Pedang Asmara Jilid 10 karya Kho Ping Hoo - "HUH! Tidak perlu meraba dada juga aku dapat mengusir hawa beracun itu! Aku seorang gadis, seorang perawan, mengerti? Dan kau seorang pemuda, berani meraba dada seorang gadis, itu merupakan kesalahan besar sekali, tak terampunkan!"
"Ah, maafkan aku, Nona....."
"Maaf, maaf! Enak saja minta maaf! Kau tahu apa yang terjadi di jaman dahulu kalau ada laki-laki berani meraba dada seorang perawan? Gadis itu akan membunuh diri karena aib, dan laki-laki itu akan dihukum gantung! Senangkah hatimu kalau aku sekarang membunuh diri di depanmu karena malu dan aib?"
San Hong adalah seorang laki-laki polos yang kurang pengalaman. Dia percaya begitu saja dan wajahnya berubah agak pucat, matanya terbelalak memandang wajah yang manis itu. "Aih, jangan, Nona! Jangan..., aku bersedia minta maaf, bersedia menerima hukuman, akan tetapi jangan engkau membunuh diri karena itu....."
San Hong tidak melihat betapa sinar mata gadis itu berkilau dan mata itu seolah-olah tersenyum wulaupun mulutnya tetap cemberut. "Kau yang meraba enak saja, aku yang menerima aibnya. Baik, aku tidak akan membunuh diri, akan tetapi engkau hurus minta maaf sambil berlutut kepadaku delapan kali!"
San Hong tidak dapat berbuat lain kecuali harus memenuhi permintaan itu. Kalau gadis yang aneh ini benar benar membunuh diri, dia akan merasa menyesal selama hidupnya! Dia pun segera menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu sambil berkala, "Maafkan aku, Nona, maafkan...."
Akan tetapi baru tiga kali dia berlutut, gadis itu sudah menyentuh pundaknya dengan ujung tongkat. "Cukup tiga kali saja, kalau delapan kali orang akan mengira bahwa engkau menghormati orang mati dan aku belum mati!"
Dan dara yang aneh itu pun kini duduk di atas rumput, di depan San Hong yang sudah bersila, dan ia membuang tongkatnya! Wajahnya nampak berseri dan pandang matanya sama sekali tidak marah lagi, bahkan mulutnya yang manis itu tersenyum. Berdebar rasa jantung San Hong karena girang melihat perubahan ini. Kalau dia tahu bahwa berlututnya dapat membuat gadis itu tidak marah lagi bahkan tersenyum-senyum, mau rasanya dia berlutut sampai seratus kali!
"Twako, aku memaafkanmu, akan tetapi lain kali, hitung dulu sampai seratus kali sebelum engkau membuka baju seorang wanita dan hitung sampai seribu kali kalau engkau hendak meraba dadanya." kata gadis itu dan senyumnya manis sekali, membuat San Hong menjadi bengong memandang mata dan mulut itu.
Selama hidupnya belum pernah dia melihat yang seindah ini. Karena sampai lama dia tidak menjawab dan hanya bengong seperti bergantung pada bulu mata dan sudut bibir itu, sang gadis membentak.
"Heiiiii.....! Apa yang kau lihat itu?" Dan gadis itu tertawa sambil menutup mulutnya, gerakan wanita yang amat manis dan lembut, ketika ia melihat San Hong gelagapan seperti orang tidur di siram air dingin.
"Eh... ohhh... eh, apa yang kau katakan tadi? O,ya, tentang hitungan....." jawabnya gagap, "Aku akan menghitung dulu sampai seribu kali sebelum membuka baju wanita dan akan menghitung sampai sepuluh ribu kali sebelum meraba dadanya..."
Gadis itu tertawa terkekeh-kekeh bahkan hampir terpingkal-pingkal saking geli hatinya. San Hong memandang bengong, dan kebengongannya ini menambah rasa geli di hati gadis itu yang merasa seolah olah perutnya digelitik.
"Kau.... rnentertawakan aku, Nona?" tanya San Hong, alisnya berkerut.
Melihat pemuda itu agaknya tidak senang ditertawakan dan tidak mengerti apa yang menggelikan hatinya, gadis itupun berhenti tertawa. "Aku mentertawakan engkau yang akan menghitung sampai sepuluh ribu itu! Engkau tentu akan salah menghitung, dan sebelum selesai menghitung, yang hendak diraba pun sudah pergi jauh!"
Gadis itu termenung, lalu mengangkat muka lagi memandang San Hong dengnn penuh perhatian. San Hong rasa seperti seekor binatang yang ditaksir untuk dibeli, maka dia merasa jengah dan menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.
"Twako yang baik, sebetulnya, akulah yang patut ditertawakan. Akulah yang sungguh tolol....."
"Ah, tidak, Siauw moi...." Dia cepat berkata, girang bahwa dia tidak keliru menyebut siauw-te (adik laki-laki) melainkan siauw-moi (adik perempuan), "tidak sama sekali! Engkau adalah seorang gadis yang amat hebat, amat cerdik, dan juga memiliki kepandaian yang amat tinggi!"
"Huh, kepandaian tinggi akan tetapi kalah dan hampir mampus oleh seorang di antara Koay-to Heng-te? Menggelikan! Aku begitu tolol sehingga mataku sepertl buta. Aku selalu berprasangka buruk dan salah menilai seseorang. Ketika berjumpa denganmu, aku sudah salah menyangka....."
"Jangan kau merendahkan diri, Siauw-moi! Begitu bertemu, engkau dengan tepat sekali dapat menduga bahwa aku telah merampas emas dan perak dan gerombolan perampok!"
"Akan tetapi aku memandang rendah kepadamu! Aku mengira engkau hanya memiliki kepandaian silat rendahan saja!" Wajah yang manis itu tersipu dan berubah kemerahan.
"Akan tetapi engkau gagah perkasa sekali, Slauw-moi. Engkau bahkan melindungi aku ketika sepasang orang kembar yang lihai itu muncul!" Cepat sekali San Hong menghibur dan memuji.
Wajah itu semakin merah karena seperti diingatkan akan ketololannya. "Ya, aku memang tolol! Aku berlagak melindungi engkau, padahal akhirnya engkau yang menyelamatkan aku dan mengusir Koay-to Heng-te itu! Sungguh patut di pukul aku ini. Engkau yang kupandang rendah kiranya malah murid dua orang di antara Thian-san Ngo-sian!"
"Mereka berlima itu adalah guruku, siauw-moi." Kata San Hong tanpa, maksud membanggakan diri.
"Aihhh....! Pantas engkau hebat!" Gadis itu berhenti sebentar, lalu disambungnya dengan suara perlahan dan pandang mata jauh, "Engkau murid lima orang kakek sakti yang berjiwa pendekar....."
"Harap jangan terlalu memuji. Engkau sudah mengetahui semua tentang diriku, namaku, dusunku dan juga nama-nama guruku. Akan tetapi aku sama sekali tidak tahu siapa engkau. Maukah engkau menceritakan namamu dan riwayatmu kepadaku?"
"Namaku Siang Bwee, Ang Siang Bwee." jawab gadis itu pendek saja.
"Nama yang bagus sekali! Bunga Bwee memang indah, apalagi Siang Bwee yang berarti Bunga Bwee Harum, dan she mu Ang yang dapat diartikan merah. Jadi engkau adalah Bunga Bwee Merah Yang Harum!"
"Kau merayu! Hi-hi-hik, kiranya Hong-ko yang ketololan pandai pula merayu seorang gadis dan memujl-mujinya!"
Gadis itu menutupi mulutnya ketika tertawa, hal yang disesalkan San Hong karena kalau mulut itu tidak ditutupi akan nampak segala keindahan itu. Bibir merah basah merekah, gigi putih berderet rapi, rongga mulut kemerahan dan lidah yang merah jambu, lesung pipit di kanan kiri pipi!
"Aku tidak merayu, Bwee-moi (adik Bwee), melainkan bicara sejujurnya. Akan tetapi engkau belum menceritakan riwayatmu, siapa orang tuamu, gurumu, tempat tinggalmu....."
