Pedang Asmara Jilid 09 karya Kho Ping Hoo - SETELAH melakukan perjalanan selama berbulan-bulan dalam usahanya mencari Nam-tok sambil merantau meluaskan pengalamannya dan melaksanakan tugas yang dipesankan para gurunya, pada suatu pagi yang cerah San Hong berjalan seenaknya menuju ke timur. Menurut keterangan yang diperolehnya tadi, Telaga Cing-hai yang terkenal amat luas dan indah itu berada dalam jarak belasan li lagi.
Setelah meninggalkan dusunnya, barulah San Hong merasa menyesal mengapa dia tidak mau mempedulikan akan peninggalan orang tuanya. Guru-gurunya tidak memberi bekal uang dan bagaimana dia dapat melakukan perjalanan jauh tanpa uang di saku? Dia membutuhkan uang, setidaknya untuk makan dan pakaian, dan biaya penginapan.
Akan tetapi karena sudah terlanjur menyerahkan semua milik ayahnya kepada penduduk dusun, tentu saja dia merasa malu kalau harus kembali lagi untuk mencari bekal perjalanan! Terpaksa dia setiap malam melewatkan malam di hutan-hutan atau kuil-kuil tua yang kosong, dan untuk makannya, dia berburu binatang hutan.
Kurang lebih sebulan setelah meninggalkan dusunnya, di dalam sebuah hutan, tiba-tiba perjalanannya dihadang segerombolan perampok yang terdiri dari belasan orang. Para perampok itu hendak memaksa dia menanggalkan seluruh pakaiannya. Tentu saja San Hong menjadi marah dan dengan amat mudahnya, dia merobohkan belasan orang perampok itu.
Dia lalu mendapat akal mengingat akan kebutuhannya. Dia mengancam para perampok setelah merobohkan mereka, memaksa mereka menyerahkan seluruh harta milik mereka dan ternyata, para perampok itu membawa buntalan yang berisi emas dan perak yang cukup banyak!
Tentu saja San Hong menjadi girang dan kini buntalan emas dan perak itu telah berada di punggungnya! Dari keadaan merampok, dia telah berbalik merampok harta milik para penjahat itu dan kini dia dapat melakukan perjalanan dengan hati ringan, dapat tidur di rumah penginapan dan makan di restoran!
Kematian ayah ibunya tidak lagi mendatangkan perasaan duka di dalam hatinya. Dia sudah banyak mempelajari tentang kenyataan hidup dari gurunya yang ke tiga, yaitu Pek Sim Siansu, hwesio gendut yang selalu tertawa dan bergembira itu. Dia sudah digembleng oleh gurunya ini dan mampu membuka mata melihat kenyataan hidup. Segala sesuatu di alam dunia ini tidak kekal adanya.
Oleh karena itu, keterikatan dengan sesuatu hanya akan menimbulkan duka karena suatu waktu, dia pasti akan kehilangan sesuatu itu dalam perpisahan. Dan keterikatan adalah nafsu. Dia menyayang ayah ibunya, dan kasih sayang bukanlah nafsu menyenangkan diri sendiri dengan jalan memiliki, bukan suatu ikatan. Ayah dan ibunya sekali waktu sudah pasti akan berpisah darinya melalui perpisahan mati, entah mereka yang mati lebih dahulu ataukah dia!
Tidak, dia tidak perlu berduka oleh kematian ayah ibunya. Hanya dia merasa penasaran karena kematian mereka itu karena pembunuhan. Pembunuh mereka, juga pembunuhan puluhan orang itu, tentu seorang, yang teramat kejam dan jahat, maka sudah sepatutnya kalau dia mencari Nam Tok.
Bukan sekedar membalas dendam kematian ayah ibunya dan orang-orang dusun, melainkan untuk menentang dan membasmi penjahat sekejam itu demi mencegah dia melakukan kekejian berikutnya. Hal ini sudah sesuai pula dengan pesan para gurunya.
Dia kini menuju ke timur, ke arah kota raja. Guru-gurunya berpesan bahwa pasukan Mongol yang amat kuat itu tentu akan menyerbu ke selatan, dan kalau perang terjadi, maka keadaan tentu akan menjadi kacau balau dan para penjahat akan keluar semua dari tempat persembunyian mereka, untuk berpesta pora merajalela di kota-kota dan dusun-dusun selagi pasukan pemerintah dikerahkan untuk perang.
Di sepanjang perjalanan, dia sudah mendengar akan ancaman perang dari utara itu. Banyak sudah orang orang dari dekat Tembok Besar, di perbatasan utara, mengungsi ke selatan. Dari mereka ini dia mendengar cerita betapa pasukan Mongol mulai mengganas di perbatasan dan penyerbuan mereka ke selatan melewati Tembok Besar hanya tinggal menanti waktu saja.
Jalan yang dilaluinya itu tidak lebar, hanya sekitar dua meter karena di kanan kirinya ditumbuhi ilalang belukar. Jalan yang sunyi ini memang dipilihnya. Ada jalan lain yang menuju ke Telaga Cing-hai, yaitu jalan raya yang lebar. Dia lebih suka melalui jalan sempit yang sunyi ini daripada jalan raya yang ramai dan banyak kereta dan kuda lewat sehingga berdebu.
Tiba-tiba dia mendengar derap kaki kuda dari belakang. Dia lalu minggir dan terdengar suara cambuk meledak disusul teriakan nyaring, "Heiii.....! Minggir! Apa kau ingin ditubruk kuda?"
Kuda dengan penunggangnya itu lewat dengan cepatnya, debu mengepul tinggi dan San Hong melihat betapa pemuda tampan yang menunggang kuda itu tersenyum mentertawakan ketika pakaian San Hong menjadi kotor penuh debu. Dan ketika kuda itu lewat dekat sekali dengan dia, San Hong mencium bau sedap, harum seperti bau bunga mawar.
Huh, pikirnya dengan hati mendongkol Seorang pemuda pesolek, genit memakai minyak wangi, sombong dan kurang ajar. Menurut patut, menunggang kuda melalu jalan sempit itu, kalau melihat orang berjalan kaki di depan, setidaknya akan mengurangi kecepatannya, bukan malah mencambuk kuda mempercepat larinya kuda.
Dan melihat orang terkena debu sehingga pakaiannya kotor, disebabkan oleh larinya kuda, bukan minta maaf malah mentertawakan! Hemmm, rasanya ingin dia mengetuk kepala pemuda berandalan itu biar jera. Akan tetapi San Hong bukan seorang pemarah dan sebentar saja dia sudah melupakan pemuda pesolek itu.
Melihat kesunyian jalan sempit itu, dia lalu menggunakan ilmu berlari cepat dan tubuhnya meluncur bagaikan terbang saja ke timur. Matahari telah naik tinggi dan San Hong merasa betapa perutnya lapar sekali. Sejak kemarin siang dia tidak makan apa-apa. Semalam dia terpaksa bermalam di sebuah hutan dan sejak pagi tadi dia melakukan perjalanan tanpa pernah melewati sebuah dusun pun di mana dia dapat membeli makanan.
Tiba-tiba dia menghentikan larinya dan berjalan seenaknya. Jauh di depan dia melihat seekor kuda sedang makan rumput, dan di tepi jalan, seorang pemuda sedang membuat api unggun. Di dekat pemuda itu terdapat buntalan yang sudah dibuka dan isinya adalah bahan-bahan masakan seperti tepung, sayur-sayuran, daging segar yang agaknya baru diambilnya dari seekor kelinci yang ditangkapnya, bumbu-bumbu masak, bahkan ada pula panci, minyak dan segala alat masak yang serba lengkap!
Tentu saja San Hong merasa geli dan juga heran. Dari mana pemuda itu mendapatkan semua bahan dan alat masak? Dan agaknya pemuda itu pandai memasak. Hanya orang selatan saja yang pandai masak, yaitu kaum prianya. Rata-rata kaum pria selatan pandai masak. Karena perutnya terasa lapar, San Hong merasa tertarik dan dia mendekati. Pemuda itu mengangkat muka dan keduanya nampak terkejut.
