Pedang Asmara Jilid 14 karya Kho Ping Hoo - MENJELANG pagi, Tiong Sin berpamit dengan mesra dan meninggalkan dua orang wanita itu. Setelah pemuda itu membawa pedangnya meloncat keluar dari jendela, barulah dua orang wanita itu seperti tersentak kaget, saling pandang dan berulang kali mulut mereka berbisik, "Apa yang telah kulakukan ini.....?"
Akhirnya, mereka saling rangkul dan menangis tersedu-sedu, penuh penyesalan. Namun, segalanya telah terlambat, terutama sekali bagi Li Hwa, dunia seperti hancur lebur. Namun, apa yang akan dapat ia lakukan? Mereka berdua bahkan berjanji untuk saling memegang teguh rahasia yang memalukan itu, karena keduanya terlibat langsung!
Tiga hari kemudian, sejak pagi di lian-bu-thia yang luas dari Hek eng-pang telan berkumpul belasan orang anggauta Hek eng pang. Mereka adalah para murid yang dahulu ikut ketua lama untuk mengeroyok dan membunuh Bu Siang Hok Mereka mentaati perinlah Tang Pangcu untuk berkumpul di situ pada hari itu karena menurut perintah sang ketua, ada seorang tamu yang ingin bertemu dengan mereka, menghaturkan terima kasih dan juga berkenalan.
Diam-diam mereka itu saling bertanya-tanya, siapa gerangan tamu itu dan apa perlunya dengan mereka. Urusan dengan Bu Siang Hok yang sudah lewat dua puluh tahun itu hampir terlupa oleh mereka, dan urusan itu merupakan peristiwa yang paling tidak enak bagi mereka. Ketika Tang Cin Siok memasuki lian bu-thia, para anggauta tua Hek-eng-pang itu segera bertanya kepada sang ketua apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh tamu itu dan mana pula tamunya.
"Harap kalian tenang dan bersabar. Tentu sebentar lagi dia datang dan kalian boleh mendengar sendiri darinya Akan tetapi, dia amat berterima kasih dan melihat sikap dan kata-katanya mungkin dia akan memberi hadiah kepada kalian."
Lima belas orang murid Hek-eng-pang itu tersenyum. Tak mereka sangka bahwa urusan dua puluh tahun yang lalu itu kini dihidupkan kembali, bahkan ada orang yang hendak berterima kasih dan memberi hadiah kepada mereka, karena orang itu musuh besar Bu Siang Hok dan dia menganggap mereka telah berjasa!
Tak lama kemudian, muncullah Tiong Sin yang segera memberi hormat kepada Tang Pangcu. Kemudian mereka semua memasuki lian bu-thia dan Tiong Sin diperkenalkan kepada lima belas orang murid itu. "Yang ada tinggal mereka ini, yang lain ada yang sudah meninggal, ada pula yang sudah berpindah ke kota lain, yang jauh." kata Tang Cin Siok.
Tiong Sin memandang mereka. Mereka semua adalah laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, bersikap gagah. Dia tersenyum ramah. "Pangcu, apakah mereka ini dahulu itu ikut menyerang Bu Siang Hok? Aku hanya ingin bicara dengan mereka yang dulu ikut membinasakan musuh besarku itu, maka sebaiknya kalau yang dahulu tidak ikut, agar jangan masuk ke dalam lian-bu-thia ini."
Tang Cin Siok mengangguk dan tersenyum. "Mereka lima belas orang itu memang dulu mengikuti ayah ketika melakukan pengejaran. Aku sendiri malah tidak ikut. Nah, silakan engkau bicara dengan mereka, orang muda, aku akan menanti di luar." Berkata demikian, ketua itu lalu keluar dari lian-bu-thia.
Tiong Sin lalu menutupkan daun pintu ruangan berlatih silat itu, dan menghadapi lima belas orang itu sambil tersenyum ramah, "Cu-wi telah berjasa besar dan selain ucapan terima kasih yang sedalamnya, aku ingin memberi sekedar hadiah atau tanda mata kepadi Cu-wi (anda sekalian). Kuharap Cu-wi suka berdiri berjajar agar memudahkan aku membagi hadiah."
Lima belas orang itu tersenyum-senyum dan mereka pun bangkit, lalu berdiri berjajar di depan pemuda tampan yang tersenyum-senyum itu. Tiong Sin lalu berkata dengan lantang, "Cu-wi, sesungguhnya aku ingin sekali dapat berhadapan sendiri dengan musuh besarku, Bu Siang Hok itu. Ingin sekali aku mencoba sampai di mana hebatnya ilmu kepandaiannya. Namun sayang, dia telah mati dan karena yang membunuhnya ialah Cu-wi, maka kiranya melalui Cuwi, aku akan dapat menduga sampai di mana tingkat kepandaian Bu Siang Hok.
"Nah, harap Cu-wi suka bermurah hati dan mengeroyok aku seperti ketika Cuwi mengeroyok Bu Siang Hok dahulu, sehingga Cu-wi akan dapat mengatakan kepadaku, siapa di antara dia dan aku yang lebih lihai. Selelah mendengar pendapat Cu-wi, barulah hatiku akan merasa puas. Nah, harap Cuwi bersiap-siap dengan senjata Cu-wi, dan keroyoklah aku seperti ketika Cu wi mengeroyok Bu Siang Hok!"
Lima belas orang nuggauta Hek eng pang itu saling pandang. Mereka terkejut mendengar permintaan yang aneh dan tidak mereka sangka-sangka itu. Akan tetapi, kalau hanya menguji kepandaian saja, tidak ada salahnya, pikir mereka. Biarlah pemuda yang agaknya amat mendendam kepada Bu Siang Hok ini merasa puas. Sambil tertawa-tawa mereka pun lalu mencabut golok mereka dan mengepung Tiong Sin.
"Nah, mulailah, Cu-wi. Jangan ragu ragu, keroyok aku seperti dulu kalian mengeroyok Bu Siang Hok!" kata Tiong Sin sambil melintangkan pedangnya depan dada, sikapnya waspada. Dia sama sekali tidak merasa gentar. Dia sudah mendapat keterangan bahwa yang paling lihai antara para murid Hek eng pang adalah Li Hwa, dan dia sudah mengukur sampai di mana kepandaian gadis itu. Kini, menghadapi lima belas orang itu, dia sama sekali tidak merasa gentar.
Dengan sikap main-main, seorang di antara para murid Hek eng pang yang berada di belakangnya membentak, "Awas aku mulai menyerang" Dan dia pun menggerakkan goloknya membacok dari belakang. Tentu saja dia tidak mempergunakan seluruh tenaganya dan andaikata dia melihat pemuda itu kurang cepat menghindarkan diri atau menangkis, dia akan menahan serangannya karena memang sama sekali tidak ada niat hatinya mencelakai pemuda itu.
"Singgg..., tranggg.....!"
Nampak sinar terang berkelebat ketika Tiong Sin membalikkan tubuhnya, pedangnya menyambar dan sekali tangkis, golok di tangan murid Hekeng-pang itu patah menjadi dua, dan sinar pedang masih terus meluncur dan pundak kanan orang itu tertusuk ujung pedang.
"Aduhhh.....!" Dia terhuyung kebelakang memegangi pundaknya yang terluka. Terkejutlah semua murid Hekeng-pang. "Heiiiii! Apa artinya ini?"
"Kenapa kau melukai saudara kami?"
Namun, Tiong Sin tidak mempedulikan teriakan-teriakan dan teguran mereka itu, dia sudah memutar pedangnya, sinar Pedang Asmara bergulung-gulung, menyambar-nyambar dan kembali dua orang sudah roboh terluka! Tentu saja para murid lain menjadi terkejut, heran akan tetapi juga marah sekali.
Kini mereka mengepung dan menyerang dengan sungguh sungguh karena jelas bahwa pemuda ini mempunyai niat yang buruk. Dan terjadilah pengeroyokan seperti dahulu ketika Bu Siang Hok dikeroyok tepat seperti diinginkan Tiong Sin. Dan dia pun mengamuk.
Tingkat kepandaian Tiong Sin memang jauh lebih tinggi daripada tingkat para murid Hek-eng-peng. Apalagi dia memegang Pedang Asmara, sebatang pedang yang memiliki daya melumpuhkan wanita akan tetapi kalau bertemu dengan senjata lain merupakan senjata yang amat ampuh, mampu mematahkan senjata yang keras!
