Pedang Asmara Jilid 12 karya Kho Ping Hoo - KARENA dia hanya dibawa oleh Siang Bwee, maka San Hong tidak mampu menjawab dan menyerahkannya saja kepada gadis itu yang sudah melangkah maju. Dengan wajah berseri dan sikap manis gadis itu berkata,
"Selamat pagi, kawan-kawan! Kami berdua datang dari tempat yang jauh sekali, dari selatan dan kami ingin berjumpa dengan majikan kalian. Harap laporkan kedatangan kami!"
Lima orang penjaga itu saling pandang dan mengerutkan alis. Gadis yang demikian cantik dan lincah, dan agaknya sama sekali tidak ragu-ragu, tidak rikuh seolah-olah sudah mengenal baik majikan mereka. Mudah mereka duga bahwa tentu gadis ini seorang di antara kekasih majikan muda mereka! Memang majikan muda mereka mempunyai banyak kekasih dan kesemuanya gadis-gadis atau janda janda muda yang cantik jelita.
"Sayang sekali, Nona, Cu kongcu tidak berada di rumah. Sudah hampir seminggu dia pergi dan entah kapan pulangnya" kata si brewok.
"Siapa mau bertemu dengan kongcumu?" kata Siang Bwee. Ia tidak tahu siapa yang dimaksudkan dengan Cu kongcu itu, akan tetapi sudah jelas bukan Tung Kiam. "Aku ingin bertemu dengan Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam!"
Kini si brewok dan teman temannya terbelalak. Betapa beraninya gadis ini! Sama sekali tidak menghormati majikan mereka! Belum pernah ada orang berani menyebut nama majikan mereka begitu saja, seperti orang menyebut orang lain yang berkedudukan sama. Biasanya, orang-orang yang datang menyebut majikan mereka lo-cianpwe atau beng-cu, atau bahkan ada yang menyebutnya Ong-ya.
Akan tetapi gadis muda ini menyebutnya begitu saja pada nama dan julukannya. Si brewok mulai merasa tidak senang, apalagi setelah dia tahu bahwa gadis ini bukan kekasih kongcunya. Kalau kekasih kongcunya, tentu dia tidak berani bersikap kasar, apalagi main-main menggodanya.
Gadis ini adalah seorang tamu kurang ajar dan bukan sahabat kongcunya. Timbullah keinginan hatinya mempermainkan gadis yang cantik jelita ini. Si brewok tersenyum dan mengelus kumis dan brewoknya.
"Nona, tidak mudah menghadap majikan kami. Beliau sedang menerima belasan orang tamu, tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw, maka tidak boleh diganggu. selain itu, juga untuk dapat mengnadap beliau, ada syaratnya."
"Hemmm, apa syaratnya?" Siang Bwee bertanya, tanpa menduga buruk. "Apakah kalian minta uang makan? Jangan khawatir, aku bukan orang yang pelit."
Si brewok tersenyum. "Heh-heh-heh, bukan hanya itu syaratnya, Nona. Kalau ada seorang wanita minta menghadap majikan kami, maka ia haruslah kami geledah dulu, kami periksa kalau-kalau ia menyembunyikan sesuatu di tubuhnya. Nah, masuklah ke dalam gardu kami, Nona. Aku hendak memeriksa seluruh pakaian dan badanmu, heh heh heh!"
Wajah Siang Bwee seketika berubah merah sekali. Biarpun ia seorang gadis yang tak pernah diganggu orang karena tidak ada yang berani, namun ia maklum bahwa di balik kata-kata si brewok itu terdapat suatu kecabulan yang kurang ajar. Akan tetapi, ia tersenyum semakin manis.
Bagi orang yang mengenal gadis ini, senyum itu berarti bahwa Siang Bwee marah bukan main dan ia telan menjadi seorang yang amat berbahaya. Akan tetapi si brewok dan teman-temannya tidak mengenalnya, maka senyuman manis itu dianggap oleh si brewok bahwa gadis manis itu memberi tanggapan yang baik.
"Ha-ha-ha, marilah Nona. Setelah kuperiksa, baru engkau boleh menghadap majikan kami!" kata pula si brewok dan dia menjulurkan tangan kanannya untuk meraba dagu yang manis itu.
"Plakkk!" tangan itu tertangkis dan si brewok meringis kesakitan. Marahlah dia Matanya melotot dan dia berseru kepada empat orang kawannya. "Perempuan ini mempunyai niat buruk, tangkap dia!"
Empat orang itu seperti berlumba maju. Siapa orangnya tidak akan menjadi girang sekali diberi kesempatan untuk menangkap seorang gadis cantik seperti itu? Setidaknya mereka mendapatkan kesempatan untuk merangkul, meraba, membelai. Bagaikan empat ekor srigala kelaparan, mereka lalu menubruk ke arah Siang Bwce dari empat penjuru sambil tertawa tawa.
Akan tetapi, tubuh Siang Bwee berputar menyambut mereka dengan tamparan dan tendangan dan tahu tahu empat orang itu telah terpelanting dan roboh! Peristiwa ini amat mengejutkan mereka berempat, juga si brewok terbelalak. Baru mereka berlima tahu bahwa gadis ini bukan orang sembarangan. Demikian cepat gerakannya sehingga tanpa mereka ketahui bagaimana caranya, tahu tahu empat orang itu telah roboh.
Mereka menjadi marah. Cepat mereka bangkit lagi dan kini tangan mereka telah mencabut golok yang tadi terselip di punggung. Mereka masih merasa penasaran karena mereka tidak dapat percaya bahwa seorang gadis muda mampu merobohkan mereka berempat dan segebrakan saja!
Padahal, mereka itu adalah jagoan-jagoan yang bukan saja memiliki tubuh yang kekar dan kuat, tenaga yang besar, juga memiliki ilmu silat yang mereka anggap sudah amat tinggi! Perasaan malu dan marah membuat mereka tanpa dikomando lagi mencabut golok dan kini mereka menyerang Siang Bwee dengan penuh nafsu membunuh!
Akan tetapi tingkat kepandaian para penjaga itu masih jauh terlampau rendah bagi Siang Bwee, dan gerakan golok mereka baginya lambat dan lemah Maka, begitu tubuhnya berkelebat, ia pun lenyap dari kepungan empat orang itu, dan sebelum mereka tahu di mana adanya gadis yang mereka keroyok, tiba-tiba saja kaki tangan gadis itu menyambar-nyambar dan untuk ke dua kalinya merekapun terpelanting roboh.
Akan tetapi sekali ini, golok mereka terlempar dan mereka pun mengaduh aduh dan tidak dapat segera bangkit. Si brewok juga marah. Dia sudah mencabut goloknya. Agaknya dia memang bandel. Melihat empat orang kawannya roboh, dia masih nekat dan menyerang dengan sambaran goloknya. ke arah kepala Siang Bwee. Gadis ini mengelak dengan mudah dan ketika golok menyambar lewat, ia menggunakan tangannya nenampar ke arah pundak kanan lawan.
"Plakkk!!" Si brewok melepaskan goloknya dan dia pun berteriak-teriak kesakitan lalu menggunakan tangan kiri untuk menggaruk pundak yang ditampar tadi. Baju di bagian pundak robek dan kulit pundaknya nampak merah sekali, dan rasanya gatal bukan main, gatal panas dan nyeri.
"Kalau kau garuk terus, lenganmu akan makin membusuk," kata Siang Bwee. Nah, sekarang beritahukan kepada Tung Kiam bahwa aku nona she Ang datang untuk menguji kepandaiannya!" Berkata demikian, gadis itu menggerakkan kakinya dan sekali menendang, tubuh si brewok terpental sampai beberapa meter bergulingan ke arah pendapa gedung!
Kini si brewok sudah kehilangan kegarangannya. Dia maklum bahwa gadis itu lihai bukan main, bahkan berani menantang majikannya! Dan dia pun gelisah dan ketakutan melihat betapa pundaknya itu semakin membengkak, semakin nyeri dan gatal-gatal. Tahulah dia bahwa gadis itu telah memukulnya dengan pukuli beracun.
Maka, tanpa berani menengok lagi, dia pun lalu lari memasuki gedung dan langsung dia menghadap majikannya yang sedang menerima tamu-tamunya di ruangan tamu yang luas, di bagian belakang gedung.
Masuknya si brewok yang terhuyung-huyung ke dalam ruangan yang luas itu menarik perhatian mereka yang sedang makan minum di dalam. Ada belasan orang duduk menghadapi meja panjang dan mereka sedang makan minum dalam suasana gembira, dilayani oleh pelayan pelayan wanita muda yang cantik cantik dan genit.
