Pedang Asmara Jilid 05

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pedang Asmara Jilid 05
Sonny Ogawa

"Di mana dia? Mana anjing keparat itu? Akan kubunuh dia!!"

Para tamu yang khawatir melihat kemarahan Ui-binhouw, lalu menjauhkan diri, khawatir terkena sambaran pedang, dan seorang tamu berseru, "Dia berlari Keluar!"

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Mendengar seruan ini, dengan sikap garang Ui-bin-houw berteriak, "Jangan lari, keparat! Akan kucari dia dan kubunuh!" Dan dia meloncat keluar dan tak lama kemudian, Ui-bin-houw mengajak empat orang anak buahnya menunggang kuda untuk melakukan pengejaran setelah didengarnya dari pengurus hotel bahwa pemuda yung dicarinya telah pergi dari dusun itu.

Terpaksa Yeliu Cutay bermalam di dalam sebuah kuil rusak di puncak sebuah bukit diluar dusun itu. Masih lumayan bermalam di kuil rusak ini daripada di luar yang dingin, pikirnya, walaupun tempat itu kotor dan berbau tidak enak. Pada keesokan harinya, pagi-pagi dia sudah meninggalkan kuil rusak itu, berjalan kaki menuju ke selatan.

Sayang terjadi keributan di restoran itu pikirnya. Kalau tidak, tentu dia tidak perlu tergesa-gesa meninggalkan dusun itu dan dia dapat membeli seekor kuda sebagai pengganti kuda yang telah dia berikan kepada pemuda yang sengaja menutupi muka dengan warna hitam dan yang berusaha mencuri kudanya itu. Kini dia harus berjalan kaki.

Akan tetapi mengapa pula tergesa-gesa? Dia melakukan perjalanan seenaknya. Setelah kini melewati Tembok Besar, dia seringkali melewati dusun dan kota, tidak seperti ketika melakukan perjalanan di luar Tembok Besar. Belum jauh dia meninggalkun bukit di mana terdapat kuil tua itu, tiba-tiba dia mendengar derap kaki kuda dari belakang. Dia menoleh dan melihat lima orang menunggang kuda membalap dan debu mengepul di belakang mereka.

Yeliu Cutay menepi dan menanti sampai lima orang penunggang kuda itu lewat. Akan tetapi setelah dekat dia mengenal penunggang kuda terdepan adalah Ui bin houw! Muka orang itu masih agak menghitam, bekas tamparannya semalam. Yeliu Cutay bersiap siaga karena munculnya Ui-bin-houw ini menimbulkan persangkaan buruk. Tentu orang itu mengejarnya, pikirnya.

Dugaannya memang benar. Begitu melihat pemuda itu, Ui-bin-houw berseru keras, menyuruh orang-orangnya berhenti dan dia sendiri menghentikan kudanya di depan Yeliu Cutay, lalu meloncat turun dan mencabut pedangnya. Empat orang pembantunya juga berloncatan turun mencabut pedang dan menambatkan lima ekor kuda mereka pada batang pohon.

"Ah, kiranya Hek-bin-houw yang datang mengejarku!" kata Yeliu Cutay, mengejek karena dia mendongkol sekali melihat orang ini begitu tidak tahu diri dan agaknya sengaja mengejarnya bersama empat orang lain dan melihat betapa mereka semua mencabut pedang, mudah diduga bahwa mereka itu mengejarnya dengan niat yang buruk.

Ui-bin-houw melotot dengan marah. Dia tahu bahwa mukanya memang masih biru menghitam akibat tamparan pemuda itu, maka ejekan itu tentu saja membuat perutnya terasa panas. "Orang muda sombong, beritahukan namamu sebelum pedangku mengirim nyawamu ke neraka! Aku harus tahu lebih dulu nama orang yang akan mati di tanganku!"

Yeliu Cutay tersenyum mengejek, "Namaku Yeliu Cutay dan aku seorang pengembara yang kebetulan lewat di dusun tadi...."

"Aha! Kiranya hanya seorang suku Liau-tung, suku taklukan?" Ui-bin houw berseru, mengejek. "Kalau begitu, membunuhmu tidak ada urusannya dan tidak perlu seorang suku Liau-tung memperkenalkan namanya. Namanya tidak ada artinya!"

Mendengar penghinaan atas suku bangsanya itu, wajah Yeliu Cutay menjadi merah. Memang bangsanya, suku Liau-tung, adalah suku yang kecil. Tadinya suku Liau-tung seperti lenyap, ditelan suku Khitan, kemudian ketika bangsa Khitan dikalahkan oleh orang Yu-cen yang membangun Kerajaan Cin, maka dengan sendirinya suku Liau-tung semakin tidak ada artinya lagi.

"Ui-bin-houw! Semua suku dan bangsa hanyalah sekumpulan manusia, dan antara manusia tidak ada bedanya! Yang beda hanyalah watak pribadi masing-masing manusia, dan watak seperti watakmu itu adalah watak manusia jahat, tidak peduli suku apa yang kau miliki. Engkau dan teman temanmu ini mengejarku apakah hendak menyerahkan seekor kuda? Kebetulan sekali, aku memang membutuhkan kedua tunggangan. Terima kasih atas kebaikanmu, Ui-bin-houw!"

Dalam kemarahannya, Yeliu Cutay masih dapat mengejek karena baru saja muncul dalam pikirannya bahwa dia membutuhkan kuda dan orang-orang jahat ini menunggang kuda yang baik. Mereka ini perlu dihajar, dan alangkah baiknya kalau dia mengambil seekor di antara kuda mereka yang terbaik agar perjalanannya tidak terlalu melelahkan. Bukan karena dia ingin menjadi pencuri atau perampas kuda, melainkan sekedar untuk memberi hajaran kepada mereka yang jahat ini.

Ui-bin-houw yang sudah marah sekali, kini sudah menggerakkan pedangnya, diikuti oleh empat orang pembantunya dan Yeliu Cutay telah dikepung dan diserang dari segala jurusan oleh mereka. Pedang mereka berkilauan dan berkelebatan, tertimpa matahari pagi. Yeliu Cutay bergerak cepat, meloncat ke kanan kiri, kadang-kadang melambung ke atas untuk menghindarkan bacokan-bacokan dan tusukan-tusukan mereka.

Gerakan pemuda ini memang gesit sekali, dan dia memang memiliki tingkat kepandaian silat yang, jauh lebih tinggi dibandingkan lima orang lawannya. Maka biarpun lima orang itu mengepung dan mengeroyok, menggerakkan pedang di tangan mereka dengan ganas, tetap saja ujung pedang mereka tidak mampu menyentuh tubuh Yeliu Cutay. Bahkan menyentuh ujung bajunya saja tidak mampu.

Biarpun Yeliu Cutay tidak gentar menghadapi pedang mereka hanya dengan tangan kosong saja, namun dia ingin sekali menguji keampuhan Pedang Asmara. Maka, begitu tangan kanannya bergerak, dia telah mencabut pedang itu dan nampaklah sinar terang ketika sinar matahari pagi yang lembut menyentuh mata pedang, dan dengan gerakan halus, Yeliu Cutay menggerakkan Pedang Asmara untuk menangkis lima betang pedang yang menyerangnya dari berbagai jurusan itu.

Terdengar suara berdencing keras berturut-turut disusul teriakan-teriakan kaget dan ternyata lima batang pedang ditangan Ui-bin-houw dan empat orang pembantunya itu telah patah-patah ketika bertemu dengan Pedang Asmara! Yeliu Cutay yang tidak bermaksud membunuh mereka, tidak mau mengotorkan pedang dengan darah mereka. Dia hanya mengelebatkan pedangnya dengan kecepatan kilat.

Pedang Asmara lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar terang yang menyambar-nyambar dan menyelimuti tubuh lima orang itu yang kini berdiri gemetaran saking takutnya. Kini, nampaklah berhamburan pakaian mereka!

Ternyata pakaian mereka itu telah disayat-sayat pedang, terbang berhamburan sehingga dalam waktu sebentar saja, lima orang itu telah menjadi panik dan bingung karena mereka berdiri telanjang! Yeliu Cutay menyusulkan tendangan-tendangan kakinya yang membuat mereka jatuh berpelantingan.