Gadis itu menghentikan tawanya dan wajah yang tadinya berseri gembira itu kini nampak murung! San Hong merasa heran bukan main. Kalau gadis ini menjadi seorang pemain panggung sandiwara, tentu akan hebat sekali. Demikian pandainya mengubah wajah, dari gembira menjadi termenung, begitu cepat berubah seperti cuaca di musim hujan. "Ayahku, juga guruku, namanya Ang Leng Ki, akan tetapi lebih dikenal dengan julukannya, Nam-san Tok-ong atau Nam Tok saja."
Mendengar disebutnya Nam Tok, San Hong melompat berdiri seperti diserang ular berbisa! Matanya terbelalak dan wajahnya pucat dia memandang Siang Bwee seperti melihat iblis di tengah hari. "Nam Tok.....? Nam Tok si pembunuh keparat itu?" katanya, suaranya mengandung kemarahan dan kebencian.
Melihat sikap dan mendengar ucapan ini, Siang Bwee juga melompat berdiri dan mukanya merah, matanya mencorong marah memandang wajah San Hong. "Apa kau bilang? engkau berani..... berani mencaci ayahku?"
"Ayahmu atau bukan, Nam Tok adalah seorang pembunuh kejam, seorang penjahat besar dan aku akan membunuhnya!" Dada yang bidang itu naik turun seperti ada gelombang di dalamnya. "Nam Tok seorang pengecut besar!"
"Tutup mulutmu!" Siang Bwee membentak, "Ayahku boleh jadi kejam, akan tetapi dia sama sekali bukan pengecut!"
San Hong tersenyum pahit. "Bukan pengecut, ya? Dia membunuhi orang sekampung, termasuk ayah ibuku, orang-orang yang tidak berdaya. Apakah itu bukan perbuatan hina dan pengecut?"
"Bohong!!" Gadis itu sampai lama terbelalak. Saking terkejut, heran dan marahnya, sukar baginya untuk bicara. "Ayahku tidak mungkin melakukan hal sekeji dan serendah itu. Orang-orang yang mati di tangan ayahku memang banyak, akan tetapi matinya dalam pertandingan yang adil. Ayahku seorang tokoh besar, paling besar di seluruh daerah selatan! Takkan membunuh orang yang tidak patut menjadi lawannya."
"Tidak perlu kau membelanya. Orang-orang dusun yang sempat melarikan diri semua menjadi saksi bahwa pembunuh orang sedusun itu adalah Nam Tok!"
Siang Bwee adalah seorang gadis aneh dan satu di antara watak anehnya yang diwarisi dari ayahnya adalah kekerasan hati yang membaja. Biarpun ia yakin bahwa ayahnya bukan pelaku pembunuhan itu, namun ia yang sudah menjadi marah kali, sekarang menghadapi San Hong dengan sikap angkuh.
"Hemmm, kalau engkau nekat menganggap ayah sebagai pembunuh orang tuamu dan orang-orang dusun, lalu kau mau apa? Aku adalah puterinya, anak tunggalnya! Nah, apakah engkau mau membunuh aku?"
"Tidak, sama sekali tidak” jawab San Hong dengan suara terkejut. "Yang bersalah adalah Nam. Tok, bukan engkau."
"Akan tetapi dia adalah ayahku! Setidaknya engkau tentu benci padaku, bukan?"
"Tidak, Bwee-moi, aku tidak, benci padamu. Aku juga tidak benci ayahmu, hanya aku harus membunuh Nam Tok yang telah membunuh orang tuaku dan orang-orang dusun yang tidak berdosa itu."
Sikap Siang Bwee melunak mendengar bahwa pemuda yang dikaguminya itu tidak membencinya dan tidak membenci pula ayahnya. "Hong-ko, janganlah engkau diracuni dendam. Aku yakin bahwa yang membunuh mereka itu bukan ayahku. Hong-ko, kita adalah sahabat bukan. Berjanjilah bahwa engkau tidak akan membunuh ayahku dan bersamaku akan menyelidiki siapa pembunuh yang sebenarnya."
"Tidak, Bwee-moi. Aku sudah merasa yakin karena banyak saksinya. Nam Tok pembunuhnya dan aku harus membunuh Nam Tok!"
"Tapi ia ayahku. Aku minta kepadamu, Hong-ko, dengan segala hormat aku minta padamu....." Dan gadis aneh ini kini bersoja memberi hormat sambil membungkukkan tubuh merangkap kedua tangan di dada kepada San Hong. Hati pemuda ini terharu dan dia merasa kasihan kepada gadis itu, akan tetapi meugingat akan kematian banyak orang di dusunnya dia mengeraskan hatinya.
"Tidak, Bwee-moi. Terpaksa aku tidak dapat memenuhi permintaanmu itu. Maafkan aku."
Sikap gadis itu berubah. Ia berdiri tegak, menegakkan kepala dan membusungkan dadanya. "Bagus sekali! Kwee San Hong, jangan mengira bahwa aku harus merengek dan minta-minta padamu. Kalau engkau berkeras hendak membunuh ayahku, aku sebagai puterinya harus membelanya!"
Dan ia pun sudah menyambar sebatang tongkat dari atas tanah. Mengingat betapa lihainya gadis ini dengan permainan tongkatnya, San Hong juga mencabut pedang pusakanya yang nengeluarkan sinar kilat. Melihat ini, Siang Bwee terbelalak. "Kau hendak membunuhku dengan pedangmu itu?"
"Tidak, aku hanya akan membela diri. Aku tidak akan membunuhmu, yang akan kubunuh hanyalah Nam Tok."
"Keparat!. Engkau harus membunuh aku dulu sebelum dapat membunuh ayahku!" teriak gadis itu yang cepat menyerang dengan tongkatnya yang gerakannya aneh itu.
San Hong cepat mengelak dan ketika tongkat itu dengan cepatnya terus menyambar, terpaksa dia menangkis dengan pedangnya. Siang Bwee sudah menarik kembali tongkatnya dan menyerang dari sudut lain. Bertubi-tubi gadis itu menyerang, namun selalu dapat dielakkan atau ditangkis oleh San Hong. Seteia lewat tiga puluh jurus, San Hong maklum bahwa gadis ini tidak mungkin dapat dihentikan penyerangannya yang nekad kalau tidak dirusak tongkatnya.
Tiba-tiba, ketika tongkat itu menusuk ke arah perutnya, San Hong mengeluarkan bentakan nyaring, pedangnya berubah menjadi sinar kilat menyambar dari atas ke bawah. "Trakkk!" Tongkat di tangan gadis itu patah menjadi dua potong! Siang Bwee terbelalak, menjadi makin marah. Dibuangnya dua batang tongkat itu dan iapun menyambar sebatang tongkat lain dari atas tanah, lalu menyerang lebih ganas.
Namun, tongkat ini pun dalam beberapa jurus saja telah terbabat patah. Ia berganti tongkat sampai empat kali, akan tetapi setiap kali berganti tongkat, senjata ini terpotong oleh sinar pedang kilat. Dengan gemas ia melemparkan tongkatnya dan menyerang pemuda itu dengan tangan kosong! Tentu saja ini merupakan perbuatan nekat. Menggunakan tongkatnya yang dapat dimainkannya dengan hebat saja ia tidak mampu menang apalagi tanpa tongkat.
"Bwee-moi, aku tidak mau bermusuhan denganmu!" berkali-kali San Hong berseru.
Akan tetapi gadis itu tidak peduli dan terus menyerang dengan pukulan, cengkeraman atau tendangan. San Hong menyimpan pedangnya dan melayani gadis itu dengan tangan kosong, Siang Bwee bukanlah lawan San Hong. Semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh pemuda itu dan setiap kali lengan mereka bertemu, atau kaki gadis itu bertemu dengan lengan San Hong.
Gadis itu merasa betapa lengan atau kakinya nyeri sekali, seolah-olah tulang lengan dan tulang kakinya bertemu dengan baja dan mau patah rasanya. Akan tetapi, biarpun kadang-kadang Siang Bwee mengeluh dan merintih, meringis kesakitan, ia tetap nekat menyerang terus! San Hong merasa kasihan sekali, apalagi melihat betapa kedua lengan dan kaki gadis itu sudah bengkak-bengkak!
