Pedang Asmara Jilid 06 karya Kho Ping Hoo - Inilah sebabnya, maka Tiong Sin mencari kasih sayang itu keluar rumah! Di antara teman-temannya, di antara orang-orang yang bersikap baik padanya. Dia masih terlalu muda untuk melihat apa yang tersembunyi di balik "kebaikan" teman-teman itu!
Seolah-olah racun dibungkus gula, kebaikan teman-temannya itu menyeretnya ke arah watak yang amat merugikan pribadinya. Dan watak ini adalah mata keranjang, watak yang melemahkan pribadinya terhadap tekanan nafsu.
Betapapun juga, harus diakui bahwa Tiong Sin adalah seorang murid yang amat menyenangkan. Dia mudah sekali mempelajari ilmu-ilmu silat baru yang diajarkan Yeliu Cutay dan mudah menguasainya. Juga otaknya terang sekali hingga mudah menghafal huruf-huruf baru, pandai merangkai hurut-huruf itu menjadi syair yang indah.
Juga dia pandai bersikap hormat dan manis terhadap siapa saja, terutama terhadap Yeliu Cutay yang sama sekali tidak pernah menduga bahwa di balik wajah yang cerah dan senyum yang ramah penuh hormat itu tersembunyi watak yang tidak baik.
Seluruh ilmu silatnya telah dia ajarkan sehingga ketika Tiong Sin berusia dua puluh tahun, dia telah menguasai seluruh ilmu silat yang dimiliki gurunya atau ayah angkatnya. Dia menyebut ayah kepada Yeliu Cutay, akan tetapi, dia tahu bahwa dia bukanlah putera kandung gurunya itu. Hal ini diketahuinya dari hasil pergaulannya ke luar. Di antara para pelayan tentu saja ada yang tahu bahwa ketika Yeliu Cutay pulang dua tahun yang lalu, pemuda itu membawa seorang bayi.
Karena Yeliu Cutay belum menikah, tentu saja keadaan bayi itu menimbulkan pertanyaan dan untuk melenyapkan dugaan yang bukan bukan, orang tua Yeliu Cutay memberitahu kepada para pelayan itu bahwa anak yang dibawa oleh Yeliu Cutay adalah anak yatim piatu dan yang menjadi anak angkat Yeliu Cutay.
Demikianlah, mendengar berita bahwa dia bukan anak kandung Yeliu Cutay, Tiong Sin menghadap ayahnya dan menanyakan hal ini. Dahulu, sebelum dia mendengar akan hal itu, sudah berulang kali dia bertanya kepada ayahnya tentang ibunya, dan selalu ayahnya itu menjawab sambil lalu dan menyimpan. "Ibumu sudah meninggal dunia." hanya itulah jawabannya.
Ketika Tiong Sin menghadap Yeliu Cutay dan menceritakan tentang apa yang didengarnya, bahwa dia bukan anak kandung orang yang selama ini dianggap ayahnya sendiri, Yeliu Cutay menarik napas panjang.
"Aku tahu bahwa hal ini takkan dapat ditutup-tutupi, Tiong Sin. Dan memang bukan maksudku untuk merahasiakannya darimu untuk selamanya. Hanya aku menanti sampai engkau benar dewasa, baru akan kuceritakan. Sekarang, setelah engkau mendengar berita itu, baiklah, kau dengarkan ceritaku."
Yeliu Cutay lalu menceritakan tentang Bu Siang Hok dan Tang Siok Hwa betapa kedua orang tua anak itu tidak dapat menjadi suami isteri yang sah karena ditentang oleh orang tua Tang Siok Hwa, yaitu Tang Pangcu ketua Hek-eng-pang. Dan betapa ibu kandungnya itu meninggal ketika melahirkannya karena kehabisan darah dan tidak ada ahli yang membantunya melahirkan. Kemudian betapa ayah kandungnya juga tewas, mungkin tewas dikeroyok orang Hek-eng-pang.
"Nah demikianlah riwayatmu, Tiong Sin. Akan tetapi, sejak engkau terlahir, engkau sudah kubawa. Aku yang merawat dan mendidikmu, dan aku mengangkatmu sebagai anakku, biarpun engkau sama sekali bukan darah dagingku. Dan meskipun kuberi nama keturunan keluarga kami. Sekarang, terserah kepadamu apakah engkau akan tetap mempergunakan nama keturunan Yeliu ataukah akan menggunakan nama keturunan ayah kandungmu, yaitu Bu."
Tiong Sin menghapus air matanya yang bercucuran ketika mendengar cerita ayah angkat atau gurunya, lalu dia memberi hormat dengan menyembah sampai dahinya membentur lantai. "Sungguh besar budi yang Ayah limpahkan kepadaku. Karena Ayah ternyata bukan ayah kandungku, maka budi itu terasa semakin besar dan berat lagi. Karena itu, biar saya akan terus memakai nama keturunan Yeliu untuk membalas budi Ayah."
Semenjak mengetahui bahwa dirinya bukan anak kandung Yeliu Cutay, Tiong Sin banyak bertanya tentang ayah dan ibu kandungnya dan juga menanyakan tentang Hek-eng-pang kepada ayah angkatnya.
"Untuk apa engkau bertanya-tanya tentang Hek-eng pang?" tanya Yeliu Cutey curiga.
"Tidak mengapa, Ayah. Bukankah ibu adalah puteri ketua Hek-eng-pang? Maka, Hek-eng-pang adalah perkumpulan keluarga ibu, berarti juga keluargaku pula."
Karena jawaban itu menghapus kecurigaannya, maka dia pun lalu memberitahu bahwa Hek-eng-pang berada di kota Wang-cun, sebelah selatan dari perbatasan kota raja. Setelah Tiong Sin berusia dua puluh tahun, seperti telah diceritakan di depan dia berhasil menguasai semua ilmu silat dari ayah angkatnya. Pada suatu hari dia berlatih ilmu pedang, menggunakan sebatang pedang biasa. Hebat ilmu pedang ini.
Pedangnya lenyap bentuknya dan nampak gulungan sinar terang. Itulah ilmu pedang yang disebut Thay-san Kiam-sut (Ilmu Pedang Thay-san) yang merupakan inti dari kepandaian Yeliu Cutay karena ilmu pedang itu adalah ciptaan mendiang Pek-bi-tojin, guru dari Yeliu Cutay. Ilmu pedang ini bukan hanya indah dilihat, akan tetapi juga lihai sekali dan selain cepat, untuk meminkannya harus dipergunakan sinkang dengan pengerahan yang tepat pada gerakan-gerakan tertentu.
"Sing-singgggg... krekkk!" Tiba-tiba Tiong Sin menghentikan permainan pedangnya, memandang pedang yang patah menjadi dua potong itu. Ketika dia membuat sentakan tiba-tiba dalam suatu jurus yang penuh daya tipu, pedang itu tidak kuat menahan sentakan ini yang dikerahkan dengan tenaga sinkang dan patah menjadi dua.
"Ah, maaf, Suhu...." katanya kepada Yeliu Cutay yang sejak tadi menonton latihan pedang putera angkatnya.
Dia kagum bukan main dan harus mengakui dengan diam-diam bahwa dia sendiri tidak mungkin dapat memainkan Thaysan Kiam-sut seindah itu! Bakat yang dimiliki Tiong Sin amat besar dan tenaga sin-kangnya juga amat kuat sehingga ketika membuat sentakan itu, pedangnya menjadi patah.
"Ah, tenagamu sudah memperoleh kemajuan pesat, Tiong Sin. Memang, ilmu pedang yang hebat harus dimainkan dengan pedang pusaka yang hebat pula. Pedang biasa takkan kuat bertahan....."
"Sayang kita tidak memiliki sebuah pedang pusaka yang hebat, Ayah."
Tiba-tiba Yeliu Cutay tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kau kira ayahmu tidak memiliki sebuah pedang pusaka? Ha, siapa bilang? Aku memiliki sebatang pedang pusaka yang tiada keduanya di dunia ini, Tiong Sin!"
Wajah yang tampan itu berseri dan mata yang mencorong itu mengamati wajah ayahnya. "Aih, benarkah. Mengapa tidak pernah Ayah keluarkan dan pergunakan? Aku belum pernah melihatnya!"
"Pedang pusaka itu amat hebat dan ampuh, anakku, demikian ampuh dan dahsyatnya sehingga amat berbahaya."