Baru belasan jurus saja, lebih dari setengah jumlah pengeroyok telah kehilangan golok mereka yang patah-patah disusul robohnya tubuh mereka, ada yang tertusuk, ada yang terbacok pedang yang ampuh itu. Tiong Sin mengamuk sambil tertawa-tawa seperti orang gila! Hatinya gembira bukan main melihat para pengeroyoknya, para pembunuh ayahnya roboh satu demi satu!
Sementara itu, Tang Cin Siok yang tadinya berada di luar lian-bu thia, berjalan-jalan di taman tak jauh dari ruangan berlatih silat itu, menjadi heran bukan main ketika dia mendengar suara beradunya senjata di dalam ruangan itu. lebih kaget lagi ketika suara benturan senjata tajam itu disusul tenakan-teriakan kesakitan. Dia pun cepat lari menghampiri dan sekali dorong, daun pintu ruangan itu pun terbuka.
Dia terbelalak, terkejut bukan main melihat pemuda itu mengamuk dan melihat betapa dengan cepat, semua anggauta Hek-eng-peng yang berjumlah lima belas orang itu, satu demi satu dalam keadaan terluka parah!
"Heiii, apa yang kaulakukan ini?" bentaknya dan dia pun sudah mencabut goloknya dan langsung saja melompat masuk dan menyerang!
Dengan pengerahan tenaga, dia membacokkan goloknya dari samping, dan gerakannya selain amat cepat, juga kuat sekali karena ketua ini sudah marah melihat betapa lima belas orang anggautanya roboh terluka. Melihat dirinya diserang, Tiong Sin tersenyum, pedangnya berkelebat menangkis dan dia mengerahkan tenaganya!
"Tranggg.... !" Golok ditangan Tang Pangcu itu patah menjadi dua. Tiong Sin tidak ingin melukai ketua itu. Kalau di mau, tentu mudah baginya untuk membacokkan atau menusukkan pedangnya. Akan tetapi dia tidak mau melukai ketua itu. Bagi Tiong Sin, dia memilih pembalasan yang lain lagi caranya. Ketika golok itu patah, Tang Cin Siok menjadi pucat dan dia memandang terbelalak ketika pemuda itu sambil tertawa melompat pergi dari situ.
"Heiii! Jelaskan dulu apa artinya perbuatanmu ini!" bentak Tang Cin Siok yang merasa tidak berdaya untuk melakukan pengejaran, maklum bahwa pemuda itu lihai sekali dan pedang di tangannya itu amat ampuhnya.
Tiong Sin menoleh sambil tersenyum mengejek. "Pangcu, kalau engkau ingin penjelasan, malam nanti aku akan menjelaskan!" Setelah berkata demikian, sekali melompat, pemuda itu telah lenyap dari situ. Dia mencoba untuk mengejar keluar, akan tetapi pemuda itu tidak tampak lagi dan dari dalam rumah muncul puterinya, Tang Li Hwa yang memandang kepadanya dengan muka pucat.
"Ayah, apa yang telah terjadi?"
"Celaka, pemuda itu mendatangkan bencana!" kata Tang Cin Siok dan dia segera lari lagi ke lian-bu-thia. Dengan muka menjadi semakin pucat. Li Hwa mengikuti ayahnya.
Ketika mereka tiba di lian-bu-thia, Li Hwa terbelalak melihat betapa lima belas orang murid Hek-eng-pang yang katanya akan menerima ucapan terima kasih dan tanda mata dari pemuda bernama Yeliu Tiong Sin itu kini sudah rebah malang melintang, ada yang luka ringan, ada yang luka berat bahkan ada pula yang tewas. Lian-bu-thia itu berubah menjadi seperti ruangan pembantaian dan lantainya berlepotan darah!
"Cepat, panggil para anggauta lain untuk menolong!" kata ayahnya.
Dengan muka pucat sekali dan hati tidak karuan rasanya, Li Hwa meloncat dan tak lama kemudian, para murid dan anggauta Hek-eng-pang berdatangan dan mereka segera menolong yang luka, dan mengurus yang tewas.
Malam itu, asrama Hek-eng-pang berkabung. Lima buah peti mati berjajar di ruangan depan. Di antara lima belas orang murid itu, lima orang tewas, tiga orang luka berat dan tujuh orang luka tidak begitu berat. Li Hwa sendiri tidak keluar, melainkan mengeram diri dalam kamar dan terus-terusan menangis, ibu tirinya menemaninya dan ibu tiri ini pun menangis.
"Akan kubunuh dia! Ah, akan kubunuh dia.....!" Berulang kali Li Hwa berkata seperti orang gila dan Kwi Nio juga hanya dapat menangis. Wanita ini maklum bahwa ada sesuatu yang tidak wajar yang membuat ia dan anak tirinya begitu mudah menyerahkan diri kepada pemuda itu.
Dan kini pemuda itu bahkan telah merobohkan lima belas orang murid Hek eng-pang tanpa alasan apa pun. Betapa kejamnya! Tentu saja ia menyesal sekali telah menyerahkan diri dinodai pemuda itu. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Hal itu terjadi begitu saja malam tadi, seperti juga Li Hwa yang demikian mudahnya menyerahkan kehormatan dirinya yang masih gadis.
Tan Cin Siok sendiri duduk di ruangan depan, bersila di atas lantai, wajahnya murung dan keruh. Sekali ini, nama Hek-eng-pang menjadi rusak oleh ulah seorang pemuda saja yang tidak diketahui benar asal-usulnya. Karena Hek-eng-pang berhubungan baik dengan pasukan keamanan kota Wang-cun bahkan dia mengenal baik komandan perbatasan, maka beberapa orang perwira datang melayat dan mereka menjanjikan bantuan untuk menyelidiki dan kalau dapat menangkap pemuda yang mengaku bernama Yeliu Tiong Sin itu.
Para isteri dan keluarga yang mati, berkumpul pula di situ dan hujan tangis membuat suasana berkabung itu semakin menyedihkan. Semua anggauta Hekeng-pang berkumpul di situ dan pada wajah mereka jelas nampak kemarahan dan dendam terhadap pemuda yang mendatangkan bencana ini.
Siang tadi, mereka semua telah mencoba untuk mencari pemuda itu, semua penginapan diperiksa. Akan tetapi pemuda itu telah meninggalkan kamar di rumah penginapan yang disewanya, dan menurut keterangan orang yang melihatnya, dia telah pergi meninggalkan kota Wang-cun dengan naik seekor kuda.
Biarpun demikian, malam itu mereka menanti dengan hati tegang, siap untuk mengeroyok dan menangkap hidup atau mati pemuda itu. Apalagi mereka mendengar bahwa pemuda itu telah berjanji kepada ketua mereka, bahwa malam ini dia akan datang memberi penjelasan. Kalau benar dia datang, mungkin pemuda itu telah gila!
Bukan hanya puluhan orang anggauta Hek-eng-pang yang menanti dan siap mengepung, bahkan Tang Pangcu sudah mendatangkan belabantuan yaitu para jagoan dari benteng pasukan pemerintah. Sedikitnya ada lima belas orang jagoan dari benteng yang menyamar sebagai sahabat-sahabat yang datang melayat dan mereka ini sudah siap untuk membantu Hek-eng-pang kalau pemuda itu benar-benar berani muncul ke tempat itu.
Malam itu bulan masih purnama dan hawa udara masih tetap dingin seperti malam kemarin. Akan tetapi, seorang penunggang kuda membalapkan kudanya, menuruni bukit kecil menuju ke kota Wang-cun. Di luar kota, dia menghentikan kudanya dan melompat turun, menambatkan kudanya pada sebatang pohon dan membiarkan kudanya makan rumput di bawah pohon, lalu dia melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki.
Akan tetapi dia bukan berjalan, melainkan berlari, bahkan lebih mirip terbang karena kedua kakinya itu dengan kecepatan luar biasa bergerak dan tubuhnya meluncur ke depan, seolah-olah kedua kaki itu tidak menginjak bumi. Itulah ilmu berlari cepat yang hebat.
Di luar tembok kota Wang-cun, dia berhenti di tempat gelap dan dia tersenyum melihat betapa berbeda dengan hari-hari biasa, kini bukan hanya pintu gerbang terjaga ketat, akan tetapi bahkan ada yang mondar-mandir di sepanjang tembok melakukan perondaan! Seperti sudah diduganya, malam ini tentu pihak Hek-eng-pang melakukan penjagaan ketat, bahkan dibantu oleh pasukan pemerinlah.
