Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 09

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 09 (Tamat)
Sonny Ogawa

Tiga Dara Pendekar Siauwlim Jilid 09 karya Kho Ping Hoo - Ternyata bahwa yang didapatkan hanyalah rangka dari pemberontak she Nyo itu di dalam sebuah hutan, tak kurang tak lebih! Dengan penemuan ini, ia mendapat bukti bahwa nyo Hun Tion sudah mati.

Tiga Dara Pendekar Siauwlim karya Kho Ping Hoo

Dan hal ini mempersulit usahanya mencari keterangan perihal anak-anaknya, karena orang satu-satunya yang bertanggung jawab dan yang kiranya akan dapat ditanya di mana adanya ketiga orang anaknya, kini telah menjadi tulang belulang!

Dan setelah melihat tulang-tulang dari mendiang Nyo Hun Tiong itu, timbullah penyesalan besar di dalam hati Lee Song Kang. Ia menganggap bahwa pembalasan dendam Nyo Hun Tiong itu terlalu berat baginya dan ia mulai merasa menyesal mengapa ia dulu begitu kejam untuk membunuh para pemberotak yang merasa tidak puas dengan ketidak adilan Kaisar!

Setelah pindah jauh dari kota raja, barulah terbuka mata Lee Song Kang bahwa sesungguhnya sistim pemerintahan di bawah pimpinan Kaisar yang sekarang itu aamt buruknya dan amat menindas rakyat! Ia mulai menyesal sekali mendapat kenyataan bahwa orang yang dibelanya, yang dihormatinya, yang dijunjungnya tinggi, ternyata adalah seorang Kaisar yang kurang adil dan kurang bijaksana.

Namun, ini tidak berarti bahwa kesetiaannya terhadap Kaisar menjadi cair! Tidak! Sebagai seorang keturunan militer sejati, Lee Song Kang tetap setia kepada Kaisar, hanya semangat dan kebenciannya terhadap para pemberontak banyak berkurang bahkan hampir padam sama sekali!

Bahkan ia lalu menyuruh membakar rangka Nyo Hun Tiong dengan sepatutnya, dan menyimpan abu bekas musuhnya ini, disediakan meja sebahyang dan sering kali ia bersembahyang minta maaf kepada arwah Nyo Hun Tiong dan minta diberi tanda di mana adanya ketiga orang anaknya sekarang!

Malam hari itu terang bulan, dan semenjak sore hari kedua suami isteri Lee itu bercakap-cakap di ruang di mana terdapat meja sembahyang dari abu mendiang Nyo Hun Tiong. “Aku masih mempunyai keyakinan penuh bahwa ketiga anak kita masih hidup,” kata Lee Song Kang.

“Suamiku,” jawab isterinya dengan suara sedih, “lebih baik jangan diulangi hal itu. Berkali-kali kau menyatakan demikian, tak lain hanya sebagai penghibur hampa belaka. Mana buktinya bahwa anak-anak kita masih hidup?”

Lee Song Kang menunjuk ke arah meja abu Nyo Hun Tiong dan berkata, “Kuburan orang she Nyo itu telah didapatkan dan kalau anak-anak kita telah mati pula tentu rangka mereka diketemukan di dekat rangkanya, karena ketika aku berpisah dengan dia, ketiga anak kita berada bersama dia! Tentu ada orang yang telah memungut dan menolong anak-anak kita itu, akan tetapi entah di mana mereka berada. Telah kukerahkan anak buahku untuk mencari keterangan di sekitar tempat itu, akan tetapi tak seorangpun pernah melihat atau mendengar tentang mereka.” Perwira itu menarik napas panjang dan nampak sedih sekali.

“Satu-satunya orang yang akan dapat memberi keterangan telah menjadi rangka, dan kematiannya karena senjatamu pula...! Ah, kalau saja kau tidak bermusuhan dengan dia...!” Nyonya Lee kembali mengulangi penyesalannya.

Lee Song Kang tidak menjawab, hanya berdiri dengan lemas dan menuju ke meja sembahyang itu, menyalakan lilin lalu bersembahyang lama sekali, seakan-akan mengajukan permohonan kepada arwah Nyo Hun Tiong.

Pada saat itu, Nyonya Lee yang sedang duduk melamun, tiba-tiba melihat dua bayangan orang yang gesit sekali gerakannya melompat turun dari atas genteng dan tahu-tahu dua orang gadis muda yang cantik jelita berdiri di ruang itu sambil menujukan pandang mata mereka ke arah Lee Song Kang dengan penuh kebencian.

Nyonya Lee menjerit karena kaget dan takut, sedangkan Lee Song Kang sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, telah mendengar pula suara kaki mereka ketika turun, dan cepat melompat ke dekat isterinya untuk melindunginya.

“Siapa kalian dan apa kehendak kalian datang pada waktu seperti ini?” tanyanya sambil memandang tajam, sedangkan Nyonya Lee memandang dengan muka pucat.

Dua orang gadis ini bukan lain adalah Hwe Lan dan Sui Lan yang akhirnya dapat mencari rumah gedung Lee Song Kang musuh besar mereka. Hwe Lan tersenyum sinis ketika ia bertanya, “Apakah kami berhadapan dengan Lee-ciangkun, perwira kerajaan yang berjuluk Sin-to dan yang mempunyai keahlian dalam ilmu memanah?”

“Perwira busuk yang telah membunuh mati Nyo Hun Tiong dan juga Yap Sian Houw?” Sui Lan ikut bertanya sambil memandang tajam, akan tetapi gadis ini beberapa kali memandang ke arah Nyonya Lee yang duduk dengan tubuh menggigil, karena ia merasa seakan-akan pernah melihat nyonya tua ini.

Lee Song Kang yang biasanya berwatak tabah dan berani itu, kini merasa tidak enak hati. “Benar,” jawabnya dengan suara tenang, “Memang akulah yang bernama Lee Song Kang dan berjuluk Sin-to serta dapat mempergunakan anak panah. Tentang Nyo Hun Tiong dan Yap Sian Houw, karena mereka itu pemberontak-pemberontak, maka di dalam pertempuran, mereka telah terluka oleh anak panahku!”

Mendengar jawaban yang tenang ini, tiba-tiba kedua orang gadis itu dengan gerakan hampir berbareng telah mencabut pedang dari punggung masing-masing, dan sikap mereka menjadi beringas karena marah.

“Orang she Lee!” Hwe Lan berseru. “Kalau begitu, benarlah dugaan kami bahwa kau adalah musuh besar kami! Bersiaplah untuk menerima binasa dalam tangan kami, anak murid Siauw-lim-pai!”

Lee Song Kang mengeluh di dalam hatinya. “Ah, masih saja kalian anak murid Siauw-lim-pai mendendam dan memperbesar pemusuhan! Ji-wi siocia (Nona berdua) harap suka bersabar dan mengendalikan kemarahan. Untuk apakah permusuhan ini dilanjutkan? Aku telah mulai merasa bosan dengan permusuhan-permusuhan ini dan telah lama aku merasa menyesal dengan adanya permusuhan yang tiada habisnya ini!

"Sadarlah, nona dan kuharap kalian suka pergi lagi dengan aman. Aku sudah tua dan sudah cukup menderita, tak mau aku menambah dosa lagi dengan bertanding melawan gadis-gadis muda seperti kalian!” suara perwira itu menggetar karena ia merasa amat terharu. Kalau anak-anakku masih hidup, tentu seperti mereka inilah, pikirnya!

“Pengecut!” Hwe Lan memaki marah. “Karena kau takut kepada kami maka kau memutar lidah seperti itu! Mengapa kau tidak berpikir demikian ketika kau membunuh orang-orang Siauw-lim-pai dulu? Dosamu telah bertumpuk, dan kami telah bersumpah untuk membalaskan dendam Nyo Hun Tiong, terutama membalaskan dendam Yap Sian Houw, guru dan ayah angkat kami!” sambil berkata demikian Hwe Lan melompat maju menusuk dada Lee Song Kang dengan gemasnya.

Akan tetapi Lee Song Kang mengelak dan melompat mundur. “Nanti dulu!” katanya dan kini wajahnya berubah keras. “Tak ada orang yang boleh menyebutku pengecut atau menyangka aku tidak berani menghadapi lawan! Akan tetapi, dengarlah dulu, nona muda! Kau hanya murid Yap Sian Houw dan biarpun kalian berdua mempunyai sedikit kepandaian, akan tetapi kalau kalian memaksa aku mengangkat senjata, berarti kalian mencari mati sendiri!

"Aku tidak mau melayanimu bukan karena takut, akan tetapi karena merasa sayang kalau nona-nona muda seperti kalian ini akan menjadi korban pula. Kalau sampai kalian binasa di tanganku, hatiku akan makin merasa menyesal lagi. Kalian masih anak-anak, bagaimana mungkin akan mengalahkan aku? Sedangkan gurumu sendiri, Yap Sian Houw, masih tak dapat mengalahkan aku! Kalian lihat!”

Setelah berkata demikian, Lee Song Kang mengeluarkan gendewanya berikut anak-anak panahnya yang berbentuk kecil itu dari pinggangnya dan begitu tangannya bergerak, tiga batang anak panah dengan cepat sekali meluncur ke atas dan dengan rapi menancap di tiang atas, berjajar dengan baiknya seakan-akan diatur.