San Hong segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda pesolek yang tadi hampir menubruknya dan yang menghadiahkan debu padanya, disertai ketawa yang menjengkelkan. Juga pemuda itu memandang kepadanya dengan kaget dan agaknya merasa heran bagaimana orang yang dilanggarnya tadi dapat demikian cepat menyusulnya. Akan tetapi hanya sebentar saja dia nampak terkejut, kemudian dia tersenyum.
Senyumnya manis dan menawan. Pemuda ini sungguh tampan bukan main, pikir San Hong. Tampan dan pesolek, tentu mudah meruntuhkan hati wanita. Tiba-tiba San Hong terkejut sendiri dan mengamati wajah tampan itu penuh selidik. Pemuda tampan menarik hati, pesolek dan genit!
Teringat dia akan cerita tentang orang jahat yang dinamakan jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu penjahat yang suka mempergunakan ketampanan dan bujuk rayu, kalau perlu dengan kekerasan untuk menundukkan dan mempermainkan wanita. Jangan-jangan pemuda ini seorang jai-hwa-cat!
"Heiiiii, mau apa kau memandang aku seperti itu?" Tiba-tiba pemuda itu menegurnya. San Hong menjadi gugup dan mukanya berubah merah. Bagaimana dia dapat menduga yang tidak-tidak dan menuduh orang tanpa alasan?
"Aku..... aku seperti pernah melihatmu, entah di mana....." jawabnya untuk menutupi kegugupannya.
Pemuda itu tersenyum. "Tentu saja pernah. Bukankah engkau tadi sudah makan debu dari kaki kudaku?"
"Ahhh, benar!" San Hong pura-pura baru ingat. "Kiranya engkau yang membalapkan kuda tadi dan hampir menubrukku!"
"Tentu saja aku, mana ada orang lain? Jangan pura-pura kau! Habis, engkau jalan melamun, jadi hampir ditubruk kudaku. Engkau orang aneh, jalan seorang diri di jalan kecil yang sunyi ini. Engkau tentu....." Pemuda itu menahan ucapannya dan sepasang matanya yang jeli mengamati San Hong penuh perhatian dan selidik.
"Tentu apa?" San Hong ingin mendengar kelanjutannya. Pemuda itu bangkit berdiri dan ternyata dia kelihatan pendek dibandingkan tubuh San Hong yang tinggi besar.
Mungkin tingginya hanya sepundak, atau paling-paling setinggi leher San Hong dan tubuhnya jauh lebih kecil, nampak lemah dibandingkan tubuh San Hong yang kokoh kuat. "Biar aku menebak orang macam apa adanya engkau ini," katanya dan sepasang alis yang hitam tebal itu berkerut, matanya bersinar-sinar mengamati San Hong, terutama pada buntalan di punggung pemuda tinggi besar ini setelah mengamati wajah dan bentuk tubuh San Hong.
"Engkau tidak ada potongan menjadi pedagang besar walaupun engkau membawa emas dan perak yang tidak sedikit. Melihat pakaianmu dan sikapmu, engkau tidak pantas pula menjadi seorang kaya apalagi bangsawan. Nanti dulu..... keadaanmu memang agak sukar ditebak. Mukamu begitu bodoh akan tetapi sinar matamu mencorong.
"Hemmm, engkau tentu seorang petualang yang merantau seorang diri. Pakaianmu sederhana akan tetapi engkau memiliki banyak emas dan perak Apakah perampok? Tentu bukan. Wajahmu terlampau bodoh dan lembut untuk menjadi seorang perampok. Pencuri? Mungkin, akan tetapi matamu membayangkan kejujuran, dan suaramu mengandung harga diri yang tinggi, kiranya engkau takkan dapat melakukan pencurian karena malu. Wah, sungguh sukar menebak, akan tetapi lebih menarik hati. Teka-teki yang aneh dan tidak mudah. Jangan...... jangan bicara dulu, biarkan aku melanjutkan penyelidikanku."
Pemuda tampan itu kini berdiri dan melangkah perlahan-lahan mengelilingi San Hong, alisnya yang hitam berkerut, matanya bersinar dan wajahnya berseri. Di belakang San Hong, dia berhenti dan meraba-raba buntalan terisi uang dan pakaian, emas dan perak. Diam-diam San Hong merasa tegang. Jangan-jangan pemuda tampan ini seorang perampok, pikirnya. Kalau tidak, mana mungkin dapat mengetahui bahwa dia membawa banyak emas den perak?
Pada saat itu, tiba-tiba dia merasa ada angin pukulan menyambar dari belakang. Tepat dugaannya, pikirnya, tentu perampok ini hendak menyerangnya dari belakang, untuk merampas emas dan peraknya. Dengan gerakan otomatis, kakinya meloncat cepat sekali ke depan sehingga kalau pemuda tampan itu benar menyerangnya, tentu serangan itu takkan mengenai tubuhnya yang juga sudah dia lindungi dengan tenaga sakti.
Ketika dia membalikkan tubuhnya, pemuda itu berdiri sambil memandang kepadanya dan mulutnya tersenyum lebar. San Hong memandang dengan kagum. Sungguh pemuda itu tampan sekali. Kini dia tersenyum dan. ketampanannya semakin menarik, karena wajah yang tampan itu manis bukan main. Belum pernah dia bertemu seorang pemuda yang begini ganteng!
"Ha-ha-ha, sekarang aku sudah tahu!" kata pemuda itu sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka San Hong sedangkan tangan kanannya masih memegang pisau yang tadi dipergunakan untuk menyayat daging kelinci.
"Engkau bukan pedagang, bukan perampok, bukan pula pencuri. Mungkin saja engkau menemukan harta pusaka terpendam. Akan tetapi ketika aku melihat kain buntalan itu, aku tahu bahwa kain itu biasa dipergunakan orang kang-ouw untuk membawa barang berat. Agaknya buntalan itu berasal dari buntalan berisi emas dan perak itulah. Jadi, tadinya bukan milikmu! Dan ketika aku membuat gerakan menyerang, engkau dapat cepat menghindar, berarti bahwa engkau pandai ilmu silat, walaupun tidak berapa tinggi,"
Sampai di sini, pemuda itu mengamati wajah San Hong sambil tersenyum. Akan tetapi pada wajah yang membayangkan kegagahan dan memang nampak agak bodoh itu tidak nampak tanda marah walaupun dikatakan pandai ilmu silat walaupun tidak berapa tinggi.
"Nah, dengan adanya kenyataan-kenyataan yang kukumpulkan ini, maka aku hampir berani memastikan bahwa engkau tentu bertemu dengan perampok yang mengganggumu. Engkau mengalahkan mereka tentu saja, karena mereka hanya perampok-perampok kecil, dan agaknya engkau merampas buntalan mereka yang berisi emas dan perak!"
Sepasang mata San Hong terbelalak dan wajahnya nampak semakin bodoh ketika dia memandang dengan penuh rasa heran dan kagum kepada pemuda tampan itu. Melihat wajah San Hong, pemuda itu memperlebar senyumnya.
"Nah, nah wajahmu itu jelas menunjukkan bahwa tebakanku tepat. Bukankah begitu?"
San Hong hampir tidak dapat percaya bahwa pemuda yang tampan ini dapat menebak sedemikian jitu dan tepat! "Kau..... agaknya engkau membayangi aku dan mengintai! Atau... engkau sahabat dari mereka itu dan mendengar dari mereka! Apakah engkau datang mengejarku dan hendak merampas kembali emas dan perak ini?"
Pemuda itu tertawa dan San Hong melihat deretan gigi yang rapi dan putih, rongga mulut yang merah dan lidah yang jambon. Akan tetapi hanya sebentar saja pemuda itu tertawa dengan mulut lebar karena dia sudah menutup lagi mulutnya dan hanya terkekeh.
"Bagus, ucapanmu itu membuktikan bahwa engkau tidaklah sangat bodoh sekali, masih mampu mempergunakan otak, walaupun dugaanmu tadi sama sekali keliru. Aku tidak membayangimu, tidak mengintaimu, tidak pula bertemu dengan para perampok. Aku hanya mempergunakan ini...."
Telunjuknya yang kiri menuding ke arah kepalanya. "Kalau orang kurang dapat mempergunakan otaknya, dia akan menjadi orang bodoh. Sekarang katakan, benar tidak semua tebakanku tadi?"
