WANITA itu mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk. Terbayang olehnya peristiwa yang menimpa dirinya, ketika mendiang Galasing memasuki tendanya dan pria itu merayunya. Ketika itu, pedang berada di dalam tendanya dan sungguh mengherankan, juga mengerikan betapa ketika Galasing merayunya, la menerima rayuan itu bahkan membalasnya dengan gairah berahi yang berkobar!
Ia ingat benar akan hal itu. Ketika ia minta agar Galasing membawanya keluar tenda karena di situ tidur pula para madunya dan anak-anak, dan Galasing membawanya ke luar, barulah setibanya di luar tenda, ia sadar dan tidak lagi dimabuk berahi, dan ia memberontak dan melawan! Dan kini, peristiwa yang sama terjadi pula di dalam tenda puteranya,menimpa para tamu terhormat itu.
Seorang kakak seperguruan berjina dengan adik seperguruannya, padahal kakak itu seorang bijaksana dan tahu bahwa adiknya itu telah bertunangan dengan adik seperguruan yang lain. Dan ketika peristiwa itu terjadi, Pedang Asmara juga berada di dalam tenda itu!
Kemudian ia melihat pula betapa puteranya menjadi lunak seperti seekor domba setelah memasuki tendanya, hidup berkasih-kasihan dengan isterinya, seolah-olah melupakan tugas-tugas terpenting kalau sudah tidur bersama isterinya. Semua itu tentu juga karena pengaruh Pedang Asmara!
"Aihhhhh..... semua karena pedang itu.....!"
"Apa maksud Ibu ?" Tanya Temucin mendengar ibunya seperti bicara kepada diri sendiri.
"Pedang itu! Pedang Asmara! Pengaruh pedang itulah yang membuat kakak seperguruan dan adiknya itu melukukan perjinahan. Hawa pedang itu membuat mereka mabuk dan tidak sadar akan apa yang mereka lakukan, dan kini kembali pedang itu minum darah dua orang muda yang saling mencinta. Bukankah dahulu pedang itu sudah pula minum darah mendiang Bailun dan Harkai?"
Temucin tertawa dan bangkit dari tempat duduknya. Dia adalah seorang yang tidak mau menerima segala macam tahyul, bahkan tidak percaya dan tidak takut terhadap segala macam setan dan iblis seperti yang didongengkan orang-orang. "Ha-ha-ha-ha-ha! Ibu, jangan bicarakan segala macam tahyul itu! Pedang itu memang sebuah pedang pusaka yang baik, akan tetapi mempengaruhi orang-orang bermain cinta? Ha ha-ha, tak masuk akal!" Dan dia pun meninggalkan ibunya yang duduk termenung sambil berulang kali menarik napas panjang.
"Jelas.... pedang itulah.... kalau bukan karena pedang itu, tidak mungkin aku hampir saja melayani Galasing....." bisiknya perlahan kepada diri sendiri.
Temucin memasuki tendanya yang lebar. Sunyi di dalam tenda, lsterinya juga tidak berada didalam, mungkin sibuk membantu para wanita lain mempersiapkan masakan. Dia lalu menuju ke sudut tenda, mengambil Pedang Asmara yang tergantung. Dicabutnya pedang itu. Betapa indahnya. Sinarnya gemilang. Akan tetapi masih ada noda merah di ujungnya. Darah itu telah mengering dan untuk membersihkannya harus dipergunakan kain dan minyak.
Dia menoleh ke arah pintu untuk berteriak memanggil pelayan yang mungkin berada di luar agar diambilkan kain dan minyak. Akan tetapi mulutnya yang sudah terbuka itu tidak mengeluarkan suara dan tetap terbuka bersama matanya yang terbelalak! ketika dia melihat seorang wanita di pintu tenda. Agaknya wanita itu baru saja datang dan menyingkap pintu tenda. Melihat Temucin seorang diri, wanita yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun itu tersipu malu, apalagi tidak terdapat seorung pun wanita di situ.
"Aih, maafkan hamba.... hamba mencari isteri Paduka....." kata wanita itu tersipu dan mukanya berubah kemerahan.
Temucin terpesona. Wajah itu nampak demikian cantiknya sehingga dia mengamatinya tak pernah berkedip. "Masuklah. Engkau siapa dan mengapa mencari isteriku?" tanyanya sambil mempersilakan wanita itu masuk.
Wanita itu tidak berani membantah. Biarpun malu malu, ia masuk dan atas isyarat tuan rumah, ia duduk pula di atas bangku, sikapnya malu-malu, dan sungkan. "Saya..... Ogui..... isleri Barcan.... saya datang mencari isleri Paduka yang menjadi sahabat baik saya. Sebelum menikah dengan Paduka, Bortay telah menjadi sahabat saya....."
Temucin tersenyum, sambil menimang nimang pedang pusakanya di luar kesadarannya, dia pun menghampiri wanita itu. "Ah, kiranya engkau isteri dari kepala kelompok Barcan yang belum lama ini menggabungkan diri? Pantas aku tidak pernah melihatmu, engkau.... namamu Ogui....? Engkau cantik sekali, Ogui....."
"Aihhh, Paduka main-main....." Ogui tersenyum malu-malu, menundukkan mukanya, akan tetapi sepasang matanya melirik dari bawah.
Melihat ini, ada sesuatu tenaga yang mendorong Temucin untuk makin mendekat, lalu tiba-tiba saja dia merangkul dan menarik wanita itu bangkit berdiri. Dia mendekap dan menciuminya. Sungguh luar biasa. Wanita itu, biarpun dengan sikap malu-malu membalas belaian, pelukan dan ciumannya dengan penuh gairah!
Temucin lupa diri, lupa akan pedang pusaka di tangannya, lupa akan percakapannya dengan ibunya tadi. Dia menarik Ogui ke pembaringan, melempar Pedang Asmara diatas pembaringan pula dan wanita itupun menjadi penurut sekali, penuh kemesraan, tidak kalah mesranya seperti kalau dia menggauli Bortay sendiri!
Temucin adalah seorang yang mempunyai jiwa kepemimpinan besar sekali mempunyai cita-cita yang besar. Maka biarpun dia seperti terbuai dalam mimpi indah dan mabuk nafsu berahi, setelah semua itu terlewat, dia segera teringat akan kerugian yang dapat menimpa dirinya akibat dari hubungannya dengan isteri seorang kepala kelompok ini.
Teringat akan cerita ibunya tadi, maka biarpun hatinya terasa berat, dia setengah memaksa Ogui mengenakan pakaiannya kembali dan setengah menyeret wanita itu keluar dari dalam tenda. Setelah tiba di luar tenda, barulah dia menyadari sepenuhnya kebenaran cerita ibunya. Setelah mereka tiba di luar tenda, dia sadar sepenuhnya dan merasa malu dan menyesal sekali atas peristiwa perjinaan tadi. Bukan dia saja. bahkan Ogui juga nampak terkejut lalu wanita itu menangis sejadi-jadinya!
Temucin adalah seorang yang amat cerdik. Dia tahu bahwa tangis wanita ini akan menarik banyak perhatian dan kalau semua orang mendengar bahwa dia telah mengkhianati kepala kelompok yang telah bergabung kepadanya, akibatnya akan hebat dan berbahaya sekali bagi wibawanya. Maka, tanpa banyak pikir lagi, dia mengambil keputusan tetap dan tangannya lalu bergerak menghantam ke arah tengkuk wanita itu.
"Desss.....!" Tanpa dapat mengeluarkan suara lagi, Ogui roboh dan tewas seketika! Setelah itu, barulah Temucin bertepuk tangan memanggil pengawal! Beberapa orang perajurit pengawal berlarian datang dan mereka terkejut dan heran melihat mayat Ogui di depan kaki junjungan mereka.
Namun dengan tenang Temucin memberi keterangan bahwa Ogui telah berlaku tidak sopan dan mencoba merayunya sehingga dia menjadi marah dan membunuh wanita yang tidak setia kepada suaminya itu untuk memberi peringatan kepada semua wanita. Dia memerintah mereka untuk memanggil Barcan pada saat itu juga. Dua orang perajurit pergi melaksanakan perintah ini dan tak lama kemudian Barcan datang menghadap Temucin di dalam tendanya. Begitu melihat Barcan datang, Temucin bangkit dan memegang kedua pundaknya.
"Barcan, apakah wanita yang bernama Ogui itu isterimu?"
