Pedang Asmara Jilid 03

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pedang Asmara Jilid 03
Sonny Ogawa

Pedang Asmara Jilid 03 karya Kho Ping Hoo - Temucin menarik lengan ibu tirinya dan disuruh menunjukkan ke mana ibunya dibawa. Ketika tiba di depan kemah dan diberitahu oleh ibu tinnya bahwa ibunya dibawa masuk ke dalam kemah itu, dia pun meloncat dan membuka kemah dengan kasar, merenggut dan menyingkap kain kemah lalu masuk ke dalam.

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Apa yang dilihatnya dalam kemah itu membuat matanya yang lebar terbelalak dan seperti mengeluarkan api berkilat. Dia melihat mereka bergumul di atas pembaringan itu. Ibunya yang meronta-ronta dan melawan dengan mencakar, memukul dan menggigit bagaikan seekor singa betina marah, pakaiannya sudah hampir telanjang, dan Galasing yang menggeluti ibunya, berusaha hendak memperkosanya.

"Galasing jahanam, anjing busuk kau!" bentak Temucin dengan muka merah dan dada turun naik seperti ada gelombang pasang di dalam dadanya.

Mendengar bentakan ini, Galasing terkejut dan cepat dia meloncat turun, membalikkan tubuhnya seperti seekor biruang marah. Mukanya merah, matanya melotot dan mulutnya berbuih. Dalam keadaan dicengkeram berahi yang berkobar, tadi dia tidak mendengar akan kembalinya rombongan itu dan kini dia tidak dapat mengelak lagi. Temucin melihat dia menggumuli Holun.

Wanita itu cepat membereskan pakaiannya dan menarik diri di sudut pembaringan, memandang dengan hati berdebar tegang. Ia tahu betapa berbahayanya Galasing, seorang kepala kelompok yang terkenal memiliki tenaga besar dan pandai ilmu gulat.

"Hemmm, Temucin! Kebetulan sekali aku memang hendak membunuhmu!" bentaknya sambil menyambar sebatang tombak yang berada di dalam kemah itu lalu menerjang ke depan,menusukkan lembingnya ke arah perut Temucin.

Akan tetapi ketika memasuki kemah, Temucin juga sudah memegang sebatang lembing, sebatang lembing yang bagus dan kuat, hadiah dari seorang kepala suku yang kagum kepadanya, dan seperti sudah menjadi kebiasaan ayahnya pula, di bawah lembing itu diberi hiasan ekor yak berwarna putih. Melihat Galasing yang kini dibencinya itu menusukkan tombaknya, Temucin juga menggerakkan tombaknya menangkis sambil mengerahkan tenaga.

"Tranggg.....!" Dua lembing bertemu dan akibatnya, lembing di tangan Temucin terpental. Maklumlah pemuda ini bahwa dalam hal tenaga, dia masih kalah kuat dibanding pamannya itu. Maklum, dia adalah seorang pemuda remaja yang usianya belum genap lima belas tahun, sedangkan lawannya seorang dewasa yang bertubuh kokoh kuat, terlatih dan memiliki tenaga besar.

Melihat betapa lembing di tangan pemuda itu terpental, Galasing menyeringai dan mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang buas, lalu memutar lembingnya dan kembali menyerang dahsyat. Sekali ini, Temucin tidak mengadu tenaga melalui tombak. Dia tahu bahwa hal itu merugikan dirinya, maka dengan menggunakan kesigapannya, dia mengelak dengan loncatan ringan, lalu dari samping tombaknya membalas dengan tusukan ke arah lambung lawan.

Galasing memutar tombaknya menangkis sambil mengerahkan tenaganya, akan tetapi Temucin kembali menarik tombaknya, tidak membiarkan senjata mereka bertemu. Sambil menarik tombak, dia memutar senjata dan kini mata tombaknya meluncur ke arah tenggorokan Galasing. Orang ini terkejut, cepat melempar diri ke kiri sambil memutar tombak melindungi diri. Untung dia melakukan ini karena kembali ujung tombak Temucin telah menyerangnya dari sudut lain.

Demikian cepatnya gerakan Temucin sehingga Galasing mulai merasa jerih. Memang pemuda ini pernah mempelajari ilmu tombak dari beberapa orang ahli, dan dia pun tidak pernah bosan untuk berlatih sehingga gerakannya amat cekatan. Setelah menghadapi serangan Temucin secara beruntun dengan putaran tombaknya, tiba-tiba pada saat tombak Galasing membalas serangan tusukan, tubuh Temucin yang mengelak itu melangkah maju mendekat dan kini kaki Temucin terayun menendang ke arah lutut lawan.

"Dukkk!" Lutut Galasing tertendang dan dia mengeluarkan teriakan marah ketika terguling ke atas lantai kemah. Galasing yang bergulingan itu masih memutar tombaknya dan menyerang dari bawah, akan tetapi Temucin yang sudah siap, mengerahkan tenaga memukul tombak lawan dari samping sambil mengerahkan tenaga. Kini tenaga mereka tidak bertemu langsung karena tenaga Galasing kerahkan untuk menusuk, sedangkan Temucin mengerahkan tenaga untuk memukul dari samping.

"Krekkk!" Tombak Galasing terpukul patah. Memang tombak yang dipegang Galasing itu tidak dapat dibandingkan tombak Temucin, hadiah dari seorang kepala kelompok, sebuah tombak pilihan.

Galasing menjadi pucat ketika dia melompat berdiri dengan tombak sepotong di tangannya. Dia marah sekali akan tetapi juga semakin gentar. Dilemparkannya tombak sepotong itu ke arah Temucin. Tombak pendek itu meluncur bagaikan anak panah ke arah dada Temucin, namun pemuda ini dengan tenangnya memutar tombaknya dan memukul senjata yang melayang itu sehingga runtuh.

Kini Galasing menghadapi Temucin dengan tangan kosong dan muka pucat. Temucin tersenyum mengejek, lalu dia menancapkan tombaknya ke sisi. Tombak itu menancap di sudut ruangan dalam kemah itu, gagangnya tergetar saking kuatnya Temucin melemparkan senjata itu. Dia kini menghadapi Galasing dengan tangan kosong!

"Jahanam busuk! Kalau wanita ini bukan ibu kandungku, aku tidak akan mencampuri urusanmu menggauli wanita. Akan tetapi ia ibu kandungku dan perbuatanmu berarti menghinaku, karenanya engkau harus mati di tanganku." Kata Temucin, matanya mencorong penuh kemarahan. "Kalau engkau memang laki-laki sejati, mari kita membuat perhitungan di luar kemah!"

Mendengar ini, Galasing girang sekali. Kalau mereka berkelahi di luar kemah, tentu banyak anak buahnya yang melihat dan anak buahnya tentu, akan membela dan membantunya. "Baik, mari kita keluar dan membikin perhitungan disana!" katanya garang untuk menutupi kekalahannya tadi.

Setibanya di luar, ternyata banyak orang telah berkumpul di luar dan nampak banyak obor dinyalakan sehingga keadaan menjadi terang. Perkelahian antara Galasing dan Temucin telah didengar orang dan banyak di antara para anggauta kelompok itu berdatangan untuk menonton, apalagi setelah mereka mendengar dari para pengawal Temucin bahwa pemuda itu telah menang dalam pilihan dan dia terpilih sebagai kepala suku Yakka, menjadi pengganti mendiang ayahnya, Yesukai!

Melihat banyak anggauta kelompok berada di situ, Galasing segera berseru dengan suara nyaring, "Saudara-saudara lihat, Temucin hendak memberontak! Dia perlu dihukum! Mari, bantulah aku menangkap pemberontak ini!"

Akan tetapi Temucin berteriak dengan suara lantang! "Bohong! Hayo, siapa yang berani menangkap aku, pemimpin kalian pemimpin baru suku Yakka, pengganti mendiang ayahku Yesukai Khan! Akulah khan baru yang terpilih, dan semua kepala kelompok menjadi pembantu-pembantuku. Galasing telah berkhianat kepadaku, oleh karena itu aku akan menghukumnya. Kalian lihat saja pemimpin kalian menghukum orang yang berkhianat! Dia hendak memaksa dan memperkosa ibu kandungku, berarti dia telah menghina aku yang menjadi putera ibuku! Aku pemimpin kalian yang baru, telah dihinanya, maka dia harus menerima hukuman dari tanganku sendiri!"