"Sudahlah, Bwee-moi, untuk apa dilanjutkan? Aku tidak ingin bermusuhan denganmu."
"Engkau tidak ingin bermusuhan dengan aku, akan tetapi aku ingin bermusuhan denganmu karena engkau memusuhi ayahku!" Dan ia pun menyerang lagi sekuatnya.
Melihat kenekatan gadis itu, San Hong merasa bingung. Tiba-tiba dia mendorong tubuh gadis itu sehingga Siang Bwee terhuyung ke samping dan ketika gadis itu dapat berdiri tegak lagi, ia melihat pemuda itu telah menyambar buntalan pakaiannya dan melarikan diri dengan cepat, beberapa kali berkelebat saja pemuda itu sudah lenyap tak nampak lagi bayangannya!
Siang Bwee berdiri mengepal tinju, hendak mengejar, akan tetapi kedua kakinya terasa nyeri bukan main, juga kedua lengannya berdenyut-denyut nyeri, panas dan perih dan ngilu. Hatinya merasa mendongkol, marah, menyesal, juga sedih dan akhirnya dara ini menjatuhkan dirinya di atas tanah, meraih buntalan pakaiannya dan mengeluarkan beberapa bungkus obat.
Mula-mula diambilnya obat bubuk berwarna merah, dibukanya bajunya dan digosoknya bekas pukulan Ang seeciang yang masih kemerahan dengan obat bubuk itu. Kemudian ditelannya dua butir pil hitam bulat kecil seperti kotoran kambing, diminumnya bersama air teh yang masih tersisa bekas ia makan bersama San Hong tadi.
Kemudian diambilnya sebuah botol terisi minyak dan ia menggosok-gosok kedua lengan dan kakinya bergantian setelah menggulung lengan baju dan kaki celananya. Ia menggosok sambil merintih perlahan karena kaki tangannya terasa nyeri semua, dan ketika ia menggosok-gosok, ia pun teringat akan San Hong, teringat akan kebaikan pemuda itu, teringat betapa tadi makan bersama, betapa pemuda itu berlutut kepadanya untuk minta maaf agar ia tidak membunuh diri.
Begitu mesra, begitu manis, kemudian betapa mereka menjadi musuh, saling serang dan pemuda itu bermaksud untuk membunuh ayahnya! Sambil menggosok kakinya yang bengkak-bengkak, tak terasa lagi Siang Bwee menangis! Tidak menangis sesenggukan, melainkan air matanya mengalir turun membasahi kedua pipinya.
Ia terkejut sendiri ketika air mata itu mengalir turun ke dagu, kemudian jatuh menetes ke atas punggung tangannya. Ia bukan seorang gadis cengeng! Sama sekali bukan! Ia membenci kecengengan dan kelemahan, maka seringkah ia menyamar pria. Akan tetapi sekali ini menangis! Ia mengusap kedua mata dengan punggung tangannya. Akan tetapi air mata itu mengalir terus, butir demi butir, tak tertahankan lagi.
Segala sesuatu yang terasa oleh panca indera memang tidak kekal adanya! Termasuk pula segala macam nafsunya menimbulkan senang susah silih berganti. Nafsu mendatangkan kesenangan dan kepuasan di saat ini untuk diganti oleh kesusahan dan kekecewaan di saat lain. Hari ini mencinta, besok pagi sudah membenci. Hari ini tertawa, besok pagi menangis.
Kita menjadi permainan kembar yang selalu memperebutkan kita untuk dikuasainya, si kembar yang muncul silih berganti, yang ditimbulkan oleh ulah si aku yang selalu mengejar kesenangan dan menjauhi ketidaksenangan. Si-aku yang selalu tidak puas dengan kenyataan yang ada, melainkan selalu mengejar bayangan-bayangan yang menjanjikan sesuatu yang lebih menyenangkan.
Mungkinkah kita manusia ini ingat kembali ke pada Sang Maha Pencipta, mengesampingkan, biarpun sebentar, segala keremehan duniawi dan teringat kepada Tuhan, kembali kepada Tuhan karena hanya Tuhanlah yang akan mampu mengangkat kita dari cengkeraman si kembar suka dan duka? Titik api yang berada di dalam diri ini begitu rindu kepada Pusat Api, tetes api yang berada di dalam diri ini begitu rindu kepada Samudera.
Namun apa daya titik api yang terkurung di dalam lampu, apa daya tetes air yang terkurung di dalam kendi? Titik api takkan nampak bagai titik api lagi kalau sudah bersatu dengan Nyala Api, tetes air pun tidak akan nampak sebagai tetes air lagi kalau sudah bersatu dengan Samudera.
"Engkau kejam..... ohhh, betapa kejamnya engkau....."
Siang Bwee mengeluh sambil menggosok-gosok lengan kirinya yang matang biru dan agak bengkak bengkak itu. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi sepasang mata memandang kepadanya dari balik sebatang pohon dan ketika sepasang mata itu melihat betapa ia menitikkan air mata, menggosok-gosok kaki tangan sambil merintih dan mengadu kemudian membisikkan kata-kata terakhir itu, sepasang mata yang mengintai itupun menjadi basah.
Pemilik mata yang basah itu lalu keluar dari balik pohon menghampiri Siang Bwee lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah gadis itu dalam jarak tiga empat meter. "Bwee-moi, maafkan aku, Bwee-moi. Sungguh mati bukan maksudku untuk menyakiti badanmu atau hatimu. Kalau engkau menganggap aku kejam, nah inilah aku, silakan apa yang hendak kau lakukan, aku siap menerima hukuman yang akan kaujatuhkan kepadaku."
Siang Bwee terkejut melihat munculnya San Hong yang sedang memenuhi pikirannya, ia cepat menurunkan gulungan celana dan baju, meloncat berdiri dan menghapus air matanya. Ia terkejut, dan dan juga kemarahan yang tadi berubah menjadi kedukaan mulai bangkit kembali.
''Mau apa kau..... datang kembali?" Suara Siang Bwee penuh kemarahan, akan tetapi masih mengandung isak tangis. ''Apa hanya ingin menghina aku karena tidak mampu menandingimu?"
"Sama sekali tidak, Bwee-moi. Aku rasa menyesal sekali bahwa tadi kita telah berkelahi. Ah, bukankah kita telah menjadi sahabat baik? Aku menyesal tadi telah melawanmu. Maka, aku kembali untuk menyatakan penyesalanku dan minta maaf. Kalau engkau masih membenciku, dan hendak membunuhku, silakan, aku tidak akan melawan lagi."
Aneh sekali. Setelah pemuda itu datang dan menyerah, bahkan tidak akan melawan kalau dibunuh, air mata semakin deras mengucur dari sepasang mata gadis yang berpakaian pria itu. Ia merasa betapa kedua kakinya lemas dan iapun menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Keduanya saling berpandangan dengan sinar mata sayu dan wajah muram.
"Hong-ko, berjanjilah bahwa engkau tidak akan memusuhi ayahku. Berjanjilah dan aku mau berlutut di depan kakimu untuk minta maaf....." katanya dengan lirih.
Hati San Hong seperti ditusuk-tusuk rasanya oleh perasaan haru. Gadis ini, yang demikian keras hati demikian congkak, kini demikian lembut dan lemah. Hampir saja dia menyanggupi akan tetapi bayangan ayah ibunya yang terbunuh, puluhan penduduk dusun yang tidak berdosa, menjadi korban kekejami Nam Tok, dia menggelengkan kepala keras-keras.
"Tidak, Bwee-moi, kalau itu tidak. Aku harus membunuh Nam Tok!" ucapan ini keras karena San Hong mengeraskan hatinya agar tidak runtuh oleh keharuan. "Kalau engkau membenciku dan hendak membunuhku, silakan, akan tetapi tidak mungkin aku berjanji agar tidak membunuh Nam Tok!"