Barcan memandang heran dan mengangguk. "Benar sekali, Panglima."
"Hemmm, untung bahwa yang digodanya adalah aku, kalau pria lain, tentu namamu akan tercemar selama hidup. Isterimu mencoba untuk menggodaku ketika ia datang berkunjung ke sini. Mengingat bahwa perbuatannya itu merupakan suatu aib yang akan membuat namamu tercemar, aku menjadi marah sekali dan aku menghukumnya, membunuhnya seketika. Kalau engkau membutuhkan isteri lain, katakan, wanita mana yang kau suka dan aku akan meminangkannya untukmu, Barcan."
Wajah Barcan berubah pucat, lalu merah tiba-tiba dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan Temucin. "Terima kasih, Panglima! Sungguh tidak kunyana bahwa ia akan berbuat serendah itu dan hampir saja menodai nama baik hamba. Benarlah kata orang tua bahwa di balik kecantikan wanita tersembunyi ular beracun! Baiknya Paduka telah menghukumnya, kalau tidak, hamba sendiri yang akan membunuhnya seperti seekor anjing!"
Temucin menarik napas lega. Untung bahwa kecerdikannya membuat dia bertindak cepat tadi. "Sudahlah, Barcan. Kurasa hal ini tidak perlu dibicarakan lagi. Kalau terdengar orang lain, setidaknya engkau masih akan menderita malu. Sebaiknya, rawat jenazah isterimu baik-baik."
Barcan pergi membawa jenazah isterinya, dan Temucin memanggil beberapa orang pengawalnya tadi, melarang mereka untuk menceritakan ketidak-setiaan Ogui kepada orang lain. Setelah semua orang pergi, Temucin duduk termenung di dalam tendanya, Pedang Asmara di kedua tangannya. Dia mengamati pedang itu dengan alis berkerut. Pada saat itu, Bortay, isterinya, melangkah masuk.
Melihat suaminya duduk memegang Pedang Asmara, dengan sikap manja Bortay lalu mendekat, duduk di atas pangkuan suaminya, merangkul dan mencium dengan mesra. Temucin merasa betapa semangatnya bangkit, gairahnya timbul dengan hebat.
Akan tetapi, tidak seperti biasa, dia menahan dirinya, bahkan dengan lembut mendorong Bortay turun, kemudian menyarungkan Pedang Asmara dengan sikap tenang sekali, bahkan agak dingin sehingga Bortay menjadi heran dan khawatir. Suaminya ini biasanya amat mesra dan penuh gairah.
"Ada apakah suamiku? Mengapa engkau nampak..... gelisah dan duka?" Ia merayu dan memandang dengan penuh kasih sayang.
Temucin menarik napas panjang. Tanpa pengaruh pedang apa pun, isterinya memang sudah menggairahkan sekali apalagi dengan pengaruh Pedang Asmara. Kini teringatlah dia betapa setiap kali berada di dalam tenda bersama Bortay dia mencurahkan seluruh waktu, perhatian dan tenaganya untuk bermain cinta dengan isterinya itu.
Bahkan seringkali dia tidak mengacuhkan urusan penting bahkan selalu menolak kunjungan kepala kelompok yang hendak menyampaikan sesuatu yang amat penting. Tidak, ini harus berhenti! Dia tidak boleh menjadi seperti boneka yang lemah begini, pikirnya.
"Tidak ada apa-apa, Bortay. Coba panggilkan pelayan, suruh siapkan air mandi yang hangat dan panggil pengawal ke sini. Ada urusan penting sekali."
Dengan pandang mata heran dan juga kecewa, Bortay mengangguk dan keluar dari dalam tenda. Kemudian Bortay mendengar akan peristiwa terbunuhnya Ogui dari seorang pelayan yang tadi kebetulan, melihat peristiwa ketika Ogui dipukul mati oleh Temucin di luar tenda, dan Bortay tidak banyak bertanya lagi. Tahulah ia bahwa sikap Temucin yang berubah itu karena terjadinya peristiwa itu. Ia meresa heran sekali mengapa Ogui, sahabat baiknya, dibunuh Temucin.
Setelah pengawal datang, Temucin memerintahkan untuk memanggil Yeliu Cutay menghadap, kalau tamu itu sudah pulih kesehatannya. Kemudian dia mandi sampai bersih, seolah-olah dia hendak mencuci semua pengaruh Pedang Asmara dari tubuh dan hatinya.
Peda keesokan harinya, Yeliu Cutay sudah merasa sehat kembali. Obat-obat yang diberikan oleh para tabib itu memang manjur, Juga tekanan-tekanan dengan ibu jari pada jalan-jalan darah tertentu di tubuhnya, suatu ilmu pijat yang kuno dari Mongol, telah menyegarkan tubuhnya dan memulihkan semangatnya.
Panggilan Temucin disampaikan kepadanya dan dia pun bergegas pergi menghadap pemimpin muda itu di tendanya. Semua orang lain, juga Bortay, disuruh keluar oleh Temucin yang ingin bicara empat mata saja dengan tamu yang dihormatinya itu.
"Yeliu Talhiap, ingin aku bertanya, Tahukah engkau apa yang menyebabkan terjadinya malapetaka yang menimpi dirimu dan dua orang saudara seperguruanmu?"
Sejenak Yeliu Cutay menantap wajah Temucin, alisnya berkerut karena dia mengira bahwa pemimpin suku Mongol itu hendak menghinanya, akan tetapi melihat kejujuran keluar dari sinar mata itu, dia pun menundukan mukanya yang menjadi merah sekali dan dia meresa menyesal dan berduka.
"Paduka bertanya lagi sebabnya? Tiada lain karena aku telah melakukan perbuatan khianat yang amat keji, Panglima. Mungkin pada saat itu aku telah kemasukan roh jahat sehingga aku menjadi lupa dan melakukan perbuatan rendah itu. Paduka tentu sudah tahu, mengapa masih bertanya lagi?"
Temucin menggeleng kepalanya, "Tidak, Taihiap. Sama sekali bukan karena engkau jahat dan berkhianat. Periksalah dirimu sendiri. Apakah engkau seorang laki-laki hamba nafsu berahi yang demikian buta sehingga dapat melakukan perbuatan rendah seperti Itu? Tidak, bukan? Nah, memang sesungguhnyalah bahwa pada saat itu, engkau telah dimasuki roh jahat, roh jahat yang keluar dari pedang ini."
Yeliu Cutay terkejut dan memandang pedang yang berada di tangan Temucin. Temucin perlahan-lahan mencabut pedang itu dari sarungnya dan nampaklah cahaya terang. Tiba-tiba Yeliu Cutay merasa betapa semua kedukaan dan penyesalan lenyap, terganti oleh gairah yang aneh. "Pe.... pedang itu....? Apa.... maksud Paduka?"
"Pedang pusaka ini adalah sebuah pusaka yang ampuh sekali, terbuat dari Batu Dewa Hijau atau juga terkenal sebagai Batu Asmara. Oleh karena itu, pedang ini kuberi nama Pedang Asmara. Khasiat pedang ini amat ampuh, bukan saja ampuh sebagal senjata, juga ampuh sebagai obat penolak segala macam racun. Akan tetapi, pedang ini juga menyebarkan pengaruh yang amat kuat untuk menjatuhkan hati setiap orang manusia terhadap lawan jenisnya."
"Ahhh...! Sekarang aku teringat, Panglima. Ketika itu, aku... aku memang sedang mengagumi pedang itu, kucabut dari sarungnya, dan su... mendiang sumoi. Ia datang menghampiri untuk ikut melihatnya. Aku sudah merasakan suatu ketidakwajaran dan berusaha untuk melarang ia mendekat, akan tetapi ia tetap mendekat dan menyentuh lenganku dan.... semua itu pun terjadilah!
"Ah, sekarang aku mengerti mengapa sumoi mau melakukan hal itu! Kiranya sumoi adalah seorang wanita yang suci, tetap ia suci dan bukan seorang penyeleweng! Sungguh hal ini menggembirakan sekali, Panglima. Hatiku gembira karena mendapat kenyataan bahwa sumoi adalah seorang gadis yang setia kepada cintanya.
"Kalau ia melakukan hal terkutuk itu bersamaku, hal itu adalah karena pengaruh Pedang Asmara. Sungguh, kenyataan ini melegakan hatiku, dan tentu arwah sute Phoa Giok Hin akan dapat pula melihatnya sehingga dia akan dapat memaafkan perbuatanku dan sumoi."