Melihat betapa semua orang terpengaruh kata-kata Temucin dan tidak ada seorang pun yang mentaati perintahnya tadi, Galasing mengeluarkan suara menggeram dan dia pun menerjang ke depan dengan kedua lengan terbuka menerkam seperti seekor biruang marah.

Temucin maklum bahwa Galasing memiliki tenaga besar dan juga seorang ahli gulat yang pandai dan berbahaya. Maka dia pun tidak membiarkan dirinya ditangkap. Dengan gesit sekali dia menyelinap melalui bawah lengan kiri untuk mengelak, lalu tubuhnya membalik dan kakinya sudah meluncur dari bawah mengirim tendangan keras.

"Bukkk!" perut Galasing tertendang dari samping dan tubuhnya yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang, hampir terjengkang. Kemarahannya memuncak, ia membalik dan menyerang lagi, kini dengan gerakan cepat kedua tangannya menyambar dari kanan kiri untuk menangkap pemuda remaja yang berani melawannya itu.

Melihat serangan yang ganas ini, Temucin menangkis dengan kedua tangannya pula, dan tangkisannya dari dalam itu membuka kedua lengan lawan, maka secepat kilat dia membalas dengan pukulan tangan kanan ke arah dada yang bidang itu.

"Desss.....!" Galasing terjengkang dan terbanting keatas tanah! Tak disangkanya bahwa pemuda remaja itu sedemikian kuat dan gesitnya sehingga dia mulai merasa gentar. Akan tetapi, karena dia tahu bahwa pemuda itu tidak akan mengampuninya, dia pun bangkit lagi, diam-diam tangannya mencengkeram pasir. Begitu bangkit, dia menerjang, tangan kanannya bergerak ke depan dan pasir yang digenggamnya itu sudah menyambar ke arah muka Temucin.

Pemuda ini terkejut, kedua matanya kemasukan pasir dan dalam keadaan gelagapan tidak dapat membuka mata itu, Galasing sudah membuat gerakan memutar, lalu menerkam Temucin dari belakang, kedua lengannya yang kokoh berotot melingkar-lingkar itu telah menelikung tubuh Temucin, melingkari pundak dan leher, dan jari-jari tangannya yang kuat mencengkeram dan mencekik leher Temucin!

Semua orang yang melihat perkelahian ini, menahan napas saking tegangnya. Mereka yang tahu akan ilmu gulat, maklum bahwa keadaan Temucin berbahaya sekali karena kunci yang dipergunan Galasing itu sukar sekali dilawan.

Orang yang sudah ditelikung dari belakang seperti itu, tak mungkin dapat melepaskan diri, apalagi kunci itu dilakukan seorang ahli gulat yang bertenaga besar seperti Galasing. Tak lama lagi Temucin akan mati kehabisan napas oleh cekikan maut itu! Biarpun mereka semua merasa khawatir akan keselamatan Temucin, tak seorang pun berani melerai.

Mereka adalah orang-orang yang sudah biasa menghadapi perkelahian dan dalam hal ini orang-orang suku Yakka Mongol memegang teguh kepada kejantanan dan kegagahan. Mereka tidak akan melakukan pengeroyokan dan tidak akan mencampuri kalau ada dua orang sedang berkelahi memperebutkan kebenaran masing-masing.

Biarpun kini mereka melihat Temucin terancam bahaya maut, mereka hanya memandang dengan hati tegang saja tanpa niat sedikitpun untuk mencampuri atau melerai. Akan tetapi Temucin bukanlah pemuda biasa saja, bukan pula jagoan biasa. Dia sudah banyak mempelajari ilmu bela diri yang aneh-aneh dari para pertapa di Pegunungan Go-bi.

Biarpun kini dia terjepit, lehernya tercekik oleh dua tangan yang lengannya membelit dan menelikungnya dari belakang, biarpun dia maklum bahwa nyawanya terancam maut, dia tidak kehilangan akal dan tidak menjadi gugup. Dengan penuh perhitungan, dia membuat gerakan membungkuk dengan tiba-tiba sambil mengerahkan tenaganya.

Pemuda ini kuat sekali, namun belitan kedua tangan yang mengunci dari belakang itu tidak mungkin dapat dibuka, apalagi Galasing cepat memasang kuda-kuda dengan merenggangkan kedua kaki dan mengerahkan tenaga untuk menjaga kaki dan mengerahkan tenaga untuk menjaga agar rontaan Temucin tidak sampai membuat dia roboh terguling.

Dan inilah yang dikehendaki Temucin. Dia meronta tadi bukan untuk mencoba melepaskan jepitan, melainkan agar lawannya merenggangkan kedua kaki. Kini, secepat kilat, kaki kanannya menyepak ke belakang dengan pengerahan tenaganya.

"Ngekkkk!" Tumit kaki kanannya itu tepat mengenai alat kelamin di selangkangan kedua kaki Galasing. Betapa kuatnya seseorang, bagian anggauta rahasia itu merupakan bagian tubuh yang paling lemah. Kini, tumit itu menghantam dengan kerasnya.

Maka seketika Galasing mengeluarkan hawa dari mulutnya yang terbuka lebar, matanya terbelalak seketika pandang matanya berkunang, rasa nyeri yang menusuk-nusuk dari selangkangan naik ke perut, dada dan kepala, membuat tenaganya lenyap, tangannya seperti lumpuh dan napasnya terengah-engah.

Saat itu, Temucin sudah mengerahkan tenaganya, meraih jari-jari tangan yang mencekik leher, menggunakan kekuatannya untuk melepaskan cekikan itu lalu dia merendahkan tubuh, membuat gerakan membungkuk tiba-tiba tubuh Galasing sudah diangkatnya dengan pinggulnya lalu dibanting ke depan melalui belakang tubuh. Tubuh Galasing melayang ke atas dan terbanting ke atas tanah dengan kedua lengan tertekuk-tekuk.

"Bresss.....!" Karena bantingan itu kuat sekali dan kepala Galasing tertumbuk pada tanah keras, maka dia menjadi pening. Dia mencoba untuk merangkak bangun sambil mengeluh panjang. Akan tetapi Temucin sudah menghampiri dan sekali menggerakkan kaki kanannya, Temucin menendang dengan mengarahkan kakinya pada sasaran yang tepat sekali, di dekat tengkuk Galasing.

"Krokkk!" Tulang leher Galasing disambar tendangan yang amat kuat itu seketika patah. Dia terkulai dan tewas!

Temucin mendengar seruan-seruan para penonton yang tegang, juga kagum kepadanya. Karena khawatir kalau ada yang merasa tidak senang atas kematian Galasing, dia lalu mengangkat dada dan berkata dengan suara lantang dan pandang mata mencorong.

"Aku, Temucin, sebagai kepala suku yang memimpin para kepala kelompok, terpaksa menghukum Galasing yang berkhianat. Lihat, orang yang berkhianat ini tidak diberkahi para dewa, sehingga dia roboh dan tewas di tanganku. Siapa yang merasa penasaran dan hendak membelanya, berarti menjadi pengkhianat pula dan boleh maju untuk menerima hukumanku!"

Tak seorang pun berani maju dan dengan murah hati Temucin mengumumkan bahwa dia tidak memusuhi para isteri dan anak dari Galasing yang tidak salah. Nama Temucin makin menanjak dikagumi banyak kepala kelompok yang jauh lebih tua dan berpengalaman. Mereka dapat melihat bahwa di dalam pemuda ini terdapat jiwa kepemimpinan yang amat kuat, dan mulailah mereka mengharapkan agar bangsa Mongol akan bangkit dan menjadi jaya di bawah pimpinan kepala suku muda itu.

Temucin yang berusia tujuh belas tahun, lalu minta perkenan ibunya untuk memboyong tunangannya, Bortay puteri kepala kelompok Munlik atau Karugai untuk menjadi isterinya. Ibunya memberi doa restu dan berangkatlah Temucin bersama pengiringnya ke perkampungan kelompok yang dipimpin oleh Munlik.