Di kepala meja duduk seorang laki-laki berusia enam puluh tahun, bertubuh sedang dan gagah wajahnya tampan dan matanya mencorong penuh wibawa. Melihat pria yang berpakaian rapi dan tidak nampak membawa senjata ini, sungguh tidak begitu mengesankan dan agaknya tidak patut mendapat julukan raja Pedang! Bahkan sebatang pedang pun dia tidak membawanya.
Namun jelas betapa belasan orang yang nampaknya lebih menyeramkan, yang duduk mengdapi hidangan dan makan minum degan lahapnya, tunduk dan hormat kepada Tung Kiam. Setiap kali Tung Kiam yang menjadi tuan rumah mengangkat cawan arak, tentu mereka semua juga segera mengangkat cawan arak masing-masing dan minum dengan sikap gembira.
Begitu si brewok tanpa dipanggil memasuki ruangan itu dengan terhuyung huyung, dua orang pelayan wanita yang tadinya melayani dengan sikap luwes dan genit, sekali meloncat sudah berada di kanan kirinya dan pedang di tangan mereka telah ditodongkan ke arah dada dan leher si brewok! Betapa cekatan gerakan mereka itu, jauh lebih cekatan daripada gerakan si brewok dan kawan-kawannya!
Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam mengangkat muka memandang si brewok sejenak dan melihat betapa si brewok menderita kesakitan dan seperti hendak menggaruk-garuk pundaknya, dia pun berkata dengan suara mengandung kejengkelan.
"Apa nyawamu sudah rangkap maka berani masuk tanpa kupanggil?"
Si brewok menjadi pucat dan dia pun menjatuhkan diri berlutut, menghadap majikannya. "Mohon ampun, Loya. Hamba... hamba terpaksa menghadap tanpa diperintah, karena... ada seorang nona yang datang memaksa hamba. Hamba berlima telah dirobohkan, bahkan hamba... hamba menerima pukulan beracun di pundak.... aduhhhhh....!"
Sepasang alis itu berdiri dan mata yang tajam itu semakin mencorong. "Goblok kamu! Tidak malukah lima orang dirobohkan seorang nona? Siapa dia dan apa maksudnya membikin ribut di sini?"
"Ia..... ia nona she Ang yang katanya datang untuk menguji kepandaian Loya..."
"Apa? She Ang? Dan pukulan beracun? Hayo engkau merangkak ke sini!" perintah Tung Kiam sambil bangkit dari kursinya dan melangkah ke tengah ruangan itu.
Si brewok benar-benar merangkak menghampiri majikannya, presis seperti seekor anjing ketakutan. Setelah tiba di depan kaki Tung Kiam, dia berlutut. Sejenak datuk besar itu menunduk dan memandang ke arah pundak yang telanjang itu. Kulit pundak itu merah sekali, ada bintik-bintiknya. "Engkau ditampar dengan tangannya?" tanyanya, mengerutkan alis.
"Benar, Loya...."
"She Ang? Hemmm, agaknya ini tanda memperkenalkan diri dari Nam Tok! Huh, pukulan macam ini saja dipamerkan di sini?" Dia menoleh kepada seorang gadis pelayan. "Ambilkan kantung alat pengobatanku di kamar!"
Gadis berpakaian merah muda itu mengangguk lalu cepat meninggalkan ruangan. Tak lama kemudian ia sudah datang kembali membawa sebuah kantung kain kuning. Tung Kiam menerima kantung itu, membukanya dan mengeluarkan sebuah bungkusan terisi jarum-jarumnya.
Dengan sebatang jarum perak, dia lalu menusuk sekitar pangkal pundak dekat leher, kemudian menusuk-nusuk pundak yang lerluka, dan membubuhkan obat berwarna putih. Seketika gatal-gatal iu lenyap ketika jarum-jarum itu dicabut. Si brewok memberi hormat dengan girang dan berulang-ulang menganggukkan kepala menghaturkan terima kasih.
"Sudah, pergilah dan suruh nona she Ang itu datang ke sini. Hemmm, pukulan beracun macam ini saja dipamerkan. Permainan kanak-kanak!" kata Tung Kiam. "Hayo suruh gadis itu ke sini atau ku seret ia.....!"
Tiba-tiba pintu terbuka dan muncullah Siang Bwee bersama San Hong di ambang pintu! "Tidak perlu dipanggil, tidak pelu diseret, Lo-cianpwe. Aku sudah berada di sini untuk menguji nama besar Tung-hai Kiam-ong sebagai ahli tusuk jarum!"
Wajah Tung Kiam berubah merah dan alisnya berkerut, matanya mencorong ketika dia memandang wajah gadis cantik manis itu. Betapa lancang dan beraninya gadis muda itu, di depan para tokoh kang-ouw mengeluarkan kata-kata menantang seperti itu! Kalau saja dia tadi tidak mendengar bahwa gadis itu she Ang dan mengingatkan dia akan Nam tok yang juga she Ang, tentu sekarang juga dia sudah turun tangan membunuhnya.
Maka, sebagai pengganti kemarahannya, tangannya menyambar sebuah cawan arak yang masih penuh arak dan merupakan cadangan, belum diminum, kemudian dengan gerakan cepat dia melemparkan cawan berisi arak itu ke arah Siang Bwee sambil membentak. "Bocah lancang, terimalah suguhan kami ini!"
Bagaikan senjata rahasia yang amat berbahaya, cawan arak itu meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada Siang Bwee. Hebatnya, tidak ada setetes pun arak tumpah dari dalam cawan. Semua orang yang duduk di ruangan itu memandang dan mereka semua maklum betapa berbahayanya sambitan cawan arak itu yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang.
Akan tetapi, Siang Bwee bersikap tenang saja dan ia menjulurkan tangan kanan menangkap cawan arak yang meluncur ke arahnya sambil miringkan tubuh dan semua orang memandang kagum karena gadis itu mampu menangkap cawan tanpa menumpahkan setetes pun arak dari cawan itu.
Sambil tersenyum manis sekali Siang Bwee berdiri dengan luwes, cawan arak di tangan kanan dan ia memandang kepada tuan rumah, "Terima kasih, lo-cianpwe Tung-hai Kiam ong Cu Sek Lam, dan para locianpwe yang hadir, mari kita keringkan cawan untuk menghormati Cu Locianpwe!"
Ia mengangkat cawan itu dan semua tamu dengan gembira menyambut ajakan gadis itu, semua mengangkat cawan dan minum arak dari cawan masing masing untuk menghormati tuan rumah. Siang Bwee juga minum araknya sampai habis dengan sekali tenggak.
"Terima kasih, Lo-cianpwe!" kata lagi gadis itu dan sekali ia melontarkan cawan kosong, cawan itu terlempar dan berputar-putar kemudian jatuh ke atas meja, mendarat dengan lunak!
Semua tokoh yang duduk di situ mengangguk angguk dan memuji. Masih semuda itu, seorang wanita lagi, telah memiliki ilmu kepandaian setinggi itu, sungguh mengagumkan sekali. Sebaliknya, para gadis pelayan memandang dengan penuh khawatir dan iri.
Mereka tahu bahwa mereka semua sama sekali tidak mungkin dapat mengimbangi kepandaian gadis cantik manis ini, maka kalau sampai gadis ini ditarik oleh majikan mereka menjadi kekasih, mereka semua mendapatkan seorang saingan berat!
Sebagai seorang yang berkedudukan tinggi, Cu Sek Lam yang tinggi hati menjaga wibawanya. Dia tadi sudah menguji, disaksikan banyak tokoh, maka setelah ujian itu dapat lulus dengan baik, dia harus menyambut kedatangan gadis itu sepatutnya. Itulah aturan tak tertulis dalam dunia kang-ouw. Dia memandang kepada pemuda yang muncul bersama gadis itu dan sekali pandang saja dia tahu bahwa pemuda itu bukan orang sehat, melainkan sedang menderita luka parah sekali. Hal ini dapat dia ketahui dari sinar mata dan wajah pemuda itu.
"Nah, Nona Muda. Setelah engkau nenerima suguhan arakku dengan baik, katakan siapa engkau, apa hubunganmu dengan Nam Tok dan apa keperluanmu datang ke sini?"
Siang Bwee tersenyum manis. Ia merasa lega dan girang. Bagaimanapun juga, pancingannya berhasil. Tadi ia sengaja melukai si brewok dengan pukulan beracun dari ayahnya sebagai tanda pengenal dan hal itu agaknya benar saja telah menarik perhatian tuan rumah, kemudian penyambutannya atas ujian Tung Kiam dengan lemparan cawan arak juga berhasil membuat tuan ruman "terpaksa" menyambutnya dengan patut. Akan tetapi ia tahu bahwa hal itu bukan berarti bahwa ia dan San Hong akan dilayani dan bebas dari ancaman bahaya maut.
