Pedang Asmara Jilid 08 karya Kho Ping Hoo - PADA saat itu, datang berlarian tiga orang tinggi besar, yaitu kawan-kawan dari dua orang tukang pukul itu, dan melihat betapa dua kawan mereka roboh, tiga orang ini mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi, San Hong sudah mendahului seorang di antara mereka dengan serangan pukulannya sebelum orang itu mencabut goloknya.
Pukulan tangan San Hong amat kuat dan keras, membuat orang itu terjungkal dan roboh, sedangkan dua orang lainnya, baru saja mencabut golok sudah harus roboh oleh totokan Pek-ciang Yok-sian.
Semua penduduk baru berani keluar setelah mendengar bahwa lima orang tukang pukul yang selama ini mengganggu dusun mereka, telah dirobohkan seorang pemuda asing dan seorang kakek. Mereka berbondong-bondong datang membawa senjata seadanya dan mereka hendak mengeroyok dan menghajar lima orang yang sudah roboh itu. Melihat ini, San Hong cepat melompat ke depan.
"Saudara-saudara, tahan semua senjata! Tidak boleh kalian membunuh begitu saja mereka ini!"
Melihat bahwa pemuda dan kakek itu yang sudah berjasa merobohkan lima orang penjahat mencegah, biarpun mereka masih penasaran dan tidak puas, namun orang-orang dusun itu menahan senjata mereka.
Pek-ciang Yok-sian hanya menjadi penonton saja sambil tersenyum, ingin dia melihat apa yang akan dilakukan muridnya itu. Dia merasa puas bahwa kebetulan sekali terjadi kejahatan itu sehingga muridnya mengalami hal yang amat dibutuhkan untuk menjawab pertanyaannya tadi tentang manfaat mempelajari ilmu.
"Saudara sekalian, kenapa selama ini kalian mau saja ditekan oleh lima orang penjahat ini?" tanya San Hong kepada mereka.
Seorang pria berusia lima puluhan tahun melangkah maju. "Orang muda yang gagah, aku adalah kepala dusun di sini. Apa yang dapat kami lukukan terhadap mereka? Mereka adalah orang-orang jahat yang tidak segan-segan memukul bahkan membunuh orang. Mereka itu kejam sekali dan kami takut kepada mereka. Sekarang, setelah mereka dpat dirobohkan, kami ingin membunuh mereka!"
San Hong menggeleng kepala. "Sungguh keliru sekali, Paman. Paman menjadi seorang kepala dusun tidak memberi contoh yang baik kalau membunuh mereka ini begitu saja! Apalagi setelah mereka tidak berdaya. Semestinya dengan kekuatan sekian banyaknya orang laki-laki di dusun ini, kalau mau serentak bangkit menghadapi mereka, jangankan baru lima orang ini, biar ada sepuluh orang pun Paman dan teman-teman penduduk dusun tentu akan mampu membasmi mereka."
Kepala dusun itu meugangguk-angguk dan semua pria penduduk dusun di situ juga menyatakan setuju. Mereka berjumlah hampir seratus orang, sungguh bodoh sekali kalau selama ini mereka membiarkan diri dihantui oleh para penjahat yang hanya lima orang. Kalau melawan satu lawan satu tentu mereka kalah, akan tetapi kalau semua penduduk maju, lima orang penjahat itu dapat mereka jadikan bubur!
San Hong lalu menghampiri si muka bopeng yang agaknya menjadi pemimpin lima orang penjahat itu. "Kalian dengar baik-baik!" katanya dengan suara lantang. "Sekali ini Suhu dan aku, dan juga para penduduk dusun ini, tidak membunuhmu dan memberi kesempatan kepada kalian untuk kembali ke jalan benar. Kalau lain kali kalian berani lagi mengganggu dusun ini, kalian akan menghadapi perlawanan puluhan bahkan ratusan orang dan nyawa kalian tentu takkan dapat diselamatkan lagi!"
"Terima kasih....." kata si muka bopeng yang tadi sudah ketakutan setengah mati karena kalau para penduduk yang sakit hati itu dibiarkan, tentu tubuh mereka sudah hancur dihujani pukulan senjata para penduduk dusun yang marah itu. "Kami.... kami tidak berani lagi....." Dia melirik ketakutan ke arah kakek berpakaian sastrawan yang berdiri sambil tersenyum-senyum itu. "..... akan tetapi.... mohon dibebaskan totokan dari tubuh kami....."
San Hong tidak mengerti akan tetapi melihat betapa mereka itu tidak mampu bergerak, dia pun dapat menduga bahwa tentu suhunya yang menjadikan mereka seperti itu, maka dia pun menghadapi kakek itu. "Suhu, harap Suhu suka mengampuni mereka."
Pek-ciang Yok-sian mengangguk angguk, kemudian berkata, 'Orang-orang seperti mereka ini, selalu mengandalkan, kekuatan untuk memaksakan kehendak mereka kepada orang lain, oleh karena itu, sebelum mereka dibebaskan, kekuatan itu harus dirampas dari tubuh mereka!"
Berkata demikian, beberapa kali tangannya bergerak ke arah tubuh lima orang itu. Lima orang penjahat itu dapat bergerak kembali, akan tetapi mereka meringis kesakitan karena tulang-tulang pundak mereka telah remuk!
Cacat ini dapat disembuhkan, akan tetapi kekuatan mereka akan lenyap untuk selamanya, kalaupun ada, maka kekuatan itu tidak akan melebihi kekuatan orang dewasa biasa dan tentu saja hal ini tidak memungkinkan lagi bagi mereka untuk bertindak sewenang-wenang.
Apalagi, dengan cacat itu, mereka tidak akan melakukan gerakan silat dengan baik dan mengadu kekuatan dapat membahayakan pundak mereka lagi. Tanpa berani mengeluarkan suara karena masih takut akan sikap para penduduk yang memandang mereka penuh kebencian, lima orang itu lalu pergi meninggalkan dusun itu.
Para penduduk dusun, dipimpin kepala dusun mereka, menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada San Hong dan gurunya, akan tetapi ketika mereka mengangkat muka, pemuda dan kakek itu telah lenyap dari depan mereka!
"Bagaimana, San Hong?" tanya Pek-ciang Yok-sian kepada pemuda itu setelah mereka kembali ke puncak di mana empat orang kakek lain masih menunggu. "Sudahkah engkau memperoleh jawaban pertanyaanmu apa manfaatnya engkau belajar silat dari kami?"
San Hong mengangguk-angguk. "Kalau tidak ada Suhu, tentu teecu tadi telah tewas di tangan lima orang penjahat dan teecu tidak akan mampu menolong gadis dan ayahnya itu. Teecu kini tahu bahwa untuk dapat menolong orang lain, untuk dapat mencegah terjadinya kejahatan, menentang para penjahat, teecu harus memiliki ilmu kepandaian untuk mengalahkan mereka. Kini teecu maklum betapa pentingnya ilmu kepandaian silat bagi teecu dan terima kasih atas petunjuk Suhu sekalian."
Lima orang kakek itu tersenyum gembira dan mereka mengambil keputusan untuk tinggal di puncak yang indah itu untuk bersama-sama menggembleng murid mereka.
San Hong memperlihatkan kecakapan dan kerajinannya dengan membuatkan pondok-pondok untuk kelima orang gurunya dan untuk dia sendiri, dibangun dengan kayu yang diambilnya dari hutan. Pondok-pondok kecil sederhana yang kokoh kuat dan para gurunya merasa senang bukan main.
Mulailah pemuda itu berlatih ilmu-ilmu silat yang tinggi dari lima orang gurunya dan dia berlatih amat tekun dan rajin. Tepat seperti dugaan guru-gurunya, wataknya yang jujur dan pikirannya yang kosong bodoh bahkan mampu menerima ilmu-ilmu yang tinggi itu dengan mudah. Bakatnya amat baik dan didorong pula oleh ketekunannya, maka pemuda itu memperoleh kemajuan pesat sekali.
