liar. Pendeta ini kepalanya juga berambut, akan tetapi hanya sampai sebatas leher dan rambutnya jarang pula.
Akan tetapi di atas kepalanya penuh dengan bunga-bunga merah sehingga kepalanya seakan-akan berambut merah. Jubahnya amat indah dihiaa kembang-kembang dari sulaman benang merah yang mengikat celananya warna biru dan sepatunya masih baru. Ikat pinggangnya terbuat dari emas, pendeknya pendeta ini amat indah dan mewah pakaiannya, bagaikan seorang pembesar tinggi saja.
Ketika pendeta gemuk pendek ini muncul, semua orang yang berada di ruang depan itu segera membungkuk dengan amat hormatnya dan tak seorangpun mengeluarkan suara sehingga keadaan menjadi sunyi. Pendeta itu mengangkat kedua tangannya ke atas seakan-akan hendak memberi berkah, kemudian terdengar suaranya yang nyaring,
“Anak-anak sekalian! Ada pengumuman yang amat penting. Tadi Pouw-sat (Dewi) menerangkan kepadaku bahwa hari ini adalah hari keramat, karena hari ini tepat jatuh pada hari ulang tahun penitisan yang ke sepuluh dari Ang-hwa Pouw-sat ke dunia ini! Oleh karena itu, sebelum kalian hendak menjalankan upacara melebur dosa dan mencuci kesialan badan, terlebih dulu harus mencuci muka dengan minyak sorga.
"Selain dari itu, setiap orang yang hendak mencuci muka diwajibkan memberi sumbangan sebanyak sepuluh tail, sesuai dengan angka sepeluh sebagai peringatan hari penitisan kesepuluh. Uang ini dikumpulkan untuk membangun sebuah kamar peristirahatan bagi Pouw-sat di belakang kelenteng ini!”
Setelah berkata demikian, pendeta gemuk itu memberi tanda dengan tangannya dan empat orang pendeta pembantu yang berpakaian merah datang menggotong sekaleng besar minyak panas yang masih mendidih dan mengebul! Hwe Lan memandang dengan penuh perhtian karena ia tidak mengerti untuk apa gunanya minyak panas ini.
Pendeta gemuk itu berkata lagi, “Anak-anakku sekalian. Sebelum kalian mencuci muka dengan minyak surga terlebih dulu aku akan mandi dengan minyak ini, agar supaya minyak ini akan lebih bermanfaat bagi kalian!”
Sehabis berkata demikian, pendeta itu menanggalkan jubahnya, dan kini tubuhnya bagian atas telanjang, nampak tubuh yang gemuk penuh gajih itu! Ia menghampiri minyak di kaleng itu, meramkan mata dan berdoa sebentar, kemudian dengan enak kedua tangannya ia celupkan ke dalam minyak yang masih mendidih itu!
Hwe Lan memandang dengan melongo karena terheran-heran. Apalagi setelah pendeta itu menggunakan tangannya untuk menyendok minyak itu yang digunakan untuk mencuci muka, dada, dan lengannya sehingga seluruh tubuh bagian atas menjadi basah dan mengkilat karena penuh minyak! Kenapakah kulit itu tidak melepuh terkena minyak panas? Hwe Lan benar-benar tidak mengerti.
Dengan suaranya yang terdengar parah dan penuh pengaruh, pendeta itu berseru, “Siapa yang hendak menjalankan upacara cuci dosa, silakan maju dan mencuci tangan dan muka terlebih dulu!”
Lebih dari dua puluh orang berebut maju untuk mencuci tangan dan muka mereka dengan minyak panas itu! Hwe Lan merasa makin heran. Ia pernah mendengar tentang mandi minyak panas ini seperti juga tentang injak api yang sering kali dilakukan oleh penganut-penganut agama dan orang-orang yang percaya di kelenteng-kelenteng, akan tetapi baru kali ini ia menyaksikannya sehingga timbul ngeri dan heran dalam hatinya. Ia lalu bertanya perlahan kepada seorang pengunjung yang berdiri di dekatnya,
“Loheng, siapakah pendeta itu?”
Orang yang ditanyanya itu seorang laki-laki berumur kurang lebih tiga puluh tahun, memandangnya dengan heran dan menjawab. “Nona tentu datang dari luar kota maka tidak kenal siapa dia. Dia adalah Ang-hoa Sianjin, pengurus besar kelenteng ini. Dialah pembantu utama dari Ang-hoa Pouw-sat!”
“Siapa pula Ang-hoa Pouw-sat itu?”
Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam kelenteng terdengar suara gembreng dipukul tiga kali dan perlahan-lahan terdengarlah suara nyanyian yang dinyantikan oleh banyak orang perempuan.
“Lihatlah sendiri!” kata orang itu sambil memandang ke arah pintu kelenteng dengan penuh khidmat.
Dan pada saat muili yang menutup pintu itu perlahan-lahan dibuka, semua orang yang berada di depan lalu menjatuhkan diri berlutut! Tentu saja Hwe Lan yang tidak tahu apa-apa tidak mau berlutut sehingga di antara sekian banyaknya orang itu, dia sendirilah yang tidak berlutut!
Akan tetapi tidak! Bukan dia sendiri, karena di ujung kiri pekarangan itu masih ada seorang gadis lain yang berdiri! Karena semua orang berlutut dan hanya dua orang gadis itu yang berdiri, tentu saja mereka dapat saling pandang dengan mudah dan ketika Hwe Lan dan gadis itu menengok untuk saling pandang,
“Enci Hwe Lan...!”
“Hai... kau, Sui Lan...?”
Kedua orang gadis itu berlari-lari saling menghampiri, berpelukan, berciuman dan dari kedua mata mereka menitik keluar air mata karena girang!
“Enci Hwe Lan, kau nakal! Mengapa kau tinggalkan aku?” sambil berkata demikian, beberapa kali Sui Lan mencubit lengan encinya dengan gemas.
“Sst... aduh... nanti dulu, jangan main cubit! Lihat, ada dewi sedang turun dari sorga, jangan berisik...” Hwe Lan yang melihat betapa dari pintu itu keluar seorang yang amat aneh dan cantik sekali, segera menarik lengan adiknya untuk diajak mundur agak jauh dan duduk di bawah pohon, karena semua orang yang sedang berlutut memandang kepada mereka dengan marah ketika mereka membuat ribut tadi.
Kedua kakak beradik itu sambil saling memeluk pinggang, memandang ke depan dan melihat keanehan yang belum pernah mereka saksikan, yakni, seorang Pouw-sat dari kahyangan turun ke dunia!
Pouw-sat yang dimaksudkan dan disembah-sembah orang banyak itu adalah seorang wanita yang usianya sudah mendekati enam puluh tahun, akan tetapi karena mukanya dibedak, bibirnya dimerah, alisnya dihitam, sedangkan potongan mukanya memang cantik, maka ia nampak seperti gambar saja atau seperti orang tokoh di panggung wayang.