Hwe Lan dan Sui Lan diam-diam memuji melihat kepandaian ini, karena cara mempergunakan anak panah itu demikian cepat sampai hampir tak terlihat dan anak-anak panah itu menancap setengahnya lebih. Akan tetapi, tentu saja dua orang pendekar wanita ini tidak akan gentar, bahkan Hwe Lan mengeluarkan suara mengejek lalu berkata,

“Apakah anehnya kepandaian macam itu? Jangan mencoba menakut-nakuti kami!” belum habis ia bicara, tangan kirinya telah bergerak dan tiga butir thi-lian-ci menyambar ke arah anak-anak panah yang menancap di tiang itu.

“Krek, krek, krek!” dan berjatuhanlah potongan-potongan anak panah itu karena ternyata tengah-tengahnya telah putus semua tersambar biji teratai besi itu!

Bukan main kagetnya Lee Song Kang melihat demonstrasi kepandaian Hwe Lan ini. “Ah, tidak tahunya kalian memiliki kepandaian tinggi!”

“Ha-ha, enci, lihat muka pengecut itu. Ia telah menjadi pucat!” Sui Ln mengejek sambil menuding dengan pedangnya.

Panas juga hati Lee Song Kang melihat sikap kedua dara muda itu, maka ia lalu mencabut goloknya dan berkata, “Sekali lagi kuperingatkan, lebih baik kalian jangan menyia-nyiakan kepandaian dan usia mudamu. Pergilah sebelum terlambat, karena betapapun juga, kalian takkan bisa mengalahkan golokku!”

“Bangsat hina dina jangan banyak cakap!” seru Hwe Lan yang segera maju menyerang dengan pedangnya, Sui Lan tidak mau tinggal diam karena hatinyapun penuh dengan dendam, maka iapun maju pula menyerang.

Lee Song Kang cepat memutar goloknya menangkis dan ketika goloknya yang sengaja digerakkan keras untuk membentur kedua senjata nona itu membuat pedang-pedang itu terpental, barulah ia merasa terkejut. Tidak saja gerakan kedua nona muda itu demikian cepat, juga ketika goloknya yang digerakkan keras-keras membentur kedua pedang, sedikitpun kedua lawannya tidak nampak kaget dan pedang mereka tidak terpental.

Bahkan peraduan ketiga senjata itu menerbitkan suara nyaring dan bunga-bunga api memercik keluar! Ia maklum bahwa kedua orang gadis ini benar-benar memiliki kepandaian yang tak boleh dipandang ringan, maka ia lalu memainkan goloknya dengan cepat untuk melindungi dirinya.

Nyonya Lee Song Kang yang melihat pertempuran ini, hanya dapat memandang dengan wajah pucat karena hatinya berdebar keras ketika melihat munculnya dua orang gadis ini. Entah mengapa, ia merasa seakan-akan ada sesuatu yang aneh di dalam hatinya terhadap kedua gadis itu dan merasa bahwa tidak seharusnya suaminya mencelakai kedua anak perempuan ini. Berkali-kali ia berseru, “Jangan berkelahi... jangan berkelahi...!”

Akan tetapi ketiga orang itu tidak mendengar suaranya dan masih bertempur dengan hebat dan sengitnya. Lee Song Kang maklum bahwa menghadapi dua orang gadis yang baik sekali ilmu pedangnya ini, ia tak dapat hanya mempertahankan diri saja, maka iapun membalas dengan serangan-serangannya yang cukup lihai.

Sementara itu, pada saat Lee Song Kang bertempur melawan Hwe Lan dan Sui Lan dengan hebatnya, disaksikan oleh Nyonya Lee yang duduk seperti patung dan muka pucat, di luar gedung terjadi hal lain yang menarik pula.

Sebagaimana telah diketahui di bagian terdahulu, Siang Lan roboh pingsan dalam pelukan Nyonya Pangeran Souw Bun Ong ketika ia mendapat keterangan bahwa Lee-busu, yakni perwira Lee Song Kang yang dianggap musuh besarnya dan yang hendak dicarinya untuk pembalasan dendam, ternyata adalah ayahnya sendiri!

Setelah sadar dari pingsannya, nona ini merasa bingung sekali dan mengingat bahwa Hwe Lan pergi ke Siang-kan-bun untuk membunuh perwira Lee itu, ia cepat menyatakan hendak menyusul dan mencegah adiknya melakukan pembunuhan kepada ayahnya sendiri!

Sungguhpun kota raja masih terjaga keras, akan tetapi berkat pertolongan Pat-jiu Sin-kai yang memancing kekacauan di pintu kota sebelah selatan sehingga para penjaga mengejar-ngejarnya, dikepalai oleh Wai Ong Koksu dan perwira-perwira lain, maka Siang Lan berhasil menerobos keluar dari pintu selatan itu.

Selain dia juga Souw Cong Hwi dan The Sin Liong ikut serta. Mereka bertiga naik kuda yang disediakan oleh Pangeran Souw Bun Ong, dan dengan cepat ketiga orang muda itu keluar dari kota, membalapkan kuda menuju ke kota Siang-kan-bun di Propinsi Kiang-si.

Mereka akhirnya tiba di kota Siang-kan-bun, sama sekali tidak tahu bahwa pagi tadi, Hwe Lan dan Sui Lan juga baru saja masuk kota itu dan kini berdiam di lain rumah penginapan! Dan juga mereka bertiga yang datangnya telah malam, tidak tahu bahwa ada seorang pemuda yang memandang mereka dengan mulut melongo dan mata terbelalak lebar saking herannya, dan yang mengikuti mereka dengan diam-diam. Pemuda ini bukan lain adalah Kui Hong An!

Sebagaimana diketahui, Kui Hong An mengikuti perjalanan Hwe Lan dan Sui Lan yang meninggalkannya dengan berkuda. Akan tetapi, Hong An mengikuti jejak mereka sampai ke kota Siang-kan-bun, dan tepat setibanya di kota itu ia melihat Siang Lan yang berkuda bersama dua orang pemuda gagah. Terntu saja Hong An merasa terheran-heran, karena ia menyangka bahw Siang Lan adalah Hwe Lan yang ia sedang ikuti.

Ke manakah perginya Sui Lan? Dan bagaimana pula gadis ini tahu-tahu telah berkuda bersama dua orang pemuda ini? Benar-benar Hong An merasa bingung dan tak mengerti, maka ia tetap mengikuti Siang Lan yang disangkanya Hwe Lan itu! Memang, Hong An telah mengalami peristiwa yang amat luar biasa.

Dulu, di dekat rawa, ia pertama-tama bertemu dengan Siang Lan yang tidak memberitahukan namanya. Kemudian ia bertemu dengan Hwe Lan yang ia sangka Siang Lan, dan kini, ia bertemu dengan Siang Lan yang disangkanya Hwe Lan! Baru mengikuti pengalamannya yang aneh ini saja, orang bisa menjadi bingung karenanya!

Karena merasa amat gelisah dan khawatir, ketiga orang muda ini tidak menunda perjalanan dan begitu masuk kota Siang-kan-bun, mereka langsung mencari rumah perwira Lee dan menuju ke sana. Diam-diam Hong An tetap mengikuti dari belakang, ingin tahu apakah yang hendak dilakukan oleh gadis yang telah merebut hatinya itu.

Siang Lan dan dua orang kawannya meninggalkan kuda di luar gedung dan melompat ke atas genteng. Hong An menyusul mereka dan bersembunyi di atas genteng pula. Pada saat Siang Lan mendekam di atas genteng bersama Souw Cong Hwi dan The Sin Ling, pertempuran antara Lee Song Kang dan kedua orang gadis itu masih berjalan seru.

Tiba-tiba muncul beberapa orang anak buah perwira Lee yang mendengar suara pertempuran itu, dan melihat komandan mereka dikeroyok oleh dua orang gadis, mereka berlari dengan pedang di tangan untuk membantu.

Sui Lan melihat kedatangan mereka, lalu berkata kepada Hwe Lan, “Enci Hwe Lan, kau hadapi perwira jahanam ini, biar aku yang membasmi tikus-tikus itu!”

Ucapan ini mendatangkan akibat yang hebat sekali, terdengar Nyonya Lee menjerit ngeri sedangkan Lee Song Kang sendiri melepaskan goloknya dan ketika pedang Hwe Lan menusuknya, ia hanya menangkis dengan lengannya sehingga terdengar kain robek ketika lengan bajunya beradu dengan pedang dan lengan baju itu segera menjadi basah dengan darah yang mengucur dari lengannya!

Nyonya Lee menubruk maju dan dengan telunjuk tangan gemetar ia menuding kepada Hwe Lan. “Kau... kau Hwe Lan...! Dan kau...” ia memandang Sui Lan, “kau tentu Sui Lan...! Di mana adanya Siang Lan...? Ya Tuhan Yang Maha Agung...! Kalian benar Hwe Lan dan Sui Lan..., dan... dan kalian datang hendak membunuh ayahmu sendiri...? Di mana Siang Lan... di mana?” ia melangkah maju menghampiri Hwe Lan dan Sui Lan yang berdiri dengan mata terbelalak dan tak dapat bergerak seperti patung.

Tiba-tiba dari atas genteng terdengar jawaban nyaring dibarengi isak, “Ibu, anakmu Siang Lan berada di sini...!” pada saat itu, dari atas genteng berkelebat turun tiga bayangan orang. Siang Lan terus berlari menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ibunya, yang segera memeluknya.

