Pedang Asmara Jilid 16

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pedang Asmara Jilid 16
Sonny Ogawa

Pedang Asmara Jilid 16 karya Kho Ping Hoo - MARAHLAH dua orang gadis kembar itu. Singgg! Mereka telah mencabut pedang masing-masing, melompat dekat dan menghardik. "Jahanam, apa yang kau lakukan ini?"

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Tiong Sin yang sedang diayun kepuasan dan hampir lelap itu, terkejut sekali. Juga Puteri Maimi terkejut dan membuka mata. Tiong Sin keluar dari bawah selimut dan meloncat dengan pedang di tangan. Melihat pemuda itu sama sekali tidak berpakaian, dua orang gadis kembar itu menjadi tersipu, akan tetapi kemarahan mereka meluap dan tanpa mempedulikan keadaan pemuda itu, mereka pun menyerang dengan pedang mereka.

"Trang-trang.....”

Nampak api berpijar dan dua orang gadis itu terpekik kaget karena pedang mereka buntung begitu bertemu dengan pedang pemuda itu dan sebelum mereka dapat mengelak.dua kali tungan kiri Tiong Sin bergerak mereka sudah roboh lemas tertotok!

"Hemmm, kalian datang juga? Baik mari temani kami bersenang-senang manis!"

Tiong Sin menarik mereka ke bawah selimut, kemudian perlahan-lahan dia membebaskan totokan mereka dan seperti diduganya, mereka pun sudah dicengkeram pengaruh aneh yang keluar dari Pedang Asmara dan dua orang gadis ini tanpa malu-malu lagi, menyerahkan diri bulat bulat, bahkan dengan suku rela seperti yang telah dilakukan Puteri Maimi!

Sungguh sukar dipercaya kalau nafsu sudah mencengkeram manusia, maka manusia menjadi lupa segalanya, seperti mabuk, seperti gila! Tiga orang gadis yang selama hidupnya belum pernah berhubungan dengan pria, kini menjadi tiga orang wanita yang sama sekali tidak mengenal rasa malu, melebihi tingkah pelacur-pelacur saja!

Sungguh aneh dan menyedihkan! Memang, kalau manusia sudah menjadi hamba nafsu, maka apa pun akan dilakukannya, sehingga kadang-kadang manusia bahkan nampak lebih rendah daripada binatang sekalipun! Manusia dapat melakukan segala macam kekejian, segala macam kejahatan yang paling kejam, segala macam maksiat yang paling kotor dan hina, kalau dia sudah menjadi permainan nafsu!

Nafsu harusnya menjadi alat manusia hidup, menjadi hamba yang melayani, itulah tempat dan tugas nafsu yang tepat. Namun, sekali kita membiarkan dia berkuasa, menjadi majikan, maka dia akun menyeret kita ke lembah kehinaan, kedukaan dan kesengsaraan. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu menempatkan nafsu di tempat yang sewajarnya.

Dan kekuasaan Tuhan bekerja dengan sempurna dalam diri kita kalau kita menyerah penuh ketawakalan, keikhlasan dan keimanan. Kekuasaan Tuhan sejalan yang akan membuat jiwa kita bangkit dan menduduki singgasana yang menjadi haknya, sedangkan nafsu yang tadinya merampas singgasana akan menyisih dan duduk di samping sebagai yang patuh dan setia!

Tiga orang gadis itu seperti mimpi. Mimpi yang penuh dengan madu asmara, yang membuat mereka mabuk kesenangan dan kepuasan. Setelah mempermainkan mereka itu sepuas hatinya, Tiong Sin lalu bangkit dan mengenakan kembali pakaiannya, tersenyum puas dan penuh ejekan, dan dia berkata.

"Kita melakukan ini bersama dengan suka rela. Oleh karena itu, aku percaya bahwa kalian tidak akan membocorkm rahasia yang hanya akan mendatangkan aib kepada kalian sebagai perawan perawan terhormat, dan kuharap kalian tidak akan mengganggu kalau besok kami menghadap Pangeran Pang Sun." Setelah berkata demikian, sambil membawa Pedang Asmara, Tiong Sin berkelebat dan lenyap ditelan kegelapan malam.

Setelah pemuda itu pergi dan Pedang Asmara yang dibawa pemuda itu tidak lagi mempengaruhi mereka, tiga orang gadis itu seperti baru sadar dari mimpi. Mereka seketika sadar dan teringat seperti orang tidur diguyur air dingin. Mula mula Puteri Maimi yang terbelalak melihat kepada tubuhnya sendiri yang tak berpakaian, lalu meledaklah tangisnya!

"Apa yang kulakukan ini......? Apa yang telah kulakukan ini.....?" jeritnya dan suara tangisnya segera disambung oleh jerit tangis Siauw Cin dan Siauw Lin! Tiga orang gadis itu bertangisan dan mereka sampai sesenggukan seperti anak kecil sambil mengenakan lagi pakaian masing masing.

Setelah berpakaian, tiba tiba Siauw Lin menyambar pedangnya dan ia menjerit. "Tiada gunanya lagi hidup di dunia ini....." Dan pedangnya yang tinggal sepotong itu diarahkan ke lehernya.

"Plakkk!" Siauw Cin menubruk dan menangkap lengannya. "Lin moi... jangan... ah, jangan.....!"

"Lepaskan aku. enci Cin, lepaskan aku... hu-huuu... lebih baik aku mati saja...."

"Adikku... jangan, aduh, jangan kau nekat begitu Lin moi....." Siauw Cin merampas pedang dan menggeluti adiknya sambil menangis. Akhirnya Siauw Lin tidak meronta lagi dan balas merangkul kakaknya sambil menangis. Kembali mereka bertangis tangisan.

Puteri Maimi yang lebih dahulu dapat menguasai dirinya. "Jahanam keparat! Dia... dia.... iblis jahat! Tentu dia telah menggunakan ilmu sihir terhadap kita. Sudahlah, kalian jangan menangis lagi. Ingat, urusan ini hanya kita bertiga yang mengetahui. Kita harus menjaga agar jangan sampai ada orang lain mengetahuinya. Akan hancurlah nama baik kita dan keluarga kita kalau sampai ada orang lain mengetahuinya."

"Tapi..... tapi, nona Maimi. Tanpa ada orang lain mengetahuinya kita sudah rusak binasa..... bergelimang aib... ya Tuhan, apa yang harus kami lakukan.....?" Siauw Lin mengeluh.

"Aku tahu, kita telah tertimpa aib dan malapetaka yang amat hebat. Akan tetapi apa pun yang terjadi, hal itu telah lewat, telah terjadi dan kalau sampai ada orang lain mengetahuinya, kita akan menderita lebih hebat lagi. Maka, kita harus tabah dan sadar, harus ingat bahwa pertama kali yang dapat kita lakukan, adalah menyimpan ranasia ini.

Baru nanti kita pikirkan lebih lanjut apa yang seharusnya kita lakukan. Nah, hapus air mata kalian, bersikaplah biasa dan kita kembali ke perkemahan sebelum mereka itu tahu apa yang terjadi."

Dua orang gadis kembar itu menyadari akan benarnya ucapan puteri itu. Biarpun mereka merasa betapa jantung mereka seperti diremas dan setiap kali teringat akan nasib mereka, air mata sudah memenuhi sepasang mata yang panas, namun mereka menahan diri. Setelah membereskan pakaian dan rambut mereka bertiga lalu kembali ke perkemahan.

Waktu itu, sudan terdengar kokok ayam hutan. Pagi sudah menjelang tiba dan dua orang gadis Liao-tung masih tidur nyenyak. Bukan salah mereka karena memang hawa udara dingin sekali dan tanpa digugah, sukar bagi orang yang sudah tidur pulas dapat bangun sendiri sebelum malam lewat.

Setelah sinar .matahari mengusir kabut pagi, barulah dua orang gadis itu bangun. Mereka terkejut sekali melihat bahwa malam telah lewat dan dengan khawatir mereka melihat betapa Puteri Maimi telah bangun dan telah menghadapi api unggun bersama Siauw Cm dan Siauw Lin untuk mencari kehangatan karena udara pagi itu juga masih amat dingin.