Pakaiannya dari sutera putih yang tipis sehingga potongan tubuh yang ramping dan berisi itu nampak membayang. Pakaian itu disulam dan dihias dengan kembang-kembang merah dan rambutnya dihias dengan kembang-kembang merah yang indah pula! Dengan langkah tenang, perlahan dan agung, ia keluar dari pintu itu dan berdiri ditempat yang telah disediakan untuknya, yakni di sebuah panggung yang memakai anak tangga.
Di belakang Ang-hoa Pouw-sat atau Dewi Bunga Merah ini, berjalan tujuh orang gadis-gadis cantik yang berpakaian putih-putih pula dengan kembang-kembang merah di rambut, mengikuti Sang Dewi sambil bernyanyi perlahan. Benar-benar nampak agung dan suci dewi itu!
Di atas panggung telah disediakan sebuah tempat duduk yang bentuknya seperti bunga pula, terbuat daripada kayu yang dicat merah dan di atas “bunga merah” inilah Sang Dewi duduk bersila dengan agungnya, sedangkan pengikutnya, tujuh perawan itu duduk bersila di belakangnya, dengan sikap hormat. Benar-benar nampak agung dan suci karena Sang Dewi itu duduknya lurus dan matanya ditundukkan.
Kembali pendeta gemuk pendek yang disebut Ang-hoa Sianjin itu, mengangkat tangannya ke atas dan berkata, “Ang-hoa Pouw-sat telah menerima penghormatan anak-anaknya dan hendak memberi berkahnya!”
Setelah berkata demikian pendeta gemuk pendek itu lalu maju berlutut di depan Ang-hoa Pouw-sat dan mengeluarkan kata-kata yang tak dimengerti oleh semua orang, karena ucapannya ini bukan bahasa manusia akan tetapi “bahasa dewa”! setelah berkata-kata aneh ini, pendeta itu lalu membuka jubahnya kembali dan memberikan sebatang pedang pendek yang berkilat saking tajam dan runcingnya.
Sang Dewi lalu menerima pedang itu dan... menusukkan ujung pedang itu do dada kiri pendeta gemuk itu! Hwe Lan dan Sui Lai saling berpegang tangan dengan takjub! Biarpun ujung pedang itu hanya masuk sedikit, cukup untuk melukai kulit dan daging dan darah mengucur keluar dari dada yang gemuk penuh daging itu.
Sang Dewi lalu menggunakan jari tangannya, yakni telunjuknya, untuk dicelupkan pada darah itu dan menuliskan huruf “an” (selamat) pada sehelai kain putih! Kemudian ia lalu menundukkan matanya kembali dan bersila seperti tadi tanpa berkutik. Pendeta gemuk itu lalu mneyembah, mengambil “hu” (surat jimat) itu dan membawanya ke sebuah guci berisi air.
Ia masukkan hu itu ke dalam guci dan mencelup surat jimat itu ke dalam air, mengaduk-aduknya, dan kemudian ia menggunakan sebuah sapu-sapu yang dicelupkan ke dalam air itu untuk kemudian dikebut-kebutkan ke arah semua orang yang sedang berlutut sehingga kepala semua orang terkena tetesan air keramat ini!
Juga Hwe Lan dan Sui Lan yang duduk jauh di bawah pohon, terkena air keramat ini pada kepala mereka. Hal ini membuat keduanya merasa terkejut oleh karena untuk dapat memercikkan air sejauh itu, membuktikan bahwa pendeta gemuk itu sedikitnya mempunyai ilmu dan tenaga dalam yang cukup lumayan!
“Sekarang yang hendak melakukan upacara mencuci dosa harap berjajr dua puluh orang lebih, ditambah oleh beberapa orang lagi yang tadi tidak berani melakukan upacara cuci muka dengan minyak penas lalu berdiri dan berjajar di sebelah kiri.”
“Enci Hwe Lan, mari kita ikut mencuci dosa!” bisik Sui Lan.
Hwe Lan memandang adiknya dengan pandangan penuh kasih sayang, dan bibirnya tersenyum. Ia telah tahu akan kenakalan adiknya ini. “Sui Lan,” bisiknya kembali. “Dosa apakah yang telah kau perbuat selama kita berpisah?”
Merahlah wajah Sui Lan dan tangannya mencubit lagi lengan encinya. “Apakah kau sayang uang sepuluh tail? Kalau sayang, biarlah aku saja yang membayarnya!” Sui Lan teringat akan uang yang dulu ia dapat merampas dari perampok itu.
Terpaksa Hwe Lan menuruti kehendak adiknya yang nakal itu dan keduanya lalu berdiri di deret paling akhir. Seorang demi seorang, sebagian besar wanita-wanita muda yang berdiri di deretan itu, maju dan menuju ke tempat pendeta gemuk itu duduk untuk menyerahkan uang sepuluh tail dan sebagai gantinya menerima setangkai kembang merah.
Sambil bergerak maju perlahan-lahan dalam “antrian” itu, tiada hentinya Sui Lan longak-longok ke depan dan ia melihat betapa orang yang berdiri paling depan telah berjongkok di depan Sang Dewi itu. Ternyata bahwa Ang-hoa Pouw-sat itu memberi secawan air putih kepada seorang yang hendak membersihkan dosanya, kemudian bunga merah yang “dibeli” sepuluh tail perak itu dimasukkan dalam cawan.
Setelah dewi itu berdoa, kedua telapak tangan orang yang berlutut di depannya itu ditutupkan ke atas cawan berisi air dan kembang itu. Sang Dewi lalu membuat gerakan-gerakan dengan kedua tangannya seakan-akan menurunkan kotoran yang berada di atas kepala orang itu mengalir turun melalui kedua lengan sampai ke tangan itu, kemudian ia menyuruh orang itu memegang cawan dengan mulut cawan masih tertutup kedua tangan dan mengocoknya keras tiga kali. Lalu ia berkata dengan suaranya yang merdu,
“Sudah dicuci bersih! Dosa-dosamu yang kotor sudah pindah ke dalam air dan kembang!”
Orang itu disuruh membuka kedua tangan yang menutup cawan ite telah berubah hitam. Bukan main senang dan puasnya hati orang itu yang kini merasa dirinya “bersih” betul-betul dan ia lalu mengundurkan diri dengan lega dan merasa bahwa pencucian dosa-dosa itu benar-benar murah, hanya sepuluh tail!
Ketika giliran Sui Lan dan Hwe Lan untuk menerima kembang merah dari Ang-hoa Sianjin dan membayar sepuluh tail, kedua orang gadis itu melihat betapa sepasang mata pendeta gemuk itu memandang dengan kurang ajar dan bibir pendeta itu yang tebal mengerikan bergulung membentuk senyum simpul!
Sui Lan merasa jijik sekali dan ia menerima kembang itu yang dilihat-lihat dengan penuh perhatian. Kembang itu adalah kembang hutan biasa saja dan berwarna merah. Lain orang memegang kembang itu sebagai sesuatu yang suci, dan tidak berani main-main, akan tetapi Sui Lan dengan cara main-main melihat, mencium dan membuka-buka kembang itu.