“Benar... kau Siang Lan... Ya Tuhan Yang Maha Agung, terima kasih...” Ibu yang selama bertahun-tahun merindukan pertemuan ini akhirnya tak dapat menahan getaran hatinya dan roboh pingsan dalam pelukan Siang Lan!

Dua bayangan yang lain adalah Souw Cong Hwi yang segera menghampiri Hwe Lan dan The Sin Liong yang menghampiri Sui Lan.

“Sui Lan,” berkata Sin Liong dengan suara perlahan dan gemetar karena terharu, “Ternyata bibiku adalah ibumu sendiri...”

Sui Lan tak dapat menjawab, hanya terdengar isaknya dan ia segera lari pula menubruk ibunya yang kini telah siuman kembali dan bertangis-tangisan dengan Siang Lan.

Adapun Hwe Lan yang berdiri bagaikan patung melihat semua ini, tiba-tiba berseru keras, “Tidak...! Tak mungkin...! Tak mungkin aku mempunyai ayah demikian!” gadis yang keras hati itu lalu melompat ke atas genteng dan lari secepatnya.

“Hwe Lan...!” Siang Lan berseru keras.

“Enci Hwe Lan...!” Sui Lan juga berseru.

“Hwe Lan, anakku...!” Nyonya Lee mengeluh.

Akan tetapi Hwe Lan tidak mempedulikan jeritan-jeritan itu dan berlari terus. Cong Hwi dan yang lain-lain hendak mengejar, akan tetapi Siang Lan berkata, “Jangan kejar dia! Hatinya keras sekali, jangan ganggu dia dalam saat seperti ini, takkan ada gunanya!”

Gadis ini sudah kenal baik watak adiknya itu dan tahu bahwa dalam keadaan marah seperti itu, tidak hanya amat sukar untuk membujuk Hwe Lan, bahkan amat berbahaya karena gadis itu mungkin akan memusuhi dan menyerang orang yang berani membujuk agar ia merubah pendiriannya.

The Sin Liong ketika melihat pamannya terluka lengannya dan mengeluarkan banyak darah, segera maju menolong. Ternyata bahwa lengan perwira itu mendapat luka parah dan perlu segera dirawat. Akan tetapi perwira ini seakan-akan tidak mempedulikan luka-lukanya dan tiada hentinya ia berkata,

“Anak-anakku sudah kembali... anakku selamat... ah, terlalu besar karunia ini bagiku yang sudah tua, yang banyak dosa. Anakku kembali sebagai orang-orang pandai...” kemudian ia tertawa bergelak lalu menubruk meja sembahyang Nyo Hun Tiong. “Nyo Hun Tiong..., kau benar-benar telah mengembalikan anak-anakku!”

Sementara itu, Souw Con Hwi yang melihat Hwe Lan pergi, tanpa mempedulikan cegahan Siang Lan, lalu melompat ke atas genteng dan pergi tanpa pamit.

Melihat keadaan suaminya yang masih menangis dan tertawa di depan meja sembahyang Nyo Hun Tiong, Nyonya Lee lalu menghampiri sambil menggandeng kedua orang puterinya.

“Lihat ayahmu itu,” kata nyonya yang kini telah menjadi segar seakan-akan kembang yang tadinya kekeringan dan hampir layu tiba-tiba mendapat siraman air, “Semenjak kalian bertiga diculik orang, ia selalu bersedih dan ia sampai memelihara abu orang yang menculik kalian, yakni Nyo Hun Tiong. Tapi usahanya itu benar, karena buktinya, baru setengah bulan ia membakar rangka Nyo Hun Tiong dan merawat abunya, kalian benar-benar kembali!”

Siang Lan dan Sui Lan masih segan mendekati ayah mereka yang tadinya mereka anggap musuh besar itu, akan tetapi mereka benar-benar kaget melihat betapa di rumah itu benar-benar dirawat abu dari Nyo Hun Tiong yang mereka anggap penolong mereka!

“Ibu, benarkan bahwa Nyo Hun Tiong dahulu menculik kami bertiga? Bagaimanakah sebenarnya duduknya persoalan ini?” tanya Siang Lan kepada ibunya yang masih menggandeng tangannya.

“Marilah kita semua masuk ke dalam agar kami dapat menceritakan duduknya perkara yang sesungguhnya.”

Mereka beramai-ramai masuk ke ruang dalam dan sebelum Lee Song Kang menceritakan pengalamannya, ia bertanya, “Siang Lan, kau yang terbesar di antara saudara-saudaramu, cobalah kau ceritakan bagaimana asal mulanya maka kau dan adikmu menganggap aku sebagai musuh besarmu.”

Siang Lan bercerita betapa mereka telah ditolong oleh Nyo Hun Tiong dan kemudian dirawat oleh Yap Sian Houw yang menceritakan kepada mereka bahwa mereka adalah anak-anak dari seorang pemberontak atau seorang anak murid Siauw-lim-si yang terbunuh oleh para perwira, dan kalau mereka tidak tertolong oleh Nyo Hun Tiong, tentu mereka akan menjadi korban pula.

Kemudian, mereka mendengar dari Yap Sian Houw yang mereka anggap sebagai ayah sendiri bahwa Nyo Hun Tiong penolong mereka itu, tewas di dalam tangan perwira Lee. Kemudian, pada waktu mereka telah dewasa dan telah belajar silat dari Toat-beng Sian-kouw, mereka melihat betapa Yap Sian Houw, guru dan ayah angkat mereka, terluka pula oleh anak panah perwira Lee sehingga menemui ajalnya.

“Sudah tentu kami bertiga yang tak kenal ayah ibu, yang semenjak kecil dirawat dengan penuh cinta kasih oleh Yap Sian Houw, merasa sakit hati sekali. Kami merasa bahwa sudah menjadi kewajiban kami untuk membalas dendam kepada orang yang telah membunuh penolong kami Nyo Hun Tiong, dan yang telah membunuh pula satu-satunya penolong yang kami anggap sebagai orang tua kami, yakni Yap Sian Houw!

"Tidak tahunya, orang yang kami anggap musuh besar kami itu... tak lain adalah ayah kami sendiri! Ah, mengapa bisa terjadi hal begini...? Mengapa ayah... bisa berlaku demikian kejam? Dapat kubayangkan betapa hancur hati Hwe Lan... ia seorang keras hati, jujur dan penuh pribudi tinggi.

"Melihat bahwa orang yang dianggapnya paling jahat dan paling kejam itu ternyata adalah ayah sendiri, ah, aku tahu... hatinya tentu hancur dan sakit sekali...” tak terasa pula Siang Lan menangis tersedu-sedu, dipeluk oleh Sui Lan yang juga menangis.

Lee Song Kang menarik napas panjang berkali-kali. “Hm, sampai demikian besar rasa dendam dari Nyo Hun Tiong kepadaku sehingga ia masih berusaha untuk membalas dengan cara yang amat keji, yaitu mengadu anak-anakku sendiri agar membalas dendam kepadaku! Ah, Nyo Hun Tiong... Nyo Hun Tiong...! Akan tetapi aku maafkan dia, telah lama aku maafkan dia semenjak aku menerima rangkanya.

"Memang, dia mempunyai alasan kuat untuk mendendam kepadaku! Dengarlah Siang Lan, dan kau juga Sui Lan dan Sin Liong, karena betapapun juga, Sin Liong sebagai keponakanku yang telah mempunyai ilmu silat tinggi dan patut pula memikirkan soal ini harus pula mengetahui duduknya hal yang benar, dengarlah kalian penuturanku ini.”

Perwira itu yang wajahnya menjadi pucat karena banyak kehilangan darah dari lengannya, setelah minum arak yang disediakan oleh pelayan yang segera disuruh mundur lagi, menarik napas panjang beberapa kali, lalu mulai dengan penuturannya,

“Sebagai seorang perwira kerajaan yang setia, aku melakukan tugasku membasmi anak murid Siauw-lim-pai yang dianggap memberontak terhadap Kaisar. Dalam usaha ini, aku memimpin anak buahku dan tentu saja tidak semua anak buahku adalah perajurit-perajurit yang taat akan disiplin, bahkan kuakui bahwa di antara mereka banyak terdapat orang-orang yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan.

"Oleh perbuatan mereka inilah maka aku dibenci orang-orang kang-ouw, terutama sekali anak-anak murid Siauw-lim-pai. Di dalam sebuah penyerbuan, anak buahku telah berlaku kejam dan membunuh isteri dan anak-anak Nyo Hun Tiong dan tentu saja Nyo Hun Tiong menimpakan seluruh kesalahan kepadaku sebagai pemimpin pasukan itu, sungguhpun ia sendiri tahu bahwa perbuatan yang ganas itu bukan dilakukan olehku sendiri!”

Kembali perwira Lee itu berhenti sebentar untuk minum araknya, agaknya dengan arak itu ia hendak memperkuat hatinya.

“Kemudian terjadilah penyerbuan Nyo Hun Tiong dengan anak buahnya di kota raja. Dia benar-benar nekat dan melakukan pembakaran dan pembunuhan kepada para pembesar di kota raja. Aku memimpin pasukanku untuk menghalau perusuh-perusuh itu, akan tetapi dalam keributan itu, Nyo Hun Tiong yang tak berhasil membunuhku, lalu membalas dendamnya dengan menculik kalian bertiga. Aku mengejarnya dan akhirnya aku dapat melukainya dengan anak panahku, akan tetapi tak berhasil menangkapnya. Ia melarikan diri dan membawa kalian bertiga sehingga akhirnya aku terpaksa pulang dengan tangan kosong!”

