Pedang Asmara Jilid 02

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pedang Asmara Jilid 02
Sonny Ogawa

Pedang Asmara Jilid 02 karya Kho Ping Hoo - Dengan nekat, pemuda remaja berusia tiga belas tahun lebih ini mencoba untuk lari menerobos kepungan, akan tetapi dia diketahui, dikejar dan akhirnya ditangkap. Temucin dihadapkan Targoutai yang menjadi girang bukan main melihat orang yang dianggap musuh besar itu tertangkap.

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Orang Mongol pada umumnya memiliki keangkuhan dan Targoutai juga ingin memamerkan keberhasilannya itu kepada orang banyak. Karena tu, Temucin tidak dibunuhnya, melainkan di tawan dan dikalungi kang di lehernya. Kang adalah papan tebal yang diberi lubang sebesar leher, kemudian dipasangkan di leher Temucin dan dengan kang di leher, seseorang tentu saja tidak mungkin dapat melarikan diri dengan bebas.

Selain papan yang persegi lebar itu menjadi penghalang gerakan, juga semua orang akan melihat bahwa dia adalah seorang pelarian, dan para pengejarnya juga akan mudah mendapatkan dan menangkapnya kembali Targoutai bermaksud membawa pulang Temucin untuk dipamerkan kepada semua kepala kelompok, dan kemudian dibunuhnya.

Kalau para kepala kelompok menyaksikan sendiri bahwa putera mendiang Yesukai telah ditangkap maka kekuasaan dan pengaruhnya terhadap mereka akan menjadi semakin besar, dan hal ini akan memungkinkan membesarnya kekuasaan dengan menggabungnya kepala-kepala kelompok yang lain.

Demikianlah, Temucin lalu digiring mengikuti para perajurit Targoutai dan dibiarkan berjalan kaki setelah diberi makan agar tidak mati kelaparan. Karena harus berjalan kaki menempuh jarak jauh maka ketika pasukan itu berhenti keadaannya sedemikian lemah tak berdaya sehingga dia dibiarkan saja, ditinggalkan bersama seorang perajurit penjaga sedangkan seluruh pasukan bersuka ria merayakan kemenangan dan keberhasilan mereka menangkap Temucin.

Temucin, anak yang usianya belum genap empat belas tahun itu, amatlah cerdik. Melihat betapa dia ditinggalkan bersama seorang penjaga saja, di malam gelap itu, dia lalu cepat memejamkan mata dan membuat tubuhnya lemas seolah-olah dia berada dalam keadaan pingsan atau setengah sadar. Beberapa kali ia mengeluarkan rintihan dan keluhan betapa nyeri-nyeri semua tubunnya, betapa lemas kedua kakinya dan betapa pening kepalanya.

Mendengar keluhan-keluhan ini, tentu saja penjaga yang hanya seorang itu merasa lega. Tawanan yang harus dijaganya hanyalah seorang pemuda yang belum dewasa, seorang bocah yang sudah dipasangi kang pada lehernya, dan dalam keadaan lemah dan tak berdaya. Hal ini membuat dia lengah dan dia pun duduk melenggut melepaskan lelahnya dan juga kedongkolan hatinya karena dia yang ditunjuk menjaga anak tawanan ini, padahal semua kawannya sedang bersuka ria di luar sana!

Dalam keadaan duduk bersandar batu dalam kemah itu setengah rebah, sepasang mata Temucin yang lebar dan mencorong itu mengintai dari balik bulu matanya. Tak pernah dia berhenti mengikuti gerak-gerik penjaganya, dan telinganya juga memperhatikan keadaan di luar kemah.

Dari suara ketawa tawa tahulah dia bahwa orang-orang di luar itu sedang berpesta pora dan mungkin telah memperoleh beberapa orang tawanan wanita karena terdengar pula jerit wanita diseling ketawa kasar orang orang suku Taijut itu. Dan suara ketawa itu pun menunjukkan bahwa di antara mereka banyak yang sedang mabuk minuman keras.

Akan tetapi Temucin tidak tergesa-gesa karena penjaganya masih duduk dengan tubuh tegak, tanda bahwa penjaganya masih sadar sepenuhnya. Dia lalu melamun dan membayangkan betapa ibu kandungnya, para ibu tiri dan adik-adiknya yang masih kecil, kini tentu sudah berada di lingkungan kelompok yang mau menerima dan melindungi mereka, mengingat akan hubungan baik mereka dengan mendiang ayahnya.

Semua milik keluarganya telah diserahkan kepada ibunya, termasuk benda kesayangannya, yaitu Baja Dewa Hijau. Ketika membawa benda itu ke kelompoknya dan dia bertanya kepada orang anggauta kelompok yang tua dan berpengalaman, kakek itu terkejut dan kagum melihat benda itu.

"Ini adalah Batu Asmara, Tidak keliru lagi! Ah, selama hidupku baru dua kali ini aku melihat batu ajaib ini, yang pertama hanya sebesar kepalan tangan dan itu pun cukup ampuh dan berhasil menyehatkan kembali ratusan orang. Dan engkau telah mendapatkan sebesar dan sepanjang ini. Ah, kalau dibuat menjadi senjata, tentu hebat bukan main."

Demikian antara lain kakek itu berseru. Karena itu, Temucin makin sayang kepada benda itu dan ketika keluarganya melarikan diri dan dia memisahkan diri, dia menyerahkan benda itu kepada ibunya dengan pesan agar ibunya menyimpannya baik baik untuknya.

Dia pasti akan kembali kepada ibunya. Dia pasti akan berhasil menjadi pemimpin besar bangsanya kelak, agar bangsanya tidak terhina oleh tikus tikus macam Targoutai ini! Akan tetapi untuk itu, dia sekarang harus dapat membebaskan diri terlebih dahulu.

Penjaga itu kini sudah melenggut, kepalanya terangguk-angguk dan tubuhnya sudah miring. Inilah kesempatan baik, pikir Temucin dan dia mulai memperhitungkan, bagaimana dia akan dapat merobohkan orang ini. Tanpa merobohkannya, kalau hanya melarikan diri begiti saja, akan berbahaya. Akan tetapi, dia tidak membawa senjata dan kalau mememukul dengan tangan saja, dia khawatir tidak akan mampu membuat orang itu roboh pingsan atau mati.

Tiba-tiba dia tersenyum! Kang yang tergantung dilehernya ini! Terbuat dari papan yang tebal, keras dan berat. Masih ada rongga di antara tepi lubang dan lehernya dan dapat dia masuki jari-jari tangannya. Kalau dia memukul tepat di kepala orang itu dengan pinggiran papan, terutama sudut yang runcing, tentu akan berhasil.

Ah, kalau menggunakan akal, apa pun ada gunanya, bahkan kang yang membelenggu lehernya itu pun dapat berguna, pikirnya gembira dan dia pun bangkit perlahan-lahan, matanya tak pernah melepaskan tubuh penjaga yang duduk melenggut membelakanginya itu!

Temucin adalah seorang anak Mongol tulen yang sejak kecil telah hidup dalam cara hidup yang keras, penuh bahaya dan tantangan. Juga ayahnya adalah seorang kepala kelompok yang gagah berani dan yang mendidik puteranya menjadi calon seorang jantan yang gagah perkasa.

Gemblengan hidup membuat Temucin menjadi seorang remaja yang bertubuh kuat dan berhati tabah. Kedua tangannya sama sekali tidak gemetar ketika memegang kang, di sela-sela antara leher dan pinggir lubang alat penjepit leher itu. Kemudian dia memasang kuda-kuda, dan melompat sambil mengarahkan ujung tepi papan kang itu ke arah kepala orang.

"Dukkk!" Keras sekali ujung papan itu menghantam kepala si penjaga, tepat di atas tengkuk dan orang itu pun terpelanting roboh dan tidak sempat mengeluarkan keluhan sedikit pun. Melihat orang itu roboh dan tak bergerak, Temucin tidak peduli apakah orang itu mati atau hanya pingsan saja. Dia lalu cepat menyelinap dan meninggalkan kemah itu menghilang ke dalam bayang-bayang pohon dan kemah-kemah yang gelap.