Orang itu adalah Tiong Sin. Dia memang sudah menduga bahwa dirinya tentu dicari dan kota itu tentu dijaga ketat apalagi karena dia sudah berjanji kepada Tang Cin Siok untuk datang memberi penjelasan. Dan biarpun dia sudah membalas dendam kematian ayahnya kepada mereka yang dahulu mengeroyok ayahnya sampai mati.
Namun dia masih belum memberi pukulan terakhir kepada keluarga Tang, keluarga ibunya yang telah menghancurkan kebahagiaan ibunya, yang' menyebabkan ibunya sengsara, melarikan diri dalam keadaan mengandung tua sehingga ibunya tewas ketika melahirkan.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Tiong Sin untuk memilih tembok kota yang lepas dari penjagaan para peronda, melompati pagar tembok itu dan menyusup masuk ke dalam kota. Malam itu dingin dan karenanya, seperti kemarin malam, keadaan kota menjadi sunyi biarpun malam belum begitu larut.
Dengan mudah Tiong Sin menyelinap dan melompat pagar tembok yang mengurung rumah dan asrama Hek eng-pang, masuk ke dalam taman dari mana dia dapat menghampiri kamar tidur Li Hwa! Pukulan terakhir terhadap keluarga Tang akan dilakukannya dari kamar tidur gadis putih mulus yang cantik manis itu!
Tentu saja para murid Hek-eng-pang yang melakukan penjagaan di pintu gerbang dan di keempat sudut rumah dan markas Hek-eng-pang, tidak ada yang berani menjaga dekat kamar Li Hwa. bukankah Li Hwa memiliki kepandaiannya yang lebih tinggi daripada mereka semua?
Gadis itu akan tersinggung hatinya kalau melihat kamarnya dijaga anggauta Hek-eng pang. Dan justeru hal ini yang memudahkan Tiong Sin untuk menghampiri kamar itu dan sekali renggut, daun endela kamar itu terbuka dan dia lalu meloncat ke dalam kamar yang terang karena dipasangi banyak lilin untuk menambah terangnya lampu gantung. Akan tetapi, begitu kakinya menyentuh lantai kamar, tiba-tiba saja terdengar bentakan,
"Jananam, mampuslah engkau!" dan sebatang golok sudah menyambar ke arah lehernya!
Tiong Sin cepat mengelak sambil mencabut Pedang Asmara. Golok itu menyambar lagi. Dengan kecepatan luar biasa. Tiong Sin merendahkan tubuhnya dan ketika golok menyambar lewat ke atas kepalanya, dia menangkap pergelangan tangan kanan yang memegang golok, lalu menekan lengan itu dan di lain saat tubuh gadis itu telah berada dalam rangkulannya dan Pedang Asmara telah ditempelkannya di dada gadis itu, bukan ditodongkan ujungnya, melainkan ditempelkan.
"Aih, Li Hwa. Bukankah engkau cinta padaku?" Dan dia pun mencium pipi gadis itu. Li Hwa seketika merasa lutut nya lemas dan ia tidak melawan ketika pemuda itu mengambil goloknya dan memondong tubuhnya ke pembaringan. Ketika Tiong Sin melihat Kwi Nio, ibu tiri gadis itu ternyata berada pula di situ dia tersenyum dan menyambar lengan nyonya muda itu dan ditariknya pula bersama-sama duduk di atas pembaringan.
Nyonya yang tadinya juga sudah siap untuk menjerit, kini keadaannya tidak berbeda seperti Li Hwa. Ia menjadi lemas dan hanya memejamkan mata ketika pemuda itu membelainya, bergantian dengan Li Hwa. Dua orang wanita itu sama sekali tidak dapat melawan ketika pemuda itu memadamkan semua penerangan dalam kamar dan terulanglah kembali peristiwa malam kemarin, di mana kedua wanita itu menyerah tanpa membantah sedikit pun juga karena mereka sendiri telah dibakar nafsu berahi yang berkobar tanpa mereka ketahui apa yang menyebabkannya!
Mereka samar-samar masih ingat bahwa pemuda ini telah mendatangkan bencana, dan hal ini amat menyedihkan hati mereka karena mereka kini menyerahkan diri seperti itu kepada pemuda yang mestinya mereka benci. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Pedang Asmara telah memperlihatkan pengaruhnya yang mujijat! Ibu tiri dan anak tiri itu merintih dan menangis lirih, namun mereka tidak pernah menolak dan menyerahkan diri dengan suka rela menurut semua kehendak pemuda itu atas mereka.
Setelah Tiong Sin merasa puas mempermainkan mereka, dia membiarkan dua orang wanita itu menangis sambil memeluki bantal. Sambil tersenyum kejam dia mengenakan lagi pakaiannya. Pada saat itu, terdengar suara dari luar. "Siocia (Nona).....! Toanio.....?" Suara seorang wanita tua, yaitu murid atau anggauta Hek-eng-pang wanita yang juga bekerja sebagai pembantu dan penjaga. Daun pintu diketuk dan agaknya wanita itu mendengar isak tangis mereka, maka didorongnya daun pintu itu terbuka, dan dengan tangan kanan memegang sebuah tempat lilin dengan tiga batang lilin bernyala, dengan hati-hati ia memasuki kamar.
Murid Hek-eng-pang itu tertegun. Matanya terbelalak memandang ke dalam kamar, melihat nonanya dan nyonyanya menangis di atas pembaringan dalam keadaan tanpa pakaian, dan di dekat pembaringan berdiri seorang pemuda yang membereskan pakaiannya dan tersenyum kepadanya! Pemuda yang pagi tadi telah merobohkan lima belas murid tingkat pertama dari Hek-eng-pang! Tentu saja murid wanita itu terkejut dan menjerit, lalu berlari keluar.
Tak lama kemudian, muncullah Tang Cin Siok sendiri diikuti lima orang murid wanita dan beberapa orang murid lain. Ketua itu memegang sebatang golok, dan semua murid Hek-eng-pang juga memegang golok. Ketika Tang Pangcu melihat keadaan di dalam kamar, keadaan isterinya dan puterinya, mukanya berubah pucat sekali, lalu berubah merah padam dan matanya mencorong seolah-olah dia hendak membunuh Tiong Sin dengan sinar matanya.
Pemuda itu tersenyum. Dia sudah selesai berpakaian dan kini pedang pusaka itu berada di tangannya. "Pangcu, aku memenuhi janji. Engkau ingin penjelasan mengapa aku merobohkan lima belas orang murid Hek-engpang pagi tadi? Dan mengapa pula aku sekarang mempermainkan isterimu dan puterimu? Bukalah mata dan telingamu Pandang aku baik-baik dan dengarkan kata-kataku. Nama keturunanku bukan Yeliu melainkan Bu. Aku bernama Bu Tiong Sin! Mendiang Bu Siang Hok dan Tang Siok Hwa adalah ayah dan ibu kandungku! Hek-eng pang telah mencelakakan ayah dan ibuku, maka hari ini aku datang membalas dendam!"
Kini mata Tang Cin Siok terbelalak "Kau... kau... anak yang dilahirkan Siok Hwa.... yang hilang itu?"
Tiong Sin tertawa. "Tang Pangcu engkau adalah pamanku, kakak dari ibuku. Akan tetapi, ayahmu telah menghancurkan kebahagiaan ibuku, oleh karena itu hari ini aku datang untuk membalas dendam. Aku tidak bisa membalas kepada kakekku yang sudah mati, akan tetapi engkau sebagai keturunannya dapat mewakilinya menerima pembalasanku, ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian, dengan hati yang puas sekali, Tiong Sin melompat keluar melalui jendela.
Tang Cin Siok tentu saja sudah dapat menduga apa yang dilakukan oleh pemuda itu. Tentu pemuda itu telah memperkosa isterinya dan puterinya. Melihat betapa isterinya dan puterinya kini bersembunyi di dalam gulungan selimut sambil menangis, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
"Kejar! Bunuh jahanam keparat itu!" teriaknya dan keadaan menjadi kacau dan geger.
Para jagoan dari benteng yang menyamar sebagai tamu pelayat, sudah cepat mendengar dan mereka pun ikut mengejar pemuda yang melarikan diri melalui taman itu. Sebagian pula cepat mengatur penjagaan dan kini kota Wang-cun seolah-olah dikepung dan tidak diberi kesempatan kepada siapapun juga untuk keluar kota tanpa diketahui para penjaga.