Yeliu Cutay tertawa lirih, hatinya girang bukan main melihat kehebatan Pedang Asmara. Belum pernah selama hidupnya dia melihat ketajaman pedang sehebat itu! Kiranya, di samping pengaruhnya yang amat buruk dan berbahaya, yaitu dapat mengobarkan kegairahan nafsu berahi seseorang, pedang ini pun merupakan pedang pusaka yang amat ampuh!

Timbul rasa sayangnya kepada pedang itu dan setelah menyimpan kembali Pedang Asmara, dia pun lalu meninggalkan lima orang yang sudah telanjang bulat dan masih rebah oleh tendangan-tendangannya tadi dan tidak berani segera bangkit itu. Kemudian dia memilih seekor kuda terbaik di antara kuda kuda mereka, dan meloncat ke atas punggung kuda lalu membalapkan kudanya ke selatan.

Baru kurang lebih tiga puluh li jauhnya dia meninggalkan tempat itu, melalui padang rumput setelah menuruni gunung tandus, tiba-tiba dari arah kiri muncul belasan orang yang kesemuanya menunggang kuda yang tinggi besar dan kuat. Dari jauh saja sudah nampak belasan orang itu tidak bermaksud baik, karena mereka telah memutar-mutar dan mengacung-acungkan golok mereka di atas kepala sambil berteriak-teriak.

Jelaslah bahwa mereka itu adalah segerombolan perampok. Apakah mereka masih kawan-kawan dari pemilik rumah makan berjuluk Ui-binhouw yang ditelanjanginya tadi dan kini mereka mengejar untuk membalas dendam? Agaknya bukan, mengingat bahwa mereka datang dari kiri, dari arah timur dan pula, dia sudah melakukan perjalanan terlalu jauh untuk dapat disusul begitu saja.

Melihat betapa kudanya yang belum beristirahat itu telah letih dan bahwa melarikan diri pun akan dapat disusul, Yeliu Cutay lalu menghentikan kudanya, bahkan dia meloncat turun dari atas punggung kuda, membiarkan kudanya makan rumput dan dia malah menyambut kedatangan rombongan berkuda itu, agak jauh dari kudanya agar binatang itu tidak kaget dan lari ketakutan kalau terjadi keributan.

Melihat orang berkuda yang mereka kejar itu berhenti dan melompat turun dari atas kuda, kini bahkan menyambut mereka dengan sikap tenang, nampaknya tak bersenjata, tiga belas orang itu terbelalak, akan tetapi pimpinan mereka, seorang laki-laki berpakaian hitam yang pendek gemuk dengan perut besar sekali, memberi aba-aba dan mereka pun sudah tiba di situ lalu langsung mengurung Yeliu Cutay sambil tetap menunggang kuda mereka.

Beberapa ekor kuda mendengus-dengus dan meringkik ringkik, dan sikap tiga belas orang itu menyeramkan dan mengancam. Namun, Yeliu Cutay tetap bersikap tenang saja, dan dia pun memperhatikan mereka. Pimpinan mereka, yang barpakaian serba hitam, memang cukup berwibawa walaupun tubuhnya pendek gendut.

Matanya tajam bersinar, wajahnya bengis dan golok yang tergantung di pinggangnya itu amat lebar dan panjang, lebih dari separuh panjang tubuhnya, sepatunya dilapisi besi dan kuda yangditungganginya amat gagah, paling baik diantara semua kuda tunggangan anak buahnya. Dua belas orang anak buahnya itu berpakaian macam-macam, dan sikap mereka itu kasar dan buas, kesemuanya telah mencabut golok dan sikap mereka mengancam sekali.

Yeliu Cutay menghadapi pemimpinan gendut itu dan membungkuk sebagai tanda salam, lalu berkata, "Kalau tidak salah, di antara kita tidak pernah saling bertemu atau berkenalan. Oleh karena itu, aku merasa heran dan tidak mengerti mengapa Cu-wi (Anda sekalian) mengejarku? Ada keperluan apakah?"

Pada anggauta gerombolan itu hanya menyeringai saja, akan tetapi si gendut pakaian hitam mengamati Yeliu Cutay dengan pandang mata tajam penuh selidik, kemudian dia berkata, "Orang muda, kami pun tidak ingin mengganggumu, akan tetapi semua barang yang kau bawa itu harus diserahkan kepada kami. Kuda itu boleh kau bawa pergi!"

Yeliu Cutay diam-diam terkejut. Demikian tajamkah penglihatan kepala gerombolan ini sehingga dapat mengetahui bahwa dia memiliki emas dan pedang yang amat berharga? "Aku adalah seorang kelana yang miskin, tidak memiliki barang berharga kecuali yang menempel pada tubuhku. Apakah yang dapat kuberikan kepada kalian?"

Si gendut tertawa sehingga perutnya yang gendut besar itu bergoyang-goyang di atas punggung kuda. "Ha-ha-ha, orang muda. Tidak perlu mengelabuhi kami, karena kami bukanlah anak-anak kemarin sore yang masih hijau. Kami tahu bahwa setiap orang yang telah berani melakukan perjalanan jauh melintasi Tembok Besar dan gurun luas, sudah pasti membawa bekal yang amat berharga. Sudah, tidak perlu banyak cakap lagi. Buka semua pakaianmu dan perlihatkan apa yang kau bawa itu!"

Yeliu Cutay mengerutkan alisnya. Kiranya kepala gerombolan ini bukan telah tahu bahwa dia membawa emas dan pedang, melainkan menduga saja bahwa sebagai seorang yang melakukan perjalanan jauh, tentu dia membawa barang berharga. Tentu saja dia tidak mau membuka pakaiannya, apalagi dia tidak ingin menyerahkan barang-barangnya, terutama Pedang Asmara.

"Kuharap kalian tidak mengganggu aku, karena sesungguhnya aku tidak ingin bermusuhan dengan kalian atau siapapun juga!" katanya, ucapannya halus namun nadanya mengingatkan.

"Eh, dia hendak melawan! Anak-anak, hajar saja orang ini!" bentak si gendut dengan marah.

Dua orang anggauta perampok berloncatan dari atas kuda mereka dan melihat gerakan mereka, tahulah Yeliu Cutay bahwa mereka ini bukan perampok sembarangan dan tidak dapat disamakandengan Ui-bin-houw dan kawan-kawannya tadi. Dua orang itu sudah menggerakkan golok mereka dan serangan mereka sungguh ganas dan dahsyat!

Sinar golok yang lebar menyambar, yang satu membabat leher, yang ke dua membabat pinggang! Dan gerakan golok itu kuat bukan main, mengeluarkan angin berdesing dan sinarnya menyilaukun mata. Yeliu Cutay cepat melompat ke belakang, membiarkan dua batang golok itu lewat dan secepat kilat, kakinya melayang dan mengenai perut seorang penyerang.

"Bukkk!" Orang itu terjengkang dan terbanting, akan tetapi hanya sebentar saja dia menyeringai kesakitan, lalu bangkit kembali dengan muka merah saking marahnya. Ini saja menunjukkan bahwa orang itu memang bertubuh kuat.

Dan melihat kehebatan Yeliu Cutay, kini ada dua orang anak buah perampok lainnya yang berloncatan turun, mengikuti si perut gendut yang juga sudah lebih dulu meloncat turun.

"Eh-heh-heh, bagus sekali! Kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian maka berani menentang kami, heh?" Si gendut itu berseru dan tiba-tiba saja goloknya sudah membuat gulungan sinar berkeredepan yang menyambar-nyambar ke arah kepala Yeliu Cutay. Cepat sekali gerakannya, bahkan tidak nampak kapan dia mencabut golok yang lebar dan panjang itu, tahu-tahu dia sudah memainkan golok itu dan menyerang kalang kabut!

Yeliu Cutay mengenal orang lihai. Dia pun kembali meloncat ke belakang dan di lain saat, nampak sinar menyambar dan tahu-tahu pedang pusaka itu telah berada di tangannya. Pedang Asmara! Melihat pedang itu, si perut gendut berseru nyaring.

"Aha! Kiranya memiliki pedang yang bagus! Berikan pedang itu kepadaku!" berkata demikian, si gendut itu sudah menyerang lagi dengan golok besar di tengahnya, dan empat orang anak buahnya sudah pula membantu dengan serangan dari kanan kiri dan belakang.

