Tiga Naga Dari Angkasa Jilid 11
Kui Eng masih berdiri terheran-heran dan kembali dadanya berdebar keras melihat nyonya yang wajahnya amat dikenalnya itu. Sementara itu, ketika nyonya itu melihat Kui Eng. ia berhenti berlari dan berdiri bagaikan patung, menatap wajah Kui Eng dengan mata dipentang lebar.
“Betul... tak mungkin salah lagi... Kui Eng... Eng-ji, kau betul-betul Eng-ji, anakku...” bibir nyonya tua itu bergerak-gerak mengeluarkan bisikan ini.
Akan tetapi cukup keras terdengar oleh Kui Eng yang menjadi pucat sekali. Ia merasa betapa kepalanya seakan-akan disiram air dingin yang menyadarkan ingatannya bahwa nyonya ini bukan lain ialah ibunya sendiri yang telah lama dicar-carinya!
“Ibu...?” bisiknya ragu-ragu, seakan-akan tak percaya kepada ingatan ini, Nyonya itu lari maju sambil membuka kedua lengan tangannya.
“Eng-ji... Eng-ji, anakku...”
“Ibu...!” Kini Kui Eng tidak ragu-ragu lagi dan ia menjerit sambil menubruk ibunya, memeluk kaki ibunya sambil menangis!
Ibunya yang kini telah menjadi nyonya Bu Pok Seng itu lalu berlutut pula dan ibu ini memeluk dan menciumi anaknya diantara tawa dan tangis. “Eng-ji... Eng-ji... tak kusangka kita akan dapat bertemu lagi...”
“Ibu, siapakah adik ini...?” tanya Kui Eng sambil menunjuk kearah gadis yang serupa, benar wajahnya dengan dia sendiri itu. Ibunya menariknya bangun dan menggandeng tangannya menghampiri gadis yang kini telah berdiri didekat ayahnya sambil mendekap kain sutera merah yang tadi disambit Kui Eng.
“Eng-ji, ini adalah ayah tirimu dan gadis ini adalah Swi Lan, adik tirimu sendiri...” Kui Eng memandang kepada Swi Lan dengan melongo, kemudian sambil terisak ia memeluk ibunya.
“Ibu... aku berdosa padamu, aku... aku anakmu yang jahat”
Swi Lan yang kini tidak merasa ragu-ragu lagi bahwa gadis inilah cicinya yang sering disebut oleh ibunya, lalu lari menghampiri dan memeluk Kui Eng. “Enci Eng... aku girang sekali dapat bertemu denganmu. Ketahuilah, sudah sering aku bertemu dengan kau, ciciku yang manis!”
Kui Eng memandang heran dan melihat betapa wajah adik tirinya yang manis itu tersenyum, akan tetapi dari kedua matanya mengalir airmata. “Apa... apa maksudmu...?” tanyanya gagap.
“Betul, aku seringkali bertemu dengan kau dalam... mimpi!”
Tertusuk rasa hati Kui Eng dan ia merangkul Swi Lan dengan terharu, “Adikku... kau maafkanlah aku kalau aku tadi berlaku kurang patut padamu.”
Ibu kedua gadis itu bertanya heran. “Apakah tadi kalian sudah bertemu dan berkenalan?”
Swi Lan memandang kepada ibunya dan Kui Eng merasa kuatir kalau adik tirinya itu akan memberitahukan tentang perbuatannya merusak kain sutera adiknya itu. Akan tetapi Swi Lan hanya berkata,
“Tadi cici Eng tiba-tiba muncul hingga aku menjadi terkejut sekali. Akan tetapi, melihat wajahnya, aku dapat menduga bahwa dia tentu ciciku yang baik...”
Bukan main malunya hati Kui Eng mengenangkan semua peristiwa yang terjadi, Ia telah jatuh hati kepada tunangan adiknya sendiri. Ini masih tidak mengapa karena ia tidak tahu bahwa Min Tek adalah pemuda yang sudah bertunangan dan bahwa tunangannya itu adalah adiknya sendiri.
Yang paling hebat ialah perbuatannya yang menyakiti hati tadi, yang melukai perasaan adiknya dengan merusak kain sutera pemberian Min Tek, bahkan tadinya ia mempunyai niat untuk melukai atau membunuh gadis yang merebut pemuda pujaan hatinya itu!
Ketika diperkenalkan kepada ayah tirinya, Kui Eng memberi hormat dengan perasaan kecewa. Entah bagaimana, ia tidak suka kepada ayah tirinya itu, sungguhpun ia merasa suka sekali kepada Swi Lan yang manis dan peramah. Ia merasa kecewa sekali melihat ibunya telah kawin lagi, bahkan hatinya terasa sakit. Tadinya ia mengharapkan untuk bertemu dengan ibunya dan hidup berdua dengan penuh kebahagiaan.
Akan tetapi kini, setelah ibunya mempunyai rumah-tangga dan keluarga baru, ia merasa diri sendiri sebagai pendatang asing yang hanya mengganggu dan mengacaukan kebahagiaan rumah- tangga ibunya! Ia merasa dirinya sebagai orang yang tak berhak tinggal disitu, yang merusak dan menghalangi ketenteraman dan kebahagiaan rumah tangga ibunya itu.
Perasaan inilah yang membuat ia pada keesokan harinya segera pergi lagi meninggalkan rumah ibunya! Ibunya mencegah dan menghalangi maksudnya sambil menangis, akan tetapi Kui Eng yang keras hati memaksa dan berkata,
“Ibu malam tadi telah kuceritakan semua pengalamanku, dan sekarang, kedua suhengku itu mungkin akan mencari ku. Pula, aku sudah berjanji kepada suhu untuk kembali ke Swi-hoa-san dua tahun setelah pergi merantau.”
“Kalau begitu, jangan kau lupakan ibumu, Eng-ji dan datanglah segera kembali kesini. Anggaplah ini sebagai rumahmu sendiri.”
“Benar, anakku, kau tinggallah disini dan anggap aku sebagai ayahmu sendiri,” kata Bu Pok Seng pula dengan ramah-tamah.
Kui Eng menghaturkan terimakasih. “Enci Eng, aku akan merasa berbahagia sekali kalau kau suka tinggal menjadi satu disini,” kata Swi Lan pula.
Kui Eng lalu memeluk dan mencium kening adiknya ini. “Swi Lan, semoga kau hidup berbahagia. Orang seperti kau sudah pantas mendapat kebahagiaan hidup.”
Sebenarnya, hati Kui Eng berkata bahwa orang seperti adiknya itu sudah pantas menjadi isteri Min Tek! Ia berjanji untuk datang kembali, padahal dalam hatinya ia merasa ragu-ragu apakah ia akan ada muka untuk kembali ketempat itu, untuk bertemu dengan adiknya yang hampir saja diserangnya itu, untuk bertemu muka dengan Min Tek! Ah, ia malu, malu sekali...!
Maka pergilah ia dari tempat itu, keluar dari kota Kiciu yang tadinya merupakan kota harapan baginya akan tetapi ternyata merupakan kota yang menghancurkan pengharapannya, yang mempertemukan ia dengan ibunya, akan tetapi yang juga memisahkan ia dari Min Tek untuk selamanya!