"Siauw Cin dan Siauw Lin, kenapa tidak menggugah kami?" Mereka menegur dan memandang kepada sang puteri dengan sikap takut-takut.

"Kami tidur nyenyak dan tanpa digugah, kami tidak dapat bangun sendiri dan tanu-tahu sekarang sudah pagi!"

Siauw Cin dan Siauw Lin sudah dapat menguasai dirinya. Akan tetapi Siauw Lin tidak berani membuka suara karena ia tahu bahwa suaranya tentu akan terdengar lain. Siauw Cin yang lebih tabah segera menjawab sembarangan. "Tidak mengapa! Kami lebih enak dekat api unggun dan kami tidak mengantuk."

Puteri Maimi juga bersikap tenang, bahkan suaranya tidak membuka rahasia keadaan hatinya ketika ia berkata tenang. "Sudahlah, lebih baik kalian cepat bongkar tenda dan membuat persiapan karena kita akan segera berangkat pulang. Karena Siauw Cin dan Siauw Lin sudah berjaga semalam, biarkan mereka beristirahat dan kalian yang bekerja!"

Dua orang gadis Liao-tung itu girang banwa nona mereka tidak memarahi mereka, dan dengan gembira mereka lalu melakukan pekerjaan membongkar tenda yang cukup berat itu. Tenda dibongkar digulung dan dimuatkan pada kuda mereka dan dua orang gadis itu lalu mempersiapkan lima ekor kuda mereka.

Setelah semua selesai, mereka berlimapun menunggang kuda masing-masing meninggalkan tempat itu. Puteri Maimi dan dua orang gadis kembar itu membiarkan dua orang gadis Liaotung melarikan kuda di depan agar tidak melihat keadaan mereka bertiga yang harus menahan derita badan dan batin akibat peristiwa terkutuk semalam.

Puteri Maimi adalah seorang gadis yang tabah dan tenang di samping ia juga cerdik. Bagi gadis lain, malapetaka yang menimpa dirinya malam itu tentu akan menghancurkan segalanya. Namun, ia tidak mau tenggelam dalam kedukaan. Ia memutar pikirannya dan mencari akal bagaimana ia harus bertindak demi mengatasi masalan rumit yang telah menimpa dirinya. Ia tidak sudi minta pertanggungan jawab Bu Tiong Sin.

Tidak, ia tidak sudi menjadi isteri seorang pemuda seperti itu. Pemuda yang sama sekali tidak mengenal susila, yang memperlakukan tiga orang perawan seperti benda benda permainan belaka, sebagai pemuas nafsunya. Ia tidak dapat menduga ilmu apa yang dipergunakan pemuda itu sehingga ia sendiri dan dua orang gadis kembar itu demikian mudah menyerahkan diri, bahkan demikian tidak tahu malu, seolah-olah mengeroyok pemuda itu dengan limpahan nafsu cinta mereka.

Akan tetapi yang jelas baginya bahwa pemuda itu bukan orang baik-baik! Dan ia tidak sudi menjadi isterinya! Ia harus mengambil jalan lain untuk membalas dendam. Lalu ia teringat kepada Yuci. Memang sejak pemuda Mongol itu memperlihatkan kehebatannya dalam ilmu memanah, hatinya sudah tertarik sekali Ia harus dapat menjadi Isteri Yuci, pemuda jagoan Mongol itu. Dan kelak melalui Yuci ia mengharapkan agar dapat membalas dendamnya terhadap Tiong Sin.

Gadis ini mulai mengatur siasat yang halus. Begitu tiba di rumah orang tuanya Maimi menghadap ayahnya dengan sikap biasa sehingga sang ayah sama sekali tidak menaruh curiga. Pangeran Pang Sun amat mencinta puterinya. Biarpun puterinya pergi sampai bermalam, dan tadi dia sudah siap menegurnya, begitu melihat gadis itu muncul, semua kata-kata kemarahan tertelan kembali dan dia menyambut puterinya itu dengan senyum gembira.

"Hai, ke mana saja engkau pergi. Aku sampai merasa khawatir karena engkau semalam tidak pulang." Hanya itulah tegurannya yang sama sekali bukan merupakan teguran kemarahan.

Dengan manja Maimi lalu menghampiri ayahnya dan merangkul pundak ayahnya. "Maaf, Ayah. Kami kemalaman dan terpaksa mendirikan tenda untuk melewatkan malam. Kami mendapatkan seekor rusa muda dan semalam kami makan daging rusa, enak sekali!"

"Hemmm, datang-datang hanya pamer makanan enak. Kenapa tidak sebagian kau bawa pulang?" tegur ibunya.

Maimi merangkul ibunya sambil tertawa. "Ayah dan Ibu, tadinya memang sebagian daging panggang itu akan kami bawa pulang. Akan tetapi semalam kami mendapatkan dua orang tamu dan terpaksa kami ajak mereka makan bersama sehingga daging itu habis sama sekali!"

"Ehhh? Ada dua orang tamu ikut makan malam dengan kalian berlima?" tanya Pangeran Pang Sun sambil mengerutkan alisnya dan memandang puterinya dengan sinar mata tajam. "Siapakah mereka?"

Di sini Maimi mulai bersiasat. Kedua pipinya menjadi kemerahan, dan ini bukan karena pandainya ia bersandiwara. Ia mengingat peristiwa semalam dan otomatis kedua pipinya menjadi merah sekali. Hal ini ia pergunakan untuk mengatur siasatnya. "Tentu Ayah tidak akan dapat menduga siapa mereka. Mereka adalah orang-orang penting sekali yang hari ini pun akan menghadap Ayah."

"Hemmm, siapakah mereka? Engkau membuat aku menjadi ingin tahu sekali. Maimi, katakan, siapa mereka?"

"Mereka adalah dua orang yang gagah perkasa, yang seorang adalah orang Han nama keturunannya Bu dan dia ahli bermain pedang sehingga ketika kami mengujinya, Siauw Cin dan Siauw Lin yang mengeroyoknya dengan pedang di tangan dia kalahkan dengan sebatang ranting saja. Akan tetapi orang ke dua amat hebat, Ayah. Dia begitu gagah perkasa! dia seorang pemuda Mongol....."

"Seorang Mongol?" Pangeran Pang Sun berseru kaget. Dia tidak membenci orang Mongol, akan tetapi khawatir karena pada waktu itu, orang Mongol menjagoi di seluruh Gurun Go-bi, bahkan dia menganggap orang Mongol sebagai ancaman bagi Liao-tung.

"Dia bukan orang Mongol biasa, Ayah. Dia hebat. Bayangkan saja. Sekali melepaskan dua batang anah panah, dia menjatuhkan dua ekor burung yang tepat tertusuk pada leher dan pada sayapnya."

"Hemmm, apakah karena mereka itu orang-orang pandai lalu kalian gadis-gadis ini mengundangnya makan malam bersama?" Pangeran Pang Sun tidak terlalu menyalahkan kalau puterinya makan bersama tamu pria yang baru dikenalnya, akan tetapi tanpa alasan yang kuat tentu saja dia merasa tidak puas.

"Bukan hanya karena kegagahan mereka, Ayah. Melainkan karena mereka itu hari ini akan menjadi tamu Ayah, tamu agung. Mereka adalah utusan Jenghis Khan.”

"Ahhh.....!" Pangeran Pang Sun benar-benar terkejut bukan main. "Kau bilang mereka hendak datang berkunjung? Apakah mereka membawa pasukan besar?" Dia khawatir kalau-kalau pasukan Mongol itu akan melakukan serangan.

"Tidak, sama sekali tidak, Ayah. Jangan khawatir. Mereka itu beriktikad baik. Mereka hanya membawa pasukan sebanyak puluhan orang untuk membawa barang-barang hadiah dan mengawal dua orang utusan itu. Mereka diutus untuk menghadap Ayah, karena Jenghis Khan bermaksud mengajak Ayah untuk bersahabat. Dia mengirim barang-barang hadiah dan dua orang utusan itu hebat sekali, Ayah. Terutama..... eh, perwira Mongol yang muda itu. Namanya Yuci....."