Tiong Sin yang memandang rendah Hek-eng-pang, ketika melarikan diri dan meloncat keluar dari pagar tembok asrama perkumpulan itu, terkejut juga ketika tiba-tiba muncul lima orang setengah tua yang tanpa banyak cakap sudah mengurungnya dengan pedang mereka.
"Hemmm, kalian sudah bosan hidup!" bentaknya dan dia pun memutar Pedang Asmara untuk membikin patah senjata di tangan para pengeroyoknya.
Akan tetapi lima orang itu menarik pedang masing masing dan menyerang lagi dengan cepat jelas bahwa mereka tidak mau mengadu senjata mereka dengan pedang di tangan pemuda itu. Hal ini adalah karena para jagoan benteng ini sudah mendengar dari Tang Pangcu betapa ampuhnya pedang pemuda itu yang mampu mematahkan semua senjata lain.
Melihat ini, Tiong Sin terkejut dan cepat dia pun memutar pedang melindungi tubuhnya, lalu membalas dengan serangan maut. Bagaimanapun juga, tingkat kepandaian para jagoan itu masih belum mampu menandingi Tiong Sin sehingga mereka terdesak hebat apalagi karena pemuda yang lihai itu menggunakan pedang yang demikian ampuhnya.
Akan tetapi, Tang Pangcu bersama para anggauta Hekeng-pang segera bermunculan dan ikut mengepung dan mengeroyok. Juga lebih banyak lagi jagoan datang mengeroyok. Tiong Sin terkejut mulai knawatir. Biarpun pedangnya dapat mematahkan beberapa batang senjata para pengeroyok, namun jumlah mereka banyak sekali. Dia pun melompat ke samping lalu melarikan diri.
Tang Pangcu yang marah sekali cepat mengejar bersama para jagoan, diikuti pula oleh banyak murid Hek-eng-pang. Ketika Tiong Sin melarikan diri, setibanya di jalan perempatan, dia sudah dihadang oleh banyak lawan. Terpaksa dia mengamuk lagi, akan tetapi dari belakang, para pengejarnya sudah tiba! Kalau dia lanjutkan perkelahian yang berat sebelah itu, akhirnya dia tentu akan celaka!
Dia melawan mati-matian dan berhasil merobohkan beberapa orang. Namun dia dihimpit dan didesak, sehingga terpaksa harus melarikan diri lagi. Dia tidak tahu bahwa kota itu sudah dipenuhi orang-orang yang hendak menangkapnya, maka tak lama kemudian, dia sudah dihadang lagi dan terpaksa dia mengamuk lagi.
Karena Tang Pangcu dan para pendekar juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, dikeroyok oleh orang sedemikian banyaknya, mulailah Tiong Sin tercium ujung senjata para pengeroyok dan sudah menderita beberapa luka yang biarpun tidak terlalu parah, namun cukup membuat darah banyak keluar dan perlawanannya mulai lemah.
Dia merasa lelah sekali harus berlari-lari lalu dikepung dan dikeroyok lagi sampai beberapa jam lamanya. Tiong Sin sudah berputar-putar di sebagian besar kota Wang-cun, namun tidak berhasil berlari keluar karena setiap kali tiba di tembok kota, di sana sudah menunggu pasukan keamanan.
Dia dikeroyok dihujani anak panah dan biarpun dia lihai, menghadapi pengeroyokan seperti itu, mulailah dia merasa cemas. Tak disangkanya bahwa Hek-eng-pang memiliki pengaruh yang demikian besarnya, sehingga pemerintah setempat dan pasukan keamanan perbatasan mau membantu Hek-eng-pang seperti itu.
Tiong Sin menjadi semakin bingung dan akhirnya panik ketika melihat betapa sinar matahari pagi mulai membakar ufuk timur, siap untuk mengusir kegelapan malam. Kalau sampai keburu terang, celakalah dia! Akan lenyap semua harapan untuk dapat lolos dan terpaksa dia harus mengamuk terus sampai mati!
Dan dia masih belum ingin mati! Dia masih muda, dia tidak mau mati sekarang. Tiong Sin menangkis sebatang tombak dan tombak itu patah, akan tetapi mata tombak itu meluncur dan mengenai paha kanannya, menancap di paha. Biarpun tidak berapa dalam, namun menambah luka-lukanya.
Dia mencabut mata tombak itu dan melihat sebuah rumah yang tidak berapa tinggi di sebelah kiri, dia lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan meloncat ke atas genteng rumah itu. Karena kakinya sudah terluka, maka dia tidak dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dengan baik.
Beberapa buah genteng yang diinjaknya pecah dan dia terhuyung. Orang-orang yang tadi mengeroyoknya, mengejar dan berteriak-teriak di bawah rumah. Sebelum rumah terkepung dan sebelum ada yang naik, Tiong Sin berlari dan meloncat lagi ke rumah lain, terus berloncatan dari rumah ke rumah dan akhirnya dia meloncat turun ke tempat yang agak gelap karena di situ terdapat beberapa batang pohon besar.
"Ssttt, ke sinilah. Aku akan menyembunyikanmu!” Tiba-tiba terdengar suara orang. Ada seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi kurus muncul di kegelapan.
Karena dia sendiri sudah hampir putus asa, Tiong Sin terhuyung menghampiri orang itu. Orang itu memegang lengannya dan menariknya masuk ke sebuah pintu yang kecil dari pagar yang mengelilingi sebuah rumah besar. Dia menarik Tiong Sin masuk ke balik pagar tembok, lalu menutup lagi pintu kecil dan menguncinya, lalu mengajak pemuda itu lari ke dalam rumah besar. Rumah itu besar dan mewah, dan orang tinggi kurus itu terus mengajaknya masuk ke dalam.sebuah ruangan yang luas.
"Siapakah engkau? Dan mengapa engkau membantuku?" Tiong Sin bertanya dengan pandang mata penuh selidik!
Orang itu tersenyum. "Aku tidak mempunyai hubungan dengan persoalanmu, akan tetapi melihat kelihaianmu, aku merasa sayang kalau sampai engkau mati konyol. Nah, engkau bersembunyi di kamar rahasia di balik dinding itu. Jangan mengeluarkan suara, dan jangan keluar kalau tidak kujemput. Engkau akan aman di sana."
Orang itu menggerakkan sebuah arca singa kecil dan tiba-tiba saja almari buku yang berada di ruangan itu bergerak, mengeluarkan suara berderit dan ternyata almari itu telah berputar dan di belakangnya terdapat pintu tembusan ke sebuah kamar.
"Masuklah dan engkau bersembunyi dulu di situ sampai keadaan aman kembali." kata orang tinggi kurus itu.
Tiong Sin tidak mempunyai pilihan lain. Kalau dia menolak, dia akan terus menjadi buruan tanpa dapat keluar dari kota itu dan akhirnya dia akan roboh pula. Kalau dia bersembunyi di sini, andaikata orang ini, mengkhianatinya, setidaknya dia sudah memperoleh kesempatan untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga.
Akan tetapi kalau orang itu benar-benar hendak menolongnya, dia akan selamat. Maka, dia pun mengangguk dan memasuki kamar itu. Si tinggi kurus memutar arca singa dan almari itu berputar kembali, menutupi lubang pada dinding.
Kamar yang dimasuki Tiong Sin itu cukup bersih. Ada sebuah pembaringan kecil dan ada dua buah kursi, bahkan tersedia sebuah poci terisi air teh dan cangkir-cangkirnya, dan seguci arak dengan cawannya. Tiong Sin lalu meneguk secawan arak, kemudian dia naik ke atas pembaringan dan duduk bersila, memeriksa luka-lukanya, menaruhkan obat luka yang dibawanya, kemudian dia pun duduk diam untuk menghimpun tenaga baru.
Dia dapat menduga bahwa penolongnya tadi bukan seorang Han, melainkan seorang suku bangsa Mancu atau Mongol. Dari logat bicaranya saja dia sudah dapat menduga walaupun orang itu mengenakan pakaian seperti pribumi. Dia menduga-duga apa yang menjadi pamrih orang itu menolongnya, walaupun tadi orang itu mengatakan sayang kalau dia sampai mati konyol.