Ia melakukan perjalanan cepat menuju ke kotaraja kembali, dan apabila ia teringat kepada Bun Hong, ia merasa sedih sekali. Betapapun juga, suhengnya itu benar. Kalau saja ia tidak melakukan perjalanan dengan Min Tek, tak mungkin ia akan mendapat malu, akan menderita tekanan batin sehebat ini.
Akan tetapi, sebaliknya, belum tentu pula ia akan dapat bertemu dengan ibunya! Ah, dasar nasib. Nasibnya yang amat buruk! Seperti juga diwaktu pergi ke Kiciu, kembalinya ke kotaraja juga berjalan cepat sekali hingga sehari semalam ia telah tiba-tiba di kotaraja.
Bun Hong dan Beng Han berhasil memasuki kotaraja. Dengan pertolongan seorang petani yang mengantarkan segerobak padi ke kotaraja, mereka dapat bersembunyi dibawan tumpukan padi itu! Ketika gerobak itu tiba-tiba dipintu gerbang, tukang gerobak dihentikan oleh penjaga yang memeriksanya, akan tetapi penjaga itu tidak memeriksa kedalam tumpukan padi.
Siapakah orangnya yang dapat bersembunyi didalam tumpukan padi? Selain berat, juga tentu takkan dapat bernapas. Ia tidak menyangka bahwa dua orang muda yang kuat dan dapat menahan napas karena latihan lweekang mereka yang sudah tinggi, bersembunyi didalam tumpukan dengan tangan memegang pedang!
Bersamaan dengan gerobak itu, beberapa orang masuk pula kedalam pintu gerbang yang hampir ditutup itu, diantaranya seorang gadis baju hijau yang dapat masuk dengan mudah karena tidak dicurigai. Perintah dari atasan hanya mengharuskan penjaga itu berhati-hati terhadap dua orang laki muda yang menjadi pemberontak yang dicari-cari.
Gadis ini adalah Kui Eng yang sudah tiba disitu pula, akan tetapi ia sama sekali tidak tahu bahwa didalam tumpukan padi itu bersembunyi dua suhengnya yang sedang dicari nya! Juga Bun Hong dan Beng Han tidak tahu bahwa pada saat itu Kui Eng berada didekat gerobak! Mereka semua masuk ke kotaraja dengan selamat dan Kui Eng lalu mengambil jalan lain.
Sementara itu, ketika gerobak itu tiba dijalan yang agak sunyi, Bun Hong dan Beng Han lalu melompat turun dari gerobak dan mempergunakan ilmu kepandaian mereka untuk berlari cepat dan menuju ketempat tahanan yang telah mereka ketahui letaknya dari hasil penyelidikan nyonya janda itu.
Tempat tahanan itu benar saja terjaga keras sekali, dan boleh dibilang hampir sekelilingnya terdapat perajurit yang menjaga dengan tombak ditangan. Bun Hong dan Beng Han mencari siasat karena mereka maklum bahwa biarpun tidak sukar bagi mereka untuk menyerbu secara langsung dengan jalan merobohkan para penjaga, namun hal itu kurang sempurna karena mereka tentu akan dikeroyok dan tak mungkin menolong Kim Bwee.
Akhirnya mereka mendapatkan sebuah siasat yang berani sekali. Para penjaga itu telah mendapat perintah keras dari atasannya untuk melakukan penjagaan keras dan waspada, serta melarang siapa saja mendekati tempat itu. Jangankan seorang manusia, bahkan seekor burung yang terbang lewat diatas tempat tahanan itupun akan terlihat oleh para penjaga agaknya!
Tiba-tiba para penjaga disebelah timur mendengar suara orang merintih kesakitan ditempat gelap yang agak jauh dari tembok rumah tahanan, ditempat gerombolan tetumbuhan. Dua orang penjaga membawa senjata masing-masing mendatangi tempat itu, akan tetapi ketika tiba ditempat gelap.
Tiba-tiba berkelebat bayangan hitam yang menggerakkan kedua tangannya dan penjaga itu tertangkap dan tertotok tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Tubuh mereka lemas dan lumpuh sedangkan mulut tak kuasa mengeluarkan suara! Dan pada saat yang bersamaan, dibagian barat juga terjadi hal yang sama.
Para penjaga lain yang menanti kembalinya kedua penjaga itu, merasa heran karena tidak melihat mereka kembali dan juga tidak mendengar suara mereka, sedangkan suara rintihan orang itu masih terdengar saja. Dua orang penjaga lain pergi pula menyusul, akan tetapi kembali mereka tertotok dan tertangkap. Hal ini pun terjadi dibagian timur dan barat.
Kini para penjaga mulai curiga dan sekelompok penjaga ditimur dan barat menghampiri ketempat gelap itu untuk memeriksa. Mereka merasa terkejut dan heran hingga mengeluarkan seruan tertahan ketika melihat betapa diantara empat penjaga yang tadi memeriksa tempat itu, hanya tiga orang nampak menggeletak tak berkutik seperti orang tidur, sedangkan yang seorang lagi entah kemana perginya!
Mereka segera ramai menolong tiga orang kawan itu, akan tetapi mereka ini telah lumpuh dan tak dapat bicara, hanya mata mereka saja yang bergerak-gerak dengan ketakutan! Ributlah keadaan disitu dan banyak sekali penjaga yang berpakaian seragam itu berlari kesana-kemari membuat penjagaan dan memberi laporan.
Dan diantara simpang-siur para penjaga ini, terdapat dua orang penjaga yang mengenakan pakaian yang sama, akan tetapi yang selalu berusaha menyembunjikan muka mereka. Kedua orang ini adalah Bun Hong dan Beng Han.
Mereka telah berhasil memancing datang para penjaga dan menotok mereka didua tempat, lalu menyeret seorang diantara mereka, menanggalkan pakaian seragam dan memakainya, lalu mempergunakan kepanikan itu untuk menjelundup kedalam benteng, menyamar sebagai seorang penjaga.
Didalam keributan itu, mereka berhasil masuk tanpa mendapat banyak perhatian. Inilah siasat mereka yang mereka jalankan dengan baik sekali. Dengan mudah Bun Hong dan Beng Han masuk kebagian dalam. Mereka bertemu dengan dua orang penjaga lain yang memandang mereka dengan heran dan kuatir.
“Kawan, ada apakah ribut-ribut diluar?” tanya penjaga dalam ini.
“Ada musuh menyerbu, ayo lekas kita memperkuat penjagaan para tawanan!” kata Beng Han dengan suara gagap.
Kedua penjaga dalam itu menjadi terkejut dan segera lari masuk, diikuti oleh Bun Hong dan Beng Han menuju keruang tempat tahanan sambil memberitahukan kepada setiap penjaga yang mereka jumpai hingga penjaga itu berserabutan keluar dengan senjata ditangan!