Menyebut nama ini, Maimi memasang gaya tersipu-sipu dan tersenyum sambil melirik ibunya. Tentu saja ayah dan ibunya itu dapat mengerti isyarat ini dan mereka pun saling pandang dengan penuh arti. Puteri mereka pun agaknya tertarik dan jatuh cinta kepada pemuda Mongol yang menjadi utusan Jenghis Khan dan bernama Yuci itu! Tentu saja, sebagai utusan Jenghis Khan, Yuci pantas untuk menjadi suami Maimi.

Apalagi Pangeran Pang Sun sudah pernah mendengar nama Yuci yang cukup terkenal itu sebagai putera panglima besar Chepe Noyon orang kepercayaan Jenghis Khan. Hanya, dia sendiri belum pernah melihat bagaimana wajah orang muda itu. Sama sekali ayah dan ibu ini tidak tahu bahwa biarpun di dalam lubuk hatinya ia telah tertarik kepada Yuci sejak pertemuan pertama.

Namun sekali ini semua sikapnya itu adalah permainan sandiwara! Ia bersikap demikian agar jelas bagi ayah ibunya bahwa ia ingin dijodohkan dengan Yuci! Dan semua ini karena siasatnya untuk kelak membalas dendam kepada Tiong Sin lewat Yuci! Setelah bercerita tentang pertemuannya dengan dua orang utusan Jengnis Khan, Maimi cepat lari ke kamarnya, membiarkan ayah dan ibunya mengambil kesimpulan sendiri tentang sikapnya itu.

Dan memang, seperti telah diharapkannya, ayah dan ibunya saling pandang sambil tersenyum ketika puteri mereka lari ke kamar. Sudah berulang kali Maimi dilamar orang, akan tetapi gadis itu selalu menolak, padahal usianya sudah delapan belas tahun. Dan mereka selalu merasa khawatir kalau puteri mereka itu berkeliaran memburu binatang sampai jauh.

"Agaknya anak kita sudah menjatuhkan pilihan hatinya," kata Pangeran Pang Sun sambil mengelus jenggotnya.

"Mudah-mudanan begitu, dan mudah mudahan pilihannya itu tepat." kata isterinya.

"Aku pernah mendengar nama Yuci itu. Ayahnya, Chepe Noyon, adalah seorang yang berkedudukan tinggi dalam Kerajaan Mongol yang dibangun oleh Jengnis Khan. Kelak Yuci itu tentu akan menjadi orang besar. Kita sama lihat saja nanti kalau dia sudah menghadap, kalau memang dia seorang pemuda yang baik, apa salahnya puteri kita berjodoh dengan seorang panglima Mongol."

Tidak lama kemudian, para penjaga datang melapor banwa dari Mongol datang dua orang utusan denganpasukan pengawalnya, membawa barang-barang hadiah dari Jenghis Khan dan dua orang utusan itu mohon menghadap Pangeran Pang Sun. Pangeran Pang Sun memang sudah melakukan persiapan sejak diberi tahu puterinya. Diam-diam dia mengerahkan pasukannya berjaga-jaga, bukan untuk menjaga kemungkinan buruk melainkan untuk pamer kekuatan!

Dia dapat menduga bahwa Jenghis Khan yang mengajak bekerja sama itu tentu ada hubungannya dengan penyerangan kepada suku bangsa lain, maka untuk mengangkat harkat dirinya, dia mengerahkan pasukannya bersenjata lengkap untuk pamer kekuatan agar para utusan Jenghis Khan dapat mengabarkan kepada Raja Mongol itu bahwa suku Liao-tung bukanlah kelompok suku yang lemah!

Oleh karena itu, ketika Yuci dan Bu Tiong Sin dipersilakan memasuki perkampungan Liao-tung, bersama pasukan mereka yang kecil, mereka terkejut dan terkagum-kagum melihat betapa perkampungan itu penuh dengan barisan yang nampak kuat, bersenjata lengkap dan semua perajuritnya nampak kokoh kuat dan gagah perkasa!

Ratusan orang banyaknya, bahkan mungkin lebih dari seribu orang, seolah-olah suku Liao-tung sudah siap siaga menghadapi perang besar! Mau tidak mau, hati kedua orang muda perkasa ini merasa gentar juga. Kalau sampai pihak tuan rumah menghendaki, mereka berdua dan pasukan mereka tentu tidak akan mampu melindungi diri mereka dan yang pulang ke Mongol hanya tinggal nama mereka!

Dengan pakaian kebesaran yang mewah, Pangeran Pang Sun menanti rombongan itu di ruangan depan. Yuci dan Tiong Sin berjalan perlahan sambil mengagumi barisan suku Liao-tung, ada barisan berkuda, ada yang semua membawa busur, pasukan tombak, pasukan golok, pasukan pedang, semua teratur rapi.

Setelah tiba di ruangan di mana Pangeran Pang Sun dan para panglimanya menanti dengan penuh kehormatan dan juga penuh kemegahan, Yuci dan Tiong Sin memberi hormat. Yuci sebagai kepala rombongan yang sudah berpengalaman memimpin rombongannya. Dia menyuruh pasukan pengawalnya menanti di luar, kemudian bersama Tiong Sin dia masuk dan memberi hormat kepada Pangeran Pang Sun.

Cukup sopan, akan tetapi tidak terlalu merendahkan diri karena dia adalah utusan seorang raja di raja besar yaitu Jenghis Khan! Setelah memberi penghormatan secara perajurit, dengan menekuk sebelah lututnya yang di turut oleh Tiong Sin, dia berdiri lagi lalu ber kata dengan suara lantang.

"Yang mulia raja kami Jenghis Khan mengirim salam persahabatan kepada Pangeran Pang Sun dari suku Liaotung yang gagah perkasa, dan sebagai tanda persahabatan, Yang Mulia Jenghis Khan mengirim pula barang hadiah, harap paduka Pangeran sudi menerimanya!" Yuci bertepuk tangan tiga kali dan masuklah enam orang perajurit pengawalnya menggotong tiga buah peti yang diletakkan di atas lantai di depan Pangeran Pang Su yang duduk ditemani isterinya.

Puteri Maimi tidak menampakkan diri karena ia khawatir kalau tidak akan mampu menahan perasaannya kalau melihat pemuda yang telah menghancurkan kebahagiaannya, yaitu Bu Tiong Sin. Juga Siauw Cin dan Siauw Lin tidak nampak di luar istana pangeran tadi. Mereka menyembunyikan diri dalam rumah orang tua mereka.

Ketika tiga buah peti dibuka, para panglima pembantu Pangeran Pang Sun mengeluarkan seruan tertahan karena kagum melihat isi tiga buah peti itu. Emas permata, sutera halus, bulu biruang putih, dupa-dupa harum! Barang-barang yang amat langka dan amat berharga. Tentu saja Pangeran Pang Sun merasa girang, akan tetapi dia tidak memperlihatkan kegirangan hatinya dan memerintahkan pengawal-pengawalnya untuk membawa tiga peti itu ke dalam, diikuti oleh isterinya yang akan mengawasi dan juga akan mengagumi barang-barang itu.

"Kami berterima kasih atas kebaikan hati Jenghis Khan, salamnya kami terima dan sebaliknya kami menyampaikan hormat dan salam kepada raja besar di utara itu. Sekarang, harap sampaikan pesan apa saja yang dikirimkan Jenghis Khan kepada kami. Untuk itu, kami persilakan ananda utusan berdua untuk bicara di ruangan dalam."

Kini mereka bicara bertiga saja karena Pangeran Pang Sun tidak menghendaki para panglimanya mendengarkan. Kelak dia yang akan menceritakan kepada mereka. Setelah Yuci dan Tiong Sin dipersilakan duduk dan anggur dan sekedar makanan kering dihidangkan, Pangeran Pang Sun lalu menyuruh semua pengawal dan pelayan untuk keluar dari ruangan dan dia lalu minta kepada Yuci untuk menyampaikan pesan Jenghis Khan kepadanya.

Dengan terus terang Yuci menceritakan tentang keadaan kerajaan di utara yang dipimpin Jenghis Khan. Betapa seluruh suku di utara telah berlindung bawah panji Jenghis Khan dan semua kelompok suku telah bersatu.