Munlik atau Karugai menerima Temucin dengan ramah, apalagi dia sudah mendengar bahwa calon mantunya itu terpilih sebagai kepala suku, maka dia menyerahkan Bortay yang kini sudah berusia enam belas tahun dan menjadi seorang gadis muda dan cantik manis itu dengan hati rela.

Demikianlah, Temucin membawa pulang Bortay sebagai isterinya yang pertama dan ternyata Bortay merupakan seorang isteri yang amat manis dan amat mencinta suaminya. Di dalam kamar dalam tenda bersama isterinya Temucin menemui suatu kehidupan yang penuh dengan kasih sayang, penuh kemesraan dan seakan-akan lenyaplah semua kekerasannya kalau dia sudah berada di dalam kamar itu bersama isterinya.

Seringkali ia merasa heran mengapa hatinya seketika berubah kalau dia sudah masuk kamar disambut senyum Bortay. Dia tidak tahu bahwa dia dan isterinya dikuasai pengaruh Pedang Asmara yang selalu tergantung di kamarnya!

Nama besar Temucin semakin dikenal para kepala kelompok sebagai seorang pemimpin muda yang gagah perkasa, berani, adil dan bertanggung jawab. Maka banyaklah kini kepala-kepala kelompok yang percaya kepadanya dan datang bergabung, menyatakan kagum mereka dan mengakui kebesarannya dengan mengirim upeti dan barang-barang hadiah sebagai tanda persahabatan.

Dia menerima semua kepala kelompok yang bergabung dengan tangan dan hati terbuka, melupakan semua persoalan masa lalu, dan dalam hal keadilan terhadap para kelompok yang bersahabat, dia lebih terkenal dan lebih disuka daripada mendiang ayahnya, Yesukai Khan sendiri!

Temucin sebagai pemimpin tidak tamak murka, tidak pernah memaksa orang untuk menyerahkan hasil buruan secara kejam, dan hanya menerima pemberian mereka yang diserahkan secara suka rela. Tidak pernah dia merampas isteri orang seperti sering dilakukan para kepala kelompok dan pimpin lain.

Temucin juga berbeda dengan ayahnya. Dia tahu bahwa kekuasaan perlu ditunjang dengan kekuatan. Tanpa adanya kekuatan, tidak mungkin kekuasaan dapat dipertahankan, dan tanpa adanya kekuatan yang menunjang kekuasaan, tidak mungkin dia dapat mempersatukan dan memimpin bangsanya, cita-cita yang ada dalam batinnya sejak dia masih kecil.

Maka, dia pun mulai memilih anggauta kelompok-kelompok itu, orang-orang muda yang bertubuh kuat, dan mulai membentuk pasukan yang dilatih oleh para pembantunya yang berpengalaman. Dalam waktu dua tahun saja, dia telah berhasil membangun sebuah pasukan yang terdiri dari tiga belas ribu orang perajurit!

Karena untuk memberi makan pasukan sebesar itu membutuhkan makanan yang banyak, maka ketika musim dingin tiba, terpaksa Temucin membawa seluruh pasukan dan anggauta kelompoknya untuk pindah dari lapangan rumput musim panas ke tanah perumputan musim dingin. Ada dua jenis rumput, yaitu yang dapat hidup di musim panas dan ada pula yang hidup di musim dingin.

Kehidupan manusia di daerah itu tergantung kepada ternak, maka pemeliharaan ternak merupakan keharusan yang mutlak demi kehidupan kelompok. Kalau ternak mereka gemuk dan sehat, menghasilkan banyak susu dan daging, mereka pun akan hidup gemuk dan sehat, dan demikian sebaliknya.

Dengan rombongan besar sekali Temucin memimpin orang-orangnya menuju ke selatan. Ternak mereka berjalan didepan, dikawal dan digembala oleh pasukan mereka, dan kibitka (gerobak-gerobak tenda) mengikuti dari belakang. Di dalam gerobak-gerobak ini duduk orang-orang tua yang lemah, wanita dan anak-anak. Akan tetapi wanita-wanita muda yang kuat ikut berjalan pula di belakang gerobak.

Beberapa hari kemudian, Temucin mendengar laporan pasukannya yang mencari jalan terdepan bahwa pasukan musuh yang besar sekali jumlahnya bergerak dengan cepat ke arah mereka. Musuh datang dari depan dan sudah nampak di kaki langit. Temucin terkejut, apalagi mendengar laporan bahwa yang datang itu adalah pasukan yang dipimpin oleh Targoutai, orang yang amat membencinya dan yang selalu mengejar untuk membunuhnya.

Dan sekali ini, Targoutai memimpin pasukan, yang terdiri dari orang-orang suku Taijut, sebanyak kurang lebih tiga belas ribu orang, lebih dari dua kali jumlah pasukannya sendiri! Temucin mengerutkan alisnya, berpikir dengan sungguh-sungguh dan cepat dalam keadaan yang berbahaya itu. Melarikan diri berarti meninggalkan dan mengorbankan seluruh ternak, harta milik, para wanita, kepada musuh.

Tidak, dia tidak akan mengorbankan semua itu! Mengumpulkan pasukannya dan menyambut pihak musuh juga tidak bijaksana. Tentu musuh yang jauh lebih besar jumlahnya itu akan mengepungnya dan pasukannya akan dihancurkan! Temucin maklum bahwa hidup dan matinya pasukan dan kelompok yang dipimpinnya tergantung sepenuhnya kepadanya. Dia harus bertindak cepat tanpa ragu-ragu.

Temucin lalu mengumpulkan para pimpinan pasukannya. Dengan lantang namun penuh semangat, dia lalu memberi perintah dan petunjuk. Semua perintahnya dilaksanakan tanpa ada bantahan dari para pembantunya yang sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pemimpin muda ini.

Kibitka-kibitka, yaitu gerobak-gerobak tenda, dikumpulkan dan dibentuk menjadi lingkaran besar. Semua ternak digiring ke dalam lingkaran gerobak-gerobak itu dan para orang tua, wanita dan kanak-kanak bersembunyi di dalam tenda, siap dengan anak panah mereka untuk membantu pasukan.

Kini, pasukan itu diatur sedemikian rupa, menjadi pasukan-pasukan terdiri dari seribu orang yang berdiri gagah di belakang panji masing-masing yang terdiri dari sembilan gumpal ekor yak. Di belakang mereka ada hutan yang menjadi pelindung sehingga mereka dapat berjaga menjadi setengah lingkaran, menjaga musuh yang akan datang dari depan kanan dan kiri.

Saat yang dinanti-nantikan dengan hati tegang, jantung berdebar-debar itupun tibalah. Pasukan musuh makin lama kelihatan semakin jelas, debu mengepul tinggi dan derap kaki kuda mereka terdengar bagaikan ancaman maut. Namun, Temucin dengan gagahnya duduk di atas kudanya dan melihat sikap pemimpin muda ini, para perajuritnya juga menjadi besar hati dan bersemangat. Pemimpin mereka sungguh gagah perkasa dan sedikitpun tidak kelihatan gentar.

Pada saat itu, dari dalam hutan muncul tiga ekor penunggang kuda. Dari muka dan pakaian mereka, tiga orang ini jelas bukan orang Mongol, melainkan orang-orang dari selatan yang oleh orang Mongol disebut bangsa Khitai. Sebutan Khitai oleh bangsa Mongol adalah sebutan untuk bangsa yang berada di sebelah selatan Tembok Besar.

Tiga orang muda tu berbangsa Han atau Cina. Melihat wajah mereka, tiga orang muda ini masih muda, berusia sekitar delapan belas sampai dua puluh lima tahun. Tentu saja, mereka yang datang menunggang kuda ini dikepung oleh para perajurit Temucin, dan ditangkap lalu dihadapkan kepada Temucin karena mereka disangka mata mata musuh. Akan tetapi Temucin dapat melihat bahwa dia berhadapan dengan tiga orang muda berbangsa Khitai, bukan bangsa Taijut yang dipimpin oleh Targoutai.

"Kalian bukan mata-mata dari pasukan musuh yang menyerbu dari depan?" tanya Temucin. Pertanyaan ini merupakan suatu ujian dan jawaban mereka akan menentukan nasib tiga orang itu.