Temucin mengangguk-angguk. "Engkau gembira karena kenyataan bahwa engkau melakukan hal itu karena pengaruh Pedang Asmara, bukan karena engkau telah berubah menjadi seorang lemah dan hamba nafsu, bukankah begitu, Taihiap?"
Yeliu Cutay terkejut dan cepat memberi hormat, "Paduka memang bijaksana dan waspada. Memang demikianlah, Panglima, di samping kegembiraan hatiku melihat sumoi bukan seorang penyeleweng."
"Kalau aku tidak menyadari hal itu, apakah kiranya engkau akan dapat lolos dari sini tanpa hukuman? Yeliu Taihiap, sekarang aku hendak menghadiahkan Pedang Asmara ini kepadamu!"
Yeliu Cutay terkejut bukan main, memandang kepada pemimpin itu dengan mata terbelalak. "Akan tetapi, pusaka itu milik Paduka....."
Temucin tersenyum dan menggeleng kepala. "Pusaka ini sama sekali tidak cocok untukku, Yeliu Taihiap. Seorang pemimpin haruslah memiliki hati yang keras membaja, semangat yang berkobar kobar. Pedang ini dapat membuat aku menjadi seorang pria yang lemah, menjadi hamba nafsu berahi saja. Tidak, Pedang ini tidak cocok dengan watakku yang penuh semangat dan keras membaja, watak seorang panglima sejati. Engkaulah yang harus berusaha menundukkannya, Taihiap.
"Usahakanlah agar pengaruh jahat yang disebarkan pedang ini dapat ditundukkan, setidaknya agar jangan sampai mendatangkan malapetaka kepada orang-orang yang saling mencintai seperti yang terjadi pada sute dan sumoimu, juga kepada pasangan-pasangan lain yang pernah menjadi korban pengaruh pedang ini. Nah, terimalah. Kuberikan kepadamu karena aku mengagumimu, menghormatimu dan mengharapkan engkau kelak menjadi seorang pembantuku yang setia."
Tentu saja Yeliu Cutay menjadi gembira bukan main. Dia mengenal pedang pusaka ampuh. Biarpun pedang itu mempunyai pengaruh yang luar biasa terhadap pria dan wanita, namun harus diakuinya bahwa pedang pusaka itu ampuh dan jarang bandingnya di dunia ini. Dan pedang pusaka seampuh itu diberikan begitu saja sebagai hadiah oleh panglima Mongol itu kepadanya.
Dia diampuni, tidak dihukum atas perbuatannya yang mengakibatkan matinya sute dan sumoinya, terjadi di dalam tenda Temucin, bahkan diberi hadiah pedang pusaka. Tentu saja Yeliu Cutay merasa gembira dan berterima kasih sekali. Dia berlutut di depan Temucin dan menerima pedang pusaka itu.
"Saya menghaturkan terima kasih atas budi kemuliaan Paduka dan saya berjanji, kalau memang berjodoh seperti yang diramalkan perbintangan, kelak saya akan menghambakan diri kepada Paduka dan berjanji akan menjadi seorang pembantu yang setia!"
Temucin tersenyum gembira sekali. Memang itulah yang dikehendakinya. Pedang itu, biarpun merupakan pusaka ampuh, tidak akan mampu membantunya mencapai cita-citanya yang besar, bahkan akan merugikan sekali karena akan menyeret dia menjadi seorang hamba nafsu berahi saja. Pedang itu mempunyai hawa pengaruh membuat dia menjadi lemah, walaupun pedang itu juga mengandung khasiat melumpuhkan kekerasan hati orang lain seperti pernah dialaminya!
Ketika dia mengunjungi para kepala kelompok. Dengan pedang itu di tubuhnya, para kepala kelompok seperti kehilangan sikap bermusuhan mereka, sebaliknya menjadi ramah dan mau bersahabat. Akan tetapi, dia mengharapkan bantuan Yeliu Cutay kelak, dan kini dia menanamkan kesan mendalam berupa budi kebaikan yang tentu tidak akan dilupakan seorang! Yang gagah seperti Yeliu Cutay!
Setelah menerima perjamuan perpisahan, Yeliu Cutay lalu berpamit dan meninggalkan perkampungan Temucin untuk kembali ke selatan. Pedang Asmara itu tergantung di pinggangnya, tertutup jubah luarnya, dan bekal pakaiannya digendongnya di atas punggung. Dia kini menunggang seekor kuda yang besar dan kuat, jauh berbeda dari kuda yang menjadi tunggangannya ketika dia tiba di tempat itu bersama kedua saudara seperguruan. Kuda pemberian Temucin Ini merupakan kuda pilihan yang baik sekali.
Yeliu Cutay adalah seorang bersuku bangsa Liau-tung, suku bangsa yang tinggal di perbatasan utara di dekat Tembok Besar. Suku bangsa Liau-tung ini merupakan suku bangsa yang terkenal pandai bercocok tanam, juga menjadi pemburu-pemburu yang pandai. Akan tetapi, sejak lama, bangsa atau suku Liau-tung ini telah tunduk di bawah kekuasaan bangsa atau suku Khitan.
Kerajaan Khitan menguasai sebagian besar daerah Mancuria Selatan, Hopeh dan daerah Timur Laut dan merupakan Kerajaan yang cukup kuat dan berpengaruh sekali. Berkali-kali pasukan Kerajaan Sung yang ketika itu menguasai Tiongkok bentrok dengan pasukan Khitan dan pasukan Sung mengalami kekalahan. Bahkan kekuasaan Khitan sedemikian hebatnya sampai pernah terjadi Kaisar Kerajaan Sung mengirim upeti kepada Kerajaan Khitan!
Akan tetapi, pada permulaan abad ke dua belas, terjadilah perubahan besar. Di antara suku-suku bangsa yang ditundukkan oleh bangsa Khitan terdapat suku bangsa Yu-cen yang berasal dari sebelah utara Propinsi Shansi. Selelah mencapai kekuasaan besar, bangsa Khitan mabuk kemenangan dan setiap hari hanya bersenang senang saja, menghabiskan upeti yang dikirim oleh Kaisar Kerajaan Sung.
Kesempatan ini dipergunakan oleh suku bangsa Yu-cen yang sakit hati, dan bersekutu dengan Kerajaan Sung, untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap bangsa Khitan yang hidupnya hanya bersenang-senang itu. Padahal ketika sedang memperbesar dan memperkuat kedudukannya, bangsa Khitan terkenal sebagai bangsa yang besar, golongan Nomad yang gagah perkasa dan pandai berkelahi.
Suku Yu-cen menyerang dari utara, dan Kerajaan Sung mengerahkan pasukannya menyerang dari selatan. Pasukan Khitan terhimpit dari utara dan selatan. Hancurlah pasukan Khitan yang mengakhiri kekuasaan bangsa Khitan! Kini yang bangkit adalah suku bangsa Yu-cen yang kemudian mendirikan wangsa baru, yaitu Wangsa Cin!
Demikianlah, kini Wangsa Cin memegang kekuasaan di sebelah utara sampai di Tembok Besar. Setelah suku bangsa Yu-cen mendirikan Kerajaan Cin, bagi Kerajaan Sung bahkan amat merugikan. Ternyata suku bangsa Yu-cen adalah suku yang amat keras dan bengis. Kerajaan Cin bukan saja menuntut upeti dari Kerajaan Sung untuk menjamin persahabatan agar pasukan Cin tidak menyerang ke selatan, juga Kerajaan Cin memandang rendah bangsa Han di selatan.
Mereka ini jauh lebih serakah dibandingkan bangan Khitan yang sudah hancur. Bangsa Khitan masih bersahabat dengan orang-orang selatan yang menyebut diri mereka sebagai suku bangsa Han, asalkan pemerintah Khitan menerima upeti tanda persahabatan. Akan tetapi, Kerajaan Cin terus memperbesar dan memperluas wilayah mereka dengan serbuan-serbuan ke selatan, terang-terangan merampas banyak wilayah yang tadinya menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Sung.