Dengan tak sengaja, Sui Lan membuka kuncup bunga yang berada di tengah dan ia merasa heran sekali melihat beberapa butir benda hitam sebesar beras berada di tengah-tengah bunga itu. Ia anggap benda itu kotor sekali seperti tahi cecak, maka ia lalu mengetuk-ngetuk bunga itu untuk mengeluarkan beberapa butir benda hitam itu yang segera jatuh keluar tanpa dilihat oleh siapapun juga.
Ketika Sui Lan telah tiba di depan Ang-hoa Pouw-sat dan tiba gilirannya untuk “mencuci dosa”, ternyata bahwa bekas air dari cawan tiap orang yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah guci, hampir memenuhi guci itu dan warnanya hitam sekali! berbeda dengan orang lain yang berlutut dan menyembah sambil menundukkan muka, tanpa berani memandang sama sekali kepada dewi yang suci itu, Sui Lan bahkan melihat dengan mata dibuka selebar-lebarnya.
Ketika dewi itu mengangkat muka dan pandangan mata mereka bertemu, Sui Lan melihat sepasang mata yang tajam dan genit. Kini ia dapat melihat jelas betapa bedak yang menutupi muka itu tebal sekali sehingga diam-diam ia merasa geli dan mulutnya tersenyum.
Sementara itu, Sang Dewi ketika melihat seorang dara jelita berlutut di depannya dengan pandangan mata menyelidik, cepat menundukkan muka dan berkata, “Masukkan kembang itu ke dalam cawan!”
Dengan menggerak-gerakkan bibirnya secara lucu, Sui Lan memasukkan kembangnya ke dalam cawan dan ia melongok ke dalam cawan seperti lakunya seorang anak kecil.
“Tutup cawan itu dengan kedua telapak tanganmu!” Sang Dewi memerintah lagi dan Sui Lan melakukan perintah ini dengan geli hati.
Dewi itu lalu membuat gerakan-gerakan seperti tadi, yakni kedua tangan diangkat, jari-jari tangan dibuka dan digetar-getarkan ke arah kepala Sui Lan, terus turun dan seakan-akan mengalirkan “dosa” yang bersembunyi di dalam tubuh Sui Lan itu melalui kedua lengan ke dalam cawan.
“Pegang cawan itu dan kocok tiga kali!” dewi itu memerintah lagi dan kembali Sui Lan menurut dan mengocok tiga kali lalu meletakkannya kembali ke atas lantai tanpa membuka tanannya.
“Sudah tercuci bersih! Dosamu telah berpindah ke dalam cawan, bercampur dengan air dan kembang!” kata dewi itu dengan suara nyaring dan lega, seakan-akan ia merasa girang telah selesai berurusan dengan dara muda yang nakal dan tidak menghormatnya itu. Akan tetapi Sui Lan diam saja karena tidak tahu harus berbuat apa.
“Bukalah tanganmu dan lihat. Air itu akan menjadi hitam dan kotor, terisi dosa-dosamu!” kata Sang Dewi.
Dengan amat ingin tahu, Sui Lan membuka kedua tangannya dan kalau saja muka dewi itu tidak berkedok bedak yang amat tebal, tentu ia akan melihat betapa kulit muka itu tiba-tiba menjadi pucat seperti mayat, karena ketika melihat ke dalam cawan.
Ternyata bahwa air di situ masih tetap putih bersih dan kmebangnya masih tetap merah! Ang-hoa Pouw-sat benar-benar tercengang dan tak tahu harus berbuat apa! Selama ia membuka praktek sebagai dewi pembersih dosa ini, belum pernah terjadi hal seaneh ini.
Sebenarnya tidak aneh, karena tadi tanpa disengaja Sui Lan telah menjatuhkan butir-butir hitam yang sengaja ditaruh di dalam kembang untuk menghitamkan air sehingga kembang juga menjadi hitam. Semua orang tidak ada yang menaruh curiga dan menyangka akan hal ini oleh karena kepercayaan mereka menganggap kembang itu sebagai barang suci dan tidak berani meain-main. Kepercayaan ini sebagian besar timbul oleh karena keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Ang-hoa Sianjin.
Akan tetapi, sambil tersenyum-senyum dan memainkan sepasang matanya yang jenaka dan berseri, Sui Lan lalu berkata, “Ternyata airnya tidak berubah hitam!”
Dewi itupun cepat dapat menguasai kegugupannya, dan ia lalu berkata dengan lagaknya yang agung dan penuh kesucian sammbil mengangkat kedua lengan ke atas seakan-akan hendak memberi berkah kepada dara muda itu.
“Anakku, kau ternyata putih bersih seperti air ini dan belum mempunyai dosa! Kalau kau suka kau dapat menjadi muridku, seperti mereka ini!” Dewi itu menengok dan memandang kepada tujuh orang gadis cantik di belakangnya.
Akan tetapi, Sui Lan tak dapat menahan geli hatinya lagi dan ia berkata dengan agak keras, “Ah, setangkai bunga untuk sepuluh tail perak, sungguh amat mahal! Dan dosa-dosaku belum dibersihkan! Ah, mahal sekali!”
Ributlah semua orang mendengar seruan ini dan semua mata memandang ke arah dara muda yang kini duduk lurus-lurus di depan dewi itu. Dengan tak diketahui orang lain, Ang-hoa Sianjin Si Pendeta Pendek Gemuk tadi tahu-tahu telah berada di dekat Sang Dewi, siap menghadapi segala kemungkinan.
Hwe Lan merasa sudah cukup mengacaukan urusan Sang “Dewi”, maka ia menegur adiknya yang nakal itu, “Sui Lan, sudahlah! Mari kita pergi dari sini!”
Mendengar suara ini Ang-hoa Pouw-sat menengok dan memandang kepada Hwe Lan dan tiba-tiba matanya memancarkan cahaya berapi ketika ia memandang muka Hwe Lan. Semenjak tadi, ia memang tidak pernah melihat ke mana-mana dan baru pertama kali ini ia melihat wajah Hwe Lan.
“Kau...?” tak terasa lagi Sang Dewi berseru dan tiba-tiba ia menggerakkan tangan kirinya memukul ke arah kepala Hwe Lan yang duduknya di sebelah belakang Sui Lan dan tidak jauh dari Sang Dewi itu!
Hwe Lan melihat datangnya serangan yang berbahaya dan yang kalau mengenai kepalanya dapat mendatangkan maut itu, menjadi terkejut sekali dan cepat miringkan kepala mengelak. Sedangkan Sui Lan juga tak kurang terkejutnya, berbareng marah sekali.
“Jangan berani menggangu enciku!” serunya dan cepat sekali tangannya menyambar guci yang penuh dengan air dan kembang hitam itu dan meemparkannya ke arah Ang-hoa Pouw-sat!
Dewi cepat melompat mengelak, akan tetapi malang baginya karena biarpun ia dapat mengelak dari sambaran guci, akan tetapi air hitam yang muncrat keluar dari guci itu tanpa dapat dicegah lagi telah menyiram muka dan dadanya!