Siang Lan dan Sui Lan mendengarkan dengan penuh perhatian dan mereka menjadi amat terharu lalu memeluk ibunya ketika nyonya itu berkata,

“Semenjak itu, aku tidak mengenal lagi artinya senang atau bahagia, aku hampir gila memikirkan kalian, dan semua ini terjadi karena salahnya ayahmu!”

Lee Song Kang melanjutkan ceritanya, “Agaknya Nyo Hun Tiong tewas karena luka yang ditimbulkan oleh anak panahku itu dan kemudian menyerahkan kalian kepada Yap Sian Houw dan guru-gurumu. Kemudian aku bertemu dengan Yap Sian Houw dan melukainya, hal itu kulakukan hanya sebagai tugasku. Aku seorang perwira kerajaan dan dia sebagai tokoh Siauw-lim-pai yang dibenci bertempur dan mengamuk sehingga para perwira tidak ada yang dapat menahannya, tentu saja aku turun tangan dan berhasil melukainya.

"Sama sekali aku tidak pernah memimpikan bahwa hal ini akan mempertebal rasa dendam di dalam hati kalian, anak-anakku sendiri! Aku menyesal, sungguh-sungguh aku menyesal bahwa dahulu aku tak sadar siapakah orang-orang yang kumusuhi dan kubasmi. Baru sekarang aku menjadi ragu-ragu apakah mereka yang kubasmi itu bukannya orang-orang gagah dan budiman yang berusaha menolong rakyat.

"Aku bingung... akan tetapi, betapapun keji usaha Nyo Hun Tiong hendak mengadu anak-anakku dengan aku sendiri sebagai pembalasan dendamnya, aku berterima kasih kepadanya. Kalian telah menjadi orang-orang gagah, ilmu silatmu tidak kalah dengan kepandaianku. Kalau kalian dulu tetap bersamaku, belum tentu kalian akan memiliki kepandaian sehebat ini.

"Sekarang, biarpun kalian measih tetap hendak membunuhku, aku bersedia! Aku akan mati dengan senyum dan bangga, karena selain melihat kalian menjadi orang-orang gagah, akupun dapat meninggalkan ibumu dengan hati tenteram karena telah bertemu kembali dengan tiga orang anaknya!”

Lee Song Kang berhenti bercerita dan menundukkan kepalanya, sedangkan dari kedua matanya menitik air mata karena merasa amat terharu. Agaknya orang tua ini teringat kepada Hwe Lan yang melarikan diri dan yang masih amat membencinya!

Siang Lan mempunyai hati yang lebih sabar dan tenang. Ia dapat berpikir secara mendalam dan setelah mendengar cerita ayahnya ini, lenyaplah dendamnya terhadap perwira ini. Bukan salah ayahnya, dan juga bukan salah Nyo Hun Tiong atau Yap Sian Houw, yang salah adalah keadaan pemerintahan pada masa itu.

Ayahnya adalah seorang perwira yang harus bersetia memenuhi tugasnya, dan dalam melakukan tugasnya di waktu itu, ayahnya belum tahu dengan betul keadaan para tokoh Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, yang dianggapnya bukan lain hanya pemberontak-pemberontak dan pengacau-pengacau negara!

Maka ia lalu berlutut di depan ayahnya dan berkata, “Ayah, jangan berkata demikian. Yang sudah terjadi biarlah lalu. Kesalah-pahaman telah menjadi terang dan melihat adanya meja sembahyang untuk menghormati arwah mendiang Nyo Hun Tiong saja, sudah cukup bagiku untuk melihat bahwa ayah bukanlah seorang jahat dan kejam. Kami adalah anak-anak ayah, tentu saja tak mungkin kalau kami menaruh hati dendam kepada ayah...”

Melihat Siang Lan dan Sui Lan berlutut di depannya, Lee Song Kang lalu mengelus-elus kepala kedua orang anaknya itu, akan tetapi suaranya masih penuh keharuan ketika ia berkata, “Siang Lan, kau bijaksana seperti ibumu, akan tetapi Hwe Lan... ia agaknya mewarisi kekerasan hatiku...”

Sui Lan yang berwatak gembira, tidak bisa lama-lama dipengaruhi oleh keharuan. Ia segera berkata dengan suara gembira, “Ayah, jangan khawatir, sekarang juga aku akan menyusul dan mencari enci Hwe Lan. Kalau aku yang mengajaknya, tentu dia mau ikut datang ke sini!”

Lee Song Kang memandang kepada anaknya yang bungsu ini, dan tak terasa lagi, mulutnya yang tadi ditarik sedih itu bisa tersenyum sedangkan matanya bersinar. Ia berkata kepada isterinya, “Coba kau lihat, bukankah Sui Lan masih sama dengan ketika kecilnya?”

Nyonya Lee juga memandang dengan mata bersinar karena semenjak kecil dulu, memang Sui Lan merupakan anak yang paling mereka sayangi karena kelucuannya.

“Siok-hu, aku juga akan pergi mencari!” kata Sin Liong yang tidak mau terpisah lagi dari Sui Lan!

“Biarlah kami bertiga mencarinya sekarang juga!” kata Siang Lan yang bangkit berdiri.

“Bukan bertiga tapi berempat!” kata Lee Song Kang gembira. “Karena akupun akan ikut mencari!”

“Tidak! Jangan pergi! Kalian baru saja datang, bagaimana hendak pergi lagi meninggalkan aku seorang diri?” kata Nyonya Lee sambil memegangi lengan tangan Siang Lan. “Kalian tidak tahu ke mana perginya Hwe Lan, hendak dicari ke manakah? Lagi pula hari telah jauh malam, kalau hendak mencari, sebaiknyaa besok saja!”

Karena nyonya ini amat sangat menahan, akhirnya mereka tidak jadi pergi mencari malam hari itu, dan hendak pergi besok hari. Malam hari itu mereka semua tidak dapat tidur dan tiada habisnya mereka bercakap-cakap menuturkan pengalaman masing-masing.


Ketika Hwe Lan sambil menangis lari pergi dari rumah perwira Lee, Hong An yang masih bersembunyi di luar melihatnya dan pemuda ini benar-benar merasa heran sekali melihat betapa gadis itu telah keluar lagi sambil berlari keras dan menangis! Yang membuat ia merasa bingung adalah pakaian gadis itu yang kini tiba-tiba saja sudah berganti pula!

Ia tidak tahu bahwa kembali ia dibikin bingung dan salah lihat, karena kalau tadi yang ia lihat masuk bersama dua orang pemuda adalah Siang Lan, kini yang keluar sambil menangis adalah Hwe Lan! Diam-diam ia mengikuti terus dan mengejar secepatnya.

Ketika tiba di sebuah tempat yang sunyi di luar kota gadis itu berhenti berlari, duduk di pinggir jalan dan menangis sedih sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ia merasa malu, menyesal, kecewa, dan bingung. Ia malu melihat bahwa penjahat besar itu adalah ayahnya sendiri, menyesal karena tanpa diketahuinya, ia telah melukai lengan ayahnya sendiri, kecewa karena ia tidak bisa membalas dendam dan sakit hati Yap Sian Houw, ayah angkatnya yang telah melepas banyak budi kepadanya, dan akhirnya ia menjadi bingung karena tidak tahu harus berbuat apa!

Tiba-tiba ia mendengar suara yang bertanya dengan halus, “Nona, mengapa kau bersedih? Apakah kau tidak berhasil membalas dendam kepada musuhmu? Kalau memang demikian jangan khawatir, aku akan membantumu, nona Hwe Lan!”

Memang, biarpun yang dijumpai untuk pertama kalinya adalah Siang Lan, akan tetapi ia tidak kenal nama ini dan yang dikenalnya adalah nama Hwe Lan, yakni ketika ia bertemu dengan Hwe Lan dan Sui Lan dan menolong kedua gadis itu dari pengaruh sihir Ang-hoa Sianjin dulu.

Hwe Lan menengok perlahan dan ketika melihat bahwa yang berdiri di belakangnya adalah Hong An, ia merasa makin sedih karena teringatlah ia betapa encinya, yakni Siang Lan, datang bersama dengan Souw Cong Hwi! Ketika tadi ia melihat betapa Siaang Lan datang bersama dengan Souw Cong Hwi, pemuda yang mencintanya dan yang pernah meminangnya itu, entah bagaimana, di dalam hatinya timbul rasa cemburu dan tidak enak yang amat besar! Perasaan inipun merupakan sebagian dari alasannya untuk melarikan diri dari tempat itu tadi!

Melihat Hwe Lan diam saja, Hong An lalu duduk di atas rumput dekat gadis itu dan berkata pula dengan lembut, “Nona, beberapa kali kita bertemu dalam keadaan yang akcau dan kau tahu bahwa aku selalu membantu dan membelamu! Juga dalam hal ini, sungguhpun kepandaianku tidak berapa tinggi, akan tetapi percayalah bahwa aku Kui Hong An akan membelamu dengan seluruh kemampuanku, bahkan kalau perlu, aku bersedia mengorbankan nyawaku untuk membelamu!”

Betapapun ruwet keadaan hati dan pikiran Hwe Lan pada saat itu, ia terheran juga mendengar ucapan ini dan ia angkat mukanya memandang pemuda itu lalu bertanya, “Apa maksudmu? Semenjak pertemuan yang manakah?”