Di bawah bimbingan Thay Lek Siansu, tenaga raksasa, dari San Hong, tenaga alami yang dibawanya sejak lahir, dapat dikembangkan semakin hebat sehingga pemuda itu bukan hanya memiliki tenaga luar yang dahsyat, akan tetapi juga tenaga dalam yang amat kuat. Dari gurunya ke dua, Bu Eng Sianjin, dia mewarisi ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang membuat tubuhnya yang tinggi besar itu mampu bergerak amat lincahnya, dan dia dapat berlari cepat seperti seekor kijang jantan.
Gurunya yang ke tiga, di samping memberi pelajaran ilmu kekuatan batin untuk menolak kekuatan sihir lawan, juga memperdalam pengertian akan hidup, mempertajam kewaspadaannya terhadap lahir dan batinnya sendiri, terhadap segala yang terjadi disekelilingnya. Gurunya yang ke empat, Lui-kong Kiam-sian, mewariskan ilmu pedang yang ampuh, yang diberi nama Pek-lui Kiam-sut ((Ilmu Pedang Halilintar).
Guru yang ke lima dan terakhir, Pek-ciang Yok-sian, selain mengajarkan ilmu silat tangan kosong juga mengajarkan ilmu-ilmu pengobatan yang pokok bagi seorang ahli silat seperti mengobati luka beracun luka dalam dan salah urat, patah tulang dan sebagainya.
Selama lima tahun San Hong digembleng oleh lima orang gurunya. Setelah lima orang kakek itu menganggap bahwa murid mereka sudah boleh diandalkan pada suatu hari mereka memanggil San Hong menghadap. Mereka berlima sudah berkumpul di puncak, di lapangan rumput dan mereka berlima duduk bersila di atas rumput. San Hong menghadap gurunya dan berlutut di depan mereka.
"San Hong," kata Thay Lek Siansu yang mewakili saudara-saudaranya bicara "Kami berlima sudah bersepakat untuk melepasmu pergi hari ini. Kami menganggap bahwa ilmu yang kau pelajari sudah cukup untuk kau bawa sebagai bekal hidupmu. Dan sekarang kami hendak memberimu sebuah tugas, dan untuk tugas itulah sebenarnya kami bersusah-payah memilihmu dan mendidikmu sebagai murid kami."
Diam-diam San Hong terkejut. Dia mulai merasa sayang kepada lima orang kakek yang selalu bersikap baik kepadanya itu, lima orang kakek aneh yang sakti yang wataknya berbeda-beda. Akan tetapi, berkat latihan yang didapatnya dari Pek Sim Siansu, rasa kaget itu dapat lebur dan lenyap seketika sehingga tidak nampak pada wajahnya.
"Ngo-wi Suhu, teecu merasa baru sebentar teecu mempelajari ilmu dari para suhu, mengapa Suhu hendak melepas teecu pergi? Sesungguhnya, teecu masih ingin memperdalam apa yang teecu pelajari dari Suhu berlima."
"Ha-ha-ha, jangan tamak, San Hong!" kata Pek Sim Siansu. "Ilmu-ilmu yang sudah kau pelajari itu sudah cukup banyak, tinggal mematangkannya saja dalam latihan. Kalau engkau sudah matang bahkan kami pun kalau satu lawan satu tidak akan mampu menandingimu. Engkau telah menerima penggabungan dari semua ilmu kami yang menjadi andalan kami."
San Hong memberi hormat. "Kalau memang Suhu sekalian menghendaki demikian, teecu hanya mentaati perintah. Tugas apakah yang Ngo-wi berikan kepada teecu? Akan teecu laksanakan sebaik mungkin menurut kemampuan teecu."
"Bagus, bagus!" Demikianlah seharusnya sikap yang baik, San Hong." kata pula Thay Lek Siansu. "Ketahuilah bahwa sekarang ini, di utara terdapat suatu kekuatan yang amat hebat, yaitu pasukan orang-orang Mongol yang makin lama semakin kuat. Bahkan kabarnya mereka telah bergerak ke perbatasan, semua suku bangsa di utara sudah mereka tundukkan dan mereka merupakan ancaman yang amat berbahaya bagi Kerajaan di selatan. Kalau tidak keliru perhitungan Pek Sim Siansu, mereka akhirnya akan membobolkan Tembok Besar dan membanjir ke selatan sebagai kekuatan yang tak dapat dibendung."
San Hong mengerutkan alisnya. Dia sejak kecil hidup di dusun dan dia sama sekali tidak pernah tahu apa yang dinamakan perang. Akan tetapi, karena dia tidak buta huruf dan banyak pula membaca, apalagi setelah menjadi murid Pek Sim Siansu yang memberinya banyak kesempatan untuk membaca kitab, dia mengerti apa yang dinamakan oleh Thay Lek Siansu.
"Apakah Suhu sekalian menghendaki agar teecu membantu pemerintah untuk menentang penyerbuan pasukan Mongol dari utara itu?"
"Omitohud....!" Pek Sim Siansu berseru. "Engkau seorang diri, apa dayamu untuk menentang garis yang sudah ditentukan oleh Tuhan?"
"Dia benar, San Hong," kata pula Thay Lek Siansu. "Jangankan engkau seorang diri, biar ada seratus orang seperti engkau, apa artinya dibandingkan dengan ratusan ribu pasukan dari utara. Tidak, perang adalah urusan pemerintah. Untuk menghadapi pasukan haruslah dikerahkan pasukan pula dan itu merupakan urusan pemerintah."
"Kalau begitu, tugas apakah yang Suhu berikan kepada teecu?" San Hong bertanya.
"Biasanya, apabila terjadi perang maka iblis-iblis bermunculan untuk menyebar racun kejahatan. Keadaan menjadi kacau dan yang paling menderita hebat adalah rakyat jelata. Perang itu sendiri sudah sangat kejam karena pasukan pihak pemenang biasanya melakukan pembunuhan, perampokan dan perkosaan secara kejam sekali. Semua ini ditambah dengan para penjahat yang mempergunakan kesempatan selagi keadaan menjadi kacau untuk mengumbar nafsu kejahatan mereka. Nah, di sinilah engkau dapat bertugas, San Hong. Biarpun tidak mungkin engkau mencegah terjadinya semua kejahatan, setidaknya engkau dapat mengurangi terjadinya beberapa peristiwa kejahatan itu, menentang kejahatan dan melindungi yang lemah dan menjadi korban."
"Kami sudah tua, San Hong," kata Pek-ciang Yok-sian. "Karena itu, kami memilih engkau menjadi murid agar engkau dapat mewakili kami."
San Hong mengangguk mengerti dan dia pun memberi hormat. "Teecu berjanji akan mentaati semua perintah Suhu dan semoga teecu tidak akan mengecewakan harapan Suhu sekalian."
Setelah menerima banyak nasehat dari lima orang gurunya, San Hong menerima pula hadiah sebatang pedang pusaka dari Lui-kong Kiam-sian. Pedang pusaka yang biasanya dipergunakan San Hong untuk berlatih silat pedang di bawah pimpinan gurunya yang ke empat itu. Sebatang pedang pusaka yang mengeluarkan sinar berkilat dan amat ampuh.
"San Hong," demikian kata Lui-kong Kiam-sian kepada muridnya sambil menyerahkan pedang itu. "Pedang Pek lu-kiam (Pedang Kilat) ini selama puluhan tahun menjadi sahabatku dan tidak pernah terpisah dariku. Sekarang kuberikan kepadamu sebagai wakilku untuk mempergunakannya menentang segala bentuk kejahatan di dunia ini."
Kemudian merekapun saling berpisah San Hong meninggalkan puncak menuju ke kaki gunung untuk lebih dulu pulang ke. kampung halamannya, dusun Po-lim-cun tempat tinggal orang tuanya. Adapun lima orang kakek itu pergi berpencaran, kembali ke tempat pertapaan masing-masing sebelum mereka berkumpul di puncak itu dan tinggal di situ selama lima tahun.
San Hong berlari cepat sekali bagaikan terbang menuruni puncak. Teringalah dia akan pengalamannya lima tahun yang lalu ketika dia bertemu dengan Thay Lek Siansu, kemudian dengan Bu Eng Sianjin yang menjadi awal perjumpaannya dengan Thian-san Ngo-sian, lima orang kakek sakti itu.