Karena kulit mukanya putih dilaburi bedak tebal, maka kini muka itu tersiram air hitam menjadi hitam pula seluruhnya, seperti muka setan dapur! Sui Lan yang berwatak jenaka, ketika melihat hal ini, tak dapat dicegah lagi tertawa terkekeh-kekeh saking geli hatinya.
Keadaan menjadi ribut dan para pengunjung menjadi panik dan juga marah kepad dua orang gadis yang mengacaukan dan berani menghina Pouw-sat yang mereka puja. Akan tetapi, rasa takut lebih menguasai hati mereka sehingga mereka berlari keluar dari kelenteng.
Ang-hoa Pouw-sat merasa marah sekali sehingga ia melompat berdiri dan mencabut pedang yang dibawa oleh pengiringnya, kemudian ia berseru garang kepada Ang-hoa Sianjin, “Tangkap mereka ini!”
Sui Lan dan Hwe Lan juga telah melompat berdiri dan kini mereka membalikkan tubuh menghadapi Ang-hoa Sianjin, pendeta gemuk pendek yang mereka duga memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Ternyata bahwa pendeta gemuk pendek itu telah berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangannya memegang sebuah benda yang aneh.
Benda ini merupakan sebuah cermin bulat terbuat dari perak, seperti piring perak yang berkilauan cahayanya sehingga menyilaukan mata karena pantulan sinar matahari sengaja ditujukan ke arah muka kedua orang gadis itu. Yang amat menarik perhatian Hwe Lan dan Sui Lan adalah semacam lonceng yang tergantung di bawah piring perak itu dan yang bergerak-gerak ke kanan kiri tasa hentinya dan mengeluarkan suara tik-tak-tik-tak!
Tak terasa pula kedua orang dara ini memperhatikan benda yang bergerak ini. Sebagaimana kebiasaan para ahli silat apabila menghadapi lawan, yang menarik mereka adalah pergerakan-pergerakan karena dari pergerakan inilah munculnya serangan-serangan. Tubuh pendeta itu tidak bergerak sama sekali, dan benda satu-satunya yang bergerak adalah gantungan di bawah piring perak yang menyilaukan sinarnya itu, maka otomatis mata Hwe Lan dan Sui Lan tertuju kepada benda yang bergerak ini, demikian pula seluruh perhatian mereka.
Dan inilah kesalahan mereka. Begitu mereka mengikuti pergerakan benda itu dengan kedua mata, tiba-tiba mereka merasa mata mereka pedas dan kepala pening dan mereka tak kuasa lagi mengalihkan pandang mata dari benda itu. Perlahan akan tetapi jelas dan amat berpengaruh, terdengar suara pendeta gemuk itu,
“Kalian merasa mengantuk! Nah, nah... kalian tak kuat lagi menahan, matamu ingin dimeramkan. Tidurlah, tidurlah... tidurlah!”
Aneh sekali, Hwe Lan dan Sui Lan lalu memeramkan mata dalam keadaan berdiri dan mereka tertidur sambil berdiri! Inilah hoat-sut (ilmu sihir) luar biasa yang dipergunakan oleh pendeta gemuk itu untuk mengalahkan Hwe Lan dan Sui Lan dengan amat mudahnya.
Beberapa orang pengunjung yang belum meninggalkan tempat itu, demikian pula yang masih berdiri di luar pekarangan kelenteng itu, melihat betapa kedua orang gadis yang tadinya membikin kacau itu kini berdiri bagaikan patung dalam keadaan tidur!
“Nah, mereka terkena kutuk oleh Pouw-sat!” kata seseorang.
“Mana mereka dapat melawan Pouw-sat yang suci dan sakti itu,” kata pula orang lain.
“Baru menghadapi Ang-hoa Sianjin saja mereka tak berdaya, apalagi kalau menghadapi Ang-hoa Pouw-sat. Manusia biasa mana bisa melawan seorang bidadari dari kahyangan!”
Sementara itu sambil menyeringai puas karena kemenangannya, pendeta gemuk itu lalu memerintah lagi dengan suara berpengaruh, “Kalian berlututlah!”
Dan Hwe Lan bersama adiknya tanpa dapat menguasai pikiran sendiri, lalu menjatuhkan diri berlutut dalam keadaan tak sadar seperti orang tidur pulas.
Siapakah sebenarnya Ang-hoa Pouw-sat yang amat berpengaruh itu? Apakah benar-benar dia seorang dewi dari kahyangan yang turun ke dunia unutk mencuci dosa manusia? Ah, mana ada kejadian seperti itu! Kasihan orang-orang bodoh yang terpengaruh oleh takhyul bohong semata itu dan yang tanpa disadari telah membiarkan diri tertipu oleh wanita ini.
Sebenarnya dia ini bukan lain adalah Ang-hoa Mo-li (Iblis Perempuan Bunga Merah), yakni isteri dari Ang-hoa Sin-mo yang dulu menjadi perampok di dekat rawa dan yang telah dikalahkan oleh Siang Lan dan Kui Hong An. Sebagaimana telah dituturkan di bagian sebelumnya, setelah terkena thi-lian-ci yang dilepas oleh Siang Lan dan terluka di bagian tangannya, iblis wanita ini melarikan diri, meninggalkan suaminya yang berada dalam bahaya!
Dengan hati menaruh dendam tehadap Siang Lan dan Hong An, wanita ini merantau dan akhirnya bertemulah dia dengan pendeta gemuk pendek yang kemudian berjulukan Ang-hoa Sianjin itu! Dasar Ang-hoa Mo-li memang sudah bejat moralnya, dan dalam usia hampir enam puluh tahun masih nampak cantik.
Maka pertemuannya dengan pendeta gemuk pendek ini tentu saja tidak dilewatkan begitu saja, karena pendeta itupun terkenal sebagai seorang pendeta cabul yang jahat, akan tetapi yang memiliki ilmu hoat-sut yang lihai serta ilmu silat yang tinggi pula.
Mereka mengadakan hubungan dan akhirnya, kedua orang ini lalu mempergunakan ilmu kepandaiannya unutk mengusir dan menakut-nakuti para hwesio di kelenteng yang kini menjadi sarang mereka itu sehingga para hwesio pergi menyerahkan tempat itu kepada mereka. Dan semenjak itu mulailah kedua orang jahat ini menjalankan tipu muslihatnya untuk mencari uang dengan mudah.
Ang-hoa Mo-li menyamar sebagai dewi kahyangan dengan bergelar Ang-hoa Pouw-sat, sedangkan pendeta itu lalu mengangkat diri sendiri menjadi Ang-hao Sianjin. Berkat kepandaian pendeta itu yang lihai ilmu sihirnya, mereka berhasil menipu rakyat yang pada masa itu masih amat bodoh dan mudah terpengaruh oleh segala ketakhyulan, tidak saja menipu uang mereka.