Yeliu Cutay maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang berhati kejam, yang tidak akan berkedip untuk membunuhnya dan merampas pedangnya. Maka, dia pun cepat memutar pedangnya untuk melindungi tubuh. Terdengar suara nyaring dan empat batang golok dari anak buah perampok itu patah-patah.

Hanya golok di tangan kepala perampok itu yang tidak patah-patah, melainkan hanya rompal bagian ujungnya. Hal ini menunjukkan bahwa golok besar di tangan kepala perampok itu bukan senjata biasa, melainkan sebuah pusaka pula, akan tetapi juga membuktikan keampuhan Pedang Asmara.

Kepala perampok yang gendut itu mengeluarkan teriakan keras saking marah dan kagetnya, akan tetapi juga diam-diam dia girang melihat betapa pedang di tangan pemuda itu sungguh ampuh. "Kepung dia, hati-hati jangan mengadu senjata. Robohkan dia dan rampas pedangnya!" teriaknya memberi aba-aba.

Kini, semua anak buah perampok sudah berloncatan turun dari atas punggung kuda mereka, dan Yeliu Cutay telah dikepung oleh tiga belas orang! Yeliu Cutay sudah melakukan perjalanan jauh dan agak lelah, kini menghadapi pengeroyokan tiga belas orang penjahat yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi, apalagi pemimpin mereka yang pendek gendut itu, maka dia pun repot juga.

Dia bukanlah seorang yang haus darah. Biarpun dia tahu bahwa gerombolan ini adalah perampok-perampok jahat, namun hatinya tetap tidak tega untuk membunuhi mereka, maka dia pun hanya mengandalkan keampuhan pedangnya untuk membela diri. Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring.

"Perampok-perampok jahat" dan nampak ada dua orang yang begitu tiba di situ lalu mengamuk dan menyerang para perampok itu dengan pedang mereka. Mereka adalah seorang pria muda dan seorang wanita muda yang datang dengan seekor kuda saja. Agaknya mereka tadi berboncengan kuda, dan wanita itu pun perutnya besar, tanda bahwa dia sedang mengandung tua. Namun, gerakan pedangnya tidak kalah lihainya dibandingkan dengan pria muda yang datang bersamanya.

Karena diserang dari luar kepungan, maka kepungan tiga belas orang perampok itu menjadi kacau, apalagi ketika sepasang orang muda itu berhasil merobohkan dua orang perampok. Melihat datangnya bantuan, Yeliu Cutay mempercepat gerakan pedang pusakanya menyerang kepala perampok gendut. Pimpinan gerombolan itu terkejut dan karena serangan Yeliu Cutay itu amat cepatnya sehingga dia tidak sempat mengelak lagi, terpaksa dia menangkis dengan goloknya.

"Tranggg...!" Sekali ini, ujung golok itu patah! Si kepala gerombolan yang melihat betapa sinar pedang lawan masih terus meluncur mengancamnya, cepat dia melempar tubuh ke belakang, bergulingan dan meloncat ke atas kudanya sambil memberi aba-aba agar anak buahnya melarikan diri sambil membawa dua orang yang terluka.

Setelah para perampok itu kabur dengan kuda mereka, barulah Yeliu Cutay menghampiri dua orang penolongnya. Dia melihat seorang pemuda tampan berusia kurang lebih tiga puluh tahun, dan seorang wanita muda berusia dua puluh tahun lebih yang sedang mengandung tua, Dia cepat memberi hormat setelah menyimpan pedangnya.

"Sungguh besar rasa syukur dan terima kasih saya karena telah mendapatkan pertolongan dari Ji-wi yang mulia."

Akan tetapi tiba-tiba Yeliu Cutay terkejut karena dia mengenal kuda yang tadi ditunggangi dua orang itu. Kuda itu jelas adalah kudanya! Kuda pemberian Temucin! Tentu saja dia terbelalak dan menoleh untuk memandang kembali kepada pemuda tampan itu. Pemuda itu tersenyum dan mengangguk.

"Benar, Tai-hiap, akulah orang itu, yang memakai arang menghitamkan mukaku dan mencuri kudamu. Aku sengaja menghitamkan muka dan menggunakan golok agar tidak dikenal orang."

"Ahhh.....!" Yeliu Cutay yang sama sekali tidak menyangka bahwa penolongnya ini adalah pencuri kuda yang dimaafkannya, bahkan diberikannya kudanya kepada orang itu. "Kiranya engkau.....? Dan..... dan ia.....?" Dia menoleh dan memandang kepada wanita muda itu.

"Ia adalah..... isteriku, Tai-hiap. Karena isteriku inilah maka aku terpaksa mencuri kudamu karena aku membutuhkan seekor kuda yang baik untuk..... membawanya lari!"

"Ehhh?" Tentu saja Yeliu Cutay terkejut dan heran mendengar ada orang mencuri kuda untuk melarikan isterinya sendiri.

"Mari, Tai-hiap, mari kita duduk dan dengarkan ceritaku. Engkau adalah penolong kami dengan menyerahkan kuda itu maka berhak mengetahui keadaan kami. Marilah, Siok-moi, kita duduk mengaso di sini....."

Dengan sikap amat mesra dan menyayang, pemuda itu lalu menuntun isterinya yang mengandung tua dan mereka bertiga duduk di atas rumput, di bawah sebatang pohon. Agaknya wanita yang mengandung tua itu memang lelah sekali, maka dengan sikap, malu-malu sambil meminta maaf kepada Yeliu Cutay, ia minta perkenan untuk merebahkan diri. Suaminya membantunya dan wanita itu rebah telentang di atas rumput, mempergunakan pangkuan suaminya sebagai bantal dan sebentar saja ia telah memejamkan matanya dan pulas kelelahan.

Pria itu lalu bercerita. Dia bernama Bu Siang Hok, seorang yang hidup sebatang kara tanpa keluarga karena orang tuanya sudah meninggal dunia dan dengan bekal ilmu silat yang pernah dipelajarinya, Siang Hok tersesat menjadi seorang perampok tunggal di perbatasan dekat Tembok Besar. Pada suatu hari, bertemulah dia dengan Tan Siok Hwa, gadis berusia sembilan belas tahun lebih, yang cantik jelita dan gagah perkasa.

Gadis ini adalah puteri tunggal dari Tang Pangcu, yaitu ketua dari perkumpulan Hek eng-pang di kota Wang-cun, beberapa puluh mil jauhnya dari Tembok Besar, sebelah selatan. Pertemuan itu sungguh kebetulan sekail. Tang Siok Hwa sedang diganggu oleh gerombolan penjahat ketika Bu Siang Hok melihatnya.

Biarpun dia seorang perampok, namun Siang Hok pantang mengganggu wanita, maka melihat seorang gadis dikeroyok oleh belasan orang pemuda yang jahat, dia pun lalu cepat turun tangan membantu walau pun gadis itu cukup tangguh dan agaknya belum membutuhkan bantuan. Para pengganggu itu melarikan diri dan terjalinlah persahabatan antara Bu Siang Hok dan Tang Siok Hwa. Hubungan ini tak lama kemudian menjadi jalinan cinta kasih antara mereka.

Akan tetapi, Tang Pangcu, ketua Hek-eng-pang sama sekali tidak menyetujui pilihan hati puteri tunggalnya. Puteri itu telah direncanakan untuk dijodohkan dengan putera seorang pembesar di Wang-cun. Apalagi ketika dia menyuruh anggauta Hek-eng-pang melakukan penyelidikan dan mendapat kabar bahwa kekasih puterinya itu bukan lain hanya seorang perampok yang katanya kini telah mengundurkan diri, dia menjadi marah dan melarang keras puterinya melanjutkan hubuugan persahabatannya dengan Bu Siang Hok.

Larangan ayah ini membuat Tang Siok Hwa menjadi nekat, karena ia sudah benar-benar jatuh cinta kepada Bu Siang Hok. Keduanya melanjutkan hubungan dengan sembunyi-sembunyi dan akhirnya mereka tidak kuasa menahan diri lagi, bahkan larangan dan pantangan orang tua gadis itu agaknya menambah berkobarnya gairah cinta mereka sehingga mereka dengan nekat melakukan hubungan badan sampai berulang kali.