Setelah tiba-tiba diruang tempat tahanan, kedua orang muda itu melihat betapa seluruh keluarga Pangeran Song berkerumun dan sedang menangis sedih, merubung sesuatu seakan-akan terjadi hal yang hebat. Bun Hong dan Beng Han segera menotok roboh kedua penjaga yang mengantar mereka tadi dan Bun Hong menanggalkan jubah penjaga yang dipakainya lalu lari kearah mertuanya.
Ketika ia tiba ditempat dimana para tawanan mengerumuni sesuatu, ia melihat pemandangan yang membuatnya menjadi pucat sekali. Ditengah ruangan itu, nampak tubuh isterinya dengan muka dan kepala mandi darah, menggeletak ditangisi oleh semua orang!
“Kim Bwee...!” Bun Hong melompat dan menubruk tubuh isterinya. Ternyata bahwa karena putus asa dan tidak tahan menderita malu dan hinaan, isteri Bun Hong telah membenturkan kepalanya pada dinding, akan tetapi karena tenaganya kurang kuat, maka ia tidak tewas seketika itu juga sungguhpun jidatnya pecah dan darah membasahi mukanya!
Mendengar suara suaminya, Kim Bwee membuka matanya dan memandang dengan sinar mata sayu yang makin menghancurkan hati Bun Hong. Ia berlutut, mengangkat dan memangku tubuh isterinya sambil menangis dan merintih-rintih,
“Kim Bwee, isteriku... aku datang hendak membawamu pergi... Kim Bwee... isteriku yang tercinta...”
“Suamiku, mengapa kau datang...? Larilah, selamatkan Sian Lun, putera kita...”
“Kim Bwee, apa artinya hidupku tanpa kau...? Mengapa kau mengambil keputusan nekad begini...? Ah,.Kim Bwee... Kim Bwee...”
“Koko...,” suara nyonya muda itu lemah sekali. “Biarlah... aku sengaja melakukan ini, biar kau bebas... kau boleh kawin lagi... asal kau jangan melupakan anak kita...”
Bun Hong mendekap kepala isterinya pada dadanya sambil menangis dengan airmata bercucuran. “Tidak, tidak! Kim Bwee... aku mencintaimu... aku... aku...” tiba-tiba ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena merasa betapa tubuh isterinya meronta dalam pelukannya.
Ia memandang dengan mata terbelalak dan melihat betapa isterinya telah menggunakan seluruh tenaga untuk melawan maut yang hendak merenggut nyawanya. Nyonya muda itu dengan muka berlumur darah hingga mengerikan sekali kini memandangnya dengan mesra.
“Betulkah... betulkah kau... kau mencintaiku...?” bisiknya dengan lemah.
“Kim Bwee... aku bersumpah, demi kehormatanku sebagai seorang gagah, aku cinta kepadamu...”
Kim Bwee menatap wajah suaminya, mengangkat kedua tangannya yang menggigil dan lemas, membelai wajah Bun Hong, dan bibirnya tersenyum lalu bergerak, “...Terimakasih... terimakasih, aku... aku puas...” dan lemaslah tubuhnya tak berdaya lagi karena nyawanya telah melayang.
“Kim Bwee... Kim Bwee...!” Bun Hong berteriak seperti orang gila, memeluk tubuh isterinya dan menyambak-jambak rambutnya sendiri.
Pangeran Song dan semua keluarganya juga menangisi kematian Kim Bwee ini hingga ruang tempat tahanan itu menjadi riuh oleh suara tangisan yang memilukan.
“Sute! Mereka datang!” kata Beng Han dengan keras.
Bun Hong melompat berdiri dengan wajah beringas. “Mana mereka? Biarkan mereka datang! Hendak kubunuh seorang demi seorang! Hendak kucabut isi perut mereka didepan isteriku!” Dengan wajah yang mengerikan hingga Beng Han sendiri menjadi terkejut melihatnya, Bun Hong melompat dengan pedang ditangan, menyambut datangnya tiga orang perwira yang diikuti oleh para penjaga.
“Pemberontak!” seru perwira-perwira itu ketika melihat Bun Hong dan Beng Han.
“Anjing-anjing rendah! Kalian harus menjadi pengawal isteriku!” teriak Bun Hong sambil menyergap maju. Pedangnya bergerak buas dan seorang perwira roboh binasa dengan leher hampir putus! Bun Hong yang telah menjadi marah bagaikan gila itu mengamuk hebat dan tak seorangpun dapat menahan amukannya, sedangkan Beng Han juga membuka jalan keluar dengan memainkan pedangnya secepatnya.
Melihat sepak-terjang sutenya, hati Beng Han menjadi ngeri karena maklum bahwa sutenya telah dikuasai oleh nafsu membunuh yang buas. Sebagai ahli silat tinggi, mereka berdua dapat mengatur gerakan dan serangan mereka untuk merobohkan lawan tanpa membunuhnya, dan apabila tidak perlu, keduanya sebetulnya menjauhi pembunuhan akan tetapi kali ini Bun Hong tidak mau berlaku lunak terhadap para lawannya.
Setiap kali pedangnya berkelebat, maka senjata itu merupakan cengkeraman tangan maut yang mencari kurban! Beberapa orang penjaga telah bergelimpangan dan tewas diujung senjata Bun Hong, sedangkan Beng Han hanya melukai dan membuat tak berdaya beberapa penjaga. Pemuda yang masih sadar ini berpantang membunuh secara sembarangan, sesuai dengan pesan suhunya.
“Sute ayoh kita pergi!,” katanya.
“Tidak, akan kubunuh dulu semua anjing ini!” teriak Bun Hong sambil mengamuk hebat, sementara itu para penjaga kini telah mengurung tempat itu hingga penuh sesak.
Beng Han menjadi kuatir sekali, oleh karena ia maklum bahwa kerajaan memiliki banyak perwira yang tangguh. “Kita harus cari dulu Thio Thaikam!,” katanya memperingatkan sutenya.
Tiba-tiba ucapan ini menyadarkan Bun Hong. Benar pikirnya, ia tak boleh tewas dikeroyok ditempat ini sebelum membunuh orang kebiri yang dianggap musuh besarnya itu. “Kau benar, kita binasakan dulu anjing kebiri itu!,” jawabnya dan dengan hebat kedua orang muda itu membuka jalan dengan memutar-mutar pedang mereka.
Akhirnya, berkat kerja-sama kedua pedang mereka yang lihai, para pengepung mundur dengan gentar dan kepungan menjadi pecah. Bun Hong dan Beng Han lalu melompat keluar, dikejar oleh para perwira dan penjaga. Akan tetapi, sambil berlari kedua orang muda ini mengayun tangan kiri, mempergunakan batu kecil yang mereka sengaja bawa hingga beberapa orang pengejar berseru kesakitan dan roboh pula!
Tempat itu menjadi penuh dengan orang yang terluka atau terbinasa, dan suara rintihan mereka yang terluka bercampur dengan suara tangisan keluarga Song yang menangisi kematian Kim Bwee.