Di tempat seperti itu, semua orang berjiwa dagang, tidak akan melakukan sesuatu kalau tidak mendatangkan keuntungan. Dia tidak dapat menduga, keuntungan apa yang dituntut orang itu darinya. Bagaimanapun juga kalau orang itu mampu menyelamatkannya, menyelundupkannya, sampai dia dapat keluar dari kota Wang-cun dengan selamat dia siap untuk membalas budinya yang besar.
Tiba-tiba dia terkejut dan cepat dia turun dari pembaringan, menyambar pedangnya yang tadi dia letakkan di atas pembaringan di depannya, lalu berindap-indap mendekati almari yang memisahkan dia dari ruangan luas itu. Dia mendengar langkah kaki dan suara orang bercakap-cakap, suara itu jelas sekali dapat dia tangkap. Dia mendengar suara orang tinggi kurus tadi.
"Nah, tuan-tuan sekalian. Sudah saya katakan bahwa saya tidak melihat siapapun memasuki rumah kami, apalagi pemuda yang dikejar-kejar itu. Saya tinggal di sini. Bersama beberapa orang pelayan dan mereka semua sudah bertahun-tahun tinggal di sini. Karena hawa dingin, mereka semua belum bangun. Maka, saya terkejut sekali ketika sepagi ini pintu rumah kami digedor....." Di dalam suara itu terkandung penasaran.
"Maafkan kami, saudara Barcan. Kami sudah mengenalmu selama beberapa tahun. Kami tahu bahwa saudara Barcan adalah seorang saudagar besar yang tidak pernah melanggar peraturan. Akan tetapi, malam ini kami mengejar seorang penjahat besar yang telah membikin kacau di Hek-eng-pang, dan tadi kami melihat dia lari menuju ke daerah ini. Maka, terpaksa kami mencarinya di seluruh tempat daerah ini, termasuk rumahmu. Siapa tahu dia bersembunyi di sini di luar tahumu."
"Ahhh! Maksudmu, pembunuh yang telah membunuh banyak saudara Hek-eng-pang? Betapa mengerikan! Dan dia berlari ke daerah ini? Kalau begitu, harus dicari, Ciangkun (Perwira). Mari saya bantu mencarinya, mungkin dia bersembunyi di dalam kebun. Oya, biar kubangunkan semua pelayanku agar mereka ikut membantu dalam pencarian!"
Tiong Sin bernapas lega ketika mendengar langkah kaki banyak orang itu keluar dari rumah dan suara mereka tidak terdengar lagi. Ah, kiranya penolongnya itu bernama Barcan, seorang suku Mongol kalau begitu. Dan kini dia percaya bahwa Barcan itu bersungguh-sungguh dalam usahanya menolongnya. Kalau dia hendak berkhianat, betapa mudahnya tadi, dan tentu dia sudah dikeroyok dan mungkin tertawan atau tewas.
Sungguh besar sekali jasa Barcan itu, dan dia berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepadanya. Dan Barcan seorang saudagar besar bangsa Mongol. Agaknya dia cerdik sekali, maka boleh diharapkan akan mampu menyelundupkan dia keluar dari kota itu. Tiong Sin sama sekali tidak tahu bahwa penolongnya itu, Barcan, adalah orang yang penting di Mongol pada waktu itu.
Barcan bukan seorang saudagar kaya biasa saja. Sama sekali bukan! Telah diceritakan di bagian depan bahwa Barcan ini adalah seorang kepala kelompok yang menjadi pembantu dari Temucin! Bahkan dahulu, isteri Barcan yang masih muda bernama Ogui, yang cantik manis, telah mengadakan hubungan cinta dengan Temucin.
Mereka berdua menjadi korban dari pengaruh mujijat Pedang Asmara hingga mereka mengadakan hubungan gelap. Akan tetapi, Temucin menyadari ketidak wajaran itu, dan dia diam-diam membunuh Ogui lalu memberitahu kepada Barcan bahwa isterinya itu berlaku tidak senonoh hendak menggodanya maka dibunuhnya wanita itu. Barcan berterima kasih sekali dan memuji perbuatan Temucin yang membersihkan namanya.
Dia menjadi pembantu yang makin setia dan karena Barcan seorang yang cerdik, pandai dan gagah, juga banyak pengalamannya di perbatasan, maka dia lalu menerima tugas berat dari Temucin untuk menjadi mata-mata diperbatasan. Demikianlah, Barcan menjadi saudagar kaya di perbatasan. Dia memasukkan barang-barang dari dalam Tembok Besar keluar, dan mendatangkan rempah-rempah dan kulit binatang dari utara.
Dengan demikian hubungannya luas, namanya dikenal baik dan diam-diam dia pun menyelidiki keadaan di perbatasan. Dia hafal benar siapa yang menjadi komandan, siapa-siapa para perwiranya, dan berapa besar kekuatan benteng pasukan pemerintah di tapal batas. Dia mencatat semua kekuatan dan kelemahan pihak pasukan pemerintah!
Dia tahu pula bahwa Hek-eng pang terdiri dari orang-orang dengan kepandaian silat tinggi dan puluhan orang anggauta Hek-eng-pang itu membantu pemerintah menjaga keamanan. Maka begitu melihat ada seorang pemuda membikin kacau Hek-eng-pang, bahkan kabarnya merobohkan belasan orang hatinya tertarik sekali.
Kebetulan sekali pada malam itu, ketika dikejar-kejar, pemuda itu lewat di belakang kebunnya. Maka dia pun cepat turun tangan membantu dan menyembunyikan Tiong Sin, dengan harapan kelak pemuda ini akan berguna baginya, atau lebih tepat lagi, bagi pasukan yang. Dipimpin Temucin yang sejak lama sudah merencanakan untuk menyerbu ke selatan!
Baru setelah matahari naik tinggi Barcan membuka pintu rahasia kamar itu dan dia tersenyum lebar ketika melihat Tiong Sin bersila di atas pembaringan dengan pedang di tangan. "Orang muda, simpan pedangmu. Bahaya telah lewat dan engkau aman di sini."
Tiong Sin menyarungkan pedangnya, turun dari pembaringan dan memberi hotmat kepada pria tua kurus itu. "Paman, aku Tiong Sin menghaturkan terima kasih kepadamu dan aku bersumpah bahwa kalau keadaan mengijmkan, kalau terbuka kesempatan, aku akan membalas kebaikanmu hari ini. Akan tetapi, selama masih belum keluar dari Wang-cun, kukira keadaanku belum dapat dibilang aman."
"Duduklah dan mari kita makan pagi dulu sebelum bicara. Banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu."
Mereka berdua sarapan pagi, dilayani oleh seorang pembantu rumah tangganya. Kiranya Barcan tinggal di situ hanya bersama beberapa orang pembantunya yang sesungguhnya merupakah jagoan jagoan Mongol yang menyamar. Barcan tidak membawa keluarganya yang ditinggalkan di utara, akan tetapi sedikitnya sebulan sekali dia menengok keluarganya di utara dengan dalih membawa barang dagangan.
"Aku tidak ingin mencampuri urusan pribadimu, orang muda. Bahkan nama Yeliu Tiong Sin sama sekali tidak pernah kami kenal dan kami pun tidak mempunyai hubungan apapun denganmu Akan tetapi, mulai saat ini, engkau menjadi buruan pemerintah, engkau menjadi musuh pemerintah."
"Sebetulnya, aku pun tidak ingin bermusuhan dengan pemerintah, Paman Barcan, akan tetapi siapa kira bahwa Hek eng-pang ternyata bersekutu dengan pasukan pemerintah sehingga aku dikejar kejar oleh pasukan."
"Hemmm, memang Hek-eng-pang merupakan pembantu pasukan keamanan pemerintah. Oleh karena itu, engkau tidak mungkin lagi bebas seenaknya kalau berada di selatan. Tentu gambar tentang dirimu telah disebar dan kemanapun engkau pergi, kalau bertemu dengan penjaga keamanan kota, tentu engkau akan ditangkap."
Wajah yang tampan itu berubah panik dan sedih. Hal ini sama sekali tidak pernah dibayangkannya. Dia hendak membalas dengan kematian ayahnya kepada Hek eng pang dan tahu-tahu dia berhadapan dengan pemerintah, bahkan kini menjadi buruan yang membuat dia tak pernah merasa aman, di manapun dia berada.
"Karena itu, aku mohon Paman jangan kepalang tanggung menolongku. Harap paman dapat mengusahakan agar aku dapat keluar dari daerah ini dengan aman."