"Sudah tiba masanya menurut raja besar kami untuk menyerang Kerajaan Cin di selatan Tembok Besar. Mengingat bahwa Paduka memimpin suku Liao-tung yang juga dimusuhi oleh Kerajaan Cin maka raja kami menganggap Paduka sebagai rekan dan sekutu. Maka, raja kami mengutus kami untuk menghadap Paduka dan menawarkan kerja sama untuk menyerbu Kerajaan Cin. Untuk itu, raja kami menitipkan surat untuk Paduka." Yuci lalu menyerahkan surat Jenghis Khan kepada Pang Sun.

Diam-diam Pang Sun sejak tadi memerhatikan Yuci dan dia merasa girang sekali. Pemuda ini memang hebat, dan puterinya tidak salah pilih! Diterimanya surat itu dan dibacanya dengan sikap hormat. Di dalam surat itu Jenghis Khan mengajak dia untuk bersama-sama menyerang Kerajaan Cin dan Jenghis Khan berjanji bahwa kalau gerakan mereka berhasil, kalau Kerajaan Cin dapat mereka tundukkan, Jenghis Khan menjanjikan kedudukan tinggi kepada para pimpinan Liao-tung, akan diangkatnya mereka itu menjadi raja-raja muda di daerah Kathai atau Kerajaan Cin. Tentu saja Pangeran Pang Sun merasa girang sekali.

Memang beberapa kali pasukannya diserang, oleh pasukan Cin dan beberapa kali dia menderita kekalahan. Kalau dia hendak membalas sendiri, dia merasa kurang kuat. Kini Jenghis Khan menawarkan kerja sama dengan janji-janji yang muluk, tentu saja diterimanya dengan senang hati. Jenghis Khan bahkan menjanjikan pembagian separuh dari harta kekayaan yang akan mereka rampas dari Kerajaan Cin kalau keajaan itu dapat mereka talukkan.

Dengan hati gembira sekali Pangeran Pang Sun menerima uluran tangan Jenghis Khan. "Kami merasa terhormat sekali mendapatkan kepercayaan Jenghis Khan dan kami akan mempersiapkan diri untuk membantunya kalau saatnya tiba dia hendak menyerbu ke selatan. Kami memang menanti kesempatan untuk membalas Kerajaan Cin dan kami menerima ajakan Jenghis Khan untuk bekerja sama itu dengan senang hati. Sampaikan hormat kami kepada beliau dan kami akan mempersiapkan sedikitnya dua ribu orang, perajurit untuk membantunya. Beritahukan saja kepada kami kalau saat penyerbuan itu telah tiba."

Tentu saja Yuci dan Tiong Sin merasa girang sekali bahwa tugas mereka telah berhasil dengan baik sekali. Diam-diam Yuci berterima kasih kepada Puteri Maimi karena dia merasa yakin bahwa tentu puteri itu telah lebih dahulu memberitahukan orang tuanya akan keadaan dirinya maka kini dia dan Tiong Sin menerima penyambutan yang menyenangkan.

Sebaliknya, Tiong Sin juga girang, hanya dengan alasan lain, yaitu bahwa baiknya penyambutan Pangeran Pang Sun itu jelas membuktikan bahwa Puteri Maimi dan dua orang gadis kembar itu tidak membuka rahasia yang telah terjadi semalam!

Pangeran Pang Sun menyambut dua orang utusan Jenghis Khan itu dengan perjamuan pesta yang dihadiri oleh para panglimanya. Dalam kesempatan ini, Pangeran Pang Sun mengumumkan tentang persekutuan antara dia dan Jenghis Khan dan hal ini disambut oleh para panglimanya dengan gembira. Pasukan Liao-tung merupakan pasukan yang suka berperang, akan tetapi mereka pun tahu akan kekuatan besar yang berada di utara, juga kekuatan Kerajaan Cin di selatan.

Mereka beberapa kali mengalami kekalahan dari Kerajaan Cin. Kalau sekarang pasukan Jenghis Knan bersekutu dengan mereka dan bersama-sama menggempur Kerajaan Cin, mereka mendapatkan kesempatan untuk membalas dendam. Selesai perjamuan makan, dua orang tamu agung itu dipersilakan istirahat di kamar yang istimewa. Dalam kesempatan ini, Pangeran Pang Sun mengundang Yuci pribadi untuk datang berkenalan dengan keluarganya.

Tiong Sin tidak diundang, akan tetapi pemuda ini tidak merasa kecewa atau iri hati karena bagi dia, kebetulan sekali karena dia tidak usah bertemu muka dengan Maimi, karena betapapun juga, dia akan merasa kurang enak. Yuci diterima oleh Pangeran Pang Sun dan Isterinya, lalu dipersilakan duduk di ruangan dalam. Tak lama kemudian, Puteri Maimi mengantar dua orang pelayan wanita ini, Yuci lalu cepat bangkit dan memberi hormat kepada Maimi yang dibalas dengan manis oleh Maimi. Melihat ini ayah dan ibu Maimi tersenyum.

”Ah, kalian sudah saling jumpa dan berkenalan, ya?" kata Pangeran Pang Sun sambil tertawa. Puteri Maimi menundukkan mukanya sambil tersipu menahan senyum.

Yuci juga tersenyum. "Kami sempat bertemu dan berkenalan di hutan, bahkan Sang Puteri dengan baik hati telah mengundang kami makan daging rusa panggang yang lezat bukan main."

"Saudara Yuci terlalu memuji, panggang daging rusa itu kurang bumbu dan keras...." kata Maimi sambil mengangkat muka memandang.

Sejenak dua pasang sinar mata bertemu, lalu Maimi menunduk kembali dengan muka merah. Yuci merasa heran mengapa kini di depan orang tuanya, sikap Maimi berubah menjadi, amat pemalu! Padahal ketika di hutan itu, gadis ini begitu berwibawa dan anggun.

"Ha-ha-ha, duduklah engkau Maimi, dan engkau juga duduklah kembali ananda Yuci. Maimi, ananda Yuci adalah seorang tamu agung yang kita hormati, bahkan dia pun sudah menjadi kenalanmu. Engkau boleh menemani kami bercakap cakap, bahkan perlu sekali engkau hadir karena kami hendak membicarakan tentang dirimu!"

Mendengar ini, Maimi makin menunduk. Akan tetapi, dengan gerakan lemah gemulai ia lalu bangkit berdiri, menuangkan anggur ke dalam cawan arak Yuci dengan gerakan yang amat manis, lalu berkata merdu, "Silakan minum anggur suguhan kami yang sederhana."

Yuci mengangkat cawannya dan diikuti oleh pihak tuan rumah, dia lalu minum anggur itu dengan wajah gembira Mereka lalu minum beberapa cawan, kemudian barulah Pangeran Pang Sun menceritakan niatnya dan keperluannya maka dia mengundang pemuda itu.

"Ananda Yuci, kalau boleh kami mengetahui, berapakah usiamu tahun ini?"

Yuci nampak heran, akan tetapi dia menjawab juga. "Kalau tidak keliru, Paman Pangeran, tahun ini usia saya dua puluh tahun."

"Ah, selisih dua tahun dengan puteri kami Maimi yang berusia delapan belas tahun" kata isteri pangeran itu.

Ucapan ini saja sudah menunjukkan ke arah mana percakapan itu hendak dibawa sehingga dalam hatinya, Yuci sudah merasa berdebar-debar.

"Kalau boleh kami bertanya, apakah engkau sudah berkeluarga, ananda Yuci? Sudah beristeri, atau sudah bertunangan?"

Yuci menggeleng kepala dan menjawab singkat karena bagaimanapun juga, dia merasa malu. "Belum, Paman."

"Bagus! Ini namanya cocok dan mungkin sudah dijodohkan oleh Tuhan! Ananda Yuci, kami sekeluarga mempunyai niat yang kami rasa amat baik, akan tetapi pelaksanaan niat itu tergantung sepenuhnya kepadamu. Kami mengharap saja mudah-mudahan engkau menyetujuinya sehingga memungkinkan terlaksananya niat baik kami ini."

Dengan jantung berdebar Yuci sudah menduga apa yang dimaksudkan tuan rumah, akan tetapi karena pangeran itu berhenti bicara, dia lalu bertanya dengan suara agak gemetar. "Niat baik apakah itu, Paman?"