Kini, dengan mudah dia dapat menuruni puncak itu sambil-berlari cepat, alangkah jauh bedanya dengan lima tahun yang lalu. Kalau dia teringat betapa sebentar lagi dia akan bertemu dengan ayah ibunya, jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kegembiraan.
Membayangkan pertemuannya dengan ayah dan ibunya mendatangkan perasaan gembira yang membuat dia ingin bersorak dan tertawa. Terbayang pula wajah para temannya di dusun Po-lim-cun, betapa akan gembiranya bertemu dengan mereka. Akan tetapi dia akan merahasiakan keadaan dirinya dari mereka itu.
Kecuali tentu saja ayah bundanya yang akan dia ceritakan semua yang telah dialaminya semenjak dia meninggalkan mereka. Dia tidak mengkhawatirkan keadaan ayah ibunya. Menurut ayahnya sebelum dia tinggalkan, ayahnya telah menerima sekantung emas dari Thian-san Ngo-sian, cukup untuk menjadi modal hidup selama lima tahun.
Kalau saja pemuda ini tahu apa yang telah terjadi kurang lebih dua bulan yang lalu di dusun Po-lim-cun! Pemuda yang kini berusia dua puluh tahun itu sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dusun itu telah dilanda malapetaka yang amat hebat dua bulan yang lalu. Apakah yang telah terjadi di sana?
Kurang lebih dua bulan yang lalu, pada suatu malam, dusun Po-lim-cun didatangi segerombolan perampok yang berjumlah dua puluh empat orang. Tepat seperti yang diduga oleh lima orang guru San Hong, kekacauan yang terjadi akibat perang di utara, di mana pasukan Mongol mulai merajalela, melanda di seluruh negara, bahkan terasa sampai dusun itu. Berita tentang terjadinya perang di utara itu membesarkan hati para penjahat sehingga mereka menjadi lebih berani.
Malam itu, dua puluh empat orang perampok menyerbu dusun Po-lim cun, dipelopori oleh lima orang penjahat yang sengaja membawa kawan-kawannya menyerbu dusun itu untuk melampiaskan dendam mereka terhadap seorang pemuda bernama Kwee Sin Hong!
Mereka berlima adalah para penjahat yang pernah mengacau di dusun kaki gunung dan dirobohkan oleh San Hong dan Pek-ciang Yok-sian, dan kemudian Yok-sian menghancurkan tulang pundak mereka sehingga mereka kehilangan kekuatan untuk selamanya.
Karena sebelumnya San Hong memperkenalkan namanya dan mengatakan bahwa dia datang dari dusun di kaki gunung sebelah timur, mudah saja bagi lima orang itu untuk mendapat keterangan bahwa Kwee San Hong tinggal di dusun Po-lim-cun. Maka, setelah berhasil mengumpulkan kawan-kawannya, mereka kini menyerbu dusun itu.
Begitu menyerbu, para penjahat ini melakukan aksi pembakaran terhadap rumah-rumah dusun yang berada di pinggir. Tentu saja penduduk menjadi kacau dan panik. Segera terdengar teriakan teriakan dan jeritan wanita, dan diseling suara para perampok tertawa bergelak sambil menyerang siapa saja yang nampak di dusun itu.
Melihat ini, Kwee Cun yang sudah berusia lima puluh lima tahun, segera menemui kepala dusun dan sedapat mungkin mereka berdua mengumpulkan semua pria muda di dusun itu dan dengan penuh semangat Kwee Cun berseru kepada mereka.
"Dusun kita diserbu gerombolan penjahat. Kalau kita lari, keluarga kita tentu dibunuh dan semua harta milik. Kita dirampok dan rumah kita dibakar!. Sebaiknya kita mempertahankan dusun kita mati-matian! Jumlah kita tentu lebih banyak dan marilah kita melawan para penjahat itu!"
Melihat semangat Kwee Cun, para. pemuda di dusun itu menyambut dengar sorakan dan merekapun menyambar senjata apa saja yang dapat dipergunakan untuk melawan musuh. Kwee Cun sendiri memegang sebatang golok yang biasa dipergunakan oleh puteranya untuk berburu binatang, dan lebih dari tujuh puluh orang mengikuti Kwee Cun sambil mengacung-acungkan senjata mereka, menyambut para perampok yang sedang mulai mengganas!
Bahkan ada puluhan orang wanita dusun yang tabah, ikut pula membawa senjata dan ikut keluar menyambut para penjahat itu untuk melindungi keluarga dan harta milik mereka yang tidak banyak dan yang terancam musnah oleh para perampok, itu!
Terjadilah pertempuran yang amat seru dan hebat. Para perampok itu jauh kalah banyak jumlahnya sehingga seorang perampok dikeroyok oleh empat lima orang, akan tetapi karena para perampok itu rata-rata memiliki kepandaian silat dan mereka merupakan orang-orang kasar yang sudah biasa berkelahi, maka pertempuran itu menjadi seru dan banyak, penduduk dusun Po-lim-cun yang menderita luka-luka.
Pertempuran terjadi di bawah sinar api yang membakar beberapa buah rumah dan teriakan-teriakan terdengar memecah kesunyian malam yang biasanya penuh damai. Karena khawatir kalau-kalau terkepung oleh banyak musuh dan terpencil, maka para perampok lalu bergabung dan membentuk lingkaran untuk dapat melawan lebih baik terhadap pengeroyokan penduduk dusun.
Melihat bahwa yang mengeroyok hanyalah penduduk dusun yang sama sekali tidak pandai berkelahi dan yang hanya mengandalkan tenaga kasar saja, para perampok tertawa bergelak penuh ejekan, membayangkan betapa mereka akan membantai semua pria dusun itu, kemudian menculik para wanitanya yang muda dan merampok habis semua barang berharga dari dusun itu sebagai imbalannya.
Seorang di antara para perampok itu pemimpin atau kepala mereka, adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang amat menyeramkan. Tubuhnya tinggi dan besar, perutnya gendut. Dia bertelanjang dada, nampak dada bidang dan perut gendut, dengan dada ditumbuhi bulu keriting, kedua lengannya kokoh kuat, mukanya yang bulat itu penuh cambang bauk dengan sepasang mata yang terbelalak merah, mulutnya menyeringai nampak giginya yang besar besar. Seorang yang seperti raksasa!
Sepak terjangnya juga menggiriskan semua orang. Setiap orang lawan yang menyerangnya, diterimanya dengan dada terbuka. Bacokan golok atau parang yang mengenai tubuhnya mental kembali, sama sekali tidak dirasakannya karena tubuhnya yang kebal itu tidak terluka sedikit pun oleh bacokan senjata tajam. Dan begitu tangannya bergerak menyambar, kepala penyerangnya tadi pecah dan tubuh orang itu terlempar dan tewas seketika.
"Ha-ha-ha, siapa berani melawan aku? Ha-ha-ha, kalian ini kerbau-kerbau dusun berani melawan Tiat-liong (Naga Besi) Mo Kun dan kawan-kawannya? Ha-ha-ha!" Sambil tertawa-tawa, Si Naga Besi ini dengan pongahnya lalu mengamuk dan sepak terjangnya membuat para penghuni dusun menjadi gentar.
Entah berapa orang sudah dihancurkan kepalanya oleh kedua tangannya yang seperti palu godam itu. Melihat ini, Kwee Cun yang memimpin pasukan dusun itu segera membawa beberapa orang pemuda yang kuat untuk mengepung dan mengeroyok pemimpin perampok yang lihai itu. Akan tetapi sebelum mereka turun tangan, entah dari mana datangnya, muncul dua orang laki laki berpakaian serba hitam di tempat itu.
Dua orang laki-laki ini berusia kurang lebih lima puluh tahun, yang seorang tinggi kurus dan yang seorang lagi pendek gemuk dengan perut besar. Dan begitu muncul, sambil tertawa-tawa si gendut bergerak seperti angin topan mengamuk di antara para penduduk dusun Si kurus juga mengamuk dengan mulut bersungut-sungut dan sepak terjangnya tidak kalah hebatnya dibandingkan si pendek gendut.
