Pedang Asmara Jilid 07

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pedang Asmara Jilid 07
Sonny Ogawa

Pedang Asmara Jilid 07 karya Kho Ping Hoo - Tanpa berpikir panjang lagi San Hong, sesuai dengan wataknya, menjawab, "Terima kasih, Kek. Aku tadi ingin membantumu karena aku kasihan melihat seorang tua mengejar kijang, bukan membantu untuk mendapatkan imbalan. Aku tidak butuh apa-apa dan tidak minta apa-apa. Selamat jalan, Kek dan maafkan kebodohanku yang memandang rendah kepadamu."

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Berkata demikian, San Hong lalu meninggalkan kakek itu untuk mencari kijang tadi atau binatang lain. Sampai lama kakek itu berdiri memandang padanya sampai pemuda itu lenyap di dalam hutan dan kakek itu menarik napas panjang.

"Siancai.... belum pernan aku melihat seorang pemuda sebaik itu...!" Diapun lalu membalikkan tubuh dan sekali berkelebat dia pun lenyap dari situ.

Kakek ini pun bukan orang sembarangan Dia adalah seorang di antara Thian-san Ngo-sian dan julukannya adalah Bu Eng-Sianjin (Dewa Tanpa Bayangan). Dari julukannya saja mudah diduga bahwa dia adalah seorang sakti ahli gin-kang (ilmu meringankan tubuh) maka tidak mengherankan kalau San Hong tidak mampu menandinginya dalam hal berlari cepat!

San Hong melanjutkan perburuannya akan tetapi kini pikirannya sering melamun. Dua peristiwa berturut-turut itu mau tidak mau mengganggu pikirannya. Dua peristiwa yang aneh, pikirnya. Pertama, ada kakek tua bertubuh kecil yang bertenaga raksasa sehingga dia sendiri yang terkenal memiliki tenaga gajah dan masih muda, tidak mampu menandingi tenaga kakek itu.

Dan kemudian, seorang kakek tua pula yang memiliki kemampuan berlari cepat melebihi cepatnya kijang! Dua peristiwa itu membuat San Hong merasa betapa dirinya sesungguhnya lemah sekali. Dalam hal tenaga, kalah oleh seorang kakek tua yang bertubuh kecil! Dan berlari? Belum ada seperempatnya seorang kakek tua renta yang kakinya pincang pula!

Kebetulan sekali ketika dia sedang menyusup-nyusup di antara semak belukar, dari jauh dia melihat seekor kijang yang berdiri terengah-engah. Dia segera mengenal kijang itu sebagai kijang yang tadi dikejar-kejar oleh kakek pincang!

Agaknya kijang yang tadinya sudah berlari cepat dan jauh itu, bertemu dengan binatang buas seperti harimau dan dikejar kejar pula, maka kini kijang itu seperti kehabisan napas dan bersembunyi di balik semak-semak. San Hong berindap menghampiri dan setelah cukup dekat, dia mementang gendewanya dan melepaskan anak panah.

Dari jarak yang cukup dekat itu, anak panahnya tepat menembus dada kijang itu dan binatang itu pun roboh tak berkutik lagi kareina anak panah itu menembus dada kijang itu dan binatang itu pun roboh tak berkutik lagi karena anak panah itu menembus jantungnya.

Dengan girang Sun Hong meloncat keluar dan mengambil bangkai kijang, lalu memanggulnya dan membawanya pulang. Akan tetapi pikirannya masih selalu teringat kepada dua orang kakek aneh dan begitu menyerahkan kijang kepada ayah ibunya, mengambil tanduknya, dia pun berpamit.

"Ayah dan ibu, aku akan pergi mencari kakek pincang di atas puncak itu dan menyerahkan tanduk ini seperti yang telah kujanjikan kepadanya. Karena perjalanan itu jauh, mungkin besok aku baru pulang."

Tentu saja ayah ibunya merasa khawatir. Puncak itu tidak mudah didaki selain tinggi dan sukar jalannya, juga melalui hutan yang banyak dihuni binatang buas, belum lugi perampok dan setan. Akan tetapi San Hong menghibur hati mereka dan mengatakan bahwa dia mampu menjaga dirinya, dan dengan singkat menceritakan pertemuannya dengan dua orang kakek aneh tadi. Mendengar ini, ayahnya berseru.

"Ahhh...! jangan-jangan engkau bertemu dengan dua orang manusia sakti anakku. Aku pernah mendengar bahwa dipuncak Pegunungan Thian-san ini terdapat orang orang sakti yang memiliki ilmu seperti dewa."

"Kukira juga begitu. Ayah. Manusia sakti atau bukan, aku hanya ingin menyerahkan tanduk yang sudah kujanjikan pada kakek pincang itu. Tidak enak rasanya kalau terus melanggar janji, Ayah."

"Memang seharusnya demikian. Baiklah, pergilah, San Hong, akan tetapi berhati-hatilah engkau."

San Hong segera berangkat. Dia berlari-lari mendaki gunung dan menuju ke puncak. Lembah di puncak itu dinamai orang Pek-ciok-san (Puncak Batu Putih) karena dari jauh sudah nampak sebongkah batu besar di puncak itu yang kalau di timpa sinar matahari siang berwarna putih. Pernah setahun yang lalu dia iseng-iseng mendaki puncak yang tidak pernah dikunjungi manusia itu dan dia pernah terpesona oleh keindahan pemandangan alam di sana.

Tempat yang indah dan sunyi sekali. Di puncak itu terdapat sebidang tanah datar yang hanya ditumbuhi rumput hijau segar dan di tengah-tengahnya terdapat batu putih itulah, Dia merasa heran mengapa kakek pincang itu mengatakan hendak ke puncak itu. Apakah dia seorang pertapa?

Matahari mulai condong ke barat ketika dia tiba di dekat puncak. Karena khawatir kemalaman di jalan, biarpun dia sudah lelah sekali, San Hong mengerahkan tenaganya dan mempercepat pendakiannya. Tempat di puncak itu memang indah. Bukan saja dari tempat itu orang dapat menyaksikan keindahan tamasya alam di sekelilingnya, juga di waktu matahari terbit atau tenggelam, orang dapat menikmati pemandangan yang menakjubkan sekali.

Di bagian tertinggi dari pegununan itu terdapat sebidang tanah yang merupakan petak rumput yang segar, dan di tengah-tengah lapangan rumput itu terdapat sebongkah batu yang besarnya melebihi sebuah rumah yang cukup besar. Putih bersih dan halus permukaannya seperti sebuah batu mata cincin raksasa.

Orang-orang mengatakan bahwa itu adalah batu bulan. Di bagian pinggir petak rumput itu terdapat sebatang pohon yang besar dengan daun yang rindang, seperti sebuah payung raksasa yang mendatangkan keteduhan nyaman di waktu matahari sedang panas-panasnya.

Pada waktu itu, di bawah pohon tampak ada lima orang kakek sedang duduk dalam lingkaran. Mereka bersila dan di tengah-tengah antara mereka terdapat sebuah meja besi kecil di mana ada guci arak dan cawan-cawannya. Agaknya mereka bercakap-cakap sambil minum arak.

Lima orang inilah yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai datuk-datuk persilatan, terkenal dengan sebutan Thian-san Ngo-sian (Lima Dewa Gunung Thian-san)! Dua di antara mereka adalah Thay Lek Siansu, kakek kecil yang bertenaga raksasa dan pernah bertemu dengan San Hong tadi, dan yang kedua adalah kakek pincang yang berjuluk Bu Eng Sianjin, ahli gin-kang yang juga pernah berjumpa dengan San Hong.

Orang ke tiga dari Thian-san Ngo-sian adalah seorang hwesio berusia kurang lebih enam puluh lima tahun, tubuhnya gendut, mukanya cerah dan selalu tersenyum lebar, bajunya selalu terbuka di bagian dada, agaknya dia selalu merasa gerah, dan dia terkenal dengan sebutan Pek Sim Siansu. Orang ke empat disebut Lui-kong Kiam-sian (Dewa Pedang Guntur) yang terkenal sekali dengan ilmu pedangnya. Dia seorang kakek berusia enam puluhan lebih, bertubuh tinggi kurus sikapnya pendiam dan berwibawa.

Adapun orang ke lima dari Thian-san Ngo-sian adalah seorang kakek hampir tujuh puluh tahun yang pekaiannya seperti sastrawan, bersih dan rapi, sikapnya lemah lembut dan wajahnya tampan. Dia disebut Pek-ciang Yok-sian (Dewa Tabib Tangan Putih), terkenal sekali karena ilmu silatnya dan ilmu pengobatannya.