''Begini, ananda Yuci kami sekeluarga ingin sekali agar puteri kami Maimi dapat menjadi isterimu!"

Biarpun sudah menduga demikian, Yuci terkejut juga mendengar ini. Dia mengangkat muka dan tanpa disadarinya, dia memandang ke arah Puteri Maimi yang kebetulan juga mengangkat muka memandang kepadanya. Wajah puteri itu nampak kemerahan dan cantik jelita, manis bukan main. Sejenak sinar mata mereka bertemu dan bertaut, akan tetapi kini Puteri Maimi bukan hanya menunduk, melainkan juga tersenyum, mengerling lalu bangkit dan melarikan diri meninggalkan ruangan itu, kembali ke kamarnya!

Melihat ini, ayah dan ibu puteri itu tertawa, dan Yuci juga tersenyum malu-malu. Untuk suku Mongol, soal pinang-meminang ini adalah urusan keluarga pria. Akan tetapi ada beberapa suku yang mempunyai kebiasaan sebaliknya, pihak keluarga wanita yang meminang, dan ada pula yang nak itu dimiliki keduanya. Agaknya suku Liaotung sudah biasa dengan adanya keluarga wanita yang meminang!

Memang Yuci sudah tertarik sekali dan jatuh cinta kepada Maimi, maka uluran tangan ini tentu saja membuat dia girang setengah mati. Bagaimanapun juga, dia putera seorang panglima dan dia harus mengingat akan kedudukan ayahnya.

"Bagaimana, ananda Yuci. Setujukah engkau dengan niat kami menjodohkah Maimi dengan ananda?"

"Paman Pangeran, niat keluarga Paman itu sungguh merupakan anugerah besar bagi saya, merupakan penghormatan besar dan tentu saja saya pribadi menerimanya dengan hati dan tangan terbuka, bahkan dengan rasa terima kasih yang mendalam. Akan tetapi, bagaimanapun juga, yang menentukan adalah ayah saya. Maka, biarlah saya akan menyampaikan kepada ayah dan mohon perkenan ayah."

"Ha-ha-ha, tentu saja, ananda Yuci! Yang penting, engkau sudah setuju. Kami akan memberi surat kepada ayahmu, juga mohon, bantuan rajamu Jenghis Khan agar niat hati kami itu dapat terlaksana dengan mudah."

Pertunangan itu pun diumumkan oleh Pangeran Pang Sun dan para pembantunya menyambut dengan bermacam perasaan. Ada yang kecewa karena mereka mengharapkan sang puteri menjadi isteri atau mantu, ada yang ikut gembira karena perjodohan itu semakin mempererat hubungan antara Liao-tung dengan bangsa Mongol yang kini sedang berkembang amat kuat itu.

Terutama sekali Maimi, diam-diam merasa girang karena siasat yang direncanakannya berjalan lancar. Tiong Sin juga diberi tahu akan hal ini dan dia pun tersenyum, senyum mengandung ejekan yang hanya dia yang tahu artinya. Dia menepuk pundak Yuci dan mengucapkan selamat. Yuci menerima dengan gembira dan menganggap banwa Tiong Sin adalah seorang sahabat yang baik. Kalau saja dia dapat menjenguk isi hati Tiong Sin! Pemuda ini menertawakannya!

Rombongan utusan Jenghis Khan ini bermalam dua malam di situ. Ketika rombongan itu akan berangkat pulang, Yuci diberi kesempatan untuk bertemu dengan Maimi di dalam taman. Dan kembali, setelah mereka hanya bertemu berdua saja, Maimi tidak lagi memperlihat an sikap malu-malu seperti kalau di epan ayan ibunya.

"Dinda Maimi, aku akan pulang dulu. Harap engkau jangan khawatir, aku yakin ayahku akan menyetujui pertunangan kita dan tak lama lagi kita akan dapat saling bertemu kembali."

"Selamat jalan, kanda Yuci. Berhati-hatilah, dan ingatlah selalu bahwa jauh di Liao-tung, ada seseorang menantimu dengan hati penuh kesetiaan dan penuh harapan. Pesanku hanya satu, kanda Yuci...."

Yuci melangkah maju dan menangkap tangan tunangannya. Digenggamnya tangan itu dan baru sekali itu mereka saling bersentuhan. Tangan itu agak gemetar dan agak dingin dalam genggamannya, akan tetapi tangan itu terasa lunak dan halus. "Apakah pesanmu itu, dinda Maimi?"

"Agar engkau berhati-hati terhadap dia... siapa namanya lagi temanmu itu?"

Yuci mengerutkan alisnya. "Siapakah yang kau maksudkan? Temanku di sini hanyalah Tiong Sin...."

"Dia itulah..... engkau harus berhati hati, aku yakin bahwa dia bukan orang baik-baik!"

Yuci terbelalak memandang wajah tunangannya. "Ah! Apa maksudmu, dinda Maimi? Apa maksudmu?"

Maimi menggeleng kepalanya. "Entahlah, akan tetapi aku mempunyai perasaan kuat bahwa dia itu bukan orang baik baik. Mungkin dari pandang matanya, dari bicaranya, dari sikapnya. Akan tetapi bagaimanapun juga, aku mempunyai keyakinan dia itu bukan manusia baik baik, maka hatiku khawatir sekali Kanda. Engkau demikian dekat dengannya, berhati-hatilah....."

Yuci terkejut melihat betapa Maimi tiba-tiba saja terisak menangis. Dia cepat memeluk gadis itu dan Maimi menyandarkan dahinya di dada tunangannya. Mudah saja ia melaksanakan sandiwara ini, karena tiap kali teringat kepada Tiong Sin dan malapetaka itu, mudah saja air matanya bercucuran. Ia harus menanamkan kecurigaan dalam hati Yuci, kalau kecurigaan dan prasangka buruk itu sudah tumbuh, kelak akan mudah sekali untuk membalas dendam kepada Tiong Sin melalui Yuci.

Setelah tangis gadis itu mereda, Yuci mengelus rambutnya yang halus dan berkata lembut, "Sudahlah, dinda Maimi, jangan engkau khawatir. Aku akan menjaga diri baik-baik dan aku akan memperhatikan dia. Kalau benar dia itu jahat seperti yang kau kira, tentu aku tidak akan tinggal diam saja. Ingat, dia baru aja menghambakan diri kepada raja kami dan memang perlu diawasi."

Berangkatlah rombongan utusan Jenghis Khan itu, diantar sampai ke pintu gerbang oleh rombongan Pangeran Pang Sun. Dua orang muda itu, Yuci dan Tiong Sin, menunggang kuda dengan gagahnya, dikagumi semua orang, dan ketika tiba di pintu gerbang, mereka melambaikan tangan dan membalapkan kuda mereka keluar dari perkampungan Liao-tung. Biarpun sikap Yuci masih biasa terhadap Tiong Sin, namun usaha Maimi berhasil.

Gadis ini telah menanamkan kecurigaan dan prasangka buruk dalam hati Yuci terhadap kawannya ini dan diam-diam dia selalu waspada memperhatikan tingkah laku dan gerak-gerik Tiong Sin.

Kurang lebih lima li jauhnya mereka meninggalkan perkampungan Liao-tu ketika tiba-tiba ada tiga orang penunggang kuda muncul dari kiri dan menghadang rombongan itu. Yuci yang melihat ini segera mengenal bahwa dua di antara mereka adalan dua orang gadis Hanya pernah dijumpainya ketika dia dan Tiong Sin makan malam bersama Puteri Maimi Mereka adalah Siauw Cin dan Siauw Lin. Dan seorang lagi adalah seorang laki laki setengan tua, berusia empat puluh tahun lebih.

"Heiii, bukankah kalian nona kembar Siauw Cin dan Siauw Lin? Apakah Putri Maimi mengutus kalian untuk menemui aku?" tanyanya dengan gembira karena dia mengira bahwa dua orang gadis pengikut Puteri Maimi ini tentu datang membawa berita dari tunangannya.

Akan tetapi, dengan wajah muram dan sikap dingin dua orang gadis kembar itu menggeleng kepala mereka dan pandang mata mereka ditujukan kepada Tiong Sin yang memajukan kudanya di samping Yuci. "Tidak, saudara Yuci," kata Siauw Cin. "Kami datang dengan urusan pribadi!"