Dalam beberapa gebrakan saja, si gendut sudah menangkap dan membanting tewas tujuh orang, sedangkan si kurus juga telah menewaskan tujuh orang penduduk dusun hanya dengan tendangan-tendangan kakinya yang panjang.
Kwee Cun yang membawa golok menjadi marah sekali melihat betapa di pihak para perampok muncul dua orang lihai yang amat kejam. Biarpun dia maklum betapa lihainya dua orang itu, juga si kepala perampok yang tinggi besar, namun dia ingin membangkitkan semangat para penduduk dusun yang sudah mulai gentar, maka dia pun mengeluarkan teriakan marah dan dengan golok di tangan dia maju menerjang kepala perampok yang tinggi besar itu.
"Perampok jahanam!" Kwee Cun membentak dan goloknya membacok ke arah dada perampok itu yang menyambut dengan membusungkan dadanya.
"Takkk!" Golok di tangan Kwee Cun tepat membacok dada yang telanjang itu, akan tetapi goloknya mental dan terlepas dari pegangan tangannya. Sebelum Kwee Cun sempat mengelak, tangan kepala perampok itu bergerak dan kepala Kwee Cun kena dihantam keras sekali sehingga kepala itu pecah dan dia tewas seketika.
Melihat Kwee Cun tewas, juga kepala dusun, bahkan hampir semua wanita, termasuk isteri Kwee Cun yang ikut mengamuk juga tewas di samping puluhan orang penduduk dusun, mereka yang masih hidup menjadi ketakutan dan orang-orang dusun itu segera melarikan diri dari tempat itu. Mereka membawa anak-anak mereka yang menjerit-jerit ketakutan dan sebentar saja dusun Po lim cun menjadi sunyi, ditinggalkan mereka yang masih hidup.
Mayat-mayat berserakan, dan di sana-sini terdapat mereka yang luka parah sehingga tidak mampu melarikan diri, hanya menahan rasa sakit dan, berpura-pura mati. Betapapun hebat rasa nyeri yang mereka derita, mereka tidak berani mengeluarkan suara dan dengan berpura-pura mati, mereka memandang ke arah para perampok itu dengan jantung hampir berhenti berdetak saking takut, ngeri dan tegangnya.
Sementara itu, di pihak para perampok yang dua puluh empat orang jumlahnya, tidak ada yang tewas, hanya ada beberapa di antara mereka menderita luka-luka saja. Kini kepala perampok bernama Mo Kun berjuluk Tiat-liong itu, tertawa bergelak melihat penduduk dusun kabur, dan dia pun menghampiri dua orang laki-laki aneh berpakaian serba hitam sambil menyeringai.
"Entah dari mana datangnya dua orang rekan yang telah membantu kami. Kami tidak akan melupakan bantuan kalian dan tentu kalian akan mendapatkan bagian." Katanya sambil mengamati dua orang berpakaian serba hitam itu.
Si pendek gendut dan si tinggi kurus yang berpakaian serba hitam itu saling pandang. Si tinggi kurus nampak semakin cemberut dan si pendek gendut lalu tertawa bergelak, tangan kiri memegangi perutnya yang gendut dan menahan perut itu terguncang-guncang sedangkan tangan kanannya dijulurkan ke depan, telunjuknya menuding ke arah muka Si Naga Besi.
Karena kakek gendut itu hanya menuding mukanya sambil terus tertawa terpingkal-pingkal, tentu saja Si Naga Besi yang terkenal galak dan ditakuti itu menjadi tidak senang dan dia memandang dengan alis berkerut, kemudian membentak marah.
"Heh, Gendut! Apa yang kau tertawakan?"
Si gendut berpakaian hitam masih tertawa dan hanya dengan susah payah dia dapat mengeluarkan kata-kata di antara suara ketawanya. "Ha-ha-heh... kau... ha-ha-ha, sudah mau mampus..... masih dapat berlagak sombong, haha....."
Tentu saja Si Naga Besi menjadi semakin marah. "Jahanam busuk, siapa engkau ini berani menghina Si Naga Besi Mo Kun?"
Kini si perut gendut sudah berhenti tertawa dan dia pun bicara dengan muka masih menyeringai lebar menahan kegelian hatinya. "Heh-heh-heh, engkau Tiat-liong Mo Kun? Ketahuilah bahwa di sini kami tentukan sebagai wilayah kami dan tidak seorang pun boleh melanggar kedaulatan kami. Kalian telah berani beraksi di sini tanpa seijin kami, berarti kalian telah melanggar wilayah kami dan untuk itu kalian akan mampus!"
Mendengar ucapan ini, tentu saja Naga Besi menjadi semakin marah. Matanya melotot dan cambang bauknya ber gerak-gerak ketika mulutnya monyong tanpa dapat mengeluarkan suara saking marahnya. Akhirnya, dia dapat juga membentak, "Keparat!" Hayo mengaku siapa kalian sebelum mampus di tanganku!"
"Ha-ha-ha, perampok kecil macam engkau hanyalah cacing tanah busuk yang tidak ada artinya, tidak pantas mengenal kami. Hayo berlutut dan menyerahkan diri untuk kami bunuh semua!"
Sungguh hebat penghinaan ini dan si brewok itu segera melangkah maju mendekati si pendek gendut. "Orang macam engkau ini berani menghina kami? Hemm, tidak kau lihat tadi betapa golok, dari segala macam senjata tajam tidak mampu melukai aku? Apa kau sudah bosan hidup?"
Si gendut pendek mengejek. "Jangan menawarkan dadamu yang lunak seperti tahu itu untuk kupukul. Sekali tusuk dengan jari telunjuk ini pun dadamu akan berlubang!"
Si Naga Besi segera membusungkan dadanya. "Keparat, boleh kau coba, dan kalau engkau tidak mampu memenuhi ancamanmu itu, perutmu yang gendut akan kurobek dan kukeluarkan semua isinya!"
"Ha-ha-ha, benarkah? Nah, coba dada tahumu itu menerima tusukan jari telunjukku ini!" Si gendut melangkah maju, tangan kirinya bergerak kedepan dan benar saja, jari telunjuknya dia pergunakan untuk menusuk dada yang bidang, kokoh dan berbulu tebal itu.
Si Naga Besi yang selalu mengandalkan kekebalan tubuhnya, mengerahkan tenaganya untuk menjaga dada itu dari serangan lawan, sementara dia sudah siap untuk membalas dengan mencengkeram perut si gendut itu dan dirobeknya kulit dan lemak perut itu. Jari telunjuk yang pendek besar sesuai dengan bentuk tubuh orang itu meluncur ke arah dada, diterima dengan mulut tersenyum mengejek oleh Si Naga Besi.
Akan tetapi, ketika jari tangan itu bertemu dengan kulit dada yang tebal dan amat kuat seperti besi itu, jari tangan itu terus menusuk ke dalam dan wajah si brewok berubah, matanya melotot mulutnya mengeluarkan teriakan kesakitan, kemudian tubuhnya terhuyung ke belakang dan darah mengucur dari dadanya yang berlubang!
Jari telunjuk itu telah menembus kulit gajih dan daging, dan masih untung bagi Si Naga Besi bahwa bentuk jari telunjuk itu besar pendek sehingga tidak menyentuh jantungnya! Dengan kemarahan meluap dia mencabut sebatang golok dari pinggangnya!
"Ha-ha-ha,dadamu itu lebih lunak daripada tahu yang sudah membusuk!" ejek si gendut, sedangkan temannya, si tinggi kurus, hanya cemberut saja, matanya yang sipit hampir terpejam.
Agaknya Si Naga Besi, biarpun berwatak sombong, bukan seorang bodoh. Dia tahu bahwa orang yang mampu menembus kekebalan dadanya hanya dengan jari telunjuk, tentulah memiliki kepandaian tinggi maka sedikit banyak kemarahannya bercampur dengan rasa jerih. Dia lalu membentak, mengeluarkan aba-aba untuk kawan-kawannya agar maju mengeroyok! Dua puluh tiga orang, termasuk yang sudah terluka, kini mengepung si pendek gendut dan si tinggi kurus yang berpakaian hitam, dengan senjata di tangan dan sikap mengancam.