Siang Bwee merasa demikian berduka hingga ia tidak lagi dapat menahan isak tangisnya. Pada saat itu, terdengar suara bergema, terdengar dari jarak jauh akan tetapi kata-katanya jelas dan satu-satu, "Siang Bwee.....! Engkaukah itu.....? Kenapa kau menangis.....?"
Mendengar ini, Siang Bwee meloncat, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan iapun cepat meloncat mendekati San Hong, mengguncang pundak pemuda itu dan berkata, "Cepat! Hong-koko, cepat kau pergilah dari sini. Bersembunyilah, cepat! Ayahku datang.....!"
Mendengar ini, San Hong juga bangkit berdiri dan dia berkata, "Adik Bwee yang baik. Justeru aku sedang mencari ayahmu. Kalau dia datang, itu baik sekali agar urusan antara dia dan aku segera dapat diselesaikan!"
"Tidak! Engkau tidak akan menang! Engkau akan tewas di tangannya, ehhh, engkau tidak tahu. Ayahku sakti, engkau bukan tandingannya!"
"Kalau aku gagal dan tewas di tangannya, aku tidak akan merasa penasaran atau menyesal."
Siang Bwee hendak membujuk lagi, akan tetapi pada saat itu terdengar lagi suara ayahnya, kini dekat sekali, "Abwee.....!"
Maka ia pun mundur, menjauhkan diri dari San Hong, dan wajahnya semakin pucat. Orang yang muncul itu memang hebat. Begitu ada angin menyambar, nampak bayangan merah berkelebat dan dia sudah berdiri di situ! Seorang pria berusia kurang lebih enam puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan gagah perkasa bajunya putih bersih, ikat pinggangnya berupa sabuk emas murni.
Jubahnya merah darah, tangan kanannya memegang sebatang tongkat setinggi pundak dan kedua ujung tongkat itu dilapisi emas, gagangnya berukir kepala naga. Sepatunya baru dan mengkilap, rambutnya dihias dengan perhiasan berbentuk naga dari emas melingkari mustika batu giok. Seorang kakek yang kelihatan sebagai seorang hartawan yang kaya raya, sekaligus seperti seorang yang amat gagah perkasa.
"Heiii, Siang Bwee, engkau sungguh membikin kesal ayahmu. Aku rindu padamu dan engkau tidak pulang-pulang. Bagaimana hasilnya engkau mencari calon suami? Wah, engkau menangis tadi. Ada apakah? Siapa yang berani mengganggumu? Dan aku tadi mendengar ada orang hendak membunuh Nam Tok? Siapakah orangnya hendak membunuh Nam Tok?"
"Akulah orang itu! Aku yang hendak membunuh Nam Tok!"
Mendengar ucapan itu, Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki atau lebih populer Nam Tok membalikkan tubuh ke kanan, menghadapi pemuda yang begitu berani mengatakan bahwa dia hendak membunuh Nam Tok. Melihat bahwa yang mengeluarkan ucapan itu hanya seorang pemuda yang usianya hanya kurang lebih dua puluh tahun, Nam Tok menjadi demikian herannya sehingga dia hanya memandang saja dengan matanya yang mencorong.
Kalau yang mengeluarkan ucapan itu seorang tokoh dunia persilatan yang terkenal dan memiliki kedudukan tinggi, dia tidak akan merasa heran walaupun kiranya hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja orang-orang yang berani mengeluarkan pernyataan hendak membunuhnya!
"Engkau? Hendak membunuh Nam Tok?" akhirnya dia bertanya.
Dengan sikap gagah San Hong maju menghampiri. "Benar, aku hendak membunuh Nam Tok! Apakah Paman yang berjuluk Nam Tok?"
Hampir saja Nam Tok tertawa karena geli. Selama ini, dia ditakuti orang, dihormati orang secara berlebihan. Akan tetapi hari ini, di dalam hutan dan di depan puterinya pula, ada orang yang bersikap sederhana dan biasa saja kepadanya seolah-olah dia hanya seorang kakek petani biasa, bahkan orang itu mengatakan hendak membunuhnya!
Lebih hebat lagi, orang itu hanya seorang pemuda yang menjelang dewasa! Kalau yang dihadapinya seorang tokoh besar tentu dia tidak ragu-ragu lagi dan langsung saja menyerang untuk membunuh penantang itu dengan tongkat mautnya Akan tetapi saking herannya, dia jadi ingin tahu lebih banyak.
"Orang muda, engkau tidak gila, bukan?"
Kini San Hong yang memandang heran. Kakek itu bertanya dengan serius, bukan untuk mengejek atau menghina. Dia menggeleng kepala menyatakan bahwa dia tidak gila.
"Kalau tidak gila, kenapa hendak membunuh aku?"
Tiba-tiba Siang Bwee meloncat maju, mendekati ayahnya. "Nanti dulu, biar aku yang bertanya kepada Ayah. Ayah, engkau tentu tidak akan berbohong kepada anakmu yang kau sayang ini, bukan?" la merangkul pundak ayahnya.
"Ih, anak manja! Aku selama hidup tidak pernah berbohong!"
Gadis itu tersenyum pahit. Betapa bedanya ayahnya dengan San Hong! Baru ucapan bahwa selamanya tidak pernah berbohong itu saja sudah merupakan kebohongan! Mana bisa ia mengharapkan ayahnya jujur seperti San Hong? la harus memakai akal! "Aku percaya Ayah tidak akan berbohong kepadaku. Ayah, aku ingin bertanya. Tahukah Ayah di mana letaknya dusun Po-lim-cun?"
"Hah? Po-lim-cun? Aku tidak tahu entah dimana?" jawab ayah itu yang mengerutkan alis mengingat-ingat akan tetapi tentu saja dia tidak mampu mengingat nama dusun kecil itu.
Gadis itu tersenyum cerah. Wajannya yang tadi pucat kini menjadi kemerahan dan ia menoleh kepada San Hong, memandang dan sinar matanya penuh kemenangan, seolah hendak berkata bahwa ayahnya bukan pembunuh itu karena ayahnya tidak tahu di mana adanya dusun Po-limcun! Dusunnya saja tidak tahu, bagaimana dapat membunuh penduduknya?
"Ayah, penduduk dusun Po-lim-cun dibunuh orang tanpa dosa, dan orang orang menimpakan kesalahan kepada Ayah, mengatakan bahwa Nam Tok yang membunuh semua penduduk Po-lim-cun itu. Benarkah itu, Ayah? Tentu bukan Ayah yang melakukan pembunuhan itu!"
"Aahhh, pembunuh di dusun itu? Puluhan orang yang dibunuh! Siapa lagi kalau bukan aku. Nam Tok, yang membunuhnya? Memang aku yang telah membunuh mereka!"
Wajah Slang Bwee kembali menjadi pucat, "Tapi, Ayah! Bukankah Ayah tadi mengatakan tidak tahu di mana letaknya dusun Po-lim-cun? Kalau tidak mengenal dusun itu, bagaimana mungkin membunuh penduduknya?"
"Mana aku hafal akan nama dusun-dusun itu? Mana aku ingat akan tempat itu? Akan tetapi tentang pembunuhan itu, aku masih ingat. Ya, aku yang membunuh mereka!"
"Ayah, harap jangan main-main dan jangan membohongi aku. Kalau memang Ayah yang membunuh mereka, katakan, siapa yang menjadi pemimpin mereka! Dan apakah Ayah juga tahu akan seorang she Kwee bersama isterinya di antara mereka?"
Kakek itu kembali menggeleng kepala, ”Aku tidak tahu pemimpin mereka siapa, tidak tahu pula orang she Kwee!"
"Tapi Ayah mengaku telah membunuh mereka! Lalu apa alasannya?"
Merasa disudutkan oleh anaknya, kakek itu mendengus tidak sabar. "Sudahlah. Mana aku ingat segala macam tikus she Kwee dan pemimpin orang dusun juga aku tidak tahu apa alasannya. Pendeknya aku mengamuk dan membunuhi mereka. Siapa lagi kalau bukan Nam Tok yang mampu membunuhi puluhan orang sekaligus? Ha-ha-ha, hanya Nam Tok yang mampu!"
"Ayah, aku tahu engkau bohong! Ayah telah bohong kepadaku!" Siang Bwe berseru dengan gelisah.