"Ayah, bolehkah aku melihatnya?"
"Kau tunggu sebentar!" Yeliu Cutay meninggalkan pemuda itu, mengambil kunci dan membuka pintu gudangnya lalu mengeluarkan Pedang Asmara dalam sarungnya yang nampak berdebu karena sudah terlalu lama tidak pernah disentuh. Dia membersihkan sarung itu, juga gagang pedang dengan kain ketika membawanya ke depan putera angkatnya.
"Kelihatannya seperti pedang biasa saja, Ayah." Kata Tiong Sin memancing.
Yeliu Cutay tersenyum. Setelah sarung pedang dan gagangnya bersih, dia berkata, "Pedang biasa? Bersiaplah engkau, anakku, dan lihat baik-baik!"
"Singgggg.....!" Dia mencabut pedang itu dan nampaklah cahaya berkelebat menyilaukan mata ketika Pedang Asmara tercabut dari sarungnya, apalagi ketika Yeliu Cutay menggerakkan pedang memainkan beberapa jurus, nampak sinar berkeredepan dan angin berdesingan nyaring.
"Aaahhhhh....! Bukan main.....! Pedang pusaka itu hebat sekali, Ayah!" seru Tiong Sin, matanya terbelalak memandang penuh kagum.
Yeliu Cutay menghentikan permainannya dan tertawa, mengelus pedang itu. ”Memang dahsyat sekali pedang ini, tidak bolen dibuat main-main dan berbahaya bekali."
Akan tetapi Tiong Sing tidak melihat bahayanya pedang pusaka yang ampuh, kecuali berbahaya untuk lawan tentu saja. Dan Yeliu Cutay juga tidak ingin membuka rahasia pedang pusaka itu, mengenai pengaruhnya terhadap pemegangnya yang selalu berdekatan dengan pedang yang dapat mempengaruhi batin orang yang membawanya.
"Ayah, bolehkah aku meminjamnya dan mencoba untuk berlatih Thay-san Kiam-sut?"
Yeliu Cutay mengungguk dan menyerahkan pedang itu. Memang maksud nya mengambil pedang pusaka itu untuk diberikan kepada putera angkatnya agar dapat berlatih kiam-sut itu dengan Pedang Asmara. Dengan girang Tiong Sin menerima pedang itu dan mulailah dia berlatih!
Kini Yeliu Cutay berdiri bengong, kagum bukan main. Memang hebat sekali putera angkatnya, juga muridnya itu. Dan pedang pusaka itu ketika dimainkan dengan ilmu Thay-san Kiam-sut, nampak pas benar! Lenyaplah bentuk pedang dan lenyap pula tubuh putera angkatnya, terbungkus gulungan sinar pedang.
Setelah selesai memainkan Thay-san Kiam-sut, Tiong Sin berhenti dan nampak napasnya agak terengah, mukanya penuh peluh. Melihat ini, Yeliu Cutay berkata, "Gerakanmu sudah bagus sekali, Tiong Sin. Namun agaknya masih ada ketidak tepatan dalam mengatur pernapasan sehingga engkau terengah dan juga berpeluh nampak kelelahan. Engkau perlu berlatih lebih banyak, terutama memperhatikan pernapasan dalam setiap gerakan."
Pemuda itu mengangguk. "Baiklah, Ayah. Aku akan berlatih lebih giat dan tekun lagi. Memang Thay-san Kiamsut ini sukar sekali, akan tetapi kalau berlatihnya dengan pedang ini, terasa lebih ringan dan lebih mudah. Bolehkah aku meminjam pusaka ini untuk memperdalam ilmu pedangku, Ayah? Akan kujaga pedang ini baik-baik."
Yeliu Cutay mengangguk. "Boleh engkau pakai untuk berlatih silat. Akan tetapi, hanya untuk berlatih silat saja dan sehabis berlatih, harus dikembalikan ke dalam gudang. Ini kuncinya!" Yeliu Cutay menyerahkan kunci gudang dan sarung pedang kepada putera angkatnya.
Tiong Sin menerimanya dengan gembira bukan main dan berkali-kali menghaturkan terima kasih ketika ayah angkatnya itu mengundurkan diri. Yeliu Cutay tidak tahu sama sekali bahwa Tiong Sin tadi terengah dan berkeringat bukan dengan sewajarnya, melainkan dibuat atau disengajanya.
Pemuda yang amat cerdik ini sudah memperhitungkan bahwa ayah angkatnya atau gurunya akan menyuruh dia berlatih lebih tekun lagi, sehingga dia memperoleh alasan dan kesempatan untuk meminjam pedang pusaka yang telah amat menarik perhatiannya itu. Dia suka sekali kepada pedang itu, demikian enak dipakai bersilat pedang!
Demikianlah, mulai hari itu, setiap hari berlatih silat pedang Thay-san, Tiong Siu mempergunakan Pedang Asmara. Dia sendiri belum sadar pengaruh apa yang dialirkan oleh pedang pusaka itu ke dalam dirinya, dan hanya menganggap bahwa pedang itu memang amat indah, juga ampuh dan baik sekali.
Pada suatu malam, Tiong Sin nampak berlatih silat pedang di dalam kebun, di bawah sinar bulan purnama. Malam itu langit cerah sekali sehingga sinar bulan purnama menjadi penuh dan terang benderang. Karena hawa udara amat sejuk, ketika menjenguk jendela kamarnya melihat betapa udara di luar amat jernih dan indah, Tiong Sin lalu meninggalkan kamarnya, mengambil pedang di gudang dan berlatih silat pedang di kebun, tidak di dalam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) seperti biasanya.
Selagi dia berlatih pedang, telinganya yang terlatih matang itu mendengar ada gerakan di belakangnya. Tiong Sin mengira bahwa gurunya dan juga ayah angkatnya yang datang, akan tetapi ketika dia mengerling, dia melihat pakaian sutera berkembang merah muda. Seorang wanita!
Dia menghentikan latihannya dan membalikkan tubuh, dan terpesona! Tentu saja dia mengenal gadis yang berdiri di depannya itu. Siauw Bwee, gadis berusia lima belas tahun yang menjadi pelayan dan selir ayahnya yang ke tiga. Siauw Bwee seorang gadis yang manis, dengan mulut yang bibirnya merah menggairahkan.
Akan tetapi, biasanya Tiong Sin tidak pernah tertarik kepada gadis ini atau gadis manapun yang menjadi pelayan di rumah ayahnya. Dianggapnya Siauw Bwee ini hanya seorang di antara para pelayan dan tentu saja dia merasa terlalu tinggi untuk memandang pun, apalagi sampai tertarik!
Akan tetapi, sekarang lain lagi! Dia seolah-olah merasa berhadapan dengan seorang bidadari yang baru turun dari sorga! Begitu cantik jelitanya, begitu menariknya, dengan senyum dikulum yang amat manis, dengan tubuh ranum yang menggairahkan. Tiong Sin memandangi bengong, pedang itu masih dipegangnya. Gadis itu tersenyum.
Nampak kilatan giginya sebentar ketika ia tersenyum-senyum yang geli karena tidak biasanya sang kongcu (tuan muda) memandang kepadanya seperti itu! "Kongcu...! Kongcu kenapakah. Apakah lupa kepada saya? Saya Siauw Bwee...!" katanya sambil tertawa kecil dan menutupi mulutnya dengan ujung lengan baju yang panjang.
Tiong Sin menghela napas panjang. "Ah, engkau Siauw Bwee..." katanya seolah-olah tidak percaya bahwa gadis didepannya itu bukan seorang bidadari, melainkan seorang pelayan!
"Kongcu, permainan pedangmu tadi... sungguh luar biasa sekali. Kukira apa yang menderu-deru dan yang nampak hanya gulungan sinar. Kiranya Kongcu sedang berlatih pedang. Hebat, Kongcu... kau nampak gagah dan... dan... hebat.....!"
Tiong Sin merasa betapa tubuhnya gemetar. Dia tidak tahu bahwa ada dua kekuatan luar biasa yang telah memasuki dirinya. Pertama adalah pengaruh aneh dari Pedang Asmara, yang menggugah gairah berahinya begitu dia berdekatan dengan Siauw Bwee. Dan ke dua, pengaruh yang lebih ajaib lagi, adalah pengaruh sinar bulan purnama.