San Hong mengangguk dan dia pun tersenyum, lega bahwa pemuda ini bukan membayanginya, bukan pula sahabat dari para perampok itu. "Semua benar dan tepat sekali. Sungguh engkau seorang pemuda yang luar biasa, Sobat, engkau cerdik dan pandai bukan main. Aku kagum dan mengaku kalah!" San Hong lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada, bersoja dengan sikap hormat dan bersungguh-sungguh.
Pemuda itu membungkuk sambil tersenyum, akan tetapi matanya yang tajam itu mengamati wajah San Hong penuh selidik. "Hemmm, hampir saja aku mengira banwa engkau bersikap begini karena menginginkan makan bersamaku! Akan tetapi tidak, engkau jujur!"
"Ehhh? Mengapa engkau menyangka begitu?" San Hong memandang terbelalak dan mukanya berubah merah. Biarpun dia tidak berpamrih seperti itu, harus pula diakuinya bahwa melihat perlengkapan masak dan daging segar itu, timbul seleranya dan terasa betapa lapar perutnya.
"Mengapa tidak? Hampir semua sikap menjilat dan merayu selalu ada pamrih tersembunyi di baliknya! Akan tetapi engkau tidak! Engkau jujur dan sungguh-sungguh. Karena itu, hatiku senang sekali, Sobat! Dan saking senangnya hatiku, aku mengundangmu untuk makan bersamaku di sini."
Kini San Hong yang memandang dengan alis berkerut, tidak menjawab, juga tidak bergerak untuk duduk mendekati api unggun memenuhi undangan itu. Melihat ini, pemuda tampan itu memandang heran. "Eh, mengapa? Apakah engkau tidak mau menerima undanganku? Engkau akan rugi dan menyesal! Aku pandai sekali membuat masakan yang amat lezat! Kalau diadakan pertandingan memasak, di seluruh daerah selatan aku tentu akan menjadi juara!"
"Bukan menolak, hanya.... aku ragu-ragu apakah tidak ada pamrih sesuatu di balik sikapmu yang baik ini? Kaukatakan tadi, semua rayuan dan kebaikan selalu menyembunyikan pamrih. Jangan-jangan engkau tertarik kepada buntalanku ini....."
San Hong menepuk buntalan di punggungnya. Sepasang mata itu terbelalak, mukanya berubah merah dan jelas bahwa pemuda itu marah sekali. "Aku? Menginginkan buntalanmu? Heh, orang bodoh! Kalau aku mau, aku bisa memiliki emas dan perak yang sepuluh kali lebih banyak dari itu ! Kau hendak menghinaku, ya?"
San Hong tersenyum dan menggeleng kepala. "Sama sekali tidak. Aku hanya belajar darimu, meniru dugaanmu tadi. Wah, dari orang cerdik seperti engkau aku akan dapat belajar banyak, Sobat."
Mendengar ini, pemuda tampan itu tersenyum kembali dan wajahnya kembali cerah. "Tentu saja, engkau dapat memperoleh banyak kemajuan kalau belajar dariku. Nah, silakan duduk dan tunggu sebentar aku akan masak makanan untuk kita berdua."
"Terima kasih," kata San Hong. Hatinya gembira bukan main. Dia percaya sepenuhnya kepada sahabat baru ini, yang amat cerdik, amat ramah dan juga sikapnya memiliki daya tarik yang besar, membuat dia seketika merasa amat suka kepada pemuda itu. San Hong duduk bersila di dekat api unggun.
Sedangkan pemuda tampan itu kini sibuk mempersiapkan masakan. Disayat-sayatnya daging segar itu, menjadi sayatan tipis-tipis, lalu dimasukkannya ke dalam panci di mana telah ditaruh bumbu dan tepung, ditambah air dan daging itu diaduk-aduk sampai rata dengan bumbu dan tepung.
"Aku hanya akan membuat dua macam masakan dan menanak nasi. Sayang tidak dapat dilakukan berbareng sehingga matangnya juga berbareng, masih panas-panas dimakan sungguh lezat."
"Kenapa tidak dimasak berbareng saja?" tanya San Hong.
Pemuda itu mengangkat muka memandang kepadanya sambil tersenyum geli, mentertawakan kebodohan pemuda itu. "Tanganku hanya dua buah," katanya, "mana mungkin?"
"Bukankah ada aku yang menganggur? Aku dapat membantu. Dan rasanya tidak enak kalau menunggu makanan yang sedang dimasak dalam keadaan menganggur saja."
"Wah, ternyata engkau tidak bodoh! Engkau mau membantuku? Nah, kalau begitu cepat, membuat api unggun yang lain, dan tambahi kayu bakar pada api unggun yang ini, sesudah itu, beras dalam buntalan itu kau cuci di dalam panci yang kuning itu, lalu isi air sampai tiga perempat dan taruh di atas api unggun. O ya, buat gantungan untuk tempat panci. Bisakah engkau membuatnya? Sesudah panci beras itu kau taruh di, atas api, kau bantu mencuci panci penggorengan ini, lalu oleskan minyak dalam botol ini, dan tolong kupas bawang putih lima buah lagi, sayat kecil-kecil dan....." tiba-tiba pemuda itu berhenti bicara dan tertawa melihat betapa San Hong memandang kepadanya dengan mata terbelalak bodoh.
Pemuda tinggi besar itu memang menjadi bingung mendapatkan tugas yang begitu bertumpuk sehingga dia tidak dapat mengingatnya kembali satu demi satu.
"Aih, aku lupa! Mana engkau dapat mengingat semua itu? Nah, buat saja api unggun lebih dulu, baru nanti kuberi tahu satu demi satu apa yang dapat kaulakukan untuk membantuku!"
San Hong tersenyum dan mengangguk-angguk gembira. Dia melepaskan buntalan dari punggungnya dan menaruhnya di dekat api unggun, lalu dia bangkit berdiri dan pergi mencari kayu bakar yang banyak berserakan di bawah pohon-pohon besar. Dia tidak melihat betapa pemuda itu melirik ketika dia meletakkan buntalan pakaiannya dekat api unggun dan meninggalkannya begitu saja, tidak melihat betapa pemuda itu tersenyum senang!
San Hong segera membuat api unggun setelah kayu terkumpul banyak, dan pemuda tampan itu mulai menakar beras yang segera dicuci oleh San Hong dengan air sungai kecil jernih yang mengalir tak jauh dari tempat mereka berhenti.
Mereka berdua sibuk sekali sehingga tidak sempat bercakap-cakap. Setelah panci nasi itu digantung di atas api unggun, dan pemuda tampan itu juga sudah mulai membuat masakan pertama yang membuat air liur memenuhi mulut San Hong karena, masakan itu mengeluarkan bau yang amat sedap, barulah pemuda itu bicara.
"Engkau sungguh menyenangkan!"
San Hong menoleh, tertawa. "Engkau lebih menyenangkan lagi, Sobat!"
"Benarkah? Mengapa engkau menganggap aku menyenangkan?"
San Hong mengamati wajah yang tampan itu. "Karena engkau tampan, eh, kau berbudi mulia, ramah dan juga amat cerdik, dan..... entahlah, pokoknya bagiku engkau menyenangkan sekali!"
Pemuda itu tersenyum, manis. "Dan bagiku engkau menyenangkan karena engkau bodoh.... eh, maaf, maksudku jujur dan engkau amat percaya kepadaku.
Buktinya, engkau meninggalkan begitu saja buntalanmu dan pergi mencari kayu bakar dan air, tidak khawatir kalau aku menyambarnya dan melarikannya. Dan engkau mau membantuku di dapur..... eh, maksudku masak-masak....."
"Tentu saja! Bukankah aku juga kau undang makan? Dan tentang buntalan itu, andaikata kepercayaanku kepadamu keliru dan engkau melarikannya, tidak mengapa karena bukankah aku pun merampasnya dari tangan perampok? Kalau akhirnya kembali ke tangan perampok lain, itu sudah adil namanya."
Tangan pemuda itu sedang membalik balik daging dan sedikit sayur yang sedang dimasaknya. Tiba-tiba saja dia melepaskan sepasang sumpit yang dipergunakan untuk memasak, dan dia pun menoleh kepada San Hong dengan mata menyala.
"Apa? Kau maki aku perampok?' bentaknya.