Bahkan dalam tipu muslihatnya ini, Ang-hoa Sianjin mendapat kesempatan pula untuk mengganggu anak bini orang sebagaimana terbukti dengan adanya banyak gadis yang suka menjadi murid Ang-hoa Pouw-sat, padahal mereka itu dalam keadaan “tak sadar” atau berada dalam pengaruh sihir Ang-hoa Sianjin!
Seperti juga orang-orang lain yang pernah bertemu dengan Siang Lan, ketika Ang-hoa Mo-li melihat Hwe Lan, ia salah melihat dan menyangka bahwa Hwe Lan adalah gadis yang dulu di tepi rawa telah melukainya, maka tanpa dapat menahan nafsu marahnya, ia lalu menyerang.
Kalau menurutkan kehendak hatinya, ingin sekali Ang-hoa Mo-li segera menurunkan tangan jahat dan membunuh gadis yang disangka Siang Lan itu, akan tetapi karena pada waktu itu di situ banyak orang menyaksikan, tentu saja ia mengingat akan kedudukannya sebagai dewi dan terpaksa menahan nafsunya.
Sementara itu, Ang-hoa Sianjin berpikir lain. Pendeta gemuk pendek ini semenjak tadi telah tergila-gila melihat kecantikan kedua kakak beradik ini, maka setelah ia berhasil mempengaruhi mereka, ia lalu berkata kepada semua orang yang berada di situ dengan suaranya yang garang,
“Anak-anakku sekalian! Baru saja ada iblis-iblis yang mengotori tubuh kedua gadis ini sehingga hendak mengacau dan menghina Pouw-sat. Akan tetapi berkat kemuliaan Pouw-sat, kedua iblis itu dapat diusir dari tubuh mereka dan kini kedua gadis ini untuk menebus dosa dan membersihkan diri akan diterima menjadi murid!”
Semua orang menarik napas panjang dan diam-diam memuji kemuliaan hati Ang-hoa Pouw-sat itu. Sementara itu, Ang-hoa Mo-li sudah maklum akan kehendak pendeta gemuk itu akan tetapi ia tidak peduli, karena hal itu juga merupakan pembalasan dendam. Ia hanya berkata,
“Ikat keduanya!” dua orang penjaga yang berjubah merah lalu menggunakan tambang unutk mengikat tangan kedua orang gadis itu ke belakang. Lalu Ang-hoa Pouw-sat hendak mengundurkan diri untuk mencuci mukanya.
Akan tetapi pada saat itu, di luar kelenteng terjadi ribut-ribut ketika seorang pemuda mendorong orang-orang ke kanan kiri untuk minta jalan, lalu berlari masuk dan menghadapi Ang-hoa Pouw-sat sambil memandang marah. Tangan kiri pemuda itu membawa sebuah tempayan berisi darah, sedangkan tangan kanannya memegang pedang.
“Kau... Kui Hong An?” seru Ang-hoa Mo-li ketika melihat pemuda tampan ini.
Memang benar, pemuda itu adalah Kui Hong Ang, murid Kun-lun-pai yang gagah perkasa itu, yang dulu pernah bersama Siang Lan mengalahkan suami isteri Ang-hoa Siang-mo, bahkan Hong An berhasil membunuh Ang-hoa Sin-mo, musuh ayahnya. Semenjak tadi, Hong An telah melihat peristiwa itu karena kebetulan sekali iapun berada di kota itu dan ikut pula menonton.
Ketika melihat Hwe Lan, Hong An juga mengira bahwa gadis itu adalah gadis yang dulu bersama dia melawan barisan Ang-hoa-tin dari suami isteri Ang-hoa Siang-mo di tepi rawa, maka ia telah bersiap hendak membantu. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ia melihat betapa dengan ilmu sihirnya yang luar biasa, Ang-hoa Sianjin telah berhasil menawan kedua orang gadis itu.
Ia maklum bahwa ia sendiripun tak dapat melawan ilmu sihir itu, maka Hong An diam-diam lalu pergi dari tempat itu untuk mencari senjata ampuh guna melawan ilmu sihir Ang-hoa Sianjin. Dan kebetulan sekali ia melihat senjata ampuh itu sedang makan tulang di luar kelenteng, yakni seekor anjing hitam!
Telah menjadi kepercayaan umum di masa itu bahwa segala ilmu hitam dan jahat, paling takut kepada darah anjing hitam yang dianggap mempunyai darah pengaruh mengusir tenaga ilmu hitam itu. Tanpa ragu-ragu lagi Hong An mengerjakan pedangnya, setelah lebih dulu menyediakan tempayan untuk tempat darah.
Sekali saja pedangnya berkelebat, leher anjing hitam itu telah terbabat putus dan darah yang mengalir keluar dari leher itu cepat ditadahinya di atas tempayan. Kemudian dengan senjata ampuh ini, Hong An menyerbu ke dalam kelenteng!
Ketika Ang-hoa Mo-li melihat kedatangan pemuda ini, ia segera berseru kepada Ang-hoa Sianjin, “Tangkap pemuda jahat ini!”
Ang-hoa Sianjin tertawa geram dan ketika Hong An membalikkan tubuhnya, pendeta itu telah siap dengan piring peraknya yang dapat digunakan untuk melumpuhkan semangat orang. Akan tetapi Hong An telah maklum akan kelihaian piring ini dan sama sekali tidak mau memandangnya. Sebaliknya ia memandang ke arah kaki pendeta itu, tidak mau bertemu pandang mata dan tiba-tiba ia melompat maju sambil berseru,
“Pendeta siluman! Makanlah darah anjing hitam ini!” tempayan berisi darah anjing hitam itu dengan cepatnya dilemparkan ke arah muka pendeta itu sedangkan pedangnya membarengi gerakan ini menusuk ke arah dada!
Ang-hoa Sianjin sama sekali tidak menyangka akan serbuan lawan ini. Biarpun ilmu sihirnya lihai, akan tetapi mendengar sebutan darah anjing hitam ini, ia tertegun juga dan semangatnya tak dapat terkumpul. Dalam hal ilmu silat kepandaiannya tidak sangat tinggi, dan ia dipercayai penuh oleh Ang-hoa Mo-li hanya karena memiliki ilmu sihir.
Melihat sambaran tempayan, ia mencoba berkelit, akan tetapi darah anjing yang memercik keluar masih tepat mengenai muka dan hidungnya sehingga ia mencium bau yang amat amis dan menimbulkan muak. Dan pada saat itu, pedang Hong An telah tiba di dekat dadanya. Ang-hoa Sianjin hendak mengelak sambil membuang diri ke kiri.
Akan tetapi Hong An telah mendahuluinya dengan susulan tendangan kaki yang membuat tubuhnya yang gemuk dan bundar itu bergulingan bagaikan seekor trenggiling! Malang baginya, tubuhnya mengguling sampai ke dinding dan kepalanya terbentur dinding yang keras. “Duk!” ia terkulai tak berdaya dalam keadaan pingsan sedangkan di kepalanya lalu keluar “tanduk” di bagian yang tertumbuk dengan dinding tadi. Kasihan...!