Akan tetapi, para perwira dari luar benteng yang telah mendapat laporan dan datang membantu, segera memegat jalan keluar kedua orang muda itu hingga dipintu gerbang itu terjadi pertempuran hebat antara kedua pengamuk itu melawan keroyokan belasan orang perwira yang memiliki ilmu silat tinggi. Betapapun gagah adanya Beng Han dan Bun Hong, namun menghadapi keroyokan hebat ini, lambat- laun mereka terdesak juga.
Tiba-tiba seorang perwira menjerit dan roboh, disusul bentakan nyaring seorang wanita, “Anjing-anjing penjilat, jangan kalian berani mengganggu kedua suhengku!”
“Sumoi...!!” Beng Han dan Bun Hong berseru hampir berbareng dengan suara girang dan semangat mereka bernyala hebat hingga kembali dua orang perwira pengeroyok dapat dirobahkan!
Benar saja, yang datang itu adalah Kui Eng, gadis pendekar yang tadi memasuki kotaraja dan segera ia mendengar tentang huru-hara yang terjadi digedung Pangeran Song. Mendengar bahwa Bun Hong adalah anak menantu pangeran Song, Kui Eng lalu mengambil keputusan untuk mencari dan menolong isteri Bun Hong yang juga ikut tertangkap.
Dan ketika ia tiba dibenteng tempat tahanan itu, ia melihat betapa kedua suhengnya dikeroyok hebat oleh belasan orang perwira didekat pintu benteng, maka ia segera membantu. Kini ketiga orang saudara seperguruan itu mengamuk hebat bagaikan tiga naga sakti turun dari angkasa sedang mengamuk. Banyak perwira telah tewas diujung pedang mereka.
“Sute, sumoi, mari kita menyerbu ke istana Thio Thaikam!” seru Beng Han tiba-tiba.
“Baik, aku yang menjadi penunjuk jalan!” kata Bun Hong.
Kui Eng yang tidak tahu akan duduknya perkara, hanya menurut saja dan mereka bertiga lalu melompat dan menghilang dalam gelap. Para perwira ribut mengejar dan mencari mereka, Tak lama kemudian, keributan beralih tempat dan kini diatas genteng istana Thio Thaikam yang mengalami serbuan.
Akan tetapi, semenjak siang tadi, Tek Po Tosu yang sudah menguatirkan datangnya serbuan ini telah berjaga-jaga, mengumpulkan perwira yang tangguh untuk melakukan penjagaan yang kuat hingga ketika tiga orang pendekar muda dari Swi-hoa-san itu menyerbu, mereka mendapat sambutan yang hangat!
Kembali ketiga orang muda itu mengamuk. Bun Hong memainkan pedangnya bagaikan gila hingga mengerikan sekali, setiap pedangnya berkelebat tentu jatuh kurban! Ia memang lincah dan cepat, dan kali ini rasa dendam dan duka karena kematian isterinya membuat ia makin ganas lagi hingga jangankan para perwira pengeroyoknya.
Bahkan Beng Han dan Kui Eng sendiri merasa ngeri melihatnya. Pakaian Bun Hong yang tadinya telah bernoda darah isterinya pada bagian dada, kini bertambah dengan darah para lawannya yang memercik dan menodai seluruh pakaiannya. Wajahnya beringas dan sepasang matanya seakan-akan berapi.
Kui Eng juga terpengaruh oleh keadaan suhengnya ini hingga gadis itupun mengamuk hebat. Gerakannya yang disertai ginkang yang luar biasa itu membuat tubuhnya lenyap berubah menjadi segulung sinar pedang yang menyambar-nyambar.
Tiap kali terdengar seruannya yang nyaring, pasti senjata lawan terpental jauh atau tubuh seorang pengeroyok roboh diatas genteng terus menggelundung turun kebawah! Hanya Beng Han yang masih tenang. Akan tetapi gerakan pedangnya yang kuat dan tepat itu tak kurang berbahayanya daripada gerakan kedua adik seperguruannya.
Tek Po Tosu yang maklum akan kelihaian pemuda ini, segera membawa beberapa orang perwira mengurungnya, akan tetapi Beng Han tidak menjadi gentar. Ia maklum bahwa kali ini pertempuran dilakukan dengan mati-matian dan tak kenal ampun, maka iapun tidak mau berlaku “seji” (sungkan) lagi. Ia mengeluarkan ilmu pedangnya yang terlihai hingga sudah banyak fihak lawan yang roboh karena ujung pedang atau tendangan kakinya.
Bukan main seru dan ramainya pertempuran yang terjadi diatas genteng istana Thio Thaikam, lebih seru dan ramai daripada pertempuran dibenteng tempat tahanan tadi oleh karena kini para perwira yang mengeroyok mereka adalah jago-jago pilihan yang sengaja didatangkan oleh Thio Thaikam dan Tek Po Tosu untuk menjaga keselamatan pembesar berpengaruh itu.
“Suheng, aku akan menyerbu kedalam!” kata Bun Hong tiba-tiba dan dengan nekad orang muda yang gagah ini melayang turun dan membabat setiap penghalang dengan pedangnya!
Beberapa orang penjaga menyerbunya dengan golok ditangan, akan tetapi apakah daya para penjaga yang hanya berkepandaian biasa itu? Dengan mudah dan enak Bun Hong mengerjakan pedangnya dan bergelimpanganlah tubuh para penjaga itu memenuhi lantai! Bun Hong terus berlari kedalam, menuju keruang tengah dimana dulu ia pernah melihat Thio Thaikam mengadakan perundingan dengan para perwira.
Ketika ia tiba-tiba ditempat itu, ternyata bahwa Thio-Thaikam, seperti dulu pula, sedang duduk menghadapi dua orang Turki dan beberapa orang perwira lain, sama sekali tidak memperdulikan adanya keributan diluar.
Memang tadinya ThioThaikam memandang rendah sekali kepada kedua orang pengacau muda yang dikabarkan orang memberontak itu. Thio-Thaikam percaya penuh bahwa penjagaan yang kuat diluar istananya akan mencegah masuknya setiap pengacau, maka ia tidak mau pusingkan diri mengurus hal yang dianggapnya remeh itu, karena ada hal lebih penting untuk dibicarakan pula. Ia mengumpulkan orang-orangnya dan merundingkan tentang sikapnya terhadap Pangeran Song.
Ia mengambil keputusan untuk menggunakan pengaruhnya kepada Kaisar agar supaya seluruh keluarga itu dapat dihukum mati! Maka alangkah kagetnya ketika melihat seorang pemuda yang pakaiannya penuh darah dan dengan pedang ditangan, masuk dengan wajah yang menyeramkan sekali.
“Anjing she Thio, sampailah ajalmu sekarang!” teriak Bun Hong yang segera menyerbu dengan pedangnya. Akan tetapi, empat orang perwira dan dua orang Turki itu mencabut pedang dan melawannya.
Ternyata bahwa kepandaian para perwira itu cukup tinggi, bahkan dua orang perwira Turki yang berada disitu memiliki ilmu pedang yang aneh dan berbahaya. Terpaksa Bun Hong menghadapi enam orang pengeroyoknya dengan nekad dan mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Biarpun dikeroyok enam dan sibuk melayani mereka, namun Bun Hong tak melepaskan bayangan Thio Thaikam dari pandangan matanya.