Barcan tertawa bergelak, hatinya senang sekali bahwa segala rencananya berjalan dengan baik. Dia bersusah payah menolong pemuda ini memang ada pamrihnya. Bukan hanya susah payah, akan tetapi amat berbahaya. Kalau sampai ketahuan, semua usahanya selama bertahun tahun ini tidak ada artinya!
"Sudah kukatakan tadi, orang muda. engkau tidak mungkin kembali ke selatan, karena di sana engkau akan selalu dikejar kejar. Bukan mustahil karena Hek eng pang juga minta bantuan para pendekar dan tentu hidupmu akan selalu terancam bahaya dan engkau tidak dapat tenang. Jalan satu-satunya adalah pergi ke utara!"
"Ke utara? Di daerah suku-suku bangsa liar?" Dia lalu teringat bahwa penolongnya seorang suku bangsa Mongol maka cepat-cepat disambungnya. "Maaf Paman. Akan tetapi aku harus berbuat apa di utara yang sama sekali asing bagiku?"
"Yeliu Tiong Sin, jangan menganggap bahwa suku-suku bangsa di utara hanyalah suku liar yang bodoh. Kini telah bangkit seorang pemimpin besar yang akan membawa suku Mongol menjadi bangsa yang paling besar di dunia! Kalau engkau suka membantu pemimpin kami kelak engkau akan memperoleh kedudukan tinggi!"
Kemudian Barcan bicara tentang Jenghis Khan. Hati Tiong Sin tertarik sekali dan akhirnya dia pun menyatakan kesediaannya untuk membantu, ”Baiklah, Paman Barcan. Aku akan membantu rajamu, ke dua untuk menyelamatkan diri dari kejaran pemerintah kerajaan Cin, dan ke tiga untuk bisa mendapatkan kemuliaan dengan mengabdikan diriku kepada Raja Jenghis Khan. Akan tetapi ketahuilah, namaku bukan Yeliu Tiong Sin, melainkan Bu Tiong Sin, nama keluarga Yeliu itu hanya kupergunakan agar keluarga Hek-eng-pang tidak mengenal aku sebagai keturunan musuh besarnya."
Tanpa diminta, Tiong lalu bercerita kepada Barcan tentang riwayat dirinya, tentang kedua orang tuanya yang tewas ketika dia masih bayi dan tentang usahanya membalas dendam kepada keluarga Hek-eng-pang. Hati Barcan menjadi semakin girang. Pemuda ini dapat menjadi seorang pembantu yang baik sekali, pikirnya.
"Baiklah kalau begitu memang kita ini sudah saling cocok. Besok pagi-pagi kami akan mengatur agar engkau dapat lolos dari kota ini dan langsung menyeberang ke utara, melewati Tembok Besar. Kami akan mengirim kain-kain dalam peti beberapa besar dan engkau dapat bersembunyi di dalam sebuah di antara peti peti itu. Pemimpin kami sudah membuat persiapan untuk menyerbu ke selatan dan kebetulan sekali engkau menjadi pembantu kami, maka engkau depat membuat jasa."
Pagi itu terjadi kesibukan di rumah Barcan. Sebuah kereta besar dibawa masuk dan empat buan peti besar berisi kain dan barang dagangan lain dinaikkan ke atas kereta. Di tengah-tengah terdapat sebuah peti besar yang kosong dan Tiong Sin disuruh memasuki peti ini yang kemudian ditutup. Akan tetapi peti itu berlubang-lubang kecil dari mana Tiong Sin selain dapat bernapas, juga dapat mengintai keluar.
Barcan sudah bersiap-siap, mengenakan pakaian dengan jubah lebar yang bersih berwarna coklat. Juga dua orang diantara pembantunya yang akan ikut pergi, seorang di antaranya menjadi kusir. Pembantu yang lain tinggal di rumah untuk mengurus perdagangan dan menjaga rumah.
Pada saat mereka siap untuk berangkat, tiba-tiba nampak berkelebat bayangan tiga orang dan di lain saat, di depan kereta yang masih berada di pekarangan dalam itu telah berdiri tiga orang laki-laki yang sikapnya angkuh dan bengis.
"Barcan, kami mendapat tugas untuk memeriksa dan menggeledah seluruh tempat tinggalmu ini, juga isi kereta itu!" bentak seorang di antara mereka.
Tiong Sin yang berada di dalam peti itu terkejut dan dia pun mengintai dari dalam. Melalui lubang-lubang itu, dia dapat melihat dengan jelas. Tiga orang laki-laki yang bertubuh tegap dan sikapnya gagah. Di pinggang mereka tergantung sebatang pedang dengan sarungnya terukir indah, mudah diduga bahwa mereka bukan orang sembarangan.
Melihat betapa mereka muncul dengan gerakan demikian cepat, seperti masuknya tiga ekor burung garuda saja. Dengan jantung berdebar tegang dia mengintai dengan penuh perhatian. Kalau perlu, dia harus keluar dari peti dan membantu Barcan, pikirnya. Dia melihat betapa Barcan bersikap tenang saja.
Orang Mongol itu tadi terkejut melihat munculnya tiga orang itu, akan tetapi dia segera bersikap biasa, nampak terheran dan dia segera menjura kepada mereka. "Ah, kiranya Sam-wi Ciangkun (Tiga Perwira) dari pasukan Bulu Emas yang datang berkunjung!" serunya ramah. "Tentu saja kami tidak berkeberatan kalau Sam-wi hendak melakukan penggeledahan di rumah kami, walaupun semalam sudah digeledah dan kami sendiri ikut membantu. Bukankah Sam-wi masih mencari pemuda yang kabarnya telah mengacau dan melakukan pembunuhan di Hek-eng pang itu?"
"Benar, dan kami memperoleh tugas untuk mencarinya sampai dapat. Karena dia menghilang di daerah ini, maka kami masih mempunyai keyakinan bahwa dia berada di sekitar tempat ini dan besar kemungkinan bersembunyi di dalam rumahmu, saudara Barcan," kata orang pertama dari tiga perwira itu.
Mereka bertiga itu adalah perwira-perwira pasukan Bulu Emas yang amat terkenal. Pasukan berani mati yang rata-rata pandai Ilmu silat, apalagi tiga orang perwiranya, menurut berita,, tiga orang perwira ini memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, Barcan dan para pembantunya kelihatan tenang-tenang saja. Memang, dalam menghadapi bahaya seperti itu, ketenangan merupakan syarat pokok agar dapat melakukan tindakan yang tepat.
"Kalau ada orang bersembunyi di rumah kami, sudah pasti kami akan mengetahuinya, Ciangkun. Akan tetapi kalau Sam-wi Ciangkun menghendaki tentu saja kami tidak berkeberatan kalau Sam-wi melakukan penggeledahan ke dalam rumah. Silakan, Ciangkun. Akan tetapi kami tidak ingin kesiangan. Kami hendak mengirim barang ke utara dan karena tujuan perjalanan kami amat jauh, terpaksa kami akan meninggalkan Sam-wi lebih dahulu. Ada para pembantu kami di rumah, Sam-wi Ciangkun boleh memeriksa sampai di semua sudut. Kami hendak pergi lebih dulu." berkata demikian, Barcan memberi isyarat kepada dua orang pembantunya, lalu dia masuk ke dalam, kereta, diikuti dua orang itu.
Akan tetapi, sebelum kereta itu bergerak, tiga orang perwira sudah melompat ke depan kereta dan pimpinan mereka yang berkumis tebal mengangkat tangannya ke atas. "Saudara Barcan, berhenti dulu! Engkau tidak boleh pergi sebelum kami selesai menggeledah, dan kami pun ingin memeriksa isi kereta itu Apakah isi peti-peti itu?"
Tentu saja Tiong Sin terkejut buka main dan memandang tegang. Agaknya tiga orang perwira itu memang cerdik dan berpengalaman. Akan tetapi dia masih belum mau keluar, ingin melihat bagaimana sikap Barcan. Ketika dia memandang, ternyata Barcan bersikap tenang saja. Dia keluar lagi dari dalam kereta dan dengan lantang dia menjawab,
"Sam-wi Ciangkun sungguh membikin hati kami kesal! Kami tidak pernah mengganggu, mengapa dicurigai? Peti-peti itu adalah dagangan berupa kain-kain, alat dapur dan lain-lain yang akan kami jual ke daerah luar Tembok Besar. Dan biarpun kami pergi, ada para pembantu kami yang menjaga rumah dan Sam-wi boleh saja menggeledah sampai di seluruh kamar. Kami tidak ingin terlambat sampai ke dusun pertama di luar Tembok Besar!"