Hong An tersenyum melihat nona itu mau bicara padanya. “Ah, nona Hwe Lan, telah berkali-kali aku dibikin bingung oleh sikapmu yang berubah selalu. Lupakah kau akan pertemuan kita pertama kali ketika kita bersama-sama menghadapi Ang-hoa-tin di dekat rawa itu? Lupakah kau betapa kita bersama melawan Ang-hoa Siang-mo?”

“Bila dan bagaimana? Aku telah lupa, coba kau ceritakan yang jelas!”

Hong An benar-benar merasa heran, dan menyangka bahwa nona ini mempunyai penyakit lupa. Dengan sabar ia lalu menuturkan pengalamannya di dekat rawa dulu, betapa ia dengan nona ini dikeroyok oleh Ang-hoa Mo-li, Ang-hoa Sin-mo dan anak-anak buah mereka. Diam-diam Hwe Lan mengerti sekarang bahwa pemuda ini tentu menyangka dia Siang Lan.

“Apakah kau tidak berkenalan dengan nona itu setelah berhasil mengalahkan Ang-hoa Siang-mo?” tanyanya.

Hong An tersenyum geli. “Kaulah yang tidak mau memberitahukan namamu pada waktu itu, baru setelah aku bertemu dengan kau bersama adikmu Sui Lan, aku mengetahui namamu.”

Hwe Lan diam saja. Kini ia yakin bahwa pemuda ini dulu tentu bertemu dengan encinya, dan bahwa pemuda ini jatuh cinta kepada encinya!

“Nona Hwe Lan, semenjak pertemuan pertama, kau telah tahu bahwa aku... mencintaimu, bahkan... akupun tahu bahwa semenjak itu, kau... kaupun suka kepadaku. Akan tetapi, mengapa kau selalu hendak menjauhkan diri, bahkan berpura-pura berlaku keras agar aku membencimu? Aku tahu, kau berwatak lemah lembut, halus dan bijaksana...”

“Sudahlah!” Hwe Lan memotong, kemudian ia mendapat sebuah pikiran yang aneh. Ia tetap hendak membalas dendam kepada Perwira Lee, biarpun perwira itu ternyata ayahnya sendiri! Ia tidak takut, biarpun encinya sekarang berpihak kepada perwira itu! “Apakah kau benar-benar mau membantuku?” tanyanya tiba-tiba sambil memandang tajam kepada Hong An.

“Tentu saja! Apakah kuamasih tidak percayan kepada Kui Hong An? Nona Hwe Lan, biarpun aku seorang bodoh, akan tetapi sebagai anak murid Kun-lun-pai, aku tetap seorang laki-laki sejati. Aku kenal dengan baik artinya It-gan-ki-jut, su-ma-lan-twi (Sekali Keluarkan Perkataan Empat Ekor Kuda Tak Sanggup Menarik Jatuh)!” ucapan ini adalah ucapan kuno yang berarti bahwa diumpamakan sesuatu yang amat kuat sehingga empat ekor kudapun takkan sanggup mematahkan, seorang gagah sekali mengeluarkan ucapan, takkan ditarik kembali.

“Baik,” kata Hwe Lan, “Sekarang dengarlah mengapa aku bersedih di tempat ini. Ketahuilah bahwa perwira yang mendiami gedung tadi, yang bernama Lee Song Kang, adalah seorang musuh besarku, yang telah membunuh mati guruku. Aku, atau kami bertiga, yakni aku dan dua orang saudaraku, telah bersumpah untuk membalas dendam kepadanya. Akan tetapi, ketika kami tiba di sana dan hendak membalas dendam, ternyata bahwa dua orang saudaraku itu bahkan berpihak kepadanya!”

“Aneh sekali! mengapa kedua saudaramu berpihak kepada musuh?”

“Hal ini kau tak perlu tahu! Aku tidak peduli, biarpun mereka membantu musuh, tetap aku harus membalas dendam kepada Lee Song Kang itu! Nah, besok pagi-pagi aku akan datang menyerbu ke sana, apakah kau sanggup membantuku?”

Hong An tersenyum bangga. “Jangankan baru menyerbu rumah seorang perwira, biarpun harus menyerbu gedung Hai-liong-ong (Raja Naga Laut), aku takkan mundur untuk membantumu!”

“Bagus, dan sekarang jangan mengganggu aku lebih lanjut, aku mau tidur!” setelah berkata demikian, tanpa pedulikan pemuda itu lagi, Hwe Lan lalu merebahkan drii miring membelakangi pemuda itu dan tidur di atas rumput!

Hong An memandang heran. Alangkah ganjilnya perangai gadis yang dicintainya ini! Akan tetapi ia tidak mau mengganggu karena maklum bahwa gadis itu sedang terganggu pikirannya dan sedang lelah sekali, maka tanpa bicara sesuatu ia lalu menyalakan api unggun dan menjaga di situ. Hwe Lan tak dapat tidur, pikirannya ruwet sekali, akan tetapi karena perasaannya amat tertekan sehingga ia merasa lelah sekali, akhirnya ia tertidur juga.

Sementara itu, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, Siang Lan dan Sui Lan meninggalkan rumah orang tuanya untuk pergi mencari Hwe Lan. menurut pendapat Siang Lan, lebih baik yang mencari dan menemui Hwe Lan mereka berdua saja, dan ayahnya jangan ikut, oleh karena Hwe Lan yang sedang naik darah itu, lebih baik dibujuk oleh mereka berdua dan jangan bertemu dengan ayahnya lebih dulu. Juga Sin Liong lebih baik jangan ikut dulu, karena takut kalau-kalau menimbulkan kecurigaan Hwe Lan.

Lee Song Kang, isterinya, dan The Sin Liong, duduk di ruang dalam, sambil tiada hentinya membicarakan tiga dara itu dengan hati girang bercampur khawatir kalau teringat akan keadaan Hwe Lan. Tengah mereka bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar para pelayan berlari-lari ketakutan dan tak lama kemudian di dalam ruangan itu muncul Hwe Lan dan seorang pemuda dengan pedang di tangan!

“Orang she Lee!” teriak Hwe Lan. “Mari kita bertanding secara orang gagah untuk membuat perhitungan!”

“Hwe Lan...!” Lee Song Kang mengeluh.

“Hwe Lan, anakku. Jangan kau menantang ayahmu sendiri!” Nyonya Lee menjerit.

“Ayah atau bukan, ia musuh besarku yang jahat dan harus kubalas untuk menebus dosanya!” kata Hwe Lan. “Lee-ciangkun, apakah kau sudah begitu pengecut hingga tidak berani menerima tantanganku?”

Melihat kenekatan anaknya itu, Nyonya Lee menjadi demikian sedih dan cemas sehingga tubuhnya menjadi lemas dan ia terguling di dalam kursinya dalam keadaan tak sadar! Dua orang pelayan wanita segera menolongnya.

Lee Song Kang tersinggung keangkuhannya ketika dimaki pengecut. Ia mencabut goloknya dan berkata, “Hwe Lan, kalau kau nekat hendak membunuhku, marilah kita pergi ke taman di belakang, jangan mengganggu ibumu!” dengan gagah orang tua itu lalu bertindak ke belakang, diikuti oleh The Sin Liong yang siap membela pamannya ini. Hwe Lan juga mengikuti di belakang bersama Hong An.

Lengan kiri Lee Song Kang masih dibalut karena luka oleh pedang Hwe Lan kemarin, akan tetapi dengan golok di tangan kanan, ia masih nampak gagah dan bersemangat. “Nah, kalau aku harus mati di tanganmu, aku akan mati dengan ikhlas Hwe Lan, biarlah kau yang menagih dosa-dosa yang telah kuperbuat! Majulah!”

Tanpa banyak cakap lagi Hwe Lan lalu maju menyerang, sedangkan Sin Liong yang tidak dapat tinggal peluk tangan saja melihat pamannya diserang, lalu maju dengan pedang di tangan. Akan tetapi ia dicegat oleh Hong An sehingga kedua pemuda itupun lalu bertempur!

Bagaikan seekor harimau betina haus darah, Hwe Lan menyerang ayahnya sambil memutar-mutar pedangnya dengan hebat. Akan tetapi, Lee Song Kang adalah seorang tokoh persilatan yang berilmu tinggi, dan biarpun ia harus akui bahwa ilmu pedang anaknya ini luar biasa sekali gerakannya.

Namun tak percuma ia mendapat julukan Sin-to (Golok Sakti) dan ia dapat menjaga diri dengan baik. Hwe Lan benar-benar telah mata gelap dan ketika ia melakukan serangan bertubi-tubi itu, ia sama sekali tak ingat lagi bahwa yang hendak dibunuhnya ini adalah ayahnya sendiri!

Sementara itu, Sin Liong dan Hong An setelah bertemu dalam beberapa gebrakan, keduanya merasa terkejut sekali karena tak pernah menyangka bahwa lawan masing-masing demikian lihainya! Baik dalam tenaga, kegesitan, maupun kehebatan ilmu pedang, mereka seimbang! Ketika Sin Liong menyerang dengan gerak tipu Chong-eng-kim-touw (Burung Garuda Sambar Kelinci), Hong An menangkis dengan gerakan Po-in-kian-jit (Menyapu Awan Melihat Matahari).