"Aku sengaja melukai si brewok dengan tamparan beracun, dan ternyata lo-cianpwe Tung Kiam memiliki penglihatan cukup jeli sehingga menduga bahwa aku ada hubungan dengan Nam Tok. Ketahuilah bahwa aku bernama Ang Siang Bwee, puteri dan anak tunggal Nam Tok!"
Mendengar ini, semua tokoh kang-ouw yang berada di situ terkejut dan diam-diam merasa gentar. Nama besar Nam Tok tidak kalah hebatnya dibanding nama Tung Kiam. Keduanya sama-sama datuk besar yang menakutkan.
"Hemmm, Nam Tok menjadi Raja Racun di selatan dan Tung Kiam menjadi Raja Pedang di timur, di antara kita tidak pernah ada sangkut paut, masing-masing tinggal dalam wilayah sendiri! Kenapa sekarang puterinya datang memamerkan kepandaian?" Sengaja Tung Kiam menyebut Nam Tok Raja Racun Selatan dan dirinya sendiri Raja Pedang di timur, seolah-olah hendak menonjolkan bahwa raja pedang lebih terhormat dari pada raja racun!
"Lo-cian-pwe Tung Kiam, aku sebagi puteri Nam Tok juga menjadi utusannya, untuk menantang Lo-cian-pwe mengadu kepandaian. Biar dunia melihat kenyataan siapa di antara Nam Tok dan Tung Kiam yang lebih pandai dan lebih pantas disebut datuk besar pujaan semua tokoh dunia kang-ouw!"
Tung Kiam kembali memandang dengan mata mencorong. Kalau saja tidak demikian angkuh wataknya, merasa malu kalau harus menghajar seorang anak perempuan, tentu sudah dihantamnya bocah yang bermulut lancang ini! Akan tetapi, tiba-tiba dia teringat akan puteranya!
Ha, pikirnya dan wajahnya berseri. Bukankah sukar sekali mendapatkan seorang calon jodoh yang cocok bagi puteranya itu? Dan gadis itu puteri tunggal Nam Tok! Bocah yang cantik manis, tabah dan kelihatan cerdik, juga memiliki kepandaian yang tidak memalukan untuk menjadi mantunya!
"Berapa usiamu sekarang?" tiba-tiba Tung Kiam bertanya.
Siang Bwee terkejut dan gadis yang cerdik ini melihat sinar mata yang berseri dari kakek itu, maka ia menjadi waspada. Jauh lebih berbahaya kalau datuk besar ini bersikap ramah daripada kalau bersikap bengis, karena menghadapi orang yang bengis ia dapat berjaga diri, sebaliknya menghadapi orang yang ramah sungguh dapat membuatnya menjadi lengah, Ia menimbang-nimbang apa maksud yang tersembunyi di balik pertanyaan tentang usia itu.
Dan tiba-tiba wajah gadis itu berubah merah sekali. Ia segera dapat menebak. Bukankah tadi si brewok mengatakan bahwa kongcunya tidak berada di rumah? Ini berarti banwa Tung Kiam mempunyai seorang pulera! Dan kalau seorang ayah yang berputera menanyakan usia seorang gadis, hal itu hanya menyembunyikan satu saja maksud, yaitu ingin memungut gadis itu sebagai mantu!
"Usiaku baru delapan belas tahun, Lo-cianpwe, dan aku sama sekali belum berpikir tentang perjodohan!"
Sepasang mata datuk besar itu makin mencorong dan hatinya semaki suka kepada gadis itu yang ternyata cerdik sekali sehingga mampu menjenguk isi natinya. "Hemmm, coba sekarang katakan, yang dikehendaki ayahmu mengutus engkau dan orang terluka parah karena pukulan beracun ini datang ke sini!"
Bukan main girangnya hati Siang Bwee, akan tetapi perasaan itu disembunyikannya dalam hati. Memang hebat sekali kakek ini, pikirnya. Melihat dari jauh saja dia sudah tahu bahwa San Hong terluka pukulan beracun! Orang selihai itu tentu akan mampu mengobati San Hong sampai sembuh. "Begini, Lo-cian-pwe. Pertama-tama, ayahku mengutusku untuk menyampaikan salamnya kepada Locian-pwe."
Biasanya, orang-orang kang-ouw yang datang menyampaikan salam tentu disertai bingkisan berharga. Akan tetapi gadis ini tidak membawa apa-apa. Hal ini saja dapat dianggap sebagai penghinaan bagi tuan rumah, akan tetapi setelah para tokoh itu mendengar bahwa gadis ini adalah puteri Nam Tok, merekapun tidak lagi merasa heran. Bagaimanapun juga, tingkat atau kedudukan Nam Tok dengan Tung Kiam adalah seimbang.
"Hemmm, bagus ayahmu si tua bangka beracun itu masih ingat kepadaku!" kata Tung Kiam untuk mengisi kekosongan yang menegangkan karena salam itu tidak disusul bingkisan.
"Selain itu, ayah mendengar bahwa ilmu pengobatan dari Lo-cianpwe maju pesat dan terkenal di seluruh dunia. Akan tetapi ayahku meragukan berita yang sampai ke telinganya bahwa tidak ada penyakit yang tidak dapat disembuhkan tusukan jarum dari Lo-cianpwe!"
Sejak tadi San Hong hanya mendengarkan saja. Diam-diam dia kagum bukan main. Ternyata Siang Bwee seorang gadis yang cerdik luar biasa, dan kini dia dapat melihat akal bagaimana yang dipergunakan gadis itu untuk "memaksa" datuk besar itu mengobati lukanya. Ternyata gadis itu hendak membangkitkan keangkuhan orang itu, menantang dan menyinggung kehormatannya! sebagai seorang ahli pengobatan.
Mendengar ucapan gadis itu, berkerut alis Tung Kiam. Benar-benar dia ditantang oleh Nam Tok! Semua orang tahu bahwa nyawa manusia tidak berada di tangan manusia lain, dan tidak ada obat apa pun yang dapat menyembuhkan semua penyakit di dunia ini! Akan tetapi karena ditantang, dia pun berkata dengan lantang.
"Ang Siang Bwee, katakan kepada ayahmu yang sombong itu! Biarpun kepandaianku belum berapa tinggi dalam ilmu pengobatan, akan tetapi kalau hanya mengobati penyakit dan luka akibat pukulan beracun Nam Tok saja, aku sanggup!"
"Aih, sungguh kebetulan sekali, Lo-cianpwe! Memang begitulah tantangan ayah untuk menguji kepandaian Lo-cianpwe. Lihat, saudara ini bernama Kwee San Hong dan oleh ayah dipakai sebagai kelinci percobaan atau ujian. Ayah sengaja memukulnya sehingga terluka parah dan ayah menyuruh aku membawa dia ke sini untuk melihat apakah Lo-cianpwe mampu menyembuhkan luka bekas pukulan ayah ini. Menurut pesan ayah, kalau Lo-cianpwe tidak mampu, Lo-cianpwe sepatutnya mengakui keunggulan ayah. Sebaliknya kalau Lo-cianpwe mampu menyembuhkannya, ayah titip salam dan hormatnya disertai pujian dan kekaguman atas kelihaian Lo-cianpwe."
Wajah Tung Kiam menjadi semakin merah padam. Hatinya terasa panas sekali karena ucapan gadis, itu sungguh merupakan tantangan baginya. Dia marah sekali kepada Nam Tok dan andaikata datuk besar itu berada di depannya, tentu akan langsung diterjangnya dan diajaknya mengadu kepandaian.
Akan tetapi, yang berada di situ hanyalah puterinya, seorang gadis yang masih muda sekali maka tentu saja dia merasa malu sekali kalau harus melayani seorang gadis yang belum dewasa benar, baru berusia delapan belas tahun.
Tantangan Nam Tok yang disampaikan puterinya itu diucapkan di depan para tamunya, yaitu para tokoh kang-ouw. Mereka semua menjadi pendengar dan kalau dia tidak menerima tantangan itu, tentu dia akan ditertawakan dan dijadikan bahan percakapan orang-orang kang-ouw bahwa dia telah kalah oleh Nam Tok.
Akan tetapi kalau dia menerima tantangan untuk menyembuhkan korban pukulan beracun Nam Tok yang dia tahu merupakan pekerjaan yang.amat sukar, berarti dia seperti dipermainkan oleh Nam Tok. Menjadi serba salah memang! Akan tetapi untuk menolak, lebih salah lagi!