Kini pria setengah tua tadi maju memberi hormat kepada Yuci. Pemuda ini teringat bahwa laki-laki bangsa Han yang berpakaian seperti orang Liao-tung itu pernah diperkenalkan kepadanya oleh Pangeran Pang Sun sebagai seorang di antara para panglimanya.

"Harap maafkan, Panglima Yuci. Kami bertiga tidak mempunyai urusan apa pun denganmu atau rombonganmu, melainkan kami mempunyai urusan pribadi dengan Bu Tiong Sin. Bu Tiong Sin, kalau engkau laki-laki dan bukan pengecut hina, mari kita bicara di sana!" Berkata demikian, pria itu bersama dua orang gadis sudah melarikan kuda agak menjauhi Yuci, namun masih nampak dari situ.

Yuci mengerutkan alisnya memandang kepada Tiong Sin, danTiong Sin tersenyum. "Hendak kulihat apa yang akan mereka bicarakan!" katanya dan dia pun melarikan kuda mengejar mereka bertiga itu.

Yuci lalu memberi tanda kepada rombongannya untuk turun dari kuda dan beristirahat sambil menanti apa yang akan terjadi di antara empat orang di depan itu. Akan tetapi dia teringat akan nasihat Maimi agar dia berhati-hati terhadap Tiong Sin, maka diam-diam dia mempersiapkan busurnya, bahkan memberi isyarat kepada enam orang pemanah yang pandai untuk siap menanti perintahnya.

Sementara itu, kini Tiong Sin sudah berhadapan dengan tiga orang itu. Melihat betapa tiga orang itu sudah melompat turun dari atas kuda, Tiong Sin juga turun dari atas kudanya dan membiarkan kudanya makan rumput di bawah pohon. Dia marah sekali karena ditantang, dikatakan bahwa kalau dia tidak mau bicara di tempat ini, dia dianggap bukan laki-laki dan seorang pengecut! Berani benar orang itu mengatakan demikian!

"Hemmm, kalian ini mau apa?" katanya dengan senyum mengejek ketika melihat dua orang gadis kembar itu memandang kepadanya dengan muka merah dan mata berkilat.

"Bu Tiong Sin, aku adalah ayah dari dua orang puteriku ini! Engkau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu pada malam itu atas diri kedua puteri kembarku!" kata pria itu dengan mata mendelik karena dia marah sekali. Dia adalah ayah kandung Siauw Cin dan Siauw Lin.

Ketika dua orang gadis itu pulang, dia tidak melihat suatu keganjilan karena memang dua orang gadis itu tidak mau membuka rahasia yang hanya akan mendatangkan aib pada diri mereka, juga nama kehormatan keluarga ayahnya. Akan tetapi, ketika Siauw Cin dan Siauw Lin mendengar bahwa Maimi telah ditunangkan dengan Yuci, mereka menjadi panik.

Puteri Maimi telah memperoleh jalan keluar, telah ditunangkan dengan Yuci. Akan tetapi bagaimana dengan mereka? Tadinya, mereka dapat menahan diri melihat banwa ada teman senasib, yaitu nona majikan mereka. Kini mereka merasa ditinggalkan, maka mereka lalu menangis kepada ayah mereka, menceritakan malapetaka yang menimpa diri mereka pada malam itu tanpa menceritakan tentang Puteri Maimi.

Tentu saja Siauw Kan, yaitu ayah mereka, marah bukan main mendengar cerita kedua orang puterinya. Maka, dia lalu mengajak puteri-puterinya untuk menghadang perjalanan pulang Tiong Sin untuk dimintai pertanggungjawaban. Ketika Tiong Sin masih berada di perkampungan, keluarga ini tidak berdaya. Mereka tentu saja tidak berani ribut-ribut karena hal itu akan mendatangkan aib pada diri mereka sendiri, juga ketika itu Tiong Sin merupakan tamu agung dari Pangeran Pang Sun.

Mendengar ucapan ayah dari dua orang gadis kembar itu, Tiong Sin tersenyum mengejek. "Mempertanggungawabkan apa dan bagaimana?" tanyanya, memandang rendah.

"Tiong Sin!" bentak Siauw Cin marah. Engkau masih pura-pura bertanya lagi? Perbuatanmu yang kejam dan jahat terhadap kami....." Siauw Cin tidak dapat melanjutkan karena ia sudah terisak.

"Bu Tiong Sin." kata Siauw Kan, mencoba untuk membujuk dan bersikap sabar. 'Engkau sudah menodai dua orang puteriku, sebagai seorang laki-laki engkau harus berani mempertanggungjawabkan perbuatanmu."

"Hemmm, tanggung jawab yang bagaimana?"

"Engkau harus mengajak mereka bersamamu, engkau harus menikahi mereka sebagai isteri-isterimu!"

Tiong Sin tertawa. "Ha-ha-ha, lucu sekali! Apa kesalahanku? Memang kami telah bermain cinta, akan tetapi aku tidak memaksa mereka! Engkau tanya saja kepada dua orang puterimu itu. Mereka tidak kupaksa, kami sama-sama mau dan bebas. Tidak pernah aku menjanjikan pertanggung-jawaban seperti itu!"

"Engkau... manusia iblis! Engkau menggunakan ilmu setan untuk membuat kami lupa diri!" Siauw Lin berseru marah.

"Bu Tiong Sin, tidak perlu banyak berbantahan. Engkau sudah menodai dua orang anakku. Katakan, Apakah engkau tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatanmu itu? Engkau tidak mau memperisteri mereka?"

Tiong Sin mengangkat muka dan hidungnya kembang kempis, sikapnya menghina sekali. "Kalau aku tidak mau, habis kalian mau apa?"

"Kalau engkau menolak, terpaksa kami akan mengadu nyawa denganmu!" bentak Siauw Kan dan mereka bertiga sudah mencabut pedang dengan sikap mengancam.

"Hemmm, aku tidak sudi dan kalau kalian sudan bosan hidup, majulah!" kati Tiong Sin, Sikapnya masih memandang rendah.

Ayah dan dua orang anaknya itu marah sekali. Mereka memang sudah mengambil keputusan bahwa kalau permintaan itu ditolak, mereka akan berusaha membunuh pemuda itu atau terbunuh olehnya. Maka, setelah yakin bahwa pemuda itu menolak, bahkan mengatakan tidak sudi, mereka lalu menerjang dengan nekat, menyerang dengan pedang mereka.

Akan tetapi, Tiong Sin meloncat ke belakang lalu tangan kanannya bergerak. Nampak sinar menyilaukan mata ketika Pedang Asmara tercabut, kemudian, nampak gulungan sinar pedang. Terdengar suara berdenting nyaring disusul jeritan-jeritan dan tiga batang pedang itu terbabat buntung lalu mereka bertiga roboh mandi darah!

Yuci yang melihat dari jauh, terkejut bukan main. Dia tidak dapat mendengar apa yang dibicarakan mereka, akan tetapi tadi dia melihat mereka bertiga mencabut pedang dan menyerang Tiong Sin. Tidak disangkanya, Tiong Sin akan merobohkan mereka sedemikian cepatnya! Yuci lalu memberi isyarat kepada enam orang pembantunya. Dengan busur dan anak panah siap di tangan, Yuci dan enam orang pemanah itu berlari menghampiri tempat di mana Tiong Sin berdiri tegak dengan pedang di tangan memandang tiga orang yang telan dirobohkan itu.

Siauw Kan dan dua orang puterinya terluka parah pada tempat-tempat berbahaya. Siauw Kan tertembus lehernya dan tewas seketika, sedangkan dua orang gadis itu terluka di dada yang ditembusi pedang yang bagaikan kilat menyambar.

Siauw Cin berusaha mengangkat muka memandang kepada Tiong Sin dan jari telunjuknya menuding, "Kau... kau jahanam..." Dan ia pun terkulai lemas, tewas.

Siauw Lin juga memandang kepada Tiong Sin, matanya mendelik, "Kau... keparat jahat....!" Dan ia pun terkulai dan tewas.

Tiong Sin tersenyum puas. Memang kalau tidak dibunuh, tiga orang ini kelak hanya akan menjadi pengganggunya saja. Senyumnya makin lebar dan akhirnya terdengar dia tertawa. "Ha-ha-ha-ha-ha...!"