"Sama sekali tidak. Akan tetapi, kalau engkau benar-benar melakukan seperti yang kukatakan tadi yaitu menyambar buntalanku dan melarikannya, lalu sebutan apa yang harus kupergunakan untukmu?"
Pemuda itu tertegun, lalu senyumnya mengembang lagi. "Aih, kukira engkau ini bukan sungguh-sungguh tolol, melainkan cerdik sekali. Engkau memaki orang secara berliku-liku, tidak langsung." Dia kembali sibuk dengan masakannya.
Tak lama kemudian, dua orang pemuda itu sudah duduk dan menghadapi nasi putih yang masih mengepul panas, dan dua panci masakan yang mengepulkan uap yang sedap bukan main. Ketika San Hong mulai mencicipi masakan itu, dia mengecap-ngecapkan lidahnya, bukan untuk memuji dan menjilat melainkan karena kejujurannya membuat dia tidak malu-malu.
"Bukan main! Sedap, lezat sekali! Ada gurihnya, cukup asinnya, cukup pula manisnya, dan dagingnya begini kenyal tapi tidak alot.... hemmm, enaknya....!"
Pemuda itu nampak gembira bukan main dan dengan sumpitnya, dia mengambilkan daging terbesar ke dalam mangkok San Hong. San Hong tidak malu-malu lagi, makan dengan lahapnya, dan pemuda sahabat barunya itu yang hanya makan sedikit, memandang dengan wajah berseri gembira melihat betapa masakannya membuat sahabat itu makan dengan gembulnya!
"Heiii, kenapa makanmu sedikit sekali? Engkau membuat aku merasa malu saja. Aku merasa seperti seekor kerbau yang banyak makannya!" San Hong menegur ketika melihat pemuda itu makan sedikit saja.
"Aku..... aku baru saja makan roti, perutku tidak begitu lapar. Akan tetapi makanlah, nih, dagingnya masih. Dan yang coklat itu jamur kering, enak, tidak kalah oleh daging rasanya. Cobalah."
Nasi sepanci tinggal sedikit lagi dan dua panci masakan habis disikat oleh San Hong! Mereka berdua minum air the yang dibuat pemuda tampan itu dan duduk dengan perut kenyang dan hati puas.
"Biar kucuci mangkok dan panci ini," kata San Hong dan hendak bangkit, akan tetapi pemuda itu menggerakkan tangannya.
"Biarkan dulu, kita bercakap-cakap dulu. Nanti saja kita cuci bersama."
"Apa yang akan kita bicarakan?" tanya San Hong, mengatur lagi duduknya agar enak. Dia merasa senang sekali. "Kita bicara tentang masakanmu tadi. Sungguh, selama hidupku baru sekarang ini aku merasakan makan sedemikian lezatnya! Engkau sungguh tukang masak yang paling hebat yang pernah kutemukan!"
Pemuda tampan itu makin berseri wajahnya. "Dan aku pun baru sekarang ini bertemu dengan seorang yang demikian lahapnya makan! Bukan main! Melihat engkau makan saja sudah amat menyenangkan hatiku, Kawan. Akan tetapi banyak yang dapat kita bicarakan. Kita sudah makan bersama, akan tetapi kita belum saling mengenal."
"Belum saling mengenal?" San Hong memandang heran.
"Kita sudah saling mengenal dengan baik, sudah makan bersama, bahkan aku.., aku merasa seolah-olah telah lama sekail menjadi sahabat baikmu..."
"Aku pun mempunyai perasaan begitu. Akan tetapi, kita belum saling mengenal nama....."
"Aih, benar!" San Hong berseru kaget dan menepuk dahi sendiri. "Bagaimana aku dapat melupakan hal itu?" Dia lalu bangkit berdiri dan bersoja kepada pemuda tampan itu. "Sahabat yang baik, namaku Kwee San Hong, berasal dari dusun Po-lim-cun di kaki Pegunungan Thian-san, usiaku dua puluh tahun dan pekerjaanku... biasanya aku bertani. Engkau tentu lebih muda dariku, maka, sepatutnya kalau engkau tidak keberatan, kusebut slauw-te (adik laki-laki), atau kalau engkau menghendaki, kusebut kongcu (tuan muda) karena agaknya engkau seorang pemuda kaya raya....."
"Sing.....!" Terdengar suara berdesir nyaring dan nampak sinar berkelebat menyambar ke arah San Hong yang masih berdiri. Pemuda tampan itu menggerakkan tangan dan sebatang sumpit meluncur ke arah sinar itu.
"Trlnggg....!" Sumpit itu runtuh bersama sebatang paku yang dltangkisnya, jatuh di depan kaki San Hong.
Pemuda, ini tentu saja tadi tahu akan datangnya senjata rahasia yang menyambar ke arahnya, akan tetapi sebelum dia menghindar, pemuda tampan itu telah lebih dahulu menangkis senjata rahasia paku itu dengan lemparan sumpitnya.
"Toako, awas, ada orang datang!" kata pemuda tampan itu dan tubuhnya yang tadi duduk itu bagaikan seekor burung saja sudah berkelebat-dan kini dia berdiri di depan San Hong seolah-olah hendak melindunginya dari serangan orang jahat. Keduanya memandang ke depan, ke arah dari mana datangnya senjata rahasia tadi.
Mereka muncul seperti setan saja. Yang nampak hanya dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu dua orang pria itu telah berdiri di depan San Hong dan sahabatnya. Dua orang pria berusia kira-kira empat puluh tahun dan San Hong membelalakkan kedua matanya, memandang bingung karena dua orang pria itu seperti seorang dengan dua badan saja. Demikian presis demikian sama tak dapat dibedakan satu antara yang lain.
Wajahnya demikian sama, keduanya bermuka licin seperti muka wanita, mata sipit, telinga kecil, mulut lebar. Bentuk badan mereka sedang saja, akan tetapi wajah Itu, potongan rambut, pakaian mereka sungguh tidak dapat dibedakan satu sama lain. Tentu dua orang ini saudara kembar, pikir San Hong dan saking herannya, dia pun tanpa disadarinya sudah mengajukan pertanyaan.
"Apakah kailan ini saudara kembar?"
Pertanyaan yang bodoh tentu saja. Akan tetapi sekali ini pemuda tampan tidak mencelanya karena keadaan yang menegangkan itu. Pemuda tampan itu segera membuka mulut dan kata-kata penuh keberanian dan mengandung sikap memandang rendah kepada dua orang kembar itu.
"Hemmm, sejak kapan Koay-to Heng-te menjadi orang-orang yang pengecut dan penakut? Tak tahu malu menyerang orang secara menggelap! Huh, ini memalukan nama besar See-thian Mo-ong yang menjadi majikan kalian tentu saja.”
Mendengar ucapan itu, dua orang kembar itu saling pandang, lalu mereka mengamati wajah dan bentuk tubuh pemuda tampan itu, akan tetapi jelas bahwa mereka tidak mengenal pemuda itu. Mereka itu memang dua orang saudara kembar yang amat terkenal di dunia kang-ouw, bahkan dianggap sebagai datuk datuk sesat yang berilmu tinggi, ditakuti lawan disegani kawan.
Nama besar Koay to Heng-te (Kakak Beradik Golok Setan) sudah terkenal di seluruh penjuru duni persilatan, maka kalau pemuda tampa ini mengenal mereka, bukan merupakan hal aneh. Juga mereka berdua adalah murid, juga pembantu-pembantu setia dari guru mereka, See-thian Mo-ong yang merupakan datuk besar di dunia barat, maka kalau pemuda itu mengetahui hal ini juga bukan hal aneh. Yang membuat mereka penasaran adalah melihat sikap pemuda tampan itu.
Begitu memandang rendah kepada mereka, bahkan menyebut nama See-thian Mo-ong dengan sikap demikian meremehkan! Dan juga tadi Gu Kiat, saudara pertama, yang menggunakan senjata rahasia paku beracun, melihat betapa pemuda tampan itu dengan mudahnya menangkis pakunya dengan sumpit.
Oleh karena itu, mereka dapat menduga bahwa biarpun masih muda, tentu pemuda tampan itu seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan tentu terkenal pula di dunia persilatan. Akan tetapi anehnya, yang membuat mereka penasaran adalah bahwa mereka sama kali tidak mengenal pemuda itu.