Akan tetapi kakek itu tidak peduli dan pada saat itu San Hong yang telah menjadi marah mendengar pengakuan kakek itu, kini tidak merasa ragu-ragu lagi. Inilah pembunuh orang tuanya dan orang-orang dusunnya. Kakek yang amat jahat dan kejam, yang agaknya bahkan merasa bangga mengaku sebagal pembunuh banyak orang tanpa alasan sama sekali!
Biarpun orang ini ayah kandung Siang Bwee, akan tetapi terlalu jahat dan bahkan sekedar membalas dendam kematian puluhan orang di dusunnya itu saja kalau dia sekarang berusaha membunuh kakek ini, melainkan juga memenuhi pesan para gurunya agar dia menentang kejahatan. Dan kakek ini adalah biang kejahatan nomor satu!
"Nam Tok! Sekarang tiba saatnya engkau harus menebus dosamu dan mati di tanganku!" bentaknya dan pedang pusaka Pek lui-kiam telah berada di tangannya.
Melihat pedang pusaka yang mengeluarkan sinar berkilat itu, Nam Tok mengeluarkan suara mendengus marah. "Bukankah itu Pek-lui-kiam? Apakah kau murid Luikong Kiam-sian?"
"Benar!"
"Dia juga murid para orang gagah yang terkenal dengan julukan Thian-san Ngo-sian, Ayah!" teriak Siang Bwee.
Wajah kakek itu berseri. "Bagus-bagus! Kalau begitu, biarpun masih muda, ia mewakili Thian-san Ngo-sian! Haha-ha, seorang lawan yang tidak memalukan! Murid Thiansan Ngo-sian, majulah dan kerahkan seluruh kepandaian yang kau dapatkan dari lima orang gurumu itu, ha-ha-ha!"
San Hong tidak perlu diperintah lagi. Dia sudah menerjang ke depan dan memutar pedangnya, mempergunakan ilmu pedang Pek-lui Kiam-sut yang amat hebat, sambil mengerahkan tenaga yang dilatihnya dari Thay Lek Siansu, dan kecepatan gerakan tubuhnya yang diwarisinya dari Bu Eng Sianjin!
Pemuda ini telah mewarisi bermacam ilmu dari ilmu orang gurunya dan dia pandai menggabung semua ilmu ini sehingga dia amat berbahaya. Apa lagi tangannya memegang sebatang pedang seperti Pek-lui-kiam itu.
"Ha-ha-ha, akhirnya aku dapat berhadapan dengan wakil Thian-san Ngo sian yang tidak mengecewakan!" kata Nam Tok yang memang mempunyai hobby aneh yaitu mengadu ilmu dan mempertaruhkan nyawa menandingi orang orang yang paling lihai di dunia ini! Dan selama ini dia memang belum pernah terkalahkan!
Mulailah Nam Tok menggerakkan tongkatnya dan begitu tongkatnya bergerak, angin yang dahsyat menyambar dan membuat rambut dan pakaian San Hong berkibar seperti dilanda angin besar! Pemuda ini tidak menjadi gentar karena ia memang sudah siap siaga, sudah dapat menduga bahwa tentu ilmu tongkat kakek ini luar biasa sekali. Baru ilmu tongkat Siang Bwee saja sudah membuat dia kewalahan, apalagi ilmu tongkat ayahnya!
Oleh karena itu, dia pun memutar pedangnya sehingga membentuk gulungan sinar pedang yang melingkar seperti perisai yang lebar, yang amat kuat dan dari dalam lingkaran ini kadang-kadang mencuat sinar kilat yang melakukan serangan dari balik perisai! Dia mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh, maklum bahwa lawannya bukan orang sembarangan!
Nam Tok sendiri terbelalak kagum, juga merasa amat gembira. Tadinya dia masih memandang rendah, akan tetapi ketika ujung tongkatnya bertemu dengan lingkaran sinar dan tertolak keras, kemudian ada kilatan sinar dari dalam lingkaran yang menyerang secara bertubi-tubi ke bagian tubuhnya yang berbahaya, dia pun menjadi kagum dan gembira. Inilah lawan yang benar-benar membutuhkan pengerahan tenaga dan kepandaian!
Dia pun tidak sungkan-sungkan lagi. Dikerahkannya tenaga sin-kangnya dia pun menyerang dengan jurus-jurus pilihan. Berbagai macam gerakan serangan yang aneh dan tidak terduga-duga di lancarkan di antara pertahanannya karena lawannya juga menyerang hebat, namun, semua serangannya dapat digagalkan atau dipecahkan oleh San Hong!
Siang Bwee yang nonton di pinggir hampir tak pernah berkedip dan menahan napas. Ia mengkhawatirkan San Hong. Ia tahu betapa lihai ayahnya, dan rasanja tidak mungkin ayahnya akan kalah oleh San Hong. Melihat betapa pemuda ini melawan dengan gigih, dan hampir dapat mengimbangi Ayahnya, diam-diam dia ini merasa semakin kagum dan suka kepada San Hong.
Pemuda itu bukan saja mampu menahan semua serangan ayahnya, juga mampu membalas dengan serangan pedang yang tidak kalah dahsyatnya, membuat ayahnya kadang-kadang mengeluarkan suara menggereng karena penasaran.
Pertandingan itu memang seru bukan main. Apalagi bagi San Hong yang baru saja keluar dari perguruan, bahkan bagi Nam Tok sekalipun, pengalaman seperti ini jarang dirasakannya dalam perjalanan hidupnya. Yaitu, bertemu dengan lawan yang begini tangguh dan berbahaya!
Untung yang menjadi saksi hanya puterinya sendiri. Kalau orang-orang kang-ouw menyaksikan perkelahian ini, akan kemana dia menaruh mukanya? Nam-san Tok-ong atau yang terkenal dengan singkatan Nam Tok, dalam waktu seratus jurus belum juga mampu mengalahkan seorang lawan yang baru berusia dua puluh tahun!
Tentu dia akan menjadi bahan ejekan. Sudah tua bangka, sudah loyo! Dan Nam Tok terkejut ketika merasa betapa lehernya sudah penuh dengan keringat. Memang dia telah mulai loyo, dimakan usia tua! Biarpun dia melihat betapa lawannya, pemuda itu, juga sudah mulai terengah-engah karena terlampau banyak mengerahkan tenaga.
Tiba-tiba Nam Tok mengeluarkan suara melengkung nyaring, lengking panjang dan aneh. San Hong merasa betapa suara itu menggetarkan jantungnya dan dia masih mendengar teriakan Siang Bwee.
"Ayah, jangan.....!"
Akan tetapi, agaknya Nam Tok sudah marah sekali dan tidak mempedulikan puterinya yang melarang dia menggunakan ilmu simpanannya ini. Ilmu itu di sebut Hekin Pay-san (Awan Hitam Menolak Gunung), didahului dengan teriakan melengking yang mengandung khikang sepenuhnya.
San Hong melihat betapa tubuh kakek itu diliputi uap hitam dan ketika tongkat itu menyambar, tercium bau yang amis sekali, sedangkan tenaga yang terkandung dalam tongkat itu menjadi berlipat ganda kuatnya.
"Siauw Bwee, terimalah pedangnya itu!" bentak Nam Tok dan tongkatnya bertemu pedang Pek lui-kiam.
"Tranggg...!" terdengar suara nyaring dan pedang itupun terlepas dari tangan San Hong, terlempar ke arah Siang Bwee! Pemuda itu sendiri terdorong oleh kekuatan dahsyat hidungnya menyedot bau amis yang membuat kepalanya pening dan dia pun terhuyung ke belakang namun masih dapat menahan dirinya sehingga tidak roboh!
"Murid Ngo-sian, mampuslah kau sekarang!" bentak Nam Tok dan kini tongkatnya menyambar ke arah kepala San Hong.
Pemuda ini memang sudah terdesak dan terancam bahaya maut. Namun, tidak memalukan dia menjadi murid tersayang dari Thian-san, karena dalam keadaan terhuyung dan kepalanya pening itu, dia masih dapat melihat datangnya bahaya maut dan dengan lincah dia melempar tubuh ke kanan lalu bergulingan hingga sambaran ujung tongkat itu mengenai tempat kosong!