"Siauwte (Adik), hidangan sudah dikeluarkan, jangan sungkan-sungkan lagi, ganyang saja!" kata si gendut kepada temannya yang tinggi kurus.
"Hemmm, serahkan mereka kepadaku, Toa-ko (Kakak)!" kata si tinggi kurus yang mukanya selalu cemberut itu.
Dua orang ini memang aneh dan juga lucu. Keadaan tubuh dan muka mereka sungguh merupakan kebalikan sama sekali. Kalau yang lebih tua bertubuh pendek gendut, yang muda bertubuh tinggi kurus. Kalau si gendut itu mukanya selalu tersenyum lebar dan mudah tertawa, sebaliknya si kurus itu mukanya selalu cemberut seperti orang berduka atau ngambek seperti mudah menangis.
Akan tetapi, biarpun tubuh mereka aneh, sungguh Si Naga Besi sekali ini keliru sama sekali kalau memandang rendah kepada mereka. Kini dua puluh empat orang yang semuanya bersenjata tajam itu menerjang dan menghujankan senjata mereka kepada si gendut dan si kurus, dan terjadilah perkelahian yang aneh, berat sebelah dan juga lucu.
Biarpun tubuhnya dihujani senjata tajam, si tinggi kurus itu sama sekali tidak nampak gugup bahkan dia melangkah maju menyambut hujan senjata itu dengan kedua lengan diangkat, kedua tangan dengan jari-jari kecil panjang itu mencengkeram dan dia menyambut begitu saja senjata-senjata tajam, menangkap dan mencengkeramnya.
Terdengar bunyi berkretekan dan senjata-senjata yang tertangkap oleh kedua tangannya itu patah-patah dan remuk! Sementara itu, kedua kakinya yang kecil panjang sudah bergerak bergantian dan setiap orang perampok yang kena tendangan kakinya, tentu terlempar dan roboh untuk tidak bangkit kembali karena kepala, atau dada, atau bawah pusar, sudah remuk dilanda kaki yang amat kuat itu!
Si gendut juga hebat bukan main. Senjata-senjata tajam menimpa seperti hujan ke atas kepala dan pundaknya dari atas, ada pula yang menusuk perut gendutnya dari depan dan kanan kiri, akan tetapi semua senjata itu membalik seperti menimpa bola karet yang tebal dan kuat saja, dan sebelum para penyerang itu sempat menyingkir, tubuh gendut itu sudah "menggelinding" ke sana-sini dan setiap kali tangannya bergerak, tentu ada kepala pecah atau dada remuk sehingga orangnya tentu saja tewas seketika.
Si Naga Besi sendiri begitu menyerang dengan golok besarnya, disambut oleh si gendut dengan menyeringai lebar. Golok mengenai kepala, keras sekali, akan tetapi golok itu membalik dan sebelum Naga Besi sempat mengelak, kakinya sudah kena ditangkap, tubuhnya diputar-putar ke atas oleh si gendut, lalu dibanting.
"Bresssss!" dan Si Naga Besi tidak mampu bangkit lagi, hanya mengerang kesakitan karena banyak tulang-tulang tubuhnya remuk.
"Siapa.... siapa kalian....?" Si Naga Besi masih sempat bertanya sebelum nyawanya melayang.
"Heh-heh-heh, engkau tidak pantas berjuluk Naga Besi, melainkan lebih patut berjuluk Cacing Buta! Kami adalah Hek I Siang-mo (Sepasang Iblis Baju Hitam) yang kini menguasai seluruh wilayah Pegunungan Thian-san." kata si gendut.
Sepasang mata Si Naga Besi terbelalak. "Hek.... I..... Siang-mo.....?" Dan dia pun terkulai, tewas. Tentu saja dia sudah mendengar nama dua orang datuk sesat yang amat ditakuti di seluruh dunia kang-ouw ini!
Beberapa orang anggauta perampok yang masih belum roboh menjadi panik ketakutan melihat betapa Si Naga Besi sudah tewas. Mereka segera melarikan diri, akan tetapi nampak bayangan hitam berkelebatan dan dua orang berpakaian hitam itu berkelebatan cepat melakukan pengejaran dan di dalam waktu singkat saja, seluruh perampok berjumlah dua puluh empat orang itu tewas semua!
Si gendut pendek tertawa bergelak, memandang mayat-mayat berserakan yang memenuhi tempat itu. Para perampok yang tewas saja dua puluh empat orang banyaknya, sedangkan orang-orang dusun yang tewas lebih banyak lagi. Dusun yang biasanya amat tenteram itu kini menjadi tempat yang amat mengerikan, menjadi tempat pembantaian manusia!
Banyak di antara mereka yang terluka dan berpura-pura mati, menjadi sungguh-sungguh mati saking takut dan ngerinya melihat itu semua. Ada pula yang roboh pingsan, dan hanya beberapa orang saja yang cukup tabah masih mampu melihat apa yang terjadi di situ, dengan hati diliputi ketegangan dan kengerian.
"Ha-ha-ha, hari ini kita sungguh berpesta pora sampai kenyang, Siauwte!" kata si gendut sambil menyeringai kejam. "Kekuasaan yang kita tanam di daerah ini tentu akan mengesankan dan tidak akan ada seorang pun yang berani menentang kita lagi!"
"Engkau benar, Toako. Sayang masih ada yang sempat melarikan diri, terutama para wanitanya." kata si kecil kurus yang paling suka menambah kepuasan hatinya setelah melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dengan mempermainkan para wanita sampai mati.
"Ha-ha-ha, biarkan mereka pergi, agar mereka menyebar berita tentang kedatangan kita. Tak seorang pun akan berani menentang kita lagi, dan amat perlu menanamkan rasa takut di hati mereka."
Tiba-tiba tempat yang kini menjadi sunyi dan menyeramkan itu dipecahkan oleh suara yang melengking nyaring. Mula-mula suara itu terdengar hanya seperti lengking panjang, seperti lolong srigala atau binatang buas lain. Akan tetapi, makin lama lolong atau lengking itu semakin jelas dan akhirnya terdengar dari dusun yang biasa itu sebagai suara teriakan panjang.
"A-bwee.....! A-bwee.....! Siauw-bwee di mana engkau....?"
Dua orang berpakaian hitam itu saling pandang dan keduanya mengerutkan alisnya. Siapakah orangnya berani mendatangi tempat itu? Si gendut menyeringai lebar, dan lidahnya keluar menjilati bibirnya, sikapnya seperti seekor srigala yang melihat datangnya mangsa baru yang menimbulkan seleranya!
Beberapa orang penduduk dusun yang masih belum tewas, yang terluka dan pura-pura mati, mempergunakan kesempatan selagi dua orang membalikkan tubuh menanti munculnya orang yang berteriak-teriak memanggil nama A-bwee atau Siauw bwee itu, mereka merangkak dan pergi dari tempat itu.
Ada dua orang penduduk dusun yang berhasil merangkak pergi, bersembunyi di balik semak-semak lalu perlahan-lahan menjauhkan diri dari tempat yang penuh mayat itu. Tiga orang lain yang sedang merangkak, tiba-tiba melihat si tinggi kurus menoleh. Mereka cepat berpura-pura mati lagi, namun terlambat.
Si kurus ini melihat gerakan mereka dan tangan kiri si tinggi kurus bergerak tiga kali. Nampak ada sinar kecil hitam menyambar ke arah tiga orang yang terluka itu dan tanpa dapat mengeluh lagi, ketiganya terkulai lemas dan tewas dengan sebatang jarum menembus pelipis kepala mereka sampai dalam!
Dua orang datuk sesat itu, Hek I Siang-mo (Sepasang Iblis Baju Hitam), kini berdiri menanti munculnya orang yang berteriak-teriak tadi. Tak lama kemudian, mereka melihat seorang kakek melangkah datang ke tempat itu. Seorang kakek yang tinggi besar dan gagah perkasa, memakai mantel atau jubah lebar berwarna merah!