Pemuda yang paling tua, seorang berusia dua puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar dan wajahnya tampan gagah, mewakili dua orang temannya memberi hormat dan menjawab dengan lantang. "Sama sekali bukan! Kami adalah pelancong yang tersesat sampai ke sini dan tidak mempunyai niat jahat terhadap siapa pun."

Sejenak sepasang mata Temucin yang tajam mengamati mereka. Tiga orang muda itu nampak gagah dan tampan apalagi yang seorang yang termuda. Temucin biarpun masih muda sekali namun pandang matanya tajam dan dia mengerti bahwa pemuda yang amat tampan itu tentulah seorang wanita yang menyamar sebagai pria. Dari suara orang yang menjawab pertanyaan, dia tidak ragu lagi bahwa memang mereka ini adalah orang-orang Khitai.

"Kami sedang diancam musuh. Apa buktinya bahwa kalian bukan mata-mata musuh?"

Orang tertua dari tiga pemuda itu menjawab lantang, "Kami adalah pelancong dan juga selalu menjunjung tinggi keadilan. Kami melihat bahwa pasukan ini diancam oleh pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya. Untuk membuktikan bahwa kami bukan mata-mata, kami sanggup untuk membantu Paduka!"

Temucin tersenyum. "Bagus! Perkenalkan nama kalian!"

''Namaku Yeliu Cu Tay!" kata orang pertama.

"Namaku Phoa Giok Hin!" sambung yang ke dua.

"Dan aku bernama Ciu Li Lan," kata orang ke tiga yang paling kecil.

"Kalian boleh membantu kami dan menjadi pengawalku!" kata Temucin, kemudian dia membisiki kepala pengawal pribadinya untuk diam-diam mengawasi gerak-gerik mereka bertiga itu dan kalau kemudian mencurigakan atau memperlihatkan tanda-tanda akan berkhianat supaya dikeroyok dan dibunuh.

Sementara itu, pihak musuh sudah datang menyerbu dan semua perajurit pasukan Temucin sudah siap siaga. Pasukan musuh itu tersusun dalam kelompok terdiri dari lima ratus orang, lebih dari enam puluh kelompok tersusun rapi. Setiap kelompok dibagi pula menjadi lima dan panji mereka adalah rumbai-rumbai rambut ekor kuda.

Bagaikan gelombang mereka menyerang, mula-mula gelombang kecil dari barisan depan yang melemparkan lembing-lembing mereka ke arah pasukan Temucin. Lalu disusul serbuan pasukan di belakangnya yang bersenjatakan tameng dan lembing.

Namun, pasukan Temucin menyambut gelombang serangan itu dengan penuh semangat, dengan anak panah, lemparan lembing, kemudian menyambut serbuan musuh dengan golok. dan pedang di tangan. Terjadilah pertempuran hebat.

Namun, pasukan Targoutai tidak berhasil membobolkan bendungan pasukan Temucin karena pasukan Temucin maju dalam barisan yang seribu orang sehingga setiap kali ada pasukan Targoutai maju, yang hanya berjumlah seratus orang, maka mereka dapat dinancurkan oleh pasukan Temucin.

Ketika Targoutai melihat kesalahan pihaknya ini dan hendak menggabungkan pasukan-pasukan kecilnya menjadi pasukan besar, Yeliu Cutay berbisik kepada Temucin. "Selagi musuh dalam keadaan kacau, serbu di semua bagian agar mereka tidak dapat menggabungkan kekuatan mereka!"

Temucin juga berpendapat sama, maka dia lalu memberi aba-aba dan kini semua pasukannya yang tadinya menanti giliran di depan, membuat gerakan melingkar seperti sayap garuda dan menyerang dari kanan kiri, menghantam kedudukan musuh dari depan, kanan dan kiri sehingga Targoutai tidak sempat lagi memperbaiki posisinya.

Sejak tadi, Temucin ikut pula mengamuk, dan dia merasa gembira bukan main melihat betapa tiga orang asing itu ikut mengamuk pula disampingnya dan ternyata mereka bertiga memiliki ilmu pedang yang menakjubkan. Setiap kali pedang mereka berkelebat tentu ada seorang lawan yang roboh tewas!

Tiba-tiba terdengar gerengan seperti seekor biruang marah dan muncul seorang raksasa dari pihak musuh. Orang ini memang pantas disebut raksasa. Tingginya satu setengah kali orang biasa, dan di tangannya yang besar itu terdapat sebatang ruyung yang besar pula. Agaknya raksasa suku Taljut ini membawa tugas tertentu, yaitu membunuh Temucin karena begitu dia muncul, dia langsung menyerang Temucin dengan ruyungnya.

Dia tidak berkuda dan diamelompat tinggi, menghantamkan ruyungnya dengan amat kuat ke tubuh Temucin. Pemimpin suku Yakka ini terkejut dan cepat menangkis dengan tombaknya. Tombak itu hampir terpental lepas dan dia cepat meloncat turun dari kuda untuk mengelak.

"Bresss!" Punggung kuda itu kena hantam ruyung dan binatang itu roboh seketika dan tewas karena dengan gerengan marah menyerang Temucin yang sudah meloncat berdiri. Kembali Temucin menangkis, kini memegang tombak dengan kedua tangan, dilintangkan di atas kepalanya.

"Krakkk!" Tombak itu patah menjadi dua dan hampir saja kepalanya kena hantam ruyung. Untung dia masih sempat melempar tubuh ke bawah dan bergulingan sambil mencabut pedangnya. Dengan pedang ini, Temucin yang menjadi marah sekali menerjang dengan tusukan raksasa ke arah raksasa itu. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dalam serangan ini. Akan tetapi, biarpun dia besar dan kokoh kuat, raksasa itu dapat bergerak cepat dan ruyungnya sudah menangkis pedang dari samping.

"Tranggggg.....!" pedang itu terpental lepas dari tangan Temucin dan ketika tertangkis ruyung, mengeluarkan bunga api yang terang. Kebetulan Yeliu Cutay berada di situ dan melihat pedang yang mengeluarkan sinar terang itu terlepas dari tangan Temucin dan terlempar ke arahnya, dia lalu menangkapnya dengan tangan kiri. Sekilas pandang tahulah bahwa pedang itu adalah sebatang pedang pusaka yang indah sekali.

Akan tetapi dia tidak lagi memperhatikan pedang milik Temucin itu karena dia melihat betapa Temucin terancam bahaya maut. Raksasa itu dengan gerengan-gerengan dahsyat sudah mengejar dan menyerang Temucin dengan ruyungnya. Temucin berloncatan menghindar, terhuyung dan terdesak hebat. Pada saat itu, Yeliu Cutay sudah meloncat ke dekat raksasa itu dan secepat kilat pedang ditangan kanannya meluncur.

"Crappp.....!" Pedang itu menembus leher raksasa dari samping dan tubuh yang tinggi besar itu pun roboh. Darah mengalir dengan pancaran deras dari lehernya dan kaki tangannya berkelojotan dan lehernya terdengar suara mengorok dan dia pun tewaslah!

Tanpa kata, Yeliu Cutay menyerahkan pedang Temucin kepada pemiliknya. Temucin menerimanya dan tersenyum, mengangguk tanpa mengucapkan terima kasih namun dari pandang matanya jelas nampak rasa senang dan syukur.

Mereka kembali mengamuk. Akan tetapi, Temucin menyimpan kembali pedangnya dan dia telah merampas sebatang tombak musuh dan mengamuk dengan tombak itu. Yeliu Cutay menemaninya, mengamuk tanpa menunggang kuda.

Pertempuran itu berlangsung dengan seru, mati-matian, penuh dengan pekik pekik dahsyat diseling teriakan teriakan kesakitan dan rintihan maut. Mereka bertempur dalam hujan anak panah kedua pihak. Pedang menyambar-nyambar dahsyat, tombak meluncur-luncur mencari mangsa, mengait lawan dengan kait tombak dari atas kuda, saling bacok saling hantam, saling cekik dan saling tendang.

Pertempuran dahsyat yang mengakibatkan tempat itu menjadi tempat pembantaian antara manusia, di mana darah muncrat-muncrat dan membanjir, nyawa-nyawa melayang dan mayat-mayat berserakan, berlangsung sampai matahari tenggelam.