Ternyata bulan telah muncul, menyinari pohon-pohon dan perkemahan para anggauta pasukan Targoutai yang masil nampak berpesta pora di antara pohon-pohon. Temucin cepat menyelinap di balik semak belukar dan menuju ke sungai yang dilalui rombongan itu siang tadi.

Akan tetapi, belum satu jam dia meninggalkan kemah, seorang perajurit datang memasuki kemah untuk menggantikan tugas jaga. Alangkah kagetnya melihat rekannya roboh pingsan dengan kepala berdarah dan tawanan itu telah lenyap! Dia segera berteriak-teriak dan gegerlah keadaan di situ. Targoutai menjadi marah sekali.

"Cari dia! Tangkap dan belenggu kaki-tangannya. Tangkap dia, hidup atau mati!" teriaknya dengan berang.

Para perajurit lalu bergegas pergi mencari dengan berpencaran. Tak lama kemudian tibalah mereka di tepi sungai, akan tetapi tidak nampak seorang pun manusia. Bayangan Temucin tidak nampak seolah-olah pemuda cilik itu telah lenyap tertelan bumi!

Ke manakah perginya Temucin? Dia bersembunyi di dalam air di tepi sungai yang airnya tenang. Di tepi sungai itu tumbuh banyak ilalang dan Temucin menyelam, hanya nampak kepalanya saja di antara ilalang sehingga tidak mudah nampak dari atas. Temucin melihat betapa banyak perajurit lewat di tepi sungai itu tanpa melihatnya.

Akan tetapi seorang perajurit yang berjalan menyendiri, ikut mencari, tiba-tiba berhenti di atas tebing sungai dan menjenguk ke bawah! Temucin melihat betapa mata orang itu dapat melihat. Perajurit itu kelihatan terkejut, lalu menoleh ke kanan kiri, akan tetapi tidak mengeluarkan suara. Setelah para perajurit yang lain sudah jauh, barulah perajurit itu berbisik, "Kamu Temucin?"

Temucin tidak dapat mengelak lagi, maka dia pun menjawab dengan bisikan pula, "Benar, aku Temucin."

"Demi mendiang Yesukai Khan, aku akan menolongmu. Kalau sudah sepi pergilah ke hutan di sana itu, aku menantimu di sana." Setelah berkata demikian, perajurit itu pun pergi meninggalkan Temucin.

Masih berdebar jantung Temucin. Dia nyaris tertawan kembali. Kalau saja orang itu sampai berteriak, tentu dia tidak akan mampu lolos lagi dan sekali tertangkap, dia tidak dapat mengharapkan hidup lebih lama lagi. Dia tahu betapa Targoutai menghendakl nyawanya. Timbul keraguan di hatinya. Apakah dia akan melarikan diri setelah terbuka kesempatan baik ini! Ataukah menuruti permintaan orang tadi?

Bagaimana kalau orang yang menangkapnya? Ah, tidak mungkin. Kalau hendak menangkapnya, tentu tadi pun sudah dapat menangkapnya dengan mudah. Dan melarikan diri dengan kang masih mengurung leher, sungguh merupakan hal yang sukar sekali, bahkan muslahil dia akan berhasil.

Para perajurit anak buah Targoutai tentu akan mencari terus dan tidak sukar mencari yang memakai kang di lehernya. Apalagi dia tidak berkuda, hanya berjalan kaki dikejar oleh pasukan berkuda! Agaknya orang itu mempunyai rencana yang lebih baik maka menyuruh dia pergi ke hutan itu.

Setelah keadaan menjadi sunyi sekali dan sudah agak lama terdengar suara orang-orang yang mengejarnya itu menjauh sehingga tidak terdengar suara mereka lagi, barulah Temucin keluar dari dalam air dan segera menuju ke hutan yang ditunjuk tadi. Perajurit itu telah berada di situ, membawa gergaji kang itu sehingga terbelah dan terbebaslah Temucin dari belenggu kang.

"Sobat, terima kasih! Siapakah engkau dan mengapa engkau membebaskan aku?"

Orang itu menarik napas panjang. ”Ketahuilah bahwa aku bukan orang Taijut. Aku orang Mongol dan aku pernah menjadi bawahan ayahmu yang gagah perkasa. Kebetulan saja aku kini menjadi anggauta suku Taijut karena aku menikah dengan wanita Taijut. Akan tetapi aku tidak dapat membiarkan engkau, putera Yesukai yang gagah perkasa, menjadi korban keganasan Targoutai. Namaku Hassou."

"Baik, terima kasih sekali lagi dan aku Temucin tidak akan melupakan jasamu, Hassou. Sekarang biarkan aku pergi....."

"Nanti dulu, Temucin. Kalau engkau pergi begitu saja, tentu engkau akan dapat dikejar dan disusul dan kalau sampai tertawan, celakalah engkau. Targoutai tidak akan mengampunimu lagi. Aku ada akal, marilah kau ikut dengan aku, bersembunyi di dalam gerobakku sampai mereka itu tidak lagi mengejar dan mencarimu."

Temucin menurut dan dibawalah Temucin oleh Hassou menuju ke perkemahan pasukan Targoutai. Dengan menyelinap di bawah bayangan-bayangan gelap, Hassou berhasil menyembunyikan Temucin di dalam gerobak yang memuat bulu domba.

Dapat dibayangkan betapa sengsaranya bersembunyi di dalam tumpukan bulu domba yang panas itu. Apalagi ketika para perajurit yang masih penasaran dan mencari-cari Temucin, menusuk-nusukkan lembingnya ke dalam gerobak sehingga sebuah tusukan lembing sempat melukai kaki kiri Temucin.

Setelah pasukan itu mencari dengan sia-sia sehingga akhirnya Targoutai menjadi putus harapan dan memerintahkan pasukan meninggalkan tempat itu, baru Hassou mengeluarkan Temucin dari dalam gerobak.

"Hati-hatilah engkau, Temucin. Ingat, kalau tadi mereka menemukan engkau di sini, aku dan seluruh keluargaku tentu dibunuh oleh Targoutai. Sekarang pergilah dengan cepat dan cari keluarga ibumu." Dia memberikan bekal daging kering, susu dan gendewa lengkap dengan anak panahnya.

Temucin lalu melarikan diri, tidak khawatir dikejar karena pasukan itu telah siap meninggalkan tempat itu, kembali ke perkampungan mereka. Ketika dia kembali ke perkemahannya yang dulu, ternyata perkemahan itu telah rusak binasa, dibakar oleh musuh dan tidak tertinggal sepotong pun barang yang ada harganya. Dia pun segera berangkat mencari dan menyusul rombongan ibunya.

Setelah melacak jejak mereka dan bertanya-tanya, akhirnya Temucin dapa pula menemukan keluarga ibunya. Pertemuan Itu amat mengharukan Holun, wanita yang masih nampak cantik jelita, keras hati dan gagah perkasa itu merangkul putera sulungnya, tidak menangis walaupun ia menggigit bibir dan tidak mengeluarkan kata-kata.

Hanya pelukannya terasa oleh Temucin dan debar jantung ibunya menunjukkan betapa ibunya amat berduka, kehilangan suami dan kini kehilangan kemuliaan sebagai isteri seorang khan yang dihormati. Sebaliknya, kini keluarga mereka menjadi keluarga pelarian yang dikejar-kejar musuh tanpa ada yang melindungi mereka!

"Ibu, tenangkanlah hatimu, Ibu. Aku berjanji, kelak aku akan mengangkat kembali derajat Ibu, jauh melebihi yang sudah-sudah. Akan kutunjukkan kepada dunia bahwa keturunan ayah Yesukai akan menegakkan kembali kejayaan keluarga nenek moyang kita!"

Mendengar ini, Holun tersenyum dan ia mengusir dua titik air mata dengan punggung tangannya, tersenyum penuh kebanggaan. "Aku percaya, anakku." bisiknya seperti doa restu.

"Ibu, tentu Ibu masih menyimpan Batu Asmara itu, bukan?"

Ibunya mengangguk. "Ada kusimpan baik-baik, anakku."

"Simpanlah, Ibu. Akan kuminta kalau aku membutuhkannya kelak."

Demikianlah, keluarga Temucin tinggal berpindah-pindah dari kelompok ke kelompok sampai akhirnya mereka tinggal di kelompok yang berada di bawah kekuasaan Galasing, yang masih terhitung pamannya yang jauh. Galasing menerima mereka dengan baik sebagai anggauta kelompoknya.