Bulan purnama dengan sinarnya yang lembut memang memiliki daya kekuatan yang amat besar pengaruhnya terhadap diri manusia. Dalam kaitan yang terjadi pada alam sekalipun, bulan mempunyai pengaruh yang amat kuat terhadap lautan, membuat lautan bergelora. Apalagi terhadap manusia, kalau diingat bahwa manusia, badan ini, lebih dari tiga perempat bagian adalah air!
Karena sadar akan pengaruh bulan pada manusia ini, maka para cerdik pandai di jaman dahulu seringkali memperdalam ilmunya di bawah sinar bulan purnama, akan tetapi juga mengingatkan kaum muda agar berhati-hati kalau sedang terang bulan, sinar bulai purnama itu dapat menggelorakan hati sanubari.
Melihat Tiong Sin gemetar dan seperti menggigil, gadis itu merasa heran. Tidak biasanya tuan muda itu bersikap seperti itu. Ia pun melangkah menghampiri, mendekat. "Engkau kenapakah, Kongcu....?" tanyanya lirih.
Dalam pendengaran Tiong Sin, pertanyaan lirih itu lebih merdu dan lebih sedap daripada nyanyian, bahkan seperti rayuan dan dia pun menggerakkan tangan kirinya dan dilain saat, pinggang gadis itu telah dirangkul lengan kirinya dan sekali tarik, tubuh gadis itu telah berada dalam dekapannya!
Dan gadis pelayan itupun seperti terkena pesona, tubuhnya seperti kemasukan aliran yang membuatnya menggigil, tubuhnya panas dingin dan lama sekali dia tidak menolak, bahkan membalas merangkulkan kedua lengannya di leher Tiong Sin!
Kalau nafsu sudah menguasai hati dan pikiran, maka mata seperti buta, telinga seperti tuli, dan tidak ada lain hal yang mempedulikan lagi kecuali menuruti dorongan nafsu yang bagaikan api yang membakar, makin dituruti makin bernyala! Kedua orang muda itu seperti sudah lupa akan kesadaran dan tahu-tahu hubungan itu pun terjadilah, seperti dua ekor binatang saja yang tidak lagi mempedulikan susila atau tidak lagi mengenal susila.
Terjadi begitu saja, di tempat itu juga, di atas rumput di mana tadi Tiong Sin berlatih silat pedang! Dan keduanya melakukannya dengah penuh kepasrahan, pasrah kepada nafsu, tanpa paksaan, bahkan dengan penuh semangat dan gairah. Setelah lewat tengah malam, setelah mereka menuruti dorongan nafsu seolah-olah iblis sendiri yang memasuki tubuh mereka, setelah memuaskan gairah berahi berulang kali, akhirnya mereka khawatir kalau sampai ketahuan dan mereka pun kembali ke dalam kamar masing-masing.
Tidak banyak kata terucapkan di waktu mereka berdua tenggelam dalam laut nafsu itu. dan bulan purnama seperti tersenyum. Pedang Asmara yang masih telanjang dan menggeletak di atas rumput itu nampak semakin terang kilauannya.
Nafsu kesenangan apa pun juga selalu mengandung racun yang memabukkan membuat orang mencandu. Demikian pula dengan Tiong Sin dan Siauw Bwee. Begitu mereka minum anggur nafsu berahi di malam bulan purnama itu, mereka menjadi mabuk dan mereka mencandu. Pertemuan demi pertemuan mereka lakukan di malam hari, di mana saja ada kesempatan, dan mereka pun menenggelamkan diri di dalam lautan nafsu berahi.
Sampai terjadilah pada suatu malam ketika dua orang muda ini sedang bergelut di atas rumput tebal di dalam kebun, tiba-tiba saja muncul Yeliu Cutay. Tentu saja Tiong Sin menjadi terkejut setengah mati ketika tiba-tiba ada suara ayahnya.
"Tiong Sin! A Bwee! Apa yang kalian lakukan ini?"
"Ayah.....! Ayah, maafkan aku.....!" Tiong Sin sudah berlutut biarpun masih dalam keadaan telanjang bulat!
Siauw Bwee menangis lirih sambil menutupi tubuhnya yang telanjang dan mukanya dengan pakaiannya.
"Hemmm.... sungguh kalian tak tahu malu!" Yeliu Cutay berseru, lirih pula agar jangan terdengar orang lain di dalam rumah besar. "Hayo kalian cepat berpakaian yang rapi!" Dia lalu membalikkan tubuhnya, berdiri membelakangi mereka. Dua orang muda itu cepat menyambar pakaian mereka dan mengenakan pakaian dengan gugup sehingga beberapa kali sampai terbalik balik.
"Ayah, aku.... aku bersalah....." Tiong Sin berkata dan ketika Yeliu Cutay membalikkan tubuhnya lagi, putera angkatnya itu telah berlutut dan telah mengenakan pakaian. Siauw Bwee juga berlutut di sebelah pemuda itu.
"A Bwee, kau pergilah ke kamarmu!" kata Yeliu Cutay marah.
Gadis pelayan itu pergi sambil menundukkan mukanya, menahan tangisnya. Ia takut sekali, membayangkan bahwa ia tentu akan mendapat hukuman dan bahkan mungkin akan diusir pergi dari tempat itu. Setelah gadis itu pergi menyelinap ke dalam rumah melalui pintu belakang, Yeliu Cutay berkata kepada muridnya atau putera angkatnya yang berlutut.
"Tiong Sin, hayo jawab terus terang. Sudah berapa kali engkau melakukan ini dengan A Bwee?"
"Sudah kurang lebih satu bulan, Ayah."
"Hemmm, dan dengan wanita lain?"
"Sungguh mati, belum pernah Ayah. Hanya dengan Siauw Bwee ini....."
"Ceritakan bagaimana sampai dapat terjadi hal memalukan ini. Apakah engkau jatuh cinta kepada gadis pelayan itu?"
"Tidak, Ayah."
Yeliu Cutay mengerutkan alisnya. "Engkau tidak mencinta akan tetapi melakukan perjinaan dengannya?" Dia menarik napas panjang. "Coba ceritakan bagaimana bisa terjadi hal ini."
"Maaf, Ayah. Mula-mula ketika aku berlatih silat pedang di malam terang bulan, di kebun ini, tiba-tiba Siauw Bwee muncul dan.... dan.... agaknya iblis menguasai batin kami berdua dan.... hal itu terjadi begitu saja tanpa aku dapat mencegahnya seolah-olah seluruh kesadaranku telah lenyap. Setelah itu.... kami.... hampir setiap malam melakukannya disini...." Tiong Sin menundukkan mukanya.
Tentu saja Yeliu Cutay maklum apa yang terjadi dan dia menarik napas panjang. "Engkau selalu membawa pedang pusaka itu ke sini?"
"Benar, Ayah. Memang aku selalu berlatih pedang di sini, dan..... Siauw Bwee datang menonton."
Yeliu Cutay merasa amat menyesal, juga marah. 'Tiong Sin, sungguh tak kusangka engkau akan melakukan hal yang amat memalukan dan rendah ini! Engkau telah menghancurkan rasa bangga dalam hatiku terhadap dirimu hanya dengan sekali perbuatan saja! Bukankah sudah seringkali aku menanamkan dalam batinmu bahwa kita harus selalu waspada terhadap tindakan diri sendiri?
"Bukankah engkau sudah tahu bahwa mengumbar nafsu berahi akan melemahkan diri dan dapat menyeretmu ke dalam tindakan yang menyeleweng? Lihat apa yang telah kau lakukan! Engkau berjina dengan seorang pelayan kita sendiri! Akan rusak nama keluarga kita kalau orang-orang mendengarnya. Tahukah engkau?"
Dengan kepala menunduk Hong Sin mengangguk. "Aku mengerti, Ayah dan mohon maaf....."
"Enak saja minta maaf kalau pelanggaran itu telah kau lakukan! Berikan pedang itu! Mulai sekarang, engkau tidak boleh keluar dari dalam rumah dan kalau berlatih silat, di lian-bu-thian saja! Ingat, keluar dari rumah berarti engkau melanggar laranganku!"
Tiong Sin menyerahkan Pedang Asmara. Yeliu Cutay menerimanya dan juga minta kembalinya kunci gudang, lalu meninggalkan putera angkatnya yang masih berlutut di situ. Setelah ayah angkatnya pergi, dia masih berlutut; kemudian dia bersila dan termenung. Dia tahu bahwa ayah angkatnya marah kepadanya, marah sekali.