Pakaiannya putih-putih dengan sabuk emas yang lebar menghias pinggangnya. Kakek ini usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, akan tetapi masih kelihatan gagah perkasa, tinggi besar dengan kaki dan tangan yang kokoh, pundaknya lebar, dadanya bidang dan pakaiannya terbuat dari sutera halus yang mahal dan terpelihara baik-baik.
Rambutnya digelung ke atas dan dihiasi oleh perhiasan rambut berbentuk seekor naga melingkari sebuah mutiara dari batui giok. Tangannya memegang sebatang tongkat yang tingginya sepundak, dan kedua ujung tongkat itu pun dilapisi emas, yang ujung bawah meruncing, yang atas menjadi gagang berbentuk kepala naga. Sungguh seorang kakek yang gagah dan berwibawa. Mukanya persegi empat dengan sepasang mata yang mencorong dan wajah itu membayangkan keangkuhan yang luar biasa.
Begitu tiba di tempat itu, kakek ini menghentikan langkahnya yang lebar, memandang ke kanan kiri, ke arah mayat-mayat itu dan wajahnya yang tinggi hati itu nampak semakin mengejek dan memandang rendah. Dengan kerlingan mernandang rendah kepada dua orang berpakaian hitam-hitam itu, kakek berjubah merah mengeluarkan suaranya yang mengejutkan dua orang datuk sesat itu karena suara kakek ini amat lantang seperti guntur dan bergema di seluruh dusun.
"Heiii, kalian dua orang berpakaian hitam! Apakah kalian melihat anakku Ang Siang Bwee? Hayo katakan di mana anakku A Bwee!" Kalimat terakhir ini bernada memerintah.
Hek I Siang-mo adalah dua orang datuk sesat yang selamanya ditakuti dan dihormati orang, dan mereka begitu percaya kepada kekuatan dan kepandaian sendiri sehingga tidak pernah memandang tinggi orang lain. Kini, melihat munculnya seorang kakek yang begitu memandang rendah kepada mereka, tentu saja keduanya merasa mendongkol dan marah bukan main. Akan tetapi Thian-te mo, yaitu si pendek gendut, tertawa bergelak menutupi kedongkolan hatinya.
"Hoa-ha na ha, dari mana datangnya kakek pesolek dan kaya ini? Sobat, kalau engkau mencari anakmu, cobalah cari di antara mayat-mayat ini, siapa tahu barangkali ia berada di antara mereka!"
Sepasang mata itu mengeluarkan sinar mencorong, akan tetapi kakek berjubah merah itu benar-benar melangkah dan mencari-cari di antara mayat yang berserakan dan malang-melintang di tempat itu. Dia menggunakan kaki dan ujung tongkatnya untuk membalikkan mayat yang menelungkup untuk melihat mukanya.
Dan anehnya, dia bukan hanya membalikkan mayat wanita yang menelungkup, bahkan mayat pria pun dia balikkan kalau mayat itu menelungkup. Agaknya dia tidak menemukan orang yang dicarinya karena dia meninggalkan mayat-mayat itu, kini menghampiri Hek I Siang-mo yang sudah siap untuk membunuh kakek yang sama sekali tidak menghargai mereka itu.
"Apa yang terjadi di sini?" kembali kakek jubah merah bertanya dan suaranya kembali terdengar seperti bernada memerintah dan menuntut jawaban yang benar!
Im yang-mo, si kurus tinggi sudah hendak menggerakkan kakinya, akan tetapi Thian te-mo, si gendut, menyentuh lengannya dan si gendut ini kembali tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, apa yang terjadi? Beginilah kalau orang-orang berani menentang Hek I Siang-mo. Mereka mampus semua, juga engkau..."
"Kau bilang tadi siapa membunuh mereka semua?" Kakek berjubah merah memotong ucapan si gendut itu dengan suara tidak sabar.
Kembali dua orang berpakaian hitam itu mendongkol bukan main. Kakek jubah merah ini benar-benar memandang rendah mereka. "Siapa lagi kalau bukan Hek I Siang-mo?" bentak si tinggi kurus mendahului kakaknya.
"Siapakah itu Hek I Siang-mo?" Kakek jubah merah bertanya, sikapnya memandang rendah sekali.
Kembali dua orang datuk itu merasa betapa dada mereka sesak karena mendongkol. Kaum sesat di empat penjuru sudah mengenal nama besar mereka, akan tetapi kakek ini menyambut nama mereka seperti nama yang remeh saja!
"Hek I Siang-mo adalah kami!" bentak Thian-te-mo, kini untuk pertama kalinya senyumnya tidak nampak karena dia sudah marah sekali.
"Kalian bohong besar! Yang membunuh semua orang adalah aku! Hayo kalian berdua katakan bahwa yang membunuh semua orang adalah aku seorang!"
Kemarahan dua orang datuk itu tidak dapat mereka pertahankan lagi. Si gendut Thian-te-mo mengeluarkan suara menggereng setengah tertawa dan tiba-tiba tubuhnya yang bundar itu sudah menggelinding ke depan, kedua tangannya dengan cepat dan juga dengan amat kuatnya sudah menyerang dengan dahsyat ke arah dada dan perut kakek jubah merah.
Dapat dibayangkan betapa berbahayanya serangan kedua tangan Thian te-mo yang tadi setiap kali tampar saja menghancurkan kepala setiap orang anggauta perampok. Apalagi sekarang kedatangan itu dihantamkan dengan pengerahan tenaga yang besar karena si gendut sedang marah.
Kakek jubah merah itu agaknya tidak tahu bahwa nyawanya terancam serangan maut. Dia enak-enak saja, hanya mengibaskan lengan jubah merahnya. Angin besar menyambar ke arah. si gendut dan sungguh aneh, tubuh yang bundar itu seperti sebuah bola ditendang, terlempar dan bergulingan sampai jauh!
Si kurus tinggi Im-yang-mo juga sudah menerjang maju. Dia amat lihai mempergunakan kedua kakinya, maka kini begitu menerjang maju dia menggunakan kedua kakinya, menendang bergantian dengan cepat dan amat kuat. Seperti juga tadi, kakek jubah merah seperti acuh saja, hanya menggerakkan lengan jubahnya yang lebar.
Kembali ada angin menyambar dahsyat dan tubuh yang kurus kering dan tinggi itu terlempar, melayang seperti sehelai layang-layang putus talinya, dan akhirnya tubuh kurus itu terbanting jatuh dekat tubuh Thian-te mo yang gendut. Kedua orang ini bangkit duduk saling pandang seperti orang yang bermimpi buruk. Mereka tak dapat menerima, tak dapat percaya akan peristiwa yang menimpa diri mereka.
Sungguh tidak mungkin sama sekali. Mereka, dua orang datuk sesat yang berilmu tinggi, sudah digolongkan orang-orang sakti, dalam segebrakan saja dilemparkan oleh kibasan ujung lengan jubah kakek itu, tanpa kakek jubah merah itu menggerakkan kaki satu langkahpun! Ini sungguh tidak mungkin!
Perasaan malu, heran, penasaran dani marah bercampur aduk dalam dada mereka. Si gendut Thian-te-mo sudah tidak mampu tertawa lagi. Dia menggerakkan kedua lengannya dan kedua tangan yang berjari pendek-pendek itu membentuk cengkeraman, kedua lengan tergetar diisi tenaga sin-kang sepenuhnya! Datuk sesat ini mengambil keputusan untuk melakukan serangan maut yang amat hebat!
Selama ini, belum pernah ada lawan yang mampu bertahan menghadapi ilmu Hek-hiat-ciang (Tangan Darah Hitam), yaitu pukulan dan cengkeraman! Menggunakan kedua tangannya yang berubah hitam dan penuh dengan tenaga sakti yang amat kuat, pula mengandung hawa beracun!
"Hyaaaaattttt.....!!!" Dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya yang gendut bundar itu bergerak maju cepat sekali sehingga kelihatannya seperti menggelinding. Tahu-tahu kedua tangannya telah mengirim serangan maut yang amat dahsyat. Nampak uap hitam mengepul dari kedua tangannya yang berubah hitam itu, dan kedua tangan menyambar ke arah tubuh kakek jubah merah.