Tiba-tiba dia tertawa, suara ketawanya menggetarkan jantung semua orang dan diam-diam San Hong dan Siang Bwee terkejut. Suara ketawa itu mengandung tenaga khikang yang amat kuat dan kalau suara yang mengandung tenaga kuat itu dipusatkan untuk menyerang lawan, tentu akan dapat membuat lawan itu roboh tanpa dipukul!
"Ha-ha-ha, Nam Tok yang terkenal di dunia selatan itu ternyata hanya seorang yang licik sekali! Menantang aku akan tetapi menyuruh puterinya, tidak berani muncul sendiri! Akan tetapi, aku sudah ditantang dan tidak akan mundur selangkahpun. Hei, Ang Siang Bwee, engkau puteri dan anak tunggal, juga utusan Nam Tok, dengarlah baik-baik. Aku Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam bukan seorang pengecut, bukan seorang penakut dan selama hidup aku tidak pernah menghindarkan diri dari tantangan siapapun juga. Karena itu, sekarang pun kuterima tantangan Nam Tok itu. Akan kusembuhkan orang ini! Akan tetapi dengan syarat, tanpa syarat itu aku tidak sudi!" Dia sengaja berhenti untuk menanti jawaban Siang Bwee.
"Kenapa mesti ada syarat-syarat segala, Lo-cianpwe?" Siang Bwee maklum bahwa didepan banyak tokoh kangouw ia harus berani menggertak dan menyinggung kehormatan kakek ini agar si datuk besar ini tidak akan menarik kembali segala yang telah diucapkan karena na itu tentu akan membuat nama besarnya tercemar.
"Kalau ayahmu sendiri yang datang ke sini, tentu aku tidak akan mengajukan syarat, melainkan langsung saja menantangnya mengadu ilmu. Akan tetapi karena dia licik dan mengutus kamu, maka harus disetujui syaratku, kalau tidak, aku pun tidak sudi memenuhi permintaannya begitu saja."
"Nah, kalau begitu sebutkan apa syaratnya, Lo-cianpwe."
"Kalau aku tidak mampu menyembuhkan luka yang diderita orang ini akibat pukulan ayahmu, sudahlah tidak perlu banyak cakap lagi, tentu para saudara yang hadir ini menjadi saksi akan ketidak-mampuanku. Akan tetapi kalau aku berhasil, engkau harus mau menjadi mantuku!"
Siang Bwee terkejut bukan main. Tak disangkanya akan seperti itu syaratnya yang diajukan oleh tuan rumah ini. San Hong juga terkejut dan kini dia terpaksa membuka mulut karena dia merasa tidak enak sekali kepada gadis itu.
"Sudahlah, tidak perlu engkau mengorbankan diri terlalu banyak, Bwee-moi. Biarkan aku pergi mencari sendiri pengobatan lukaku."
"Engkau diamlah saja, Hong-ko." Lalu disambungnya lebih keras. "Engkau tidak berhak menentukan karena engkau hanya korban pukulan ayah yang dijadikan bahan untuk mengadu ilmu. Lo-cianpwe, engkau sendiri pun tahu bahwa setiap orang gadis itu tentu sepenuhnya milik orang tuanya. Aku pun demikian. Yang berhak memutuskan tentang pernikahanku hanyalah ayahku. Oleh karena itu, kalau Lo-cian-pwe ingin mengambil mantu padaku, harap Lo-cianpwe suka minta kepada ayahku!"
"Ha-ha-ha, engkau anak yang licik seperti ayahmu! Kalau kelak ayahmu setuju dan engkau menolak, bukankah engkau berarti hanya akan mengakali aku saja? Ha-ha-ha, Tung Kiam tidaklah begitu bodoh! Harus engkau yang lebih dulu menyetujui, soal ayahmu kelak, tentu aku akan menemuinya untuk membicarakan tentang perjodohan itu! Nah, syaratku demikian, yaitu kalau aku berhasil menyembuhkan pemuda ini, engkau harus mau menjadi mantuku. Bagaimana?"
"Itu tergantung ayahku....." Gadis itu tetap membantah.
"Sudahlah, Bwee-moi, kalau engkau tidak setuju, tidak saja. Aku pun tidak mengharapkan disembuhkannya." Kata San Hong.
"Hsss, diam sajalah kau!" Siang Bwee membentak lirih.
"Kalau begitu, aku pun tidak sudi memenuhi permintaan ayahmu!" kata Tung Kiam tak acuh. "Dan jangan kira bahwa aku tidak mampu memaksamu kalau engkau dan ayahmu menolak. Sekarang juga dapat saja engkau kutangkap dan kupaksa menjadi jodoh anakku!"
Diam-diam Siang Bwee terkejut. Orang ini licik dan jahat sekali, dan kalau sampai marah tentu akan melakukan apa saja, sehingga ucapannya tadi bukan sekedar ancaman kosong. Dan tentu saja ia tidak sudi menerima begitu saja lamaran orang ini untuk dijadikan calon isteri puteranya yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak pernah dilihatnya. Kalau ia kukuh menolak, tentu dia tidak akan mau mengobati San Hong.
Kalau, ia menerima. Ah, apa salahnya? Menerima hanya agar dia mau mengobati San Hong! Perkara pelaksanaannya, bagaimana nanti saja. Ia dapat membujuk ayahnya agar tidak menerima pinangan Tung Kiam dan andaikata ayahnya ternyata menerima dan menyetujui perjodohan itu, bisa saja ia melanggar janji!
Melanggar janji merupakan hal "biasa" saja bagi golongan ayahnya dan juga Siang Bwee tidak pernah menganggap hal itu sebagai urusan penting. Yang terpenting adalah mencari pengobatan untuk luka yang diderita San Hong. Yang lain-lain tidak penting!
"Baiklah, aku menerima....."
"Bwee-moi.....!"
"Diamlah, Hong-ko, ini bukan urusanmu, melainkan urusan pribadiku!" kata Siang Bwee.
Dan pemuda yang menjadi pucat mukanya itu terpaksa berdiam diri akan tetapi San Hong merasa betapa hatinya sakit. Dia tahu sekarang bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis ini, dan kini Siang Bwee begitu saja menerima pinangan orang di depan matanya. Hati siapa tidak akan pedih mendengarnya?
"Akan tetapi, Lo-cianpwe, aku menerima asal dipenuhi segala tantangan ayah. Yaitu agar Lo-cianpwe dapat menyembuhkan luka akibat pukulan ayah, dan korban ini haruslah sembuh seratus prosen dan kembali sehat seperti sebelum dia dipukul!"
Tung Kiam tertawa bergelak. "Bagus, kita telah berjanji dan disaksikan oleh para orang gagah di dunia kang-ouw yang kini hadir. Para sobat yang hadir telah mendengarkan bahwa aku akan menyembuhkan pemuda ini, dan kalau berhasil, maka nona Ang Siang Bwee puteri Nam Tok ini akan suka menjadi mantuku....."
"Kalau ayahku setuju pula!" sambung Siang Bwee cepat.
"Tentu saja dia akan setuju. Nah, para sobat suka menjadi saksi?"
Mereka yang hadir bertepuk tangan menyatakan setuju sehingga Siang Bwee merasa betapa mukanya menjadi merah dan jantungnya berdebar, la telah melakukan permainan yang amat berbahaya, berjanji pada seorang datuk besar seperti Tung Kiam merupakan pertaruhan nyawa!
Namun, ia terpaksa melakukannya untuk menolong San Hong, karena kalau ayahnya sendiri tidak mau mengobatinya, hanya tinggal Tung Kiam seorang inilah yang boleh diharapkan. Kalau Tung Kiam tidak mau menolong, berarti nyawa San Hong akan melayang dalam waktu paling lama setahun.
Tung Kiam memberi perintah kepada para pelayan untuk mempersiapkan meja lebar di tengah ruangan itu. Para tamu diperbolehkan menonton, bahkan mereka itu dijadikan saksi agar menyebarkah berita ke seluruh kangouw bagaimana; Tung Kiam menyembuhkan luka beracun akibat pukulan Nam Tok dan dengan demikian memenangkan, tantangan Nam Tok!
Tentu saja Tung Kiam tidak akan berani demikian congkaknya kalau saja dia tidak sudah yakin bahwa dia akal mampu menyembuhkan San Hong! Tadi diam-diam dia telah memperhatikan wajah pemuda itu untuk mencari tanda tanda orang terancam bahaya maut. Akan tetapi, yang didapatkannya adala tanda bahwa pemuda itu menderita luka di dalam, luka beracun, akan tetapi nyawanya sama sekali belum terancam!