Mereka adalah datuk-datuk yang sudah banyak pengalaman dan banyak tahu akan tokoh-tokoh dunia persilatan, akan tetapi sekali ini mereka menghadapi seorang pemuda yang mereka sama sekali tidak kenal akan tetapi sebaliknya pemuda itu mengenal mereka, bahkan mengenal nama guru mereka!
"Bocah sombong, jangan mencampuri urusan kami! Kami berurusan dengan dia itu!" Gu Kiat membentak dan menuding ke arah San Hong. "Bukankah dia yang memiliki buntalan itu?" Dia menunju pula ke arah buntalan uang dan emas perak dari San Hong!
"Benar....."
"Cukup, Toako! Serahkan urusan ini kepadaku. Mereka ini adalah dua orang manusia iblis dari barat yang amat keji dan jahat, dan akulah lawan mereka" Pemuda tampan itu memotong pengakuan San Hong, lalu dia menghadapi dua orang kembar itu.
"Perampasan emas dan perak dari tangan para berandal itu adalah tanggung jawabku! Jadi para berandal kecil itu adalah kaki tangan kalian, ya? Nah, sudah kukatakan bahwa perbuatan itu adalah tanggung jawabku. Kalian mau apa? Merampas kembali emas dan perak itu? Jangan harap selama ada aku di sini!"
Pemuda tampan itu bersikap tinggi hati sekali dan diam-diam San Hong merasa tidak setuju. Sikap itu sungguh tidak menguntungkan, padahal dia dapat menduga bahwa dua orang kembar ini amat lihai. Pemunculan mereka tadi saja sudah membuktikan kelihaian mereka. Menghadapi dua orang lawan yang lihai seperti itu, seharusnya bersikap hati-hati, tidak memandang rendah seperti sikap sahabat barunya itu.
Dua orang kembar, Gu Kiat dan Gu Liat kembali saling pandang dan mereka merasa semakin penasaran betapa pemuda tampan itu demikian memandang rendah kepada mereka, padahal pemuda itu tahu siapa mereka bahkan tahu pula bahwa mereka itu pembantu-pembantu utama guru mereka, See-thian Mo-ong! Bagaimana mungkin ada orang berani begini memandang rendah kepada mereka dan guru mereka? Hanya orang gila saja agaknya!
"Orang muda, siapakah sesungguhnya engkau yang begini sombong dan seperti sudah bosan hidup? Mengakulah agar kami tidak penasaran kalau nanti membunuhmu!" kata Gu Liat orang kedua yang selain amat pandai memainkan pasang golok, juga terkenal sekali dengan pukulan beracun Ang-see-ciang (Tang Pasir Merah).
"Huh, dua orang manusia rendah macam kalian tidak pantas mengenal namaku. Cepatlah pergi dari sini atau berlutut minta ampun atas kelancangan kalian, atau boleh memilih kematian di tanganku!"
Kemarahan Gu Liat tak dapat di tahannya lagi, "Srattt...!" Nampak dua sinar berkilauan ketika dia mencabut sepasang goloknya. Juga kakaknya, Gu Kiat sudah mencabut sepasang goloknya. Dua orang kembar ini terkenal sekali dengan Ilmu golok mereka sehingga mereka di juluki Koay-to Heng-te (Kakak Beradik Golok Setan). Sepasang golok itu tipis dan tajam, ujungnya yang runcing melengkung ke atas dan punggung golok itu seperti gigi gergaji! Ronce-ronce kuning menghias gagang golok.
"Huh, siapa takut menghadapi golok pemotong babi itu?"
Pemuda itu tetap mengejek, akan tetapi kakinya bergerak ke bawah dan sebatang kayu terpelanting ke atas dan cepat ditangkapnya. Kayu itu merupakan sebatang ranting, sisa dari kayu bakar tadi. Hanya sebatang ranting yang panjangnya ada satu setangan meter, besarnya selengan pemuda itu.
Bagaimana mungkin menghadapi empat batang golok yang amat tajam itu dengan hanya sebatang tongkat ranting kayu biasa? Pemuda yang menjadi temannya ini sungguh tinggi hati dan terlalu memandang rendah lawan, pikir San Hong dan dia pun sudah siap siaga untuk membantu kalau pemuda tampan itu terancam banaya.
"Majulah, Koay-to Heng-te, dan kenalilah tongkat sakti di tanganku yang akan mencabut nyawa kalian!"
Dua orang saudara kembar itu adalah datuk-datuk sesat yang sudah memiliki nama besar. Oleh karena itu, tentu saja mereka merasa sungkan sekali kalau maju bersama dan mengeroyok seorang pemuda remaja! Juga tidak mengherankan kalau dua orang seperti mereka, yang sukar dicari tandingannya, kini agak memandang rendah kepada pemuda tampan itu. Gu Liat, orang ke dua dari saudari kembar itu sudah langsung memutar sepasang goloknya sambil membentak marah. "Pemuda sombong, mampuslah!"
Sepasang golok itu menyambar-nyambar dengan amat ganasnya, mula-mula membentuk dua lingkaran sinar bergulung-gulung di atas kepalanya sendiri, kemudian dua gulungan sinar ini meluncur ke arah diri pemuda tampan itu. Bukan main kagetnya hati San Hong melihat itu. Ilmu golok yang amat hebat, dahsyat dan berbahaya, pikirnya. Akan tetapi, dia menjadi semakin heran dan kagum.
Pemuda itu menggerakkan tongkatnya yang hanya terbuat dari ranting biasa, namun betapa luar biasanya. Tongkat itu mengeluarkan angin dan berdesir-desir ketika bergerak dengan putaran aneh ke atas dan bawah, membentuk gulungan sinar panjang seperti seekor ular naga!
Dan ketika dua batang golok itu menyambar dengan gerakan menggunting, yaitu yang kanan membacok dari atas ke bawah sedangkan yang kiri menggunting dari bawah ke atas, tongkat itu pun membuat gerakan menggetar dan menangkis dengan beruntun dan cepat sekali.
"Ting! Ting!!" Dan sepasang golok yang nampak amat tajam dan digerakkan dengan tenaga dahsyat itu terpental dan tertangkis, bahkan secara tiba-tiba dan cepat sekali, ujung tongkat sudah menyodok ke arah tenggorokan Gu Liat!
Karena tadinya memandang rendah, Gu Liat terkejut setengah mati. "Ehhh.....!” Serunya dan terpaksa dia membuang dirinya kebelakang. Nyaris tenggorokannya kena disodok, maka tentu saja dia terkejut. Detik berikutnya, ujung tongkat yang lain sudah menotok ke arah ulu hatinya! Namun, sekali ini Gu Liat sudah siap siaga dan dengan golok kanannya dia menangkis, sementara golok kirinya membabat dari bawah.
Dengan amat lincahnya, pemuda tampan itu mengelak dan membalas dengan kemplangan tongkat ke arah pelipis lawan. Serangannya tidak kalah kuatnya, bahkan lebih cepat, membuat diam-diam San Hong meresa kagum dan gembira.
Melihat betapa pemuda tampan itu benar-benar amat lihai dengan tongkatnya, dua orang saudara kembar itu pun terkejut bukan main. Gu Kiat, orang pertama dari mereka, tentu saja merasa khawatir akan keadaan adiknya, walaupun dengan sepasang goloknya, Gu Liat belum nampak terdesak dan perkelahian itu berjalan seru, seimbang dan mati-matian. Untuk maju mengeroyok dia merasa malu.
Dia lalu melirik kepada San Hong. Lebih baik bunuh saja dulu pemuda, yang merampas emas dan perak para perampok anak buahnya itu. Kalau pemuda Itu sudah tewas, tidak akan ada orang lain melihat kalau dia maju membantu adik kembarnya!
Berpikir demikian, Gu Kiat yang juga sudah mencabut sepasang goloknya, menggerakkan sepasang senjata itu. Dia melihat betapa San Hong tiba-tiba saja meloncat ke dekat buntalan pakaiannya dan sekali sambar, pemuda itu kini sudah berdiri dengan sebatang pedang di tangan.