Temucin tiada hentinya menghubungi kelompok-kelompok, membicarakan tentang kebesaran mendiang ayahnya dan betapa dia berusaha untuk mempersatukan para kelompok itu menjadi kelompok yang besar dan kuat untuk menentang kekuasaan Targoutai, kepala suku Taijul yang memusuhi orang-orang Mongol itu.

Di mana-mana Temucin mendapat sambutan gembira. Orang-orang masih ingat akan kegagahan Yesukai, akan tetapi tentu saja mereka masih menyangsikan apakah pemuda yang masih remaja, usianya baru empat belas lima belas tahui ini akan mampu menjadi seorang pemimpin.

Temucin tidak putus asa. Dibantu oleh dua orang adiknya yang sudah semakin besar, yaitu Kassar si ahli panah dan Belgutai yang amat setia kepadanya Temucin mulai membuat nama besar dengan perbuatan yang gagah berani baik dalam perburuan maupun dalam menghadapi perampok-perampok yang berani mengganggu kelompok mereka. Oleh karena ini, nama Temucin mulai dikenal dan dikagumi.

Ada satu hal lagi yang amat mengagumkan dalam watak Temucin. Dalam keadaan demikian sengsara, dia tidak cengeng. Watak ibunya menurun kepadanya. Dia tidak cengeng dan tidak mau banyak mengeluh. Juga dia memiliki keangkuhan dan harga diri yang besar. Kalau dia mau, sesungguhnya ada dua sumber yang akan dapat menolong keadaan Keluarga ibunya.

Yang pertama adalah kepala kelompok Karugai atau yang juga dikenal dengan nama Munlik, yaitu ayah dari Bortay tunangannya. Tentu mereka itu akan menerima keluarga ibunya dengan senang hati dan akan mengulurkan tangan membantu, karena bukankah keluarga itu masih menunggunya dan menganggap dia sebagai calon suami Bortay? Akan tetapi dia mempunyai harga diri yang tinggi dan merasa malu untuk minta pertolongan kepada calon ayah mertuanya.

Sumber ke dua adalah kepala suku Kerait yang sudah lanjut usianya dan amat besar pengaruhnya itu. Kepala suku Kerait ini adalah seorang kulit putih yang tadinya adalah seorang pendeta Kristen bernama Pendeta Yohanes kemudian terkenal dengan nama Toghrul, kepala suku Kerait yang berkuasa penuh. Kepala suku Kerait yang berkedudukan kuat ini bersahabat baik sekali dengan mendiang Yesukai.

Bahkan mereka telah menjadi saudara angkat dan saling bersumpah setia! Ikatan yang amat kuat ini saja membuat Temucin menjadi anak angkat dari Tohrul, dan sudah barang tentu kedatangan dia dan keluarga ibunya akan disambut dengan baik seandainya Temucin mau membawa keluarga ibunya ke sana. Akan tetapi, jiwa Temucin terlalu besar untuk melakukan hal itu.

Ketika ada di antara adik tirinya yang mengingatkan dia akan hal itu, yaitu minta pertolongan kepala suku Kerait yang besar, Temucin bahkan menghardiknya. "Kalau orang datang kepada teman dengan tangan kosong dan bersikap seperti seorang pengemis, dia akan dihina dan tidak akan disambut dengan sikap bersaudara."

Temucin tidak mau datang sebagai orang yang minta-minta belas kasihan dari siapapun juga. Dia keras hati, akan tetapi juga menghargai kegagahan, membenci kecurangan dan ketidak-setiaan, menjauhi sifat pengecut dan melanggar janji. Selama dalam keadaan hidup sengsara ini, Temucin juga tidak pernah berhenti mengumpulkan ilmu-ilmu yang berguna baginya.

Dia mendatangi kepala-kepala kelompok yang tua dan berbincang-bincang tentang ilmu berburu atau ilmu perang, juga mendatangi jago-jago gulat yang terkenal, ahli-ahli bermain lembing, pedang atau anak panah, menimba pengalaman dan ilmu dari mereka, Lalu melatih diri tiada hentinya dan dengan tekun sekali.

Bahkan dalam perantauannya mencari ilmu, dia mengunjungi para pertapa di Pegunungan Go-bi, dan berhasil bertemu dengan pertapa-pertapa yang pandai ilmu silat. Dari mereka inilah dia memperoleh banyak petunjuk tentang ilmu bermain pedang, bahkan ilmu menotok jalan darah dan ilmu bersilat tangan kosong. Para pertapa itu kagum melihat pemuda Mongol yang demikian tangkas, gagah berani dan bersemangat tinggi sekali.

Para pertapa yang berpemandangan tajam dapat melihat bahwa pemuda Mongol ini berbakat untuk menjadi orang besar, dan ada cahaya tertentu nampak padanya yang menandakan bahwa kelak dia akan menjadi seorang raja!

Juga kedua orang adiknya Kassar dan Belgutai, meniru contoh yang diberikan kakak mereka itu. Kassar yang berbakat baik sekali dalam ilmu memanah, memperdalam ilmunya itu sehingga kelak dai menjadi seorang ahli panah yang paling terkenal di seluruh Mongol.

Belgutai juga pandai bermain silat tombak dan otaknya cerdik sekali. Demikian pula, adik-adik Temucin yang lain memperoleh contoh baik dari kakak-kakak mereka sehingga mereka pun tumbuh menjadi pemuda-pemuda remaja yang gagah.

Demikianlah, riwayat singkat dari Temucin sampai diadakannya pemilihan calon kepala suku yang diadakan di perkemahan kelompok Galasing. Seperti yang telah diceritakan di bagian terdepan dari kisah ini. Temucin yang baru berusia lima belas tahun itu berhasil keluar sebagai pemenang.

Kemenangannya disambut dengan perasaan gembira oleh para kepala kelompok, dan mereka teringat akan kegagahan mendiang Yesukai Khan, ayah kandung pemuda yang kini menjadi wakil mereka, calon tunggal untuk pemilihan ketua suku di seluruh Mongol, menguasai seluruh daerah utara dari Gurun Go-bi. Melihat ketangkasan pemuda berusia lima belas tahun itu, para kepala kelompok kini tidak ragu-ragu lagi.

Mereka maklum bahwa Temucin, biarpun masih muda sekali, sudah memiliki kemampuan hebat yang dapat diandalkan! Hanya seorang saja yang diam-diam merasa murung, yaitu Galasing! Kini makin bertambah kekhawatirannya bahwa suatu hati, Temucin akan merampas kedudukannya, dan bukan putera kandungnya yang kelak akan menggantikannya, melainkan Temucin!

"Temucin, engkau telah menjadi pemenang dan engkaulah calon satu-satunya dari kelompok-kelompok daerah ini yang akan mewakili kami memperebutkan kedudukan kepala suku. Karena engkau harus memperjuangkan kedudukan itu dan engkau akan banyak meninggalkan keluarga ibumu, sebaiknya kalau mulai sekarang ibumu tinggal bersama kami di sini." kata Galasing kepada Temucin dengan sikap ramah.

Temucin tidak dapat melihat pamrih yang tersembunyi di balik senyum manis Galasing itu. Sudah lama Galasing merindukan Holun, janda Yesukai yang cantik jelita dan gagah itu. Namun, selama ini dia menahan berahinya karena dia tidak ingin mempergunakan kekerasan khawatir kalau sampai bermusuhan dengan putera-putera Yesukai yang berani dan tangkas, sedangkan dengan cara halus, kiranya tidak mungkin menundukkan hati janda yang keras dan berani itu.

Kini, bukan sekedar berahi akan janda yang masih nampak muda dan cantik itu saja yang mendorongnya bersikap baik terhadap Temucin, juga ada pamrih lain yaitu agar dia menjadi ayah tiri Temucin. Kedudukan sebagai ayah inilah yang hendak dia pergunakan untuk menundukkan Temucin, kalau perlu melalui ibu kandung pemuda itu!

"Terima kasih, paman Galasing sungguh baik hati sekali. Kalau ibu suka, aku pun tidak keberatan, bahkan merasa lebih aman meninggalkan ibu karena ada Paman yang melindungi keluarga ibu." demikian jawab Temucin.