Si kumis tebal tersenyum mengejek. "Bagaimanapun juga, kami harus lebih dulu memeriksa isi peti-peti itu!"
Berkata demikian, sekali meloncat dia sudah berada di atas kereta dan mulai mengetuk-ngetuk peti paling ujung yang terisi kain. Melihat sikap perwira itu. Barcan maklum bahwa tentu peti yang terisi pemuda itu akan ketahuan, maka dia pun memberi isyarat kepada para pembantunya. Dua orang pembantunya berloncatan ke atas kereta dengan sikap keras mereka itu berkata,
"Ciangkun tidak boleh mengganggu barang kami!" Berkata demikian, mereka mendorong tubuh perwira itu.
Sang perwira berkumis tebal tentu saja terkejut dan marah. Dia meloncat turun lalu mencabut pedangnya. "Huh, kiranya Barcan benar-benar hendak memberontak! Tentu engkau yang menyembunyikan pemuda itu maka kami gagal menangkapnya!"
Barcan sudah memberi isyarat kepada orang-orangnya, dan dua orang pengikut tadi sudah berloncatan turun dari atas kereta, lalu tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerang perwira berkumis tebal dengan golok mereka. Perwira itu marah, menangkis dan balas menyerang sehingga terjadilah perkelahian di pekarangan itu! Pintu pekarangan masih tertutup rapat sehingga kalau ada yang lewat di jalan depan pekarangan, tentu tidak akan melihatnya.
Melihat betapa teman mereka dikeroyok, dua orang perwira lainnya sudah maju dan terjun ke dalam perkelahian menggunakan pedang mereka. Para pembantu Barcan juga sudah berdatangan dan mereka pun terjun mengeroyok. Kini tiga orang perwira itu dikeroyok oleh enam orang pembantu Barcan yang kesemuanya memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi.
Dari dalam petinya, Tiong Sin mengintai. Dia melihat betapa tiga orang perwira itu pandai sekali bermain pedang sehingga biarpun enam orang pengeroyok mereka juga lihai, namun mereka bertiga mampu mempertahankan diri, bahkan pedang mereka bergulung-gulung semakin dahsyat dan mereka mulai mendesak enam orang pengeroyok itu yang mulai mundur.
Selagi Tiong Sin merasa khawatir dan timbul keinginannya keluar dari dalam peti untuk membantu enam orang itu, tiba-tiba dia melihat Barcan mengeluarkan sebuah busur berwarna hitam. Busur ini ukurannya kecil, demikian pula anak panah yang dia pasang pada busur itu. Dengan gerakan cepat sekali, Barcan menarik tali busur, terdengar suara menjepret dan sinar hitam meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah mereka yang sedang berkelahi.
Terdengar pekik dan seorang perwira terpelanting roboh, disusul bacokan dan tusukan golok para ngeroyoknya sehingga dia tewas seketika. Masih dua kali lagi busur itu menjepret, dua kali sinar hitam meluncur dan dua orang perwira yang lain juga terjungkal dan menjadi korban tusukan dan bacokan golok para pengeroyok mereka.
Tiong Sin kagum bukan main. Kiranya Barcan memiliki ilmu memanah yang amat lihai. Dan dia melihat betapa Barcan memerintahkan para pembantunya untuk cepat mengubur tiga jenazah itu ke dalam kebun mereka yang cukup luas sedangkan dia sendiri bersama dua orang pembantunya, melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda tadi dengan sikap tenang.
Perjalanan kereta itu ternyata tidak menemui halangan lagi. Para petugas jaga di pintu gerbang kota maupun para penjaga di perbatasan, mengenal Barcan dengan baik dan mereka semua percaya kepadanya yang sudah seringkali keluar masuk perbatasan membawa barang dagangan. Apalagi karena Barcan amat royal dengan hadiah-hadiahnya. Selagi para penjaga di perbatasan mendapatkan hadiah berharga darinya setiap kali dia lewat dengan barang dagangannya.
Demikianlah, dengan mudah Tiong Sin diselundupkan keluar perbatasan dan pemuda ini melanjutkan perjalanan dengan berkuda setelah lewat perbatasan, mengikuti Barcan yang membawanya menghadap pemimpinnya, yaitu Jenghis Khan yang sudah membuat persiapan untuk menyerbu ke selatan!
Jenghis Khan yang pandai sekali mempergunakan orang-orang yang dapat berguna bagi pemerintahannya, menerima Tiong Sin dengan girang. Dia sama sekali tidak tahu bahwa pemuda yang menurut Barcan memiliki ilmu silat tinggi ini adalah murid dan anak angkat Yeliu Cutay, dan bahkan pemuda itu menjadi pemilik Pedang Asmara yang tadinya menjadi miliknya.
Barcan sendiri membuat laporan tentang keadaan di kota Wang-cun, tentang kekuatan pasukan yang berjaga di perbatasan, bahkan dia telah berhasil membuat peta perbatasan sampai ke jalur yang menuju ke kota raja Kerajaan Cin. Tentu saja Jenghis Khan menjadi girang bukan main dan mulailan raja baru ini mempersiapkan pasukan untuk nemulai dengan gerakan besar besaran yang sudah lama direncanakan, yaitu penyerbuan ke selatan, ke sebelah dalam Tembok Besar!
Jenghis Khan menjalankan siasat yang amat cerdik. Diam-diam kekuatannya menjadi semakin besar, kekuasaannya kini meliputi seluruh daerah utara. Suku-suku bangsa yang tadinya berdiri sendiri dan tidak pernah mau tunduk, diserangnya dan dia memaksa mereka itu tunduk dan menyerah kepadanya.
Tak lama kemudian, tidak ada lagi suku bangsa yang berani menentangnya Dan Jenghis Khan pandai mengambil hati mereka. Dia tidak mau membeda-bedakan antara para suku bangsa, tidak mau merendahkan yang satu dan mengangkat yang lain. Tidak mengherankan kalau suku bangsa yang tadinya terkenal, semua menggabungkan diri dengan pasukan Jenghis Khan.
Suku bangsa Uigur yang terkenal memiliki banyak ahli pikir yang pandai dan bijaksana, suku bangsa Karait yang terkenal setia, suku bangsa Yakka Mongol yang gagah perkasa dan tahan uji, suku bangsa Tartar yang terkenal keras dan ganas, suku bangsa Merkit yang berhati baja, pendeknya seluruh suku bangsa yang besar maupun yang kecil, akhirnya menggabungkan diri dengan pasukan Jenghis Khan, mengakui Jenghis Khan sebagai pemimpin besar mereka.
Jenghis Khan bersikap adil, akan tetapi juga keras. Dia menciptakan hukum tertentu yang keras, sebagai pengganti hukum rimba yang berlaku di antara suku-suku bangsa liar itu. Dia memberikan hukuman mati terhadap kejahatan-kejahatan seperti mencuri, memperkosa, apalagi merampok dan mencuri kuda.
Dia melarang perkelahian antara suku, melarang anak tidak patuh kepada orang tuanya, melarang suami bersikap kejam dan sewenang-wenang kepada isterinya dan mengancam hukuman berat bagi isteri yang melakukan penyelewengan. Dia mengharuskan si kuat membantu lemah, si kaya membantu si miskin, orang-orang menghormati atasannya.
Semenjak Jenghis Khan menjadi raja atau pemimpin besar, mulailah diadakan penertiban dalam kehidupan para suku bangsa yang sebagian besar terdiri suku perantauan itu. Jenghis Khan bukan hanya mengadakan penertiban ke dalam akan tetapi juga mengatur rencana jangka panjang untuk memenuhi cita-citanya yaitu mengangkat bangsa Mongol menjadi bangsa yang besar dan jaya, yang kelak akan menguasai dunia.
Dia menyebar orang-orang kepercayaannya menyusup ke dalam Tembok Besar, menjadi mata-mata yang menyamar sebagai pedagang. Dia bahkan mengadakan hubungan baik dengan Negara Cin yang besar, bahkan tidak segan-segan membantu Kerajaan Cin ketika kerajaan itu diganggu dan dirongrong oleh suku bangsa di perbatasan. Jenghis Khan mengirim pasukannya untuk membantu Kerajaan Cin, mengusir para pengacau. Maka, Kerajaan Cin juga tidak pernah menaruh kecurigaan terhadap pemimpin besar bangsa Mongol di utara itu.