Maka ketika pembesar itu mencoba untuk melarikan diri melalui sebuah pintu, Bun Hong meninggalkan lawan-lawannya dengan sebuah lompatan cepat. Karena amat bernafsu untuk mengerjar Thio-Thaikam, maka ia kurang waspada dan tusukan pedang seorang perwira menjerempet dipundaknya, menembus baju dan melukai kulit pundaknya. Akan tetapi, Bun Hong seakan-akan tidak merasa sedikitpun juga, dan sambil mengayunkan tangan kirinya, ia membentak,
“Pembesar jahat hendak lari kemana?” Batu karang yang menyambar dari tangan kirinya tepat memukul belakang kepala Thio-Thaikam hingga pembesar kebiri itu berteriak kesakitan dan terhuyung-huyung kedepan. Bun Hong menyusul dengan sebuah tusukan dari belakang hingga pedangnya menembus punggung pembesar itu.
Ketika ia mencabut kembali pedangnya, tubuh Thio-Thaikam roboh telentang Bun Hong tertawa bergelak dan memandang kearah muka pembesar yang telah sekarat itu dengan puas, akan tetap suara ketawanya berhenti tiba-tiba dan kedua matanya terbelalak memandang kebawah.
Ternyata bahwa orang yang dibunuhnya itu, biarpun perawakannya sama dan sebentuk dengan Thio Thaikam, bukanlah orang kebiri yang hendak dibunuhnya. Orang itu bukan Thio-Thaikam!! Dan ketika ia memandang sekelilingnya, makin terkejutlah ia karena tempat itu telah penuh dengan perwira yang mengurungnya dari setiap penjuru! Ia telah terjebak! Ia memandang Thio-Thaikam terlampau rendah!
Ternyata bahwa pembesar yang licin dan cerdik itu telah membuat persiapan lebih dulu dan menyuruh seorang pembesar palsu menggantikan tempatnya! Bun Hong berseru gemas dan mengamuk lagi, dikeroyok oleh belasan orang perwira yang berkepandaian tinggi! Berkat kecepatan gerakannya dan kenekadannya, ia masih dapat mempertahankan diri, sungguhpun ia telah terdesak sekali.
Diputarnya pedangnya sedemikian rupa hingga seluruh tubuhnya terlindung oleh sinar pedang yang merupakan dinding baja yang teguh. Akan tetapi, karena para pengeroyoknya bukan orang sembarangan, beberapa buah ujung senjata telah berhasil menembus pertahanannya dan ia telah mendapat beberapa luka ringan, akan tetapi yang cukup membuat darahnya banyak mengucur keluar dari tubuh!
Ketika keadaan Bun Hong sudah amat terdesak dan berbahaya sekali, tubuhnya mulai lemas dan gerakannya lambat. tiba-tiba dari luar melayang masuk dua bayangan yang mengamuk hebat. Mereka ini adalah Beng Han dan Kui Eng yang berhasil membuka jalan dan meninggalkan para pengeroyok mereka untuk membantu Bun Hong. Beng Han segera memecahkan kepungan yang mengancam keselamatan sutenya, kemudian ia menarik tangan sutenya itu sambil berseru kepada Kui Eng,
“Sumoi, ikutlah padaku! Aku membuka jalan dan kau bersama sute menahan serangan dari belakang!”
Beng Han lalu maju mendesak kearah pintu depan sambil memainkan pedangnya melawan orang yang menghadang didepan, sedangkan Kui Eng dan Bun Hong sambil mundur menahan desakan para pengejar dari belakang. Beng Han bertempur sambil mengayunkan tangan kiri membagi-bagi “hadiah” berupa batu karang yang dibawahnya hingga terdengar pekik kesakitan berkali-kali pada saat “hadiahnya” diterima oleh lawan.
Pihak lawan tidak berani menggunakan senjata rahasia dalam keroyokan itu, karena kuatir kalau-kalau mengenai kawan sendiri dan ini merupakan satu keuntungan bagi fihak Beng Han. Juga Bun Hong menyerang pengejar dengan pedang dan batu karangnya. Perlahan akan tetapi tentu ketiga pendekar muda yang mengamuk bagaikan tiga naga sakti itu dapat keluar dari istana dan menyerbu kepintu gerbang.
Dalam keroyokan hebat itu, Beng Han telah mendapat luka pada dada kanannya, akan tetapi karena luka itu hanya menggores pada kulit saja, walaupun terasa perih dan linu, akan tetapi tidak mengurangi tenaganya. Kui Eng yang memiliki ginkang tinggi tidak terluka, hanya lelah sekali bertempur sekian lamanya itu, yang paling hebat adalah keadaan Bun Hong.
Orang muda ini telah mendapat beberapa tusukan senjata musuh dan telah mengeluarkan banyak darah hingga gerakannya makin lambat dan tubuhnya makin lemas saja, Beng Han dalam kesibukannya tidak tahu akan keadaan sutenya ini dan ketika mereka telah berhasil mendesak keluar dari pintu-gerbang dan bertempur menghadapi para perwira itu diluar pintu, Beng Han lalu memberi aba-aba kepada kedua adik seperguruannya,
“Mari kita pergi cepat!” Ia mendahului melompat keatas genteng sebuah rumah yang berada didekat dinding istana, diikuti oleh Kui Eng.
Akan tetapi ketika Bun Hong hendak ikut melompat pula, gerakannya terlalu lambat dan hampir saja ia tak dapat mencapai genteng. Untungnya ia masih berlaku cepat dan tangannya memegang ujung tiang dibawah genteng hingga tubuhnya bergantung disitu. Beng Han dan Kui Eng cepat memburu, akan tetapi pada saat itu, Bun Hong berseru keras dan pegangannya terlepas hingga tubuhnya jatuh kebawah!
Beng Han dan Kui Eng menjerit cemas dan cepat melompat turun lagi. Mereka masih dapat menyelamatkan jiwa Bun Hong yang sudah hampir dijatuhi hujan senjata oleh para pengeroyoknya dengan mengamuk hebat.
Beng Han lalu memondong tubuh sutenya dan alangkah kagetnya ketika melihat betapa dua batang piauw telah menancap ditubuh sutenya itu, sebuah didada dan sebuah lagi dilehernya! Ternyata bahwa ketika tubuh Bun Hong masih menggantung pada tiang tadi, seorang perwira melepas piauw yang menancap dengan jitu pada sasarannya.
“Sumoi, lari!,” kata Beng Han sambil menghujani para pengeroyok dengan batu yang masih ada didalam kantongnya. Ia tak sanggup melawan lagi karena kini ia harus mempergunakan tangan kanannya untuk memanggul tubuh sutenya yang telah pingsan dan lemas itu.