"Ehhh.....?" Nam Tok terkejut, heran dan juga kagum. Akan tetapi perasaan penasaran membuatnya marah dan dia pun mengejar tubuh yang bergulingan itu, beberapa kali ujung tongkatnya menyambar, namun kelincahan tubuh pemuda itu memang luar biasa, selalu dapat saja mengelak dengan loncatan-loncatan berdasarkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi.
Akan tetapi, berpedang saja San Hong harus mengaku keunggulan lawan apalagi kini hanya bertangan kosong dan mengandalkan kelincahan tubuh untuk mengelak. Tongkat itu menyambar lagi dan sekali ini agaknya takkan mungkin lagi dielakkan, apa lagi ketika San Hong meloncat, kakinya tergelincir sehingga elakannya tidak tepat, dia terpelanting.
"Mampuslah kau orang muda!" bentak Nam Tok. Tongkatnya menyambar ke arah kepala San Hong yang hanya dapat menanti datangnya maut.
"Tranggggg.....!?" Bunga api berpijar ketika tongkat itu tertangkis pedang. Nam Tok mengerutkan alisnya, memandang kepada puterinya dengan marah.
"Siang Bwee! Apa yang kau lakukan ini? Engkau membelanya?" Tiba-tiba Nam Tok yang sengaja menegur puterinya agar puterinya itu kehilangan perhatian, menggerakkan tongkatnya yang menyambar lagi ke arah San Hong. Pemuda itu sedang hendak bangkit. Sambaran tongkat itu hebat sekali, akan tetapi dia masih sempat menggerakkan kepalanya.
”Dukkk!" Pundak kiri San Hong dihajar ujung tongkat dan biarpun dia sudah melindungi pundak itu dengan sinkang, tetap saja dia terbanting keras dan pundaknya terasa seperti remuk walaupun tidak ada tulang yang patah. Rasanya nyeri menembus pundak ke dada, dan tahulah dia bahwa Racun Selatan (Nam Tok) itu memukul dengan pengerahan hawa beracun, sesuai dengan nama julukannya! Dia tidak mampu bangkit lagi, hanya rebah dan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya!
Siang Bwee menjerit ketika melihat San Hong terpukul dan ia sudah meloncat ke depan pemuda itu dengan sikap melindungi, pedangnya disilangkan dan matanya mencorong memandang ayahnya. "Ayah, kau curang! Curang terhadap seorang lawan muda, sungguh keterlaluan!"
"Siauw Bwee (Bunga Kecil), minggir-lah kau, biarkan aku membunuh dia!"
"Tidak bisa, Ayah. Lupakah Ayah bahwa aku pergi untuk mencari jodoh? Nah, dia inilah calon jodohku, Ayah. Oleh karena itu, Ayah tidak boleh membunuhnya dan aku akan membela dan melindunginya dengan taruhan nyawaku sendiri!"
Bukan hanya Nam Tok yang terkejut, juga San Hong memandang dengan mata terbelalak dan mukanya beruban merah sekali. Apa pula yang diucapkan oleh gadis aneh itu?
"Apa kau bilang, Siang Bwee? Kau..... kau memilih dia ini untuk menjadi calon suamimu?" Nam Tok berteriak, lalu memandang ke arah pemuda yang masih rebah di atas tanah itu. Seorang pemuda yang memang perawakannya gagah, tinggi besar dan harus diakuinya bahwa ilmunya tinggi, hampir dia sendiri kewalahan menghadapinya. Akan tetapi, pakaian pemuda itu demikian sederhana, sikapnya juga, bahkan wajahnya nampak bodoh.
"Benar, Ayah. Karena itu, engkau tidak boleh membunuhnya!"
"Tapi.... bagaimana engkau, anakku yang cantik jelita, pandai, kaya raya, terpandang, memiliki segala-galanya memilih calon suami seperti ini? Dia ini tentu seorang pemuda dusun yang bodoh.”
"Biarpun bodoh dan dari dusun, dia jujur dan kepandaiannya tinggi!"
Kembali Nam Tok memandang kepada San Hong dan alisnya berkerut. "Engkau mencinta pemuda ini?"
Wajah gadis itu berubah merah dan diam-diam San Hong memandang dengan jantung berdebar. Rasanya tidak mungkin seorang gadis seperti itu cinta padanya Akan tetapi, dia mendengar jawab satu-satu yang amat jelas.
"Benar, Ayah. Aku cinta padanya!" Langit bumi bagaikan terbalik bagi San Hong mendengar ini dan dia pun memejamkan matanya, tidak kuasa memandang wajah gadis itu.
"Tapi, aku tidak setuju! Aku tidak sudi mempunyai mantu macam dia! Apalagi, engkau tahu sendiri, dia hendak membunuh aku. Mana mungkin seorang mantu hendak membunuh ayah mertuanya sendiri? Tidak, aku tidak setuju!"
"Itu hanya merupakan kesalahpahaman saja, Ayah. Engkau disangkanya pembunuh orang-orang dusun Po-lim-cun."
"Memang aku pembunuhnya! Sudah, aku tidak setuju, dan aku tadi sudah bilang bahwa dia harus mampus!" Nam Tok hendak menggerakkan tongkatnya, akan tetapi puterinya menjerit.
"Ayah! Lihat, apa yang akan kulakukan kalau engkau memaksa hendak membunuhnya!" Gadis itu menodongkan pedangnya ke arah ayahnya.
Nam Tok mengerutkan alis lebih dani lagi. "Apa? Kau hendak melawanku untuk melindungi dia? Engkau takkan menang dan tidak sukar bagiku untuk merampas pedang itu?"
"Aku tidak peduli. Pendeknya, selamanya aku akan memusuhimu, dan aku tidak sudi lagi menikah, dengan siapapun juga pilihan Ayah! Akhirnya, mungkin aku akan membunuh diri!"
Menghadapi ancaman puterinya ini, Nam Tok menjadi bingung juga. Dia terlalu sayang kepada puterinya. "Hemmm, engkau memang bocah manja dan goblok. Memilih calon suami macam dia! Baik, aku tidak membunuhnya, akan tetapi engkau dengar sendiri, tadi aku sudah bilang bahwa dia harus mampus. Ucapan Nam Tok tidak boleh ditarik kembali Karena itu, aku masih memberi kesempatan baginya, memperpanjang usianya sampai satu tahun. Akan tetapi ada syaratnya dan engkau harus berjanji memenuhi syarat itu!"
Siang Bwee sudah mengenal baik watak ayahnya yang keras bagaikan baja, aneh dan tidak lumrah manusia biasa. Ia tidak melihat pilihan lain karena kalau uluran tangan ayahnya ini ia tolak, sudi pasti San Hong dibunuh ayahnya! "Baik, katakan, apa syaratnya, Ayah!"
"Begini, karena aku sudah terlanjur mengharuskan dia itu mampus, maka aku akan melukainya sehingga dia tahan hidup satu tahun lagi. Kalau mendapatkan obat sehingga sembuh, berarti dia akan menjadi suamimu akan tetapi kalau tidak, dia akan mampus. Dengan demikian aku tidak menarik kembali ucapanku. Selain itu, engkau harus berjanji bahwa dia dapat sembuh atau tidak, engkau tidak boleh bunuh diri, dan kalau dia mampus, engkau harus menerima calon suami pilihanku."
"Itu saja, Ayah?"
"Ada satu lagi! Siapapun yang menjadi calon suamimu, dia atau orang lain, atau pilihanku sendiripun, harus dapat menahan seranganku selama dua ratus jurus!"
Gila, pikir Siang Bwee. Siapa mampu bertahan melawan ayahnya sampai dua ratus jurus? "Ayah licik! Kalau dia itu pilihan ayah, tentu Ayah akan mengalah terhadap dia, sebaliknya kalau pilihanku dan Ayah tidak setuju, tentu Ayah akan berusaha sekuatnya untuk mengalahkan dia sebelum dua ratus jurus!"