Janda Holun menerima baik penawaran Galasing, dan berpindahlah keluarga itu ke dekat perkemahan Galasing. Semenjak itu, Temucin dan adik-adiknya merasa lebih bebas untuk merantau dan menambah ilmu pengetahuan atau mengunjungi kepala-kepala klan atau kelompok untuk membuat persekutuan dengan mereka untuk memperkuat diri dan mencari dukungan.

Pada suatu hari Temucin minta Baja Dewa Hijau atau yang juga dinamakan Batu Asmara oleh para tokoh Mongol dari ibunya, lalu berpamit kepada ibunya untuk merantau. "Mungkin kepergianku kali ini aka agak lama, Ibu." katanya. "Aku hendak membuatkan sebatang pedang dari Batu Asmara ini, juga aku hendak berangkat mengikuti pemilihan kepala suku di utara. Harap Ibu menjaga diri baik-baik di sini."

Ibunya tidak banyak bertanya, hanya merangkul puteranya dan membisikkan doa restunya. Berangkatlah Temucin meninggalkan perkemahan kelompok yang dipimpin oleh Galasing itu. Beberapa hari yang lalu dia telah melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa di dekat Danau Baikal terdapat seorang ahli pembuat pedang yang amat pandai.

Taktamuka, demikian nama ahli pembuat pedang itu, merupakan seorang ahli pembuat pedang yang paling terkenal di seluruh Gurun Go-bi. Wataknya amat aneh. Kalau dia tidak sedang senang hati, biar dijanjikan hadiah besar, atau diancam sekalipun, dia tidak akan mau mengerjakan suatu pesanan.

Bahkan kabarnya pernah dia berani menolak pesanan Raja Tartar, hanya karena dia merasa tidak senang diperlakukan dengan sikap menghina oleh utusan raja itu! Dan biarpun ia berani mati menantang semua ancaman, sampai lanjut usianya, belum ada yang pernah mau mengganggunya. Hal ini adalah karena semua orang, tak terkecuali, masih mengharapkan untuk sekali waktu mendapatkan sebatang senjata buatan kakek ini.

Kabarnya, selain buatannya bagus, juga senjata buatan kakek ini mempunyai keampuhan yang luar biasa! Kabarnya, menurut desas-desus tahyul, pembuatan senjata oleh kakek ini dibantu oleh dewa-dewa dan senjata yang dibuatnya itu mempunyai "isi" seperti benda hidup.

Mendengar berita tentang ahli pembuat pedang ini, berangkatlah Temucin ke Danau Baikal, membawa Batu Asmara atau Baja Dewa Hijau yang amat disayangnya itu. Di sepanjang perjalanan yang jauh ini. Temucin menggunakan kesempatan itu untuk berkunjung ke perkemahan kelompok-kelompok Mongol lainnya.

Untuk memperkenalkan diri sebagai putera mendiang Yesukai Khan dan menceritakan bahwa dia yang akan melanjutkan pimpinan atas kelompok sukunya dan dia menawarkan persekutuan dengan mereka, mengingat akan makin berkuasanya suku Taijut yang dipimpin Targoutai yang selalu memusuhi bangsa Mongol.

Pemuda ini memang pandai bicara dan dia berhasil membujuk banyak kepala kelompok yang melihat kenyataan betapa setelah Yesukai Khan meninggal dunia dan banyak kepala kelompok yang menjadi korban kebuasan suku Taijut. Hanya dengan persatuan yang kokoh kuai saja maka bangsa Mongol akan menjadi kuat dan jaya, demikian antara lain Temucin mengemukakan pendapatnya.

Dan dalam tindakannya, dia pun tidak serakah, dia tidak menuntut apa-apa dari para kepala kelompok, melainkan hanya persekutuan dan persatuan, saling bantu membantu dalam menghadapi musuh dan kesukaran lain. Dia tidak menuntut upeti yang dipaksakan seperti para pimpinan lain, melainkan hanya menuntut kerja sama, saling bantu dan setia kawan.

Karena yang ditawarkan adalah keuntungan bersama, maka banyak kepala kelompok menyambutnya, apalagi ketika mereka mendengar bahwa pemuda ini telah memenangkan pilihan calon kepala suku dan menjadi wakil untuk pemilihan seluruh suku Mongol yang akan diadakan di utara.

Aknirnya, tanpa halangan yang penting di dalam perjalanan, tibalah Temucin di Danau Baikal. Tidak sukar baginya untuk mencari tempat tinggal ahli pembuat pedang itu karena semua orang yang tinggal di daerah itu tahu belaka di mana tempat tinggal Taktamuka. Sebuah pondok di lereng bukit yang sunyi dan menyendiri. Dari jauh Temucin sudah mendengar berdentingnya besi bertemu besi, suara yang biasa terdengar dari dalam bengkel seorang pandai besi.

Dia mempercepat larinya kuda yang ditungganginya dan ketika dia tiba di depan pondok itu, dia melihat seorang kakek sedang bekerja, memukul besi merah dengan kedua kaki terpentang lebar dan membelakanginya. Temucin meloncat turun dari kuda, mengikat kendali kuda di kayu tambatan yang berada di luar, kemudian dia melangkah ke pintu dan memberi salam dengan suara nyaring.

Kakek itu menghentikan pekerjaannya, membalikkan tubuh dan melinat banwa yang datang adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap, dengan mata yang lebar dan mencorong tajam, wajah yang membayangkan semangat yang menyala-nyala seperti nyala api dalam perapian bengkelnya.

Dia tertarik sekali dan segera meninggalkan pekerjaannya, melangkah ke pintu dan sejenak mengamati pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Pemuda sederhana dan jelas menunjukkan bahwa dia datang dari jauh.

"Engkau siapakah, orang muda? Siapa nama, dari mana dan apa keperluanmu datang mengganggu orang tua yang sedang bekerja?"

Diam-diam Temucin juga memperhatikan kakek itu. Seorang kakek yang usianya tentu enam pulun tahun lebih, namun tubuhnya yang tinggi besar itu masih kokoh kuat, kedua lengannya yang telanjang itu masih dilingkari otot-otot yang besar, dan matanya juga tajam.

Sikapnya demikian kaku dan sama sekali tidak bermanis muka, berbeda dengan adat kebiasaan orang Mongol yang selalu menyambut tamunya dengan manis budi walaupun selalu bercuriga. Kakek ini menyambut orang tanpa upacara dan matanya seperti menembus dada menjenguk isi hati.

Mengingatkan Temucin akan mata seorang dukun sihir yang pernah dilihatnya di perkemahan sebuah suku di barat. Mengerikan! Akan tetapi karena dia datang dari tempat jauh dengan maksud baik, yaitu hendak membuatkan sebatang pedang tanpa pamrih lain yang buruk terhadap orang aneh ini, dia pun bersikap tenang ketika menjawab lantang.

"Aku bernama Temucin, putera mendiang Yesukai Khan yang gagah perkasa. Aku datang dari selatan, jauh ke tempat ini menemui Paman yang mulia dengan satu niat saja, yaitu hendak membuatkan sebatang pedang dari Batu Asmara yang kumiliki."

Sepasang mata yang sipit itu terbelalak, mengandung kekagetan dan keheranan. "Batu Asmara? Dan engkau putera Yesukai Khan? Sudah kudengar nama besarnya. Hemmm, kalau seorang putera Yesukai Khan yang datang, apalagi memiliki bahan yang amat baik, sepatutnya kalau kulayani. Akan tetapi aku ingin melihat dulu bahan itu, apakah benar baik dan cukup berharga untuk kuolah menjadi pedang pusaka."

Tanpa ragu lagi Temucin mengeluarkan Batu Asmara yang disimpannya di balik bajunya, terselip di pinggang. Nampak cahaya kehijauan ketika benda itu diambilnya dan diserahkannya kepada kakek Taktamuka. Kakek tinggi besar itu menerimanya dan mengamatinya, matanya makin dilebarkan dan wajahnya berseri-seri.

"Baja Dewa Hijau tulen Batu Asmara....? Ha-ha-ha, benar sekali, memang Batu Asmara, dan benda ini memang ampuh dan hebat, langka pula. Akan tetapi sayang, orang muda. Baja ini sedemikian kerasnya sehingga tidak dapat dihancurkan lewat api, betapapun panasnya. Aku.... aku tidak dapat membuatkan pedang dari benda ajaib ini...." Suaranya agak gemetar seolah- olah dia sendiri merasa kecewa mengapa dia tidak mampu menangani bahan yang luar biasa baiknya itu.