Ketika Yeliu Cutay dan dua orang adik seperguruannya mencari pengalaman ke utara, di luar Tembok Besar, Kerajaan Cin sedang jaya-jayanya. Kerajaan ini maju pesat setelah pada tahun 1127, suku Yu-cen ini melakukan penyerbuan besar-besaran ke selatan. Tentara yang besar jumlahnya, dan rata-rata memiliki keberanian dan kepandaian yang hebat itu menyerbu dan menghancurkan setiap perlawanan pasukan Sung.
Penyerbuan itu berhasil masuk ke kota raja. Kaisar Sung dan keluarganya ditangkap dan dibuang, kota raja diduduki dan Kerajaan Cin di pindahkan ke istana-istana di kota raja yang ketika itu bernama Yen-cing (sekarang Peking). Sisa keluarga Kaisar Sung yang dapat melarikan diri, lari ke selatan.
Pasukan Cin terus mengejar sampai ke sebelan utara Sungai Yang-ce dan wilayah dari utara sampai ke tepi Sungai Yang-ce ini terjatuh ke dalam kekuasaan Kerajaan Cin! Seorang saudara kaisar kemudian mengangkat diri menjadi Kaisar Sung Kao Cung dan berdirilah Kerajaan Sung Selatan (Lam Sung), sedangkan Kerajaan Sung yang sudah jatuh itu dinamakan Sung Utara. Demikianlah, puluhan tahun telah lewat dan Kerajaan Cin menjadi besar.
Yeliu Cutay adalah keturunan orang-orang penting dari suku Liau-tung. Semenjak kakek buyutnya, keluarga Yeliu ini mengabdi kepada Kerajaan Cin yang telah merampas tahta Kerajaan dari tangan suku Khitan di mana suku Liau-tung termasuk, Nenek moyang Yeliu Cutay memegang jabatan penting dalam pemerintahan Kerajaan Cin karena mereka memang merupakan orang-orang pandai. Bahkan ayah Yeliu Cutay sendiri adalah seorang pembesar tinggi yang mengurus bagian perpustakaan Kerajaan.
Yeliu Cutay adalah anak tunggal dari Yeliu Koan, pejabat tinggi bagian perpustakaan itu. Sejak kecil, Yeliu Cutay sudah menerima pelajaran kesusastraan dari ayahnya. Sejak kecil dia suka sekali membaca kitab-kitab lama sehingga dia mengenal sejarah. Hatinya tergerak ketika dia membaca sejarah suku bangsanya yang dulu terkenal sebagai pemburu-pemburu yang gagah berani dan pandai.
Oleh karena itu, dia pun minta kepada ayahnya agar supaya di samping Ilmu kesusastraan, dia pun diperbolehkan belajar ilmu silat. Ayahnya tidak melarang dan sejak kecil, Yeliu Cutay lalu mulai belajar ilmu silat. Dia berangkat remaja sebagai seorang ahli sastra dan silat. Setelah dia berusia dua puluh tahun dia masih belum puas dengan segala ilmu yang telah dipelajari.
Dia pamit dari ayahnya untuk merantau dan mencari ilmu yang dapat dipakai sebagai bekal menghambakan diri kepada kerajaan sebagai seorang yang berguna. Akhirnya dia bertemu dengan seorang tosu tua yang sakti. Tosu ini adalah seorang pertapa di Pegunungan Thaisan, berjuluk Pek Bi Tojin (Pendeta Alis Putih).
Tosu itu baru saja menerima dua orang anak-anak menjadi muridnya, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang baru berusia belasan tahun. Anak laki-laki itu adalah Phoa Giok Hin dan anak perempuan itu Ciu Li Lan. Mereka lalu menjadi sute dan sumoi dari Yeliu Cutay ketika mereka bertiga menjadi murid Pek Bi Tojin. Karena Yeliu Cutay telah memiliki kepandaian yang lumayan tingginya, maka dia dianggap sebagai yang tertua dan pandai.
Selain ilmu silat, Pek Bi Tojin juga seorang sastrawan yang pandai dan dia memiliki ilmu perbintangan. Yeliu Cutay segera tertarik akan ilmu perbintangan ini karena dia melihat bahwa ilmu ini dapat menjadi bekal baik sekali untuk memperoleh kedudukan tinggi, karena ilmu ini amat berguna bagi kerajaan. Dia lalu mempelajari ilmu ini di samping ilmu silat. Phoa Giok Hin lebih tertarik akan sejarah yang dibacanya dari buku buku Pek Bi Tojin.
Setelan Pek Bi Tojin yang usianya sudah amat tua itu meninggal dunia, mereka bertiga lalu bersepakat untuk mengadakan perjalanan ke utara, ke luar Tembok Besar untuk meluaskan pengalaman mereka dan secara kebetulan mereka berjumpa dengan Temucin.
Peristiwa yang terjadi ketika menjadi tamu Temucin, yang mengakibatkan kematian sute dan sumoinya, sungguh membuat hati Yeliu Cutay berduka sekali. Dia meresa bertanggung jawab atas kematian mereka walaupun semua itu terjadi di luar kesadarannya. Dia tidak memperkosa Li Lan. Hubungan mereka itu, biarpun tidak wajar, terjadi karena keinginan kedua pihak yang terbuai oleh nafsu berahi yang dikobarkan karena pengaruh Pedang Asmara.
Dan dia tidak sengaja membunuh Giok Hin. Dia hanya, membela diri, tak disangkanya bahwa Pedang Asmara demikian ampuhnya sehingga sutenya itu tewas tanpa dia mampu mencegahnya lagi. Dan Li Lan membunuh diri juga bukan atas kehendaknya. Semua sudah digariskan oleh Tangan Tuhan. Penyesalan tidak ada gunanya, demikian dia menghibur diri sendiri ketika dia membalapkan kudanya meninggalkan daerah liar di utara itu untuk kembali ke selatan.
Bagaimanapun juga, kini hatinya merasa gembira sekali mengingat betapa Temucin telah menghadiahkan sebuah pedang pusaka yang ampuh dan luar biasa kepadanya. Pedang Asmara! Akan tetapi jantungnya berdebar penuh ketegangan ketika dia teringat akan khasiat lain dari pedang itu, pengaruh yang amat berbahaya karena pedang itu dapat melumpuhkan, daya tahan seseorang akan rangsangan nafsu berahi!
Dia harus dapat melawan pengaruh itu! Dia harus mampu mengalahkan dan menundukkan pedang pusaka itu yang mempunyai daya sedemikian anehnya terhadap orang yang berada didekatnya, baik wanita maupun pria. Dia merasa yakin benar akan kekuatan pedang itu, karena dia sendiri sudah merasakannya. Dia bukan seorang pria mata keranjang, bukan seorang pria pengejar kesenangan melalui s*x.
Dan dia tahu pula bahwa dalam bati Li Lan sama sekali tidak pernah ada perasaan cinta seorang wanita terhadap pria kepada dirinya melainkan kasih sayang seorang saudara seperguruan yang menganggap dia sudah seperti pengganti guru dan orang tua. Namun, pengaruh pedang itu telah memabukkan mereka berdua sehingga terjadilah hubungan yang amat mesra itu.
Pada waktu itu, Yeliu Cutay telah berusia dua puluh lima tahun dan selama hidupnya, belum pernah dia jatuh cinta. Pengalamannya dengan wanita hanya satu kali saja, yaitu dengan Li Lan! Sebelum itu, belum pernah dia berdekatan dengan wanita, belum pernah pula jatuh cinta.
Padahal, Yeliu Cutay adalah seorang pemuda yang cukup tampan, dengan tubuh yang tinggi dan sikap halus lembut seperti umumnya seorang yang terpelajar. Baginya, tidak ada waktu untuk bermain cinta, bahkan tidak ada selera untuk mendekati dan bergaul dengan wanita.
Akan tetapi kini, berulang kali kemesraan yang pernah dicicipinya bersama Li Lan terbayang di depan matanya dan sungguhpun dia sudah berusaha keras mengusirnya, tetap saja kenangan itu muncul kembali. Betapa hangat dan mesranya, betapa indah dan nikmatnya. Yeliu Cutay adalah seorang yang cerdik dan dia menduga bahwa semua kenangan mesra ini demikian sering muncul tentu karena pengaruh Pedang Asmara.
Yeliu Cutay melakukan perjalanan yang cepat. Kudanya memang merupakan kuda pilihan yang sudah biasa melakukan perjalanan jauh sehingga dalam sehari saja dia mampu melakukan perjalanan sampai puluhan li jauhnya tanpa berhenti. Yeliu Cutay baru berhenti kalau matahari sudah condong ke barat dan dia mencari tempat bermalam seadanya saja.