Dan akhirnya, tidak kuat menghadapi perlawanan gigih dari pasukan Temucin, Targoutai menarik sisa pasukannya dan melarikan diri! Dia bagaikan seekor biruang tua ompong melarikan diri setelan kalah bertarung melawan seekor biruang muda yang tadinya dipandang rendah!

Dia melarikan diri meninggalkan hampir enam ribu orang perajuritnya yang tewas dan ratusan orang perajurit tertawan! Temucin dengan pasukannya yang hanya tiga belas ribu orang itu mampu mengalahkan Targoutai dengan tiga puluh ribu orang lebih dengan gemilang.

Di antara ratusan orang tawanan terdapat tujuh puluh orang kepala kelompok yang menjadi anak buah dan pembantu Targoutai. Dan Temucin menjatuhkan hukuman mati kepada tujun puluh orang ini. Mereka dibakar di tempat itu juga! Sungguh merupakan hukuman yang amat kejam, akan tetapi ini merupakan siasat dari Temucin.

Dengan tindakan yang tidak mengenal ampun kepada musuh ini membuat namanya menjadi tersohor dan orang-orang yang tadinya memusuhinya menjadi gentar dan memaksa mereka itu untuk merasa lebih baik bersahabat dari pada bermusuhan dengan pemimpin muda yang perkasa dan keras itu.

Kemenangan itu, seperti biasa pada bangsa Mongol, disambut dengan pesta pora biarpun di pihak Temucin jatuh pula banyak korban, tidak kurang dari dua ribu orang tewas, namun tetap saja Temucin dan pasukannya mengadakan pesta besar untuk menyambut kemenangannya. Mereka berpesta malam itu juga menyembelih ternak dan sebentar saja di situ mereka ramai memanggang mengolah daging dan bau anggur memenuhi tempat itu, menyaingi bau amis darah manusia.

Tenda-tenda didirikan dan di dalam sebuah tenda besar, Temucin duduk menghadapi hidangan dan anggur. Di depannya duduk pula Yeliu Cutay, Phoa Giok Hin dan Ciu Li Lan. Dalam kesempatan ini, Temucin yang amat menghormati tiga orang tamunya, menanyakan riwayat mereka dan mereka pun bercakap-cakap dengan gembira.

"Aku berani bertaruh bahwa saudara Ciu Li Lan ini tentu seorang gadis yang menyamar pria." kata Temucin sambil menudingkan telunjuknya kepada Li Lan.

Gadis perkasa ini menjadi merah pipinya dan kedua orang temannya tertawa. "Benar sekali, Panglima." kata Yeliu Cutay, menyebut "panglima" kepada Temucin, sebutan yang menggembirakan hati pemimpin muda itu. "Kami adalah saudara seperguruan. Aku yang tertua, lalu sute Phoa Giok Hin dan sumoi Ciu Li Lan ini."

"Lalu bagaimana kalian bertiga, orang-orang muda dari selatan Tembok Besar, dapat berada di tempat ini?" tanya Temucin dengan ramah, bukan bernada menyelidik.

"Kami bertiga telah tamat belajar ilmu silat, dan suhu kami meninggal dunia, meninggalkan pesan agar kami pergi mengembara ke utara untuk mencari pengalaman dan mencari dua hal yaitu guru yang pandai dan pusaka yang ampuh. Kata guru, di utara kini sedang muncul bintang yang sinarnya menyorot terang sekali, tanda bahwa di utara muncul seorang calon pemimpin besar yang pandai dan mendapat anugerah dari langit."

Temucin tertarik sekali. "Apakah gurumu itu pandai meramal?"

Yeliu Cutay tersenyum. "Mendiang guru kami memiliki banyak sekali ilmu yang tinggi. Di samping ilmu silat, juga beliau pandai ilmu perbintangan dan pandai meramal. Kami bertiga mempelajari ilmu silatnya dengan tekun."

"Panglima, Yeliu-suheng terlalu merendah. Kami bertiga memang belajar ilmu silat, dan yang paling lihai di antara kami adalah Yeliu-suheng, bahkan selain ilmu silat, juga dia mewarisi ilmu perbintangan dari suhu dan Yeliu-suheng pandai pula meramal."

"Ahhh.....!" Temucin berseru kagum dan matanya bersinar-sinar. "Benarkah itu? Yeliu-taihiap, kalau begitu tolong kau ramalkan bagaimana dengan nasib diriku!"

Ucapan ini merupakan permintaan, akan tetapi juga perintah. Hal ini diketahui benar oleh Yeliu Cutay karena dia dapat melihat pandang mata pemimpin muda bangsa Mongol itu.

"Baiklah, Panglima. Akan kucoba sedapatku. Akan tetapi untuk keperluan itu, harap Paduka suka memberi catatan tentang hari dan bulan kelahiran Paduka, juga aku harus memeriksa garis-garis telapak tangan Paduka."

Dengan senang hati Temucin memberi catatan kelahirannya itu, kemudian menyerahkan pula kedua telapak tangannya diperiksa dengan seksama oleh Yeliu Cutay. Pemuda ini memang pernah mempelajari ilmu perbintangan dan ilmu meramal nasib kepada mendiang gurunya, dan dengan penuh ketekunan dan kesungguhan dia mempergunakan semua pengetahuannya untuk "membaca" nasib Temucin.

"Aku tahu, Taihiap, bahwa nasib orang bagaikan gelombang lautan, bagaikan awan di angkasa, kadang-kadang pasang kadang-kadang surut. Maka, jangan sungkan dan jangan sembunyikan apa-apa dariku, Taihiap. Ceritakan saja semua hal, yang baik maupun yang buruk. Aku siap menghadapi segalanya."

Diam-diam Yeliu Cutay kagum. Panglima ini memang bukan orang sembarangan, memiliki semangat bernyala-nyala, jiwa yang besar, akan tetapi juga miliki kekerasan hati yang membaja hingga dia tidak segan membunuhi musuh secara kejam sekali seperti yang dilihatnya tadi ketika Temucin menghukum para tawanan dengan membakar mereka hidup-hidup sampai mati!

Setelah mempelajari garis telapak tangan dan menghitung tanda hari dan bulan kelahirannya, Yeliu Cutay lalu berkata, suaranya wibawa dan halus, membuat semua pendengarnya terdiam. dan mendengar dengan penuh perhatian dan hormat.

"Panglima Temucin, tanda-tanda yang kubaca sungguh jelas sekali. Benar yang dikatakan oleh mendiang guruku, di utara sini muncul seorang pemimpin besar bangsa Mongol yang kelak akan menjadi seorang raja besar penuh kekuasaan dan yang menguasai sebagian besar dunia, sampai jauh ke utara, ke barat dan ke selatan! Bintang itu bersinar terang seolah hendak menyaingi sinar matahari! Akan tetapi.... aku melihat darah.... darah dan darah dimana-mana. Sebelum pemimpin besar itu berhasil menjadi seorang raja besar, dia akan melakukan pembunuhan besar-besaran, darah akan mengalir, perang saudara akan terus menerus terjadi, banyak musuh dari segala pihak. Namun, banyak orang pandai dan bijaksana akan menjadi pembantunya dan akhirnya dia akan berhasil!" Yeliu Cutay berhenti, mukanya agak pucat karena dia merasa ngeri sendiri membaca tanda-tanda itu.

"Hemmm, siapakah calon raja besar itu?" Temucin bertanya, menahan napas.

"Bukan lain adalah Paduka, Panglima. Bahkan... ah, apa ini...? Ada kaitan diantara kita, Panglima, kaitan yang erat sekali! Mungkinkah ini berarti bahwa kelak aku termasuk seorang di antara para pembantu Paduka?"

"Bagus sekali! Yeliu taihiap, tidak usah kelak, sekarang pun aku menerimamu sebagai pembantu utamaku!"

"Maaf, Panglima. Belum tiba saatnya aku menghambakan diri kepada Paduka. Akan datang waktunya kelak. Bukan sudah digariskan bahwa kita saling jodoh? Aku masih harus melanjutkan perjalananku yang jauh, Panglima."