Dan akibatnya mudah diduga! Tang Siok Hwa mengandung! Tentu saja Tang Pang-cu marah sekali. Kalau saja Siok Hwa bukan anak tunggal, mungkin telah dibunuhnya! Akan tetapi, ayah yang keras hati ini tetap tidak mengijinkan puterinya menjadi isteri seorang perampok! Akan merendahkan namanya sebagai ketua Hek-eng-pang! Hek-eng-pang terkenal sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang berjiwa pendekar dan yang selalu menentang kejahatan para penjahat. Bagaimana mungkin sekarang ketuanya mengambil mantu seorang perampok?

Dia begitu marah sehingga dia mengerahkan para murid dan anak buah untuk mencari Bu Siang Hok. Kalau saja pemuda itu dapat tertangkap, tentu akan dibunuhnya. Karena takut, Siang Hok melarikan diri. Akan tetapi, cinta memang membuat orang bukan saja menjadi tolol, akan tetapi kalau saatnya tiba, dapat membuat seseorang menjadi cerdik sekali, penuh akal.

Demikian pula dengan Siang Hok. Dengan perantaraan seorang wanita tua di kota Weng-cun, dia berhasil mengadakan hubungan surat dengan kekasihnya, selama berbulan-bulan mereka hanya saling menukar surat, dan akhirnya, setelah kandungan Tang Siok Hwa genap sembilan bulan, dari surat-suratan mereka itu akhirnya diambil keputusan untuk melarikan diri bersama.

"Untuk keperluan itulah, Tai-hiap, terpaksa aku mencuri kudamu yang amat baik dan kuat itu. Aku membutuhkan kuda yang kuat dan dapat melarikan kami berdua. Dan berkat kuda Taihiap, kami berhasil melarikan diri dari Wang-cun."

"Tidak, diketahui oleh orang tua isterimu?"

"Ketika kami pergi belum, akan tetapi akhirnya mereka tentu akan tahu dan melakukan pengejaran. Akan tetapi kudamu itu hebat, Taihiap, dapat berlari cepat membawa kami berdua. Kami sungguh berterima kasih kepadamu, dan tidak kami sangka, di tempat ini kami melihat Taihiap dikeroyok oleh para perampok itu."

Siok Hwa yang tertidur dengan kepala di pangkuan kekasihnya, mengeluh dan membuka mata, lalu menahan jerit kesakitan sambil memegangi perutnya yang membusung, mengaduh-aduh sehingga Siang Hok menjadi terkejut dan khawatir sekali. Dia memeluk Siok Hwa, "Ada apakah, Siok-moi.....? Ada apa dengar perutmu.....?"

Akan tetapi Siok Hwa hanya mengerang dan merintih, dan menggeliat-geliat menahan sakit. "Kurasa.... kukira... ia akan melahirkan.....!" kata Yeliu Cutay sambil menelan ludah karena hatinya terasa tegang bukan main.

Menghadapi ancaman bahaya maut sekalipun dia tidak merasa tegang, akan tetapi menghadapi seorang wanita yang sedang akan mulahirkan, padahal di situ jauh dari dusun, jauh bidan bahkan yang ada hanya dia dan Siang Hok, laki-laki yang nampaknya lebih tegang daripada dia, Yeliu Cutay menjadi agak pucat.

"Wah, bagaimana ini.....? Biar dengan cepat kuantar ia mencari dusun dan mencari pertolongan bidan atau wanita lain.....!" Siang Hok memondong tubuh Siok Hwa, akan tetapi Siok Hwa merintih makin keras.

"Aduh..... aduhhhhh..... aku tak tahan lagi..... aduh, rebahkan aku, lekas... bahkan aku..... aku tidak kuat lagi.....!"

Siok Hwa merintih-rintih, dan terpaksa suaminya yang kebingungan itu menurunkan lagi tubuhnya di atas rumput seperti tadi. "Tai-hiap..... demi Tuhan..... bagaimana baiknya ini.....?"

Biarpun dia sendiri merasa tegang, namun Yeliu Cutay lebih bijaksana dari pada Siang Hok. Dia harus berani melihat kenyataan. "Toako, kurasa tidak ada lain jalan lagi kecuali membiarkan ia melahirkan di sini. Kalau kaubawa naik kuda atau berlari, berbahaya sekali. Jangan-jangan di tengah perjalanan ia akan melahirkan, lebih repot."

"Tapi aku..... aku..... tidak tahu..... aku tidak dapat..... tidak berani menolongnya, tidak tahu bagaimana....."

"Tenanglah, Toako. Kita berdua adalah orang-orang dewasa. Kenyataannya, isterimu akan melahirkan, agaknya tidak dapat ditunda-tunda lagi. Kita tidak dapat lari dari kenyataan ini dan sedapat mungkin kita harus menolongnya. Aku suka membantumu."

"Aduh, terima kasih, Tai-hiap.... terimakasih.... tapi, apa yang harus kita lakukan.....?"

"Hok-koko kenapa engkau begini.... lemah? Taihiap ini benar....., aku agaknya akan melahirkan..... aduhhh..... cepat kau buka buntalan pakaian itu, kau ambilkan kain-kain untuk tilam..... dan cari air..... air bersih, cepat..... ah, aduhhh....."

Siang Hok berlari-lari mengambil buntalan pakaian di punggung kudanya, membuka buntalan, mengeluarkan kain lebar putih yang diminta Siok Hwa, lalu membentangkannya di atas rumput dan dia mengangkat isterinya, direbahkan telentang di atas kain itu. Diambilnya pula sebuah panci yang dibawanya serta dan dia segera lari mencari air.

Akan tetapi Yeliu Cutay mengejarnya. "Biar aku yang mencari air, Toako," katanya.

Tak lama kemudian Yeliu Cutay sudah kembali membawa air jernih dan pada saat itu, Tang Siok Hwa mulai bekerja keras untuk melahirkan anak dalam kandungannya! Dua orang pria itu hanya menunggu dan mereka berdua hampir pingsan menyaksikan betapa tersiksa dan sukarnya seorang wanita melahirkan! Keduanya berwajah pucat, peluh dingin membasahi muka dan bahkan kedua tangan mereka gemetar.

Ketika akhirnya bayi itu terlahir dan terdengar suara tangis yang amat nyaring, keduanya terkejut dan merasa lega, akan tetapi juga bingung. Namun, Yeliu Cutay yang sudah pernah membaca tentang kelahiran ini, menenangkan dirinya. Dia mengangkat bayi yang masih merah itu, meletakkannya di atas kain yang lain, lalu menggunakan Pedang Asmara untuk memotong pusar bayi dan mengikatnya dengan benar seperti yang pernah dibacanya.

Setelah itu, walaupun dengan kedua tangan gemetar dan hati-hati sekali, seolah-olah yang dipegangnya itu sebuah benda yang mudah sekali pecah dan dia takut kalau terlepas dan jatuh, dia membersihkan tubuh bayi itu, juga mukanya, dengan sehelai kain putih yang dibasahi dengan air. Seorang bayi laki-laki!

Setelah selesai membersihkan bayi itu dan membungkusnya dengan selimut, dia menoleh ke arah suami isteri itu. "Anaknya laki-laki.....!" katanya gembira, akan tetapi dia terbelalak melihat betapa Siang Hok merangkul dan menangisi Siok Hwa, memanggil-manggil namanya.

Siok Hwa, ibu yang baru saja melahirkan itu, rebah telentang tak bergerak, mukanya sepucat mayat dan seperti telah mati saja! Cepat Yeliu Cutay merebahkah anak bayi itu ke atas kain putih, membiarkan anak itu menjerit-jerit, lalu berlutut di dekat Siok Hwa.

"Ia... ia terus mengeluarkan darah.....!" kata Siang Hok bingung.

Yeliu Cutay berusaha menghentikan darah dengan menotok jalan darah, akan tetapi usahanya sia-sia belaka. Tubuh itu menjadi semakin lemah, wajahnya semakin pucat dan napasnya makin lemah.

"Siok-moi.....! Sadarlah..... ah, bagaimana ini? Siok-moi.....!" Siang Hok mengguncang pundak isterinya. "Siokmoi, anak kita telah lahir, lihatlah! Dia laki-laki, dengarlah tangisnya! Siok-moi, sadarlah.....! " Siang Hok meratap.