Dan memang penglihatannya itu tepat. Nam, Tok memberinya pukulan beracun yang racunnya berjalan perlahan-lahan sehingga pemuda itu akan dapat bertahan hidup selama setahun! Dan luka beracun macam ini bagi Tung Kiam tidaklah terlalu sukar untuk dilawan dan dikalahkan!
"Orang muda, engkau berbaringlah di tengah meja ini, buka bajumu dan menelungkup!" kata Tung Kiam sambil membuka buntalan jarum-jarumnya dan nemilih beberapa batang jarum, memasukkannya ke dalam cairan yang berada di dalam mangkok besar.
Biarpun hatinya masih tidak setuju melihat Siang Bwee mengorbankan diri, mau menjadi calon mantu datuk besar ini untuk menyembuhkannya, namun San Hong tidak melihat jalan lain kecuali menurut apa yang diperintahkan Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam. Dia membuka bajunya, lalu merebahkan diri menelungkup di atas meja yang panjang itu.
Siang Bwee berdiri di dekat meja, memandang dengan hati penuh ketegangan, namun wajahnya cerah, berseri dan ia tersenyum, senyum yang ia sengaja pasang dengan sikap mengejek seolah-olah ia mewakili ayahnya memandang rendah kemampuan Tung Kiam dan memperlihatkan sikap tidak percaya bahwa Tung Kiam akan mampu mengobati dan menyembuhkan korban pukulan ayahnya itu!
Sebelum memulai dengan pengobatanuya, Tung Kiam lebih dulu memeriksa keadaan luka bekas tangan Nam Tok di punggung. Dia melihat bahwa pukulan itu tidak sampai merusak terlalu hebat bagian dalam punggung, akan tetapi hawa beracun yang mengeram di dalam tubuh itu lambat laun akan menjadi pembunuh yang kejam. Memang tidak ada obatnya bagi luka seperti itu, kecuali kalau mengeluarkan hawa beracun itu lebih dulu.
Akan tetapi Nam Tok sungguh licik karena hawa beracun yang disalurkan lewat pukulan telapak tangan di punggung itu telah menyusup ke dalam di antara dada dan perut sehingga tidak mungkin disedot dengan sin-kang tanpa membahayakan bagian-bagian lemah di dalam rongga dada. Jalan satu-satunya hanya mencairkannya dengan jalan menusuk syaraf-syaraf halus dan bagian tertentu sehingga hawa beracun itu akan dapat terseret oleh hawa dalam tubuh dan menguap melalui lubang-lubang kulit tubuh.
Memang tidak mudah, akan tetapi dia, ahli tusuk jarum nomor satu di daerah timur, pasti dapat melakukannya! Diapun memeriksa kekuatan pemuda itu, karena untuk menerima pengobatan tusuk jarum membersihkan hawa beracun ini, tubuh si sakit harus memiliki kekuatan yang cukup. Ketika dia menekan tubuh pemuda itu, dia terkejut sekali, terbelalak seperti tidak percaya. Tekanannya bertemu dengan tenaga dalam tubuh yang amat hebat!
Padahal, pemuda itu sama sekali tidak mengerahkan tenaga, hal yang memang wajar karena kalau dia mengerahkan tenaga, luka itu akan menusuknya dari dalam. Dia menekan lagi untuk meyakinkan, kemudian tertawa gembira sambil memandang kepada Siang Bwee.
"Ha-ha-ha, sekali ini Nam Tok ketemu batunya dan kecelik! Korbannya ini bukan orang sembarangan, bahkan kalau pukulannya itu tidak beracun, belum tentu pemuda itu roboh olehnya, ha-ha-ha! Hei, orang muda, engkau memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, mengapa engkau dijadikan korban oleh Nam Tok? Siapakah engkau sesungguhnya?"
"Namaku Kwee San Hong dan Nam Tok adalah musuh besarku!" kata San Hong terus terang.
"Ahhh? Begitukah? Akan tetapi mengapa dia mengirimmu kepadaku kalau memang dia musuh besarmu?"
"Lo-cian-pwe, engkau hendak mengobatinya ataukah hendak mengajaknya mengobrol? Hong-ko, engkau adalah tawananku, bukan orang bebas, ingat? Engkau tidak perlu banyak bicara. Lo-cianpwe, memang benar Kwee San Hong ini musuh besar ayahku, dan dia ini juga sahabatku. Karena itu, maka ayah masih memberi kesempatan kepadanya dan hanya melukainya saja, belum membunuhnya. Ayah sengaja hendak menggunakan dia sebagai korban untuk mengujimu dan dia mengutus aku membawa Kwee San Hong ke sini untuk menguji kepandaianmu mengobati. Kalau dia sudah sembuh benar, sama sekali sembuh, dia masih boleh sekali lagi mencari dan menyerang ayah dan yang ke dua kalinya itulah ayah akan membunuhnya!"
Tung Kiam mengangguk-angguk, tidak heran akan keputusan aneh sekali itu. Bagi dia, sikap aneh itu memang sudah sewajarnya bagi seorang datuk besar. Dia sendiri pun suka melakukan hal yang aneh-aneh, di luar dugaan dan perhitungan manusia biasa!
"Bagus! Kalau begitu, aku akan menyembuhkan dia!" Pengobatan dimulai. Pertama-tama, dengan jari telunjuknya, Tung Kiam menotok San Hong yang menjadi lemas dan tidak mampu bergerak. Hal ini dilakukan agar semua syarafnya mengendur dan dia tidak akan bergerak selama dalam pengobatan.
Mulailah Tung Kiam menusukkan jarum-jarum emasnya. Tiga buah jarum ditusukkan di ubun-ubun kepala dan kedua pelipis. Lalu tengkuknya ditusuk pula, dan beberapa bagian punggung di sekitar luka. Masing-masing jarum itu dibiarkan tinggal beberapa menit, dicabut ditusukan lagi di lain bagian. Ketika ia melakukan ini, suasana hening sekali dan semua mata mengikuti gerakan tangannya dengan penuh kagum.
Memang tangan itu cekatan sekali, tidak pernah bergetar sedikit pun ketika menusukkan jarum, dan begitu pasti, begitu tepat. Mata itu pun tidak pernah berkedip dan agaknya seluruh perhatian dan tenaga dikerahkan dan dipusatkan pada titik-titik penusukan jarum. Dahi dan leher Tung Kiam penuh keringat dan bahkan dari kepalanya keluar uap putih!
Dari kenyataan ini saja jelaslah bahwa dia telah mempergunakan banyak tenaga untuk mengobati luka yang amat berbahaya itu, dan dari ini saja dapat diketahui betapa hebatnya pukulan dari Nam Tok! Tusukan-tusukan jarum itu berlangsung terus menerus dan bertubi-tubi sampai satu jam lamanya! Kemudian disusul dengan pemanasan bagian luka di punggung dengan mendekatkan bara api.
Dari dekat meja, dengan sepasang matanya yang jeli dan amat tajam, Siangi Bwee mengamati semua gerakan pengobatan itu dan ia melihat betapa perlahan-lahan, warna menghitam di punggung itu semakin menipis dan akhirnya setelah Tung Kiam meloncat mundur dan menjatuhkan diri di atas kursi sambil memejamkan mata, kemudian turun dari kursi dan duduk bersila di lantai sambil mengatur pernapasan, ia melihat punggung San Hong sudah bersih sama sekali!
Tahulah ia bahwa Raja Pedang Lautan Timur itu telah berhasil menyembuhkan San Hong! Dan bukan mudah pekerjaan itu, karena kini buktinya Tung Kiam seperti kehabisan napas dan duduk bersila memulihkan tenaganya.
Tak lama kemudian, Tung Kiam bangkit lagi dan wajahnya berseri-seri, senyumnya melebar dan dia menggapai seorang pelayan wanita tercantik, menyuruhnya mengusapi muka dan lehernya yang penuh keringat dengan saputangan wanita itu. Dengan penuh gairah dan kasih sayang, pelayan itu melakukan perintah ini. Setelah selesai, Tung Kiam menghadiahinya dengan cubitan di dagu yang manis meruncing itu dan menyuruhnya mundur.
"Ang Siang Bwee, lihat! Pemuda itu sudah sembuh, tinggal memberinya sebutir pil dan dia akan sehat kembali seperti sebelum dia terkena pukulan ayahmu yang tidak berapa hebat!"
"Lo-cianpwe, memang engkau hebat. Akan tetapi kulihat tidak mudah engkau menyembuhkan satu pukulan ayah, dan telah memeras banyak tenagamu!"