Sepasang pedang bertemu keras sekali dan keduanya melompat mundur dengan kaget karena merasa betapa telapak tangan mereka gemetar. Cepat mereka memeriksa pedang masing-masing dan bernapas lega ketika melihat bahwa pedang mereka tidak menjadi rusak karena pertemuan senjata itu. Untuk sejenak mereka saling pandang dengan tajam.

“Sayang kepandaianmu kau gunakan untuk membantu seorang gadis yang durhaka terhadap ayahnya!” Sin Liong membalas.

Keduanya maju lagi dan pertempuran dilanjutkan lebih hebat lagi. Mereka saling mengerahkan tenaga dan tidak mau mengalah. Sin Liong dapat melihat bahwa lawannya ini adalah anak murid Kun-lun-pai yang lihai sekali karena ia mengenal ilmu pedang Kun-lun-pai, akan tetapi sebaliknya, Hong An tidak mengenal ilmu pedang Sin Liong yang aneh, dan tidak kalah dalam hal kelihaiannya itu.

Adapun Lee Song Kang yang hanya membela diri sama sekali tidak pernah membalas serangan Hwe Lan itu, lambat laun mulai terdesak dan gadis yang telah mata gelap itu mengirim serangan-serangan yang amat berbahaya sehingga beberapa kali hampir saja tubuh Lee Song Kang tertembus pedang!

Tiba-tiba Nyonya Lee Song Kang muncul dari pintu yang menembus ke taman itu, mukanya pucat sekali. ia berhenti ketika melihat betapa Hwe Lan mendesak suaminya dengan pedang, sedangkan keponakannya, yakni Sin Liong sedang bertempur mati-matian melawan pemuda tampan yang datang bersama Hwe Lan tadi.

“Hwe Lan... anakku... jangan kau menyerang ayahmu sendiri...!”

Mendengar suara yang diiringi isak tangis itu, tertusuk juga perasaan hati Hwe Lan sehingga desakannya mengendur akan tetapi ia tidak menghentikan serangannya, hanya menggigit bibirnya untuk mengeraskan hatinya. Musuh besar ini, ayah ataupun bukan, harus dibinasakan, pikirnya tegas. Ia seorang jahat, seorang kejam, harus dibasmi!

Pada saat itu, tiba-tiba dari pintu di mana Nyonya Lee tadi muncul, nampak keluar tiga orang laki-laki, yakni seorang perwira tinggi besar bermuka kuning, seorang perwira berkepala gundul, dan seorang lagi berpakaian seperti tosu (pendeta penganut agama To).

Mereka ini bukan lain adalah Gui Kok Houw, busu dari kota raja, Wai Ong Koksu, dan tosu itu adalah Lek Kong Tosu dari Go-bi-san, seorang sute dari Pek Bi Tojin yang datang karena mendengar tentang kematian Thio Kim Cai, murid keponakannya sehingga ia datang untuk menuntut balas!

Ketika tiba di dekat Nyonya Lee yang berdiri di tengah jalan, Gui Kok Houw mengulur tangan dan mendorong nyonya itu ke pinggir sehingga Nyonya Lee terdorong keras sampai terguling dan ketika nyonya itu merayap bangun, jidatnya mengeluarkan daarah karena terbentur batu.

“Ha-ha-ha, Lee Song Kang!” terdengar Gui Kok Houw berseru sambil tertawa, sedangkan Lee Song Kang memandang dengan muka pucat dan marah. Juga Hwe Lan memandang dan kedua matanya mengeluarkan sinar marah melihat betapa Nyonya Lee yang mengaku menjadi ibunya itu didorong sampai jatuh.

Mendengar seruan ini dan melihat bahwa Lee Song Kang tidak bertempur lagi dengan Hwe Lan, secara otomatis kedua pemuda yang tadi bertempur mati-matian, yakni Sin Liong dan Hong An, berhenti pula dan berdiri memandang kepada orang-orang yang baru tiba.

“Gui-busu! Apakah maksud kedatanganmu ini dan mengapa kau berlaku begitu keji mendorong jatuh isteriku?” Lee Song Kang membentak marah, lupa untuk memberi hormat kepada Wai Ong Koksu sebagai komandannya.

Kini Wai Ong Koksu yang menjawab, “Lee Song Kang, kedatangan kami adalah atas perintah Kaisar untuk menangkap kau sekeluarga!”

Bukan main terkejutnya hati Lee Song Kang mendengar ini. Ia adalah seorang perwira yang telah turun-temurun menjadi panglima Kaisar yang setia, mengapa sekarang hendak ditangkap? “Dengan alasan apakah aku hendak ditangkap?”

“Ha-ha, memang benar kata orang dahulu bahwa penyakit kulit di belakang punggung sendiri takkan terlihat!” kata Gui Kok Houw. “Orang she Lee, kau telah mengumpulkan pemberontak-pemberontak Siauw-lim-pai! Bahkan ketiga orang anakmu yang dulu kau katakan hilang itu, tak lain adalah tiga orang Siauw-lim-pai yang telah mengacau kota raja, dan buktinya yang seorang ada pula di sini! Ha-ha-ha, jangan kau pura-pura tidak tahu kesalahan sendiri!”

Lee Song Kang menjadi marah sekali. “Anak-anakku memang mempelajari ilmu silat, mungkin dari Siauw-lim-pai! Akan tetapi apa hubungannya dengan pemberontakan? Anak-anakku bukan pemberontak! Kaisar tentu mengetahui akan hal ini, dan kalau benar kalian datang atas perintah Kaisar, mana buktinya dan mana surat perintahnya?”

Wai Ong Koksu menjadi marah. “Apakah kau tidak percaya kepada kami? Apakah kau hendak kami menggunakan kekerasan?”

Gui Kok Houw tertawa kembali. “Lee Song Kang, lebih baik kau mneyerah. Dua orang anakmu telah tertawan, untuk apa kau melawan?” perwira she Gui ini memang merasa agak cemas terhadap anak panah Lee Song Kang, maka ia membujuk agar supaya bekas kawannya itu menyerah saja.

Lee Song Kang terkejut mendengar bahwa Siang Lan dan Sui Lan telah tertawan, akan teapi ia kurang percaya. Gui Kok Houw menepuk tangan tiga kali, dair pintu itu muncullah lima orang perwira yang mendorong-dorong dua orang tawanan yang terikat tangannya dan dua orang ini bukan lain adalah Siang Lan dan Sui Lan yang telah dibelenggu dan melihat tubuh mereka yang lemas, tahulah Lee Song Kang bahwa dua orang anaknya itu telah tak berdaya karena pengaruh tiam-hwat (ilmu totok jalan darah)!

Melihat keadaan Siang Lan dan Sui Lan itu, tiba-tiba kedua mata Hwe Lan seakan-akan memancarkan api. Ia melompat dengan terkaman pedangnya dan berseru, “Keparat! Jangan berani mengganggu enci dan adikku!”

Juga Lee Song Kang berseru keras, “Lepaskan kedua anakku!” dan perwira ini dengan golok di tangan juga menyerbu ke depan.

Hong An dan Sing Liong saling pandang, karena Hong An benar-benar merasa terheran-heran melihat Siang Lan. Sin Liong yang melihat kekasihnya, Sui Lan, dalam keadaan seperti itu, tak sabar lagi dan ia lalu menyerbu sambil berseru, “Lepaskan mereka!”

Hong An juga ikut-ikut menyerbu sambil memutar-mutar pedangnya dan berteriak keras, “Perwira-perwira keparat!”

Gui Kok Houw tertawa bergelak dan ia buru-buru mengundurkan diri dan bersama lima orang perwira teman-temannya itu, ia menjaga kedua tawanan itu dan membiarkan Wai Ong Koksu dan Lek Kong Tosu menghadapi empat orang itu! Hal ini bukan karena Gui Kok Houw berwatak licik dan pengecut, akan tetapi oleh karena ia maklum akan kelihaian dua orang tua itu dan ia yakni bahwa mereka berdua akan cukup kuat untuk dapat mengalahkan empat orang penyerbu itu.

Bagaimana dengan tiba-tiba Siang Lan dan Sui Lan dapat tertawan oleh rombongan ini? Ternyata bahwa semenjak Hwe Lan menyamar menjadi pelayan di dalam tumah gedung Pangeran Souw Bun Ong, Gui Kok Houw telah menaruh curiga dan ia menyebar banyak mata-mata untuk mencari dan menyelidiki gadis pemberontak itu.

Akhirnya setelah semua orang yang dicarinya, berkat pertolongan Pat-jiu Sin-kai, berhasil keluar dari kota raja, Gui Kok Houw mendengar dari mata-matanya bahwa tiga orang gadis pemberontak anak murid Siauw-lim-pai itu sebetulnya adalah anak-anak dari Lee Song Kang yang dulu dikabarkan hilang diculik orang!

Mata-mata ini bekerja sama dengan seorang pelayan di gedung Pangeran Souw Bun Ong dan pelayan itu pula yang mendengarkan percakapan antara Pangeran itu dan Siang Lan. Mendengar berita ini, Gui Kok Houw menjadi terkejut sekali dan berbareng merasa girang. Sesungguhnya, telah lama Gui Kok Houw merasa benci kepada Lee Song Kang di dalam hatinya, karena ia merasa iri hati kepada busu ini yang telah banyak berjasa.