Sepasang mata itu terbuka perlahan dan bibir itu bergerak-gerak. Siang Hok mendekatkan telinganya depan mulut isterinya, mendengarkan bisikan lirih, "Siapa..... siapa namanya.....?"

"Namanya? Ah, bukankah sudah kita rencanakan sebelumnya? Kalau lahir laki-laki, akan kita beri nama Tiong Sin!"

Mulut itu tersenyum lemah dan bibirnya kembali bergerak, "Mana..... Tiong Sin....., bawa ke sini....."

Siang Hok mengambil bayi yang masih menangis itu, dan meletakkannya di dekat dada ibunya. Siok Hwa memandang puteranya dengan mata yang sayu, dan mata itu menjadi basah. Lalu ia memandang suaminya, berbisik lirih, "Rawat dia baik-baik...." dan kepala itu terkulai kembali.

"Siok-moi.....! Ah, Siok-moi.... jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan anak kita....! Siok-moi.....!" Siang Hok menjerit-jerit dan memeluk tubuh isterinya yang masih hangat, menciumi muka yang pucat itu dan hampir saja dia roboh pingsan kalau Yeliu Cutay tidak cepat mengambil bayi itu agar jangan tertindih, kemudian memegang pundak Siang Hok, mengguncangkannya dengan kuat.

"Toako, tenangkan hatimu! Sudah kehendak Thian bahwa isterimu meninggal ketika melahirkan. Ingat anakmu ini, dia membutuhkan engkau!"

Siang Hok memandang kepada anaknya dan air matanya bercucuran. Dia menerima anak itu, didekapnya dan dibasahi muka anak itu dengan air matanya, dan anak itu pun menangis, agaknya ikut berduka dengan ayahnya. Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda. Siang Hok dan Yeliu Cutay mengangkat muka dan melihat bahwa ada serombongan penunggang kuda datang menuju ke tempat itu.

"Ah, akhirnya mereka datang juga!" kata Siang Hok.

"Siapakah mereka?"

"Orang-orang Hek-eng-pang, dipimpin ayah Siok-moi."

Siang Hok menyerahkan bayi itu kepada Yeliu Cutay dan dengan air mata bercucuran dia pun berkata, "Tai-hiap, aku mohon kepadamu..... kau bawalah anak kami ini pergi dari sini..... agar dia dapat diselamatkan. Taihiap, biarlah dalam penjelmaan kemudian, aku akan membalas budimu ini. Anak ini, Tiong Sin.... kau selamatkan, Taihiap!"

Yeliu Cutay tak dapat menolak dan dia pun memondong bayi itu. "Tapi.... tapi kau sendiri.....?"

"Sudahlah, Taihiap. Aku akan menghadapi ayah Siok Hwa, mudah-mudahan dia menaruh kasihan. Kalau aku selamat, aku akan mencarimu kelak untuk menerima kembali anakku."

Yeliu Cutay tidak melihat jalan lain. Anak itu memang harus diselamatkan dulu. "Kalau engkau kelak mencari anakmu, carilah aku di kota raja. Carilah ayahku, Yeliu Koan yang menjadi pejabat di kerajaan, atau carilah aku, namaku Yeliu Cutay." Setelah berkata demikian, Yeliu Cutay lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan melarikan kuda itu cepat-cepat sambil memondong anak kecil yang bernama Tiong Sin itu.

Ketika rombongan orang-orang Hek-eng-pang tiba di situ, benar seperti dugaan Bu Siang Hok, rombongan yang terdiri dari kurang lebih dua puluh orang itu dipimpin sendiri oleh Tang Pangcu. Laki-laki yang berusia lima puluh lima tahun ini jelas kelihatan marah sekali! ketika dia melihat Siang Hok.

"Jahanam keparat engkau Bu Siang Hok! Berani engkau melarikan puteri kami? Hayo, di mana kau sembunyikan....."

Tiba-tiba mata Tang Pangcu terbelalak memandang ke arah tubuh wanita muda yang rebah terlentang di atas kain putih itu. Kain putih yang berlepotan darah segar! "Siok Hwa.....!" Dia menjerit, melompat turun dari atas kudanya dan lari menghampiri, lalu menubruk dan merangkul puterinya yang telah menjadi mayat.

"Apa.... apa yang terjadi.....? Jahanam, katakan apa yang terjadi?"

"Ia telah melahirkan dan meninggal dunia setelah melahirkan," kata Siang Hok dengan air mata bercucuran.

"Siok Hwa.....!" Ayahnya kembali menjerit dan kini memeluk tubuh itu sambil menangis seperti anak kecil. Siang Hok juga menjatuhkan diri berlutut dan menangis pula.

Tiba-tiba Tang Pangcu menghentikan tangisnya dan dia meloncat berdiri, memandang kepada Siang Hok dengan muka pucat dan mata mendelik. "Engkau pembunuh, engkau membunuh anakku!"

Siang Hok menundukkan mukanya, "Saya tidak berdaya.... tiba-tiba saja ia melahirkan di sini, tidak ada wanita atau bidan yang membantu hingga ia.... kehabisan darah....." Dia terisak lagi.

"Jahanam pembunuh kau!" Tang Pangcu berteriak dan dia pun menerjang ke depan, kakinya menendang. Tubuh Siang Hok terlempar dan terguling-guling, akan tetapi dia lalu bangkit berdiri walaupun dadanya terasa nyeri.

"Pangcu, engkaulah yang telah membunuhnya! Kalau engkau tidak menghalangi perjodohan kami, tentu kami sekarang sudah gembira menyambut kelahiran putera kami. Engkaulah yang membunuh puterimu sendiri!"

Dua orang itu saling pandang dengan penuh kebencian. Tang Pangcu mencabut goloknya dan Siang Hok mencabut pedangnya.

"Keparat, engkau malah menyalahkanku? Engkau perampok hina, berani engkau mengotori puteriku dan kini akibatnya puteriku sampai mati. Dan engkau masih berani menyalahkan aku? Di mana anak yang terlahir itu?"

"Aku tidak tahu, dan engkau tidak perlu tahu!" Siang Hok juga membentak karena kini setelah Siok Hwa tewas, dia memandang orang ini sebagai musuhnya yang telah melenyapkan kebahagiaan hidupnya.

Sambil berteriak lantang Tang Pangcu meloncat dan menyerang, disambut oleh pedang di tangan Siang Hok. Para anak buah Hek-eng-pang lalu turun tangan membantu ketua mereka. Baru menghadapi Tang Pangcu seorang saja, Siang Hok tidak akan menang, apalagi kini dikeroyok banyak orang. Sebentar saja tubuhnya sudah penuh luka dan dia pun terhuyung, lalu menubruk mayat Siok Hwa dan menjerit.

"Siok-moi, kau tunggulah aku.....!" Dan diapun menghembuskan napas terakhir di atas dada wanita yang dicintanya.

Melihat ini, ketika para anak buahnya hendak menghujankan senjata mereka ke atas tubuh Siang Hok, Tang Pangcu membentak. "Munduuurrrrr semua! Jahanam kalian, apakah kalian akan merusak mayat anakku?"

Semua anak buahnya terkejut dan mundur dan sampai lama Tang Pang-cu berdiri mengamati dua buah mayat yang tumpang tindih itu. Mayat Siok Hwa di bawah, dan mayat Siang Hok diatasnya, merangkulnya dengan mesra. Dia melihat betapa wajah Siok Hwa mengandung senyum bahagia, juga wajah Siang Hok tersenyum. Keduanya seperti mati dalam keadaan berbahagia karena dapat mati bersama, dan melihat keadaan mereka, seolah-olah mereka itu tidak mati melainkan sedang tidur dalam kemesraan!

Tang Pangcu menggigil dan baru dia melihat betapa dia telah bertindak kejam sekali kepada puterinya sendlri. Benar Siang Hok! Dia telah membunuh puterinya itu! Bagaimana dia dapat menyalahkan dua hati yang saling mencinta? Dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di dekat mayat itu, menutupi muka dengan kedua tangan sampai lama.

"Angkut dua mayat mereka dengan baik-baik, bawa pulang. Aku ingin mengubur mereka dalam satu lubang." katanya kemudian, membuat para anggauta Hek-eng-pang saling pandang dengan perasaan heran.