"Bagus!" seru Gu Kiat gembira. Bagaimanapun juga, sebagai seorang datuk yang memiliki ilmu silat tinggi, dia merasa tidak enak kalau harus menyerang seorang pemuda bertangan kosong dengan sepasang goloknya yang sudah amat terkenal di dunia persilatan. "Perampas busuk, engkau pun mampuslah!"
Dan dia pun sudah menyerang dengan terjangan sepasang goloknya yang dahsyat. Dengan tenang sekali, San Hong melompat ke belakang dan melihat betapa teman barunya itu diserang oleh orang ke dua, pemuda tampan itulah yang menjadi khawatir sekali. "Twako, larilah! Heiiii, kembar busuk. Keroyoklah aku, jangan ganggu dia karena dia bukanlah lawanmu! Kalian keparat-keparat yang curang!"
Akan tetapi, desakan Gu Liat membuat pemuda tampan itu tidak dapat banyak bicara lagi. Dia pun harus mencurahkan tenaga dan kepandaiannya karena tingkat kepandaiannya tidak terlalu banyak selisihnya dengan kepandaian datuk-datuk itu, kalau tidak dibilang dia kalah kuat dalam tenaga sin-kang, di tambah lagi senjata berupa sepasang golok lawan itu memang dahsyat bukan main.
Betapapun juga, hatinya lega ketika dia melirik dan melihat bahwa seorang yang disangkanya hanya pandai sedikit ilmu silat itu kini menghadapi sepasang golok lawan dengan permainan pedang yang amat mengejutkan, juga mengagumkan hatinya. Pedang itu berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar!
Memang tidak aneh kalau pemuda tampan itu menjadi kagum dan heran. Ilmu pedang yang dimainkan San Hong memang merupakan ilmu pedang yang amat hebat, yaitu ilmu Pedang Kilat, sedangkan pedang yang dipergunakannya juga Lui-kong-kiam (Pedang Sinar Kilat) pemberian seorang di antara Thian-te Ngo-sian.
Melihat betapa lawannya amat lihai, San Hong tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan pedang dan memainkan ilmu pedang itu. Kalau pemuda tampan itu terkejut dan kagum, sebaliknya Gu Kiat terkejut dan khawatir. Tak disangkanya lawannya begitu hebat! Ketika sinar pedang itu bertemu dengan golok kirinya, dia merasa lengannya tergetar, golok itu hampir terpental dan ketika dia memeriksanya, ujung golok kirinya itu patah!
Tahulah dia bahwa selain memiliki ilmu pedang yang hebat, pemuda tinggi besar itu pun memegang sebatang pedang pusaka yang ampuh sekali! Dan melihat kilatan pedang itu mengingatkan dia akan seseorang. "Hei, bocah sombong! Apa hubunganmu dengan Lui-kong Kiam-sian?"
San Hong tidak dapat menyembunyikan diri lagi. ”Beliau adalah guruku," katanya sederhana.
Mendengar ini besar pula hati Gu Liat. Kiranya pemuda ini hanya murid Lui-kong Kiam-sian, sedangkan kakek Thian-san itu memiliki kepandaian yang setingkat dengan dia. Bagaimanapun juga, dia pasti akan mampu mengalahkan murid Lui-kong Kiam-sian. Diputarnya lagi sepasang goloknya dan dia pun mengeluarkan ilmu goloknya yang paling ampun, dan dari kedua gagang goloknya, ketika jarinya menekan tombol kecil, menyambar paku-paku beracun ke arah pemuda itu!
San Hong sudah siap menghadapi ini. Tadi dia pun tahu bahwa orang ini yang melepas paku beracun, maka dia sudah berhati-hati sekali. Begitu ada sinar hitam dan suara angin menyambar, dia segera mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat dan tiba-tiba saja, ketika dia mengelak dari sambaran-sambaran paku, tubuhnya lenyap dari pandang mata lawan dan tahu-tahu Gu Kiat merasa ada serangan pedang dari arah kirinya. Ketika dia menangkis dan membalik, pemuda itu sudah berada di situ dan menyerangnya!
"Ahhh.....!" Dia terkejut, dan kedua goloknya membentuk benteng sinar untuk melindungi tubuhnya. Kembali dia menekan tombol dan kini lebih banyak lagi paku menyambar-nyambar ke arah tubuh San Hong, dari atas ke bawah!
Kembali pemuda itu mengerahkan ginkangnya dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, kemudian dalam keadaan melayang seperti seekor burung rajawali, pemuda itu dari atas menukik ke bawah didahului sambaran pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat!
Kembali Gu Kiat terkejut karena gerakan gin-kang sehebat itu mengingatkan dia akan orang lihai dari Thiansan Ngo-sian yang lain. "Apamukah Bu Eng Sianjin?" bentaknya.
"Beliau guruku." jawab San Hong dengan singkat sambil kini membalas dengan serangan-serangan beruntun.
Gu Kiat sudah menjadi kecil hatinya mendengar pengakuan itu. Kiranya pemuda ini bukan hanya murid Lui-kong Kiamsian, akan tetapi juga murid Bu Eng sianjin. Jangan-jangan masih murid dari tiga orang di antara Thian-san Ngo-sian pula, pikirnya dan biarpun dia sudah memutar sepasang goloknya, tetap saja pundaknya kena disentuh ujung pedang di tangan San Hong sehingga baju dan kulit pundaknya terobek! Dengan muka pucat! dia pun meloncat kebelakang, agak jauhi sambil memeriksa pundaknya.
Pada saat itu, pemuda tampan masih saling serang dengan mati-matian melawan Gu Liat. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun tidak mampu mendesak terlalu hebat bahkan biarpun permainan tongkatnya itu cukup membingungkan lawan sehingga beberapa kali ujung tongkatnya sempat menyentuh tubuh lawan, namun serangan itu tidak merobohkan lawan yang sudah melindungi dirinya dengan kekebalan!
Tongkat itu hanya membuat lawan terhuyung, sedangkan kalau Gu Liat menyerang dengan hebat, nyawanya terancam sinar kedua batang golok. Sebaliknya, Gu Liat juga khawatir sekali melihat betapa kakak kembarnya terdesak hebat oleh pemuda berpedang kilat. Apalagi dia pun mendengar pertanyaan kakaknya dan tahu bahwa pemuda itu murid dua orang pandai, maka dia mengambil keputusan untuk secepatnya mengalahkan pemuda tampan yang memiliki ilmu tingkat luar biasa itu.
"Mampuslah kau...!" Golok di tangan kanannya menyambar dengan kekuatan dahsyat karena dia mengerahkan seluruh tenaganya pada golok itu. Pemuda tampan itu terkejut, tidak mungkin mengelak dan menggerakkan tongkatnya untuk menangkis dengan pengerahan tenaga sekuatnya.
"Krakkk!" Tongkat itu patah menjadi dua akan tetapi golok itu pun terpental dan terlepas dari pemegangnya.
Akan tetapi, agaknya saat ini sudah diperhitungkan oleh Gu Liat bahkan dia sengaja melepaskan goloknya yang tadi tergetar hebat dalam benturan keras dengan tongkat lawan, lalu tangannya yang kini tidak memegang senjata itu menghantam dengan telapak tangan terbuka ke depan, ke arah dada pemuda tampan!
Pemuda itu tidak menduga akan hal ini, dia cepat mengerahkan sin-kang ke dadanya dan dari samping, tangan kirinya mencoba untuk menangkis sambil dia membuang diri ke belakang. Namun terlambat, biarpun tidak amat telak dan tidak begitu keras, dadanya menerima pukulan telapak tangan Gu Liat yang mengandung hawa beracun, yaitu pukulan Ang see-ciang.
"Plaaakkk!" Tubuh pemuda tampan itu tergetar dan terjengkang, dia terhuyung lalu roboh terlentang, napasnya sesak dan dadanya nyeri sekali. Melihat ini, San Hong yang baru saja ditinggal lawannya terkejut dan dengan lengkingan panjang tubuhnya sudah meloncat dengan kecepatan kilat, pedangnya menusuk. Gu Liat terkejut dan cepat menangkis dengan goloknya yang tinggal sebelah.