Pada jaman itu, negara di sebelah selatan Tembok Besar disebut Negeri Kathai, dan bangsa yang tinggal di selatan Tembok Besar merupakan bangsa yang sudah jauh lebih maju dibandingkan dengan mereka yang tinggal di Gurun Go-bi, di luar Tembok Besar. Kebudayaan mereka berkembang sejak ribuan tahun dan mereka membangun kota-kota yang besar.
Keadaan kehidupan bangsa di sebelah selatan Tembok Besar ini sungguh jauh berbeda dibandingkan dengan kehidupan bangsa Mongol dengan banyak macam suku bangsa lainnya di utara itu. Mereka itu terdiri dari kaum bangsawan, yaitu keluarga kaisar, lalu para pejabat yang tinggi sampai yang rendah, para perajurit dan perwiranya, kaum terpelajar yang menyebut diri mereka sastrawan dan filsuf, ada pula petani, pengemis dan budak-budak belian.
Mulai permulaan abad ke tiga belas, yang berkuasa di Kathai adalah Wangsa Cin (Emas) dan istana kaisar berada di Yen-king (dekat Peking). Karena merasa dirinya kuat, maka kaisar Kerajaan menjadi lengah dan para pejabat tinggi hanya tenggelam ke dalam kesenangan dan kemuliaan. Mereka merasa kuat dengan pasukan yang besar.
Apalagi ancaman satu-satunya yang mungkin datang dari utara, sudah tidak ada, melihat betapa bangsa Mongol yang kini merupakan suku bangsa terkuat di utara, bersikap baik dan bersahabat, bahkan mau membantu menindas suku-suku bangsa lain di perbatasan yang memberontak.
Ketika Kerajaan Cin menyerang musuh lamanya, yaitu Kerajaan Sung di selatan, Jenghis Khan juga menawarkan bantuannya. Memang dia amat cerdik. Selain ingin mengambil hati Kaisar Kerajaan Cin dan membuat kerajaan itu lengah terhadap ancaman yang datang darinya, juga dia ingin agar pasukan intinya memperoleh pengalaman di selatan dan dapat melihat bagaimana keadaan pasukan Kerajaan Cin, kekuatan dan kelemahannya.
Maka, Jenghis Khan lalu mengirim pasukan berkuda yang cekatan trampil, dibawah pimpinan beberapa orang panglimanya yang pandai, dikepalai oleh panglimanya yang dipercaya dan cakap, yaitu Chepe Noyon. Panglima ini memang gagah perkasa, menunggang seekor kuda tinggi besar dengan pakaian baju perang disepuh perak, kedua kakinya mengenakan sepatu yang dihias bulu biruang putih.
Pasukan Jenghis Khan ini dengan gagah perkasa membantu pasukan Kerajaan Cin menyerang Kerajaan Sung di selatan dan di samping itu, para panglimauya mempelajari keadaan Negara Kathai sehingga ketika mereka kembali ke Gurun Go-bi, mereka sudah memperoleh gambaran yang cukup jelas dari kerajaan di sebelah Selatan Tembok Besar itu.
Semua pengalaman ini ditambah dengan pekerjaan para mata-mata yang disebar selama beberapa tahun di negara itu, maka matanglah sudah rencana Jenghis Khan untuk memulai dengan penyerbuannya ke selatan.
Telah menjadi kebiasaan sejak dahulu kala, kaisar dari kerajaan besar selalu menuntut upeti dari raja-raja dan penguasa kerajaan atau pemerintah lain yang telah ditundukkannya atau yang telah mengakui kedaulatannya. Upeti itu merupakan tanda takluk, dan biasanya merupakan pengiriman barang-barang berharga setahun sekali.
Demikian pula dengan Kerajaan Cin yang menuntut upeti dari daerah-daerah yang mereka tundukkan, dan dari para kepala kelompok atau kepala suku yang mengakui kedaulatan dan kekuatan Kerajaan Cin. Menolak pembayaran upeti dapat dianggap mengambil sikap bermusuhan, atau dianggap menentang dan akibatnya biasanya lalu pengiriman pasukan dari raja yang berkuasa untuk menundukkan mereka yang menolak pembayaran upeti itu.
Namun, Jenghis Khan selalu mengabaikan pembayaran upeti ini! Karena beberapa kali dia mengirim pasukan untuk membantu Kerajaan Cin, maka kaisar juga tidak mengambil tindakan, bahkan pernah Jenghis Khan menerima hadiah barang-barang indah dari Kaisar Kerajaan Cin, dan dia pun diberi julukan Panglima Penunduk Pemberontak! Hal itu terjadi ketika Jenghis Khan membantu Kerajaan ini membasmi para pemberontak di perbatasan.
Ketika Kaisar Kerajaan Cin meninggal dunia, seorang puteranya diangkat untuk menjadi kaisar baru. Puteranya itu berjuluk Wai Wang bertubuh jangkung dan berjenggot panjang, dan ketika masih menjadi pangeran, Wai Wang suka sekali berburu binatang ke hutan-hutan dan suka pula melukis. Begitu dia duduk di singgasana dan menjadi kaisar dari Negara Cin, Wai Wang lalu memeriksa daftar raja-raja muda yang penguasa yang dianggap bawahan Kerajaan Cin.
Lalu dia mengirim utusan-utusan untuk mengunjungi daerah-daerah itu, pertama untuk menyampaikan pengumuman tentang pengangkatan dirinya menjadi kaisar baru Kerajaan Cin, ke dua untuk menuntut pengiriman upeti dari mereka. Nama Jenghis Khan termasuk pula dalam daftar itu, maka pada suatu hari, seorang perwira mengunjungi Jenghis Khan, membawa sepucuk surat dari Kaisar Wai Wang yang baru.
Biasanya, seorang utusan kaisar yang membawa surat kaisar diterima dengan penuh penghormatan, dan surat dari kaisar itu harus diterima sambil berlutut oleh raja muda yang dianggap bawahan kaisar. Namun, Jenghis Khan tidak mau berlutut dan menerima surat dari Kaisar Wai Wang sambil berdiri saja. Bahkan di tidak menyerahkan surat itu kepada juru bahasanya untuk dibacakan dan diterjemahkan, melainkan dengan sikap angkuh dia melempar surat itu ke atas meja dan ditatapnya wajah utusan Kaisar Kerajaan Cin itu dengan sikap garang.
"Hemmm, Kerajaan Cin telah mempunyai seorang kaisar baru, ya? Siapa nama kaisarmu yang baru itu?" tanyanya tanpa banyak basa-basi dan sopan santun Perwira itu adalah seorang utusan kaisar, dan sebagai seorang utusan kaisar tentu saja dia seorang yang gagah perkasa dan dia sadar akan kemuliaan tugasnya yang amat terhormat.
Melihat sikap Jenghis Khan, dia merasa tidak senang sekali. Akan tetapi, dia hanya datang dengan pasukan pengawal yang berjumlah selosin orang, dan dia berada di tengah-tengah bangsa Mongol yang amat besar jumlahnya dan amat kuat. Maka, sambil berdiri tegak dia menjawab, "Kaisar kami yang mulia bernama Wai Wang!"
Jenghis Khan sudah mengenal siapa kaisar baru itu. Seorang pangeran yang tidak pandai menunggang kuda sambil melepas anak panah, tidak pandai mempergunakan golok atau pedang. Maka, dia pun tertawa mengejek, sama sekali tidak mau memberi hormat ke arah selatan, dan dia berkata dengan suara menghina.
"Huh, aku mendengar bahwa yang menjadi kaisar adalah putera dewa yang gagah perkasa. Tidak tahunya hanya seorang manusia tolol seperti dia!" Lalu dia meloncat ke atas kudanya dan menoleh kepada para pembantunya, berkata, "Sediakan hidangan dan tempat mengaso bagi para tamu ini!" Kemudian Jenghis Khan meninggalkan tamu-tamu itu tanpa bicara lagi. Sikap ini sudah jelas! Menentang kekuasaan kaisar baru dari Kerajaan Cin!
Malam itu Jenghis Khan mengundang semua kepala suku yang menjadi bawahannya, semua panglimanya, dan para sekutunya, di antara mereka adalah kepala dari suku Uigur dan suku Turki, dia menjamu mereka dan mengadakan perundingan...