Waktu berjalan cepat sekali kalau tidak diperhatikan, lebih cepat daripada meluncurnya anak panah. Sebaliknya kalau diperhatikan, sang waktu merayap seperti siput. Semenjak kemenangannya yang gemilang terhadap musuh besar keluarganya, yaitu Targoutai kepala suku Taijut, nama Temucin menjadi semakin terkenal.

Kekuasaannya semakin besar dan pasukan Temucin terkenal dan ditakuti di seluruh Mongol. Temucin memang pandai bersiasat dan perhitungannya tepat sekali sebagai seorang pemimpin besar, seorang jenderal perang yang tangguh. Dia tahu bahwa bagi bangsanya, yang terpenting adalah kekuasaan, dan kekuasaan ini baru bisa diperoleh kalau dia memiliki balatentara yang besar dan kuat, memiliki sekutu yang setia.

Dipimpinnya pasukannya yang amat terkenal itu dan setiap kali dia mengadakan perang dengan kepala-kepala suku yang berani menentangnya dan tidak mengakui kedaulatannya, pasti dia memperoleh kemenangan. Dan dia dapat memilih orang-orang yang berguna. Mereka yang takluk, kalau dia lihat memiliki kemampuan dan benar-benar takluk dan menyatakan setia, akan diberinya kedudukan. Sebaliknya, dia dapat menghukum dan membantai semua tawanan tanpa belas kasihan sedikit pun.

Pasukannya terdiri dari orang-orang pilihan dan kalau pasukannya menyerbu, seperti api mengganas. Segala yang menentang dan menghalang dihancurkan! Sebagai seorang pemimpin besar, Temucin pandai sekali bersikap sehingga mereka yang mengabdi kepadanya dengan setia, dilimpahi pangkat dan kemuliaan hingga mereka ini semakin setia dan mencinta pemimpin mereka. Sebaliknya, Temucin paling membenci orang yang berwatak khianat. Dia memberi hukuman berat sekali kepada orang-orang yang berkhianat, hukum siksa sampai mati.

Sebagai seorang yang mengagungkan kegagahan dan kekuasaan, agaknya Temucin yang masih sederhana jalan pikirannya itu, menyadari bahwa di luar kekuasaannya, di alam ini ada kekuasaan yang rahasia, yang amat tinggi dan yang tidak mungkin dapat dilawannya. Kekuasaan yang mendatangkan guntur dan kilat, yang mendatangkan hujan badai, yang mengerikan tanah. Oleh karena itu, dia memuja kekuasaan ini yang dianggapnya datang dari langit.

Seringkah nampak Temucin seorang diri mendaki sebuan bukit yang sunyi, tempat yang dianggapnya keramat karena tidak dihuni manusia. Di tempat sunyi ini, dia membetulkan letak pakaiannya, diselempangkannya ikat pinggangnya itu di atas bahu kiri. Dia berdiri tegak, lalu menghadap ke empat penjuru sambil menyembah dengan penuh kesungguhan dan penghormatan, mulutnya membisikkan doa.

"Semoga Langit Yang Berkuasa berkenan menolong saya, semoga para dewata yang sakti dari langit turun untuk melindungi saya dengan kesaktian mereka, dan semoga Langit Yang Berkuasa mengirimkan orang-orang pandai untuk membantu saya."

Seringkali Temucin melakukan doa seperti ini, di waktu malam sunyi, ketika bintang-bintang memenuhi langit, dan ketika bulan purnama, dia pun minta berkah dari Dewa Bulan, kalau matahari terbit dia berdoa minta berkah dari Dewa Matahari.

Dua puluh tahun kemudian, demikian cepatnya waktu berjalan, Temucin telah berhasil menjadi seorang pemimpin besar yang diakui kekuasaan dan kekuatannya di seluruh Mongol. Suku-suku kecil takluk kepadanya, yang tidak mengakui kedaulatannya digempur dan ditaklukkan. Suku-suku yang besar dengan sukarela mengakui kedaulatan dan kekuasaannya, yang tidak mau mengakui digempur dan ditaklukkan pula! Panjinya amat terkenal, yaitu panji dengan sembilan utas ekor yak!

Temucin semakin terkenal dan diakui, dipuja. Suku-suku yang berdatangan untuk menggabungkan diri dengannya amat banyak, setiap suku membawa rombongan sampai ratusan orang jumlahnya. Temucin memang seorang pemimpin pandai, bukan saja dalam ilmu peperangan, juga pandai mengambil hati anak buahnya.

Tidak seperti kepala-kepala suku yang lain, yang suka bertindak sewenang-wenang, baik dalam pembagian hasil buruan, hasil menang perang, atau mempergunakan kekuasaannya untuk merampas isteri orang, Temucin sama sekali tidak mau melakukan hal ini. Kalau anak buahnya berhasil baik dalam perburuan, di tidak pernah merampas hasil buruan, hanya menerima saja apa yang dipersembahkan orang kepadanya.

Sikap ini justeru menimbulkan rasa suka dan kagum sehingga anak buahnya selalu mempersembahkan bagian yang paling baik dari hasil perburuan mereka. Juga kalau pasukannya menang perang, dia selalu ingat untuk membagi-bagi barang rampasan secara adil dan merata. Dia selalu siap mengulurkan tangan untuk membantu para anak buahnya, dan hal ini membuat dia semakin terkenal dan terpandang.

Karena para pengikutnya semakin banyak, dan dia selalu membuka tangan menerima para suku yang berkeliaran dan mencari perlindungan, maka Temucin mulai memikirkan untuk membuat suatu peraturan, memilih para pembantu utamanya dan membentuk suatu badan pemerintahan yang akan mengatur semua anak buahnya. Mulailah dia membagi-bagi kedudukan kepada orang-orang yang dianggap berjasa, setia dan memang memiliki ilmu kepandaian yang istimewa.

Dalam hal ini pun dia bertindak adil, tidak memandang sanak keluarga atau orang lain, pendeknya dia mempergunakan orang sesuai dengan kemampuannya. Terkenallah nama-nama para panglimanya seperti Kassar, Borcu, Arghun, Bayan, Munhuli, Soo dan masih banyak lagi. Di seluruh Gobi, bahkan selain daerah Gurun Gobi, juga di seluruh Mongol, semua orang mengenal para panglima Temucin yang amat pandai itu sehingga mereka itu disebut Kiyat yang artinya "Air deras yang menghanyutkan segala sesuatu!"

Arghun adalah seorang yang pandai sekali bermain musik, terutama bermain kecapi (siter) sehingga dia amat diperlukan untuk menghibur Temucin dan para panglimanya, baik untuk merayakan kemenangan perang atau perburuan, maupun untuk menghibur hati gundah. Soo adalah seorang pemain panah yang amat pandai dari para panglima lainnya, selain memiliki banyak pengalaman berperang, juga merupakan orang-orang yang memiliki kegagahan dan ilmu berkelahi yang amat baik.

Akan tetapi di antara para panglimanya itu, agaknya yang paling menonjol kemudian, karena mereka tergolong panglima-panglima muda, adalah Chepei Noyon, dan seorang lagi Subotai Bahadur. Kedua orang ini yang kelak menjadi panglima yang menggegerkan dunia ketika balatentara Temucin menyerbu sampai jauh ke barat dan ke selatan.

Pada suatu hari, datanglah berita kepada Temucin bahwa ayah mertuanya yaitu kepala kelompok yang bernama Munlik atau Karugai, ayah Bortay isterinya yang pertama, datang berkunjung bersama keluarganya. Bahkan tujuh orang puteranya, saudara-saudara dari Bortay ikut pula datang berkunjung. Temucin menyambut kunjungan ini dengan penuh kehormatan dan kegembiraan dan mereka segera saling menukar bingkisan.

Akan tetapi, di dalam pergaulan selanjutnya antara para putera Munlik itu dengan orang-orang Mongol, timbul rasa tidak suka dalam hati para tuan rumah terhadap tamu-tamu itu. Terutama sekali saudara dari Bortay yang bernama Tebtengri, sungguh mendatangkan perasaan tak senang karena orang ini yang juga menjadi semacam dukun dan ahli nujum, bersikap amat tinggi hati dan memandang rendah orang lain.