Dia sama sekali tidak menduga bahwa kemarahan ayah angkatnya itu sebetulnya sudah mereda oleh pengertian bahwa Pedang Asmara lah yang menyebabkan terjadinya pelanggaran itu, dan bahwa ayah angkatnya melarang dia keluar hanya untuk sekedar memberi peringatan dan mencegah agar peristiwa itu tidak terdengar orang luar.
"Hemmm, dia berlaku tidak adil," Tiong Sin mengomel di dalam hati. "Apa salahnya kalau aku menyukai seorang pelayan? Siauw Bwee juga seorang wanita dan aku seorang pria, apa salahnya kalau kita saling mencinta? Dia sendiri mempunyai empat orang selir! Beginilah kalau menerima budi orang. Kalau aku anaknya sendiri, tentu tidak akan dimarahi bahkan Siauw Bwee akan diberikan kepadaku untuk menjadi pelayan pribadiku."
Sampai beberapa hari lamanya, Tiong Sin mengeram diri di dalam kamarnya, dan pada hari ke lima Yeliu Cutay mendengar dari para pelayan bahwa putera angkatnya itu tidak ada di dalam kamarnya! Pemuda itu telah pergi tanpa pamit. Yeliu Cutay cepat memeriksa kamar pemuda itu. Semua pakaian dibawanya. Dia memeriksa gudang di belakang. Pedang Asmara telah lenyap!
"Kurang ajar!" Yeliu Cutay mengepal tinju. Tahulah dia bahwa putera angkatnya itu telah minggat. Cepat dia pun melakukan pengejaran sambil membawa sebatang pedang yang biarpun tidak seampuh Pedang Asmara, namun merupakan sebuah pedang pusaka yang cukup baik pemberian raja sebagai hadiah kepadanya.
Yeliu Cutay yang memiliki banyak pengalaman itu dalam waktu dua hari saja sudah berhasil menyusul dan menemukan Tiong Sin. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda itu ketika dia sedang menjalankan kudanya perlahan-lahan di jalan yang sunyi itu, ayah angkatnya muncul menunggang kuda, mendahuluinya, lalu memutar kuda dan mereka kini berhadapan.
Melihat ayah angkatnya, wajah Tiong Sin menjadi pucat dan dia pun cepat turun dari atas kudanya, dan memberi hormat. Yeliu Cutay juga melompat turun dari atas kudanya, wajahnya kemerahan dan sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan. Dia sebetulnya tidak begitu marah tentang peristiwa pemuda itu dengan Siauw Bwee, akan tetapi kepergian pemuda itu tanpa pamit benar-benar membuat dia marah sekali.
"Manusia tidak mengenal budi!" bentaknya sambil menuding muka pemuda itu dengan telunjuknya. "Engkau minggat begitu saja dari rumah tanpa pamit dan mencuri pula pedang pusakaku! Seekor anjing pun takkan merugikan orang yang memeliharanya, akan tetapi engkau, seorang manusia telah membalas budi kebaikan orang dengan kepalsuan dan kejahatan!"
Wajah pemuda tampan itu yang tadinya pucat, kini berubah merah. Di dalam hatinya, dia memang sudah merasa penasaran kepada ayah angkatnya itu yang dianggapnya kejam dan sewenang-wenang. Kini, ayah angkatnya itu mengejarnya dan memaki-makinya, bahkan membandingkannya dengan seekor anjing yang lebih baik daripada dia!
Segala macam perasaan penasaran yang selama ini terpendam di hatinya kini tersalurkan keluar dan dia pun berdiri dan menegakkan kepalanya, memandang kepada ayah angkatnya itu dengan sinar mata bernyala berani. "Ayah bicara tentang hutang budi? Siapa yang berhutang budi? Aku tidak pernah merasa berhutang budi kepadamu!"
Yeliu Cutay terbelalak, alisnya berkerut dan kemarahannya seperti api disiram minyak bakar! "Keparat! Berani engkau bicara seperti itu? Sejak bayi engkau kupungut, kupelihara, kemudian aku menjadi ayah angkatmu, juga gurumu yang mendidikmu dengan segala macam ilmu yang kumiliki, dan engkau bilang bahwa engkau tidak berhutang budi kepadaku?"
Dalam kemarahannya, Yeliu Cutay juga merasa heran bagaimana pemuda yang rasanya sopan dan hormat kepadanya itu kini menjadi seperti itu sikapnya, mengingkari budi yang sudah dilimpahkannya seluas lautan!
"Hemmm, aku tahu akan semua itu, sudah terlampau sering kau ceritakan itu, Ayah. Akan tetapi, coba Ayah ingat baik-baik. Ketika aku terlahir sebagai seorang bayi, ditinggal mati ibu dan ayah kemudian aku dibawa olehmu, siapakan yang minta hal itu dilakukan? Apakah aku pernah minta agar Ayah memeliharaku? Sama sekali tidak! Kemudian, Ayah mengaku aku sebagai anak angkat, apakah itu kehendakku pula? Juga tidak!
"Dan Ayah mengajarkan ilmuilmu kepadaku, sebagai seorang guru. Apukah aku pernah minta menjadi muridmu? Juga tidak sama sekali! Nah, semua adalah kehendak Ayah sendiri, dan aku hanya menurut saja! Dan sekarang Ayah bicara tentang budi!
"Siapa yang berhutang budi? Aku tidak pernah minta, tidak pernah merasa hutang. Kalau semua perbuatan Ayah terhadap diriku dulu itu dianggap sebagai menghutangkan dan dulu diberitahukan kepadaku, tentu aku tidak akan sudi menerimanya!"
Terbelalak sepasang mata Yeliu Cutay. Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa di balik semua sikap sopan santun dan hormat dari Tiong Sin, terdapat perasaan seperti itu! Apakah artinya semua jerih payahnya selama ini? Hanya akan ditentang dan dilawan oleh pemuda ini, bahkan dihina!
"Keparat, berani engkau bicara seperti itu? Setelah segala yang kulakukan untukmu selama dua puluh tahun ini! Ya Tuhan, akan bagaimana jadinya dengan dirimu?"
"Mengenai diriku, mulai saat ini harap Ayah tidak perlu memusingkannya lagi lan tidak perlu mencampuri lagi. Aku sudah cukup dewasa dan aku dapat hidup sendiri tanpa bantuan dan bimbingan Ayah lagi!"
Yeliu Cutay mengangguk-angguk. "Bagus! Bagus! Kalau begitu, sekarang kembalikan pedang pusakaku. Pedang Asmara itu adalah pedangku. Yang lain-lain boleh kaubawa, akan tetapi pedang itu harus kau kembalikan kepadaku!"
Tiong Sin tersenyum, bukan senyum ramah dan hormat, melainkan senyum sinis. "Pedang Asmara? Ah, namanya Pedang Asmara? Bagus sekali, memang cocok untukku. Ayah, pedang ini cocok untukku, maka akan kubawa pergi, aku membutuhkannya untuk membela diri."
”Tidak! Itu adalah pedang pusakaku., Kembalikan!"
"Menyesal sekali takkan kukembalikan!"
”Apakah kau ingin aku menggunakan kekerasan dan merampasnya dari tanganmu?"
"Hemmm, boleh Ayah coba kalau bisa!"
Kembali mata Yeliu Cutay terbelalak! Betapa beraninya anak ini! Kemarahannya sampai lenyap saking herannya dan sejenak dia hanya memandang dengan mata terbelalak! Kiranya, domba yang selama puluhan tahun ini dia belai, dia sayangi, dia pelihara, sesungguhnya adalah seekor harimau yang mengenakan bulu domba dan baru sekarang menanggalkan bulu domba itu, memperlihatkan watak dan sifat aselinya!
"Sudahlah, Ayah. Relakan aku pergi membawa Pedang Asmara, Jangan memaksaku harus melawanmu!"
"Jahanam!" Yeliu Cutay sudah mencabut pedangnya dan menyerang. Namun, Tiong Sin yang sudah siap. siaga itu pun mencabut Pedang Asmara dan mereka pun saling serang dengan dahsyatnya. Sudah biasa mereka saling serang seperti ini, akan tetapi itu hanya terjadi dalam latihan silat. Sekarang, mereka bukan berlatih, melainkan berkelahi dengan sungguh-sungguh, keduanya berpedang dan memainkan Thay-san Kiam-sut dengan dahsyatnya, berusaha merobohkan lawan!