Lima orang berilmu ini tidak mempunyai hubungan perguruan, namun mereka pernah bersumpah mengangkat saudara sejak muda dan mereka merupakan pendekar-pendekar budiman. Kini mereka sudah tua dan tinggal berpencar, akan tetapi sedikitnya sekali setahun mereka pasti mengadakan pertemuan di puncak Pek-ciok-san ini. Karena mereka mempergunakan Thian-san sebagai tempat pertemuan, bahkan sebagai pusat, maka mereka dikenal sebagai Lima Dewa Thian-san.

Pada hari itu mereka mengadakan pertemuan darurat, pertemuan penting sekali karena mereka berlima mendengar akan adanya gerakan di luar Tembok Besar, jauh di utara, gerakan orang-orang Mongol yang kabarnya mempersiapkan diri menjadi suatu bangsa besar yang amat kuat dan merupakan ancaman bagi negara dan bangsa.

"Keadaan ini sungguh seperti datangnya mendung tebal dari utara yang akan mendatangkan banjir di negara kita. Akan tetapi bukan banjir air yang mengandung berkah, melainkan banjir darah. Apa yang akan mampu kita lakukan untuk membuyarkan mendung itu?" demikian Thay Lek Siansu berkata,

"Hemmm, urusan itu adalah urusan pemerintahan, bukan tugas kita. Biarlah para cerdik pandai dan para bijaksana yang menghambakan diri di Istana memikirkan hal itu. Dari pada pusing-pusing mari kita minum saja. Pek Sim Sam-heng, mengapa engkau tidak pernah mengisi cawanmu? Apakah engkau masih belum juga makan daging dan minum arak? Heran aku, apa saja isinya perutmu yang gendut itu!" demikian Pek-ciang Yok-sin berseru. Dia menyebut Sam-heng (kakak ke tiga) kepada hwesio itu.

Pek Sim Siansu yang sejak tadi tersenyum lebar, menjadi semakin cerah wajahnya dan dia tertawa bergelak mendengar ucapan itu. Dia memandang kepada saudara termuda itu. "Ha-ha-ha Ngo-te (Adik ke Lima), engkau berjuluk Yok-sian (Dewa Obat), apakah perlu kujawab pertanyaanmu itu? Dan selain tukang obat, engkau pun seorang hwesio, seorang pendeta, hal itu lebih lagi meyakinkan hatiku bahwa tentu engkau sudah tahu benar mengapa semua hwesio, kecuali engkau tentu saja, pantang minum arak dan makan daging! Dipandang dari segi batiniah maupun lahiriah makan daging dan minum arak merusak kesehatan. Tentang perutku yang gendut? Omitohud... inilah perut orang yang tidak dipusingkan banyak persoalan dunia, Ngo-te? Ha-ha-ha-ha-ha!"

Orang ke empat yang berjuluk Lui-kong Kiam-san, yang bertubuh tinggi kurus dan sejak tadi diam saja, kini memandang kepada empat orang saudaranya sebelum dia mengeluarkan suara. "Saudara-saudara sekalian, kita berkumpul hari ini karena menghadapi persoalan yang amat gawat. Kita semua telah mendengar akan ancaman yang datang dari utara itu. Memang amat mengerikan kalau sampai kekuatan yang amat besar dari utara itu menyerbu ke selatan dan terjadi perang. Siapapun yang menang atau kalah, yang jelas rakyat jelata yang menjadi korban dalam setiap peperangan. Banjir darah terjadi, kekejaman yang mengerikan terjadi. Lalu, apa yang dapat kita lakukan? Apa yang harus kita lakukan? Hal inilah yang terpenting bagi kita untuk merenungkan dan merundingkannya dalam pertemuan ini."

"Siancai.... ucapan Si-te (Adik ke empat) memang tepat sekali. Kita harus memikirkan hal itu baik-baik. Bahaya mengancam di depan mata. Akan tetapi kita semua mengetahui bahwa peristiwa peristiwa besar yang terjadi di dunia ini sudah digariskan oleh kekuasaan Thian. Siapa yang mampu membelokkan garis itu? Siapa yang mampu menentang kekuasaan Tuhan?

"Betapapun pandainya manusia, akhirnya dia harus mengakui bahwa di luar kemampuannya terdapat suatu Kekuasaan yang Maha Kuasa, kekuasaan yang mengatur matahari, bumi dan bintang-bintang, kekuasaan yang menggerakkan awan-awan di angkasa, gelombang-gelombang lautan, kekuasan yang menumbuhkan rambut kita, menggerakkan jantung kita, kekuasaan yang menghidupkan dan mematikan.

"Kalau Thian menghendaki suatu saat hujan turun dengan derasnya sehingga terjadi banjir, kita manusia mampu berbuat apakah? Tak mungkin kita mampu menahan atau membatalkan turunnya hujan yang sudah diatur dan direncanakan oleh Yang Maha Kuasa!" kata Bu Eng Siansu penuh semangat.

"Omitohud...!" Pek Sim Siansu berkata lagi sambil tersenyum lebar. "Itu baru ucapan yang benar dan patut kita renungkan. Ancaman bahaya besar dari utara itu merupakan suatu kenyataan, dan menurut ilmu perbintangan, agaknya sudah digariskan bahwa suatu waktu kekuatan dari utara itu akan menerjang dan menguasai seluruh tanah air di empat penjuru. Tidak ada akibat terjadi tanpa sebab.

"Thian Maha Adil, maka segala yang diputuskan Nya sudah pasti adil pula. Kalau memang penyerbuan dari utara itu terjadi, maka hal itu sudah dikehendaki oleh Tuhan dan itu sudah benar dan adil pula, walaupun kita tidak mengerti mengapa demikian dan di mana letak keadilannya. Kita hanya dapat memperkuat iman kita, mohon diampuni dosa dan mohon berkah dan kemurahan hatiNya."

"Bagus sekali! Enak didengarnya, memang, akan tetapi pahit sekali hasilnya. Sam-te, apa manfaatnya kalau kita hanya berdoa saja? Rakyat tetap akan dilanda malapetaka, pembunuhan besar besaran, kejahatan merajalela. Kalau kita mendiamkannya saja, apa artinya selain ini kita mempelajari ilmu-ilmu dan bertapa? Akan sia-sia belaka semua kepandaian yang kita miliki. Kita ini manusia ingat?

"Seekor hewan pun akan berusaha untuk menghalau bencana yang mengancam dirinya, apalagi manusia seperti kita. Kalau kita hanya berdiam diri saja kita menjadi lebih rendah daripada binatang!" kata Thay Lek Siansu yang sejak tadi diam saja, "Kita harus berdaya upaya, kita harus bertindak, sesuai dengan kemampuan kita masing-masing."

Semua orang memandang kepada orang pertama dari Thian-san Ngo-sian itu memandang penuh harapan. "Omitohud kalau Toa-heng (Kakak Tertua) yang bicara, selalu tepat dan menarik. Toa-heng kita tidak mungkin mampu menentang kekuasaan Tuhan yang terjadi di permukaan bumi ini, tidak mungkin berhasil membelokkan garis yang sudah ditentukan oleh Tuhan!" kata Pek Sim Siansu.

"Akan tetapi, tidak mungkin pula kalau kita hanya memandang semua kehancuran terjadi dan hanya berpangku tangan sambil berdoa saja!" kata pula Pek-ciang Yok-sian.

Thay Lek Siansu mengangkat tangan ke atas menyuruh mereka itu diam-diam dan dia lalu berkata suaranya tenang dan lirih namun jelas terdengar di sekitar tempat itu, "Saudaraku sekalian, dengarlah baik-baik. Semua yang kalian ucapkan tadi memang benar. Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini sudah diatur dan digariskan oleh kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, dan kiranya segala yang dikehendakinya tidak akan mungkin dapat digagalkan oleh kekuasaan apapun juga di dunia ini.

"Juga benar bahwa semua peristiwa yang sudah dikehendaki oleh Tuhan, mempunyai sebab-sebab yang sudah terjadi, dan bahwa semua itu benar dan baik dan adil belaka. Sungguh tidak benar dan tidak mungkin berhasil kalau kita manusia berniat menentang kekuasaan Tuhan. Akan tetapi, hendaknya diingat bahwa Tuhan menciptakan kita sebagai manusia disertai akal budi dan pikiran, yang harus kita pergunakan dan manfaatkan untuk perbuatan yang benar, baik, dan tepat."