Temucin mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, Paman yang baik. Aku mendengar bahwa Paman Taktamuka adalah orang pembuat pedang yang tiada bandingnya di dunia ini! Bagaimana mungkin kini mengatakan bahwa Paman tidak sanggup membuatkan pedang dari benda ini? Kalau begitu, apa artinya nama besar Paman sebagai pembuat pedang nomor satu di kolong langit?"

Kakek itu menatap wajah Temucin dan dia melihat betapa sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan sinar mencorong dan dia pun diam-diam bergidik. Pemuda ini sama luar biasanya dengan benda mustika ini, sama langkanya, demikian dia berpikir. Sungguh aneh, seorang pemuda seperti ini memiliki benda pusaka seperti itu pula, seperti pedang pusaka dengan sarungnya yang serasi sekali. Seolah-olah memang sudah diciptakan berdua untuk saling memiliki!

Dia pun merasa heran mengapa dia tidak marah mendengar ucapan itu, ucapan yang menyangkal kebesaran namanya. Karena ucapan itu mengandung kebenaran, bukan celaan atau hinaan. "Dengar baik-baik, Temucin. Aku mengatakan bahwa aku tidak sanggup melaksanakannya karena memang benda ini pernah dibawa ke sini oleh seseorang. Aku sudah mengerjakannya. Sampai lima hari lima malam benda ini kuletakkan dalam api yang bernyala, akan tetapi tidak pernah dapat melunak!"

Kerut merut di antara kedua alis Temucin makin mendalam. "Akan tetapi, kurasa bukan ini benda itu, Paman. Cobalah periksa baik-baik dan coba pula bakar, siapa tahu sekali ini Paman akan berhasil."

"Hemmm, membuang waktu sia-sia saja... akan tetapi tunggu....!" Dia lalu mengamati kembali benda itu, terutama diujungnya di mana terdapat warna merah yang menembus baja atau batu itu, dan membawanya ke hidung, mencium bau harum aneh itu. "Ah..... aneh, aneh sekali! Akan tetapi siapa tahu.....! Engkau benar, orang muda. Sebelum kucoba lagi, siapa tahu apakah aku tidak mampu sekali ini! Aku pun penasaran sekali, Temucin. Akan tetapi, ketahuilah bahwa aku sudah tua dan hidup menyendiri. Kalau pembakaran benda ini sia-sia lagi, lalu siapa yang akan memelihara hidupku?"

Temucin mengerti. "Paman, aku bukan orang yang tidak mengenai budi. Kerjakanlah pesanku itu dan aku akan mencarikan semua kebutuhan makan minum untukmu, selama Paman membuatkan pedang itu."

Kakek itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia percaya kepada pemuda ini. Orang besar seperti raja kulit putih bernama Taghrul Khan itu saja, yang menjadi kenalan baiknya dan beberapa kali pernah datang hanya untuk bercakap-cakap dengan dia, memuji-muji nama Yesukai Khan sebagai seorang yang gagan perkasa. Tentu puteranya pun bukan orang sembarangan. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu memasuki pondoknya, menuju ke bengkel.

Pondok itu tidak besar separuh dipakai sebagai bengkel kerja yang separuh lagi tempat dia makan dan tidur. Sederhana sekali, namun kokoh dan kuat sehingga dapat menahan serangan angin dan hawa dingin, kalau musim salju tiba.

Kakek Taktamuka membuat api yang besar dan menggerakkan puputan, sedangkan Temucin tanpa diminta mulai memeriksa perbekalan makanan yang ada di dalam pondok itu. Memang benar kakek itu. Persediaan pangan tinggal sedikit, kalau dimakan dua orang paling-paling bertahan selama tiga hari saja. Pembuatan sebatang pedang pusaka tentu akan makan waktu yang cukup lama.

Dia lalu keluar dari dalam pondok itu. Dalam perjalanannya ke tempat itu, pagi tadi dia melewati sebuah bukit yang dihuni banyak binatang rusa. Ke sanalah harus pergi untuk berburu. Dia menjenguk ke dalam dapur atau bengkel kakek itu melihat kakek itu sedang membual api besar. "Paman, aku pergi mencari bahan makanan!" katanya.

Kakek itu tidak menjawab. Menoleh pun tidak dan ketika Temucin memandang dengan penuh perhatian, dia mendapat kenyataan bahwa kakek itu sedang bekerja sambil memejamkan mata seperti orang bersamadhi! Temucin mengangguk-angguk lalu keluar dari dalam pondok itu.

Setibanya di luar, dia menengadah. Banyak sudah dia mendengar keterangan orang-orang cerdik pandai, dari mulut ayahnya sendiri kemudian dari mulut para tokoh besar yang berilmu tinggi, tentang kebesaran dan kekuasaan Raja di Langit.

Raja dari sekalian dewa yang menguasai alam ini. Dialah sumber segala ilmu, sumber segala berkah, sumber segala kemenangan! Tidak ada sesuatu pun, yang nampak maupun yang tidak nampak, yang tidak tunduk di bawah kekuasaanNya. Bahkan nyawa setiap orang manusia, betapapun pandai dan saktinya, berada di dalam telapak tanganNya! Tiada kekuasaan yang dapat melawan kekuasaan Tuhan, Raja di langit!

Dan kini, kakek Taktamuka agaknya juga mohon kekuatan dari Tuhan dalam pembuatan pedang pusaka yang dipesannya! Entah bagaimana, di lubuk hatinya, dia selalu percaya akan adanya kekuasaan Tertinggi ini, pencipta badai dan halilintar, pencipta bulan, matahari dan bintang-bintang. Dan hatinya pun merasa lega. Kakek itu pasti akan berhasil sekali ini, pikirnya.

Temucin lalu meloncat ke atas punggung kudanya setelah melepaskan kendali dari tambatan kuda, dan dia melarikan kudanya ke arah bukit yang dilaluinya pagi tadi. Bagi orang biasa berburu rusa merupakan pekerjaan yang tidak mudah, bahkan amat sukar. Binatang ini gesit dan tangkas bukan main, tajam penciumannya, tajam pendengarannya, dan tajam pula nalurinya. Kalau dia sudah tahu akan adanya manusia yang hendak memburunya, jangan harap akan dapat mengejar dan menangkapnya. Dia akan lari seperti angin cepatnya.

Akan tetapi, Temucin adalah seorang anak Mongol tulen, keturunan pemburu yang mahir dan cakap. Dia tahu benar bagaimana harus berburu rusa. Dia harus mengintainya dari tempat yang lebih tinggi, harus mendekati dari arah yang berlawanan dengan angin, dan dia harus mampu merayap seperti seekor ular tanpa mengeluarkan suara. Semua ini didapatkannya bukan melalui pelajaran, melainkan melalui keadaan hidup yang sukar dan keras.

Di Gurun Go-bi, terutama di kalangan bangsa Nomad yang berpindah-pindah, nyawa manusia seakan-akan tiada harganya. Keadaan tanahnya demikian sulit dengan dataran yang amat tinggi sepert bukit-bukit berjajar tiada putusnya, selalu diselubungi awan dan dihembus angin kuat. Banyak daerah yang tandus, dan yang subur menjadi rebutan sampai banyak darah tertumpah dan nyawa melayang. Sebuah petak rumput yang diperebutkan untuk makanan ternak dapat menyebabkan matinya beberapa orang!

Bagian dunia itu jauh dari peradaban, orang-orang tidak mengenal baca tulis, tidak mengenal benda-benda yang terdapat di dunia barat atau selatan, dunia yang beradab. Ketahyulan muncul dengan kuatnya karena ketidaktahuan mereka. Cahaya sinar kutub utara yang nampak di malam hari musim dingin, memperkuat ketahyulan mereka bahwa di sana menjadi kerajaan bangsa jin dan peri.

Terutama sekali kehidupan anak-anak, sungguh amat menderita, sengsara dan keras sekali. Anak-anak Mongol sejak kecil sekali sudah harus mengalami kesukaran dan selalu menghadapi kekerasan. Mereka, anak-anak itu, selalu kebagian yang paling akhir. Di dalam kemah, di waktu hawa di luar teramat dinginnya sehingga menyusup tulang, orang-orang sekeluarga berkumpul dekat api unggun.