Tidak ada lagi hubungan antara ayah angkat dan anak, atau antara guru dan murid, mereka seperti dua orang lawan yang berusaha keras untuk saling membunuh dan saling serang dengan sungguh-sungguh! Bukan main serunya perkelahian antara kedua orang ini. Tentu saja kedua pihak sudah mengenal baik semua jurus yang mereka pergunakan untuk menyerang sehingga mampu membela diri dengan baik.
Kalau kedua pihak sudah sama mahirnya, maka yang diadu hanyalah kematangan, keuletan, tenaga dan ketahanan, juga kekuatan napas. Dan dalam hal ini, mereka seimbang juga. Yeli Cutay menang pengalaman, lebih matang dan lebih ulet. Sebaliknya Tiong Sin menang tenaga, ketahanan dan lebih panjang napasnya. Yeliu Cutay sudah mulai lelah dan lehernya mulai berkeringat ketika mereka sudah bertanding selama seratus jurus lebih.
Tiba-tiba dia yang tahu bahwa kalau dilanjutkan, dia akan kehabisan tenaga dan mungkin akan roboh oleh putera angkatnya sendiri, menggunakan gerakan yang mengejutkan karena secara tiba-tiba dia mengubah serangan dan pedangnya menusuk dari bawah ke arah perut pemuda itu! Serangan ini dibarengi teriakan melengking yang mengejutkan hati Tiong Sin. Pemuda ini terkejut bukan main, cepat dia meloncat ke samping, namun pedang ayah angkatnya mengejar terus.
"Brettt! Tranggg.....!" Celana Tiong Sin robek tertusuk, dan sedikit kulit dan daging pahanya ikut robek. Darah mengucur, akan tetapi ketika dia menangkis dengan pengerahan tenaga, kedua pedang bertemu dan pedang di tangan Yeliu Cutay mengalami kerusakan, patah dua tiga senti meter di bagian ujungnya! Yeliu Cutay menarik pedangnya dan meloncat ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Tiong Sin untuk meloncat ke atas punggung kudanya.
"Biarlah aku membiarkan engkau hidup untuk membayar semua kebaikan yang pernah kau lakukan untukku." Kata pemuda itu dari atas punggung kudanya.
Yeliu Cutay marah sekali, akan tetapi patahnya ujung pedang itu saja sudah membuktikan bahwa dia tidak akan menang melawan anak angkatnya itu karena pemuda itu memegang Pedang Asmara. Andaikata tidak demikian, andaikata dia yang memegang Pedang Asmara, dengan kematangan ilmunya, kiranya dia yang akan menang. Maka dia pun tidak ingin mengejar pemuda itu, melainkan berseru dengan suara yang penuh kemarahan dan kebencian.
"Jahanam busuk, mulai saat ini tiada lagi hubungan di antara kita. Engkau bukan muridku, bukan pula anak angkatku dan aku melarang engkau mempergunakan nama keturunan keluarga Yeliu!"
Wajah yang tampan itu tertawa mengejek. "Ha-ha-ha, Yeliu Cutay. Mulai sekarang aku telah menjadi orang bebas dan tanpa kau larang sekalipun, aku juga tidak sudi memakai nama keturunan Yeliu. Ayahku she Bu, maka namaku sekarang Bu Tiong Sin." Setelah berkata demikian, sambil tertawa Tiong Sin memutar kudanya dan membalapkan kuda itu meninggalkan orang yang selama ini dianggapnya sebagai orang tua dan juga gurunya.
Yeliu Cutay berdiri bengong, memandang ke arah bayangan pemuda itu yang pergi meninggalkan gema suara ketawanya dan tak dapat ditahankannya lagi beberapa butir air mata menetes turun ke atas pipi Yeliu Cutay yang agak pucat. Dia merasa seolah-olah kematian seorang murid atau bahkan seorang anak yang tadinya amat disayang dan dibanggakannya! Dan dia merasa berduka sekali. Dua puluh tahun dia memelihara, mendidik dan menyayangi Tiong Sin, dan hari ini dia menerima penghinaan sebagai balasannya!
Cinta atau kasih sayang yang berpamrih sesungguhnya bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu. Seperti juga semua untuk nafsu, yang diraihnya hanyalah kesenangan untuk diri pribadi. Kalau kita mencinta seseorang baik orang itu kekasih atau anak, akan tetapi kita menghendaki agar yang kita cintai itu membalas cinta kita dengan cinta kasih pula, dengan kepatuhan, kebaktian atau apa saja yang akan menyenangkan kita, maka cinta kita itu hanyalah nafsu belaka.
Kalau tercapai jangkauan atau pamrih kita, maka kita akan merasa. puas, dan sebaliknya kalau tidak tercapai, kita akan merasa berduka dan kecewa. Dan cinta kasih kita akan berubah menjadi kebencian!. Nafsu hanya akan mendatangkan duka dan sengsara bagi batin kita sendiri.
Kalau Yeliu Cutay kini mengalirkan air mata, bukan karena dia menyedihi Tiong Sin, melainkan menyedihi kepergiannya, menyedihi kehilangannya, dan yang ditangisinya itu bukanlah Tiong Sin melainkan dirinya sendiri yang merasa kehilangan, yang merasa dikecewakan.
Kasih sayang kepada seseorang seperti itu, sesungguhnya bukanlan cinta kasih yang sejati, karena orang yang katanya dicinta itu hanyalah dijadikan alat dan sarana untuk mencapai kesenangan diri pribadi. Cinta kasih seperti itu tiada bedanya dengan "cinta" kita kepada binatang peliharaan atau benda berharga yang lain.
Bisa bosan, dan rasa "cinta" itu bisa sewaktu-waktu berubah benci kalau binatang peliharaan atau benda berharga itu tidak menyenangkan hatinya lagi. Cinta seperti itu melekat, mengikat dan hanya sengsara yang akan menjadi akibatnya. Selamanya dia atau apa saja masih mendatangkan kesenangan atau keuntungan pribadi lahir batin, maka kita mencintanya!
Kalau tidak lagi menjadi sumber kesenangan dan keuntungan, maka cinta kita pun berakhir. Kenyataan ini dapat kita lihat dengan menjenguk keadaan batin kita sendiri dalam apa yang kita anggap cinta kasih kepada mereka yang kita cinta. Kita mencinta apa yang menyenangkan kita saja. Kita menolak, bahkan seringkali kita membenci apa yang tidak menyenangkan kita.
Di dalam hati Yeliu Cutay kini timbul kebencian kepada pemuda yang pernah disayangnya itu. Keadaan seperti yang dialami Yeliu Cutay ini kiranya pernah atau akan dialami juga oleh kita. Keadaan batin yang berubah sepenuhnya, dari rasa sayang menjadi rasa benci. Sebabnya perubahan ini jelas nampak. Karena orang yang disayangnya itu telahmengecewakan hatinya, telah mengubah kesenangan atau keuntungan batin yang ada menjadi kerugian dan kekecewaan.
Jelaslah bahwa senang dan susah merupakan kakak beradik kembar yang tak terpisahkan. Di mana ada senang di situ ada susah. Seseorang yang sama, sebuah benda yang sama, bahkan suatu persoalan yang sama, bisa saja mendatangkan senang, bisa juga mendatangkan susah.
Senang susah hanyalah permainan pikiran menurut pertimbangan si aku, kalau diuntungkan senang, kalau dirugikan susah! Bahkan turunnya air hujan pun bisa menjadi sebab senang atau susah, tergantung dari segi mana kita melihatnya. Kalau merasa diuntungkan oleh sang hujan maka senanglah hati dan hujan dipuji puji. Kalau merasa dirugikan oleh sang hujan, maka susahlah hati dan hujan dimaki-maki.
Yeliu Cutay dapat menduga bahwa pemuda itu kelak tentu akan celaka oleh ulahnya sendiri, akan tetapi dia tidak menyesal, bahkan diam-diam ada harapan seperti itu di dalam hatinya. Tentu saja hal ini timbul karena kemarahan, benci dan dendam.