Dia berhenti sebentar dan terdengar Pekciang Yok-sian dengan suaranya yang lemah lembut. "Nah, itu benar! Kita harus turun tangan, berdiam saja sambil berdoa tidak ada manfaatnya!"

"Omitohud," kata Pek Sim siansu. "Apa yang mampu dilakukan oleh pikiran akal budi dan kedua tangan kaki kita ini terhadap kekuasaan Tuhan? Tidak ada ilmu untuk mencegah tenggelamnya matahari yang menimbulkan kegelapan!"

"Ji-wi (Kalian Berdua) benar semua. Memang tidak mungkin kita melawan kekuasaan Tuhan, akan tetapi juga tidak mungkin kita berdiam diri saja," kata Thay Lek Siansu dengan suaranya yang lantang dan jelas. "Kalau hujan deras jatuh dan terjadi banjir, kita memang tidak dapat mencegah turunnya hujan akan tetapi setidaknya kita dapat melakukan sesuatu, berteduh misalnya, atau memakai payung dan melihat orang menjadi korban banjir, kita dapat menolong mereka semampu kita.

"Andaikata matahari tenggelam ke batas di senjakala, kita tidak mungkin menahan tenggelamnya matahari, akan tetapi setidaknya kita dapat menghadapi kegelapan malam dengan membuat api unggun atau penerangan lain. Demikian pula dengan ancaman penyerbuan, dari utara. Tentu saja urusan peperangan ditanggulangi oleh pemerintah dan pasukannya, akan tetapi, kita sendiri pun mampu melakukan sesuatu dalam hal itu.

"Kalau terjadi perang, tentu terjadi banyak kekacauan dan tentu kejahatan muncul di mana-mana. Nah, di sinilah kita dapat berperan, yaitu mempergunakan kepandaian kita untuk menentang kejahatan yang timbul, melindungi mereka yang lemah tertindas, mencegah terjadinya kekejaman-kekejaman dengan segala tenaga yang ada pada kita."

Empat orang saudaranya yang lebih muda mengangguk-angguk, tidak seorang pun membantah karena mereka tidak dapat melihat suatu pun alasan untuk tidak membenarkan pendapat saudara tertua itu. Memang, kalau mereka berdiam diri saja, menyerahkan segalanya kepada kekuasaan Tuhan, berarti mereka itu tidak mempergunakan anugerah Tuhan yang ada pada mereka, dan tidak mau membantu kekuasaan Tuhan.

Andaikata orang terkena penyakit, walaupun sembuh tidaknya berada di tangan Tuhan, namun orang itu wajib untuk berikhtiar mencari obatnya dan menyembuhkan penyakitnya! Hidup merupakan ikhtiar, perjuangan untuk mempertahankan hidup, walaupun kehidupan itu sendiri ditentukan olehi Tuhan.

"Semua itu benar belaka, Toa-heng akan tetapi, usia kita sudah lanjut, Giam-lo-ong (El-maut) sewaktu-waktu datang menjemput nyawa kita, dan dalam usia yang tua tenaga kita pun semakin lemah. Apa artinya tenaga orang-orang tua yang mulai lemah seperti kita?"

Ucapan Lui-kong Kiam sian ini membuat empat orang tua yang lain termenung. Ucapan itu menyadarkan mereka bahwa betapapun lihainya mereka, betapapun besar semangat mereka, namun mereka harus melihat kenyataan bahwa mereka sudah berusia lanjut.

"Omitohud....! Kata-katamu seperti air dingin menyiram kepala pinceng yang gundul, Si-te. Pinceng sadar bahwa pinceng ini sudah tua renta dan sebentar lagi tidak ada gunanya. Engkau benar sekali!"

"Ha-ha-ha, baru sekarangkah Sam-heng mengaku tua? Kalau aku, sudah sejak bertahun-tahun merasa diri sudah tua. Biarlah kita pergunakan segala ketuaan ini, segala sisa umur ini untuk melakukan kebaikan dan menentang kejahatan yang timbul karena adanya perang." kata Pekciang Yo-sian.

"Hemm, ucapan Sam-te tadi memang ada betulnya, biarpun apa yang dikatakan Ngo-te juga benar. Mari kita pergunakan sisa usia kita untuk menentang kejahatan, akan tetapi dengan cara yang tepat. Kalau kita turun tangan sendiri, tenaga kita yang sudah tua ini tentu tidak akan banyak hasilnya. Satu-satunya cara bagi kita adalah mencari seorang murid yang tepat dan baik." kata Bu Eng Sianjin.

"Omitohud, tepat sekali! Seorang murid yang baik, yang dapat kita warisi semua ilmu kita, kemudian dia mewakili kita yang sudah loyo dan tua ini untuk menghadapi semua bentuk kejahatan sehingga ilmu-ilmu yang selama ini kita pelajari tidak akan sia-sia!" kata Pek Sim Siansu.

"Hemmm, sungguh baik sekali! Akan tetapi, murid yang dapat menerima warisan ilmu kita haruslah yang benar-benar tepat dan cocok, dan dibutuhkan seoang calon murid yang selain bertulang baik juga berbakat dan berbatin mulia, dimanakah kita dapat memperoleh seorang murid seperti itu?" kata Pek-ciang Yok-sian.

"Hemmm, sungguh tepat. Siapakah diantara kita yang dapat mencari murid seperti itu? Siapa yang telah mempunyai calon?" tanya Lui-kong Kiam-sian.

"Aku mempunyai calon!" tiba-tiba Thay Lek Siansu berseru.

"Aku pun punya calon murid yang baik sekali!" kata pula Bu Eng Sianjin.

Selagi tiga orang saudara mereka memandang heran, tiba-tiba seorang pemuda tinggi besar muncul dari balik semak-semak dan berlari menghampiri mereka. Pemuda itu adalah Kwee San Hong yang membawa sepasang tanduk menjangan yang tadi dibawanya dari rumah.

Dia sudah berjanji kepada Bu Eng Sianjin, kakek pincang yang dapat berlari seperti terbang bahwa kalau dia berhasil menangkap kijang atau menjangan itu, dia akan menyerahkan sepasang tanduknya kepada kakek pincang itu. Dan kebetulan sekali dia berhasil menangkapnya, membawa kijang itu pulang, lalu membawa sepasang tanduknya ke puncak bukit.

Ketika dia melihat lima orang kakek itu, di antaranya dua orang kakek sakti yang pernah dijumpainya, dia lalu bersembunyi di balik semak-semak untuk mengintai mereka. Karena dia mengintai dari jauh, dia tidak dapat mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Kemudian, setelah mengintai cukup lama, dia pun muncul dan bermaksud menyerahkan tanduk kepada kakek pincang, apalagi melihat bahwa senja telah mendatang dan cuaca mulai gelap.

"Nah, itu dia calonku!" kata Thay Lek Siansu ketika melihat San Hong berjalan ke arah mereka.

"Eh, dia itu calon muridku pula!" kata Bu Eng Sianjin dengan heran.

Tentu saja tiga orang saudara mereka itu memandang penuh perhatian kepada pemuda yang diaku sebagai calon murid yang memenuhi syarat oleh orang pertama dan orang ke dua dari Thian Ngo-sian. San Hong yang tidak tahu apa yang mereka bicarakan, segera menghadap Bu Eng Sianjin, melihat mereka semua duduk bersila di atas tanah, dia pun berlutut sambil menghadap Bu Sianjin dan berkata,

"Locianpwe, saya datang untuk menyerahkan sepasang tanduk menjangan yang kebetulan saya tangkap. Inilah tanduk-tanduk itu” Diambilnya sepasang tanduk itu dari ikat pinggangnya dan diserahkannya kepada kakek pincang yang menerimanya dengan gembira.

"Bagus sekali! Engkau seorang pemuda yang dapat memenuhi janji! Sukar jaman ini menemukan orang yang memenuhi janjinya!" katanya sambil menerima tanduk itu tanpa mengucapkan terima kasih.

Sementara itu, melihat Thay Lek Siansu, kakek kecil kurus yang bertenaga raksasa itu memandang kepadanya, dia pun memberi hormat. "Kiranya Lo-cianpwe juga berada di sini. Terimalah hormat saya, Lo-cianpwe."