Kui Eng mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menjaga para pengejar dan sengaja berlari dibelakang Beng Han untuk melindungi pemuda ini yang memanggul tubuh Ji-Suhengnya. Tentu saja para perwira tidak mau melepaskan mereka dan mengejar sambil berteriak-teriak. Jumlah pengejar makin lama makin berkurang, karena yang dapat menyusul ilmu lari cepat Kui Eng dan Beng Han hanya ada tujuh orang perwira saja.
Beng Han mengerahkan sisa tenaganya yang mulai berkurang, sedangkan Kui Eng juga sudah merasa lelah sekali hingga mereka maklum bahwa apabila kali ini mereka tersusul dan terpaksa bertempur lagi, mereka pasti takkan dapat menahan lagi!
Mereka percepat larinya menuju kepintu gerbang kota dan alangkah terkejut mereka ketika melihat bahwa pintu gerbang itu tertutup rapat dan dibawah dinding berbaris seregu penjaga yang siap menanti kedatangan mereka.
“Sumoi, terpaksa kita harus mengadu jiwa disini. Selamat tinggal, sumoi,” berkata Beng Han sambil memindahkan tubuh Bun Hong dipundak kiri, memegangnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya memegang pedang, bersiap untuk bertempur sampai saat terakhir!
Mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda itu, tak terasa pula mata Kui Eng menjadi basah. Alangkah mulia dan gagahnya suhengnya ini. Membela Bun Hong sampai tenaga terakhir! Padahal kalau hendak menyelamatkan diri tanpa memperdulikan keadaan Bun Hong, pemuda itu masih dapat!
“...Suheng, jangan kuatir. Sampai matipun aku takkan terpisah darimu!”
Rombongan penjaga itu sambil berteriak-teriak telah maju mengurung mereka dan segera terjadi pertempuran kembali dengan hebatnya. Walaupun para penjaga itu merupakan lawan yang lunak bagi Kui Eng dan Beng Han, namun jumlah mereka lebih dari seratus orang. Sedangkan dari belakang telah mendatangi tujuh orang perwira, diantaranya Tek Po Tosu, yang mengejar mereka!
Karena benar-benar telah lelah sekali, kembali Beng Han dan Kui Eng menerima desakan hebat dan kini Kui Eng tak dapat mempertahankan diri sebaik tadi Sebuah tusukan tombak telah melukai pahanya, dan Beng Han juga telah menerima sebuah bacokan pedang pada bahu kanannya.
Hanya karena keteguhan hati dan kekuatan semangatnya saja maka ia masih kuat memegang dan memainkan pedangnya, merobohkan beberapa orang penjaga lagi. Kui Eng terpincang-pincang, akan tetapi pedangnya masih lihai dan banyak penjaga masih belum mampu mendekatinya, bahkan ada beberapa orang lagi yang roboh sebagai akibat pembalasan Kui Eng yang marah karena luka itu.
Betapapun gagahnya kedua pendekar muda itu, nasib mereka sudah dapat ditentukan. Takkan lama lagi kiranya bahwa mereka pasti akan roboh dan tewas dibawah hujan senjata. Akan tetapi, pada saat itu, dari atas dinding kota yang tinggi sehelai tali besar diturunkan orang dan seperti monjet-monyet yang pandai.
Nampak beberapa orang meluncur turun dari tali itu, bahkan sesosok bayangan putih yang gesit sekali gerakannya tidak meluncur dari tali. Akan tetapi melayang turun dari atas tembok yang tinggi itu! yang datang itu bukan lain ialah Beng Lian, Yu Tek, dan dua orang guru mereka, yaitu Pek I Nikou dan Tiongsan Lokai!
Mereka berempat ini datang pada saat yang tepat sekali dan setelah Beng Lian dan Yu Tek menyerbu, maka para pengeroyok Kui Eng dan Beng Han menjadi kacau-balau dan terpecah-belah! Tujuh orang perwira pengejar yang tangguh itu datang pula akan tetapi mereka segera menghadapi Pek I Nikou dan Tiongsan Lokai yang lihai dan sakti!
Sebentar saja, seorang diantara mereka telah terkena jarum yang dilepas oleh Pek I Nikou, sedangkan dua orang perwira roboh terkena pukulan tongkat Tiongsan Lokai! Tek Po Tosu marah sekali dan mengeluarkan saputangannya yang dikebutkan kearah Pek I Nikou hingga belasan batang jarum hitam menyambar.
Akan tetapi, sambil tersenyum Pek I Nikou mengebut dengan ujung lengan bajunya dan runtuhlah semua jarum itu. Tek Po Tosu terkejut sekali melihat kepandaian ini dan hatinya menjadi gentar. Ia tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Pek I Nikou yang terkenal sebagai ahli pelepas senjata rahasia segala macam jarum.
Selagi Tek Po Tosu masih tertegun. Pek I Nikou menggerakkan lengan baju sebelah kiri dan tujuh batang jarum yang putih dan mengeluarkan cahaya menyerbu kearah Tek Po Tosu! Pendeta itu terkejut sekali dan cepat menggunakan siang-kiamnya untuk menangkis. Akan tetapi ternyata bahwa jarum-jarum itu dilepas dengan tenaga luar biasa hingga ketika ditangkis, bukannya runtuh kebawah, akan tetapi melejit kesamping hingga melukai beberapa orang kawannya!
Terdengar seruan kesakitan dan tiba-tiba sebatang jarum yang luar biasa cepatnya menyambar kearah leher Tek Po Tosu. Pendeta ini masih mencoba memiringkan tubuh, akan tetapi jarum itu tetap saja mengenai pundaknya hingga ia menjerit roboh tak sadarkan diri karena jarum itu menancap pada urat dipundaknya.
Menyaksikan kehebatan nikou itu dan kehebatan Tiongsan Lokai yang menggerakkan tongkat bambunya secara sembarangan akan tetapi tiap kali tongkat itu bergerak, tentu sebatang senjata lawan dapat dilemparkan, semua pengeroyok menjadi gentar. Juga sepak terjang Beng Lian dan Yu Tek mengagumkan sekali dan cukup membuat para penjaga kacau-balau dan simpang-siur.
Tiongsan Lokai lalu menangkap dua orang penjaga dan menyeret mereka kearah pintu gerbang, memaksa mereka untuk membukanya. Setelah pintu gerbang terbuka, ia berseru keras, “Lari keluar!!”
Yu Tek yang masih segar tenaganya, lalu minta kepada Beng Han untuk menyerahkan tubuh Bun Hong kepadanya, sedangkan Beng Lian tanpa banyak cakap lagi lalu memondong tubuh Kui Eng yang telah terluka pahanya dan tak dapat lari cepat. Demikianlah dibawah lindungan Pek I Nikou yang menyebar jarumnya, mereka keluar dari pintu gerbang itu dan berlari kedalam hutan yang gelap!
Para perwira dan penjaga tidak berani mengejar dan terpaksa kembali untuk merawat kawan mereka. Tiongsan Lokai membawa mereka kesebuah kelenteng rusak didalam hutan itu, dan Pek I Nikou lalu merawat luka yang diderita oleh Kui Eng dan Beng Han.