Kita tinggalkan dulu Yeliu Cutay yang berduka, dan tinggalkan pula Tiong Sin yang kini bagaikan seekor burung terbang bebas di udara, bukan burung merpati yang jinak dan lembut, melainkan seekor burung elang yang amat berbahaya karena selain memiliki ilmu silat yang tinggi, pemuda itu juga memiliki Pedang Asmara, dan berbahayanya, dia memiliki batin yang rapuh! Kita menjenguk kehidupan manusia lain yang hidup di sebuah dusun kecil di kaki Pegunungan Thian-san dan kita mundur dulu kurang lebih lima tahun.
Pemuda itu berusia kurang lebih lima belas tahun, akan tetapi kalau melihat tubuhnya dari belakang, orang akan mengira bahwa dia sudah dewasa. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat. Akan tetapi kalau melihat wajahnya, baru orang tahu bahwa dia masih remaja, bahkan wajah itu agak kekanak-kanakan, dengan mata yang lebar dan membayangkan kepolosan dan kejujuran yang mengarah kepada kebodohan!
Mukanya tak dapat dibilang terlalu tampan, namun penuh kejantanan dan keterbukaan yang membuat orang merasa tertarik dan suka. Kaki tangannya berotot dan kokoh, juga tubuhnya yang besar itu penuh otot yang kuat, dengan dada yang bidang, pinggang ramping dan kalau berdiri seperti batu karang kokoh kuat, tegak lurus, kalau berjalan seperti seekor harimau. Kulitnya agak gelap, sebagai akibat jemuran matahari yang selalu menimpa dirinya karena dia setiap hari bekerja di tempat terbuka.
Dia melangkah dengan tegap namun santai, memasuki hutan di lereng Pegunungan Thian-san dan terdengar dia bersenandung dengan suaranya yang besar namun cukup merdu. Lagu rakyat yang sederhana. Di dalam suaranya terkandung kegembiraan, juga wajahnya berseri dan dia nampak berbahagia sekali.
Memang dia seorang pemuda berbahagia walaupun pakaiannya sederhana, dari kain kasar dan tidak baru lagi. Pemuda remaja ini bernama Kwee San Hong, berusia hampir enam belas tahun. Kwee San Hong ini putera tunggal seorang petani bernama Kwee Cun yang hidupsederhana sebagai petani di dusun Po-lim-cun di kaki Pegunungan Thian-san.
Hidup sebagai petani dan tentu saja sejak kecil San Hong juga bekerja di sawah ladang, mencari kayu bakar, memikul air, menggembala ternak dan kadang-kadang juga berburu binatang di hutan-hutan di lereng Thian-san.
Semua pekerjaan berat inilah yang membuat tubuhnya menjadi kokoh kuat. Bukan itu saja, melainkan karena cara hidup yang bersih, hawa udara di pegunungan yang sejuk dan jernih, jauh dari debu dan kotoran, kehidupan sederhana sehingga nafsu-nafsu tidak merajalela.
Di samping semua ini, juga San Hong mempunyai bakat dan pembawaan sejak lahir sehingga dia dalam usia kurang dari enam belas tahun telah memiliki tenaga yang amat kuat, sekuat tenaga tiga orang laki-laki dewasa! Di dusun Po lim-cun, San Hong sudah terkenal sekali sebagai seorang pemuda yang bertenaga gajah, berwatak jujur, polos dan terbuka, dan dianggap agak bodoh oleh kawan-kawannya karena pemuda yang memiliki tenaga sekuat itu, selalu mengalah dan sama sekali bukan "jagoan".
Dia tidak pernah berkelahi, dan selalu mengalah, melakukan pekerjaan yang paling berat. Akan tetapi, pernah setahun yang lalu, dalam usianya yang baru lima belas tahun, dia selagi berburu, melihat seorang kawannya diterkam harimau.
Tanpa ragu-ragu dan dengan keberanian luar biasa, San Hong menangkap ekor harimau itu, mengangkatnya ke atas dan membanting binatang itu ke atas batu sehingga kepalanya pecah, harimau itu tewas seketika! Karena kekuatan dan kegagahannya, biarpun San Hong tidak mau berkelahi dan selalu mengalah, namun tidak ada orang berari mengusiknya!
Pada pagi hari yang cerah itu, San Hong berjalan seorang diri mendaki lereng Pegunungan Thian-san. Dia hendak berburu binatang karena persediaan daging kering di rumah orang tuanya telah menipis. Kalau dia beruntung mendapatkan binatang yang besar seperti kijang dagingnya akan mereka masak di rumah dan kelebihan daging itu akan dibuat daging asin dan kering. Akan tetapi kadang-kadang dia hanya mendapatkan beberapa ekor kelinci saja.
Perlengkapannya berburu hanyalah sebuah gendewa dan beberapa belas batang anak panah yang sederhana sekali, buatan sendiri, digantungkan di punggung, dan sebatang tombak di tangannya. Jarang ada orang berani melakukan perburuan seorang diri saja. Biasanya, para pemuda di kaki Pegunungan Thian-san yang suka berburu, dulu berkelompok, sedikitnya lima orang.
Berburu seorang diri amat berbahaya, karena di dalam hutan-hutan yang masih liar di pegunungan itu terdapat pula binatang-binatang buas seperti harimau, biruaug dan lain-lain. Namun, San Hong lebih suka berburu seorang diri dan dia sama sekali tidak pernah merasa takut. Biarpun San Hong seorang dusun dan tidak bersekolah, namun Kwee Cun, ayahnya, tidak buta huruf.
Ayah ini mengajarkan ilmu membaca dan menulis kepada putera tunggalnya sehingga Kwee San Hong juga tidak menjadi seorang yang buta huruf. Hal ini saja sudah merupakan suatu "kelebihan" bagi para pemuda dusun itu yang rata-rata buta huruf.
Selagi San Hong berjalan memasuki hutan sambil bernyanyi gembira, melihat seorang kakek berjalan di depan, Kakek itu memanggul sebuah buntalan kain di pundak kanan, sedangkan tangan kirinya masih menjinjing sebuah buntalan lain. Kedua buntalan itu besar dan jauh lebih besar daripada tubuh kakek yang kecil pendek itu, dan nampaknya berat sekali.
San Hong adalah seorang yang selalu suka membantu orang lain. Melihat se orang kakek kecil kurus membawa sebuah buntalan yang amat besar itu, merasa kasihan sekali. Agaknya tak lama lagi kakek itu tentu akan roboh tertindih dua buah barang yang dibawanya, pikirnya. Maka dia menghentikan nyanyiannya dan mengejar dengan langkah lebar. Akan tetapi, dia harus berjalan setengah berlari barulah dia akhirnya dapat menyusul kakek kecil kurus yang larinya amat cepat walaupun dibebani dua buntalan besar yang nampaknya berat itu.
Kakek itu berhenti ketika ada seorang pemuda tinggi besar mendahuluinya dan berdiri di depannya. Dan San Hong juga memperhatikan wajah kakek itu. Seorang kakek yang tua renta, mungkin tujuh puluh tahun usianya, badannya nampak ringkih, kulit membungkus tulang, mukanya keriputan dan rambutnya jarang dan putih, namun matanya seperti mata kanak-kanak!
"Eh-eh, tidak malukah engkau orang muda? Semuda ini, dengan tubuh masih kuat untuk bekerja, hendak merampok orang tua bangka seperti aku ini?"
Orang lain tentu akan marah. Mengejar untuk membantu malah disangka hendak merampok! Akan tetapi San Hong tidak mudah marah. Dia mengenal kebodohan sendiri dan dia menganggap bahwa kakek kecil ini juga bukan orang pintar, maka dapat salah duga. Dia memaafkan kesalahan orang bodoh seperti memaafkan kebodohannya sendiri dan cepat dia menjura. Ayahnya selalu mengajarkan bahwa seorang muda harus bersikap hormat kepada orang tua, tidak peduli orang tua itu dari golongan apa, kaya atau miskin, pria atau wanita.
"Maafkan aku, Kek. Sesungguhnya, aku mengejarmu bukan dengan niat merampok, melainkan aku kasihan melihat engkau yang tua dan ringkih ini harus membawa beban yang begini banyak dan berat. Aku ingin membantumu, Kek."
Mata yang bening itu memandang penuh selidik. "Hemmm, engkau hendak menipuku, ya? Kau pura-pura membantuku, membawakan barang ini, dan kalau sudah kuberikan dan kaupanggul, lalu engkau melarikannya. Bukankah begitu? Tak tahu malu! Menipu dan membohongi seorang tua seperti aku!"