Thay Lek Siansu tertawa dan mengelus jenggotnya. "Haha-ha, bagus sekali. Engkau seorang yang mengenal aturan! Bagus! Saudara-saudaraku, inilah pemuda yang kucalonkan tadi, dia pernah menawarkan bantuannya untuk meringankan beban bawaanku, karena dia kasihan melihat aku si tua renta membawa beban berat!"

Mendengar ini, semua orang tertawa. "Ha-ha-ha, membantu Thay Lek Siansu membawa beban berat?" mereka tertawa lagi.

Bu Eng Sianjin juga berkata, "Dan dialah pemuda yang kucalonkan. Dia Juga menawarkan bantuannya untuk mengejar seekor menjangan yang sedang kukejar!"

Kembali semua orang tertawa. Sim Siansu tertawa paling keras. "Ha ha-ha, orang muda yang baik! Engkau hendak membantu Bu Eng Siansu yang larinya seperti angin?"

Wajah San Hong menjadi kemerahan. Dia tahu bahwa dirinya ditertawakan oleh lima orang kakek yang dia dapat menduga tentulah orang-orang sakti ini. Akan tetapi dia tidak marah karena tahu bahwa dibandingkan mereka, hanyalah seorang yang lemah dan bodoh. Dia tahu betapa kakek kurus pendek yang tua renta itu memiliki tenaga yang entah berapa kali lipat lebih besar dari pada tenaganya sendiri.

Yang bagi penduduk dusunnya sudah dikenal luar biasa dan juga dia menyadari betapa kakek pincang itu dapat berlari jauh lebih cepat darinya. Dia pun dapat menduga bahwa tentu tiga orang kakek yang lain itu memiliki kesaktian yang hebat pula maka dia pun merendahkan diri dan memberi hormat kepada mereka.

"Saya Kwee San Hong memang telah bersikap lancang dan telah memperlihatkan kebodohan sendiri, harap Ngowi Lo cian-pwe (Lima Orang Kakek Pandai) memaafkan saya dan tidak mentertawakan saya. Sekarang, saya mohon diri untuk pulang ke bawah gunung."

"Orang muda, tunggu dulu!" tiba-tiba terdengar seruan Pek Sim Siansu dengan suara lantang. Mendengar ucapan ini San Hong menahan langkahnya, lalu membalik dan menghadapi mereka dalam jarak lima meter lebih.

"Ada apakah, Lo-cian-pwe?"

"Kwee San Hong, kesinilah dulu, kami ingin bicara denganmu." kata Thay lek Siansu.

"Maafkan saya, Lo-cian-pwe. Malam telah hampir tiba, saya harus pulang agar orang tua di rumah tidak mengkhawatirkan diri saya."

"Hai, orang muda" kata Pek-ciang Yok-sian. "Kami ingin bicara denganmu karena kami tertarik dan senang melihat engkau begini jujur, polos dan bodoh. Ha-ha-ha, belum pernah aku melihat seorang pemuda setolol engkau!"

Lima orang kakek itu memandang penuh perhatian untuk melihat bagaimana tanggapan pemuda itu yang sengaja direndahkan oleh Si Dewa Obat yang tentu saja sengaja, hendak menguji bagaimana kalau pemuda itu menerima penghinaan orang. Sejenak sepasang mata San Hong yang lebar itu mengamati wajah kakek yang merendahkan dirinya, akan tetapi pandang matanya sama sekali tidak mengandung kemarahan, melainkan keheranan!

Mengapa orang tua yang tidak dikenalnya itu begitu kasar dan membodoh-bodohkan dia tanpa sebab. Lalu dia teringat betapa mereka tadi mentertawakan dia karena dia tidak dapat melihat bahwa dia berhadapan dengan dua orang sakti sehingga dia lancang menawarkan bantuannya. Dia pun mengerti betapa bodohnya dia dalam pandang mata lima orang kakek yang sakti ini. Dia lalu menundukkan pandang matanya dan dengan sejujurnya dia pun menjawab, suaranya masih tenang dan sama sekali tidak mengandung kemarahan,

"Lo-cianpwe berlima memang benar saya seorang yang tolol dan lancang karena itu maafkan saya. Saya tidak tepat berada di sini terlalu lama karena hanya akan mengganggu Ngo-wi Lo-cianpwe. Selamat tinggal." Dia membalikkan tubuhnya lagi dan hendak pergi.

"Nanti dulu, San Hong." Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Bu Eng Sianjin, kakek pincang telah berdiri di depannya. "Engkau tidak boleh pergi begitu saja!"

San Hong memandang heran. "Mengapa saya tidak boleh pergi, Lo-cianpwe? Saya tidak mempunyai keperluan lain lagi di sini."

"Tidak, engkau tidak boleh pergi!" kata pula kakek pincang itu. "Aku yang melarangmu untuk pergi dan kau harus tinggal di sini bersama kami!"

Dengan sengaja Bu Eng Sianjin meninggikan suaranya seperti orang yang memaksakan kehendaknya. Seperti juga Pek-ciang Yok-sian tadi yang menguji kesabaran dan kerendahan hati San Hong dengan mencelanya tolol, kini Bu Eng Sianjin juga hendak mengujinya bagaimana kalau pemuda itu menghadapi kekerasan dan ancaman.

Kini San Hong mengerutkan alisnya ketika mendengar ucapan kakek pincang itu. "Lo-cianpwe, mengapa hendak memaksa saya tinggal di sini?"

"Tidak perlu banyak cakap, pendeknya aku melarang engkau pergi dan harus tinggal di sini."

"Hemmm, tak kusangka bahwa, seorang yang sakti seperti Lo-cianpwe ternyata tidak berbudi baik dan bahkan tidak mengenal budi orang," Pemuda itu mencela.

"Eh? Kau maksudkan bahwa karena engkau tadi memberi sepasang tanduk menjangan itu kepadaku, lalu aku harus membalas budimu, begitu?"

"Sama sekali tidak, Lo-cianpwe. Ayahku mengajarkan bahwa kalau memberikan sesuatu kepada siapapun, harus dengan hati ikhlas dan tidak mengharapkan balasan. Saya hanya memperingatkan Lo-cianpwe bahwa tidak bijaksana membalas niat baik orang dengan kekerasan dan ancaman."

"Ha-ha-ha, pendeknya aku melarang engkau pergi, habis kau mau apa?" kata pula Bu Eng Sianjin dengan suara yang tinggi dan memandang rendah.

Sepasang mata yang lebar itu terbelalak, lebih merasa heran daripada marah. "Tidak akan ada yang dapat melarang saya, Lo-cianpwe. Dilarang dan dihalangi pun, tetap saya akan pergi dari sini, pulang ke rumah."

"Ha-ha-ha, engkau tahu bahwa engkau tidak akan mampu melawan aku, San Hong. Apalagi menghadapi kami berlima. Kau berani menentang kami?"

"Saya tidak berani menentang Ngo-wi Lo-cianpwe, orang-orang tua yang sakti dan saya hormati, akan tetapi saya berani menentang perbuatan yang tidak benar dari siapapun juga. Sudahlah, saya akan pergi!"

San Hong mengangkat kaki hendak melangkah pergi, akan tetapi Bu Eng Sianjin menghalangi jalannya. Melihat ini, San Hong lalu menggunakan kedua tangannya untuk mendorong kakek itu ke samping. Akan tetapi, dia merasa seperti mendorong sebatang pilar saja yang tertanam ke dalam lantai batu. Sedikitpun tidak bergerak tubuh kecil itu oleh dorongannya.

"Ha-ha-ha, engkau tidak berdaya, engkau kalah. Berlututlah dan minta ampun, baru nyawamu akan kuampuni, dan engkau harus berjanji untuk mentaati semua perintah kami!" kata pula Bu Eng Sianjin yang merasa puas melihat keberanian dan ketabahan hati pemuda itu, dan ingin menguji terus.

San Hong yang tidak menyadari bahwa dia diuji, kini memandang dengan mata terbelalak mengandung kemarahan. "Wah, sungguh benar kata ayah bahwa saya harus berhati-hati berhadapan dengan orang. Saya telah salah sangka. Kiranya Lo-cianpwe, yang saya sangka orang sakti yang bijaksana, hanyalah orang jahat yang menggunakan kepandaian untuk bertindak sewenang-wenang!"

"Sudah, jangan banyak cakap. Berlututlah dan minta ampun, atau aku akan membunuhmu sekarang juga!" bentak Bu Eng Sianjin sambil mengamangkan tongkat bututnya ke atas.

"Tidak! Lebih baik saya mati dibunuh daripada harus berlutut minta ampun karena saya tidak bersalah!"