Tung Kiam menghela napas. "Tidak kusangka bahwa selama hidupku, belum pernah aku melihat bekas pukulan seperti itu. Akan tetapi, bagaimanapun juga, buktinya aku telah mampu menundukkannya, mampu menyembuhkan akibat pukulan itu, bukan?" Tung Kiam lalu membebaskan totokan pada tubuh San Hong dan memberinya sebutir pil untuk ditelan.
Setelah menelan pil itu, San Hong merasa betapa tubuhnya segar. Dia mencoba untuk diam-diam mengerahkan sin-kang di dalam tubuhnya dan dia tidak lagi merasa nyeri. Maka, dia pun cepat memberi hormat dan bersoja mengangkat kedua tangan ke dada kepada Tung Kiam. "Banyak terima kasih atas pertolongan Lo-cianpwe sehingga saya menjadi sehat kembali!"
Akan tetapi, Tung Kiam tidak mempedulikan ucapan terima kasih dari San Hong, melainkan kini dia memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan bertanya, "Orang muda, engkau tadi mengatakan bahwa engkau adalah musuh besar Nam Tok, katakan, mengapa engkau memusuhinya?"
San Hong sebetulnya tidak suka membicarakan urusan permusuhannya dengan Nam Tok karena membicarakan urusan itu hanya mendatangkan perasaan tidak suka kepada Siang Bwee. Akan tetapi, datuk besar ini baru saja menyembuhkannya, maka bagaimanapun juga dia harus berterima kasih kepadanya. Maka, dia pun menjawab sejujurnya, bahkan jawaban ini seolah-olah dia katakan untuk membela dirinya di depan Siang Bwee.
"Karena Nam Tok telah membunuh ayah dan ibuku!"
Mendengar ini, tiba-tiba Tung Kian. tertawa bergelakgelak. Dan mendadak pula segera ketawanya berhenti dan kini dia sudah memandang lagi wajah pemuda itu penuh selidik. "Siapakah gurumu dalam ilmu silat?"
"Saya murid Thian-san Ngo-sian."
"Uhhh!" Tung Kiam mengerutkan alisnya. "Murid mereka berlima?"
San Hong mengangguk dan Tung Kiam berkata lagi. "Masing-masing dari mereka tidak akan mampu menandingi Nam Tok, akan tetapi kalau kelimanya yang maju, belum tentu Nam Tok kuat bertahan. Bagaimana engkau sampai terluka olehnya! Apa yang membuatmu sampai kalah?"
Wajah San Hong berubah kemerahan. "Dia lihai sekali, terutama ilmu tongkatnya dan ilmu pukulannya yang beracun!” San Hong mengerling ke arah Siang Bwee dan dia merasa heran sekali melihat wajah gadis itu berseri dan agaknya gadis itu sama sekali tidak menaruh keberatan mendengarkan percakapan itu bahkan ada bayangan kegembiraan pada wajah yang cantik itu.
"Ha-ha-ha, tentu saja! Nam Tok terkenal dengan ilmu tongkatnya dan ilmu pukulan beracunnya. Nona, bukankah ilmu tongkat ayahmu itu Hek-liong-jio-cu dan pukulannya adalah Hek-in Pay-san?"
"Engkau sudah mengetahuinya, Lo-cianpwe. Apalagi hanya pemuda ini, biar Lo-cianpwe sendiri pun tidak akan mampu menandingi ilmu tongkat dan ilmu pukulan dari ayahku!" Jelas bahwa gadis ini memandang rendah sekali kepada datuk besar ini walaupun tadi diakuinya ilmu pengobatan dari Tung Kiam yang bernasil menyembuhkan luka yang diderita San Hong.
"Hemmm, engkau sombong, Nona, seperti ayanmu! Kau kira ilmu-ilmu ayahmu itu tidak ada yang mampu menandingi? Oya, orang muda, apakah engkau akan kembali mengadu ilmu dengan Nam Tok?"
"Tentu saja!" Siang Bwee mendahului San Hong. "Dia akan kembali bersamaku menghadap ayah dan melanjutkan perkelahian mereka. Akan tetapi sekali ini ayah pasti akan memukulnya sampai mati!"
San Hong tertegun, sama sekali tidak mengerti akan sikap gadis itu. Bukankah Siang Bwee selalu melindunginya dan sama sekali tidak menginginkan dia bermusuhan dengan ayahnya? Akan tetapi sekarang, kenapa kepada Tung Kiam gadis itu berkata demikian? Apa maksudnya? Ataukah sikapnya memang sudah berubah?
Tung Kiam mengerutkan alisnya, lalu dia tertawa kembali. Agaknya datuk besar ini pun seorang yang pandai sekali menutupi perasaan hatinya. Biarpun dia merasa mendongkol dipandang rendah akan tetapi dia masih mampu menutupi rasa dongkolnya itu dengan suara ketawanya.
"Bagus, bagus! Orang muda, maukah engkau ikut denganku ke lian bu-thia (ruangan berlatih silat) dan akan kuajarkan kepadamu beberapa jurus pilihanku agar engkau dapat menandingi, bahkan mengalahkan Nam Tok!"
San Hong memang merasa bingung bagaimana agar dia dapat mengalahkan Nam Tok yang amat jahat dan kejam yang telah membunuh orang sekampungnya itu. Maka, begitu mendengar betapa datuk besar yang amat lihai ini hendak mengajarkan silat untuk menjatuhkan Nam Tok, tentu saja dia menjadi girang dan tanpa banyak cakap lagi dia mengangguk dan siap mengikuti datuk besar itu.
Tung Kiam berpaling kepada para tamunya, mempersilakan mereka untuk melanjutkan makan minum dan sesudah itu mempersilakan pula untuk kembali ke tempat masing-masing. Lalu dia menyuruh seorang pelayan untuk menyediakan sebuah kamar untuk Siang Bwee.
”Engkau boleh tunggu sampai kurang lebih seminggu, baru boleh membawa pemuda ini pulang. Sementara itu, engkau boleh tinggal di sini menjadi tamu kami, sekalian menanti pulangnya Cu See Han, tunanganmu agar kalian dapat saling berkenalan."
Siang Bwee hendak membantah atau mengeluarkan ucapan yang tidak enak, akan tetapi hatinya terlampau girang mendengar bahwa San Hong akan diberi pelajaran silat oleh datuk besar itu. Dia memang sedang dalam keadaan gembira bukan main. Gembira karena San Hong sudan sembuh sama sekali, hal itu berarti bahwa satu di antara syarat ayahnya telah dapat dipenuhi. San Hong sudah sembuh dan dapat ia ajak menghadapi ayahnya sebagai calon suaminya!
Syarat ke dua adalah bahwa San Hong harus mampu menahan serangan ayahnya selama dua ratus jurus! Kalau San Hong tidak mendapat gemblengan-gemblengan orang pandai, mana mungkin dapat bertahan sedemikian lamanya? Maka, kini Tung Kiam hendak menggemblengnya walaupun dengan alasan yang sama sekali berlainan, maka tentu saja ia merasa gembira bukan main. Tentang perkenalan dengan "tunangan" yang bernama Cu Se Han itu, ia tidak peduli amat.
Maka, ia pun mengangguk dan mengikuti pelayan cantik yang membawanya ke sebuah kamar yang indah dan mewah yang jendelanya menghadap kebun bunga yang indah, sementara itu, San Hong diajak masuk ke dalam lian-bu-thia ole Tung Kiam. Karena Siang Bwee tidak diperkenankan bertemu dengan San Hong, apalagi nonton cara pemuda itu digembleng oleh Tung Kiam, maka untuk melewatkan waktu, ia selalu berjalan-jalan didalam kebun bunga.
Memang taman itu indah sekali dan terawat baik. Luas dan ditanami bermacam-macam bunga yang pada waktu itu sedang berkembang. Di tengah taman yang luas itu terdapat beberapa buah pondok kecil mungil yang dicat warnawarni, juga di antara kelompok pondok kecil ini terdapat sebuah danau kecil buatan yang penuh dengan bunga teratai dan ikan-ikan emas yang gemuk-gemuk.
Siang Bwee senang sekali duduk di atas bangku panjang yang berkasur, di depan pondok yang menghadap danau, atau kadang-kadang ia mendayung perahu kecil yang tersedia di situ sambil minum anggur. Ia boleh minta makanan atau minuman apa saja dari para pelayan dan di tempat itu ia benar-benar dianggap sebagai tamu agung, apalagi karena semua pelayan meuganggapnyu sebagai tunangan kongcu mereka, tentu saja nona itu mereka layani dengan penuh penghormatan.