Tebtengri, dibantu saudara-saudaranya, bersikap sombong sekali dan ketika pihak tuan rumah memperlihatkan perasaan tidak senang, mereka semakin congkak karena mereka menganggap bahwa mereka lebih "tinggi" daripada pihak tuan rumah. Tentu saja untuk berterang memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Temucin, mereka tidak berani. Akan tetapi diam-diam mereka itu membenci Temucin karena merasa iri.

Bagaimana anak yang dulu kelihatan lemah itu, yang menjadi suami adik mereka Bortay, kini menjadi seorang pemimpin besar, bahkan dianggap sebagal raja oleh banyak kepala suku? Untuk melampiaskan rasa penasaran dan iri, Tebtengri lalu mempermainkan Temugu, yaitu seorang di antara adik-adik tiri Temucin. Tebtengri bersama saudara-sudaranya memaksa Temugu untuk berlutut di depannya, dengan ancaman bahwa kalau dia menolak, akan dipukuli sampai mati!

Banyak orang melerai keributan ini dan ketika mendengar peristiwa itu, Temucin mengerutkan alisnya. Dia berada dalam kedudukan yang sulit. Munlik adalah ayah mertuanya sendiri, di samping kedudukannya sebagai seorang kepala suku. Bahkan sudah berulang kali Munlik membantunya dalam peperangan, maka Munlik dapat dikatakan selain ayah mertua, juga seorang kepala suku yang sudah berjasa.

Tebtengri, kakak isterinya itu juga bukan orang sembarangan, melainkan seorang dukun dan ahli nujum, kedudukan yang dihormati orang. Dia harus dapat mengambil keputusan yang adil karena Temugu telah dihina orang yang berarti menghina dirinya karena Temugu tidak bersalah. Dia memanggil Temugu yang dihina orang itu dan berbisik kepadanya,

"Hari ini Tebtengri dan saudara-saudaranya akan berkunjung ke sini. Berbuatlah sekehendak hatimu terhadap dirinya."

Mendengar ucapan kakaknya ini, Temugu mengangguk. Ucapan itu merupakan perkenan baginya untuk membalas dendam atas penghinaan Tebtengri kepadanya. Sesungguhnya, permusuhan yang timbul antara Temucin dan orang-orang yang menetangnya, termasuk saudara-saudara Bortey sendiri, merupakan pertentangan yang sudah berlarut-larut. Masalahnya tiada lain adalah perebutan kekuasaan.

Tebtengri adalah seorang dukun, seorang ahli nujum yang pada waktu itu merupakan kedudukan yang amat tinggi. Ketika, orang-orang masih hidup di bawah pengaruh ketahyulan, dan seorang dukun dan peramal dianggap sebagai orang yang luar biasa dan ditakuti. Karena itu, di masa itu, para kepala suku saja takut menghadapi kekuasaan seorang dukun, yang dianggap bersekutu dengan para dewa dan setan, dapat mencabut nyawa seseorang secara begitu saja!

Namun Temucin menentang kekuasaan yang menyalahgunakan kepercayaan dan kebodohan rakyat ini, maka terjadilah permusuhan yang hanya terpendam di dalam hati saja. Peristiwa yang terjadi ketika Tebtengri bersama ayahnya dan saudara saudaranya datang berkunjung kepada Temucin, hanya merupakan satu di antara ledakan-ledakan dari timbunan kebencian itu.

Ketika Munlik dan tujuh orang puteranya berkunjung ke perkemahan Temucin malam itu, Temucin menyambut mereka dan mempersilakan mereka duduk. Pada saat itu, seperti telah diatur sebelumnya, masuk pulalah Temugu. Seperti menjadi kebiasaan dan peraturan mereka sewaktu memasuki perkemahan, semua senjata ditinggalkan di luar kemah.

Temugu langsung saja mendekati Tebtengri memegang bahunya dan berkata, ”Kemarin mengandalkan pengeroyokan, engkau menghinaku dan memaksa aku berlutut! Sekarang, mari kita mengadu kekuatan satu lawan satu!"

"Eh, babi, kau menantang?" jawab Tebtengri dan mereka pun bergumul.

Memang di antara bangsa Mongol ini, perkelahian yang terhormat adalah bergumul, dan bergumul dianggap seni atau tata kelahi yang paling terhormat, bukan pukul memukul atau tendang-menendang, dilihat ini, para putera Munlik sudah bangkit berdiri, akan tetapi tiba-tiba, dengan suaranya yang berwibawa, Temucin membentak.

"Heh! Apakah kalian sudah tidak mengenal aturan lagi, bergumul di dalam kemah? Hayo kalian berdua keluar dan kalau mau bergumul, di luar!"

Mendengar bentakan ini, dua orang yang sedang bergumul itu berhenti, kemudian Temugu dengan lantang berkata, sambil memandang kepada Tebtengri dengan sikap menantang. "Kalau engkau memang laki-laki, hayo keluar, kita mengadu kekuatan di luar!"

Dan dia pun melangkah keluar. Mendengar tantangan ini, Tebtengri yang merasa bahwa dia pasti akan menang menghadapi Temugu yang tidak berapa besar itu, segera melangkah ke luar pula. Akan tetapi begitu dia tiba luar kemah, tiba-tiba saja tiga orang yang tinggi besar dan melihat gerakan mereka adalah jago-jago gulat yang pandai, menubruk Tebtengri dan menekuk tubuhnya ke belakang sampai patah tulang punggungnya dan tewas seketika!

Kejadian ini berlangsung amat cepatnya sehingga Tebtengri tidak lagi sempat berteriak. Tiga orang itu melemparkah tubuh Tebtengri yang sudah tak bernyawa lagi dan mayat itu menggeletak di dekat roda sebuah gerobak. Ketika saudara-saudara Tebtengri keluar, Temugu berkata, "Kemarin Tebtengri menghinaku, sekarang aku menantang dia mengadu kekuatan, akan tetap dia menggeletak di sana tidak mau bangkit lagi!"

Munlik dan enam orang puteranya segera menghampiri dan melihat bahwa Tebtengri ternyata telah tewas, Munlik dan anak-anaknya menjadi marah bukan main. Mereka mengambil senjata mereka yang tadi dilepas dan ditumpuk di depan pintu kemah, kemudian sambil mencabut senjata mereka, Munlik berkata kepada Temucin yang sudah bangkit dari tempat duduknya, dengan suara bernada penuh penyesalan, duka dan kemarahan.

"Khan (Raja), mulai detik ini aku tidak sudi lagi mengabdi kepadamu!" Agaknya Munlik dan enam orang puteranya, saking marahnya, hendak nekat menyerang Temucin.

Namun, Temucin yang tidak memegang senjata itu, melangkah maju dengan sikap tenang. Tidak ada jalan keluar dari kemah itu kecuali pintu yang satu itu, yang kini dipenuhi Munlik dan para puteranya yang menghadang keluarnya dengan pedang di tangan. Lain orang tentu akan memanggil pengawal dan minta bantuan, akan tetapi Temucin adalah orang yang mampu mengendalikan perasaannya dan mempergunakan kewibawaannya.

Dengan suara lantang dan tegas, penuh perintah, Temucin membentak mereka dengan kata-kata memerintah. "Kami hendak keluar, minggirlah kalian semua!!"

Munlik dan enam orang puteranya tercengang. Tak mereka sangka akan menghadapi sikap Temucin seperti itu dan bagaikan kena pesona, mereka pun tidak mampu menggerakkan senjata, bahkan semua semangat permusuhan lenyap dari hati mereka. Mereka minggir dan membiarkan Temucin lewat ke tempat para pengawal yang menanti di luar perkemahan.

Temucin melihat bahwa Tebtengri telah tewas. Dia memerintahkan untuk mengurus jenazah itu, menyembunyikannya agar tidak menyolok pandang mata. Ketika banyak orang datang berkerumun untuk melihat apa yang terjadi dengan tenang Temucin berkata kepada mereka semua, "Tebtengri telah berkhianat mengadakan persekutuan jahat untuk menentang kami, oleh karena itu para dewa menjadi marah dan mencabut nyawanya."

Kemudian, Temucin mengundang ayah mertuanya untuk mengadakan pertemuan dan percakapan empat mata, dan dengan sikap sungguh-sungguh dia pun menegur ayah mertuanya itu.