"Apa? Kau berani melawan?" bentak Bu Eng Sianjin dan tongkatnya bergerak cepat.

San Hong hendak merampas tongkat yang menyambar ke arah dadanya itu, akan tetapi terkamannya luput dan tahu-tahu ujung tongkat telah menotok pundaknya dan dia pun roboh lemas. Lalu tongkat itu beberapa kali menotok bagian tubuhnya yang berada di depan dan San Hong merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri seperti ditusuk-tusuk oleh ratusan batang senjata runcing.

"Hayo kau minta ampun, kalau tidak akan kusiksa lebih hebat lagi sebelum kubunuh!" Bu Eng Sianjin berseru.

Pemuda itu menggeliat-geliat menahan kenyerian yang menyiksanya. Wajahnya pucat dan peluh membasahi seluruh tubuhnya bukan karena takut melainkan karena menahan nyeri, akan tetapi sedikitpun tidak keluar keluhan dari mulutnya. Tidak, dia harus menahan diri dan tidak memberi kepuasan kepada kakek iblis ini melihat dia mengeluh, apalagi minta ampun!

"Orang tua jahat, biar kau siksa dan kau bunuh, aku tidak sudi minta ampun" teriaknya.

Kini dia melihat keanehan. Empat orang kakek lainnya sudah berada di situ, mengelilinginya dan kakek yang menyiksanya itu menggerakkan tangan kiri menepuk dan menotok tubuhnya beberapa kali dan dia pun dapat bergerak kembali. Rasa nyeri itu lenyap sama sekali dan kini kakek pincang itu merangkulnya dan membantunya bangkit berdiri.

"Bagus sekali, San Hong. Engkau lulus ujian!"

San Hong memandang bingung, apalagi ketika empat orang kakek yang lain juga memegang lengannya, merangkul pundaknya dan merekapun memuji-muji dengan wajah girang. "Apa... apa artinya semua ini? Apakah Ngo-wi Lo-cianpwe hendak mempermainkan saya?"

Kini. Tay Lek Siansu yang menghadapinya. "Sama sekali tidak, San Hong. Kami tadi hanya mengujimu dan ternyata engkau lulus ujian. Engkau dihina akan tetapi tidak mudah tersinggung. Dikatakan bodoh, engkau melihat kenyataan bahwa engkau memang bodoh dan mengakuinya dengan jujur. Diancam dan disiksa, akan tetapi engkau tetap tabah dan tidak mau menyerah. Ini tandanya bahwa engkau jujur, lembut, penyabar, adil, tidak lemah, gagah perkasa dan pemberani, tabah menghadapi ancaman maut sekalipun. Dan yang lebih pada itu semua, engkau bodoh dan ini yang amat baik sekali!"

Semua kakek itu mengangguk-angguk dan semua tersenyum ramah kepada San Hong. San Hong mengerutkan kening karena dia masih belum mengerti apa artinya semua ini dan mengapa pula orang-orang aneh ini mengujinya. Dan lebih tidak mengerti dia mengapa kebodohannya membuat mereka menjadi demikian girang dan kebodohannya dipuji oleh mereka.

"Saya harap Ngo-wi Lo-cianpwe tidak terlalu memuji saya. Akan tetapi sungguh saya merasa heran sekali, mengapa kebodohan saya menerima pujian? Ataukah Lo-cianpwe hanya hendak mengejek saja?"

"Sama sekali tidak, San Hong. Memang kebodohan dan merasa dirinya bodoh merupakan syarat utama yang paling penting bagi seseorang yang akan mempelajari sesuatu. Kertas yang terbaik untuk dilukis atau ditulisi adalah kertas yang bersih dan kosong. Gelas yang akan mampu menerima aliran air adalah gelas yang kosong. Seorang murid seperti engkau inilah yang paling tepat untuk menerima ilmu-ilmu dari kami, karena engkau bagaikan kertas masih putih bersih, bagaikan gelas masih kosong!"

"Murid? Menerima ilmu.....? Apa yang Lo-clan-pwe maksudkan?"

"San Hong, ketika aku dan juga Ji-te bertemu denganmu, kami sudah tertarik sekali dan ingin mengambil engkau sebagai murid. Kemudian kami berlima bertemu di sini dan kami membutuhkan murid, maka ketika engkau datang, kami sengaja hendak mengujimu. Ternyata engkau lulus ujian dan kami berlima bersepakat untuk mengambil engkau sebagai murid kami! Ketahuilah, kami berlima yang di dunia kang-ouw disebut Thian-san Ngo-sian dan aku sendiri disebut Thay Lek Siansu, Ji-te ini Bu Eng-Sianjin, Sam-te Pek Sim Siansu, Si-te Lui-kong Kiam-sian dan ini Ngo-te Pek ciang Yok-sian. Bagaimana, orang muda maukah engkau menjadi murid kami?"

San Hong terbelalak. Sedikitpun dia tidak pernah menduga bahwa dia, seorang pemuda dusun yang bodoh, akan diambil murid oleh lima orang sakti yang memiliki kepandaian amat tinggi. Dan sekaligus lima orang sakti menjadi gurunya. Tentu saja dia merasa girang bukan main dan seketika dia menjatuhkan diri berlutut.

"Tentu saja saya mau dan menghaturkan terima kasih atas budi kemuliaan Ngo-wi. Saya merasa seperti mendapatkan bulan dan bintang! Akan tetapi, saya harus mendapatkan perkenan dulu dari ayah bunda saya. Oleh karena itu, ijinkanlah saya untuk pulang dan mengabarkan hal ini kepada orang tua saya agar mereka pun berkesempatan menghaturkan terima kasih kepada Ngo-wi Lo-cinn pwe."

Lima orang itu saling pandang. Ada satu segi lagi dari kebaikan pemuda ini yang menyenangkan hati mereka. Pemuda ini ternyata juga seorang anak yang berbakti! Thay Lek Siansu memberi isyarat kepada empat orang adiknya dan dia pun berkata, suaranya tegas.

"San Hong, kami telah menerima engkau sebagai murid, hal ini bukan main-main. Di antara seratus ribu orang pemuda, belum tentu ada satu yang dapat kami ambil sebagai murid. Engkau boleh mengabarkan kepada orang tuamu, akan tetapi kami pun ingin melihat kesungguhan hatimu. Kami akan menanti di sini sampai besok pagi, menantimu. Begitu matahari bersinar, kami akan meninggalkan tempat ini. Kalau engkau sudah datang kembali, kami akan membawamu sebagai murid, kalau sampai saat itu engkau belum kembali, kami akan meninggalkanmu dan kami tidak jadi menjadi guru-gurumu."

Diam-diam San Hong terkejut. Diam-diam dia menghitung-hitung dan dia harus melakukan perjalanan semalam suntuk, dengan cepat pula kalau dia ingin agar tidak ditinggalkan mereka! Akan tetapi, dia seorang pemuda yang berkemauan keras, maka dia pun menjawab tanpa ragu-ragu lagi.

"Baik, Lo-cianpwe. Saya akan pulang sekarang juga dan secepatnya kembali lagi ke sini!" Berkata demikian, dia lalu memberi hormat dan cepat pergi dari situ selagi cuaca belum gelap benar.

Lima orang kakek itu tersenyum-senyum dan Thay Lek Siansu berbisik. "Ujian terakhir kalinya untuk melihat keteguhan hatinya. Akan tetapi tanpa bantuan, mana mungkin dia mampu kembali ke sini sebelum fajar menyingsing."

Mereka lalu berkelebat lenyap dari situ. Lima orang kakek ini disebut Thian san Ngo-sian, Lima Dewa Gunung Thian-san dan ilmu kepandaian mereka memang hebat bukan main. Di waktu itu, nama besar Thian-san Ngo-sian terkenal di seluruh, dunia kang-ouw dan tidak ada yang tidak merasa segan mendengar nama mereka, bahkan para datuk sesat sekalipun merasa gentar mendengar nama ini dan tidak ada yang berani sembarangan mencari perkara dengan mereka.

Sebaliknya, sudah puluhan tahun mereka ini mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, hidup sebagai pertapa-pertapa tanpa keluarga di dalam goa-goa di puncak puncak Pegunungan Thian-san, tempat mereka tersembunyi di dalam goa-goa dan tidak ada orang lain yang mengetahuinya.