Sementara itu, Ang-hoa Mo-li yang melihat kekalahan Ang-hoa Sianjin, segera memberi perintah dan semua penjaga yang berpakaian merah dan jumlahnya belasan orang itu segera maju mengurung Hong An dengan senjata golok atau pedang. Ang-hoa Mo-li sendiri lalu mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan memimpin anak buahnya melakukan pengeroyokan. Maka terjadilah pertempuran yang seru! Hong An dikeroyok oleh para pendeta Ang-hoa-kauw itu.
Adapun Hwe Lan dan Sui Lan yang tadinya berada dalam keadaan tak sadar dan dalam pengaruh ilmu sihir Ang-hoa Sianjin, setelah pendeta itu jatuh pingsan di dekat dinding tanpa daya lagi, kedua dara ini lalu tersadar dan terlepas dari pengaruh sihir yang membuat mereka seakan-akan tidur. Alangkah heran dan terkejut hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa kedua tangan mereka terikat tambang.
Bagaikan mendapat komando, keduanya lalu mengerahkan tenaga dan “krek! Krek!” putuslah tambang biasa yang mengikat pergelangan tangan mereka! Mereka otomatis meraba pedang dan merasa girang bahwa pedang mereka tidak dirampas. Sekali mereka menarik tangan, pedang telah berada di tangan dan mata kedua orang dara ini memancarkan cahaya kemarahan yang tak dapat dipadamkan lagi!
Mereka melihat betapa Ang-hoa Pouw-sat, dewi yang berbedak tebal itu, sedang mengeroyok seorang pemuda gagah dan betapa Ang-hoa Sianjin rebah pingsan di dekat dinding, maka mereka dapat menduga bahwa mereka tentu tertolong oleh pemuda gagah itu.
“Dewi palsu! Mari kuantar kau pergi ke neraka!” teriak Hwe Lan yang segera menyerang dengan pedangnya.
Begitu gerakan pedang Hwe Lan yang cepat dan ganas itu tiba, dua orang pengeroyok telah kehilangan goloknya yang terpental ketika merasa tangan mereka perih karena terkena sambaran sinar pedang Hwe Lan. Para pengeroyok merasa terkejut sekali, juga Ang-hoa Mo-li merasa terkejut dan ngeri karena dulu pernah ia menyaksikan kelihaian gadis ini yang disangkanya Siang Lan.
Hong An memandang ke arah Hwe Lan dengan senyum girang dan berkata sambil mengerjakan pedangnya, “Nona, akhirnya kita bertemu pula!”
Hwe Lan terheran-heran mendengar kata-kata Hong An itu, akan tetapi ia tidak peduli dan terus mengamuk hebat. Sedangkan Sui Lan yang tahu bahwa encinya sudah cukup gagah untuk membasmi pendeta-pendeta palsu itu, lalu berpesta pora dengan pedang dan kakinya. Ia menendang roboh meja, menggunakan pedangnya untuk merusak semua benda yang terdapat di ruang itu.
Dan ketika ia melihat betapa pendeta gemuk pendek itu mulai bergerak, sekali ia melompat, tubuhnya telah berasa di dekat tubuh Ang-hoa Sianjin yang masih rebah miring. Ang-hoa Sianjin sedang berusaha hendak bangun, tiba-tiba sebuah tendangan kaki Sui Lan mampir di lehernya dan “ngek!” pendeta cabul yang durhaka itu rebah lagi telungkup dan tak dapat bergerak!
Ang-hoa Mo-li yang melihat betapa anak buahnya telah empat orang mengundurkan diri dan terluka, makin merasa gentar dan tiba-tiba ia melompat keluar dari kalangan pertempuran dan hendak melarikan diri ke dalam kelenteng. Akan tetapi tangan kiri Hwe Lan bergerak dan tiga butir thi-lian-ci meluncur cepat dan ketiga-tiganya tepat mengenai sasaran, sebuah mengenai belakang leher, kedua mengenai punggung dan ketiga mengenai belakang lutut! Tanpa dapat dicegah lagi tubuh “Dewi Kahyangan” itu terguling sambil mengeluarkan jeritan ngeri!
Pada saat itu, dari luar menyerbulah para penonton mengiringkan sepasukan penjaga kota. Ternyata bahwa para penonton telah memberi laporan kepada yang berwajib bahwa kelenteng Ang-hoa-kauw telah kedatangan penjahat-penjahat dan pembesar-pembesar setempat yang juga telah berada di bawah pengaruh kelenteng itu, segera mengirim tentara untuk menangkap!
Melihat hal ini, Hong An lalu melompat ke atas panggung tempat Ang-hoa Mo-li biasanya duduk bersila dan ia berkata dengan suara nyaring, “Cu-wi sekalian dengarlah keteranganku! Kalian telah ditipu oleh penjahat-penjahat yang menyamar sebagai pendeta ini! Ketahuilah bahwa orang yang kalian anggap sebagai Ang-hoa Pouw-sat itu bukan lain adalah seorang kepala perampok wanita berjuluk Ang-hoa Mo-li (Iblis Perempuan Bunga Merah) yang dibantu oleh seorang penjahat ahli hoat-sut (ilmu sihir) yang mengaku bernama Ang-hoa Sianjin!
"Pencucian dosa hanya tipu muslihat belaka. Kalian tidak percaya? Carilah kembang merah yang masih tersisa dan periksalah di dalamnya, kalian akan mendapatkan bahwa di dalam kembang-kembang itu terdapat obat yang dapat membuat air menjadi hitam. Kalian telah ditipu tanpa sadar! Kegaiban mereka hanyalah palsu belaka dan buktinya, kalau memang mereka itu gaib dan sakti, mengapa kini roboh oleh kami orang-orang biasa? Sekarang terserah kepada cu-wi unutk melakukan pemeriksaan sendiri!”
Setelah berkata demikian, Hong An melompat turun di depan Hwe Lan dan berkata, “Nona, lebih baik kita pergi dari sini, biarlah penduduk kota ini yang memberi keputusan dan hukuman sendiri!”
Hwe Lan memandang kagum dan mengangguk. Ia lalu menggandeng tangan Sui Lan dan menyusul pemuda itu yang telah melompat dan pergi dengan cepat dari tempat itu. Hwe Lan mengambil buntalan yang tadi dikaitkan di pohon. Kedua orang dara itu melompat naik ke atas kuda yang cukup kuat unutk membawa dua tubuh gadis yang ringan itu.
Para penduduk kota itu ketika mendengar ucapan Hong An, menjadi terkejut sekali dan merasa ragu-ragu, demikianpun para anggauta pasukan penjaga kota. Akan tetapi ketika mereka melihat Ang-hoa Sianjin yang dianggapnya kebal dan sakti itu telah rebah tak berkutik lagi.
Sedangkan Ang-hoa Pouw-sat yang dianggapnya dewi dari kahyangan yang menjelma di atas bumi itu kini telah rebah terluka dalam keadaan pingsan, mereka menjadi tertarik dan mulai merasa curiga. Seorang di antara mereka menuju ke tempat penjualan “bunga pencuci dosa” dan ketika ia mengambil setangkai bunga merah dan memeriksanya dengan teliti, ia berseru,
“Benar! Di dalamnya ada beberapa butir bahan warna hitam yang biasanya untuk mewarnai benang sulam! Celaka! Benar-benar kita telah tertipu!”