"Bu Tiong Sin.....!"

Tiong Sin terkejut. Suara ketawanya terhenti seketika dan dia cepat membalikkan tubuhnya, pedangnya siap di tangan kanan, wajahnya beringas dan matanya mancorong seperti matahari mau mencium darah. Yuci dan enam orang pembantunya sudah menodongkan anak panah dari jarak yang aman.

"Bu Tiong Sin, betapapun tingginya ilmu pedangmu, engkau tidak akan lebih cepat daripada meluncurnya anak panah dari busur kami! Hayo simpan pedangmu dan katakan apa yang telah terjadi, apa artinya perbuatanmu ini!" kata Yuci dengan suara penuh wibawa.

Tiong Sin sadar akan keadaannya. Dia telah mendatangkan kecurigaan dalam hati Yuci, dan dia maklum betapa bahayanya anak panah di tangan Yuci yang ahli, apalagi dibantu oleh enam orang pemanah lain. Sebelum dia dapat banyak bergerak, tubuhnya sudah akan ditembusi anak-anak panah itu! Dia menyimpan pedangnya dan tersenyum.

"Aih, Yuci, kenapa engkau menodongkan panah kepada sahabat dan rekan sendiri?" katanya sambil menyimpan pedangnya. "Jangan main-main dengan anak panahmu yang lihai, simpanlah kembali anak panah dan busur kalian."

"Tidak, sebelum engkau jelaskan apa artinya perbuatanmu ini! Dua orang gadis itu adalah pengikut dan sahabat Puteri Maimi, mengapa sekarang kau membunuh mereka? Raja kami sedang mengadakan persekutuan dengan pihak Liao-tung, akan tetapi engkau malah membunuh mereka bertiga ini, berarti engkau dapat menggagalkan tugas kita!"

Tiong Sin menarik napas panjang. "Ini urusan pribadi, Yuci, tidak ada hubungannya dengan tugas kita."

"Tidak peduli, sebelum engkau memberi penjelasan yang meyakinkan, terpaksa engkau kujadikan tawanan untuk kuhadapkan kepada Sribaginda!"

"Yuci.....!" Tiong Sin berseru kaget, lalu menarik napas panjang. "Baiklah kalau engkau menghendaki penjelasan. Tak kusangka engkau seorang sahabat yang berprasangka buruk. Ketahuilah, bahwa ketika kita berada di Liao-tung, ketika suatu malam aku berjalan-jalan, dua orang gadis ini mendekatiku dan menyerahkan diri! Ini suatu perangkap dan aku tidak melihatnya. Setelah aku melayani mereka, kini mereka dan ayah mereka menunggu di sini dan mereka minta agar aku suka mengawini mereka.

Coba pikir, gila tidak! Mereka yang menyerahkan diri. Kiranya memang sudah mereka atur agar aku terjebak. Agaknya, melihat aku seorang utusan dari raja besar kita mereka itu ingin sekali menjadi isteriku. Nah, itulah sesungguhnya yang terjadi. Aku tadi tentu saja menolak dan mereka memaksa, bahkan menyerangku. Engkau tentu melihat sendiri betapa mereka tadi yang menyerangku dan aku hanya membela diri."

Yuci dapat menerima alasan itu. Memang, dua orang gadis kembar itu kelihatan tertarik kepada Tiong Sin, apalagi setelah mereka dikalahkan. Dan mungkin juga mereka menggunakan perangkap seperti itu. Untuk mencapai tujuan, banyak orang tidak segan menggunakan segala cara. Dia menurunkan busurnya dan memberi isyarat kepada orang-orangnya yang segera mundur.

"Baiklah, Tiong Sin. Aku percaya keteranganmu dan memang urusan itu adalah urusan pribadi. Akan tetapi lain kali, jangan engkau sembarangan dan mudah saja membunuh orang. Mereka adalah orang-orang Liao-tung, kalau sampai diketahui orang Liao-tung, tentu akan gagal tugas kita."

Tiong Sin menjura dengan sikap hormat, akan tetapi mulutnya tersenyum main-main. "Baik, saudara Yuci, lain kali kalau hendak membunuh orang, aku minta ijin dulu padamu."

"Hemmm, urusan ini bisa menjadi besar sekali, dan engkau masih main-main seperti anak-anak!" Yuci mengomel.

Tiong Sin bersikap serius, maklum bahwa kalau terlalu main-main dia bisa membahayakan diri sendiri. "Maafkanlah, Yuci. Kita sudahi saja urusan ini dan mari kita melanjutkan perjalanan," Tiong Sin menghampiri kudanya.

"Nanti dulu!" seru Yuci yang segera memanggil pasukannya dan dia memberi perintah kepada mereka. "Kalian tidak boleh membicarakan hal yang telah terjadi di sini! Dan sekarang, kuburlah tiga orang mayat itu, bunuh tiga ekor kuda mereka dan kuburkan pula. Cepat!"

Dengan bekerja sama, pasukan itu melaksanakan perintah ini dengan cepat dan sebentar saja, tiga sosok mayat ini berikut kuda mereka telah terkubur rata dengan tanah. Sebentar saja, dalam waktu beberapa hari, tentu bekas kuburan itu akan ditumbuhi rumput. Tidak ada yang melihat semua itu dan Yuci baru merasa aman. Rombongan itu lalu melanjutkan perjalanan menuju ke utara.

Akan tetapi, sama sekali keliru kalau Yuci dan Tiong Sin mengira bahwa peristiwa itu tidak ada yang melihatnya. Ada seorang yang tadi bersembunyi menyaksikan semua itu. Walaupun dia melihat dari jauh, tidak mendengarkan percakapan mereka, namun dia melihat betapa Siauw Kan dan dua orang puterinya terbunuh, lalu betapa mayat mereka dikubur berikut tiga ekor kuda mereka yang juga dibunuh.

Orang ini adalah seorang mata-mata kepercayaan Puteri Maimi yang segera bergegas pulang untuk memberi laporan kepada Puteri Maimi. Puteri Maimi memang mendengar dari Siauw Cin dan Siauw Lin bahwa mereka hendak memaksa Tiong Sin mengawini mereka.

Mendengar ini, Puteri Maimi lalu mengutus seorang kepercayaannya untuk membayangi dua orang gadis kembar itu sehingga akhirnya mata-mata itu melihat sendiri betapa dua orang gadis kembar itu bersama ayahnya tewas terbunuh oleh Bu Tiong Sin.

Biarpun alasan yang dikemukakan Tiong Sin itu dapat diterimanya, namun mulai hari itu, Yuci makin merasa curiga kepada Tiong Sin. Kesan yang didapat dari pemuda itu buruk. Mungkin saja dua orang gadis Han kembar itu menggunakan siasat, sengaja memikat untuk memaksa Tiong Sin menjadi suami mereka. Dia tidak tahu benar karena menurut pendapatnya orang-orang Han mempunyai banyak akal bulus dan licik!

Betapapun juga, perbuatan Tiong Sin membunuh dua orang gadis yang semalam telah menjadi kekasihnya itu merupakan perbuatan yang kejam. Pemuda itu, biarpun nampaknya halus dan ramah, ternyata memiliki dasar watak kejam. Mulailah dia percaya akan bisikan Maimi bahwa Tiong Sin bukan orang baik-baik dan hal ini dicatatnya di dalam hatinya. Dia yang akan selalu mengawasi Tiong Sin!


Jenghis Khan ternyata merupakan seorang pemimpin yang amat pandai. Dia tidak tergesa-gesa dalam penyerbuannya ke selatan, melainkan telah direncanakan jauh hari sebelumnya. Dia menghubungi bukan saja suku bangsa Liao-tung, akan tetapi juga dengan semua kelompok dan suku yang tinggal di perbatasan dekat Tembok Besar, di sebelan luar maupun dalam. Jenghis Khan menyebar banyak mata-mata yang pandai sampai jauh ke sebelah selatan Tembok Besar.

Setelah semua persiapan matang, barulah dia turun tangan. Pangeran Pang Sun di Liao-tung diberi tugas untuk membantu penyerbuan ke daerah Kerajaan Cin di selatan, bertugas pula menyelundup dan membukakan pintu-pintu gerbang Tembok Besar setelah membinasakan para perajurit penjaga dari Kerajaan Cin.