Kakek itu tertawa bergelak. "Engkau cerdik, maka engkau harus mampu pula menandingi kecerdikan ayahmu!"
"Baik, aku terima syaratmu, Ayah. Akan tetapi awas, kalau Ayah menipuku dan memukul tewas dia, Ayah akan menjadi musuhku selama hidupku!" la mengancam.
Nam Tok mengangguk dan sekali berkelebat, dia sudah tiba dekat San Hong. Tangan kirinya yang berubah hitam sekali menyambar ke arah punggung San Hong. Pemuda ini berusaha mengelak, akan tetapi sia-sia saja. Tangan itu menghantam punggungnya, tidak terlalu keras, akan tetapi dia merasa seolah olah punggungnya ditusuk benda panas dan dia pun pingsan!
Siang Bwee menjerit ketika melihat pukulan ayahnya itu. "Aihhh...... kau menggunakan Hek-in Pay-san memukulnya, Ayah! Dia akan mati.....!"
Gadis itu berlutut dan memeriksa punggung pemuda itu. Baju punggungnya hangus, dan kulit punggung itu pun kehitaman seperti hangus, sebesar telapak tangan ayahnya.
"Memang dia akan mampus kalau dalam waktu setahun dia tidak menerima pengobatan yang tepat. Dia dapat bertahan sampai setahun, mengingat sin-kangnya yang cukup kuat. Nah, terserah kepadamu. Kalau engkau cerdik seperti aku, lebih baik kau tinggalkan dia, dan mari pulang bersamaku. Akan kupilihkan calon suami yang ganteng dan pandai tidak bodoh seperti kerbau ini."
"Tidak! Aku akan merawatnya, aku akan berusaha mencarikan obatnya, dan kelak aku akan membawanya menghadapmu sebagai calon suamiku!"
"Ha-ha-ha, percuma saja. Di dunia ini mungkin hanya aku yang akan mampu menyembuhkan pukulan Hek-in Pay-san!" sambil masih tertawa-tawa, Nam Tok meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar, meninggalkan puterinya yang berlutut di dekat tubuh San Hong yang pingsan.
Setelah ayahnya pergi, Siang Bwee mencari air dan mengucurkan air pada kepala dan muka San Hong, lalu membantu pemuda yang pingsan itu minum obat yang dicampurnya dengan air. Ia pun memijat-mijat bagian tengkuk dan di sekitar luka itu, akan tetapi tidak berani memijat bagian yang luka karena maklum bahwa hal itu akan membahayakan nyawa San Hong. Cara pengobatannya itu hanya untuk menyadarkan dan mengurangi rasa nyeri saja, sama sekali bukan untuk menyembuhkan.
San Hong mengeluh dan membuka kedua matanya. Segera dia teringat akan segala yang telah terjadi. Dia bangkit duduk dan Siang Bwee segera membantunya. "Kenapa kau lakukan itu?" Suara dalam pertanyaan. Ini mengandung keharuan, penyesalan dan juga kekhawatiran.
"Apa? Menyadarkanmu dan mencoba mengobatimu ini? Engkau pun pernah mengobati aku ketika aku terpukul oleh Si Kembar."
"Bukan, bukan itu!" kata San Hong, sikapnya sama sekali tidak peduli akan keadaan dirinya yang menderita akibat pukulan maut dari Nam Tok.
"Habis apa kalau bukan pengobatan ini? Lukamu hebat dan berbahaya sekali....." Gadis itu lalu menyambung sambil tersenyum, "Ah, maksudmu kenapa aku telah melawan ayahku sendiri untuk menyelamatkanmu? Begitukah?"
Akan tetapi, San Hong menggelengkan kepalanya yang pening, "bukan itu..... maksudku, kenapa engkau mengatakan kepada ayahmu bahwa aku..... aku..... adalah calon jodohmu?"
Dia berhenti sebentar, matanya menatap wajah gadis itu penuh selidik, bahkan penuh harapan. Dia tadi sudah mendengar pengakuan gadis itu bahwa ia mencinta dirinya, dan dia ingin kepastian, ingin gadis itu mengulang pernyataan hatinya itu, kepadanya.
Siang Bwee membalas pandang mata pemuda itu dengan heran, lalu menjawab, "Tentu saja, kalau aku tidak berkata demikian, sekarang tentu engkau sudah mati terbunuh oleh ayah. Kalau kuakui engkau sebagai calon jodohku, tentu dia tidak akan tega membunuhmu."
Jawaban ini jelas dan masuk akal, akan tetapi San Hong merasa terpukul dan kecewa. "Akan tetapi..... kau..... kau bilang bahwa engkau..... cinta padaku....."
Wajah gadis itu tiba-tiba berubah merah dan ketika ia mengangkat mukanya, ia tersenyum. "Ah, betapa bodoh engkau, Twako. Kalau aku tidak mengaku begitu, mana ayah mau percaya? Sudahlah, yang penting sekarang ini adalah mencarikan obat untuk menyembuhkan lukamu. Kalau tidak mendapatkan pengobatan yang tepat, dalam waktu satu tahun engkau akan tewas, Twako. Mari kita pergi dan akan kucarikan obatnya!'
San Hong tadi menundukkan mukanya agar tidak nampak oleh gadis itu betapa jawaban gadis itu tadi menusuk jantungnya, membuat mukanya seketika pucat sekali. Ah, dia yang tidak tahu diri! Bagaimana mungkin seorang gadis seperti Ang Siang Bwee dapat mencinta seorang pemuda bodoh dan miskin seperti dia. Harapan yang tolol dan hampa!
"Tidak usah, Nona....., biarkan aku pergi. Aku dapat mencari sendiri obatnya."
"Ah, engkau akan gagal dan engkau akan mati!"
San Hong tersenyum pahit. "Kalau memang demikian, apa salahnya? Aku akan mencari obatnya, tidak usah menyusahkan dirimu....." Dia bangkit berdiri.
"Twako, engkau akan gagal! Biar suhumu sendiri, Thiansan Ngo-sian, tak kan mampu menyembuhkan lukamu. Di dunia ini, hanya ada dua orang yang mampu menyembuhkan akibat pukulan Hek-in Pay-san. Orang pertama adalah ayahku karena dia memang tahu dan memiliki obatnya. Orang ke dua adalah aku sendiri karena aku saja yang mengetahui, siapa selain ayahku yang akan mampu mengobatimu!"
"Biarlah, Nona. Biar akan kucari sendiri obatnya dan kalau aku gagal, paling banyak aku akan mati." Kata pemuda itu yang sudah merasa amat nelangsa akibat putah hati.
"Heiii, kau kenapakah?" Siang Bwee meloncat ke depan San Hong dan menghadang, lalu menyentuh lengannya. "Kenapa engkau menjadi begini berubah, twako? Engkau menyebut aku nona, dan engkau kelihatan seperti orang yang sudah bosan hidup!"
"Sudahlah, harap jangan menggangguku lebih lama lagi! Aku..... aku tidak membutuhkan bantuanmu....." kata San Hong dengan suara mengandung kepahitan dan dia pun lalu melangkah lebar, menahan rasa nyeri di punggungnya dan neninggalkan gadis itu tanpa menoleh lagi.
Siang Bwee berdiri termangu mangu, tidak tahu harus berbuat apa, lalu ia menggerakkan kedua pundaknya, lalu duduk kembali di atas rumput dan bibirnya cemberut, mengomel. "Dasar pemuda tolol....."
San Hong masih dapat menangkap omelan ini dan hatinya terasa semakin tertusuk. Memang dia tolol! Tolol sekali untuk menaruh harapan, untuk merasa tertarik dan jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Siang Bwee yang demikian tinggi hati, puteri seorang datuk sakti yang menjadi musuh besarnya.
Huh, sungguh dia tak tahu diri, tidak malu tadi sempat berdebar jantungnya karena gembira mendengar gadis itu cinta padanya, memilihnya sebagai calon suami, dan mati-matian menentang ayah sendiri. Masih melambung harapan besar dalam hatinya bahwa gadis itu benar-benar cinta padanya! Huh, kiranya hanya tipu muslihat saja. Nah, habislah sudah lamunan kosong. Pecah dan lenyaplah sudah gelembung khayal!