Adapun keadaan Bun Hong payah sekali hingga ketika siuman dari pingsannya, pemuda ini hanya dapat merintih-rintih dan menangis. Ia merintih bukan karena sakit, akan tetapi karena teringat kepada isterinya. Dalam keadaan panas dan mengigau, ia memanggil nama isterinya, meminta ampun kepada Kim Bwee, bahkan meminta ampun kepada Kui Eng dan Beng Han!
Pek I Nikou yang mengerti juga tentang ilmu pengobatan, hanya menggelengkan kepalanya saja, sedangkan Beng Han memegang tangan sutenya dengan airmata mengalir turun. Juga Kui Eng menangis sambil menggunakan saputangannya yang telah dibasahi untuk mengusap kening Bun Hong yang panas sekali. Beng Lian dan Yu Tek memandang dengan penuh keharuan sambil menjaga agar api unggun dikelenteng itu tidak padam.
“Suheng... suheng...,” kata Bun Hong sambil gerakkan kepala kekanan kiri dengan gelisahnya. Beng Han menekan pergelangan tangan sutenya.
“Aku berada disini, sute...,” katanya menahan isak.
Agaknya saputangan basah yang dingin dan yang digosok-gosokkan pada keningnya oleh Kui Eng itu agak menyadarkan pikirannya yang kacau karena panas, maka Bun Hong lalu memandang kepada Beng Han dengan mata sayu. “Suheng, kau... kau maafkan aku...?”
“Sute, tidak ada sesuatu yang harus dimaafkan. Kau suteku yang baik!” jawab Beng Han.
“Suheng... sampaikan permohonan ampunku kepada suhu...”
Beng Han hanya mengangguk dan menahan jatuhnya airmata yang mulai mengalir keluar lagi.
“Sumoi, kau ampunkan aku, ya...?” Bun Hong memandang sumoinya yang masih mengelus-elus keningnya sambil bercucuran airmata.
“Kau tidak bersalah, Ji-Suheng. Kuatkanlah badanmu, tenangkan pikiranmu.”
“Kau selalu menasehati aku...” Bun Hong mencoba tersenyum akan tetapi bibirnya mengeluarkan keluhan lagi, “sumoi... kau... kau terlalu mulia... hanya suheng yang pantas... kalian harus berjanji... rawatlah baik anakku Sian Lun... suheng, sumoi...”
Tiba-tiba Kui Eng menjerit keras karena melihat betapa tiba-tiba leher Bun Hong menjadi lemas dan nafasnya berhenti! Kui Eng menangis dengan hati hancur. Semenjak kecil, ia merasa bahwa Bun Hong dan Beng Han sajalah orang yang paling dekat dengannya, yang selalu membela dan menolongnya.
Mereka menjadi besar disatu tempat senasib-sependeritaan, dan ia menganggap mereka itu sebagai orang yang paling terkasih. Juga Beng Han meruntuhkan airmata sambil memeluk tubuh sutenya hingga semua orang menjadi terharu, Beng Lian memeluk kakaknya dan menghibur sambil mengucurkan airmata pula.
Pemandangan yang nampak dibawan sinar api unggun yang suram-muram itu sungguh menjedihkan. Seekor diantara tiga naga sakti yang mengamuk di kotaraja dan menggemparkan seluruh penduduk bahkan membuat Kaisar menggigil karena kuatir itu, akhirnya menemui ajalnya, dalam keadaan yang amat menyedihkan.
Lui Sian Lojin ketika mendengar penuturan kedua muridnya, Beng Han dan Kui Eng, tentang kematian Bun Hong, hanya menarik napas panjang dan berkata,
“Bun Hong tewas dalam keadaan gagah dan sudah insyaf akan kesesatannya, maka hal itu tidak sangat mengecewakan, "Kalian telah cukup menderita semenjak kecil dan sekarang karena kalian telah dapat bertemu dengan orangtuamu sudah sewajibnya kalian hidup bersama mereka dan membalas budi mereka dengan perawatan-perawatan yang layak sebagaimana anak berbakti. Kalian berdua telah dewasa dan sudah sepatutnya pula mendirikan rumah-tangga. Tentang perjodohan, aku sebagai guru hanya ikut berdoa saja, segala keputusannya terserah kepada ibu kalian dan kepada kalian sendiri.”
Demikianlah setelah mendapat banyak petua dari suhu mereka, Beng Han dan Kui Eng kembali kerumah ibu masing-masing. Beng Han tinggal didekat Kuil Kwan-Im-Bio sedangkan Kui Eng tinggal bersama ibunya di Kiciu. Beng Han terpaksa harus mengalah dan membiarkan Kui Eng merawat Sian Lun, putera Bun Hong yang sudah yatim-piatu itu.
Akan tetapi, sering sekali Beng Han datang mengunjungi sumoinya dan kasih-sayangnya terhadap Sian Lun membuat anak itu suka sekali kepadanya dan tiap kali ia datang, anak itu tentu segera dipondongnya dan diajak bermain-main.
Waktu berjalan dengan pesat dan dua tahun kemudian, pada suatu hari, serombongan orang menuju ke Kiciu. Mereka ini adalah Pek I Nikou, Siok Thian Nikou ibu Beng Han, Beng Han sendiri, Beng Lian dan Yu Tek. Mereka hendak mengunjungi Kui Eng dan Sian Lun. Ketika rombongan ini tiba-tiba didepan rumah Bu Pok Seng ayah tiri Kui Eng, kebetulan sekali Kui Eng dan ibunya sedang duduk diruang depan bersama Sian Lun yang bermain-main dibawah.
Ketika anak ini melihat Beng Han datang, ia segera berdiri dan berlari-lari menyambut dengan kedua lengan dibuka sambil berseru girang, “Ayah... ayah datang...”
Tersenyumlah semua orang melihat betapa ayah ini memeluk dan memondong anak itu. Memang, semenyak dapat berkata-kata, Sian Lun menyebut “ayah” kepada Beng Han dan “ibu” kepada Kui Eng! Hal ini terjadi dengan sewajarnya, bukan karena disuruh orang, karena anak ini menganggap mereka sebagai orang yang paling baik dan manis terhadapnya. Sedangkan Kui Eng dan Beng Han juga tidak mau membiarkan anak itu mengerti bahwa ia telah yatim-piatu dan tak berayah-ibu lagi.
Siok Thian Nikou bercakap-cakap dengan Pek I Nikou dan Nyonya Bu. “Sungguh sukar mengurus Beng Han itu,” kata Siok Thian Nikou kepada Nyonya Bu, karena disitu tidak terdapat Beng Han dan orang-orang muda lainnya yang bercakap-cakap ditempat lain.
“Telah pinni bujuk agar supaja ia suka mencari jodoh, akan tetapi ia selalu menolaknya. Padahal, adiknya Beng Lian itu tidak mau melangsungkan pernikahannya sebelum melihat kakaknya menikah terlebih dulu. Coba saja pikir, Beng Lian sudah bertunangan lebih dari tiga tahun, dan masih saja ia harus menunggu. Pinni benar-benar bingung...,” Nikou itu menarik napas panjang.