Seperti juga tadi, kakek itu menghadapi serangan maut ini dengan sikap acuh, dan pandang matanya yang mencorong itu memandang remeh seperti menghadapi kenakalan anak kecil saja. Tangan kanannya masih memegang tongkat dan tidak bergerak. Hanya tangan kirinya saja yang bergerak menyambut serangan lawan dan tahu-tahu, tangan kiri itu dapat mulur panjang!
Lengan itu mulur sampai hampir dua meter dan sebelum serangan si gendut tiba, lebih dulu tubuh si gendut sudah dicengkeram di bagian tengkuknya dan lengan yang panjang itu mengangkatnya ke atas. lalu membanting tubuh gendut ke bawah dengan kekuatan raksasa!
"Brukkkkk!!" Thian-te-mo dibanting ke atas tanah. Kakek gendut itu terkejut bukan main dan cepat dia mengerahkan seluruh sin-kangnya untuk melindungi tubuhnya. Bantingan itu sedemikian kuatnya sehingga tubuh Thian-te-mo yang mengeras penuh kekebalan itu terbanting dan ambles ke dalam tanah dari kaki sampai ke pinggangnya!
Pada saat itu, Im-yang-mo, si kakek kurus tinggi sudah pula datang menyerang. Kakek ini pun mengeluarkan ilmu simpanannya yang paling ampuh, yaitu ilmu Cui-beng-tui (Tendangan Pengejar Nyawa) dan tubuhhya sudah menerjang ke depan, lalu kedua kakinya bagaikan halilintar cepatnya menyambar-nyambar dari kanan kiri dengan tendangan yang amat kuat.
Namun, yang ditendang masih tenang-tenang saja, dan begitu kaki lawan yang amat panjang itu datang menyambar, kakek jubah merah menggerakkan tangan kiri menyambut, menangkap kaki dan terus mendorong dengan sentakan keras dan akibatnya, tubuh yang kecil kurus itu terlempar ke atas, tinggi sekali dan akhirnya tubuh itu terhempas ke dalam sebatang pohon yang tinggi, lemas setengah pingsan tersampir di cabang dan terayun-ayun!
Kalau lain orang yang dibanting seperti Thian-te-mo, tentu tubuhnya akan remuk dan setidaknya, tulang-tulang kaki dan punggung akan patah-patah yang akan mengakibatkan kematiannya. Badannya telah menancap ke dalam tanah sampai ke pinggang! Akan tetapi dia memang kebal dan kuat sekali. Biarpun wajah yang biasanya menyeringai dan tersenyum cerah itu kini berubah meringis kesakitan, namun dia mampu menarik dirinya keluar dari dalam tanah.
Dan keadaan Im-yang-mo tidak kalah parahnya dibandingkan saudaranya itu, Ketika dia menendang, dia mengerahkan sin-kang yang kuat, akan tetapi ketika kakinya bertemu dengan tangan kiri kakek jubah merah, kekuatan sin-kang itu membalik sehingga dia mengalami serangan dari tenaganya sendiri.
Baiknya dia dapat segera melindungi tubuh bagian dalam dengan hawa khi-kang sehingga dia tidak menderita luka parah di dalam tubuh dan guncangan hebat saja yang dideritanya sehingga ketika tubuhnya terlempar ke atas dan tertahan dalam pohon, dia hanya setengah pingsan saja. Seperti juga saudaranya, kakek tinggi kurus ini lihai, kuat bukan main.
Dengan kepala pening dan semua nampak berputar-putar ditambah ribuan bintang menari-nari di depan matanya, kakek ini masih mampu untuk turun dari atas pohon walaupun dengan merangkak dan merosot seperti anak kecil. Begitu tiba di atas tanah, dia pun bersama Thian-temo segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jubah merah!
Lenyaplah semua kesombongan mereka karena keduanya mengerti benar bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang. Amat tinggi, yang pantas menjadi guru mereka! Kini mereka pun teringat akan adanya seorang tokoh besar, seorang datuk besar yang kabarnya memiliki kepandaian seperti dewa, yang dianggap sebagai raja di antara golongan kang-ouw dan yang berjuluk Nam-san Tok-ong (Raja Racun Gunung Selatan).
Seperti inilah gambar tokoh itu, dan kalau tadi merasa tidak mengenalnya adalah karena datuk besar itu tidak pernah muncul di dunia ramai dan seperti seorang tokoh dalam dongeng para petualang di dunia kang-ouw saja.
"Mohon maaf!" kata Thian-te-mo, "Apakah kami yang bodoh berhadapan dengan Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki yang mulia?"
Kakek itu masih bersikap angkuh. "Hemmm, ada dua hal yang membuat aku tidak ingin membunuh kalian sekarang. Pertama melihat kalian tidak mati seketika setelah bertemu dengan tanganku, dan ke dua karena kalian cukup awas untuk mengenal Nam-tok (Racun Selatan). Hayo katakan, siapa yang membunuh semua mayat ini?"
Dua orang datuk sesat itu sudah pernah mendengar bahwa Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki adalah seorang datuk besar yang wataknya aneh, angin-anginan, akan tetapi selalu bersikap angkuh dan sombongnya tidak ketulungan lagi! Maka, kini mereka sama sekali tidak berani membantah dan dengan suara berbareng mereka pun berkata lantang, "Yang membunuh semua orang ini adalah Nam-tok!"
"Kurang keras! Teriakkan yang keras agar semua orang mendengar dan tahu!" kata Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki atau disingkat Nam-tok sambil menghentakkan ujung tongkatnya ke atas tanah.
Bagaikan dikomando, dengan paduan suara, Hek I Siang-mo berteriak lantang, dengan suara yang mengandung tenaga khi-kang sehingga terdengar sampai jauh sekali, "Yang membunuh mereka semua ini adalah Nam-tok!"
Agaknya kini hati kakek jubah merah itu merasa puas. Dan memang teriakan itu nyaring sekali, terdengar oleh mereka yang tadi melarikan diri sehingga semua sisa penduduk dusun Po-lim-cun dapat mendengarnya dan mereka pun menganggap bahwa penyebar maut di dusun itu bernama Nam-tok. Kini Nam-tok yang masih berdiri memandang kepada dua orang datuk yang masih berlutut di depannya. "Bangkitlah!"
Bagaikan dua ekor anjing dicambuk, dua orang itu bangkit berdiri dan memandang dengan wajah ketakutan. Mereka adalah dua orang datuk yang biasanya berwatak kejam sekali, membunuh orang tanpa berkedip. Akan tetapi sekarang barulah nampak betapa di balik kekejaman mereka terdapat watak yang pengecut dan penakut. Memang demikianlah kenyataannya. Orang yang bersikap kejam kepada bawahan, tentu menjadi penjilat terhadap atasannya.
"Sekarang katakan apakah kalian melihat puteriku yang bernama Ang Siang Bwee?"
Dua orang itu saling pandang kemudian menggeleng kepala mereka. Thian-te-mo menjawab, "Maaf, Ong-ya, kami tidak pernah bertemu dengan puteri Ong ya."
Sebutan Ong-ya ini agaknya menyenangkan hati Namtok yang memang memiliki watak tinggi hati dan angkuh bukan main. "Apakah kalian kini sudah mengakui kekuasaanku?"
"Sudah, Ong-ya dan maafkan kebodohan kami tadi."
"Kalau benar demikian, mulai sekarang, kalian kuserahi tugas untuk mencari puteriku sampai dapat dan katakan kepadanya bahwa aku tidak marah lagi padanya dan minta agar ia mau pulang."
"Baik, Ong-ya. Kami akan mengerahkan seluruh anak buah dan semua orang kang-ouw di daerah kami untuk kami sebar dan mencari puteri Ong-ya yang bernama Ang Siang Bwee itu."
"Akan tetapi kami belum pernah melihatnya, harap Ongya suka menggambarkan bagaimana keadaan puteri Ong-ya itu." Dengan hati-hati Im-yang-mo yang sejak tadi diam saja ikut bicara. Si tinggi kurus ini merasa taluk benar. Dia tadi sudah kehilangan semangatnya ketika tubuhnya terlempar ke udara dengan tubuh lemas dan hampir pingsan.