Tanpa mempedulikan rasa nyeri yang masih menusuk, San Hong memaksa kedua kakinya untuk lari cepat. Akan tetapi, baru satu mil lebih dia berlari, rasa nyeri di punggungnya tak tertahankan lagi dan dia pun terpelanting jatuh, terengah-engah dan merangkak duduk menahan sakit, tidak mempedulikan buntalan pakaiannya yang terbuka ketika dia terjatuh itu dan nampak emas dan perak berkilauan di antara pakaiannya.
Dengan kepala pening dan napas sesak San Hong melihat ada dua orang laki-laki, datang menghampirinya. Dua orang berwajah bengis yang membawa golok di pinggang.
"Wah, banyak emas dan perak!" seru orang di antara mereka yang kumisnya tebal.
"Benar! Dia kaya raya. Ini makanan lezat!"
"Ikan kakap! Kita bunuh dulu dia, baru kita larikan hartanya!"
San Hong menjadi marah. Kiranya dua orang ini adalah perampok-perampok atau orang-orang jahat yang segera timbul pikiran untuk membunuh dan merampok begitu mata mereka melihat emas dan perak. Maka, dia pun cepat bangkit berdiri dan membentak. Patah hati dan kemurungannya karena kekecewaan melihat kenyataan bahwa Siang Bwee tidak benar benar cinta padanya itu membuat San Hong menjadi marah sekali.
"Kalian ini dua orang penjahat laknat! Pergilah dan jangan mengganggu aku!" Suaranya cukup berwibawa, akan tetapi rasa nyeri yang menusuk punggung membuat dia menyeringai dan menahan napas. Melihat ini, dua orang besar itu saling pandang lalu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, engkau orang berpenyakitan masih mempunyai suara keras?"
”Toako, dia hanya menggertak kita. Hayo kita sikat saja!" bentak orang ke dua yang kedua matanya merah.
Melihat sikap mereka, dengan marah San Hong mengerahkan sinkangnya dan melangkah maju hendak memberi hajaran kepada mereka. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan keluhan panjang. Begitu mengerahkan tenaga sin-kang, punggungnya seperti ditusuk pedang rasanya hingga dia terhuyung ke depan. Pada saat itu, si kumis tebal menyambutnya dengan pukulan tangan kanan ke arah dagunya.
"Dukkk!!" Pukulan itu keras sekali, membuat tubuh San Hong yang sudah lemas tak bertenaga itu terjengkang dan terbanting ke belakang. Matanya berkunang dan dia masih mencoba untuk bangkit duduk. Biarpun pukulan itu keras sekali menimpa dagunya, namun tidaklah senyeri punggungnya. Pada saat dia menggunakan sisa tenaganya untuk merangkak bangun, si mata merah sudah menghampirinya dan kakinya menendang dengan pengerahan tenaganya.
"Desss.....!" Sekali lagi kepalanya kena ditendang. Demikian keras tendangan itu hingga kembali tubuhnya terlempar, terjengkang dan dia pun terbanting untuk ke dua kalinya. Bumi rasanya terputar, akan tetapi juga sekali ini, rasa nyeri tendangan tidak mengalahkan rasa nyeri di punggungnya. San Hong masih melihat dengan mata berkunang betapa dua orang itu mencabut golok mereka!
"Toako, tubuhnya kuat juga. Pukulanmu dan tendanganku tidak membuat dia mampus. Sebaiknya kita penggal saja lehernya dengan golok!"
"Benar, biar lekas selesai!" kata kumis tebal.
Mereka berdua menggerakkan golok mereka, siap memancung kepala San Hong yang sama sekali tidak berdaya. Begitu dua batang golok itu menyambar tiba-tiba saja dua buah senjata itu berhenti di tengah udara. Sesosok bayangan berkelebat, dua buah tangan yang cepat menotok ke arah lengan yang memegang golok dan sebuah kaki melakukan tendangan dua kali dengan kecepatan kilat!
"Dukkk! Dukkk!" Dua tubuh itu terpental dan terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya. Mereka merayap bangun, akan tetapi orang yang baru datang itu sudah menyambar dua batang golok yang tadi terlepas, mengayun golok-golok itu ke arah pemiliknya.
"Cap! Cap!" Dua orang itu terjengkang dan tewas dengan dada tertembus golok masing-masing.
San Hong masih dapat melihat bahwa yang menyelamatkannya adalah Siang Bwee! Dia mengeluh lirih dan terkulai lemah, pingsan! Ketika dia siuman dan membuka mata, gadis itu sudah bersimpuh di dekatnya, memijit-mijit kedua pundaknya. Melihat San Hong siuman, Siang Bwee berkata halus.
"Jangan sekali-kali engkau mengerahkan sin-kang. Itulah pantangan yang keras, dapat memperpendek umurmu. Akibat pukulan Hek-in Pay-san memang demikian, dilarang mengerahkan sin-kang sebelum sembuh!"
"Kenapa..... kenapa engkau menolongku?"
Pertanyaan aneh. Gadis itu memandang wajahnya dan tersenyum sambil mengusap wajah yang berpeluh itu dengan sehelai saputangan sutera yang berbau harum bunga. "Kenapa? Karena engkau memerlukan pertolongan. Lehermu nyaris terbacok golok-golok itu!".
San Hong bangkit duduk, ditopang oleh Sang Bwee. Dia melihat ke arah dua orang yang telah menjadi mayat, dan menarik napas panjang. Gadis ini sungguh lihai akan tetapi juga ganas sekali amat mudah membunuh orang. "Kau.... kau bunuh mereka?"
"Mengapa tidak? Apakah kau lebih senang kalau mereka membunuhmu, atau membunuhku? Mereka itu orang-orang jahat, keji dan pengecut, menyerang orang yang sedang terluka parah, layak dibunuh seribu kali."
San Hong tidak membantah, merasa akan kalah berbantah dengan gadis ini Dia menatap wajah yang nampak semakin manis itu. "Nona, kenapa engkau menolongku? Bukankah engkau tidak..... cinta padaku?"
"Eh, apakah orang baru boleh menolong orang lain kalau ia mencintanya Twako, aku suka padamu, aku kagum padamu dan aku kasihan padamu, juga mendongkol dan gemas!"
San Hong tersenyum pahit. Bukan cinta yang diperolehnya, melainkan suka kagum, dongkol dan kasihan. "Mengapa?"
"Aku suka karena engkau jujur dan hatimu bersih, tidak berpura-pura dan tidak cabul, tidak merayu. Aku kagum karena engkau memiliki ilmu silat yang tinggi, nyaris menandingi ayah sendiri! Aku kasihan padamu karena..... karena engkau memang patut dikasihani. Dan aku dongkol, jengkel padamu karena engkau..... keras kepala!"
"Tapi tidak kau cinta....."
Gadis itu memandang dengan mata lebar. "Cinta? Tentu saja tidak dan belum! Twako, kau kira semudah itu orang jatuh cinta? Kita baru sehari bertemu dan berkenalan. Kita belum saling mengenal, bagaimana mungkin aku jatuh cinta? Untuk jatuh cinta, aku harus mempelajari dulu watak-watak orang itu dengan baik dan pula, dalam hal cinta mencinta, tidak sepatutnya kalau aku.... ah, Twako, engkau tahu aku seorang wanita.
"Seharusnya prialah yang lebih dulu mengulurkan tangan! Aih, sudahlah, bukan saatnya kita bicara tentang cinta! Lukamu bertambah parah. Mari kita pergi. Aku yang akan mencarikan obat untukmu. Kecuali ayah, setahuku hanya seorang saja yang akan dapat mengobatimu, dan orang itu adalah orang yang paling jahat di dunia ini!
"Orang yang paling curang, paling berbahaya dan paling sombong. Dia adalah Tung-hai Kian-ong (Raja Pedang Laut Timur) Bu Si Lam! Raja Pedang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, bukan saja ahli pedang yang sukar dicari tandingannya, akan tetapi juga memiliki ilmu pengobatan dengan jarum-jarum emas yang akan mampu menyembuhkan lukamu...."