Yang berhak duduk paling dekat api adalah para pria dan para tamu. Baru kemudian para wanita yang duduk di sebelah kiri, agak jauh dari api unggun. Dan anak-anak boleh mencari tempat sendiri-sendiri, di bagian paling belakang! Dalam pembagian makanan juga demikian. Yang berhak memilih dan mengambil daging adalah kaum pria lebih dahulu, karena bukankah mereka yang bersusah payah; berburu dan mendapatkan binatang buruan.

Setelah kaum pria, barulah giliran kaum wanita dan juga orang-orang tua yang sudah tidak mampu berburu lagi. Anak-anak hanya mendapatkan sisanya berupa tulang dan urat-uratnya. Dan betapa sulitnya mendapatkan makanan, kadang-kadang mereka harus berpuasa berhari-hari, hanya makan susu yang sudah membeku dan meragi!

Dalam musim semi keadaannya masih lumayan. Banyak dihasilkan susu kuda dan susu sapi, dan biri-biri pun pada musim semi gemuk-gemuk karena mudah mendapatkan makanan. Binatang buruan juga mudah didapat, umumnya rusa dan kalau untung baik kadang-kadang mereka dapat membunuh seekor biruang besar. Hasil buruan ini lalu dimasak dan dagingnya dibagi-bagi.

Akan tetapi, di musim dingin, mulailah keadaan hidup yang serba kekurangan dan sengsara sekali. Ternak mereka kurus-kurus kekurangan makanan. Susu segar tidak ada karena kuda dan sapi tidak mengeluarkan susu, terpaksa hanya makan kumiss, yaitu susu yang sulah meragi dan memabukkan itu. Dalam keadaan demikian itu, di mana daging tidak ada, mereka makan apa saja yang ada, dan pada umumnya mereka makan juwawut rebus sekedar menahan lapar dan menyambung nyawa.

Ini semua masih ditambah lagi dengan pertikaian dan pertempuran yang terjadi antara kelompok. Karena kekurangan dan dorongan perut lapar, seringkali terjadi perampokan persediaan pangan dan terjadilah pertempuran yang mengorbankan banyak nyawa.

Memang suatu keadaan hidup yang amat keras dan sengsara. Sejak baru pandai berjalan, anak-anak, terutama anak-anak lelaki sudah terbiasa belajar berburu tikus, marmut dan sebagainya, menggunakan tongkat atau anak panah. Mereka belajar menunggang kuda. Kekerasan dan perkelahian merupakan permainan mereka sehari-hari dan kematian bukan merupakan suatu hal yang mengerikan bagi mereka karena sudah terbiasa.

Temucin sendiri ketika dilahirkan, ayahnya Yesukai sedang berperang melawan musuh. Pertempuran ini berhasil baik dan membawa kemenangan bagi Yesukai, dan musuhnya yang dipimpin oleh seorang kepala kelompok yang gagah bernama Temucin, dapat dibinasakan. Maka, karena kagum kepada musuhnya itu, ketika puteranya lahir, diberinya nama Temucin, nama bekas musunnya itu.

Temucin teringat akan semua pengalaman di waktu kecil ini ketika dia merangkak-rangkak dari ketinggian bukit itu dengan hati-hati karena dia melihat sekelompok rusa, ada tujuh ekor banyaknya, sedang makan daun-daun dengar sikap mereka yang selalu hati-hati dan penuh kecurigaan terhadap sekeliling mereka.

Busur dan anak panah sudah siap di tangannya dan Temucin makin mendekati kelompok rusa itu, membidikkan anak panahnya ke arah seekor rusa muda yang besar dan gemuk. Tiba-tiba dia bangkit berdiri sambil mengeluarkan suara melengking nyaring. Pada saat rusa-rusa memanjangkan leher dengan kaget, mengangkat leher tinggi-tinggi sebelum kaki mereka meloncat, anak panah sudah dilepas oleh Temucin.

Anak panah itu meluncur dan tepat menancap di dada, di bawah pangkal leher. Tepat sekali anak panah itu menembus jantung dan ketika enam ekor rusa yang lainnya sudah berloncatan tinggi dan jauh, rusa jantan yang menjadi sasaran itu roboh, menggelepar sebentar lalu terdiam mati.

Dengan hati penuh rasa bangga dan gembira, Temucin lari menghampiri, lalu memanggul rusa itu kembali ke tempat di mana dia meninggalkan kudanya, dan tak lama kemudian dia sudah melarikan kudanya kembali ke pondok kakek Taktamuka dengan bangkai seekor rusa di punggung kuda, melintang di depannya. Bukan hanya daging rusa ini yang dapatkan untuk bekal makanan mereka berdua, juga dia mencari air dan memasaknya, mencari daun-daun dan tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan sayur.

Sementara itu, kakek Taktamuka mulai membakar Batu Asmara dan betapa heran dan gembiranya ketika Baja Dewa Hijau atau Batu Asmara itu menjadi merah setelah dibakar setengah hari lamanya! Padahal dahulu, benda ini tidak dapat merah sama sekali setelah dibakar selama lima hari lima malam!

Tahulah kakek yang berpengalaman ini bahwa seperti yang pernah didengarnya dalam dongeng, benda ini baru dapat dibakar, dan menjadi lunak setelah disiram oleh darah sepasang merpati, sepasang kekasih yang saling mencinta! Dan dia pun dapat menduga bahwa warna merah yang menembus benda berwarna kehijauan itu pastilah darah yang dimaksudkan itu. Akan tetapi dia tidak mau bertanya-tanya hanya bersorak di dalam dapurnya hingga Temucin menjadi tertarik menjenguk ke bengkel atau ke dapur itu.

"Berhasil! Aku akan dapat membuatkan sebatang pedang dari baja aneh itu sekarang!" Kakek itu berseru dengan gembira dan bangga. Tidak ada kebanggaan dan kesenangan yang lebih besar dari seorang seniman daripada melihat karyanya berhasil baik! Ada semacam kepuasan dan kebanggaan diri yang bukan kesombongan, bangga bahwa dia telah terpilih untuk menjadi pelaksana kekuatan dan kemampuan yang langka itu.

Kakek itu memang luar biasa. Dia bekerja siang malam tanpa berhenti, kecuali kalau perutnya lapar sekali dan dia perlu makan, dilayani oleh Temucin. Hubungan mereka menjadi akrab. Taktamuka merasa kagum kepada pemuda itu yang benar-benar telah memegang janji dan menyediakan segala keperluannya.

Sebaliknya Temucin juga kagum kepada kakek itu, kagum melihat kepandaiannya, kemampuannya dan juga semangatnya yang amat besar. Seorang dengan semangat seperti itu akan mampu melakukan apa saja untuk membuat usahanya berhasil dan diam-diam dia mencatat dalam hatinya untuk mencontoh semangat kakek itu.

Biarpun kakek Taktamuka bekerja siang malam dengan tekun, namun setelah sebulan lamanya, barulah pedang itu jadi! Sebatang pedang yang sinarnya berkilauan, mengeluarkan cahaya kehijauan dan tajam kedua matanya, juga runcing dan terutama sangat keras. Kalau disentil dengan kuku jari, mengeluarkan bunyi seperti emas atau perak aseli.

Akan tetapi Taktamuka hanya ahli membuat pedang dan tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk membuat sarung pedang itu hanya pekerjaan para tukang hias demikian pendapatnya sehingga ketika dia menyerahkan pedang itu kepada Temuci hanya pedangnya yang indah, akan tetapi gagang pedang dan sarungnya terbuat dari kayu sederhana saja.

"Orang muda yang gagah, aku mengucapkan selamat kepadamu telah memiliki pedang ini. Aku sendiri sudah merasakan getaran pengaruhnya yang ampuh sekali. Tidakkah engkau juga merasakan selama berada di sini sebulan lamanya ini?"

Temucin mengangguk, karena memang perasaan itu membuatnya sering termenung mencari sebabnya. Kiranya hawa pedang ini yang menjadi sebab!

"Apa yang kau rasakan?" Kakek itu bertanya, ingin meyakinkan.