Ayah San Hong, yaitu Kwee Cun, seorang petani yang hidup berbahagia di dusun Po-lim-cun, malam itu merasa agak khawatir kalau mereka mengingat putera mereka. Biarpun San Hong tadi telah berpamit dan mengatakan bahwa putera mereka itu mungkin harus bermalam, namun Kwee Cun dan isterinya tidak urung merasa gelisah juga. Puncak Thian-san merupakan puncak yang jarang dikunjungi orang, penuh dengan hutan belukar dan binatang buas.

Kwee Cun yang berusia lima puluh tahun itu hidup sederhana namun cukup untuk makan, pakaian, bersama isterinya yang rajin membantunya, dan mereka berdua merasa cukup berbahagia. Putera mereka San Hong yang merupakan anak tunggal tidak mengecewakan, rajin pula bekerja di sawah ladang dan amat berbakti sehingga kini Kwee Cun dan isterinya hanya mengerjakan tugas yang ringan ringan saja. Pekerjaan yang berat semua dilakukan oleh putera mereka yang bertenaga gajah itu.

Malam itu, sampai larut malam mereka belum tidur, masih rebah agak gelisah di atas pembaringan dalam kamar, mereka. Tidak adanya San Hong di kamar sebelah membuat mereka merasa kehilangan, apalagi mereka membayangkan putera mereka itu seorang diri di puncak gunung yang menyeramkan itu.

"Ah, anak kita San Hong itu sungguh keras hati. Mengapa dia begitu bersusah-payah untuk mengantarkan tanduk menjangan itu kepada seorang kakek yang berada di puncak gunung?" isteri Kwee Cun berkata dengan nada menyesal.

"Seharusnya begitu!" jawab suaminya. "Seorang anak yang baik, harus dapat memenuhi janjinya. Apalagi dia berjanji kepada seorang kakek yang menurut dia memiliki kesaktian! Sudah lama aku mendengar bahwa di puncak terdapat banyak orang sakti yang bertapa. Agaknya San Hong berjumpa dengan orang-orang sakti. Siapa tahu hal itu akan memberi hikmah dan menambah pengetahuannya."

"Pengetahuan apa lagi?" bantah isterinya. "Dia sudah pandai membaca menulis, pandai bekerja. Mau apa lagi? Kita hidup di dusun dan seorang dengan pengetahuan seperti anak kita itu sudah jarang terdapat di dusun sini....."

Tiba-tiba dua orang suami isteri itu terkejut dan serentak bangkit duduk di atas pembaringan mereka, mata mereka terbelalak dan mulut ternganga ketika melihat betapa di dalam kamar mereka itu berdiri lima orang kakek! Mereka itu muncul begitu saja seperti setan, dan tahu-tahu pintu kamar mereka telah terbuka. Mereka muncul seperti bayangan saja, tanpa mengeluarkan suara.

"Kwee Cun, kami adalah Thian-san Ngo-sian, sengaja datang untuk bertemu dengan kalian berdua," terdengar suara seorang di antara mereka yang bertubuh kecil kurus dan pendek.

Kwee Cun adalah seorang petani yang banyak membaca kitab dan pengetahuannya lebih daripada para petani biasa. Melihat munculnya lima orang kakek secara aneh itu saja sudah timbul dugaan dalam hatinya bahwa mereka ini tentulah orang-orang sakti, berbeda dengan ketahyulan para petani lain yang tentu akan menganggap mereka itu siluman siluman. Maka dia pun cepat berlutut di atas pembaringan, diturut oleh isterinya yang gemetar ketakutan.

"Harap Ngo-wi Lo-cianpwe maafkan kami, karena tidak mengerti lebih dulu akan kunjungan Ngo-wi, maka kami tidak menyambut dengan sepatutnya."

Melihat sikap dan mendengar ucapan itu, lima orang kakek itu saling pandang dengan sinar mata gembira dan Thay Lek Siansu lalu tertawa dan berkata, "Ha-ha-ha, kiranya ayah San Hong adalah orang yang mengenal sopan santun, bagus, bagus! Kwee Cun, kami datang untuk memberitahu bahwa kami berlima ingin sekali mendidik anak kalian San Hong menjadi murid kami dan mewariskan ilmu-ilmu kepadanya agar kelak dia menjadi seorang yang berguna bagi masyarakat. Kami harap kalian tidak berkeberatan. Sebentar lagi putera kalian itu akan pulang dan memberitahukan hal ini kepada kalian. Kami harap kalian meluluskan permintaannya dan membiarkan dia pergi belajar ilmu kepada kami."

Mendengar ini, bukan main rasa girang dan bangga dalam hati Kwaa Cun. Puteranya menjadi murid lima orang sakti yang memperkenalkan diri sebagai Lima Dewa Gunung Thian-san! "Kami.... kami bersyukur sekali dan berterima kasih kepada Ngo-wi Lo-cian-pwe...." kata Kwee Cun.

"Bagus! Sudah kami duga! Seorang pemuda seperti San Hong pasti mempunyai ayah dan ibu yang bijaksana. Kwee Cun, sepergi putera kalian, tentu kalian kehilangan tenaga pembantu kehidupan kalian, oleh karena itu sedikit bantuan kami ini dapat kalian pergunakan untuk hidup yang layak!"

Setelah berkata demikian, Thay Lek Siansu melempar sesuatu ke atas pembaringan, kemudian sekali berkelebat, dia dan empat orang adiknya telah lenyap dari dalam kamar itu dan pintu kamar itu pun tertutup sendiri!

Kwee Cun dan isterinya masih tertegun sehingga sampai lama mereka masih terus berlutut di atas pembaringan mereka. Baru setelah mereka merasa yakin bahwa lima orang kakek itu benar-benar telah pergi, mereka saling pandang dan isteri Kwee Cun merangkul suami sambil menangis.

"Aku.... aku takut...." bisik wanita itu.

Kwee Cun menghibur isterinya. "Tidak ada yang perlu ditakuti. Mereka adalah orang-orang sakti. Lihat, apa yang mereka berikan kepada kita ini?" Kwee mengambil sebuah buntalan yang ternyata merupakan kantung kain kuning dan ketika dengan tangan gemetar dia membukanya, isinya adalah beberapa potong emas murni yang berkilauan!

Mereka semakin terbelalak dan biarpun dia seorang dusun, namun Kwee Cun tahu bahwa benda yang berada di dalam kantung itu dapat dia pergunakan untuk membeli tanah yang luas, membuat rumah yang cukup besar dan modal bercocok tanam yang lebih dari cukup! Bahkan dia menganggap bahwa mereka seketika menjadi seorang yang kaya raya!

Sementara itu, Kwee San Hong berusaha melakukan perjalanan turun gunung secepatnya. Akan tetapi malam itu gelap sehingga dia harus merangkak, merayap dan kadang-kadang menggunakan kedua tangan kaki untuk meraba-raba di dalam kegelapan malam, mencari jalan turun gunung menuju pulang.

Hampir dia putus asa karena malam terlalu gelap dan dia tidak mengenal jalan. Dia segera membuat sebuah obor dari kayu kering yang dibakarnya dengan membuat api secara kuno, menggosok dua batang kayu kering dengan cepat dan kuat.

Dengan obor di tangan, dia dapat melanjutkan perjalanan tanpa khawatir terperosok ke dalam jurang. Akan tetapi tetap saja dia bingung karena dia kehilangan arah. Dari atas tidak nampak apa pun di bawah sana dan dia tidak tahu entah di mana adanya perkampungan, apalagi dusun tempat tinggal ayahnya yang masih jauh.

Tiba-tiba, dia melihat sinar api di bawah sana. Di mana ada api, tentu ada manusianya, pikirnya, maka tanpa ragu ragu lagi dia pun mencari jalan turun menuju ke titik api di bawah itu. Akan tetapi, tak pernah dia tiba di tempat api itu. Apakah pandang matanya yang menipunya, ataukah api itu yang bergerak turun pula menjauhinya, dia tidak tahu Mungkinkah api itu dipegang seseorang yang juga turun gunung, jauh di bawah sana?

Dia terus mengikuti sinar api itu dan ketika api itu tiba-tiba padam, dia juga girang bukan main, ternyata dia telah tiba di kaki gunung dan dia mengenal jalan menuju ke dusunnya yang sudah dekat sekali! Dia segera berlari pulang dan mendapatkan ayah ibunya masih termangu-mangu di dalam kamar mereka.

"Ayah, Ibu! Aku pulang.....!" katanya diluar kamar orang tuanya.