Maka berbondong-bondonglah mereka memasuki kelenteng itu dan mengadakan pemeriksaan, dan hasilnya membuat mereka menjadi marah sekali. di dalam kelenteng itu terdapat sebuah kamar yang amat indah dan mewah, yakni kamar Ang-hoa Mo-li dan pendeta gemuk itu, karena di dalam kamar itu ditemukan pakaian mereka. Dan selain itu, juga didapatkan banyak sekali uang perak dan emas, hasil yang mereka kumpulkan selama ini!
Maka diseretlah kedua orang penipu itu oleh rakyat dan dibawa ke kantor pengadilan. Keadaan mereka telah payah dan biarpun belum mati, akan tetapi mereka tak berdaya lagi. Demikianlah, nasib dua orang jahat yang menipu rakyat secara licin.
Ketika Hwe Lan dan Sui Lan tiba di luar kota, ternyata Hong An telah menanti mereka di tempat teduh. Hwe Lan dan Sui Lan melompat turun dari kuda dan memberi hormat kepada pemuda yang tampan dan gagah itu.
“Baiknya saudara datang menolong, kalau tidak, entah bagaimana nasih kami enci dan adik,” kata Hwe Lan. “Maka sudah sepatutnya kalau kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan saudara yang gagah perkasa.”
Hong An tersenyum dan merasa geli karena melihat betapa besar perubahan yang terjadi dengan gadis ini. “Ah, nona, kita yang sudah menjadi sahabat, perlu apakah harus bersungkan-sungkan lagi? Tanpa disangka-sangka dapat bertemu dengan nona di kota itu, sungguh-sungguh merupakan karunia besar dari Tuhan! Bukankah itu suatu tanda bahwa kita berjodoh untuk... untuk berkawan?”
Ucapan pemuda ini membuat Hwe Lan merasa heran sekali, akan tetapi Sui Lan yang jahil dan nakal itu menahan senyumnya. “Eh, eh, kiranya kalian sudah menjadi sahabat kental! Enci, kau sama sekali belum menceritakan padaku tentang... dia ini!”
“Hush, tutup mulutmu, Sui Lan!” seru Hwe Lan dan Sui Lan menyembunyikan senyumnya di balik tangannya. “Sesungguhnya, aku merasa belum pernah berjumpa dengan saudara, bolehkah kami mengetahui nama saudara?” tanya Hwe Lan pula sambil memandang tajam karena melihat sikap pmeuda yang seakan-akan mengenalnya ini, ia merasa curiga dan berlaku hati-hati.
Kembali pemuda itu tersenyum, akan tetapi senyumnya membayangkan kekecewaan hati. “Ah, nasib!” katanya. “Namaku memang tak berharga untuk diingat orang. Biarlah, kalau memang lupa, namaku adalah Kui Hong An, dan aku anak murid Kun-lun-pai. Bolehkan sekarang aku mengetahui nama nona berdua?”
Tiba-tiba terdengar Sui Lan mentertawakan. “Ha, akal bulus ini kelihatan sekarang! Enci, Hwe Lan, orang ini terang membohong! Kalau ia sudah pernah kenal padamu mengapa tidak mengetahui siapa adanya namamu? He, sobat, jangan kau main-main dengan kami! Pemuda-pemuda ceriwis macam kau ini sudah banyak kulihat!”
Hong An tertegun, karena memang dulu ketika ia bertemu dengan Siang Lan, gadis itu tidak mau memberitahukan namanya. Akan tetapi, Hong An memang beradat sabar, maka ia hanya tersenyum mendengar serangan Sui Lan ini, katanya.
“Sudahlah, tidak mau memberi tahu namapun tidak apa karena aku sekarang sudah tahu. Kau bernama Hwe Lan dan adikmu ini bernama Sui Lan!”
Sui Lan cemberut dan merasa telah kena diakali. “Hm, kau mendengar enciku menyebut namaku, dan aku menyebut nama enciku! Bagus, sungguh akal bulus seorang pemuda ceriwis!”
“Sui Lan, jangan berlaku kasar! Betapapun juga, ia telah menolong kita!” kata Hwe Lan.
“Menolong? Siapa tahu, mungkin pertolongan itupun termasuk rencananya untuk memikat kita! Mari kita pergi, jangan ladeni segala macam pemuda seperit dia ini!” kata Sui Lan pula yang segera melompat ke atas kuda.
Terpaksa Hwe Lan juga melompat ke belakang adiknya di punggung kuda, akan tetapi ia masih memandang kepada Hong An dan berkata, “Sahabat, biarlah kita berpisah di sini, karena di antara kita tidak ada hubungan sesuatu. Sekali lagi terima kasih!”
“Eh, nona. Tunggu dulu,” teriak Hong An. “Aku bukan seorang pemuda ceriwis dan aku benar-benar inigin sekali berkenalan dengan nona yang kukagumi!”
Akan tetapi Sui Lan yang duduk di depan telah mencambuk kudanya dan kuda itu berlari cepat pergi dari situ. Hong An berdiri bengong dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Benar-benar gadis yang aneh. Dulu bertemu tidak mau memberitahukan nama, sekarang bertemu kembali bersama adiknya, bahkan telah menganggapku seperti seorang pemuda kurang ajar dan ceriwis!
Ia heran melihat perbedaan sikap antara gadis yang tadi dengan yang dulu ia jumpai di dekat rawa. Yang dulu biarpun tidak memberitahukan nama, akan tetapi berwatak sabar dan halus, akan tetapi kedua orang gadis tadi demikian galak dan ketus!
Namun, pertemuan kedua kalinya ini membuat hatinya yang telah tertarik kepada wajah Siang Lan, menjadi makin dalam tenggelam ke dalam lautan asmara. Ia mencintai gadis itu, gadis yang selama ini tak pernah ia lupakan. Maka ia lalu menggerakkan kakinya dan menyusul kuda itu!
Berhari-hari Kui Hong An mengikuti perjalanan dua orang gadis itu dan akhirnya tibalah mereka di kota Siang-kan-bun! Agar jalannya cerita lebih jelas, lebih baik kita berkenalan dulu dengan Lee Song Kang atau Lee-busu yang berjuluk Sin-to (Golok Sakti) dan yang terkenal menjadi ahli panah itu.
Lee Song Kang semenjak beberapa keturunan telah menjabat pangkat militer di kota raja, bahkan ayahnya dulu menjadi panglima besar yang telah banyak jasanya dalam memerangai pemberontak-pemberontak Tar-tar. Sebagaimana telah menjadi watak keturunan militer, Lee Song Kang selain gagah perkasa, juga beradat keras dan setia.