”Tranggggg....!" Golok itu terpental dan terlepas dan bahu kanannya berdarah karena terobek sinar pedang! Gu Liat cepat meloncat jauh dan dua orang saudara kembar itu pun segera berlompatan melarikan diri karena merasa tidak sanggup melawan dua orang pemuda yang amat lihai itu.
"Siauw-te.....! Kau..... kau terluka.....?" San Hong cepat menghampiri pemuda yang masih rebah terlentang itu. Pemuda itu menekan dadanya, dan mulutnya mengeluarkan darah.
"Dia... memukul dadaku....." Kemudian dia pun terkulai lemas, pingsan!
San Hong bertindak cepat dan tenang. Dari seorang di antara para gurunya, yaitu Pek-ciang Yok-sian, dia sudah digembleng dalam ilmu pengobatan. Dia tahu bahwa sahabatnya itu jatuh pingsan karena luka di sebelan dalam dadanya, dan dia tahu pula bahwa dia harus menolong sahabatnya dengan tenaga sin-kang.
Maklum bahwa dia harus cepat melakukan pemeriksaan dan pengobatan, San Hong tanpa ragu-ragu lagi mencengkeram baju di bagian dada kawannya. Dia tadi sempat melihat betapa tangan Gu Liat yang kemerahan menyambar ke arah dada, dan dirobeknya baju di bagian dada itu.
"Brettttt.....!"
"Ahhhhh.....!" Sepasang mata San Hong terbelalak menatap dua bukit dada yang membusung, buah dada seorang wanita! Aih, bagaimana ini.....? Dia menjadi gugup dan bingung, otomatis tangannya yang masih memegang robekan baju ditutupkan lagi pada dada itu.
Karena gerakan ini maka jari-jari tangannya menyentuh bagian tubuh yang lembut itu dan. bagaikan memegang tubuh seekor ular dia pun melepaskan baju dan menarik kedua tangannya. Akan tetapi, hanya sebentar saja dia menjadi gugup. Tidak boleh begini, pikirnya. Sahabatnya ini ternyata seorang gadis! Gadis atau bukan, wanita atau laki-laki, gadis ini menderita luka parah yang amat berbahaya kalau tidak cepat ditolongnya.
Dengan sikap tenang sekali karena dia sudah menguasai batinnya, San Hong dengan hati-hati membuka lagi robekan kain yang menutupi buah dada itu, mencurahkan perhatiannya kepada bagian yang terpukul dan membutakan perasaannya kepada bagian lain yang amat menggairahkan.
Dan nampaklah olehnya tapak jari 'tangan' merah. Hanya tiga buah, tepat di tengah-tengah antara dua buah dada. Agaknya pukulan itu tidak telak sekali sehingga yang membekas hanyalah tiga buah jari, bukan lima.
Tanpa ragu lagi dia pun segera duduk bersila dan menempelkan telapak tangan kanannya di atas dada yang berkulit putih mulus itu, di antara dua bukit dada yang hangat sambil menahan perasaan dan mencurahkan perhatiannya untuk mengerahkan tenaga sin-kang.
Dari telapak tangannya mengalirlah hawa yang menggetar dan hangat, untuk mengobati luka di dalam itu dan dia tahu, menurut pelajaran yang diterima dari Pek-ciang Yok-sian, bahwa pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) itu mengandung hawa beracun yang harus disedotnya keluar.
Kurang lebih setengah jam San Hong meletakkan telapak tangan kanan dan kiri bergantian di atas dada itu dan kini kedua telapak tangannya sudah berubah merah karena telah menyedot hawa beracun itu! Bekas jari tangan merah yang tadinya menghias kulit dada yang putih mulus itu kini tinggal sedikit lagi, nampak tidak semerah tadi. Pernapasan gadis itu pun kini tidak sesak seperti tadi dan legalah nati San Hong karena dia tahu bahwa keselamatan gadis itu telah terjamin. Bahaya ancaman maut telah lewat.
Dia melihat gadis itu menghela napas dan pelupuk matanya bergerak. Cepat dia menarik kedua tangannya dan masih sempat menutupkan robekan kain baju ke atas dada telanjang itu sebelum gadis itu membuka kedua matanya. Gadis itu membuka mata, memandang ke kanan kiri lalu melihat San Hong. Ia agaknya segera teringat akan perkelahian tadi.
"Twako, di mana dua orang jahanam itu?" teriaknya sambil melompat berdiri. Ketika ia melompat itu, penutup dadanya terlepas dan nampaklah sepasang buah dadanya.
"Iiihhh...!" Ia menjerit dan cepat menggunakan kedua tangannya untuk menutupi dadanya. Dengan sopan San Hong sudah membalikkan tubuhnya dari berdiri membelakangi gadis itu.
Gadis itu melihat betapa San Hong membalikkan tubuh, maka ia pun berani memeriksa dadanya. Ada tenda jari tangan merah, hanya tipis, di antara dua buah dadanya, dan ia teringat bahwa tadi ia terkena pukulan lawannya dan roboh. Akan tetapi pukulan itu tidak membuat bajunya robek!
Dan sekarang, baju itu robek di bagian buah dadanya, membuat dadanya telanjang! Mukanya berubah merah sekali dan ia cepat mengambil baju dari buntalan pakaiannya dan berganti baju yang utuh. Barulah hilang rasa malunya, akan tetapi kemarahan menggantikan perasaan itu ketika ia memandang kepada San Hong.
"Kwee San Hong!" katanya dengan suara nyaring. "Coba kau membalik dan hadapi aku!"
"Kau... kau sudah berpakaian?" Tanya San Hong.
"Huh, pura-pura sopan lagi!” Gadis itu menggerutu. ”Berbaliklah dan jawab pertanyaanku dengan jujur!"
Kwee San Hong membalikkan tubuh dengan hati-hati, dan lega hatinya melihat gadis itu telah berbaju. Kini pandang matanya berbeda. Ternyata pemuda tampan itu adalah seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali. Kekagumannya bertambah beberapa kali lipat. Seorang gadis dengan keberanian seperti itu! Juga memiliki ilmu silat, terutama ilmu tongkat yang hebat!
"Engkau terluka kena pukulan beracun....." katanya untuk memecahkan kesunyian yang amat tidak mengenakkan hatinya.
"Aku sudah tahu dan aku tidak tanyakan hal itu. Yang hendak kutanyakan, siapa yang merobek bajuku tadi ketika aku pingsan?"
Dengan sejujurnya San Hong menjawab, "Aku.....!"
"Bagus! Kwee San Hong, kalau tidak engkau yang mampus, aku yang mati di tanganmu!" Berkata demikian, gadis itu lalu meloncat dan menyerang San Hong dengan pukulan dahsyat, menggunakan tangan kirinya dengan tangan terbuka membentuk cakar harimau.
San Hong mengelak dan ketika tangan yang mencengkeram ke arah lehernya itu lewat, dia mencium bau amis dan melihat betapa tangan itu beruban menghitam, tanda bahwa gadis itu menyerangnya dengan cengkeraman tangan beracun yang hebat sekali. Bahkan mungkin lebih dahsyat! Daripada Ang-see-ciang dari orang kembar tadi!
"Eh, nanti dulu..... eh, Siauw-te....."
"Aku bukan Siauwte-mu! Jangan berpura-pura lagi!"
Gadis itu membentak dan nampaknya semakin marah karena ia menganggap San Hong sengaja menggodanya. Serangannya semakin dahsyat, menggunakan kedua tangan bergantian dan kedua tangan itu sudah berubah menghitam sampai ke siku, tanda bahwa kedua tangan itu mengandung racun yang amat berbahaya. Dengan kelincahan tubuhnya, San Hong mengelak dan berloncatan mundur. Ketika gadis itu mendesak, dia meloncat jauh ke belakang.
"Nona, nanti dulu... biar kujelaskan!"
"Tidak perlu banyak bicara lagi! Selagi aku pingsan, engkau merobek bajuku, menelanjangi aku dan untuk itu engkau harus mati!"
Kembali gadis itu menyerang dan terpaksa San Hong harus membela diri kalau dia tidak ingin mati konyol. Serangan-serangan yang dilancarkan gadis itu adalah serangan maut, apalagi kedua tangan itu mengandung racun yang amat jahat dan keji.