Kwee Cun dan isterinya keluar dari dalam kamar dan San Hong memandang heran kepada ayah ibunya yang agaknya belum tidur di tengah malam itu, bahkan dari wajah mereka dia tahu tentu telah terjadi sesuatu yang luar biasa.

"Kami tahu, San Hong," kata ayahnya. ”Bukankah engkau akan segera pergi lagi untuk mulai menjadi murid Thian-san Ngo-sian?"

San Hong terbelalak. "Eh? Bagaimana ayah dan ibu mengetahuinya?"

Ibunya menghampirinya dan merangkul kedua pundak putera itu. "San Hong, engkau hendak meninggalkan kami.....?" katanya menahan tangis.

"San Hong, tadi kelima orang gurumu telah datang berkunjung dan menceritakan bahwa engkau menjadi murid mereka. Bahkan mereka meninggalkan ini untuk kami, agar sepergimu kami dapat hidup layak." Kwee Cun memperlihatkan kantung berisi beberapa potong emas murni itu.

Kwee San Hong merasa girang sekali. Kiranya guru-gurunya telah memberitahu lebih dulu kepada ayah ibunya, bahkan memberi emas sehingga dia sendiri tidak akan mengkhawatirkan keadaan orang tua itu selama dia tinggalkan. "Jadi, Ayah dan Ibu setuju kalau aku pergj berguru kepada kelima orang sakti itu?"

"Kenapa tidak, anakku? Tanpa diberi emas ini pun kami setuju. Orang tua mana yang tidak setuju anaknya yang tercinta mempelajari ilmu agar kelak berguna bagi masyarakat? Kami setuju Nak, walaupun dengan hati berat karena harus berpisah darimu."

"San Hong, engkau berhati-hatilah dan.... jangan lupa kepada ayah ibumu." kata ibunya sambil menangis di dada puteranya.

Lega hati San Hohg. Dia tadinya mengkhawatirkan kalau-kalau kedua orang tuanya akan berkeberatan. Akan tetapi ternyata mereka setuju dan ini tentu berkat kebijaksanaan lima orang gurunya yang lebih dulu datang memberi tahu kepada mereka.

"Tenangkan hatimu, Ibu. Aku berguru mempelajari ilmu bukan untuk melupakan Ayah dan Ibu, bahkan dengan ilmu yang kumiliki, aku akan dapat lebih berbakti kepada kalian, dan dapat menjadi seorang anak yang baik dan tidak mengecewakan hati Ayah dan Ibu!"

Diiringi nasihat-nasihat terakhir dari ayahnya dan tangis pesan dari ibunya, San Hong berkemas, mengumpulkan pakaiannya dalam sebuah buntalan, kemudian segera berpamit dan meninggalkan ayah ibunya untuk cepat-cepat kembali ke puncak Thian-san dan tiba di sana sebelum matahari terbit agar tidak ditinggalkan oleh lima orang gurunya.

Kembali terjadi keanehan di perjalanan mendaki puncak itu. Ada lagi muncul sinar api yang terus mendaki, seperti manjadl penunjuk jalan baginya dan dengan mudah dia tiba di puncak itu, tepat sebelum matahari muncul di ufuk timur. Dan lima orang gurunya telah berdiri di situ, menanti kembalinya. San Hong segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka berlima.

"Terima kasih teecu (murid) haturkan kepada Suhu berlima yang telah membantu teecu dalam perjalanan pulang pergi tadi." Dia yakin bahwa tentu guru gurunya yang telah mengadakan sinar api itu untuk menuntunnya sehingga dia dapat mudah turun dari puncak kemudian naik kembali.

Lima orang kakek itu tersenyum, "Ha-ha-ha," Pek Sim Siansu tertawa, "Ternyata engkau tidaklah sebodoh yang kami kira!"

"Suhu, masih ada sebuah hal yang meragukan hati teecu dan teecu mohon Ngo-wi Suhu (Guru Berlima) suka memberi petunjuk."

"Hemmm, apakah itu? Tanyakanlah dan kami akan mencoba untuk menerangkan padamu kalau kami mampu." kata Thay Lek Siansu.

"Begini, Suhu. Selama ini teecu hidup berbahagia dan sesungguhnya, teecu masih tidak mengerti dan ragu-ragu untuk apa teecu mempelajari ilmu dari Suhu sekalian. Selama ini, teecu tidak membutuhkan apa-apa karena tidak merasa kekurangan sesuatu pun. Lalu apa yang akan teecu peroleh kalau teecu sampai menguasai ilmu-ilmu dari Suhu berlima? Hal inilah yang meragukan walaupun teecu merasa gembira sekali akan belajar ilmu dari Suhu berlima. Mohon penjelasan Suhu."

Lima orang kakek itu saling pandang dan sejenak mereka tidak mampu menjawab. Mereka membayangkan tentang kebahagiaan. Pemuda yang menjadi murid mereka ini hidup berbahagia karena dia tidak membutuhkan apa-apa.

Keadaan berbahagia adalah keadaan orang yang tidak membutuhkan apa-apa. Tidak menginginkan apa-apa. Tidak membutuhkan sesuatu itu berarti sudah tidak kekurangan apa-apa dan kalau sudah begini, tentu saja manusia dapat hidup berbahagia. Tidak berbahagia disebabkan karena keinginan tidak tercapai, akan tetapi kalau sudah tidak menginginkan sesuatu yang tidak ada.

Maka dia akan dapat menerima segala yang ada tanpa mengeluh. Menerima apa yang ada tanpa menghendaki yang lain merupakan pelaksanaan daripada kepercayaan akan kekuasaan Tuhanl Apapun yang dikehendaki Tuhan pasti terjadi dan segala yang terjadi pasti benar dan wajar karena merupakan kehendak Tuhan.

Siapa yang mampu menerima segala peristiwa yang menimpa dirinya tanpa penilaian baik buruk, untung rugi, tidak menyambut setiap peristiwa dengan tawa atau tangis, melainkan sebagai sesuatu yang wajar, maka dialah orang yang benar-benar memiliki iman dan kepasrahan terhadap kehendak Tuhan!

Manusia berikhtiar bukan berlandaskan keinginan akan sesuatu, melainkan berlandaskan kebijaksanaan, namun ikhtiar atau usaha yang dilakukan itu berlandaskan kepasrahan akan kehendak dan keputusan yang diambil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Pemuda ini polos, jujur dan tidak banyak kehendak, maka tentu saja dia merasa bimbang dan bingung ketika diangkat murid oleh mereka berlima.

Di antara lima orang Thian-san Ngo-sian itu, paling cerdik adalah Pek-ciang Yok-sian, maka kini empat orang kakek yang lain memandang kepada saudara termuda ini dengan penuh harapan. Pandang mata mereka seolah-olah menyerahkan jawaban dari pertanyaan yang sulit dari murid mereka itu kepadanya untuk menjawabnya dengan tepat.

Sejak tadi, Pek-ciang Yok-sian juga sudah memutar otaknya. Kemudian dia berkata dengan suaranya yang halus dan, sikapnya yang lemah lembut biarpun dia selalu bergembira. "San Hong, engkau membutuhkan jawaban? Pertanyaanmu itu tidak dapat dijawab dengan keterangan saja, karena hal itu tentu bahkan akan membingungkan hatimu. Lebih baik kalau engkau melihat sendiri mengapa engkau perlu mempelajari ilmu-ilmu tinggi dari kami. Mari kau ikut bersamaku turun gunung dan kau lihat sendiri!"

Berkata demikian Pek-ciang Yok-sian memberi isyarat dengan pandang matanya kepada empat orang saudaranya lalu menyambar tangan San Hong dan di lain saat San Hong merasa dibawa terbang oleh kakek yang menggandeng tangannya. Beberapa kali dia terpaksa harus memejamkan matanya karena ngeri dibawa meloncat melewati jurang yang amat lebar dan dalam. Namun diam-diam dia kagum bukan main.

Kiranya bukan hanya Bu Eng Sianjin seorang yang memiliki ilmu berlari seperti terbang, akan tetapi kakek ini pun dapat berlari secepat terbang dan memiliki kekuatan yang besar pula karena dapat menggandeng dia melompat jurang jurang yang lebar! Di samping kekagumannya juga San Hong merasa gembira sekali karena dia kini yakin bahwa dia telah diambil murid oleh lima orang yang benar-benar amat sakti.