Di dalam pengabdiannya terhadap kerajaan, ia telah menyerahkan seluruh jiwa raganya untuk bersetia, membela Kaisar yang dijunjungnya. Siapa saja yang melawan Kaisar atau dianggap musuh Kaisar, atau yang oleh Kaisar telah ditetapkan hukumannya, tentu merupakan musuh pula.
Sebagai seorang perajurit yang baik, Lee-busu tak pernah mau tahu sebab-sebab pertempuran atau peperangann, tidak peduli mengapa terbit pertempuran-pertempuran dan mengapa pula timbul pemberontakan terhadap Kaisar. Yang diketahuinya bahwa ia harus maju perang membasmi orang-orang yang dianggap melawan Kaisar.
Dan bahwa ia harus mengerahkan seluaruh kepandaiannya dan tenaganya untuk berbakti kepada Kaisar sampai titik darah penghabisan, kalau perlu dengan korban nyawa! Oleh karena inilah, maka ia merupakan seorang panglima yang amat berpengaruh dan disegani.
Para pembesar dan perwira yang berhati bengkok, yang tidak mendasarkan perjuangan mereka kepada kesetiaan, akan tetapi lebih mendasarkan kepada kedudukan tinggi dan keuntungan pribadi, tidak berani “main-main” terhadap Lee Song Kang yang jujur dan keras hati.
Ketika Kaisar mengumumkan bahwa Siauw-lim-pai harus ditindas dan dibasmi, sehingga terjadi pembakaran kelenteng Siauw-lim-si dan terbunuhnya banyak sekali anak murid Siauw-lim-pai, Lee Song Kang juga menjalankan peran terutama untuk melakukan pembasmian ini. Ia hanya kenal perintah Kaisar dan setiap perintah dari Kaisar merupakan tujuan hidup satu-satunya bagi perwira gagah perkasa ini.
Demikianlah, dengan memimpin anak buahnya yang telah dilatih sehingga pasukan di bawah pimpinana Lee-busu merupakan pasukan istimewa, bahkan telah dianggap sebagai pasukan Gi-lim-kun (Pasukan Pengawal Pribadi Dari Kaisar), Lee Song Kang berhasil membikin para sisa anak murid Siauw-lim-pai menjadi kocar-kacir dan lari cerai-berai.
Tak dapat diherankan lagi bahwa anak murid Siauw-lim-pai yang masih ada merasa amat sakit hati terhadap Lee Song Kang, akan tetapi perwira she Lee ini terlampau kuat dan memiliki pasukan yang pilihan. Akan tetapi datang juga pembalasan dendam dari pihak Siauw-lim-pai, tiga orang puterinya diculik oleh Nyo Hun Tiong dalam keributan ketika Nyo Hun Tiong memimpin kawan-kawannya menyerbu ke kota raja.
Sebagaimana telah diceritakan di bagian terdepan dari cerita ini, Lee Song Kang berhasil melukai Nyo Hun Tiong dengan anak panahnya yang akhirnya menewaskan nyawa pemberontak itu, akan tetapi tak berhasil mendapatkan kembali ketiga orang puterinya.
Semenjak kehilangan tiga orang puterinya sekaligus Lee Song Kang menjadi seorang yang paling tidak bahagia hidupnya. Isterinya, seorang wanita bangsawan pula, bagaikan gila karena penderitaan ini dan jarang sekali ia mau membuka mulut. Tiap kali ia bicara dari mulutnya hanyalah sesal dan kemarahan,
“Kaulah yang berdosa besar, akan tetapi anak-anak kita yang menebusnya!” isterinya pernah berkata sambil memandang dengan muka pucat, akan tetapi tak dapat mengeluarkan air mata karena air matanya telah menjadi kering ditangiskan terus menerus semenjak hilangnya ketiga anaknya, sekering tubuhnya yang kini menjadi amat kurus itu,
“Dalam kedudukanmu sebagai panglima, kau telah menanam bibit permusuhan yang luar biasa besarnya. Kita hidup seakan-akan dikelilingi oleh bahaya-bahaya yang mengancam dari setiap penjuru, dibenci oleh orang-orang, baik mereka itu pemberontak atau penjahat. Sudah semenjak dulu aku tidak suka melihat kedudukanmu ini.
Mengapa kau tidak berhenti saja menjadi pembunuh orang, dan hidup dengan aman sebagai pegawai sipil atau sebagai petani? Bahkan aku lebih suka melihat kau menjadi pedagang dari pada menadi pembunuh dan algojo, sungguhpun yang kau bunuh adalah orang-orang jahat belaka!”
Lee Song Kang menarik naas panjang. Perlu apakah ia bicara dan membela diri? Isterinya takkan mengerti. Wanita takkan mudah mengerti tentang tugas dan kesetiaan, wanita terlalu mudah dipengaruhi perasaan, baik perasaan gembira maupun sedih. Maka perwira yang gagah itu setiap hari hanya duduk melamun dengan pikiran kusut.
Semangatnya telah banyak berkurang, dan ia menjadi tidak peduli lagi. Kesedihan kehilangan tiga orang anaknya membuat ia menjadi beku di dalam hati, sungguhpun kesetiaannya terhadap Kaisar takkan lenyap.
Akhirnya, karena kasihan melihat isterinya yang tercinta, ia minta dipindahkan jauh dari kota raja, ke kota Siang-kan-bun di Propinsi Kiang-si, di mana ia menjabat pangkat sebagai komandan barisan penjaga keamanan dan penjaga tapal batas Propinsi Kiang-si. Di sini, karena jauh dari Kaisar, ia merasa lebih tenteram hidupnya, tidak seperti kalau dekat Kaisar ia selalu mendapat tugas membasmi orang-orang yang dimusuhi atau dicurigai.
Akhirnya, bukan karena sengaja, terpaksa ia menurunkan tangan maut pula kepada seorang tokoh Siauw-lim-si, yakni Yap Sian Houw, setelah untuk bertahun-tahun ia beristirahat. Sebagaimana diketahui di bagian depan, kebetulan sekali ia berada dalam rombongan perwira dan bertemu dengan Yap Sian Houw yang mengamuk sehingga akhirnya pendekar she Yap ini terpaksa mengakui kelihaian anak panah dari Lee Song Kang.
Selama itu, karena belum mendapat bukti tentang tewasnya ketiga orang puterinya, Lee Song Kang tiada bosannya berikhtiar mencari jejak mereka. Bahkan iapun mencari jejak Nyo Hun Tiong, ia akan dapat menemukan ketiga orang puterinya pula. Bahkan ia lalu mengumumkan bahwa siapa saja yang dapat menemukan Nyo Hun Tiong, mati atau hidup, ia akan memberi hadiah besar.
Dan setelah mencari-cari dan menanti-nanti dengan sia-sia selama bertahun-tahun, akhirnya, beberapa hari yang lalu berhasil juga usahanya menemukan Nyo Hun Tiong! Akan tetapi, penemuan ini hanya mendatangkan kekecewaan, kecemasan, bahkan kerugian karena ia harus mengeluarkan banyak uang untuk memberi hadiah kepada mereka yang menemukan Nyo Hun Tiong...