Bergidik dia melihat kedua tangan menghitam itu dan hampir dia tidak percaya betapa pemuda tampan yang tadi bersikap demikian ramahnya, kini berubah menjadi seorang gadis yang begini ganas dan galak, juga kejam dan memiliki ilmu pukulan sesat seperti iblis!
Tentu saja dia tidak ingin memukul atau merobohkan gadis itu, akan tetapi dia pun maklum bahwa kalau dia hanya mengelak, akhirnya dia akari terkena pukulan dan tentu dia akan celaka! Dia berhak mempertahankan diri dani dia pun mulai membalas untuk menahan gelombang serangan gadis itu.
Begitu San Hong bersungguh-sungguh dan melakukan perlawanan, gadis itu segera merasakan betapa pemuda tinggi besar itu memang tangguh bukan main. Tadi pun ia sudah tahu bahwa pemuda itu amat lihai, bahkan agaknya mampu mengusir si kembar yang amat tangguh itu.
Akan tetapi ia melawan terus dari menghujankan serangan dengan nekat. Ia kalah segala-galanya, baik kecepatan maupun tenaga. Hanya agaknya pemuda itu tidak bersungguh-sungguh ingin mengalahkannya, maka pemuda itu hanya mengurungnya dengan serangan balasan yang beraneka macam dan yang membuat gadis itu kehabisan langkah.
Bahkan untuk menghadapi ilmu tangan hitam beracun dari gadis itu, San Hong menggunakan ilmu Tangan Putih yang dipelajarinya dari Pek-ciang Yok-sian (Dewa Obat Tangan Putih), seorang di antara Thian-te Ngo-sian. Dengan ilmu ini, dia dapat dengan tenang menangkis lengan dan tangan gadis itu tanpa khawatir terkena hawa beracun.
Setelah lewat lima puluh jurus, gadis itu maklum bahwa dia tidak akan menang kalau bertanding dengan tangan kosong. Kemarahannya memuncak dan tiba-tiba ia meloncat ke dekat api unggun dan ketika ia menyerang lagi, ia sudah menggunakan sebatang tongkat ranting! Dan hebat sekali memang permainan tongkat ini karena dalam beberapa jurus serangan saja, ujung tongkat itu telah berhasil menyodok perut San Hong!
Pemuda itu terkejut. Kembali gadis itu membabat dengan tongkatnya ke arah lehernya. Dia merendahkan tubuh dan menggerakkan tangan untuk merampas tongkat, akan tetapi tiba-tiba tongkat itu berputar dan tahu-tahu kedua lututnya telah tercium totokan ujung tongkat dan tanpa dapat ditahannya lagi, tubuh Sen Hong terguling.
Agaknya gadis itu maklum akan kekebalan tubuhnya karena ketika tongkat tadi menusuk perut, pemuda itu sama sekail tidak merasa apa-apa, maka kini sasarannya adalah totokan ke arah jalan darah!
Begitu terpelanting, San Hong menerima pukulan-pukulan yang biarpun tidak membahayakan keselamatan nyawanya, namun cukup mendatangkan rasa nyeri. Dia dihajar babak belur oleh gadis yang galak itu.
Tiba-tiba ujung tongkat itu meraba ubun-ubun kepalanya. San Hong terkejut dan tidak berani bergerak lagi, terutama setelah gadis itu membentak, "Jangan bergerak atau terpaksa aku akan membunuhmu!"
San Hong maklum bahwa keadaannya memang berbahaya sekali. Biarpun kepandaiannya cukup tinggi dan tingkatnya lebih tinggi daripada tingkat kepandaian gadis itu, akan tetapi permainan tongkat gadis itu sungguh aneh dan hebat bukan main sehingga dengan tangan kosong, dia tidak mampu menandinginya.
Sekarang, ubun-ubun kepalanya telah ditodong ujung tongkat. Dia tidak mungkin dapat melindungi bagian ini dengan baik, dan kalau gadis itu mengerahkan sin-kang menusuknya, tentu dia akan tewas atau setidaknya akan cedera nebat. Maka dia pun tidak bergerak.
"Nona, kalau hendak membunuhku, bunuhlah. Akan tetapi selama hidupmu engkau akan sengsara karena merasa berdosa besar, membunuh orang yang sama sekali tidak berdosa, sama sekali tidak bersalah kepadamu." katanya, sikapnya tenang dan suaranya juga tenang dan penuh kepasrahan, sedikit pun tidak takut atau marah.
Melihat sikap dan mendengar suara yang begitu tenangnya, gadis itu mengerutkan alisnya karena ia memerangi hatinya yang merasa kagum kepada pemuda ini! "Engkau? Tidak berdosa dan tidak bersalah padaku? Huh, laki-laki memang mau enaknya sendiri saja! Engkau menelanjangi aku. membuka bajuku, bahkan merobeknya, engkau melihat tubuhku, dan engkau bahkan tidak merasa bersalah?"
"Memang benar, Nona. Aku merobek bajumu, bahkan terus terang saja, aku menempelkan telapak tanganku di dadamu..."
"Keparat jahanam!" teriak gadis itu.
San Hong menanti saatnya ubun-ubun kepalanya ditusuk, akan tetapi ujung tongkat itu sama sekali tidak bergerak. ”Berani kau.....?"
"Habis, apa yang harus kulakukan, Nona? Dengarlah penjelasanku sebelum kau marah-marah. Nanti kalau sudah mendengar penjelasanku, kau mau marah-marah, mau membunuh aku, silakan! Kalau engkau membunuh aku yang tidak bersalah, aku akan menjadi setan berkeliaran dan selalu aku akan mencarimu dan mengganggumu selama hidupmu."
Jelas nampak betapa gadis itu ngeri mendengar ancaman ini. "Huh, siapa takut? Hayo katakan apa penjelasanmu itu!" Lalu ia mendekatkan ujung tongkat itu ke ubun-ubun San Hong, "Awas, cerita sejujurnya. Sedikit saja bohong, kepalamu akan kutembus dengan tongkat ini!"
"Begini, Nona, ketika aku melihat engkau rebah pingsan setelah mengatakan bahwa dadamu terpukul lawan..."
"Eh, bagaimana dengan dua orang saudara kembar itu?" teringat akan dua orang lawan yang amat lihai itu, ia bertanya.
"Mereka sudah melarikan diri," jawab San Hong dengan suara dan sikap biasa saja karena memang dia tidak merasa bangga dengan kemenangannya. "Aku tidak dapat mengejar mereka karena melihat engkau terluka, Nona. Ketika engkau pingsan, aku dapat menduga bahwa tentu pukulan yang mengenai dadamu itu amat berbanaya, maka aku..... aku... ah, harap Nona ingat bahwa saat itu engkau adalah siauw-te bagiku, seorang pemuda dan apa salahnya kalau aku membuka baju seorang pria lain untuk memeriksa lukanya? Karena khawatir, aku menjadi tidak sabar dan aku merobek saja bajumu di bagian dada...."
"Tak tahu malu!” bentak gadis itu, akan tetapi kini ujung tongkatnya sudah turun, tidak lagi menempel di ubun-ubun kepala San Hong.
"Aku terkejut sekali, Nona..... perasaan sungkan dan malu mendorongku untuk tidak mendekatimu setelah melihat bahwa engkau seorang gadis. Akan tetapi ingatan bahwa mungkin engkau terancam maut, melihat betapa di..... dadamu terdapat tapak jari merah dari pukulan Ang see-ciang, aku merasa khawatir sekali. Maka, dengan memejamkan mata, aku segera menggunakan sin-kang untuk menyedot hawa beracun dari dadamu ke telapak tanganku....."
"Keparat.....! Kau..... kau..... menjamahku, meraba dadaku dengan tanganmu.....?" Tiba-tiba ujung tongkat itu kembali ditempat tadi, di ubun-ubun kepala San Hong.
Pemuda Ini menarik napas panjang. Alangkah anehnya watak gadis ini. Apakah semua wanita begini wataknya? Sungguh merepotkan! "Nona, bagaimana mungkin aku dapat mengobatimu, dapat melenyapkan hawa beracun dari dalam dadamu kalau tidak kupergunakan telapak tanganku untuk menyedot hawa itu dengan sin-kang? Aku tidak meraba-raba, aku hanya meletakkan tanganku di dadamu, di atas bekas telapak tangan merah itu...''