Kadang-kadang dia tidur di dalam goa batu, ada kalanya dia terpaksa tidur di dalam pohon besar karena di tempat itu banyak terdapat binatang liar yang dapat menyerangnya selagi dia tidur di bawah pohon. Bahkan beberapa kali di waktu malam terpaksa dia bangun dan melindungi kudanya dari gangguan binatan buas.
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan beberapa pekan lamanya, tanpa banyak halangan tibalah dia di sebuah dusun di sebelah dalam Tembok Besar. Sebuah dusun pertama dari luar daerah gurun yang dikuasai para suku liar. Daerah pertama dari tempat yang ditinggal orang-orang "beradab", daerah kekuasaan Kerajaan Cin.
Dusun itu cukup besar dan ramai karena di situ menjadi pusat perdagangan jual beli atau tukar menukar antara orang-orang yang datang dari sebelah dalam Tembok Besar dengan mereka yang datang dari luar. Kulit-kulit dan bulu binatang, tanduk-tanduk dan daging kering, ditukar dengan rempah-rempah dan kain sutera atau bermacam alat-alat dari dunia "beradab" yang dibutuhkan oleh suku yang disebut masih liar.
Karena perdagangan ini, dusun itu menjadi maju dan ramai, dan di situ terdapat banyak sekali orang dan pendatang dari luar dusun, dengan bermacam-macam suku bangsa. Tempat yang menjadi ramai dengan perdagangan tentu didatangi banyak orang dan di mana terdapat orang-orang berduit, tentu di situ terdapat pula tempat-tempat hiburan di mana orang dapat bersenang-senang dan menghamburkan uangnya.
Dan kalau sudah begitu, berdatanganlah orang-orang jahat yang suka mencari uang mudah, dengan membuka tempat hiburan, penipuan bahkan tekanan dan paksaan kepada para tamu. Bermunculanlah rumah-rumah makan yang dilayani oleh wanita-wanita cantik, rumah-rumah penginapan yang merangkap menjadi tempat pela*uran, rumah-rumah j*di dan banyak tempat pelesir lainnya. Dusun Pak-hong-cun menjadi besar dan ramai, seperti kota saja keadaannya.
Ketika Yeliu Cutay tiba di dusun ini, dia menjadi heran dan kagum. Dia pernah ke tempat ini lima enam tahun yang lalu, dan ketika itu, keadaan dusun ini masih belum seramai ini. Ketika dia bersama sute dan sumoinya melakukan perjalanan ke utara, mereka tidak melalui dusun ini, karena mereka langsung dari puncak Thai-san pergi ke utara menyeberang Tembok Besar.
Yeliu Cutay menjalankan kudanya perlahan-lahan dan dia mencari sebuah rumah penginapan. Hari sudah sore dan dia kini ingin bermalam di dusun yang ramai ini. Ketika berangkat, di atas sela yang berada di punggung kuda pemberian Temucin, dia menemukan sebuah kantung kecil yang terisi penuh potongan emas. Dia tahu bahwa memang sengaja Temucin menaruh emas sekantung itu di sana dan tidak memberikan langsung kepadanya karena kalau langsung diberikan, dia tentu akan menolak.
Dia berterima kasih sekali atas kebaikan Temucin, tidak tahu bahwa itu memang merupakan siasat cerdik dari Temucin yang membuktikaij jiwa kepimpinannya karena dia dapat menalukkan hati orang-orang pandai yang akan berguna baginya. Seperti juga pemberian pedang pusaka itu, maka pemberian emas itu pun untuk "mengikat" Yeliu Cutay, menanamkan "budi" sehingga Temucin boleh mengharapkan kelak Yeliu Cutay akan membalas budinya itu dengan menghambakan diri kepadanya.
Dengan adanya emas di dalam kantung itu, Yeliu Cutay berani mencari kamar di sebuah penginapan terbesar di dusun itu. Setelah menemukan sebuah rumah penginapan yang cukup besar, dia turun dari kudanya dan menambatkan kudanya di depan rumah penginapan. Ketika dia turun, dia melihat seorang laki-laki muka hitam memandang ke arah kudanya dengan penuh kagum.
Mata orang itu terbelalak dan diam-diam Yeliu Cutay merasa tidak enak. Pandang mata orang itu demikian mencurigakan, maka dia pun lalu menurunkan buntalan pakaiannya dan menggendongnya sehingga di atas sela kuda tidak ada lagi barang yang dapat dicuri orang. Kemudian dia memasuki ruangan depan rumah penginapan itu untuk memesan sebuah kamar.
Setelah memperoleh sebuah kamar, dia berkata kepada pengurus dan pelayan, "Harap suka merawat kudaku di luar itu, membawanya ke kandang. Biaya perawatannya boleh disatukan dengan uang sewa kamar besok."
Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi suara kuda meringkik disusul teriakan beberapa orang. "Maling kuda.....! Maling kuda.....!"
Dengan beberapa langkah lebar, Yeliu Cutay telah berada di luar dan dia melihat bahwa kudanya yang hendak dicuri! Pencurinya adalah si muka hitam yang dilihatnya tadi. Dua orang menghampiri dan agaknya hendak menangkap si muka hitam, akan tetapi beberapa kali tendangan dan tamparan membuat dua orang itu terjengkang dan si pencuri kuda sudah hendak meloncat ke atas punggung kuda yang dicurinya.
"Heiii! Hendak kau bawa ke mana kudaku itu?" bentak Yeliu Cutay dan dia sudah meloncat ke dekat si pencuri kuda yang tidak jadi naik ke punggung kuda melihat pemilik kuda sudah berada di situ. Dicabutnya sebatang golok dari punggungnya dan dia mengancam Yeliu Cutay dengan golok itu.
"Mundur kau! Relakan kudamu, aku butuh kuda ini!"
Setelah berkata demikian, dengan golok masih di tangan kanan dan kendali kuda di tangan kiri, orang itu meloncat ke atas punggung kuda. Gerakannya gesit dan loncatannya ringan sekali. Akan tetapi, Yeliu Cutay sudah meloncat dekat dan tangannya menyambar ke arah pinggang orang itu.
"Hei, Sobat! Tunggu dulu! Aku pun membutuhkan kudaku itu!" Tanpa dapat dicegah lagi tubuh orang itu terpelanting dan jatuh dari atas kuda. Yeliu Cutay tidak ingin melukai orang itu. Dari sikap orang itu yang tadi mengancamnya, tidak langsung menyerang, dia pun tahu bahwa orang itu tidaklah sejahat yang disangkanya. Mungkin seorang biasa yang benar membutuhkan kuda, dan agaknya bukan seorang penjahat ulung. Golok itu hanya untuk mengancam saja tadi.
Akan tetapi, karena orang itu terpelanting dan terbanting keras, dia menjad marah. Ketika tubuhnya terbanting, dia dapat bergulingan dan kini dia sudah meloncat berdiri lagi dengan golok di tangan. Mukanya yang hitam itu nampak lebih hitam lagi dan sepasang matanya mencorong ketika memandang kepada Yeliu Cutay.
"Engkau sudah bosan hidup!" bentaknya dan kini dia menyerang dengan goloknya.
Akan tetapi Yeliu Cutay sudah siap siaga. Biarpun orang itu dapat bergerak cepat dan sigap, dan agaknya mengerti ilmu silat, namun masih jauh kalau dibandingkan dengan Yeliu Cutay. Dengan tenang saja Yeliu Cutay mengelak ke kiri dan ketika golok orang itu menyambar dari atas ke bawah lewat di samping tubuhnya, cepat sekali tangannya menyambar.
Dan sekali ketuk saja dengan tangan miring mengenai pergelangan tangan orang itu, goloknya terlepas dan orang itu meringis kesakitan. Akan. tetapi, dengan nekat pencuri kuda itu menyerang lagi dengan kedua tangan mencengkeram ke arah Yeliu Cutay yang menangkis lalu tangan kirinya menampar ke arah pipi orang itu.
"Plakkkkk!" Orang itu terpelanting keras dan Yeliu Cutay melihat ke arah telapak tangannya yang berubah hitam! Ternyata orang itu menutupi mukanya dengan hangus atau bahan penghitam lain!