Malam itu adalah malam yang ke enam, Siang Bwee menghitung. Sudah enam hari ia tidak bertemu dengan San Hong maupun.Tung Kiam. Ia sudah berusaha menyelidiki, namun selalu gagal karena lian-bu-thia yang berada di bagian belakang bangunan itu selalu tertutup dan terjaga oleh para pelayan wanita.
Agaknya para tamu sudah pulang semua sehingga keadaan di gedung itu sunyi, ia mencoba untuk bertanya kepada para pelayan itu, namun selalu mereka itu menggeleng kepala mengatakan tidak tahu ke mana perginya Kwee San Hong dan Tung Kiam, walaupun mereka memberi jawaban dengan sikap hormat.
"Tung Kiam mengatakan akan mengajarkan ilmu selama seminggu kepada Hong-ko," pikirnya. "Dan sudah lewat enam hari. Tentu besok, hari. ke tujuh, dia akan membebaskan Hong-ko dan kita dapat meninggalkan tempat yang menyeramkan ini."
"Aiiih, bidadari dari manakah duduk termenung seorang diri dan merasa kesepian di sini? Bolehkah aku menemanimu dan bersama-sama mengusir kesunyian malam terang bulan ini, bidadari jelita?"
Siang Bwee terkejut, lalu cepat menoleh. Ia melihat munculnya seorang pemuda, bertubuh sedang dan berwajah tampan, bahkan terlalu tampan sampai seperti wanita dengan wajahnya yang berkulit halus dan putih. Pakaiannya seperti seorang sastrawan muda, serba bersih, akan tetapi pakaian sastrawan itu menjadi aneh ketika ia melihat gagang pedang tersembul di balik pundaknya.
Usia pemuda itu kurang lebih dua puluh tiga tahun, senyumnya memikat dan matanya mencorong aneh sehingga Siang Bwee seolah-olah merasa betapa sinar mata yang memandangnya, itu seperti hendak mencopoti pakaiannya dan menelanjanginya! Dan sinar mata itu seperti meraba-raba seluruh tubuhnya sehingga ia diam-dram menggigil ngeri.
Kemudian teringatlah ia. Mata dan mulut itu, dagu yang membayangkan ketinggian hati. Ah, sudah pasti inilah pemuda putera Tung Kiam yang bernama Cu See Han itu, "tunangannya"! Seketika wajahnya terasa panas dan berubah kemerahan.
Pemuda itu agaknya memang seorang yang sudah mengenal betul gerak-gerik wanita. Biarpun perubahan wajah yang menjadi kemerahan itu sukar dapat di-lihat di bawah sinar bulan, namun agaknya dia mengetahuinya dari gerak-gerik dan sikap gadis itu.
"Wahai bidadari yang jelita, mengapa wajahmu tiba-tiba menjadi kemerahan, denyut jantungmu menjadi kencang dan dadamu yang indah itu berdebar-debar?"
Siang Bwee telah mampu menekan perasaannya dan mengembalikan ketenangannya. Diam-diam ia memuji pemuda ini. Sungguh seorang pemuda yang berbahaya sekali bagi wanita, pikirnya. Tampan, pandai bicara dengan kata-kata yang manis merayu, sikapnya menarik dan menyenangkan! Tentu banyak sekali wanita yang belum apa-apa sudah bertekuk lutut hanya karena kepandaiannya merayu dan mengambil hati, pikirnya.
Akan tetapi, ketika ia teringat bahwa kepada pemuda inilah ia hendak dipaksa berjodoh, hatinya menjadi panas sekali karena merasa penasaran. Andaikata tidak ada urusan jodoh itu, tentu ia akan menyambut pemuda ini dengan lebih ramah karena ia pun seorang yang jenaka dan lincah, tentu akan senang bertemu dengan orang yang juga jenaka dan pandai bicara seperti pemuda ini.
"Eh, bukankah engkau ini yang bernama Cu See Han?" tanyanya.
Pemuda itu tertegun, merasa seperti ditodong saja! Sungguh seorang gadis yang luar biasa, pikirnya. Tadi dia pulang dan mendengar dari para pelayan, yaitu gadis-gadis pelayan cantik yang juga menjadi selir-selir ayahnya, juga menjadi para kekasih gelapnya, bahwa di rumah itu kedatangan dua orang, seorang pemuda dan seorang gadis cantik. Si pemuda sedang sibuk di lian-bu-thia bersama ayahnya dan katanya tidak boleh diganggu, sedangkan si gadis kini sedang duduk seorang diri di taman bunga.
Karena tidak dapat menemui ayahnya, maka dia pun pergi ke taman, hatinya segera tertarik mendengar bahwa di sana malam ini terdapat seorang tamu, seorang gadis cantik duduk seorang diri! Dan kini, gadis itu dengan sikap begitu biasa, terbuka dan tanpa sopan santun, begitu saja mengemukakan dugaannya yang tepat. Agaknya gadis ini pernah mendengar namanya.
Gadis itu seolah-olah tidak menghiraukan semua rayuannya tadi, seperti hembusan angin lalu saja. Padahal, lain gadis kalau dirayu seperti itu, bukan hanya menjadi merah mukanya, akan tetapi juga biasanya menjadi lemas, tak mampu bicara dan hanya memejamkan mata ketika jatuh ke dalam pelukannya! Akan tetapi gadis ini seolah-olah tidak terpengaruh sama sekali, hanya merah mukanya sebentar lalu bahkan menodongnya dengan pertanyaan yang lantang dan terbuka!
Kini dialah yang menjadi salah tingkah, merasa berkurang harga dirinya dan dia pun tersenyum masam, lalu duduk di atas bangku panjang itu, di sebelah Siang Bwee. Dan gadis itu tidak berdiri, seolah-olah tidak merasa kikuk melihat ada seorang pemuda asing duduk di sebelahnya. Dia tidak tahu bahwa gadis itu bukanlah gadis dusun pemalu, atau gadis kota yang congkak, melainkan seorang gadis kang-ouw yang sudah biasa bergaul, menganggap sama antara pria dan wanita!
Timbul pula harapan See Han, pemuda itu. Melihat gadis itu memperbolehkan dia duduk di sebelahnya, dia mengira bahwa bagaimanapun juga, gadis ini sudah tertarik kepadanya dan tidak keberatan untuk duduk bersanding. Maka kembali senyumnya menjadi manis menarik dan matanya berkilat.
"Aih, tentu engkau seorang bidadari tulen yang baru turun dari angkasa melalui sinar bulan! Engkau cantik jelita seperti bidadari dan engkau juga pandai mengenal orang tanpa bertanya dulu, sudah tahu namaku.....!"
"Sudahlah, buang saja sikap menjilat-jilat itu, Cu See Han. Katakan apakah benar engkau Cu See Han putera Tung Kiam?"
Kembali senyum di bibir pemuda itu berubah masam. Kurang ajar, pikirnya dongkol. Perempuan ini sungguh tidak menghargainya sama sekali! Dia yang menjadi rebutan semua gadis di daerah pantai timur, kini dianggap seperti seorang pelayan saja, bahkan seperti sampah!
"Hemmm, memang benar. Aku Cu See Han, putera Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam, pemilik rumah ini! Dan engkau ini siapakah, Nona?"
"Namaku Ang Siang Bwee, puteri Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki yang menjadi utusan ayah berkunjung kepada Tung Kiam untuk menguji kepandaiannya”
Jawaban itu dikeluarkan dengan sikap yang tidak kalah tinggi hati, dan sekali ini benar-benar Cu See Han terbelalak! Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Nam-san Tok-ong, datuk sesat yang setingkat dengan kedudukan ayahnya! Pelayannya tadi tidak memberi tahu sehingga dia terkejut karena tidak menyangka sama sekali.
Gadis ini demikian cantik manis, dan sebagai puteri Namsan Tok-ong tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula! Jelas bukan seorang gadis biasa seperti yang selama ini dia dapatkan berganti-ganti setiap hari sehingga membosankan. Tiba-tiba saja timbul gairahnya, sedemikian hebatnya sehingga seketika dia pun jatuh cinta kepada gadis itu. Inilah gadis yang selama ini diidam-idamkannya, pikirnya.
Cantik, jelita, manis, nampaknya cerdik dan tentu gagah perkasa, puteri seorang yang setingkat kedudukannya dengan ayahnya! Pantas menjadi isterinya Dia pun melempar kebiasaannya merayu seperti kalau berhadapan dengan wanita biasa dan dia pun cepat bangkit berdiri, lalu bersoja dengan tubuh membungkuk dan sikapnya sopan sekali.
"Ah, harap engkau sudi memaafkan aku, Nona. Kiranya Ang-siocia yang menjadi tamu ayah! Selamat bertemu, Nona dan terimalah hormatku sebagai seorang tamu yang kami hormati!"