"Entah mengapa, selama berada di sini aku merasa tenteram dan damai, dan yang ada hanya perasaan kagum dan suka kepadamu, Paman. Seolah-olah lenyap semua kekerasaan yang berada dalam hatiku, dan aku merasa hidup begini indah dan penuh kedamaian."

"Itulah hawa pedang ini yang memengaruhi kita, anakku! Pedang ini memang pantas dinamakan Pedang Asmara, dan sekarang aku mengerti mengapa Baja Dewa Hijau ini oleh bangsa Mongol dinamakan Batu Asmara. Kiranya memang mengandung hawa yang melunakkan hati manusia, tentu mendekatkan perasaan cinta antara dua orang berlawanan kelamin, dan mendatangkan kedamaian dalam hati orang yang dekat dengannya. Sebatang pedang pusaka yang tiada keduanya! Semoga engkau berbahagia dengan pusaka ini, Temucin. Akan tetapi, ingin sekali sekarang aku mengetahui, apakah warna merah yang menodai Batu Asmara itu sehingga dia dapat dilunakkan dalam api?"

Dengan singkat Temucin menceritakan tentang Harkai dan Bailun yang membunuh diri dengan Batu Asmara karena perjodohan mereka dihalangi, dan betapa batu yang berlumur darah itu dibiar menggeletak tanpa dipedulikan orang maka lalu diambil dan disimpannya berapa tahun lamanya.

Mendengar itu kakek Taktamuka mengangguk-angguk. "Sudah kuduga.... kiranya kekebalannya terhadap kobaran api ditawarkan oleh darah sepasang kekasih, dan darah sepasang kekasih itu memperkuat hawa cinta yang tersebar dari benda itu! Simpanlah pedang ini baik-baik, anakku, dan jangan salah gunakan. Kalau pedang itu terjatuh ke dalam tangan seorang pria yang suka mempermainkan wanita, akan berbahaya sekali dan setiap orang wanita akan mudah ditundukkan olehnya. Akan tetapi kulihat engkau bukan pria seperti itu, engkau seorang yang gagah perkasa dan pantas menjadi seorang besar, bukan seorang laki-laki hamba nafsu berahi."

Temucin menerima pedang sambil memberi hormat. "Paman, aku seorang yang miskin. Pembayaran apakah yang dapat kuberikan untuk membalas jasamu ini?"

Kakek itu tertawa. "Pembayaran? Aku tidak mengharapkan imbalan jasa darimu, orang muda, karena aku sudah menerima imbalan yang teramat besar dengan melihat pekerjaanku berhasil baik! Tidak tahukah engkau bahwa hawa pedang itu pula yang telah membuat aku suka mengerjakan pekerjaan itu dengan sukarela tanpa minta imbalan jasa? Hawa pedang itu bukan hanya mengandung dorongan kasih sayang dan berahi, namun juga melunakkan hati seseorang dan menghilangkan ketamakan dan kejahatan."


Temucin menghaturkan terima kasih, lalu meninggalkan pondok kakek itu, membalapkan kudanya dengan pedang yang baru itu terselip di pinggangnya, tertutup baju. Dalam perjalanan pulang ini, dia mengambil jalan memutar untuk singgah di perkemahan setiap kelompok yang ada, dan dia mendapatkan kenyataan aneh.

Kalau ketika berangkat, persinggahannya kepada kepala-kepala kelompok tidak selalu berhasil baik, antara mereka ada yang menerima dengan manis dan menerima uluran tangannya untuk bekerja sama, akan tetapi ada pula yang menolak dan mengambil sikap "bermusuhan", kini setiap kelompok yang didatangi menerima dengan manis budi dan menyatakan kesungguhan hati mereka untuk bersekutu dan mendukung pemuda putera Yesukai Khan yang gagah perkasa itu!

Tentu saja Temucin merasa girang sekali dan semakin merasa yakin bahwa kelak cita-citanya tentu akan terwujud, yaitu mempersatukan bangsa Mongol menjadi bangsa yang besar dan jaya karena persatuan yang kokoh kuat dengan dia menjadi pemimpin tunggalnya! Dia pun girang bahwa agaknya Pedang Asmara telah meperlihatkan keampuhannya, melunakkan hati membaja dari para kepala kelompok yang biasanya pantang menyerah itu.

Ketika tiba di perkemahan Galasing dia mendengar berita bahwa pemilihan kepala suku di utara akan dimulai dan ia sebagai wakil dari daerah itu diharapkan berangkat, diantar oleh pengawal-pengawal dari sepuluh kepala kelompok yang telah memilih dia menjadi calon, Temucin menitipkan pedangnya kepada ibunya.

"Ibu, harap hati-hati menyimpan pedang pusakaku ini dan jangan perlihatkan kepada siapapun." Demikian pesannya kepada ibunya.

Berangkatlah Temucin ke utara, dikawal oleh pasukan sebanyak lima puluh orang, dari setiap kelompok lima orang jagoan. Mereka semua menunggang kuda menuju ke utara, di lembah Sungai Onon, di mana diadakan pertemuan besar antara para kepala klan atau kelompok besar.

Ketika pemilihan dimulai dan para calon diuji kekuatan, kecepatan dan kepandaian mereka, Temucin termasuk di antara mereka yang lulus dan kini tinggal dipungut suara terbanyak untuk memilih seorang pemimpin suku. Dan ternyata bahwa semua kepala kelompok yang pernah dihubungi Temucin, kini mengacungkan tangan memilih Temucin!

Lebih dari separuh jumlah para kepala kelompok atau wakilnya yang hadir menyatakan dengan suara bulat memilih Temucin, putera mendiang Yesukai Khan sebagai ketua atau pemimpin suku Yakka yang baru, menggantikan ayahnya!

Temucin pulang sambil membawa kemenangan gemilang. Dia dihormati dimana-mana sebagai seorang kepala suku yang baru dan hampir semua kelompok yang termasuk suku Yakka menyatakan tunduk dan menggabungkan diri di bawah pimpinan ketua yang masih amat muda ini!

Akan tetapi, Temucin tidak mengira bahwa keberuntungannya itu diimbangi dengan peristiwa lain yang tidak menyenangkan hatinya. Hal itu terjadi di dalam perkemahan Galasing sendiri. Seperti telah disinggung di bagian depan, diam-diam Galasing mempunyai suatu pamrih ketika dia membujuk Temucin agar membawa keluarganya untuk tinggal di kelompoknya.

Pamrih itu ialah untuk mempersunting janda Holun yang masih nampak muda dan cantik jelita untuk menjadi seorang isteri mudanya karena kalau hal ini terjadi, berarti Temucin menjadi anak tirinya yang tentu akan taat kepada dia sebagai ayah tiri. Bukan karena pamrih itu saja Galasing mendekati janda itu, melainkan karena memang dia terjatuh hatinya oleh kecantikan Holun.

Kalau selama ini Holun mempertahankan kejandaannya adalah karena memang ia setia kepada mendiang suaminya dan berjanji dalam hati tidak akan menikah lagi. Kalau selama empat tahun ini tidak ada pria yang berani mengganggunya adalah karena ia keras hati, galak dan berani. Akan tetapi, Galasing kini memperoleh kesempatan. Ketika Temucin pergi untuk maju sebagai calon pemimpin suku Yakka di utara, Galasing mulai merayu Holun.

"Holun yang manis, mengapa engkau menyiksa dirimu sendiri dan bertahan menjadi seorang janda yang kesepian Tidak baiklah kalau menjadi janda terus, akan menjadi bahan pergunjingan dan buah tertawaan orang, dan akan banyak datang penggoda. Kita masih ada hubungan kekeluargaan dan kini kalian telah tinggal pula di sini di bawah perlindunganku. Apa salahnya kalau kini engkau menjadi isteriku? Hal ini akan diterima sebagai sesuatu yang wajar oleh semua orang. Engkau masih muda, cantik dan aku suka padamu, Holun." Demikian berkali-kali Galasing membujuk dan merayu.

Akan tetapi Holun selalu mengelak. "Aku adalah seorang janda dengan kewajiban yang cukup besar, Galasing. Aku harus membesarkan anak-anak harus memelihara madu-maduku dan anak anak mereka. Aku ingin melihat Temucin menjadi pengganti ayahnya dan kalau sudah begitu, barulah lega rasa hatiku. Harap kau jangan menggangguku." Setelah berkata demikian, Holun lalu meninggalkan Galasing dan lari memasuki kemahnya sendiri.