"Sungguh sayang sekali bahwa anda tidak memberi ajaran yung baik kepada putera-putera anda itu sehingga mereka menjadi kurang ajar yang akhirnya hanya akan mencelakakan mereka sendiri. Tebtengri telah mencoba untuk merendahkan kekuasaan saya, oleh karena itu, dengan terpaksa sekali saya menyingkirkannya. Siapa saja yang berani mencoba untuk menentang saya, pasti akan saya singkirkan! Mengenai anda sendiri, karena anda merupakan ayah mertua yang baik dan yang sudah banyak membantu pasukan kami, maka saya berjanji akan melindungi anda dari bahaya apa pun yang mengancam diri anda. Saya harap perkara ini dianggap selesai sampai di sini saja."

Memang Temucin berhasil menundukkan hati Munlik dan putera-puteranya yang tidak mendendam atas kematian Tebtengri yang dianggap salahnya sendiri itu. Akan tetapi, perang antara suku-suku di daerah Gurun Gobi masih juga berkobar terus. Namun, yang makin menonjol dan semakin besar kekuasaannya bertambah terus pasukannya, adalah Temucin.

Rencana Temucin adalah untuk mengakhiri semua pertikaian antara suku itu, mempersatukan mereka menjadi satu bangsa Mongol yang besar dan jaya. Dengan hati-hati, dengan penuh kesabaran dan ketekunan, Temucin mulai menghimpun kekuatan raksasa yang kelak akan merupakan gelombang dahsyat yang menggetarkan sebagian besar bangsa di dunia.


Memang waktu itu tanpa terasa lewat dengan cepatnya. Dua puluh tahun lewat dengan amat cepatnya semenjak Yeliu Cutay kembali ke rumah orang tuanya di kota raja. Orang tua Yeliu Cutay bernama Yeliu Koan dan dia menduduki jabatan penting di bagian kebudayaan dari Kerajaan Cin, yaitu kerajaan di utara yang didirikan oleh bangsa Yucen. Biarpun Yeliu Koan adalah seorang terpelajar dari suku Liau-tung yang termasuk suku bangsa Khitan, namun sejak muda dia mengabdi kepada.

Kerajaan Cin yang sesungguhnya adalah kerajaan yang didirikan oleh bangsa Yucen, musuh besarnya sendiri! Hal ini menunjukkan bahwa keluarga Yeliu bukanlah keluarga yang terlalu mementingkan bangsa. Karena Yeliu Koan bekerja dengan tekun dan penuh kesetiaan, maka Raja Kerajaan Cin juga amat percaya dan suka kepadanya.

Pangkatnya naik menjadi pembantu menteri, bahkan ketika Yeliu Cutay pulang dan oleh ayahnya diajukan sebagai calon pegawai negeri, pemuda yang cerdik dan telah mahir dalam ilmu perbintangan, ilmu nujum juga ilmu silat dan siasat perang itu segera diterima dan begitu masuk sudah menjadi penasihat dari angkatan perang!

Seperti juga ayahnya, Yeliu Cutay tidak mempunyai kebanggaan berbangsa, maka dengan hati ringan saja dia menghambakan diri kepada bangsa Yucen atau Kerajaan Cin. Bahkan hasil pekerjaannya amat baik dan menerima pujian dari atasannya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Yeliu Cutay membawa pulang seorang anak bayi! Ibu bayi itu meninggal dunia, dan ayahnya berada dalam bahaya besar. Yeliu Cutay, dengan ilmu perbintangan dan ilmu nujumnya, hampir dapat merasakan bahwa ayah anak itupun takkan dapat hidup lama, dan bahwa terpaksa dia harus memelihara anak itu. Dapat dibayangkan betapa sukarnya perjalanan yang ditempuhnya sambil memondong seorang bayi yang baru saja dilahirkan!

Untung baginya bahwa dari Temucin dia memperoleh bekal emas yang cukup banyak. Dengan emas ini, dia mampu tinggal sampai sebulan lamanya di sebuah dusun, menyewa seorang inang pengasuh dan memelihara anak yang bernama Tiong Sin itu sebaik-baiknya.

Setelah anak itu cukup kuat disertai oleh wanita pengasuh itu, Yeliu Cutay membeli sebuan kereta dan melanjutkan perjalanan ke kota raja. Tentu saja perjalanan ini pun tidak mudah, namun berkat ilmu silatnya, terutama sekali Pedang Asmara yang melindunginya, dia dapat tiba di Kota Raja Cin dengan selamat.

Agaknya pengalamannya yang amat pahit bersama sumoi dan sutenya itu membuat Yeliu Cutay seperti dingin terhadap wanita. Dia tidak mau menikah! Dan karena dia maklum bahwa Pedang Asmara mempunyai pengaruh yang amat kuat untuk menggelorakan gairah berahi orang yang berdekatan dengan pusaka itu, dan dia sendiri tidak suka berdekatan dengan wanita, maka pedang itu tidak pernah dipakainya dan hanya disimpannya selama dua puluh tahun itu ke dalam gudang ayahnya.

Kemudian setelah dia duduki jabatan penting, mempunyai gedung sendiri, dia memindahkan pedang itu ke dalam gudangnya sendiri. Ini berarti bahwa Yeliu Cutay tidak pernah berhubungan dengan wanita. Dia ada mengambil beberapa orang selir, akan tetapi dia tidak pernah mau mengambil isteri yang sah.

Dan dia pun selalu pergunakan obat untuk mencegan agar para selirnya itu tidak mempunyai keturunan. Mereka itu hanya merupakan hiburan baginya, tidak ada pertalian cinta kasih dalam hatinya. Yeliu Cutay adalah seorang yang keras hati dan berkemauan keras sehingga dia mampu mempertahankan sehingga dua puluh tahun kemudian, dia belum juga menikah.

Selama itu, dia memelihara dan mendidik Tiong Sin dengan baik. Anak itu menjadi murid dan juga anaknya, diakuinya sebagai anak dan bahkan dia memberikan she Yeliu kepada anak itu, Yeliu Tiong Sin! Hal ini dia lakukan setelah dia melakukan penyelidikan ke markas Hek-eng-pang dan mendengar akan kematian Bu Siang Hok.

Ternyata Yeliu Tiong Sin adalah seorang anak laki-laki yang cerdik dan berbakat. Juga dia tampan sekali, dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, lincah jenaka dan wajahnya selalu cerah. Yeliu Cutay menggemblengnya dalam ilmu silat dan juga mengharuskan anak itu mempelajari kesusastraan. Dia mendidik anak itu dengan tekun dan bahkan keras dan dia mengira bahwa dengan didikan itu pasti Tiong Sin kelak akan menjadi seorang manusia yang berguna.

Namun, Yeliu Cutay lupa akan sesuatu yang amat penting, bahkan teramat penting dan menjadi pokok dari pendidikan. Dia boleh saja melimpahkan segala macam pendidikan, pengetahuan, bahkan kemewahan kepada muridnya atau anak angkatnya itu, namun tetap saja Tiong Sin merasa tidak puas dan makin dewasa, dia menjadi semakin penasaran dan gelisah seperti orang kehausan.

Memang dia haus, haus akan kasih sayang! Inilah yang dilupakan Yeliu Cutay. Kasih sayang. Kasih sayang merupakan dasar pendidikan yang paling mutlak. Tanpa kasih sayang, semua pendidikan tidak ada artinya, tentu saja yang dimaksudkan adalah pendidikan di segi moral.

Orang-orang tua, seperti halnya Yeliu Cutay lupa bahwa kasih sayang bukanlah perasaan senang dan bangga kalau si anak menjadi anak penurut, lalu tidak senang dan marah kalau si anak tidak penurut. Kasih sayang itu ikhlas, demi kebahagiaan si anak, bukan dengan jalan memberi segala yang dikehendakinya. Itu bukan demi kebahagiaan si anak,melainkan demi kehancuran si anak yang akan menjadi manja dan jahat.

Yeliu Cutay memberikan segalanya kepada Tiong Sin. Pelajaran ilmu silat, kesusastraan, pakaian yang indah, makanan yang baik, bahkan nama dan kehormatan sebagai putera Yeliu Cutay yang terkenal sebagai seorang pejabat tinggi yang semakin menanjak namanya. Akan tetapi Yeliu Cutay tidak memberikan kasih sayang yang wajar kasih sayang ayah dan ibu terhadap anaknya...!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.