“Hal itu sama benar dengan pengalaman kami disini. Akupun merasa bingung karena Kui Eng tidak mau dikawinkan sungguhpun sudah banyak datang lamaran. Seperti halnya Beng Lian, juga anakku Swi Lan yang sudah bertunangan itu tidak mau dilangsungkan pernikahannya sebelum encinya menikah!”
Mendengar ini, Pek I Nikou tersenyum dan berkata dengan suaranya yang halus dan tenang, “Kalau begitu, mengapa tidak menjodohkan saja kedua anak muda yang keras kepala itu?”
Siok Thian Nikou dan Nyonya Bu Pok Seng saling pandang dengan mata berseri dan mulut tersenyum, penuh arti.
“Mengapa tidak...?” kata mereka hampir berbareng.
Pek I Nikou bertepuk tangan kegirangan. “Omitohud... Buddha sungguh mulia dan pengasih! Sudah setua ini pinni masih mendapat kehormatan untuk menjadi comblang! Serahkan saja hal ini kepada pinni dan kalau usaha pinni ini berhasil, biarlah pinni melanggar pantangan dan melakukan dosa besar untuk menunjukkan kegirangan pinni dengan membasahi bibirku dengan arak pengantin!”
Semua orang tersenyum gembira melihat kejenakaan nikou tua itu.
Sementara itu, didalam taman, Beng Han dan Kui Eng bermain-main dengan Sian Lun. Tadinya Beng Lian dan Yu Tek juga duduk disitu bercakap-cakap dengan mereka, akan tetapi kemudian sepasang pemuda yang bertunangan ini meninggalkan mereka bertiga dan berjalan-jalan melihat pemandangan kota Kiciu.
“Suheng, Sian Lun suka sekali padamu,” kata Kui Eng dengan wajah berseri melihat Beng Han sambil memondong Sian Lun berusaha menangkap kupu-kupu yang terbang diatas kembang.
Beng Han hanya balas memandang sambil tersenyum dan berkata kepada Sian Lun, “Kupu-kupunya tak dapat ditangkap, terlalu gesit.” Padahal ia tidak mau menangkap kupu-kupu itu karena kasihan.
Sian Lun merengek. “Tangkaplah, ayah tangkaplah kupu-kupu itu untukku!”
“Jangan, Sian Lun, nanti dia mati, kasihan...” kata Beng Han.
Sian Lun lalu meronta minta turun dan berlari kepada Kui Eng. “Ibu... ayah nakal, ibu. Kau harus pukul padanya!” katanya dengan sikap manja sambil menuding kearah Beng Han.
“Hush, jangan nakal, Sian Lun,” kata Kui Eng tetapi anak itu menangis dan mendesak agar supaya ibunya memukul ayahnya yang nakal itu!
Kui Eng dan Beng Han saling pandang, teringat kepada Bun Hong yang keras kepala dan nakal, Anak ini benar-benar seperti Bun Hong! “Baiklah kupukul dia, akan tetapi kalau kau yang nakal, kaupun akan kupukul!,” akhirnya Kui Eng mengalah dan menghampiri Beng Han, mengangkat tangan dan pura-pura memukul bahu pemuda itu.
Beng Han yang hendak menggoda Sian Lun, pura-pura mengaduh dan menutupi muka dengan kedua tangan dan membuat suara seperti orang menangis. Terbelalak muka Sian Lun memandang ayahnya dan ia lalu berlari menghampiri Beng Han yang duduk diatas rumput, memeluk ayahnya dan berkata,
“Ayah... kau sakit dipukul ibu, ayah...” Kemudian, anak itu memandang kepada ibunya dan berkata, “Ibu, kau nakal, mengapa kau pukul ayah sampai sakit?”
“Eh, bukankah kau yang menyuruhku tadi?” kata Kui Eng sambil tersenyum.
“Ya, akan tetapi jangan keras memukulnya!”
Beng Han tak dapat menahan gelak-tawanya, dan juga Kui Eng tertawa geli hingga Sian Lun memandang heran sekali. Bukan main senang dan bahagianya rasa hati Kui Eng dan Beng Han pada saat itu dan ketika mereka saling memandang tiba-tiba suara ketawa mereka terhenti dan dua pasang mata itu bertemu dan saling pandang bagaikan kena pesona. Hati mereka masing-masing berbisik dalam lagu yang sama dan suara yang sama pula,
“Alangkah bahagianya kalau kita bertiga dapat berkumpul merupakan satu rumah-tangga yang bahagia...”
Hati kedua orang muda ini telah terbuka, dan keduanya telah siap-sedia mengangguk dan menyatakan setuju, hanya menanti datangnya sebuah tangan yang akan diulurkan dan akan mempertemukan kedua hati itu. Dan tangan inipun telah mendekat tanpa mereka ketahui, yakni tangan Pek I Nikou yang hendak mengangkat diri menjadi comblang!
Kebahagiaan telah berada diambang pintu bagi mereka tanpa mereka ketahui. Ketika terdengar suara tertawa dan tepuk-tangan Pek I Nikou yang bergirang itu dari dalam rumah, barulah mereka sadar bahwa semenyak tadi mereka telah saling pandang bagaikan terkena pesona hingga keduanya menundukkan muka dengan malu-malu dan dada berdebar.
“Sumoi,” kata Beng Han tanpa mengangkat muka sambil membelai kepala Sian Lun, “Anak ini seperti anakku sendiri...”
“Demikianpun perasaan hatiku, suheng...”
Keduanya tak dapat berkata-kata lagi sampai datangnya Pek I Nikou yang dengan wajah berseri mengulurkan tali pengikat hati mereka berdua.
Mendengar pinangan ini, Kui Eng lalu berlari masuk dan membanting tubuhnya diatas pembaringan sambil menangis karena... girang!
Semenjak gagalnya penyerangan Bun Hong, Beng Han dan Kui Eng yang merupakan tiga naga sakti mengamuk, Thio-Thaikam bukannya merasa jerih dan kapok, bahkan lalu memperlihatkan keganasannya makin hebat pula. Petani yang merasa tertekan dan tercekik, akhirnya tak kuat menahan penderitaan itu dan mulai tahun 874, memberontaklah para petani itu dengan hebatnya!
Dimana-mana rakyat bangkit dan memberontak hingga akhirnya Thio-Thaikam dibunuh mati oleh rakyat, bahkan Kaisar Tang sendiri sampai terusir dan lari dari istananya yang diduduki oleh barisan petani! Pembesar tinggi yang jahat mendapat bagaiannya dan banyak yang dibinasakan.
Sungguhpun lima tahun kemudian, barisan petani ini dapat dipukul mundur oleh tentara kerajaan yang mendapat bantuan dari barisan Turki barat, namun pemberontakan itu telah membuat gentar hati para pembesar dan Kaisar hingga mereka tidak berani berlaku sewenang-wenang lagi.
Dan sementara itu, pada suatu hari, bertemulah tiga pasang pengantin dengan penuh bahagia, mereka ini ialah Beng Han dengan Kui Eng, Beng Lian dengan Yu Tek, dan Swi Lan dengan Min Tek!