Akan tetapi Galasing bukan orang yang mudah putus asa. Dia semakin tertarik, beraninya dikobarkan oleh penolakan halus itu. Dalam pandang matanya, Holun nampak semakin cantik saja. Burung liar yang sukar ditangkap memang selalu nampak jauh lebih menarik daripada burung yang berada dalam sangkar. Dia tak pernah bosan membujuk setiap kali berkesempatan.

Dan sebulan kemudian, setelah bosan membujuk karena selalu ditolak oleh Holun yang kini mulai berani menolak dengan kata-kata kasar, Galasing pada suatu tengah malam yang sunyi, berani memasuki kemah Holun! Pada waktu itu, Temucin belum pulang, Kassar sedang pergi berburu dan belum pulang, juga Belgutai tidak tidur di kemah ibunya.

Yang tidur di situ hanyalah Holun, dua orang madunya, dan beberapa orang anak perempuan. Semua orang dalam kemah itu telah tidur, kecuali Holun yang masih belum tidur karena ia memikirkan puteranya, Temucin yang belum juga pulang, padahal sudah hampir sebulan dia pergi ke utara. Karena khawatir dan rindu kepada puteranya, Holun mengeluarkan Pedang Asmara dan memeriksanya. Akan tetapi, pedang itu segera diselipkan ke bawah bantalnya ketika didengarnya ada suara kaki orang di luar kemah.

Kemah itu tersingkap dari luar dan masuklah Galasing! Holun terkejut sekali dan bangkit berdiri, memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi sungguh luar biasa sekali. Ia tidak marah! Hanya terkejut dan heran melihat Galasing berani memasuki kemahnya pada waku lewat tengah malam seperti itu, hampir pagi malah!

"Kau..... mau..... mau apakah?" tanyanya dan suaranya mengandung getaran aneh.

Hal ini sungguh tidak diduga oleh Galasing yang tadinya mengira bahwa tentu wanita itu akan marah-marah dan memakinya. Akan tetapi dia memperhitungkan bahwa Holun tentu tidak berani membuat ribut karena kalau hal itu diketahui orang, tentu akan mendatangkan aib baginya!

Memang dia sengaja mempergunakan kesempatan ini untuk agak memaksakan kehendaknya! Kalau sekali dia sudah berhasil membuat wanita itu menyerah, berhasil menggaulinya, maka tentu Holun akan bertekuk lutut dan tidak ada pilihan lain bagi dirinya yang sudah ternoda itu kecuali mau menjadi isterinya!

"Aku datang karena semalam tidak dapat tidur, Holun yang cantik. Aku hanya membayangkan wajah dan tubuhmu, aku amat rindu kepadamu....."

Berkata demikian, Galasing melangkah maju menghampiri dan Holun hanya berdiri dengan tubuh lemas seolah-olah semua tenaganya hilang pada saat itu. Semua semangat perlawanannya lumpuh dan ia seperti dibawa hanyut gelombang yang amat manis dan nyaman! Bahkan ketika Galasing merangkulnya mendekapnya kemudian menciumi mukanya, ia mandah saja, menengadah bahkan menyerah seperti setangkai bunga kekeringan menerima datangnya curahan hujan pertama!

Tentu saja Galasing menjadi girang bukan main. Sama sekali tidak disangkanya dia akan menerima sambutan seperti ini, mesra dan penuh penyerahan. Melihat wanita cantik itu memejamkan mata dengan pasrah, berkobar berahi dalam diri Galasing dan dia lalu memondong tubuh Holun, hendak direbahkan kembali ke tempat tidurnya. Akan tetapi, Holun membuka mata melihat anak-anak yang tidur di situ, juga dua orang madunya dan ia berbisik.

"Jangan..... jangan di sini....." dan ia menolak tubuh Galasing dengan kedua tangannya.

Galasing menyeringai, maklum bahwa memang tidak enak sekali menggauli Holun di kemah yang penuh orang itu. Dipondongnya tubuh Holun dan dibawanya keluar kemah. Holun hanya pasrah dan memejamkan matanya. Begitu Galasing yang memondong tubuh Holun tiba di luar kemah, terjadilah perubahan hebat pada diri Holun.

Tubuh yang tadinya hangat dan penuh kepasrahan, lunak dan lembut, tiba tiba saja menjadi kaku. Mata yang tadi terpejam pasrah itu kini terbelalak dan Holun meronta-ronta, lalu tangannya menampar.

"Plakkk!" Pipi Galasing kena ditampar hingga pria ini terkejut dan melepaskan pondongannya, Holun berdiri di depannya seperti seekor singa betina yang diremas anaknya. Matanya mencorong seperti mengeluarkan kilat ketika ia membentak, "Bedebah busuk! Apa yang kau lakukan ini?"

"Holun, kenapa engkau bersikap begini? Bukankah tadi.... didalam kemah tadi, engkau.... engkau menerima cumbu rayuku dengan penuh kepasrahan dan kurasakan kehangatan perasaan cintamu pudaku? Marilah, sayang, jangan berlagak lagi, mari kita memasuki kemahku!"

"Tidak..... ohhh, tidak.....!" Holun menutupi mukanya dengan kedua tangan, ia tidak menangis, akan tetapi tubuhnya menggigil dan kedua kakinya gemetar. ”Ahhh, apa yang telah kulakukan....? Tadi aku.... aku seperti dalam mimpi, dicumbu-rayu suamiku, dipondong... kiranya engkau bedebah, engkau jahanam yang menggunakan kesempatan selagi aku bermimpi."

"Holun, engkau tidak bermimpi, engkau tadi menyambutku dengan penuh kemesraan. Marilah!"

"Tidak! Enyah kau dari sini, keparat!"

Galasing menjadi marah. Dia merasa seperti dipermainkan wanita itu. Tadinya menyerah dan terasa benar ketika memondong Holun, terasa benar kehangatan tubuh itu, kehausan wanita itu akan cumbu rayu dan kasih sayang, terasa benar bahwa wanita itu amat membutuhkannya dan mengharapkannya, juga menyambut belaian dan ciumannya.

Akan tetapi sekarang, wanita itu tiba-tiba marah-marah, menampar dan memaki-makinya. Apakah ini hanya lagak saja untuk menjual mahal? Ah, seorang wanita yang belum pernah dia temui keduanya. Begitu panas, begitu berani, begitu keras, namun memiliki kelembutan menghanyutkan sekali sudah menyerah diri!

"Holun, aku sudah cukup sabar. Engkau bahkan telah menamparku. Kalau bukan engkau, kalau aku tidak begini tergila-gila kepadamu, kalau engkau wanita lain, untuk tamparanmu itu tentu engkau sudah kubunuh. Sekarang, mau atau tidak engkau harus menjadi milikku!" Tiba-tiba saja dia menubruk dan memondong Holun.

Wanita ini berteriak teriak dan memukul, mencakar dan meronta-ronta, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berbuat banyak dalam dekapan seorang kepala kelompok yang bertenaga besar seperti Galasing. Pria yang sudah marah dan sudah memuncak gairahnya itu lalu membawanya memasuki sebuah kemah kosong!

Sementara itu, seorang madu Holun yang tadi kaget mendengar suara ribut-ribut, sudah keluar dari kemah dan ia melihat betapa Holun dipondong secara paksa dan dibawa masuk ke dalam kemah oleh Galasing. Ia terkejut dan tubuhnya gemetaran, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan?

Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan terdengar seruan-seruan di luar perkemahan bahwa Temucin dan para pengiringnya pulang. Mendengar ini, madu itu cepat berlari menyambut. Ketika Temucin melihat ibu tirinya berlari lari menghampirinya, dia cepat meloncat turun. Sebelum dia sempat bertanya, ibu tirinya sudah memegang lengannya dan berkata,

"Celaka.... Temucin.... ibumu...."

Temucin terkejut dan memandang tajam penuh selidik. "Ibuku? Ada apa dengan ibuku...?"

"Ia ditangkap Galasing dan dibawa masuk ke dalam sebuah kemah. Cepat, kau tolong ibumu.....!"

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.