Sejenak kakek jubah merah itu diam melamun mendengar pertanyaan itu sehingga Hek I Siang-mo menanti dengan jantung berdebar tegang. Thian-te-mo memandang adiknya dengan mata mendelik marah karena pertanyaan adiknya itu dianggapnya lancang sehingga dia takut kalau-kalau kakek jubah merah itu menjadi marah.
Dan memang watak aneh Nam-tok sukar diduga. Kalau saja dia tidak membutuhkan bantuan dua orang itu untuk mencari puterinya, mungkin saja dia marah mendengar pertanyaan yang seolah-olah memaksa dia harus membuat keterangan tentang puterinya itu, dan kemarahannya itu dapat saja berakibat dengan matinya dua oang itu! Akan tetapi untung bagi mereka, sekali ini dia tidak marah.
"Puteriku bernama Ang Siang Bwee, berusia delapan belas tahun, wajahnya berbentuk bulat telur, kulitnya putih, ia manis dan matanya jeli lebar, ada lesung pipit di tepi mulutnya. Ia berandalan, pemberani, ilmu silatnya tinggi, dan ia suka menyamar sebagai pria. Nah, carilah dan kalau ia tidak mau pulang, pergunakan akal atau melaporkan kepadaku!"
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu membalikkan tubuhnya, melangkah lebar meninggalkan tempat itu, dan biarpun dia kelihatan berjalan biasa, melangkah satu-satu, namun sebentar saja dia sudah jauh sekali dari situ, hanya nampak titik merah yang kemudian lenyap.
Thian-te-mo menarik napas panjang. "Berbahaya sekali! Hampir saja hari ini nyawa kita melayang. Sungguh tidak kusangka bahwa orang tua itu sungguh-sungguh ada dan kini muncul di dunia ramai! Huh, kepandaiannya sungguh mengerikan. Mendiang suhu sendiri kalau masih hidup, kiranya masih bukan tandingan Nam-tok!"
"Memang mengerikan," kata Im-yang-mo, bergidik. "Selama hidupku belum pernah menemui lawan seperti itu. Kabarnya di dunia ini hanya See-thian Mo-ong (Raja Iblis Dunia Barat) dan Thian-san Ngo-sian berlima saja yang mampu menandinginya."
"Kita masih untung bahwa dia berkenan menarik kita sebagai pembantunya. Ini kebetulan sekali. Dengan menggunakan namanya, hal ini menambah pengaruh dan kekuasaan kita."
"Akan tetapi, ke mana kita harus pergi mencarinya kalau hendak melapor tentang puterinya?"
"Ah, apa sukarnya mencari seorang seperti dia? Setiap orang kang-ouw di daerah selatan pasti akan dapat menunjukkan di mana tempat tinggal Nam-tok."
Im-yang-mo yang tinggi kurus itu semakin cemberut. "Toako, perlukah kita bersusah payah mencarikan puterinya? Bagaimanapun juga kurasa lebih baik kalau kita berdiri sendiri daripada menjadi....."
"Ssttt, hati-hati kalau bicara, Siauw te...." Thian-te-mo menegur adiknya. Im-yang-mo hendak membantah karena dia menganggap kakaknya kini tiba-tiba menjadi seorang yang penakut sekali. Akan tetapi sebelum dia membuka mulut, tiba tiba terdengar suara Nam-tok! Suara itu terdengar lapat-lapat saja, namun cukup jelas bagi mereka.
"Jejak terakhir puteriku menunjukkan bahwa mungkin ia pergi ke kota raja. Carilah ke sana!" Setelah suara itu lenyap, suasana menjadi sunyi sekali. Im-yang-mo bergidik.
Barulah dia mengerti mengapa kakaknya bersikap penakut. Kiranya kakek jubah merah itu sedemikian lihainya sehingga mampu mengirim suara dari jauh sekali. Siapa tahu dia dapat pula mendengarkan percakapan antara mereka!
Wajahnya berubah pucat membayangkan bagaimana seandainya di mengeluarkan kata-kata yang menyinggung hati kakek jubah merah itu! Tentu dia akan mengalami kematian yang mengerikan!
"Mari kita pergi!" kata Thian-te-mo kepada adiknya dan sekarang Im-yang-mo tidak banyak membantah. Keduanya berkelebat pergi meninggalkan dusun yang penuh dengan mayat berserakan itu.
Baru setelah lewat beberapa jam dan mereka merasa yakin bahwa para iblis itu sudah benar-benar meninggalkan dusun, para pengungsi berani kembali ke dusun mereka. Dan meledaklah ratap tangis dari para keluarga yang ditinggal mereka yang jatuh sebagai korban keganasan yang amat kejam itu.
Dalam suasana penuh duka dan keprihatinan, para penduduk dusun lalu mengubur semua jenazah termasuk jenazah dua puluh empat perampok yang mula-mula menyerbu dusun mereka namun akhirnya semua perampok itu tewas pula di tangan iblis-iblis itu. Sejak hari itu, nama Nam-tok menjadi buah bibir para penduduk dusun Po-lim-cun dan tertanam di hati mereka sebagai musuh besar yang telah mengakibatkan kematian semua orang itu.
Demikianlah, ketika Kwee San Hong tiba di dusunnya, para penduduk segera mengenal pemuda tinggi besar dan gagah ini. Kwee San Hong hanya dapat menemukan gundukan tanah kuburan ayah ibunya dan mendengar cerita para penduduk bahwa dusun mereka diserbu perampok dan iblis-iblis jahat sehingga mengorbankan banyak sekali penduduk dusun, termasuk Kwee Cun dan isterinya.
Tentu saja San Hong terkejut buka main mendengar akan kematian ayah ibunya. Hanya dengan kekuatan batinnya yang kokoh dia dapat menahan kesedihannya sehingga dia tidak meruntuhkan air matanya, walaupun hatinya seperti di tusuk-tusuk ketika dia berlutut di depan makam ayah ibunya.
Kemudian dia mendengar keterangan para penduduk dusun tentang penyerbuan segerombolan perampok sehingga terjadi pertempuran antara para penduduk dan perampok yang dua puluh empat orang jumlahnya.
"Ayahmu yang memimpin kami untuk melawan para perampok itu." demikian mereka bercerita. ''Sebenarnya, kami dapat mengatasi para perampok dengan jumlah kami yang lebih banyak. Aka tetapi tiba-tiba muncul iblis itu yang membunuhi semua perampok dan juga banyak penduduk dusun sehingga sisa dari kami melarikan diri."
Diam-diam San Hong merasa bangga akan kegagahan ayahnya yang memimpin penduduk melawan perampok, akan tetapi mendengar munculnya "iblis" yang membunuhi para perampok dan penduduk dusun, dia merasa heran dan juga marah. "Siapakah iblis itu?" tanyanya.
"Kami tidak tahu. Ada di antara kami yang melihat munculnya dua orang berpakaian serba hitam, seorang pendek gendut dan seorang lagi tinggi kurus. Akan tetapi, kemudian sekali kami mendengar pengakuan iblis itu bahwa yang membunuh semua orang adalah Nam-tok!"
"Nam-tok.....?" San Hong mengulang nama itu berkalikali didalam hatinya. 'Kalau begitu, sekarang juga aku akan mencari Nam-tok!" katanya sambil bangkit dari berlutut di depan makam ayah ibunya, lalu hendak pergi dari situ.
"San Hong, nanti dulu!" Seorang penduduk dusun menahannya, "Engkau baru pulang dan ayah ibumu meninggalkan rumah dan sawah ladang yang luas, kini tidak ada yang mengurusnya."
"Biarlah, kutitipkan saja kepada kalian. Rumah itu boleh kalian tempati, dan sawah ladang itu boleh kalian olah dan hasilnya untuk kalian. Kelak kalau aku kembali, baru kalian kembalikan kepadaku. Selamat tinggal, aku harus pergi mencari pembunuh itu." Dan dia pun pergi tanpa menoleh lagi...