San Hong masih bersikap tenang dan sabar. "Apakah semua orang yang sudah sangat tua begini penuh prasangka buruk terhadap orang lain, Kek? Aku bersungguh-sungguh, kasihan dan ingin membantumu, malah kau sangka yang tidak-tidak. Kalau engkau tidak mau dibantu, akupun tidak memaksamu. Akan tetapi harap jangan menuduh aku hendak melarikan barangmu."
Sikap kakek itu kini berubah. "Hemm, jadi engkau benar-benar hendak membantu aku membawa barang ini? Kau tahu? Aku hendak naik ke puncak bukit yang sebelah kiri. Amat jauh perjalan itu, dan membawa barang ini amat berat. Engkau mau membantuku membawakannya sampai ke sana?"
San Hong terkejut. Mendaki puncak itu bukan pekerjaan ringan, apalagi kalau membawa beban berat. Akan tetapi, dia sudah terlanjur menawarkan bantuan dan kalau dia mundur, tentu akan menimbulkan pula dugaan yang buruk-buruk. Lebih lagi, kalau dia membiarkan kakek ini membawa dua buntalan berat itu mendaki puncak, tentu kakek itu akan roboh dan tewas jauh sebelum mencapai puncak. "Baiklah, Kek, akan kubantu engkau membawa barangmu itu sampai ke puncak sana."
Tiba-tiba kakek itu tertawa, suara ketawanya terkekeh kekeh sehingga San Hong memandang dengan alis berkerut karena jelas kakek itu mentertawakan dia. "Apakah yang kau tertawakan itu Kek?"
"Tentu saja mentertawakan engkau, Tolol! Apakah engkau kuat membawa buntalan ini ke puncak sana? Kukira, baru memanggulnya saja sudah tidak kuat kau!"
Sekali ini, San Hong menjadi penasaran. "Kek, engkaulah yang bicara terlalu keras dan besar. Engkau saja menanggul dua buntalan ini kuat, apa lagi aku! Nah, berikan padaku yang lebih besar itu, akan kupauggul dan kubantu engkau membawanya ke puncak sana."
"Bagus. Yang lebih besar ini yang ringan. Nah, kau terimalah dari pundakku!" kata kakek itu.
Diam-diam San Hong mendongkol juga. Tentu saja yang lebih besar itu lebih berat, pikirnya. Dia pun merendahkan dirinya agar kakek itu dapat menurunkan dan memindahkan buntalan yang lebih besar di pundaknya itu ke atas pundaknya sendiri.
"Nah, terimalah buntalan ini, hati-hati, ya? Kerahkan seluruh tenagamu!" kata kakek itu.
Diam-diam San Hong merasa geli hatinya. Masa dia harus mengerahkan seluruh tenaganya? Biarpun buntalan itu kelihatan besar dan berat, namun kalau kakek itu mampu memanggulnya, tentu hanya ringan saja baginya, teramat ringan. Akan tetapi begitu buntalan itu menimpa pundaknya, semua perasaan geli tadi lenyap, matanya terbelalak, mukanya menjadi merah dan dia benar-benar harus mengerahkan seluruh tenaganya kalau tidak ingin roboh tergencet! Buntalan itu benar-benar amat berat!
Orang biasa yang bertenaga besar pun belum tentu sanggup memanggulnya. Kedua kakinya sampai tergetar saking beratnya muatan itu! Dan kakek tadi mampu memanggulnya, bukan hanya mampu, bahkan tangan kirinya masih menjinjing sebuah buntalan lain dan dengan dua beban itu kakek ini malah tadi mampu berjalan amat cepatnya!
Kakek kecil itu sendiri nampak terheran dan kagum melihat San Hong mampu memanggul buntalan itu dan wajahnya berseri gembira. "Wah, engkau ternyata memiliki tenaga yang kuat, orang muda!"
"Jalanlah, Kek, aku akan membantumu membawa buntalan ini sampai ke puncak....." kata San Hong dan cepat dia berhenti bicara karena begitu bicara, tenaganya berkurang dan dia agak terengah.
Kakek itu lalu mengangguk-angguk, berjalan mendaki gunung itu. San Hong terpaksa mengikutinya dan dia memang bertenaga gajah. Biarpun terasa berat, dia mampu berjalan dengan cukup cepat, dan daya tahannya juga kuat. Untuk nenunjukkan kepada kakek ttu bahwa dia tidak berkeberatan membantunya, dia berkata sambil menahan napas.
"Biarlah yang sebuah itu pun kubawakan juga, Kek!"
Kakek itu berhenti dan tertawa. Suara ketawanya tinggi dan terkekeh. "Heh-heh-heh, agaknya karena terlalu berat, engkau ingin membawa buntalan yang lebih kecil ini? Nah, kalau begitu mari kita tukar saja buntalan ini, engkau membawa kecil, aku membawa yang besar."
"Bukan begitu maksudku, Kek....." San Hong membantah, akan tetapi tiba-tiba kakek itu mengulur tangannya dan buntalan di atas pundak San Hong itu telah diambilnya. San Hong terkejut dan tentu saja merasa heran bukan main bagaimana kakek itu demikian mudahnya mengambil buntalan seberat itu dari pundaknya dan ketika dia memandang, ternyata buntalan besar itu telah pindah ke atas pundak kakek kecil itu.
"Nah, terimalah buntalan ini!" kata kakek itu menyerahkan buntalan yang lebih kecil.
San Hong menerimanya akan tetapi betapa kaget rasa hatinya ketika dia merasakan beratnya buntalan yang lebih kecil itu. Lebih berat daripada buntalan yang lebih besar! Tentu saja mukanya berubah kemerahan. Tadi dia minta buntalan itu agar dia bawa pula. Padahal membawa buntalan kecil ini saja dia sudah setengah mati mempertahankan diri dan mengerahkan seluruh tenaga.
Kalau membawa dua buntalan itu, jelas dia tidak kuat! Dan kakek itu mampu, membawa keduanya dan masih berjalan cepat pula! Manusia ataukah setankah kakek ini? Tubuhnya begitu kurus kecil usianya tua renta, akan tetapi bagaimana mungkin memiliki tenaga yang demikian kuatnya?
"Heh-heh-heh, engkau memang kuat." kata pula kakek itu. "Apakah engkau masih nekat hendak membantuku membawa buntalan itu ke puncak?"
San Hong mengangguk dan melangkah maju, biarpun tertatih-tatih. "Tentu saja, Kek!" katanya.
Kakek itu kini memandang kagum dan wajahnya berseri. Dia juga melangkah maju dan membiarkan pemuda tinggi besar itu kepayahan membawa barangnya sampai puluhan langkah. Kemudian, tiba-tiba dia mengulur tangan dan buntalan itu pun sudah diambilnya dari pundak San Hong.
Tentu saja pemuda ini terkejut dan ketika dia membalik, kakek itu sudah tersenyum kepadanya, buntalan besar di atas pundak kanan dan buntalan yang lebih kecil dijinjing tangan kirinya seperti tadi. Betapa kuatnya! Dia pun tahu bahwa kakek ini mungkin seorang sakti seperti pernah diceritakan ayahnya tentang adanya orang-orang sakti berilmu tinggi di dunia ini. Maka dia pun lalu menjura dan mengangkat kedua tangan ke dada memberi hormat.
Kakek kecil itu terbelalak, dan memandang wajah yang jujur dan polos itu dengan penuh kagum. Dia bukanlah orang biasa, melainkan seorang di antara Thian-san Ngosian (Lima Dewa dari Gunung Thian-san), yaitu lima orang tokoh besar di dunia persilatan. Sebagai seorang tokoh besar sudah banyak Thay Lek Siansi demikian julukan kakek kecil itu, menemui banyak macam orang, akan tetapi belum pernah dia menjumpai seorang pemuda dengan watak seperti pemuda tinggi besar itu.
Dia merasa kagum sekali Pemuda ini nampaknya belum dewasa benar, sudah memiliki tenaga yang demikian kuat, akan tetapi juga memiliki watak yang demikian polos dan jujur Dan dari gerakannya, pemuda ini agaknya belum pernah mempelajari ilmu silat Tenaganya besar, daya tahannya juga kuat, semangatnya besar dan tahan uji di samping watak yang amat jujur walaupun agaknya kurang cerdik.