Kini ia mendapat kesempatan untuk membasmi atau mencelakakan perwira ini, maka ia lalu menghubungi Wai Ong Koksu. Panglima gundul ini memang merasa sakit hati karena telah dibikin malu oleh tiga orang gadis pemberontak yang dibantu oleh Pat-jiu Sin-kai dan ia ingin menawan para pemberontak itu.

Akan tetapi ia merasa ragu-ragu ketika mendengar bahwa gadis-gadis itu adalah anak dari Lee-busu. Ia tahu bahwa Kaisar amat sayang kepada Lee-busu yang telah banyak berjasa itu dan tentu Kaisar akan mengampuni dosa anak-anak perwira itu.

Akan tetapi, Gui Kok Houw akhirnya dapat membujuknya dan menyatakan bahwa mereka sebagai pejabat-pejabat tinggi mempunyai wewenang bertindak berdasarkan pembelaan negara. Dan bukankah ketiga orang gadis itu sudah cukup kuat untuk dijadikan alasan membasmi keluarga Lee?

Kebetulan sekali, datang seorang tosu dari Go-bi-pai, yakni Lek Kong Tosu yang ingin mencari Siang Lan untuk membalas dendam atas tewasnya Thio Kim Cai, yakni anak murid Go-bi-pai yang menjadi perwira Kim-i-wi dan yang tewas di dalam rawa ketika bertempur melawan Siang Lan dahulu itu.

Mendapatkan kawan ini, Gui Kok Houw dan Wai Ong Koksu menjadi girang mereka segera berangkat ke Siang-kan-bun di Propinsi Kiang-si, membawa perwira-perwira Kim-i-wi sebagai anak buah. Kebetulan sekali di tengah jalan mereka bertemu dengan Siang Lan dan Sui Lan yang sedang mencari Hwe Lan!

Tentu saja mereka menjadi girang sekali dan tanpa banyak cakap lagi mereka lalu menyerang kedua dara pendekar itu biarpun Siang Lan dan Sui Lan melawan sekuat tenaga, akan tetapi melawan Wai Ong Koksu dan Lek Kong Tosu, mereka menemukan lawan yang jauh lebih tinggi ilmu kepandaiannya.

Pada saat pertempuran berjalan seru, Souw Cong Hwi putera pangeran itu yang sedang mencari-cari Hwe Lan semenjak malam tadi. Melihat Siang Lan dan Sui Lan diserang oleh perwira, ia segera melompat ke tengah pertempuran dan dengan berpedang ia membantu kedua orang gadis itu.

“He, Souw-kongcu!” berteriak Gui Kok Houw yang tidak ikut bertempur. “Apakah kau hendak membantu pemberontak?”

“Mereka bukan pemberontak-pemberontak!” seru Souw Cong Hwi marah. “Mereka adalah puteri-puteri dari Lee-ciangkun!”

“Ha-ha-ha! Kalau begitu, Lee-ciangkun tentu telah menjadi pemberontak pula!” kata Gui Kok Houw sambil tertawa.

Souw Cong Hwi menjadi marah dan tetap membantu kedua orang gadis itu, akan tetapi, biarpun ia membantu tetap saja mereka bertiga bukanlah lawan kedau orang tua yang ilmu kepandaiannya setingkat dengan guru-guru mereka! Beberapa puluh jurus kemudian, ketiga orang muda itu telah dapat ditotok dan ditawan!

Betapapun juga, Gui Kok Houw dan Wai Ong Koksu tidak berani mengganggu Souw Cong Hwi, maka mereka lalu menyuruh serombongan perwira Kim-i-wi untuk mengantarkan dan menjaga baik-baik pemuda itu, diantar kembali ke kota raja dan diserahkan kepada ayahnya. Yang ikut dengan mereka menuju ke Siang-kan-bun cukup lima orang perwira sebagai penjaga dua orang gadis yang telah ditawan itu.

Demikianlah, maka Gui Kok Houw, Wai Ong Koksu, dan Lek Kong Tosu sambil membawa Siang Lan dan Sui Lan yang terikat kedua tangannya, menyerbu rumah Lee Song Kang sehingga terjadi pertempuran hebat di taman belakang rumah perwira she Lee itu.

Memang kalau semenjak tadi orang melihat keadaan di taman itu, ia akan merasa betapa aneh dan lucunya keadaan. Belum berapa lama terlewat, Hwe Lan menyerang Lee Song Kang mati-matian, sedangkan Hong An dan Sin Liong juga bertempur hebat dan seru. Akan tetapi sekarang, Hwe Lan bersama Lee-ciangkun mengeroyok Wai Ong Koksu, sedangkan Hong An dan Sin Liong mengeroyok Lek Kong Tosu! Tadinya mereka lawan, kini berkawan. Sungguh aneh dan lucu.

Sementara itu Nyonya Lee yang melihat kedua anaknya ditawan, segera maju untuk memeluk mereka, akan tetapi atas isyarat Gui Kok Houw, dua orang perwira maju dan kedua tangan nyonya itu diikat pula dan ia dijadikan tawanan!

Wai Ong Koksu dan Lek Kong Tosu benar-benar lihai sekali, sehingga biarpun mereka berdua dikeroyok, akan tetapi tidak menjadi gentar, bahkan mereka dapat mendesak heba kedua pengeroyok masing-masing. Wai Ong Koksu memainkan tongkatnya secara hebat sekali sehingga Lee Song Kang dan Hwe Lan terdesak mundur dan terancam sekali keadaannya.

Sedang Lek Kong Tosu bersenjata sebatang joan-pian (cambuk lemas) yang berduri, demikian hebat permainannya sehingga kedua orang pemuda murid Kun-lun-pai dan murid Pat-jiu Sin-kai itu terdesak betul-betul dan gerakan pedang mereka makin lama makin lemah!

Sementara itu, Gui Kok Houw tiada hentinya tertawa bergelak, “Lee Song Kang, percuma saja kau melawan, lebih baik menyerah! Mana bisa kau melawan Wai Ong Koksu dan Lek Kong Tosu dari Go-bi-pai? Ha-ha-ha!”

Akan tetapi, pada saat itu, dari luar berkelebat dua bayangan yang luar biasa gesitnya. Bayangan yang membawa pedang bersinar putih menyambar ke arah Lek Kong Tosu dan seketika itu juga joan-pian di tangan tosu dari Go-bi-pai itu terpental keras! Sementara itu, terdengar suara bergelak tertawa dan sebatang tongkat kecil menangkis tongkat Wai Ong Koksu yang sedang mendesak dua lawannya!

Semua orang melompat ke belakang dan ternyata bahwa yang datang itu adalah Pat-jiu Sin-kai, pengemis sakti itu bersama seorang to-kouw wanita yang bukan lain adalah Toat-beng Sian-kouw Si Dewi Pencabut Nyawa!

“Ha-ha-ha!” Si Pengemis Sakti tertawa. “Wai Ong Koksu, kau benar-benar hendak menghina orang muda. Apakah kau tidak malu menjadi perwira tertinggi di kerajaan dan merangkap tokoh besar dari Bu-tong-pai?”

“Pat-jiu Sin-kai! Kembali kau hendak membela pemberontak!”

“Siapa pemberontak? Perwira gundul hati-hatilah kau membuka mulutmu!” Toat-beng Sian-kouw membentak.

Dan Wai Ong Koksu memandang kepada to-kouw yang galak ini dengan heran, karena ia tidak kenal siapa adanya wanita tua ini. “Siapakah kau?”

Kini Pat-jiu Sin-kai yang tertawa menghina. “Wai Ong Koksu! Percuma saja kau menyebut dirimu seorang tokoh persilatan kalau kau tidak kenal kepada Dewi Pencabut Nyawa!”

Bukan main terkejutnya hati Wai Ong Koksu ketika mengetahui bahwa to-kouw ini adalah Toat-beng Sian-kouw yang namanya telah menggemparkan dunia kang-ouw. “Ah, tidak tahunya Toat-beng Sian-kouw yang datang!” katanya. “Tidak tahu keperluan apakah Toat-beng Sian-kouw mencampuri urusan kami?”

“Tua bangka busuk!” Toat-beng Sian-kouw yang galak berseru marah. “Kau mengganggu ketiga orang muridku, masih bertanya hendak apa?” Sambil berkata demikian, Dewi Pencabut Nyawa ini melompat ke dekat Sui Lan dan Siang Lan dan sekali ia mengulurkan tangan, ia menepuk pundak kedua orang muridnya yang segera terbebas dari totokan.

Lima orang perwira dan Gui Kok Houw hendak mencegah, akan tetapi dengan mengebutkan lengan bajunya, tiga orang perwira terpelanting jatuh sedangkan Gui Kok Houw sendiri yang hanya terkena kebutan itu sedikit saja terhuyung-huyung ke belakang!

Siang Lan dan Sui Lan setelah terlepas dari totokan, lalu mengerahkan tenaga dan tali pengikat tangan mereka terlepas! Mereka cepat membebaskan ibu mereka, kemudian mereka berdua berlutut di depan Toat-beng Sian-kouw, disusul pula oleh Hwe Lan yang segera berseru, “Suthai!”

Wai Ong Koksu menjadi marah sekali. dengan tongkat diputar-putar ia berkata, “Kami adalah pembawa perintah Kaisar, apakah kalian tua bangka inipun hendak menjadi pemberontak?”

Tiba-tiba Pat-jiu Sin-kai tertawa geli, dan ia mengeluarkan sehelai surat dan berkata, “Wai Ong, siapa yang menjadi pemberontak? Kau sendiri sebagai seorang Koksu telah mengaku-aku diutus oleh Kaisar, bukankah pengakuan palsu ini merupakan pengkhianatan? Lihatlah apakah kau kenal surat ini?”