Pek-ciang Tok-sian membawa San Hong ke kaki gunung yang berlawanan dengan dusun tempat tinggal orang tua pemuda itu. Di sebuah dusun yang cukup besar mereka berhenti dan hari pun sudah mulai terang. Agaknya Pekciang Yok sian masih ragu-ragu dan sedang mencari-cari sesuatu, dan sesuatu itu pun terjadilah seperti yang diharapkannya!

Dia sudah tahu bahwa di dusun ini seringkali terjadi kejahatan yang dilakukan oleh beberapa orang jagoan yang datang dari kota dan belum lama tiba di dusun itu membuat keributan dan memaksa kehendak mereka kepada orang-orang dusun. Mereka adalah lima orang penjahat atau tukang pukul yang tidak segan-segan untuk memeras penduduk dusun, mengganggu wanita dan melakukan banyak perbuatan sewenang-wenang.

Ketika mendengar ada jeritan wanita dari sebuah rumah, Pek-ciang Yok-sian cepat menarik tangan San Hong ke arah suara itu. Nampaklah oleh San Hong seorang laki-laki tinggi besar bermuka penuh brewok sedang memukuli seorang kakek berusia enam puluh tahunan, sedangkan laki-laki ke dua yang mukanya bopehg sedang menarik-narik seorang gadis yang menjerit-jerit ketakutan.

"San Hong, melihat kejahatan seperti itu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Pek-ciang Yok-sian.

Sejak tadi San Hong sudah marah sekali melihat ada seorang laki-laki tinggi besar yang masih muda memukuli seorang kakek, apalagi melihat seorang laki-laki menyeret tangan seorang gadis. Dia tidak menjawab pertanyaan suhunya, melainkan cepat lari menghampiri ke pekarangan rumah itu, "Heiii! Apa yang kalian lakukan itu? Berhenti.....!!" bentak San Hong dengan suaranya yang mengguntur.

Dua orang laki-laki yang berusia tiga puluh tahun lebih itu terkejut mendengar ada orang berani menegur mereka. Ketika mereka menoleh dan melihat seorang pemuda remaja yang menegur, mereka menjadi marah sekali. Si muka brewok melepaskan kakek yang terkulai di atas tanah sedangkan si bopeng melepaskan tangan gadis itu. Gadis itu sambil menangis menubruk kakek itu yang terengah-engah dan nampak kesakitan.

Dua orang tukang pukul itu kini menghampiri San Hong dan dengan sikap pongah mereka bertolak pinggang dan memandang kepada San Hong dengan sikap mengejek. "Hai, engkau ini bocah dari mana berani sekali mencampuri urusan kami! Tidak tahukah engkau siapa kami?" tanya si muka bopeng sambil mengamangkan tinjunya ke arah muka San Hong.

San Hong yang marah itu masih menahan kemarahannya karena dia tidak tahu apa yang menjadi persoalannya maka dua orang itu melakukan kekerasan seperti itu. Siapa tahu kakek dan gadis itu mempunyai kesalahan walaupun andaikata demikian, tidak sepantasnya kalau dua orang laki-laki menghina seorang kakek dan seorang gadis.

"Nanti dulu, kawan-kawan." katanya dengan suara tenang dan sabar. "Aku sama sekali bukan bermaksud mencampuri, akan tetapi aku hanya mengingatkan kepada kalian bahwa tidak sepatutnya kalau dua orang laki-laki muda yang gagah seperti kalian ini memukuli seorang kakek yang lemah dan menyeret seorang gadis. Kalau ada urusan, dapat diselesaikan dengan cara yang baik, bukan dengan kekerasan. Apakah sebetulnya kesalahan mereka itu terhadap kalian?"

Tentu saja dua orang ayah dan enak itu sebetulnya tidak mempunyai kesalahan apa pun juga terhadap mereka, namun seperti biasa, dua orang itu mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakan mereka.

"Heh, bocah dusun! Sebelum kami menjawab pertanyaanmu, lebih dulu jawablah. Siapa engkau dan mengapa pula engkau mencampuri urusan ini? Apamukah ayah dan anak itu?" tanya si brewok dengan sikap mengancam.

"Aku bukan apa-apa mereka, tidak mengenal mereka, akan tetapi sebagai sesama manusia aku berhak untuk membela mereka kalau-kalau mereka tidak bersalah dan memintakan ampun kalau mereka bersalah. Namaku Kwee San Hong, dari dusun di kaki gunung di sebelah timur sana. Nah, sekarang katakan! apa sebabnya kalian menggunakan kekerasan terhadap mereka?" Sikap San Hong masih sabar.

Sementara itu, Pek-ciang Yok-sian hanya menonton dari jauh sambil memangku kedua lengan dan tersenyum. "Mau tahu sebabnya?" bentak si mukai bopeng. "Gadis itu adalah calon isteriku, dan tetapi hari ini ketika aku hendak mengajaknya pergi, ayahnya melarang dan gadis itu pun mengingkari janji, tidak mau ikut dengan aku seperti yang telah dijanjikannya."

San Hong mengerutkan alisnya. Kalau benar demikian, kakek dan gadisnya itu memang bersalah. Akan tetapi dia masih ragu-ragu dan dia menoleh kepada ayah dan anak itu. "Lopek dan Enci, benarkah itu? Kalian telah melanggar janji kepada saudara ini?"

"Bohong! Dia bohong!" Gadis itu berteriak sambil menangisi ayahnya yang babak belur dihajar oleh si brewok tadi. ”Mereka memang selalu menggodaku, merayuku akan tetapi aku tidak pernah mau melayani mereka. Hari ini mereka minta kepada Ayah untuk mengajak aku, tentu saja Ayah menolak dan mereka lalu memukuli Ayah dan hendak memaksaku!"

Wajah San Hong berubah merah mendengar ini, dan memang sudah setengah diduganya bahwa ayah dan anak itu tentu tidak bersalah. "Hemmm, mengapa engkau menuduh mereka yang tidak baik Kawan? Dan mengapa pula kalian hendak memaksa Enci itu?"

"Hei, anjing dusun! Apa pedulimu? Memang kami menghendaki gadis itu baik dengan suka rela maupun secara paksa. Habis engkau mau apa?" bentak muka bopeng.

Mendengar ini, San Hong tidak dapat menahan lagi kemarahannya. "Kalau begitu, kalian berdua adalah orang-orang jahat!" bentaknya.

Si muka brewok sudah menerjang memukul San Hong dengan pukulan tangan kanannya. Kuat sekali pukulannja itu dan kepalan tangannya yang melayang ke arah muka San Hong. Pemuda ini cepat melangkah mundur menangkis dengan lengan kirinya.

"Dukkk!" Tangkisan itu membuat muka brewok hampir terpelanting, terkejut. Tak disangkanya bahwa pemuda dusun itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya. Dia kaget dan juga marah, lalu sambil mengeluarkan suara menggereng dia sudah meloncat dan menerjang San Hong dengan pukulan-pukulan teratur, dengan jurus-jurus ilmu silat.

Sekali ini San Hong kewalahan! Dia berusaha untuk mengelak dan menangkis, namun dia tidak tahu caranya dan karena lawannya memang pandai silat, dia pun segera menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan. Lebih celaka lagi, si muka bopeng juga ikut menerjang dan dia pun menjadi permainan mereka.

Hanya karena San Hong bertubuh kuat sekali, dan memiliki keberanian seperti seekor singa, maka biarpun tubuhnya menjadi bulanbulanan pukulan dan tendangan sedangkan dia tidak berkesempatan untuk membalas sama sekali, dia tidak pernah menyerah dan terus melawan dengan nekat dan mati-matian.

Dua orang tukang pukul itu agaknya kewalahan menghadapi kenyataan dan kebandelan San Hong. "Ah, bocah ini minta dibikin mampus agaknya!" bentak si muka bopeng dan dia pun mencabut sebatang golok yang tergantung di pinggangnya.

"Mampuslah!" bentaknya dan golok itu dibacokkan, menyambar ke arah kepala San Hong.

Melihat ini, San Hong maklum bahwa dia terancam bahaya maut, akan tetapi pada saat itu ada bayangan berkelebat dan golok itu pun terlepas dari pegangan si muka bopeng. Di lain saat, si muka bopeng terpelanting dan tidak mampu bergerak lagi karena totokan yang dilakukan Pek-ciang Yok-sian. Si muka brewok menjadi marah. Dia pun mencabut goloknya dan menyerang kakek yang telah merobohkan temannya.

Akan tetapi kembali dua kali tangan Pek-ciang Yok-sian bergerak dan si muka brewok mengeluh, goloknya terlempar dan diapun roboh pingsan.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.