Setelah saat yang diperhitungkannya masak-masak tiba, Jenghis Khan mulai dengan penyerbuannya. Pertama-tama dikirimkannya pasukan-pasukan pelopor yang terdiri dari dua ratus orang perajurit.

Mereka ini merupakan perajurit-perajurit pilihan yang sanggup mengadakan operasi berduadua saja, berpencaran memasuki daerah musuh. Di belakang pasukan pelopor ini bergerak barisan depan dari balatentara Jenghis Khan, terdiri dari tiga puluh ribu perajurit pilihan yang berkuda dengan kuda-kuda yang baik pula. Bahkan setiap orang perajurit membawa dua ekor kuda sebagai cadangan.

Pasukan yang merupakan pendobrak bagian depan ini dipimpin oleh tiga orang panglima yang gemblengan, yaitu Panglima Chepe Noyon yang gagah perkasa, juga Panglima Tua Munuli yang sudah memiliki banyak sekali pengalaman dalam perang dan seorang panglima muda, yaitu Sobutei yang berkobar semangatnya, cerdik dan pandai bersiasat pula.

Sesudah barisan depan ini, barulah bergerak barisan besar yang dipimpin sendiri oleh Jenghis Khan. Induk tentara ini melalui dataran tinggi yang tandus menimbulkan awan debu tinggi, bagaikan semut saja dengan jumlah mereka yang kurang lebih seratus ribu orang. Mereka terdiri dari orang-orang Mongol berbagai suku, namun yang terutama adalah orang Yakka Mongol yang telah lama mengabdi kepada Jenghis Khan.

Barisan inti ini mengadakan hubungan yang baik dan tidak pernah terputus dengan barisan depan yang dipimpin Chepe Noyon dan kawan-kawannya. Jenghis Khan sendiri memimpin sebagai intinya didampingi putera bungsunya yang bernama Tuli. Semua puteri Jenghis Khan sejak muda memang digembleng untuk menjadi seorang ahli perang.

Jenghis Khan sendiri dilindungi oleh barisan pengawal yang terdiri dari seribu orang perajurit. Pasukan pengawal ini tentu saja merupakan orang-orang pilihan dan mereka semua menunggang kuda hitam yang diperlengkapi dengan baju perang dari kulit.

Demikianlah, bagaikan gelombang badai mengamuk, barisan itu memasuki Tembok Besar. Dengan amat mudah mereka masuk melewati pintu-pintu gerbang yang sudah dibuka oleh orang-orang Liao-tung dan tak seorang pun perajurit Mongol tewas! Begitu mudahnya mereka melewati Tembok Besar yang dahulu oleh para kaisar selatan dibangun dengan mengorbankan jutaan nyawa manusia, dibangun dengan maksud membendung ancaman dan utara.

Ternyata kini, Tembok Besar itu tidak ada gunanya sama sekali dan barisan Jenghis Khan dapat melewatinya tanpa korban seorang pun perajurit! Setelah memasuki tembok, barisan Jenghis Khan, lalu dibagi-bagi menjadi pasukan-pasukan yang melakukan penyusupan ke daerahdaerah yang memang sudah ditentukan semula sesuai dengan rencana.

Inilah hasil dari penyusupan banyak mata-mata sehingga mereka sudah mempelajari daerah mana yang lemah pertahanannya dan mana yang harus lebih dulu digempur. Bagian yang pertama dimasuki adalan Shan-si dan daerah Ci-li. Para pasukan penjaga garis depan dan Kerajaan Cin tertimpa malapetaka hebat. Mereka adalah perajurit-perajurit penjaga tanpa kuda dan tempat penjagaan mereka terpencar-pencar.

Terjadilah kontak pertama yang sama sekali tidak seimbang. Pasukan berkuda Jenghis Khan melarikan kuda mereka secepat angin mengelilingi musuh sambil melepas anak panah dari atas kuda. Tentu saja pasukan infanteri musuh yang rapat itu tak dapat banyak berdaya dan berjatuhanlah banyak sekali korban antara mereka.

Baru setelah terjadi kontak pertama itu, para pasukan penjaga menjadi panik dan mereka menyusun kekuatan untuk; menghadapi penyerbuan musuh yang tiba-tiba itu. Ada pula yang segera mengirim berita ke selatan untuk minta balebantuan ke markas besar pasukan penjaga di utara.

Sementara itu, barisan penjaga yang ada mengadakan perlawanan mati-matian dan sia-sia. Mereka itu kalah segala-galanya. Kalah semangat, kalah perlengkapan dan kalah nekat, juga kalah pengalaman dibandingkan dengan para perajurit Jenghis Khan yang rata-rata adalah tukangtukang berkelahi itu!

Jenghis Khan berterima kasih kepada bangsa Liao-tung yang ternyata memegang janji dan mereka itu berjasa besar dalam pembukaan pintu-pintu gerbang Tembok Besar sehingga memudahkan barisan besar Jenghis Khan untuk masuk ke sebelah selatan tembok. Oleh karena itu, Jengnis Khan mengutus Yuci dan Tiong Sin lagi untuk menyampaikan terima kasihnya kepada Pangeran Pang Sun dan menjanjikan kedudukan tinggi kalau kelak peperangan telah selesai dan berhasil baik.

Dengan membawa sepasukan tentara, berangkatlah Yuci dan Tiong Sin memasuki perkampungan Liao-tung. Selain menyampaikan pesan kaisar besar Jenghis Khan, juga Yuci yang sudah menyampaikan surat Pangeran Pang Sun kepada ayahnya mengenai ikatan perjodohan, kini membawa pula surat balasan ayahnya, Chepe Noyon yang sedang memimpin pasukan, yang menyatakan persetujuannya bahwa puteranya, Yuci, dijodohkan dengan Maimi, puteri Pangeran Pang Sun. Pertunangan itu boleh diresmikan dan pernikahannya menanti kalau tugas penyerbuan ke selatan sudah selesai.

Kedatangan pasukan yang dipimpin Yuci dan Tiong Sin disambut meriah oleh orang-orang Liao-tung. Mereka bergembira ria karena kemenangan barisan Jenghis Khan yang sudah mulai menyusup jauh ke selatan itu. Pasukan Liao-tun ada yang bergabung dan ikut menyerbu ke selatan, akan tetapi sebagian tinggal di perbatasan untuk menjaga daerah yang sudah dikuasai pasukan Jenghis Khan.

Pangeran Pang Sun sendiri bersama isteri dan puterinya keluar menyambut kunjungan Yuci dengan gembira. Akan tetapi ketika mereka melihat Tiong Sin, wajah mereka menunjukkan ketidak-senangan. Bahkan ketika Tiong Sin memberi hormat, Pangeran Pang Sun dan isterinya tidak mau membalas. Pangeran itu mendekati Yuci dan berkata lirih.

"Ananda Yuci, kenapa dia ikut-ikutan pula ke sini? Kami tidak mungkin dapat menerimanya!"

Yuci terkejut mendengar ini dan dia pun berbisik, "Kenapa, Paman?"

Biarpun suaranya masih lirih agar tidak terdengar banyak orang, pangeran itu menjawab dengan sinar mata marah ditujukan kepada Tiong Sin. "Dia telah membunuh pembantuku dan sahabatku Siauw Kan dan dua orang puteri kembarnya."

Tentu saja Yuci terkejut setengah mati mendengar bahwa rahasia itu tentu diketahui oleh calon mertuanya. "Paman dan Bibi, juga engkau dinda, Maimi, mari kita bicara di dalam. Aku dapat menjelaskan urusan itu."

"Hemmm, baik, ananda Yuci. Akan tetapi ia tidak boleh masuk ke dalam rumah kami sebelum kami mendengar penjelasan yang memuaskan hati."

Yuci menjadi bingung, akan tetapi Tiong Sin yang juga mendengarkan percakapan itu, tersenyum dan berkata, "Yuci, engkau masuklah dan biarkan aku menanti di luar saja bersama pasukan kita. Aku pun ingin melihat-lihat di sini..."

Selanjutnya,

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.