Pada saat itu, semua orang yang tadi berkumpul dan nonton di situ, sudah berloncatan maju untuk memukuli si pencuri kuda. Di tempat itu, seorang pencuri kuda dianggap orang yang sejahat-jahatnya. Tidak ada kejahatan yang dipandang lebih hina dan kotor daripada mencuri kuda.
Perbuatan ini dianggap hina dan kejam karena bagi semua orang di daerah itu, kuda merupakan suatu kebutuhan yang mutlak, bahkan merupakan nyawa ke dua. Orang yang melakukan perjalanan di daerah tandus, dalam jarak yang amat jauh, kadang-kadang ratusan li tidak bertemu manusia, kalau sampai kehilangan kuda dapat berarti orang itu akan mati dalam penderitaan yang hebat, kelelahan, kelaparan dan mati sedikit demi sedikit.
Belasan orang sudah mengepung dan siap memukuli si pencuri kuda sampai mati. Si pencuri kuda kini kehilangan kegalakannya. Tamparan pada pipinya yang dilakukan Yeliu Cutay tadi, biarpun tidak mendatangkan luka parah namun membuat kepalanya pening dan dia hanya rebah dengan kepala rasanya berpusing. Dia tahu bahaya maut mengancam dirinya, akan tetapi dia hanya dapat terbelalak memandang kepada orang-orang yang mengepung dirinya.
Melihat sikap semua orang itu, Yeliu Cutay merasa kasihan kepada laki-laki muda muka hitam yang terancam maut. Dia tahu bahwa laki-laki itu masih muda sekali. Bahwa mukanya hitam buatan, bahwa sebagai seorang penjahat apalagi seorang pencuri kuda, orang itu sungguh canggung dan tidak layak kalau sampai dibiarkan mati di bawah pengeroyokan orang-orang itu.
"Tunggu.....!" teriaknya sambil maju kedepan. "Jangan pukuli dia!"
Semua orang, menoleh kepada Yeli Cutay dan memandang dengan heran. Seorang laki-laki gendut setengah tua, bertanya dengan suara mengandung penasaran. "Dia pencuri kuda! Dia hendak mencuri kudamu dan engkau malah melindungi dia?"
Yeliu Cutay maklum bahwa sukar untuk meredakan kemarahan mereka, kecuali dengan suatu akal. Dia dapat mengorbankan kuda itu, karena bukankah dia mempunyai banyak emas sehingga mudah saja baginya untuk membeli seekor kuda lain. "Tidak!" katanya tegas. "Dia bukan pencuri kuda. Dia tadi hendak meminjam kudaku, akan tetapi kutolak. Sekarang aku ingin meminjamkan kudaku itu kepadanya, harap Cu-wi (anda sekalian) jangan mencampuri urusan kami dan melepaskan dia!"
Semua orang tentu saja saling pandang dan merekapun mengundurkan diri, masih melepaskan pandang mata penuh kecurigaan dan keheranan kepada Yeliu Cutay dan pencuri kuda itu. Akan tetapi Yeliu Cutay mengambil tindakan cepat. Dia menuntun kudanya dan menghampiri pencuri kuda yang sudah bangkit berdiri dengan bingung.
"Nah, kau pakailah kuda ini dan jangan kembalikan sebelum kebutuhanmu tercukupi dan urusanmu selesai. Tunggangilah dan pergilah dengan cepat dari sini."
Pencuri kuda itu terbelalak, heran dan juga terkejut, nampak bingung sekali. Akan tetapi Yeliu Cutay tersenyum dan kelihatan wajar dan tidak berpura-pura, maka dia pun mengangguk, lalu meloncati ke atas punggung kuda dan melarikan kuda itu dengan cepat pergi dari situ diikuti pandang mata Yeliu Cutay dari orang-orang yang tadi hendak mengeroyok si pencuri kuda. Untuk menghindarkan perhatian orang, dengan tenang Yeliu Cutay lalu masuk ke dalam rumah penginapan, memasuki kamar yang disewanya.
Setelah membersihkan tubuhnya, malam itu Yeliu Cutay yang merasa lapar pergi ke sebuah rumah makan yang memasang lampunya dengan terang sehingga menarik sekali. Bau sedap menyambutnya di depan rumah makan, membuat perutnya terasa semakin lapar. Dia meninggalkan buntalan pakaiannya di dalam kamar hotel, dan membawa kantung emas dan pedang yang disembunyikan di bawah jubahnya.
Yeliu Cutay memasuki rumah makan itu. Biasanya, kalau dia memasuki rumah makan, yang menyambutnya dan mempersilakan duduk adalah pelayan-pelayan yang ramah. Akan tetapi sekali ini lain. Dia melihat betapa di rumah makan itu terdapat kurang lebih sepuluh orang wanita muda yang rata-rata cantik, dan bersikap genit.
Ketika itu, di dalam restoran sudah ada banyak tamu dan para wanita yang agaknya menjadi pelayan itu melayani para tamu dengan sikap yang hangat menarik. Akan tetapi aneh, begitu Yeliu Cutay melangkah masuk, lima orang wanita sudah bangkit berdiri meninggalkan para tamu dan menyambutnya dengan senyum manis dan pandang mata memikat sekali!
"Selamat malam, Kongcu....."
"Silakan duduk di meja sudut sana, Kongcu....."
"Kongcu hendak minum apakah? Akan saya sediakan dengan cepat."
"Dan masakan apa yang Kongcu pesan? Di sini, masakan le-hi (semacam ikan kali) amat lezat, Kongcu."
Mereka itu beramai-ramai menyambut dengan kata-kata yang merdu seperti bernyanyi, dan mereka itu seperti hendak berlumba untuk menarik perhatian Yeliu Cutay.
Pemuda ini, walaupun usianya sudah dua puluh lima tahun, namun tidak pernah bergaul dengan wanita, maka kini dikepung lima orang wanita cantik yang genit-genit, Yeliu Cutay menjadi bingung dan mukanya berubah merah sekali. Apalagi ketika semua orang yang berada dalam restoran itu menoleh dan memandang kepadanya, dia menjadi serba salah.
"Terima kasih.... beri makanan kepadaku apa saja untuk mengenyangkan perutku yang lapar dan tinggalkanlah aku sendiri saja, aku tidak suka ramai-ramai...."
Akan tetapi, jawaban ini tidak membuat mereka mundur, bahkan dengan sikap ramah dan genit, mereka menggandeng Yeliu Cutay dan menuntunnya ke aran meja kosong di sudut. Yeliu Cutay duduk di atas kursi dan mereka berlima duduk di kursi lain yang mengelilingi meja itu. Lalu terjadi saling dorong siapa yang harus pergi ke dapur menyampaikan pesan Yeliu Cutay. Akhirnya dua orang di antara mereka mengalah dan pergi ke dapur.
Tiga orang wanita lainnya duduk merapat, menarik bangku mereka dekat sekali dengan pemuda itu, bahkan lutut-lutut dan paha mereka bertemu dengan lutut Yeliu Cutay di bawah meja! Sikap mereka demikian mesra dan sama sekali tidak tahu malu, sebaliknya Yeliu Cutay yang menjadi bingung dan mukanya menjadi semakin merah.
Yang membuat pemuda ini menjadi semakin gugup adalah karena kini tiba-tiba perasaan tidak suka dan rikuh di hatinya lenyap, terganti rasa suka sekali dan dia merasa betapa gairah mulai bernyala di dalam tubuhnya! Betapa timbul dorongan yang amat kuat untuk dia membalas senyuman mereka, membalas rayuan mereka dan kaki tangannya seperti terdorong untuk membalas sentuhan-sentuhan genit mereka!
Tiba-tiba dia memejamkan kedua matanya dan kedua alisnya berkerut. Pemuda ini teringat akan pengaruh hebat dari Pedang Asmara yang tersembunyi di bawah jubahnya. Tahulah dia bahwa keadaannya terhadap tiga orang wanita itu tidak wajar sama sekali, bukan timbul karena wataknya, melainkan karena dorongan pengaruh mujijat dari Pedang Asmara. Dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk membebaskan diri dari pengaruh yang amat kuat itu, dan perlahan-lahan tubuhnya mulai keluar dari pengaruh luar biasa itu.