Wai Ong Koksu dan Gui Kok Houw menjadi pucat melihat surat itu karena mereka tahu bahwa itu adalah surat pengumuman sesuatu dari Kaisar, dan ketika mereka membaca surat yang dibentangkan oleh Pat-jiu Sin-kai, ternyata berisi tulisan singkat berikut cap kerajaan yang menyatakan bahwa Kaisar telah memberi ampun kepada tiga dara pendekar Siauw-lim-pai atas dosa-dosanya!

Wai Ong Koksu dan Gui Kok Houw saling pandang dengan muka pucat. Bagaimana mungkin pengemis sakti ini bisa mendapatkan surat pengampunan dari Kaisar untuk tiga dara pemberontak itu? Mereka tidak tahu bahwa setelah tiga dara itu berhasil lolos dari kota raja, Pangeran Souw Bun Ong lalu menghadap kepada Kaisar dan menceritakan tentang keadaan tiga dara itu yang ternyata adalah puteri-puteri dari Lee Song Kang, busu yang telah banyak membuat jasa itu.

Kaisar telah mendengar tentang terculiknya anak-anak dari Lee-busu, dan mengingat akan jasa-jasa Lee-busu, dan mengingat pula bahwa puteri-puterinya itu sengaja diusahakan oleh musuh-musuh untuk membalas dendam kepada ayah mereka sendiri, Kaisar merasa terharu dan atas bujukan Pangeran Souw Bun Ong akhirnya Kaisar mengampuni mereka dan memberi surat pengampunan itu. Souw Bun Ong lalu memberikan surat kepada Pat-jiu Sin-kai yang segera menyusul ke Siang-kan-bun.

Wai Ong Koksu dan Gui Kok Houw tentu saja tidak berani membantah terhadap pengumuman dalam surat Kaisar ini, maka Wai Ong Koksu lalu berkata, “Kalau begitu, urusan tiga orang nona itu habislah sampai di sini saja. Akan tetapi, untuk menghilangkan rasa penasaran di dalam hati, dan karena kita telah bertemu dan berkumpul di sini, kuharap tuan rumah suka menganggap kami sebagai tamu-tamu yang hendak minta diberi pengajaran dalam kepandaian silat!”

“Hm, Wai Ong Koksu hendak menantang pibu?” Pat-jiu Sin-kai berkata sambil tertawa menyindir. “Karena tak mungkin kalau tantangan ini ditujukan kepada Lee-busu, maka kau orang tua suka berterus terang saja, siapakah sebenarnya yang kau tantang? Apakah kau akan menantang anak-anak muda atau apakah kau akan menantang Lee-busu yang sebetulnya masih dianggap anak buahmu sendiri?”

Merahlah wajah Wai Ong Koksu mendengar ini. “Ada orang berkata bahwa yang tua harus berhadapan dengan yang tua lagi! Pertempuran kita di kota raja dulu masih belum dilanjutkan, maka aku harap kau pengemis tua ini suka melanjutkan memberi pengajaran kepadaku. Nanti akan datang giliranku minta sedikit pelajaran dari Toat-beng Sian-kouw yang telah lama kudengar kehebatan namanya.”

Lek Kong Tosu melangkah maju dan merangkap kedua tangannya kepada Toat-beng Sian-kouw sambil berkata, “Pinto (aku) lancang mewakili Wai Ong Koksu untuk menerima sedikit petunjuk dari Sian-kouw!”

Wai Ong Koksu tertawa senang. “Nah, kalau begini kita dua lawan dua, bukankah ini menarik sekali?”

Pat-jiu Sin-kai dan Toat-beng Sian-kouw saling pandang sambil tersenyum. “Tamu-tamu ini benar-benar berdarah panas,” kata Toat-beng Sian-kouw, “Kalau tidak dilayani mereka akan pulang dengan hati penasaran. Baiklah, Lek Kong Totiang kau majulah!” sambil berkata demikian, Toat-beng Sian-kouw mencabut pedangnya yang berada di punggungnya sedangkan Pat-jiu Sin-kai menggerakkan tongkat kecilnya menghadapi Wai Ong Koksu.

Sementara itu, Lee Song Kang melangkah mendekati Gui Kok Houw dan berkata dengan senyum mengejek, “Gui-ciangkun, bagaimana dengan kau? Sebagai tuan rumah, aku hanya menuruti kehendak tamuku. Apakah kau ingin sambutan seperti Wai Ong Koksu? Ataukah kau mau minum arak di dalam?”

Ucapan yang amat manis ini membuat Gui Kok Houw menjadi merah sekali mukanya. Ia hanya dapat mengangkat kedua tangannya memberi hormat dan berkata, “Sudahlah, harap kau maafkan aku...” lalu ia mengajak kelima orang perwira Kim-i-wi untuk cepat-cepat tinggalkan tempat itu, kembali ke kota raja!

Pertandingan ilmu silat antara Pat-jiu Sin-kai dan Wai Ong Koksu berjalan ramai dan seru, akan tetapi mereka berdua membatasi diri dan hanya bertempur sekadar mencari keunggulan belaka tanpa bermaksud mencelakai lawan, akan tetapi tidak demikian dengan pertempuran yang terjadi antara Lek Kong Tosu dan Toat-beng Sian-kouw. Tosu dari Go-bi-pai ini sengaja datang untuk membalas dendam.

Dan kini menghadapi Toat-beng Sian-kouw yang ia tahu adalah guru dari ketiga orang gadis yang dianggap musuh itu, ia mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya dan melanjutkan serangan-serangan berbahaya dengan joan-piannya. Akan tetapi, setelah bertempur tiga puluh jurus lebih, ia harus mengakui keunggulan ilmu pedang pendeta wanita itu.

Karena sianr pedang Toat-beng Sian-kouw mengurungnya dan menindih cambuknya sehingga ia tidak berdaya sama sekali. Akhirnya dengan totokan tangan kiri yang mengenai pundaknya, Lek Kong Tosu mencelat mundur dan dengan muka pucat ia lalu mengangkat kedua tangannya ke dada dan berkata,

“Toat-beng Sian-kouw benar-benar gagah. Pinto mengaku kalah dan mudah-mudahan lain kali mendapat kesempatan pula menerima pengajaran!” kemudian tosu ini lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Sementara itu, seperti juga dulu ketika bertempur di kota raja, Wai Ong Koksu yang bertongkat besar itu dipermainkan oleh Pat-jiu Sin-kai yang memegang tongkat kecil. Dasar Wai Ong Koksu yang tidak tahu diri, karena sebetulnya dulupun ia telah dikalahkan oleh pengemis sakti ini yang sengaja tidak mau mencelakainyaa.

Kini ia mulai menjadi pening kepala menghadapi gerakan-gerakan Pat-jiu Sin-kai yang amat cepat itu dan akhirnya hanya bisa mengelak ke sana ke marai terhadap sambaran tongkat kecil yang amat lihai.

“Cukup, kepandaianmu memang lebih tinggi dariku!” Wai Ong Koksu masih cukup cerdik untuk mendahului dengan pernyataan ini karena kalau diteruskan tentu ia akan mendapat malu besar. Ia lalu menjura kepada semua orang dan berkata,

“Segala urusan telah selesai dan biarlah tindakanku yang bodoh ini kalian lupakan saja!” sambil menyeret tongkatnya, perwira tua yang gundul ini lalu meninggalkan tempat itu, kembali ke kota raja.

Hwe Lan telah dipeluk oleh ibunya dan gadis yang keras hati itu kini menangis terisak-isak di dalam pelukan ibunya. Ketika Lee Song Kang mendekatinya dan meraba kepalanya, Hwe Lan menjatuhkan diri berlutut di depan perwira itu.

Atas nasehat-nasehat Toat-beng Sian-kouw dan Pat-jiu Sin-kai, Lee Song Kang mengajukan permohonan ke kota raja untuk mengundurkan diri dengan alasan bahwa ia telah tua. Ia berhenti dari jabatannya sebagai perwira dan hidup sebagai seorang petani di kampungnya.

Setelah bertemu kembali dengan Siang Lan, tahulah Kui Hong An bahwa selama ini ia telah salah lihat, dan biarpun kedua orang gadis itu serupa benar, namun hatinya telah jatuh cinta kepada Siang Lan dan tabiat gadis itu lebih cocok dengan dia.

Sebagaimana dapat diduga terlebih dahulu, berkat campur tangan Pat-jiu Sin-kai dan Toat-beng Sian-kouw yang menjadi comblang untuk murid-murid mereka, akhirnya Souw Cong Hwi dijodohkan dengan Hwe Lan, dan The Sin Liong dengan Sui Lan. Hong An sudah yatim piatu itu akhirnya minta tolong pula kepada Pat-jiu Sin-kai untuk menjadi perantaraannya dan dijodohkan dengan Siang Lan.

Maka berbahagialah tiga dara pendekar Siauw-lim itu. Sungguhpun mereka telah menikah, namun tiada hentinya ketiga pendekar ini bersama suami masing-masing, mengulurkan tangan membantu kepada mereka yang perlu ditolong, memberantas mereka yang jahat dan menindas, dan mereka selalu menjadi penegak-penegak kebenaran dan keadilan...!

Pilih jilid,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.