"Namamu Kwee Sun Hong? Eh, Sun Hong, berapakah usiamu sekarang?"
"Hampir enam belas tahun, Kek."
"Enam belas tahun? Masih kanak-kanak.....!" kata Thay Lek Siansu semakin kagum. "San Hong, engkau telah memperlihatkan kemauan baik untuk membantu seorang tua seperti aku. Nah, sekarang aku pun ingin membalas kebaikan hatimu itu. Katakan, engkau menginginkan apa dariku? Kalau aku mampu, tentu permintaanmu itu akan kupenuhi." Tentu saja kakek itu mengharapkan pemuda istimewa ini akan minta menjadi muridnya dan dia sudah siap untuk menerimanya.
"Tidak, Kek. Aku tidak membutuhkan apa-apa dan tidak minta apa-apa darimu. Terima kasih, Kek, aku hendak melanjutkan perjalananku berburu, hari sudah mulai siang." Setelah berkata demikian, San Hong memberi hormat lagi lalu membalikkan tubuhnya pergi meninggalkan kakek kecil itu yang berdiri bengong.
Thay Lek Siansu menggeleng-geleng kepalanya dengan penuh kagum dan heran. "Sayang.... sayang.... sungguh anak yang baik sekali dia...."
San Hong sudah menyusup ke dalam hutan dan mulai mencari-cari binatang yang dapat dibunuhnya. Dia sudah melupakan lagi kakek kecil yang bertenaga besar tadi. Tiba-tiba dia terkejut, memutar tubuhnya dan cepat mengambil gendewa dan anak panah. Seekor kijang melompat dengan amat cepatnya sehingga dia tidak sempat lagi menggunakan anak panahnya. Dan di belakang kijang itu, dia melihat seorang kakek yang agaknya mengejar kijang itu dengan lari terpincang pincang.
Ketika melihat San Hong, kakek itu berhenti berlari dan mengomel. "Kijang sialan, larinya begitu cepat!"
San Hong melihat betapa kakek itu sudah tua, usianya tentu juga mendekati tujuh puluh tahun, sedikitnya enam puluh .lima tahun.
Tubuhnya sedang saja, wajahnya juga seperti wajah seorang kakek petani biasa, dan kaki kanannya pincang sehingga untuk membantu jalannya, kakek itu memegang sebatang tongkat butut Hampir saja San Hong tertawa karena geli hatinya. Akan tetapi rasa kasihan menahan ketawanya dan dia memandang penuh perhatian lalu menarik napas panjang.
"Kakek yang baik, bagaimana mungkin engkau akan mampu menangkap kijang yang larinya amat cepat itu? Untuk apakah engkau mengejar-ngejar seekor kijang?"
"Hemmm, kau tidak melihat tanduknya tadi? Aku membutuhkan tanduknya, orang muda." jawab kakek itu dan diapun mengamati San Hong dari kepala sampai ke kaki. Betapa gagahnya pemburu ini, pikirnya.
"Membutuhkan tanduknya? Engkau orang aneh, Kek. Orang lain kalau berburu kijang tentu membutuhkan daging dan kulitnya, akan tetapi yang kau butuhlan adalah tanduknya. Akan tetapi, bagaimana mungkin engkau dapat menangkap kijang yang muda dan kuat berlari cepat itu?"
"Heh-heh heh, apakah engkau mampu mengejarnya, orang muda?"
"Belum tentu. Akan tetapi setidaknya aku dapat berlari lebih cepat darimu Kek. Maka, kau tunggulah saja di sini! Biar aku mencoba untuk mengejar dan menangkapnya. Kalau aku berhasil, maka daging kijang itu untukku, dan tanduknya akan kuberikan kepadamu."
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban lagi San Hong lalu meloncat dan berlari secepatnya, mengejar ke arah larinya kijang tadi. Kijang itu berlari ke selatan dan dia tahu bahwa selatan terdapat sebatang sungai. Tentu ke sungai itulah kijang tadi pergi dan di sana akan terhalang sungai. Karena tepi sungai merupakan padang rumput, maka akan mudahlan baginya untuk dapat menemukan kijang yang tadi dikejar oleh kakek pincang.
San Hong berlari secepatnya, mengerahkan seluruh tenaga kaki dan kekuatan napasnya. Betapapun juga, karena jalannya naik turun, setelah tiba di padang rumput di tepi sungai, napasnya terengah-engah dan peluhnya bercucuran. Tiba-tiba dia menahan kakinya, memandang terbelalak ke depan. Apa yang dilihatnya? Kakek pincang itu sudah duduk di sana, di atas rumput, memegangi tongkat bututnya. Tentu saja dia menjadi heran bukan main.
Akan tetapi, kakek pincang itu agaknya bersikap biasa saja, dan mengnela napas ketika San Hong muncul, lalu berkata, "Wah, kijang itu memang cepat sekali larinya!"
San Hong masih terbelalak saking herannya. Kakek itu bukan saja telah lebih dulu tiba di situ, akan tetapi sedikitpun tidak berkeringat atau terengah-engah seperti dia, dan sama sekali tidak kelihatan lelah. "Mungkin dia di sana!"
Kakek itu bangkit berdiri dan terpincang-pincang lari menuju ke kiri. San Hong yang merasa penasaran, kini cepat mengejar karena dia merasa penasaran dan selagi kakek itu masih nampak, dia mengejar dan ingin menyusul, seolah-olah hendak berlumba lari dengan kakek itu. Dan San Hong melihat kenyataan yang lebih aneh lagi!
Biarpun dia melihat kakek itu lari terpincang-pincang dibantu tongkatnya di depannya, dan dia sendiri sudah mengerahkan seluruh tenaga dan berlari secepatnya, namun tetap saja dia tidak dapat menyusul, bahkan makin lama jarak antara mereka menjadi semakin jauh! Kini tidak dapat diragukan lagi bahwa memang kakek itu dapat berlari jauh lebih cepat darinya. Muka San Hong menjadi merah sekali.
Tadi dia menganggap kakek itu cacat dan tidak mungkin dapat mengejar kijang yang larinya amat cepat, bahkan dia menawarkan diri membantu kakek itu mengejar kijang. Dan sekarang, jelaslah bahwa dia kalan jauh dalam hal kecepatan lari. Ini tidak mungkin, pikirnya penuh penasaran dan rasa malu. Masa dia kalah cepat larinya dibandingkan seorang kakek tua yang pincang?
Sungguh aneh. Dia masih beberapa lamanya mencoba untuk mengejar sambil mengerahkan tenaga, dan hasilnya hanya keringat bercucuran dan napasnya terengan-engah nampir putus Maka, dia pun berteriak memanggil.
"Kek...! Kakek... tunggu dulu...!"
Kakek itu berhenti dan membalikkan tubuh, terkekeh. San Hong tiba di depannya dan napas pemuda itu sudah senin kemis hampir putus. Dia memandang kakek itu dengan mata terbelalak, melihat betapa kakek itu masih terkekeh dan napasnya sama sekali tidak memburu, tidak ada keringat, setetes pun membasahi mukanya. San Hong cepat menjura dan mengangkat kedua tangannya ke depan dada, memberi hormat.
"Aduh, Kek. Maafkan aku yang memandang rendah padamu. Aku mengaku kalah! Larimu cepat sekali, lebih cepat dari kijang, pantas tadi engkau mengejar-ngejar kijang!"
"Heh-heh-heh, ada yang cepat tentu ada yang lebih cepat lagi. Kijang itu larinya jauh lebih cepat sehingga buktinya aku tidak mampu menangkapnya. Engkau memiliki sifat yang lebih baik lagi daripada sekedar lari cepat, orang muda, engkau memiliki keterbukaan, budi yang luhur dan hati yang rendah. Siapakah namamu?"
"Namaku Kwee San Hong, Kek. Tentang kijang itu, kalau aku berhasil mendapatkannya, tentu tanduknya akan kuberikan kepadamu. Akan tetapi kemana aku harus mengantarnya?"
"Heh-heh-heh, engkau baik sekali. Aku akan ke puncak sana. Engkau tadi ingin membantuku menangkap kijang, kini akan memberikan tanduk kijang. Hemm, kalau aku dapat memberikan sesuatu, tentu akan kuberikan. Akan tetapi, apakah yang kau harapkan dariku? Mintalah dan aku akan berikan kalau memang dapat, orang muda yang baik..."