Pada saat itu, terdengar jerit tertahan didepannya. Dia membuka kedua matanya dan melihat betapa seorang diantara tiga orang wanita yang tadi duduk di dekatnya, kini telah berdiri dan ialah yang mengeluarkan suara jerit lirih itu, jerit kesakitan dan ketakutan. Seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian mewah berdiri di dekatnya dan pria ini memegang pergelangan tangan kiri wanita itu dengan wajah membayangkan kemarahan.
"Perempuan keparat kau!" bentak laki-laki itu sambil mengguncang-guncang tubuh wanita berbaju hijau itu. "Engkau sudah kupesan untuk melayani kami, apakah kurang aku memberi hadiah kepadamu? Apa yang dimiliki pemuda ini yang tidak ada pedaku? Tampan sekali dia tidak! Kaya raya pun tidak! Perempuan busuk, engkau berani menghinaku, ya?"
"Aduuuhhhhh..... lepaskan..... lepaskan tanganku, Ji-loya....." Perempuan itu menjerit kesakitan.
"Huh! Membeli nyawamu pun aku mampu, apalagi membeli tubuhmu, perempuan lacur!" Laki-laki itu menariknya. "Engkau harus melayani kami sampai kami merasa bosan dan mengusirmu, tahu?"
Yeliu Cutay marah sekali. Dia sendiri tidak suka kepada para wanita genit ini. Walaupun dia kurang pengalaman, dia pun dapat menduga perempuan macam apa yang menjadi pelayan-pelayan restoran ini. Tentu semacam perempuan pengerat, perayu untuk mencari uang sebanyaknya dan semudahnya. Akan tetapi, melihat pel*cur itu disakiti, dia menjadi marah. Bagaimanapun juga, wanita itu adalah orang lemah yang tidak selayaknya diperlakukan kasar.
"Sobat, sungguh tidak patut seorang pria menghina dan memaksakan kehendaknya terhadap seorang wanita. Lepaskan dia!" Berkata demikian, Yeliu Cutay menggerakkan tangannya menotok ke arah siku tangan yang mencengkeram dan menyeret pergelangan tangan wanita itu.
"Aduh.....!" Orang tinggi besar itu melepaskan cengkeraman tangannya karena seketika tangannya terasa lumpuh dan nyeri. Wanita itu terhuyung ketika terlepas dari cengkeraman dan ia memijit-mijit pergelangan tangan yang tadi dicengkeram karena nyeri rasanya.
Laki-laki itu marah sekali. Dia sudah terlalu banyak minum arak dan dalam keadaan setengah mabuk dia memandang Yeliu Cutay dengan mata melotot. "Jahanam busuk! Kau..... kau berani merampas pelacur itu dariku?"
Berkata demikian, dia lalu melayangkan tinjunya menghantam ke arah dada Yeliu Cutay. Pemuda ini miringkan tubuh dan menangkap pergelangan tangan yang memukul itu. Orang itu berusaha melepaskan tangannya dan meronta, namun sia-sia belaka karena tangannya seperti terhimpit jepitan baja.
"Tenanglah, Sobat. Tidak ada yang merampas pelayan itu. Kau lihat sendiri bahwa ia yang menyambutku, bukan aku yang mengajaknya. Sekarang pun kau boleh minta kepadanya untuk melayanimu, akan tetapi dengan sikap hormat dan tidak menyakitinya. Hayo kau minta maaf padanya dan minta dengan hormat agar ia melayanimu kembali."
Orang itu menjadi semakin marah. Dia menengok dan berseru kepada dua orang kawannya yang tadi duduk semeja dengannya. "Kalian bantu aku menghajar anjing busuk ini!"
Mendengar ucapan ini, panaslah rasa perut Yeliu Cutay. Orang ini tidak tahu diri, pikirnya, orang kasar yang suka mempergunakan kekerasan terhadap orang lain, orang yang berwatak sewenang-wenang. Orang seperti ini sekali waktu perlu dihajar biar kapok.
Melihat dua orang itu sudah bangkit berdiri, bahkan keduanya sudah mencabut golok dan lari menghampiri, Yeliu Cutay lalu memegang tengkuk orang tinggi besar itu, mengangkatnya dan begitu dua orang itu menyerbu, dia sudah memutar tubuh si tinggi besar, lalu melemparkannya ke arah dua orang temannya itu.
"Bressss! Bruk-bruuukkk.....!"
Tiga orang itu jatuh bangun, terbanting keras pada meja dan kursi dan jatuh tunggang langgang saling timpa. Yeliu Cutay tidak memperhatikan mereka lagi, melainkan duduk kembali karena pada waktu itu, dua orang wanita yang tadi mengambilkan makanan pesanannya telah datang kembali. Dengan sikap manis lima orang wanita itu lalu mempersilakan dia makan minum!
"Terima kasih, kalian baik sekali. Akan tetapi aku tidak biasa makan ditemani orang lain. Pergilah dan terimalah sedikit hadiah ini!" Berkata demikian, dia mengeluarkan kantung dari dalam saku bajunya.
Tadi dia sudah menukarkan sepotong emas dengan potongan-potongan perak yang lebih kecil, dan kini dia menghadiahkan lima orang wanita itu masing-masing sepotong perak! Mereka terbelalak dan menjerit kecil karena girang. Belum pernah mereka menerima, hadiah sebanyak itu, dan mereka pun merasa amat tertarik kepada pemuda ini bukan mengharapkan hadiah, melainkan karena pemuda itu mempunyai daya tarik yang luar biasa besarnya, yang membuat mereka berlima itu seketika jatuh hati!
Biarpun mereka sudah menerima hadiah dan disuruh pergi oleh Yeliu Cutay, namun lima orang gadis pelayan itu enggan untuk pergi meninggalkannya, dan mereka masih berdiri di dekat meja itubsambil memandang kepada pemuda yang kini mulai makan minum itu dengan pandang mata manis. Bahkan kini, satu demi satu para wanita pelayan di situ berdatangan, mendekati ke meja Yeliu Cutay, meninggalkan para tamu lainnya yang tentu saja menjadi marah-marah.
Sikap sepuluh orang wanita pelayan itu sungguh membuat semua tamu penasaran. Di antara para tamu terdapat pemuda-pemuda yang kaya raya dan dalam hal ketampanan tidak kalah oleh Yeliu Cutay akan tetapi kenapa para wanita itu seperti segerombolan kumbang yang tertarik oleh sebatang kembang yang mempunyai daya tarik istimewa?
Apanya sih yang menarik pada diri pemuda yang kini makan minum tanpa mempedulikan para wanita itu? Memang tampan, akan tetapi tidak terlalu istimewa. Dan pakaiannya bahkan sederhana, tidak seperti pakaian pemuda kaya raya. Bahkan sikapnya terhadap para wanita itu demikian acuh.
Selagi Yeliu Cutay makan dengan asyiknya, tanpa mempedulikan lima orang wanita itu, juga mengacuhkan pandangan semua tamu, tiba-tiba muncul seorang laki-laki tinggi kurus yang mukanya kuning. Melihat munculnya orang ini, para tamu menjadi tegang. Inilah Ui-bin-houw (Harimau Muka Kuning), pemilik restoran itu, juga pemilik rumah-rumah perjudian dan dia terkenal sebagai seorang yang memiliki ilmu silat yang lihai, juga amat ditakuti orang karena dia terkenal sebagai seorang jagoan di dusun itu!
Kiranya, para tamu yang dihajar oleh Yeliu Cutay tadi telah lari melapor dan memprotes kepada pemilik restoran ini. Ui-bin-houw yang tidak ingin kehilangan langganan, mendengar laporan bahwa di restorannya ada seorang tamu asing yang membikin ribut, segera datang ke tempat itu, membawa pedangnya yang diselipkan di pinggang.
Melihat lima orang gadis pelayan berdiri dekat meja di mana seorang pemuda sedang makan minum, dan ada lima orang gadis pelayan lain mulai mendekati meja itu dengan sikap genit mereka, hati Ui-bin-houw menjadi panas sekali. Memang laporan tadi mengatakan bahwa pemuda asing yang membikin ribut itu memonopoli semua gadis pelayan di restoran itu, mengandalkan kepandaian silatnya! Dia merasa ditantang.
"Hah kalian anjing-anjing betina! Aku membayar kalian untuk melayani para tamu, bukan untuk bergerombol di sini dan hanya melayani satu orang saja! Tidak ada seorangpun manusia di sini yang boleh memonopoli gadis-gadisku!"