Temucin mengangguk-angguk. Tiga orang ini bukan anak buahnya melainkan tamunya, bahkan penolongnya, maka tidak dapat memaksa mereka. Setelah makan minum, tiga orang tamu itu lalu diberi tempat menginap yang paling terhormat, yaitu di dalam tenda yang diperuntukkan Temucin!

Pemimpin itu dengan cerdiknya untuk menyenangkan hati orang yang kelak diharapkan dapat membantunya, menyerahkan tendanya sendiri yang paling mewah di antara semua tenda, untuk tempat menginap tiga orang tamunya. Mereka bertiga memasuki tenda yang mewah itu. Bahkan pedang pusaka milik Temucin, yang tadi amat mengagumkan hati Yeliu Cutay, kini sudah tergantung di sudut ruangan tenda.

"Suheng, dan Sumoi, aku hendak keluar dulu. Ini kesempatan baik bagiku untuk memperlengkapi tugasku. Dari para kepala kelompok yang berbeda-beda asalnya itu aku tentu akan dapat menerima keterangan yang amat banyak dan berharga. Mereka tentu akan menerimaku sebagai sahabat, karena kita menjadi tamu kehormatan Panglima Temucin." Kata Pnoa Giok Hin kepada suheng dan sumoinya.

"Engkau benar, sute, jawab Yeliu Cutay, "Dan lakukanlah tugasmu. Selamat bekerja."

Phou Giok Hin adalan seorang pemuda yang memiliki kesenangan dan keahlian yang berbeda dari suhengnya. Kalau Yeliu Cutay pernah mempelajari ilmu perbintangan dari mendiang gurunya dan dia senang sekali dengan ilmu ini. Phoa Giok Hin lebih senang mempelajari sejarah para suku di utara. Dia ingin menulis buku tentang sejarah dan keadaan mereka dan dengan tulisannya itu, dia akan dapat mengajukan hasil karyanya ke kota raja dan tulisan itu akan dapat menjamin sebuah kedudukan yang layak baginya.

Seperti juga Yeliu Cutay memperdalam ilmu perbintangan untuk dapat memperoleh kedudukan yang layak kelak. Keduanya memang sudah mempelajari kesusastraan yang cukup mendalam untuk landasan penyelidikan dan memperdalam ilmu dalam bidang masing-masing.

"Suheng, aku ikut." kata Ciu Li kepada Giok Hin.

Pemuda ini memandang sumoinya dengan senyum dan sinar amat penuh kasih sayang. Memang ada hubungan cinta kasih antara kedua orang ini ini, dan mendiang guru mereka bahkan sudah merestui perjodohan di antara mereka. Keduanya hanya tinggal menghadap kepada orang tua masing-masing untuk memperoleh restu mereka, kalau mereka sudah selesai dengan perjalanan mereka ke utara dan kembali ke kampung halaman masing-masing. Di antara mereka terdapat pertalian cinta kasih yang mendalam selama lebih dari dua tahun.

"Sumoi, maafkan aku. Kurasa sebaiknya kalau engkau tidak ikut dan menanti di sini saja bersama Yeliu-suheng. Ingat betapa Panglima Temucin sudah dapat menduga bahwa engkau adalah seorang wanita, dan kalau sampai para kepala kelompok mendengar akan hal ini, mereka akan merasa tidak senang menerima seorang wanita sebagai tamu kehormatan yang duduk bercakap-cakap dengan tingkat yang sama dengan mereka. Mereka itu merasa terhina kalau derajat mereka disamakan dengan wanita. Aku khawatir, kalau engkau ikut, bukan saja pekerjaanku akan gagal, juga akan menimbulkan sikap tidak senang dan permusuhan dari mereka."

"Apa yang dikatakan sute itu benar, Sumoi. Sebaiknya kalau kita menanti saja di sini. Pula, bukankah engkau juga lelah sekali setelah ikut dalam pertempuran tadi? Mengasolah.” kata Yeliu Cutay.

Li Lan tidak membantah, akan tetapi ia memandang kepada kekasihnya dengan sinar mata khawatir. Ia bukan seorang gadis manja dan ia dapat mengerti alasan kekasihnya itu, akan tetapi entah mengapa, hatinya merasa tidak tenteram dan tidak enak. "Baiklah, Suheng. Akan tetapi, jangan engkau pergi terlalu lama..."

Diam-diam Giok Hin merasa heran melihat sikap kekasihnya yang kekanak kanakan ini, tidak seperti biasanya. Biasanya, kekasihnya ini bersikap gagah dan tidak cengeng. Akan tetapi dia pun hanya tersenyum dan mengangguk, ia menyentuh pundak kekasihnya dan menekan dengan sepenuh perasaan mesra dalam hatinya. Sentuhan tangan yang bagaimana ringan pun dari seorang kekasih bukan membuat yang disentuh merasakan kemesraan yang menembus ke dalam jantungnya.

Demikian hebat memang kekuasaan asmara bagi dua hati yang saling mencinta. Sentuhan halus senyum lembut, pandang mata dan dalam segala gerak gerik dua orang yang saling mencinta, akan mendatangkan getaran yang amat kuat, yang langsung terasa oleh hati masing-masing. Tanpa kata pun, melalui senyum, pandang mata atau sentuhan, dua orang yang saling mencinta kan mampu menjenguk isi hati masing-masing. Setelah mereka saling pandang dengan sinar mata saling bertaut mesra, Giok Hin meninggalkan kekasihnya bersama suhengnya dari dalam tenda itu.

Malam telah menjelang tengah malam dengan hawa dingin menerobos masuk ke dalam tenda. "Sumoi, engkau mengasolah," kata Yeliu Cutay sambil menunjuk ke arah pembaringan yang berada di tengah ruangan tenda. "Biar aku yang berjaga di sini sampai sute kembali."

"Baik, Twa-suheng (Kakak seperguruan tertua)," kata Li Lan dan gadis ini lalu merebahkan tubuhnya ke atas pembaringan, terlentang. Li Lan adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun yang berwajah manis. Bentuk tubuh yang terlatih baik itu bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar, dengan lekuk lengkung yang sempurna.

Tubuh gadis kuning mulus, akan tetapi jangan salah sangka, di bawah permukaan kulit yang halus mulus itu tersembunyi kekuatan sinkang yang hebat, yang membuat seorang laki-laki bertenaga gajah sekalipun belum tentu akan mampu menandinginya!

Melihat sumoinya sudah berbaring atas pembaringan itu, Yeliu Cutay tiba tiba merasa terkejut dan heran mengapa sejak tadi dia mengamati gerak gerik sumoinya dengan hati yang amat tertarik! Dia sadar dan cepat dia memalingkan mukanya yang berubah kemerahan. Kenapa dia ini? Tidak pernah dia memandang sumoinya seperti itu!

Selama ini, dia memandang sumoinya seperti seorang kakak memandang adiknya, pandangan yang sama sekali tidak mengandung rangsangan berahi. Akan tetapi kini tiba-tiba saja matanya melihat betapa cantik manisnya Li Lan, betapa indahnya lekuk lengkung tubuhnya, betapa menggairahkan ketika gadis itu merebahkan dirinya. Ingin dia menampar muka sendiri. Gagasan yang kotor!

Jantungnya berdebar keras dan untuk mengalihkan perhatiannya, dia lalu melangkah ke dekat tiang kemah di sudut, di mana tergantung sebatang pedang yang sarungnya indah sekali. Inilah pedang yang pernah menggagumkan hatinya tadi. Pedang milik Temucin yang sekelebatan saja dikenalnya sebagai sebatang pedang yang luar biasa. Dia merasa heran bagaimana seorang suku Mongol, biarpun seorang pemimpin, dapat memiliki sebatang pedang yang demikian indah dan ampuhnya?

Karena ingin tahu, dia pun mengambil pedang itu dan menghunusnya dari sarung pedang. Sinar yang terang berkilauan seperti kilat menerangi lampu gantung. Bahkan Li Lan yang belum pulas melihat sinar terang ini, membuat ia terkejut dan memutar tubuh menghadapi Yeliu Cutay.

"Suheng, pedang apakah itu?" tanyanya ketika ia melihat suhengnya berdiri sambil mengamati sebatang pedang yang mengeluarkan cahaya terang.