Menghadapi sikap seorang "terpelajar" seperti ini, tentu saja Siang Bwee terpaksa juga membalas penghormatan itu, dan biarpun kini suaranya halus, namun tetap saja ia tidak meninggalkan kepolosannya. "Aih, sudahlah, Cu-kongcu, tidak perlu engkau mengambil sikap yang terlalu sungkan. Aku menjadi tamu di sini hanya karena harus menanti sampai ayahmu selesai mengajarkan ilmu kepada Kwee San Hong."
Mendengar ini, tentu saja See Han menjadi penasaran sekali. Ayahnya mengajarkan ilmu kepada seorang lain? Dia yang tadinya sudah sama-sama duduk kembali dengan Siang Bwee, walaupun keduanya menempati kedua ujung bangku sehingga agak berjauhan dalam batas yang sopan, kini bangkit kembali dan kedua tangannya terkepal. Bagaimana mungkin ayahnya mengajarkan ilmu kepada orang lain?
"Siapakah itu Kwee San Hong?" tanyanya dan karena marah dan penasaran, dia pun lupa akan sikap sopan santun. Melihat betapa pemuda ini seperti orang penasaran dan marah, Siang Bwee mendapat kesempatan untuk memanaskan hatinya, juga sekaligus untuk menyatakan perasaan hatinya bahwa ia tidak mau dijodohkan begitu saja dengan pemuda ini.
Biarpun harus ia akui bahwa pemuda ini tidak kalah tampan dibandingkan San Hong bahkan lebih pandai mengambil hati, dan dalam hal ilmu kepandaian juga belum tentu pemuda ini kalah, akan tetapi ia sudah terlanjur panas dan tidak suka kalau perjodohan kepadanya dipaksakan seperti itu!
"Hemmm, Kwee San Hong itu adalah..... calon suamiku!" katanya sambil tersenyum manis sekali, matanya ngerling dari samping, amat tajam dan indahnya. Ia melihat dengan jelas betapa sepasang mata pemuda itu terbelalak dan kini pandang matanya mengandung kekecewaan dan penasaran yang lebih besar. Akan tetapi sebelum dia sempat bicara tiba-tiba terdengar suara nyaring.
"See Han, engkau baru pulang? Bagus kulihat engkau sudah berkenalan dengan tunanganmu!" Dan muncullah Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam bersama Kwee San Hong.
Tentu saja See Han menjadi terheran heran mendengar ucapan ayahnya itu. Dia memandang ayahnya, kemudian memandang kepada pemuda sederhana yang muncul bersama ayahnya. Hatinya merasa semakin penasaran. "Ayah, apa maksudmu dengan tunangan itu? Dan mengapa pula Ayah mengajarkan ilmu silat kepada orang ini?"
Dia menuding ke arah San Hong dengan pandang mata tidak senang, apalagi ketika dia teringat bahwa pemuda yang bernama San Hong ini diakui sebagai calon suami oleh gadis cantik itu, gadis yang menurut ayahnya adalah tunangannya!
Tung Kiam tertawa. "Ha-ha-ha, tentu engkau heran kalau tidak diberi penjelasan, Nona ini adalah puteri Nam Tok bernama Ang Siang Bwee. Ia datang ke sini diutus ayahnya untuk menguji ilmu pengobatan dengan membawa korban pukulan beracun ayahnya, yaitu Kwee San Hong ini yang menjadi musuh besar Nam Tok. Aku menyanggupi akan tetapi Siang Bwee lebih dulu harus memenuhi syaratku, yaitu ia harus mau menjadi calon mantuku, atau calon isterimu!"
See Han mengerutkan alisnya. Kalau gadis ini sudah menyatakan mau menjadi calon isterinya, kenapa tadi mengakui bahwa pemuda itulah calon suaminya? "Akan tetapi mengapa Ayah mengajarkan ilmu silat kepadanya?" Kembali pandang matanya menatap wajah San Hong dengan tidak senang.
”Hemm, itu pun perlu kau ketahui. Setelah aku berhasil menyembuhkan San Hong ini, baru kuketahui bahwa San Hong menaruh dendam kepada Nam Tok dan dia akan kembali lagi ke sana untuk menantang Nam Tok berkelahi mati-matian. Maka aku pun melihat kesempatan untuk membalas keangkuhan Nam Tok dengan mengajarkan beberapa pukulan simpanan kepada Kwee San Hong agar dia dapat menandingi Nam Tok."
Kini Siang Bwee melangkah maju "Lo-cianpwe, sekarang sudah tiba saatnya yang kau janjikan. Bukankah Hong-ko ini sudah selesai menerima latihan darimu?"
"Sudah, dia memang berbakat dan cerdik sekali."
"Kalau begitu, sudah tiba waktunya bagi kami untuk berpamit. Sekarang juga aku hendak mengajaknya kembali menghadap ayahku. Mari, Hong-ko, kita pergi sekarang juga."
"Ayah, yakin benarkah Ayah bahwa ia mau menjadi calon isteriku? Jangan-jangan ia hanya menipu kita saja!" tiba-tiba See Han berseru.
Pada saat itu, Siang Bwee dan San Hong sudah melangkah hendak meninggalkan taman itu. "Tunggu dulu, Siang Bwee!" Tung Kiam berseru dan kedua orang muda itu terpaksa berhenti.
"Ada apa lagi, Lo-cian-pwe?"
"Anakku masih belum yakin bahwa engkau benar mau menjadi isterinya kelak! Hayo kau ulangi pernyataanmu itu, atau aku terpaksa akan menahan kalian!"
Biarpun hatinya mendongkol bukan main, namun Siang Bwee yang cerdik itu maklum bahwa mempergunakan kekerasan melawan datuk besar ini, amatlah berbahaya. Apalagi di situ terdapat pula puteranya yang tentu juga amat lihai. Maka ia pun cemberut.
"Ih, apakah kau kira aku ini seorang yang suka menipu dan berbohong? Sekali, berjanji, tentu kupegang teguh. Locianpwe, engkau sudah mendengar janjiku bahwa aku mau menjadi calon mantumu. Akan tetapi, pernikahan seorang gadis ditentukan oleh keputusan ayahnya, maka andaikata ayahku kelak menolak, tentu saja aku tidak mungkin memaksanya! Dan tentu saja aku pun tidak mungkin menentang kehendak ayah, maka biarpun aku mau, jadi atau tidaknya pernikahan itu tentu tergantung dari keputusan ayahku...!"
"Bagus. urusan ayahmu serahkan kepadaku. Asal engkau sudah sanggup. Sekarang, untuk menyatakan kebenaran ucapanmu bahwa engkau mau menjadi calon isteriya, engkau harus buktikan?"
"Engkau harus membiarkan dirimu dicium oleh puteraku dan menyebutnya koko (kanda) untuk membuktikan bahwa pengakuan dan janjimu setulus hatimu."
Wajah gadis itu berubah merah sekali. Kalau menuruti hatinya yang panas dan dongkol, mau rasanya ia berteriak memaki ayah dan anak itu. Akan tetapi kecerdikannya membuat dia dapat menduga bahwa datuk itu sedang mengujinya dan bahwa ia dan San Hong berada dalam bahaya. Maka, ia pun melangkah maju ke depan See Han dan berkata dengan suara lembut.
"Koko Cu See Han, aku minta diri." Dan ia memejamkan kedua matanya, siap menanti datangnya ciuman.
See Han gembira bukan main. Dia adalah seorang yang sudah biasa melakukan kecabulan, maka mencium seorang gadis di depan ayahnya atau di depan siapa saja, bukan merupakan pantangan baginya. Maka, diapun berkata lembut, "Baiklah, moi-moi Ang Siang Bwee, dan terimalah ciumanku, selamat jalan" Dia lalu merangkul dan mencium kedua pipi gadis itu sampai mengeluarkan suara ngak ngok.
Setelah dilepaskan, Siang Bwee mundur, memegang tangan Sun Hong dan menariknya pergi dari situ. Suara ketawa Tung Kiam melihat ulah puteranya tadi mengantar mereka keluar dari halaman gedung itu setelah mereka keluar dari taman. Mereka lalu berlari cepat, atau lebih tepat, Siang Bwe menarik tangan San Hong dan mengajaknya berlari cepat tanpa bicara.
Diam-diam San Hong merasa heran sekali karena gadis itu mengajaknya berlari cepat dan tak pernah berhenti, juga bukan menuju ke selatan, melainkan ke utara! Akan tetapi hatinya sendiri sedang mengkal bukan main, maka dia pun diam saja hanya mengikuti gadis itu berlari cepat...