Berkata demikian Ui-bin-houw menggerakkan sebatang cambuk yang sejak tadi memang dibawanya ke tempat itu. Ui-bin-houw jarang menggunakan pukulan atau pedangnya. Dia terkenal pandai bermain cambuk. Cambuk panjang hitam itu amat berbahaya. Sudah banyak lawan yang berani menentang Ul-bin-houw, dibuat tidak berdaya oleh cambuk ini yang dapat merampas segala macam senjata dari tangan lawan. Cambuk itu panjangnya ada dua meter, berwarna hitam dan bentuknya seperti cambuk para penggembala ternak di utara.
"Tar-tar-tarrrrr!" Cambuk itu meledak-ledak di atas kepala para wanita itu yang menjadi panik dan ketakutan. Jerit-jerlt kecil mulai terdengar ketika ujung cambuk itu melecut kulit-kulit halus itu. Kulit-kulit itu menjadi merah membiru, ada pula yang lecet berdarah dan para gadis pelayan itu menjadi semakin panik.
"Hayo kembali ke tempat kalian masing-masing, di meja tamu, kalian anjing-anjing betina! Atau aku akan mencambuki kalian sampai mampus!"
Gadis-gadis pelayan itu berlarian ketakutan. kembali ke meja yang tadi mereka tinggalkan. Sementara itu, Yeliu Cutay melanjutkan makan minum tanpa menghiraukan peristiwa itu. Bukan urusannya, pikirnya. Para gadis pelayan itu bukan orang baik-baik. Mereka adalah pela*ur-pela*ur terselubung, dan kalau mereka menerima hukuman dari majikan mereka, itu adalah urusan antara mereka dan majikan mereka. Dia tidak akan mencampuri urusan itu.
Setelah semua gadis pelayan pergi, Yeliu Cutay menyelesaikan makannya dan baru saja dia menurunkan cawan berisi air teh yang diminumnya, tiba-tiba ada suara meledak dan ujung cambuk melecut dan meledak di depan mukanya. Yeliu Cutay tenang-tenang saja, lalu menoleh ke arah orang yang melecutkan cambuknya itu. Dia melihat seorang laki-laki tinggi kurus bermuka kuning, usianya sekitar empat puluh tahun dan sikapnya congkak sekali.
"Sobat, apa maksudmu main-main dengan cambuk di depanku?" tanya Yeliu Cutay dengan tenang, masih duduk di atas kursinya, hanya menggerakkan tubuh mundur sehingga kursi itu pun bergeser mundur menjauhi meja.
Ui-bin-houw merasa lebih penting membela para tamu lamanya daripada tamu baru yang asing ini. Mereka yang tadi melapor kepadanya, yang katanya telah dipukuli oleh tamu baru itu, adalah langganan-langganan lama yang royal. Jauh lebih baik kehilangan tamu baru yang asing ini daripada para langganan lama itu, dan pula, sikap pemuda asing ini menjagoi di restorannya merupakan pukulan bagi nama besarnya.
"Orang muda sombong. Jangan mencoba, untuk menjadi jagoan di restoranku! Engkau belum mengenal Ui-bin houw!"
"Hemmm, siapa yang ingin menjadi jagoan? Aku masuk ke sini untuk membeli makanan dan para gadis itu datang melayaniku tanpa kuminta, kemudian ada di antara para tamumu yang marah dan menyerangku. Aku hanya membela diri! Soal restoran ini milik Harimau Muka Kuning atau Iblis Muka Pucat, aku tidak peduli. Aku makan minum dan akan membayarnya!"
"Ha, kau akan membayarnya! Tentu saja engkau harus membayarnya, akan tetapi engkau belum membayar!" Uibin-houw berseru, menahan kemarahannya karena pemuda itu mengejek julukannya dengan menyebut Iblis Muka Pucat.
"Hemmm, tentu saja akan kubayar. Nah, hitung saja berapa harga makanan dan minuman ini? Akan kubayar sekarang juga!" kata Yeliu Cutay sambil bangkit berdiri.
"Bagus, harga makanan minuman itu harus dibayar dengan lima kali cambukan pada muka! Hayo, orang muda, angkat mukamu dan bayar! Aku akan mencambuk mukamu lima kali, baru engkau boleh pergi dari sini!"
Sepasang alis Yeliu Cutay berkerut dan matanya mencorong marah. "Ui-bin-houw, jangan engkau bicara sembarangan dan bersikap seperti ini! Jangan sampai julukanmu nanti menjadi Hek-bin-houw (Harimau Muka Hitam)!"
Ucapan Yeliu Cutay ini menambah kemarahan Ui-binhouw dan dia sudah menggerakkan cambuknya ke udara. "Tarrr.....!" Cambuk itu menyambar ke arah muka Yeliu Cutay, akan tetapi dengan mudah saja Yeliu Cutay mengelak sehingga cambuk itu menyambar lewat di atas kepalanya.
Melihat betapa pemuda itu dapat mengelakkan lecutan pertama, Ui-bin-nouw menjadi marah dan penasaran. Dia menyerang lagi, kini dengan kekuatan lebih besar dan dengan cepat sekali cambuk itu menyambar ke arah muka Yeliu Cutay lagi. Pemuda ini juga sudah marah.
Orang macam si muka kuning ini harus dihajar, pikirnya, kalau tidak, tentu akan merajalela dan hanya akan mengganggu orang-orang lain yang lemah dengan kekerasan, mengandalkan kepandaiannya.
"Tarrrrr.....!!" Cambuk itu melecut dengan kuatnya ke arah muka Yeliu Cutay. Akan tetapi dengan sikap tenang sekali, namun cepat bagaikan kilat menyambar, tangan pemuda itu telah bergerak ke atas menyambut sinar cambuk dan di lain detik, ujung cambuk itu telah dapat ditangkapnya.
Ui-bin-houw terkejut, berusaha untuk menarik cambuk yang tertangkap ujungnya dan pada saat itu, selagi lawan menggunakan tenaga besar untuk menarik cambuknya, Yeliu Cutay melepaskan ujung cambuk dibarengi gentakan tangan. Ujung cambuk itu dengan kerasnya menyambar kembali ke arah pemiliknya.
"Tarrrrr.....!" Muka Ui-bin-houw sendiri yang kena lecutan cambuk sehingga nampak garis melintang di mukanya garis yang merah kebiruan! Pada saat dia terkejut dan melangkah mundur, Yeliu Cutay sudah melangkah maju dan tangan kanan kirinya bergerak cepat ke depan.
"Plakkk! Plakkkkk!!" Muka Ui-bin-houw kena ditampar kanan kiri dan muka yang berkulit kuning itu kini benar-benar telah berubah biru menghitam dan agak bengkak!
"Nah, engkau menjadi Hek-bin-houw sekarang, harap saja pelajaran ini membuat engkau jera untuk bertindak sewenang-wenang kepada orang lain!" kata Yeliu Cutay.
Para tamu yang menonton perkelahian itu, memandang dengan mata terbelalak. Mereka tidak percaya melihat betapa dalam satu dua gebrakan saja, Ui-bin-houw telah dikalahkan, bahkan mukanya yang kuning benar-benar berubah hitam oleh tamparan pemuda itu.
"Uang harga makanan dan minuman sudah kubayar pada mukamu, sekarang aku akan pergi!" kata Yeliu Cutay dan dengan cepat dia meloncat keluar dari restoran itu, lalu menuju ke rumah penginapan.
Dia tahu bahwa dia telah membuat ribut dan tidak enak sekali kalau dia harus tinggal bermalam di dusun itu. Tentu akan ada bahaya mengancam dan dia tidak akan dapat tidur nyenyak karena harus waspada selalu. Maka, dia pun membayar kepada pengurus hotel, kemudian membawa buntalannya, pergi meninggalkan dusun itu.
Sementara itu, Ui-bin-houw, tadi terkejut bukan main. Seperti para tamu yang hadir di situ, dia pun tidak percaya bahwa dia dapat dipecundangi sedemikian mudahnya oleh pemuda itu. Diam-diam dia merasa jerih pula, dan kepalanya masih pening ketika pemuda itu meninggalkan restoran.
Akan tetapi setelah pemuda itu pergi, pening kepalanya hilang dan Ui-bin-houw menyadari bahwa kekalahannya tadi disaksikan banyak orang. Celaka, pikirnya, nama besarnya akan rusak. Dicabutnya pedangnya diputar-putar di atas kepala dan dia berteriak-teriak...