"Pedang milik Panglima Temucin, sebatang pedang pusaka yang luar biasa indah dan ampuhnya." jawab Yeliu Cutay tanpa menoleh kepada sumoinya karena kini dia merasakan betapa getaran berahinya semakin menghebat sehingga dia tidak berani memandang kepada sumoi-nya! Sampai menggigil kedua kakinya, gemetar seluruh tubuh dan kedua tangan yang memegang pedang. Akap tetapi, sikapnya ini, terutama melihat betapa kedua tangan yang memegang pedang itu gemetar keras, justeru menarik perhatian Li Lan.

Gadis itu merasa heran mengapa suhengnya yang biasanya selalu bersikap tenang itu kini gemetar kedua tangannya memegang pedang itu. Juga ia ingin sekali meliht pedang yang demikian dipuji-puji toasuhengnya. Ia pun meloncat turun dari pembaringan dan menghampiri Yeliu Cutay.

"Sumoi.... jangan....! Jangan engkau mendekat....!" Yeliu Cutay yang mendengar gerakan kaki sumoinya, cepat berseru tanpa menoleh, tubuhnya semakir gemetar hebat.

Tentu saja Li Lan menjadi terheran-heran, la merasa penasaran sekali melihat ulah toa-suheng itu. Yeliu Cutay sudah dianggap seperti kakak sendiri, atau pengganti orang tuanya yang jauh, pengganti suhunya yang telah tiada, la percaya sepenuhnya kepada toa-suheng yang amat baik ini. Mengapa kini toa-suheng itu bersikap seaneh ini? Ia tidak melihat adanya bahaya, mengapa pula ia tidak boleh mendekat?

Li Lan adalah seorang gadis yang tabah, berani dan keras hati, juga bukan seorang bodoh. Ia tidak melihat sesuatu kelainan pada toa-suhengnya, tidak terluka atau keracunan, maka tiada salahnya kalau ia mendekat. Bahkan ia harus mendekati suhengnya itu untuk melihat apa yang sesungguhnya terjadi pada suhengnya sehingga kalau perlu ia akan mampu menolongnya.

"Suheng, apakah yang telah terjadi? Engkau kenapakah?" la cepat menghampiri dan menyentuh lengan suhengnya.

Sentuhan ini saja cukup untuk mengobarkan api yang sudah mulai menyala itu. Yeliu Cutay membalikkan tubuhnya, tangan kanan masih memegang pedang terhunus, Pedang Asmara milik Panglima Temucin, dan sarung pedang yang tadinya terpegang di tangan kiri itu jatuh keatas lantai. Dia mengeluarkan suara keluhan dan kini mereka berdiri dekat, berhadapan dan saling pandang.

"Sumoi.....!" Panggilan ini seperti suara merintih dan tahu-tahu Yeliu Cutay sudah merangkul sumoinya.

Dan terjadilah keanehan. Li Lan yang tadinya penasaran dan terheran, ketika merasa dirinya dirangkul, terkejut dan hendak meronta. Akan tetapi sungguh aneh, begitu mulut Yeliu Cutay menutupi mulutnya dengan sebuah ciuman yang hangat, ciuman yang dilakukan dengan berahi yang berkobar, tepat pada saat Li Lan melihat pedang telanjang yang bersinar terang di tangan suhengnya, seluruh daya tahan dan perlawanan gadis itu lenyap seperti awan ditiup angin.

Terdengar suara rintihan di kerongkongannya dan ia sama sekali tidak melawan atau menolak, bahkan seperti di luar kesadarannya, kedua lengannya perlahan-lahan membalas rangkulan toa-suhengnya dan bibirnya membalas ciuman itu dengan mesra!

Segala terjadi seperti dalam sebuah mimpi yang tak dapat dilawan saja. Yeliu Cutay, dengan pedang telanjang masih di tangan kanan, memondong tubuh sumoinya dan membawanya ke atas pembaringan. Kemudian, segalanyapun terjadilah secara demikian wajar. Keduanya seperti tidak sadar, hanya didorong oleh perasaan cinta asmara yang penuh nafsu berahi berkobar-kobar.

Sampai hubungan itu berlangsung dan selesai, keduanya masih seperti mabuk, kini rebah saling peluk, masih tenggelam dalam lautan asmara yang memabukkan. Mereka yang terlatih dan tergembleng itu bahkan tidak mendengar masuknya Phoa Giok Hin ke dalam tenda itu.

Phoa Giok Hin masuk dengan wajah gembira karena dia berhasil menemui para kepala kelompok dan mendengarkan banyak keterangan penting mengenai kehidupan para suku di utara yang amat menarik hatinya. Maka dengan hati gembira dia memasuki tenda di mana sumoinya dan sunengnya berada.

Akan tetapi, tiba-tiba matanya terbelalak, buku catatan yang dipegang terlepas dan dia pun mengeluarkan seruan keras tertahan. "Suheng....! Sumoi....!"

Dua orang yang masih saling berpelukan dalam keadaan pakaian tidak lengkap itu terkejut dan mereka berdua meloncat bangun. Melihat kekasihnya agaknya kesadaran menyelinap dalam benak Li Lan dan ia pun menjerit lirih menyambar pakaiannya dan menutup tubuhnya, terhenyak di atas pembaringan sambil membelalakkan mata memandang kepada kekasihnya yang berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah.

Yeliu Cutay juga seperti baru sadar dari mimpi. Dia bangkit duduk di atas pembaringan, memandang kepada sutenya dan dengan mengerahkan daya kekuatan batinnya dia berhasil menguak dari selimut berahi yang membutakan kesadarannya tadi. "Sute.... dengarkan keteranganku...."

"Yeliu Cutay!" Phoa Giok Hin membentak. "Dasar engkau orang Liau-tung yang berjiwa khianat! Engkau tahu bahwl Li Lan adalah kekasihku, calon isteriku akan tetapi engkau tega untuk mengkhianatiku, merusak kebahagiaanku...!"

"Sute, tunggu...." kata Yeliu Cutay melihat sutenya mencabut pedang.

"Tunggu apa lagi! Engkau atau aku yang harus mati! Penghinaan ini hanya dapat dicuci dengan darah dan nyawa!" Berkata demikian, Giok Hin sudah menerjang dan membacokkan pedangnya ke arah kepala suhengnya.

Yeliu Cutay maklum akan dahsyatnya serangan sutenya. Bagaimanapun juga, dia harus membela diri karena dia sama sekali tiduk merasa bersalah. Sambil menyambar Pedang Asmara yang tadi menggeletak di atas pembaringan, dia pun menggulingkan tubuhnya ke bawah pembaringan.

"Brettt.....!" Pembaringan itu patah menjadi dua potong oleh sabetan pedang di tangan Giok Hin, akan tetapi karena pembaringan itu lebar, maka tidak sampai ambruk dan Li Lan yang duduk terhenyak di pojok pembaringan, hanya memandang dengan muka pucat sekali dan mata terbelalak.

Ia hendak menjerit, hendak berteriak, namun tidak mampu mengeluarkan suara. Ia masih merasa heran, terkejut, dan bingung. Baru sekarang ia teringat bahwa ia telah menyerahkan tubuhnya kepada toa-suhengnya, menyerahkannya dengan suka dan pasrah. Padahal ia mencinta Phoa Giok Hin! Ia merasa heran mengapa itu sampai terjadi, akan tetapi ia tidak merasa menyesal, hanya bingung. Kini melihat kekasihnya menyerang toa-suhengnya mati-matian, ia menjadi semak bingung dan khawatir.

Kini Giok Hin sudah menghujani serangan ke arah toasuhengnya, serangan yang dilakukan penuh rasa dendam, benci dan. sakit hati. Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar. Yeliu Cutay yang masih setengah telanjang itu mengelak dengan loncatan-loncatan, akan tetapi akhirnya ia tersudut dan tidak mampu mengelak lagi.

Dia harus membela diri maka begitu melihat sinar pedang meluncur ke arah dadanya, dia pun menggerakkan Pedang Asmara di tangannya untuk menangkis sambil menggetarkan pedang untuk balas menyerang agar sutenya tidak terlalu mendesak. Akan tetapi dia sama sekali tidak memperhitungkan kehebatan Pedang Asmara itu, pedang pusaka yang belum dia kenal kehebatannya.

"Cringgggg....!" Pedang di tangan Giok Hin patah ketika bertemu dengan Pedang Asmara, dan saking tajam dan kuatnya pedang pusaka ini, ketika pedang Giok Hin patah, pedang pusaka itu masih meluncur dengan kecepatan kilat dan tahu-tahu pedang itu telah menusuk leher Phoa Giok Hin.

"Aughhhhh.....!" Phoa Giok Hin berseru dan tubuhnya roboh terjengkang, lehernya tadi tertusuk Pedang Asmara dan dia pun kini rebah, memandang kepada Yeliu Cutay dengan sinar mata lemah dan mulut tersenyum! Lalu terdengar suaranya, serak dan lirih.

"Suheng... bahagiakanlah Lan-moi....." dan diapun memejamkan matanya, lehernya terkulai.

"Sute... ah, apa yang kulakukan ini.....?" Yeliu Cutay menjadi pucat sekali dan pedangnya terlepas dari tangannya, seolah-olah dia memegang seekor ular dan merasa jijik. Pedang itu jatuh ke atas lantai, dekat tubuh Giok Hin yang sudah menjadi mayat.

"Suheng.....!" Li Lan menjerit dan meloncat turun dari pembaringannya. Dalam keadaan masih setengah telanjang ia menubruk tubuh Giok Hin yang sudah menjadi mayat akan tetapi masih hangat. "Suheng..... jangan tinggalkan aku.... Suheng, bukankah kita sudah bersumpah sehidup semati?" ia meratap dan menangis, sedangkan Yeliu Cutay hanya berdiri seperti telah berubah menjadi sebuah patung mati.

"Suheng, kau tunggu aku.....!" Li Lan menyambar Pedang Asmara yang masih menggeletak dengan ujung berlepotan darah Giok Hin tadi, dan sebelum Yeliu Cutay mendapatkan kembali kesadarannya, gadis itu telah menusukkan pedang itu ke arah dadanya.

"Cappppp...!" Pedang itu menancap ke dada, menembus jantung dan Li Lan roboh menelungkup di atas mayat kekasihnya. Darahnya membanjir dan membasahi mayat Giok Hin.

"Sumoi.....! Ya Tuhan... apa yang telah kulakukan ini.....?" Yeliu Cutay menjerit dan dia pun roboh tersungkur, pingsan di dekat mayat kedua orang adik seperguruannya.

Ketika dia siuman dari pingsannya, Yeliu Cutay mendapatkan dirinya menggeletak di atas pembaringan, dalam sebuah tenda lain. Temucin dan tiga orang Kakek berada di tepi pembaringan. Melihat pemuda itu siuman, Temucin berkata dengan suara halus.

"Taihiap, tenanglah.... engkau perlu mengaso dan engkau berada di bawah perawatan para tabib kepercayaanku....."

Yeliu Cutay teringat akan semua hal yang terjadi. Dia terbelalak, teringat dia akan perbuatannya bersama Li Lan, betapa mereka seperti mabuk, menjadi hamba nafsu berahi sehingga mereka lupa akan Giok Hin! Mereka berdua telah melakukan perjinaan yang paling hina dari apa yang dapat dia bayangkan. Li Lan adalah sumoinya, dan tunangan sutenya! Dan dia malah membunuh sutenya, walaupun tidak sengaja, dalam pembelaan dirinya sehingga sumoinya juga membunuh diri.

"Ahhhhh, tidak mungkin.... tidak mungkin...!" Dia tidak percaya bahwa dia dapat melakukan perbuatan seperti itu!

"Taihiap, engkau mendapatkan guncangan batin yang hebat, perlu beristirahat. Minumlah ini dan engkau akan tidur....." kata seorang di antara tiga, kakek yang duduk di situ, menyodorkan sebuah cawan terisi cairan putih.

Akan tetapi Yeliu Cutay bangkit duduk, kepalanya pening sekali sehingga memejamkan mata, akan tetapi dia memaksa diri membuka lagi kedua matanya dan bertanya kepada Temucin. "Panglima, di mana..... di mana sute dan sumoi.....? Di mana jenazah mereka?"

Temucin tersenyum. "Taihiap, seorang gagah harus mampu menghadapi segala keadaan, betapa pahit sekalipun. Sute dan sumoimu telah kami rawat, kami kuburkan, tiga hari yang lalu. Engkau selama tiga hari dalam keadaan pingsan. Karena itu, sebaiknya engkau minum obat yang diberikan oleh tabib kami agar sembuh benar, baru kita bicara."

Yeliu Cutay terkejut. Tiga hari dia pingsan! Akan tetapi, jenazah sute dan sumoinya sudah diurus dengan baik. Dia mengangguk, menerima sodoran cawan dan meminum isinya. Tak lama kemudian dia pun pulas. Temucin mengangguk-angguk senang, lalu meninggalkan tenda itu untuk kembali ke dalam tendanya sendiri.

Temucin melewati tenda ibunya dan dia pun memasuki tenda itu. Ibunya sedang duduk seorang diri. Para wanita muda pergi bekerja di luar perkemahan. Holun, ibu Temucin, masih nampak sehat dan cantik walapun usianya sudah mendekati empat puluh tahun. Sebagai ibu kandung kepala suku, tentu saja Holun terhormat dan mempunyai kedudukan penting, tidak diharuskan bekerja berat, bahkan dilayani.

Akan tetapi, Holun bukan seorang yang gila hormat dan malas. Biarpun puteranya telah menjadi kepala suku, ia tetap bersikap sederhana, tidak mau bermalas-malasan. Ketika Temucin masuk ke tenda itu, dia mendapatkan ibunya duduk sambil menjahit pakaian.

Melihat puteranya, Holun mempersilakannya duduk dan mereka duduk berhadapan. Holun menghormati puteranya yang satu ini, maka ia pun menaruh jahitannya, menghentikan pekerjaannya dan memandang wajah puteranya dengan perasaan bangga. Puteranya ini mirip benar dengan suaminya, bahkan agaknya dalam segala hal, puteranya ini tidak mau kalah oleh mendiang bapaknya.

Temucin lalu bercerita kepada ibunya tentang tiga orang tamunya. "Cinta membuat mabuk, Ibu. Aku melihat bahwa Yeliu Cutay adalah seorang yang gagah perkasa, bijaksana dan pandai. Akan tetapi, di bawah pengaruh cinta, dia sampai hati untuk mengkhianati sutenya berjina dengan kekasih sutenya, yaitu sumoinya sendiri. Bahkan ketika sutenya mempergoki perbuatan mereka, dan kakak beradik seperguruan itu berkelahi. Yeliu Cutay sampai hati pula untuk membunuh sutenya. Melihat kekasihnya tewas, nona Li Lan membunuh diri.

"Sungguh mengherankan sekali, Yeliu Cutay kelihatan amat berduka dan menyesal, dan nona itu membunuh diri tanda bahwa dia mencinta Giok Hin, akan tetapi mengapa ia mau berjina dengan toasuheng-nya? Apakah aku harus menghukum Yeliu Cutay, ibu? Dia orang jahat ataukah orang baik? Kalau dia orang jahat, bagaimana mungkin kelak dia menjadi pembantuku? Tentu akan membahayakan sekali."

Holun mendengarkan dengan penuh perhatian. Puteranya menceritakan dengan jelas peristiwa yang terjadi menimpa tiga orang tamunya itu. "Kau bilang tadi bahwa mereka bermalam di dalam tendamu sendiri?" tanya wanita itu.

"Benar, Ibu. Untuk menghormati mereka yang telah membantuku, aku menyerahkan tendaku untuk tempat tinggal mereka sebagai tamu kehormatan."

"Dan pedangmu itu, Pedang Asmara itu, berada di dalam tendamu ketika semua itu terjadi?"

"Benar, Ibu. Bahkan, aneh sekali kematian Phoa Giok Hin dan Ciu Li Lan juga di ujung Pedang Asmara. Yeliu Cutay mempergunakan Pedang Asmara ketika melawan sutenya sehingga sutenya tewas, dan nona itu membunuh diri dengan Pedang Asmara pula..."

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.